• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. krisis pada tahun Krisis moneter yang terjadi di Indonesia yang kemudian

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. krisis pada tahun Krisis moneter yang terjadi di Indonesia yang kemudian"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perekonomian Indonesia belum sepenuhnya berjalan normal sejak dilanda krisis pada tahun 1998. Krisis moneter yang terjadi di Indonesia yang kemudian diperburuk lagi dengan krisis politik yang mengakibatkan mundurnya Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia. Hal ini mengakibatkan melemahnya nilai tukar mata uang rupiah terhadap mata uang dollar yang menimbulkan dampak yang tidak menguntungkan terhadap perekonomian dan perdagangan nasional.

Gejolak moneter pada tahun 1997, mengakibatkan dampak yang sangat luas terhadap perkembangan bisnis di Indonesia, nilai tukar dollar terhadap rupiah sangat tinggi, sehingga mengakibatkan utang-utang para pengusaha Indonesia menjadi membengkak luar biasa. ”Banyak perusahaan di Indonesia tidak lagi mampu membayar utang yang umumnya dilakukan dalam bentuk dollar”.1 Kenyataan menunjukkan salah satu masalah yang menyebabkan krisis ekonomi yang dihadapi oleh Indonesia adalah masalah utang-piutang perusahaan-perusahaan swasta.

Krisis moneter menyebabkan daya beli masyarakat semakin lemah, sehingga mengakibatkan pendapatan perusahaan menurun. Akibatnya perusahaan mengalami kesulitan keuangan karena pendapatan yang menurun sementara pengeluaran semakin tinggi. Krisis tersebut telah menimbulkan kesulitan keuangan perusahaan yang pada       

1

(2)

akhirnya mempengaruhi kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban pembayaran utang kepada kreditor. Selain beban pembayaran utang-utang kepada kreditor yang semakin terasa berat, perusahaan-perusahaan ini secara umum mengalami kesulitan besar di dalam melakukan operasionalnya.

Untuk menyehatkan kembali perusahaan, berbagai strategi dan kebijakan dilakukan dalam mempertahankan jalannya perusahaan seperti efesiensi di segala bidang, yaitu dengan perampingan manajemen perusahaan, penurunan produksi atau melakukan pengurangan jumlah tenaga kerja, dan dengan mencari sumber-sumber suntikan dana dalam bentuk pinjaman dari lembaga keuangan ataupun dari perorangan.

Suatu hal yang sangat mendasar dalam pelaksanaan perusahaan adalah tersedianya permodalan. Perusahaan melakukan pinjaman untuk mengembangkan kembali usahanya, suntikan dana segar dalam bentuk pinjaman ini diharapkan dapat menjadi stimulus yang akan membuat perusahaan menjadi bangkit dan berjalan lebih baik lagi.

Pinjaman-pinjaman yang diberikan oleh kreditor antara lain dapat berupa kredit dari bank, kredit dari perusahaan selain bank, atau pinjaman dari orang perorangan (pribadi) berdasarkan perjanjian kredit, atau perjanjian meminjam uang yang harus dibayar kembali pada waktu yang telah disepakati antara kreditor dan debitor. Sektor perkreditan merupakan salah satu sarana pemupukan modal bagi

(3)

masyarakat bisnis. ”Bagi para pengusaha, pengambilan kredit merupakan faktor yang tidak dapat dipisahkan lagi dari kehidupan bisnis”.2

Pada waktu mengajukan pinjaman tersebut, debitor harus mempunyai itikad baik dan harus dapat meyakinkan kreditor bahwa debitor akan mampu mengembalikan pinjaman tersebut. “Tanpa ada kepercayaan (trust) dari kreditor kepada debitor, maka kreditor tidak akan memberikan kredit atau pinjaman tersebut.”3 Tanpa adanya kepercayaan kreditor kepada debitor, tidak mungkin timbul hubungan hukum formal yang terwujud dalam suatu perjanjian yang dibuat antara kreditor dan debitor, karena pada dasarnya pemberian kredit oleh kreditor kepada debitor dilakukan karena kreditor percaya bahwa debitor akan mengembalikan pinjaman itu pada waktunya.

Hubungan hukum antara kreditor dan debitor terjadi ketika kedua belah pihak menandatangani perjanjian utang piutang. Dengan ditandatanganinya perjanjian utang piutang maka kedua belah pihak telah menyetujui isi serta maksud perjanjian dan dengan demikian berlaku asas kekuatan mengikat, yaitu terikatnya para pihak pada perjanjian itu tidak semata-mata terbatas pada apa yang diperjanjikan, akan tetapi juga terhadap unsur lain sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatutan serta moral, sehingga asas-asas moral, kepatutan, dan kebiasaan mengikat para pihak. Dalam perjanjian konsensuil, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (untuk       

2

Sutan Remy Sjahdeini, Hak Jaminan Dan Kepailitan, Makalah Pembanding Dalam Seminar Sosialisasi Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia, Jakarta, 2000, hlm. 2.

3

Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan, Memahami Undang-undang Nomor 37 Tahun

(4)

selanjutnya disebut KUH Perdata) menentukan bahwa segera setelah terjadi kesepakatan, maka lahirlah perjanjian, yang pada saat yang bersamaan juga menerbitkan perikatan diantara para pihak yang telah bersepakat dan berjanji tersebut.4

Kreditor dalam memberikan kredit atau fasilitas pembiayaan kepada debitor akan memastikan bahwa kredit atau fasilitas pembiayaan itu dapat dilunasi pada waktunya, baik untuk pokok maupun bunganya. Kreditor harus memperoleh keyakinan bahwa kegiatan usaha atau bisnis debitor tersebut dapat menghasilkan pendapatan yang cukup untuk melunasi kredit atau fasilitas pembiayaan tersebut. Sebelum pendapatan itu dipakai untuk melunasi utang perusahaan, terlebih dahulu pendapatan itu harus dapat menutupi kebutuhan perusahaan dalam rangka pemupukan cadangan perusahaan dan menutupi biaya-biaya perusahaan.

Apabila ternyata perusahaan mengalami kesulitan dalam usahanya sehingga perusahaan tidak memiliki kemampuan untuk menghasilkan pendapatan yang cukup untuk membayar utang-utangnya, maka para kreditor harus memperoleh kepastian bahwa hasil penjualan agunan atau likuidasi atas harta kekayaan perusahaan melalui putusan pailit dari pengadilan dapat diandalkan sebagai sumber pelunasan alternatif.

Untuk menjamin pengembalian kredit yang diberikan, diadakan perjanjian jaminan. Perjanjian pemberian jaminan merupakan perjanjian yang bersifat asesor,

      

4

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Hak Tanggungan, Seri Hukum Harta kekayaan, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008, hlm. 22.

(5)

di mana adanya jaminan ini merupakan perjanjian yang dikaitkan dengan perjanjian pokok, dalam hal ini perjanjian kredit.

Retnowulan Sutantio memberikan pengertian jaminan sebagai berikut: ”Jaminan kredit adalah suatu jaminan baik berupa benda atau orang yang diberikan oleh debitor kepada kreditor, yang diperlukan untuk menjamin agar kreditor tidak dirugikan, apabila debitor ingkar janji atau tidak mampu mengembalikan pinjamannya tepat waktunya”.5

Kreditor lebih menyukai perjanjian jaminan yang bersifat kebendaan dibandingkan dengan perjanjian jaminan perorangan. Oleh karena perjanjian jaminan kebendaan dengan jelas ditentukan benda tertentu yang diikat dalam perjanjian dan benda tersebut disediakan untuk menjaga terjadinya kredit macet, sehingga hal ini dapat menimbulkan rasa aman kepada kreditor dan lebih memberikan kepastian dengan ditentukan bendanya yang diikat dalam perjanjian sebagai jaminan. Jaminan kebendaan merupakan jaminan yang objeknya terdiri dari benda yang mengandung asas-asas sebagai berikut:

1. Memberikan kedudukan yang didahulukan bagi kreditor pemegang hak jaminan terhadap kreditor lainnya.

2. Bersifat asesor terhadap perjanjian pokok yang dijamin dengan jaminan tersebut.

3. Memberikan hak separatis bagi kreditor pemegang hak jaminan. Artinya benda yang dibebani hak jaminan bukan merupakan harta pailit dalam hal debitor dinyatakan pailit oleh Pengadilan.

4. Merupakan hak kebendaan. Artinya hak jaminan akan selalu melekat di atas benda tersebut (droit de suite) kepada siapapun juga benda tersebut beralih kepemilikannya.

      

5

Retnowulan Sutantio, Beberapa Masalah Yang Berhubungan Dengan Jaminan Kredit, Varia Peradilan, Tahun II Nomor 19, April 1987, hlm. 185.

(6)

5. Kreditor pemegang hak jaminan mempunyai wewenang penuh untuk melakukan eksekusi atas hak jaminannya.

6. Berlaku bagi pihak ketiga, dimana berlaku pula asas publisitas. Artinya hak jaminan tersebut harus didaftarkan.6

Jaminan kebendaan dalam jaminan kredit merupakan upaya guna memperkecil resiko. ”Jaminan adalah sarana perlindungan bagi keamanan kreditor yaitu kepastian hukum akan pelunasan utang debitor atau pelaksanaan suatu prestasi oleh debitor atau oleh penjamin debitor”.7 Salah satu perlindungan hukum yang diberikan oleh undang-undang kepada kreditor pemegang hak jaminan untuk mengambil pelunasan atau piutangnya terhadap debitor yang cidera janji adalah kreditor pemegang hak kebendaan dapat menuntut haknya dengan cara menjual barang milik debitor tersebut serta mengambil pelunasan dari penjualan tersebut.

Untuk definisi tentang jaminan dalam KUH Perdata ternyata tidak dirumuskan secara tegas, KUH Perdata hanya memberikan perumusan jaminan secara umum yang diatur dalam pasal 1131 KUH Perdata, yang mengatakan segala kebendaan seseorang baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan. Berdasarkan Pasal 1131 KUH Perdata dapat diketahui bahwa hak untuk didahulukan di antara orang-orang berpiutang terbit dari hak istimewa, dari hak gadai dan dari hak hipotik. Berkaitan dengan Pasal 1131 KUH Perdata, Djuhaendah Hasan menyatakan bahwa :

      

6

Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan, Op. Cit, hlm. 281. 7

(7)

Ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata merupakan jaminan secara umum atau jaminan yang timbul atau lahir dari undang-undang. Di sini undang-undang memberikan perlindungan bagi semua kreditor dalam kedudukan yang sama atau di sini berlaku asas paritas creditorum, dimana pembayaran atau pelunasan utang kepada para kreditor hanya berkedudukan sebagai kreditor konkuren bersaing dalam pemenuhan piutangnya kecuali apabila ada alasan yang memberikan kedudukan preferen (droit de preference) kepada para kreditor tersebut.8

Perkembangan perekonomian global membutuhkan aturan hukum kepailitan yang mampu memenuhi kebutuhan hukum para pelaku bisnis dalam penyelesaian utang piutang mereka. Globalisasi hukum mengikuti globalisasi ekonomi, dalam arti substansi berbagai undang-undang dan perjanjian-perjanjian menyebar melewati batas-batas negara. “Hubungan antara sektor ekonomi dengan sektor hukum tidak hanya berupa pengaturan hukum terhadap aktivitas perekonomian melainkan juga bagaimana pengaruh sektor ekonomi terhadap hukum.”9Perjanjian jaminan kebendaan memberikan kedudukan yang istimewa kepada para kreditor yang memiliki hak preferen yaitu hak untuk didahulukan dari pada kreditor lainnya dalam pengambilan pelunasan piutang dari benda yang menjadi objek jaminan. Hak istimewa menurut Pasal 1134 KUH Perdata adalah hak yang oleh undang-undang diberikan kepada seorang berpiutang sehingga tingkatannya lebih tinggi dari orang berpiutang lainnya.

      

8

Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain yang

Melekat pada Tanah dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horizontal, PT. Citra Aditya Bakti,

Bandung, 1996, hlm. 234. 9

Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Jakarta, Toko Gunung Agung Tbk., 2002, hlm. 70.

(8)

Tingkat kedudukan kreditor berdasarkan pelunasan piutangnya dari debitor dapat dikatagorikan, sebagai berikut :

1. Kreditor Preferen (istimewa atau privilege) yang terdiri atas : a. Kreditor preferen karena undang-undang,

Yaitu kreditor yang oleh undang-undang diberi tingkatan yang lebih tinggi dari pada kreditor lainnya semata-mata berdasarkan sifat piutang yang diatur dalam Pasal 1139 KUH Perdata dan Pasal 1149 KUH Perdata.

b. Kreditor separatis (secured creditor),

Yaitu kreditor yang tidak terkena akibat kepailitan, artinya para kreditor separatis tetap dapat melaksanakan hak-hak eksekusinya meskipun debitornya dinyatakan pailit.

2. Kreditor Konkuren (unsecured creditor)

Yang disebut juga kreditor bersaing, karena tidak memiliki jaminan secara khusus dan tidak memiliki hak istimewa, sehingga kedudukannya sama dengan kreditor tanpa jaminan lainnya berdasarkan asas paritas creditorium.

Jaminan kebendaan yang dapat diikat Hak Tanggungan yang diatur didalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, agar kedudukan kreditor sebagai pemegang jaminan menjadi kuat secara yuridis, maka atas jaminan yang diperoleh kreditor harus dilakukan pengikatan dengan cara pembebanan Hak Tanggungan yang kemudian didaftarkan ke Kantor Badan Pertanahan Nasional setempat di mana objek agunan tersebut berada. Dengan pembebanan Hak Tanggungan tersebut, maka

(9)

Lembaga Hak Tanggungan telah memberikan kedudukan yang didahulukan kepada kreditor pemegang hak jaminan (droit de preference), yaitu kepada kreditornya sebagaimana tercantum dalam kalimat terakhir Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Hak Tanggungan, yaitu :

”...memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.”

Dalam hukum jaminan Indonesia kreditor pemegang hak jaminan kebendaan yang berkedudukan sebagai kreditor separatis adalah atas Hak Tanggungan, hipotik, gadai dan fidusia. Dengan demikian, kreditor pemegang hak jaminan mempunyai hak separatis. Hak separatis juga terdapat pada gadai, hipotik dan jaminan fidusia yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999.

Hak separatis yang dimiliki pemegang hak jaminan tersebut (kreditor separatis) memiliki kedudukan untuk dapat mengeksekusi barang jaminan yang dimilikinya. Kreditor separatis tidak boleh dihalangi haknya untuk melakukan eksekusi atas hak jaminannya atas harta kekayaan debitor yang dibebani dengan hak jaminan tersebut. Kreditor separatis memiliki hak didahulukan untuk mengeksekusi barang jaminan yang diikat dengan Hak Tanggungan sebagai pelunasan utang apabila debitor cedera janji (wanprestasi) sebagaimana tercantum pada Pasal 6 Undang-Undang Hak Tangggungan :

Apabila debitor cedera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan

(10)

sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut.

Pasal tersebut memberikan hak bagi pemegang Hak Tanggungan untuk melakukan parate eksekusi. Artinya pemegang Hak Tanggungan tidak perlu memperoleh persetujuan dari pemberi Hak Tanggungan, tetapi juga tidak perlu meminta penetapan dari pengadilan setempat apabila akan melakukan eksekusi atas Hak Tanggungan yang menjadi jaminan utang debitor dalam hal debitor cedera janji.

Ketentuan Pasal 21 Undang-Undang Hak Tanggungan juga disebutkan bahwa dalam peristiwa kepailitan dari pemegang Hak Tanggungan tetap berwenang untuk melaksanakan segala hak yang dipunyainya berdasarkan UUHT. Kreditor dapat melaksanakan haknya berdasarkan UUHT seakan-akan tidak ada kepailitan atau seakan akan tagihan kreditor ada di luar kepailitan, di luar sitaan umum. Berarti bahwa sesuai hal tersebut maka putusan pernyataan pailit oleh hakim tidak mempunyai pengaruh terhadap pemegang Hak Tanggungan. Dengan tetap memperhatikan ketentuan Pasal 55 ayat 1 Undang-Undang Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUKPKPU) tersebut, maka setiap kreditor yang memegang Hak Tanggungan dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan.

Dalam Pasal 1 ayat (1) UUHT disebutkan pengertian Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan

(11)

tanah itu untuk pelunasan utang tertentu, memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.

Keistimewaan hukum kreditor pemegang Hak Tanggungan juga dijamin melalui ketentuan pasal 21 UUHT, apabila pemberi Hak Tanggungan dinyatakan pailit, kreditor tetap berwenang melakukan segala hal yang diperolehnya menurut UUHT. Objek Hak Tanggungan tidak termasuk dalam budel kepailitan pemberi Hak Tanggungan, sebelum pemegang Hak Tanggungan mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan objek Hak Tanggungan. Budel adalah harta kekayaan yang belum dibagi.

Peristiwa kepailitan dari pemberi Hak Tanggungan, pemegang Hak Tanggungan tetap berwenang untuk melaksanakan segala hak dipunyainya berdasarkan UUHT. Kreditor dapat melaksanakan hak-haknya berdasarkan UUHT seakan-akan tidak ada kepailitan atau seakan-akan tagihan kreditor ada di luar kepailitan, diluar sitaan umum. “Karenanya kreditor seperti itu disebut kreditor separatis”.10

Perkara permohonan kepailitan adalah perkara yang diajukan pada Pengadilan Niaga. Apabila permohonan diterima oleh Pengadilan maka akan ditetapkan siapa Hakim pengawas yang bertugas untuk mengawasi pengurusan dan pemberesan harta pailit serta untuk mengeluarkan ketetapan yang diperlukan dalam proses pasca kepailitan. Juga ditetapkannya seorang kurator untuk melaksanakan pemberesan harta       

10

J. Satrio. Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan, Buku 2, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998), hlm. 284.

(12)

pailit termasuk menuntut penyerahan objek Hak Tanggungan untuk dijual di muka umum/lelang dengan seijin Hakim Pengawas apabila kreditor separatis tidak dapat melaksanakan eksekusi terhadap objek Hak Tanggungan tersebut melalui penjualan lelang di muka umum atau lelang dalam jangka waktu 2 (dua) bulan terhitung sejak dinyatakannya harta pailit telah insolven atau setelah masa penangguhan 90 (sembilan puluh) hari. “Setelah upaya hukum tidak ada lagi di mana budel pailit harus dijual untuk membayar utang kepada kreditor, fase insolven adalah fase paling akhir dimana harta pailit harus dijual.”11

Saat ini dunia usaha di Indonesia sudah berskala Internasional, modal para pengusaha berasal dari berbagai sumber, sebahagian besar dari bank-bank swasta dalam dan luar negeri, sehingga peraturan kepailitan mutlak harus disesuaikan dengan keadaan tersebut.12 Perkembangan perekonomian global membutuhkan aturan hukum kepailitan yang mampu memenuhi kebutuhan hukum para pelaku bisnis dalam penyelesaian utang piutang mereka. Globalisasi hukum mengikuti globalisasi ekonomi, dalam arti substansi berbagai undang-undang dan perjanjian-perjanjian menyebar melewati batas-batas negara. “Hubungan antara sektor ekonomi dengan sektor hukum tidak hanya berupa pengaturan hukum terhadap aktivitas perekonomian melainkan juga bagaimana pengaruh sektor ekonomi terhadap hukum.”13

      

11

Hasil Wawancara dengan Sunarmi, Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara pada tanggal 8 Juli 2010.

12

Sunarmi, Prinsip Keseimbangan Dalam Hukum Kepailitan Di Indonesia, edisi 2, PT. Sofmadia, Jakarta, hlm. 5.

13

Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Jakarta, Toko Gunung Agung Tbk., 2002, hlm. 70.

(13)

Pembangunan nasional bertujuan mewujudkan masyarakat adil dan makmur, secara materil dan spiritual, serta merupakan upaya yang berkesinambungan. Dalam rangka memelihara dan meneruskan pembangunan nasional yang berkesinambungan tersebut diperlukan pembangunan dalam bidang hukum. Sejalan dengan hal tersebut, Mochtar Kusumaatmadja berpendapat bahwa ”Hukum merupakan sarana pembaharuan masyarakat yang didasarkan atas anggapan bahwa adanya keteraturan atau ketertiban dan kepastian hukum dalam usaha pembangunan atau pembaharuan merupakan suatu yang diinginkan atau bahkan dipandang (mutlak) perlu”.14

Latar belakang dilakukannya penyempurnaan Faillissement verordening, Pemerintah dalam hal ini memberikan 2 (dua) alasan utama :15

Pertama, adanya kebutuhan yang besar dan sifatnya mendesak untuk secepatnya mewujudkan sarana hukum bagi penyelesaian yang cepat, adil dan terbuka, dan efektif guna menyelesaikan utang piutang perusahaan yang besar pengaruhnya terhadap perekonomian Nasional. Kedua, dalam kerangka penyelesaian akibat-akibat gejolak moneter yang terjadi sejak pertengahan tahun 1997, khususnya terhadap masalah utang piutang di kalangan dunia usaha nasional, penyelesaian yang cepat mengenai masalah ini akan sangat membantu mengatasi situasi yang tidak menentu di bidang perekonomian.

Pada saat terjadinya krisis moneter tahun 1998, Peraturan mengenai kepailitan yang ada adalah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Undang-Undang Kepailitan, dirasakan sebagian besar materinya tidak sesuai dengan perkembangan       

14

Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Masyarakat Dan Pembinaan Hukum Nasional, Bina Cipta, Bandung, 1986, hlm. 13.

15

(14)

dan kebutuhan hukum masyarakat karena sudah tidak mampu lagi memenuhi tuntutan perkembangan yang terjadi di bidang perekonomian terutama dalam menyelesaikan masalah utang piutang, untuk itu perlu dilakukan perubahan dan penyempurnaan terhadap peraturan perundangan-undangan. Kemudian Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 tentang Undang Kepailitan (UUK) disempurnakan menjadi Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUKPKPU). ”Penyempurnaan hukum kepailitan hanyalah satu upaya pemerintah di samping pengembangan kebijakan lain yang harus diperhitungkan dalam mengkaji upaya pemulihan perekonomian nasional”.16

Sehubungan dengan kondisi debitor yang insolven, maka baik debitor maupun kreditor dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit melalui Pengadilan Niaga sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku pada UUKPKPU. Secara umum dalam hukum kepailitan, debitor baru dapat dinyatakan pailit apabila debitor tersebut berada dalam keadaan insolven (tidak mampu membayar). Persyaratan ini karena didasarkan karena adanya krisis finasial yang dialami debitor (liquidity crisis) untuk membayar seluruh utang-utangnya dan dengan adanya keadaan tersebut kepentingan kreditor secara keseluruhan harus dilindungi.

Insolvensi diartikan sebagai keadaan berhenti membayar namun dalam hal ini tidak dijelaskan secara terperinci apabila keadaan tersebut karena keadaan ketidak

      

16

(15)

mampuan membayar atau disebabkan alasan tertentu. Menurut Friedman, insolvensi (insolvency) diartikan sebagai :17

a. Ketidaksanggupan untuk memenuhi kewajiban finansial ketika jatuh waktu seperti layaknya dalam bisnis, atau

b. Kelebihan kewajiban dibandingkan dengan asset dalam waktu tertentu. Untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit tersebut, baik debitor maupun kreditor harus memenuhi terlebih dahulu persyaratan-persyaratan yang menjadi unsur-unsur pengajuan permohonan kepailitan yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UUKPKPU, yaitu:

Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya.

Unsur-unsur kepailitan tersebut merupakan persyaratan yang sangat pokok dan mendasar sebagai dasar hukum dalam mengajukan permohonan pernyataan pailit, oleh karena itu dalam menyelesaikan perkara kepailitan, para praktisi hukum, khususnya hakim dalam memeriksa dan memutuskan suatu perkara tidak boleh mengesampingkan unsur-unsur kepailitan tersebut.

Apabila debitor terbukti telah memenuhi unsur-unsur yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UUKPKPU tersebut, maka hakim Pengadilan Niaga dapat memberikan       

17

Munir Fuady, Hukum Pailit Dalam Teori dan Praktek, Edisi Revisi, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hlm. 135.

(16)

putusan pernyataan pailit kepada debitor. Penyelesaian utang-piutang terhadap kreditor pemegang hak jaminan tersebut di dalam ketentuan UUKPKPU Pasal 55 ayat (1), menyebutkan bahwa ”setiap kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, Hak Tanggungan, hipotik atau hak agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan”.

Hak eksekusi kreditor sebagaimana dimaksud dalam ketentuan tersebut dan hak pihak ketiga untuk menuntut haknya yang berada dalam penguasaan debitor pailit atau kurator ditangguhkan karena UUKPKPU menganut ketentuan mengenai berlakunya keadaan diam, dengan kata lain memberlakukan atau standstill, sejak pernyataan pailit diputuskan di Pengadilan. UUKPKPU memungkinkan adanya masa penundaan hak eksekusi (standstill), termasuk hak pihak ketiga atas hartanya yang ada pada debitor untuk jangka waktu 90 (sembilan puluh) hari sejak penetapan pailit sebagaimana diatur dalam Pasal 56 ayat (1) UUKPKPU, yakni :

Hak eksekusi kreditor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) UUKPKPU dan pihak ketiga untuk menuntut hartanya yang berada dalam penguasaan debitor pailit atau kurator, ditangguhkan untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan.

”Selama berlangsungnya keadaan diam (standstill), debitor tidak diperbolehkan untuk melakukan negosiasi dengan kreditor tertentu, tidak boleh melunasi sebagian atau seluruh utangnya terhadap kreditor tertentu saja. Selama masa

(17)

itu debitor tidak pula diperkenankan untuk memperoleh pinjaman baru”.18 Dengan adanya ketentuan, bahwa keadaan diam diberlakukan dengan jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari setelah putusan pernyataan pailit diucapkan, maka dalam masa ini debitor dapat saja melakukan tindakan-tindakan yang dapat merugikan kreditor terhadap barang-barang jaminan pada saat keadaan diam diberlakukan, karena dalam masa ini terdapat jangka waktu yang dapat dipergunakan oleh debitor untuk melakukan tindakan curang kepada para kreditornya.

Apabila perbuatan hukum yang merugikan kreditor dilakukan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan, sedangkan perbuatan tersebut tidak wajib dilakukan debitor kecuali dapat dibuktikan sebaliknya, debitor dan pihak dengan siapa perbuatan tersebut dilakukan dianggap mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi kreditor. Dalam Pasal 41 ayat 1 UUKPKPU menyatakan :

Untuk kepentingan harta pailit kepada Pengadilan dapat diminta pembatalan segala perbuatan hukum debitor yang telah dinyatakan pailit yang merugikan kepentingan kreditor, yang dilakukan sebelum putusan pailit diucapkan.

Adanya penangguhan selama 90 (sembilan puluh) hari setelah debitor dinyatakan pailit dan apabila jangka waktu 90 (sembilan puluh) hari tersebut telah lewat maka hak eksekusi kreditor pemegang hak jaminan dihidupkan kembali untuk jangka waktu 2 (dua) bulan sejak dimulainya keadaan insolven atau harta kekayaan       

18

(18)

debitor berada dalam keadaan tidak mampu membayar. Lewatnya jangka waktu dihidupkannya kembali hak kreditor untuk mengeksekusi agunan menyebabkan dapat menuntut diserahkannya barang yang menjadi agunan untuk selanjutnya dijual dimuka umum dengan mendapat ijin dari Hakim Pengawas, tanpa mengurangi hak pemegang hak tersebut untuk memperoleh hasil penjualan agunan tersebut.

UUKPKPU ternyata tidak menjunjung tinggi hak separatis dari para kreditor pemegang hak jaminan, ketentuan yang diberikan oleh UUKPKPU tersebut bukan saja menegaskan dan memperjelaskan sikap UUKPKPU yang tidak mengakui hak separatis dan dari kreditor pemegang hak jaminan, karena memasukkan benda-benda yang dibebani hak jaminan sebagai harta pailit, dan juga tidak mengakui hak kreditor pemegang hak jaminan untuk dapat mengeksekusi sendiri hak jaminannya yaitu dengan cara menjual benda-benda yang telah dibebani hak jaminan itu setelah debitor cidera janji.

Sesungguhnya lembaga hak jaminan haruslah dihormati oleh UUKPKPU karena pemegang hak jaminan mempunyai hak separatis yaitu hak yang diberikan oleh hukum kepada kreditor pamegang hak jaminan berhak untuk melakukan eksekusi berdasarkan kekuasaannya sendiri. Sehubungan dengan berlakunya hak separatis tersebut maka pemegang hak jaminan tidak boleh dihalangi haknya untuk melakukan eksekusi hak jaminannya atas harta kekayaan debitor yang dibebani dengan hak jaminan itu. ”Adanya hak jaminan dan pengakuan hak separatis dalam

(19)

proses kepailitan merupakan sendi-sendi yang penting sekali dari sistem perkreditan suatu negara”.19

Melihat hal-hal tersebut di atas maka akan timbul masalah yang akan dihadapi oleh kreditor separatis yang kedudukannya secara tegas telah dijamin oleh UUHT sebagai kreditor yang dapat melaksanakan eksekusi terhadap objek Hak Tanggungan berdasarkan kekuasaannya sendiri tanpa memerlukan ijin dari pengadilan. Akan tetapi dalam kepailitan hak tersebut telah ditangguhkan untuk jangka waktu 90 (sembilan puluh) hari, dan apabila selama 90 (sembilan puluh) hari tersebut harta pailit dalam keadaan insolven artinya bahwa kreditor separatis tidak dapat menjual objek hak jaminan atas kekuasaan sendiri, karena masa penangguhan adalah masa untuk berhenti secara otomatis untuk kreditor tidak melakukan eksekusi terhadap objek Hak Tanggungan. Dalam hal ini kreditor separatis akan kehilangan haknya untuk mengeksekusi sendiri objek Hak Tanggungan yang menjadi jaminan utang si debitor pailit sampai masa standstill/penangguhan berakhir.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di dalam latar belakang penelitian di atas, terdapat beberapa pokok-pokok permasalahan yang dapat didefenisikan untuk diteliti dan dapat dirumuskan, sebagai berikut :

1. Bagaimana keadaan diam (standstill) diatur dalam hukum kepailitan Indonesia?

      

19

(20)

2. Bagaimanakah pelaksanaan keadaan diam (standstill) dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit di Balai Harta Peninggalan Medan?

3. Apakah peraturan tentang keadaan diam (standstill) dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 telah memberikan perlindungan hukum bagi kreditor separatis?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui sejauh mana keadaan diam (standstill) diatur dalam hukum kepailitan di Indonesia.

2. Untuk mengetahui pelaksanaan keadaan diam (standstill) dalam pengurusan dan pemberesan harta paillit di Balai Harta Peninggalan Medan.

3. Untuk mengetahui peraturan tentang keadaan diam (standstill) dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 apakah telah memberikan perlindungan hukum kepada kreditor separatis.

D. Manfaat Penelitian

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, maka diharapkan penelitian ini akan memberikan kegunaan bagi berbagai pihak yang berkepentingan.

(21)

1. Secara teoritis, kegunaan penelitian ini dapat berupa :

a. Membantu akan memberi masukan dan telaahan bagi perkembangan ilmu hukum, khususnya dalam aktivitas hukum kepailitan.

b. Memberikan masukan kepada pihak yang terkait, pada saat keadaan diam dalam proses kepailitan, yang berkaitan dengan perlindungan kreditor.

2. Secara praktis, kegunaan penelitian ini berupa :

a. Dipergunakan sebagai kerangka acuan oleh para praktisi hukum dalam menyelesaikan kasus hukum perlindungan kreditor.

b. Dapat dipergunakan sebagai acuan bagi pengambil keputusan yang berhubungan dengan kepailitan di Pengadilan Niaga agar tidak menyimpang

dari sistem hukum di Indonesia sehingga dapat diterapkan terhadap kenyataan yang terjadi di dalam masyarakat serta demi terciptanya kepastian hukum.

E. Keaslian Penelitian

Sepanjang yang diketahui dan berdasarkan informasi maupun data yang ada dan penelusuran pendahuluan yang dilakukan pada kepustakaan khususnya pada Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara terhadap judul ini belum ada dilakukan penelitian sebelumnya. Namun ada beberapa judul yang membahas mengenai hukum kepaillitan.

(22)

Adapun Judul-judul penelitian terdahulu yang membahas tentang hukum kepailitan antara lain :

1. Kedudukan Kreditor Separatis Dalam Perkara Kepailitan oleh Elyta Ras Ginting, NIM 992105040.

2. Kedudukan Kreditor Separatis Ditinjau Dari Undang-Undang Kepailitan Dikaitkan Dengan Undang-Undang Hak Tanggungan oleh Herlina Sihombing NIM 047011029.

3. Efektivitas Perlindungan Hukum Terhadap Para Kreditor Dalam Hukum Kepailitan oleh Zulfikar NIM 077011075.

Pembahasan ataupun penulisan tesis ini dengan judul ”PERLINDUNGAN

HUKUM BAGI KREDITOR SEPARATIS TERHADAP TINDAKAN-TINDAKAN DALAM PERIODE KEADAAN DIAM (STANDSTILL) DALAM KEPAILITAN”, belum pernah dilakukan oleh para peneliti sebelumnya dan dengan

demikian penelitian yang diajukan ini adalah asli dan aktual maka penelitian ini dapat dipertanggung jawabkan secara akademis.

(23)

F. Kerangka Teori Dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

”Kontinuitas perkembangan ilmu hukum, selain bergantung pada metodologi, aktivitas penelitian dan imajinasi sosial sangat ditentukan oleh teori”.20 Kerangka Teori yang dimaksud adalah ”suatu kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan yang dijadikan bahan perbandingan, pegangan teoritis, yang mungkin disetujui ataupun tidak disetujui yang dijadikan masukan dalam membuat kerangka berpikir dalam penulisan”.21

Fungsi teori dalam penelitian tesis ini adalah ”untuk memberikan arahan/petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang diamati”.22 Teori yang menjadi pedoman dalam penulisan tesis ini adalah teori keadilan, di mana teori keadilan tersebut untuk melindungi kreditor separatis dalam perkara kepailitan yang dikaitkan dengan UUKPKPU.

Berkaitan dengan hal tersebut, maka UUKPKPU harus sejalan dengan tujuan pembangunan hukum, yaitu dapat melindungi kreditor. Hal tersebut sebagaimana teori etis yang dikemukakan oleh Aristoteles tentang tujuan hukum, yang dikutip dari Van Apeldoorn bahwa hukum semata-mata bertujuan untuk mewujudkan keadilan23.       

20

Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia UI-Press, Jakarta, 1986, hlm. 6.

21

M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, hlm. 80. 22

Snelbecker dalam Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993, hlm. 35.

23

(24)

Tujuannya adalah memberikan tiap-tiap orang apa yang patut diterimanya. Keadilan tidak boleh dipandang sebagai penyamarataan. ”Keadilan bukan berarti bahwa tiap-tiap orang memperoleh bagian yang sama”.24 Hukum yang tidak adil dan tidak dapat diterima akal, yang bertentangan dengan norma alam, tidak dapat disebut sebagai hukum, tetapi hukum yang menyimpang.

Keadilan yang demikian ini dinamakan keadilan distributif, yaitu keadilan yang memberikan kepada tiap-tiap orang jatah menurut jasanya. Ia tidak menuntut supaya tiap-tiap orang mendapat bagian yang sama banyaknya, bukan persamaan melainkan sesuai/sebanding. Keadilan tersebut harus memberikan kepastian hukum dan untuk mencapainya harus memiliki itikad baik karena salah satu tujuan hukum bertugas menjamin adanya kepastian hukum dalam pergaulan manusia, karena meniadakan keadilan berarti menyamakan hukum dengan kekuasaan.

Asas keadilan dan kepastian hukum harus mendapatkan perlindungan karena perjanjian tersebut sifatnya mengikat kepada para pihak yang mengadakan perikatan. Hal tersebut sebagaimana ajaran Hugo De Groot, yang dikutip dari Mariam Darus Badrulzaman, mengemukakan bahwa ”asas hukum alam menentukan janji itu mengikat (pacta sunt servanda)”.25

Kaidah kesamaan perlindungan dalam kepailitan dibuat guna melaksanakan dua tugas yang sangat berlainan. ”Misinya yang paling sempit adalah mendesakkan       

24 Ibid. 25

Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan , Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm. 10.

(25)

suatu kebutuhan akan generalitas hukum atas nama persetujuan terbatas perlindungan individual. Kebutuhan paling sederhana yang diberlakukan dapat terpuasi dengan setiap generalitas terpercaya dalam kategori yang digunakan hukum”. 26

Suatu hubungan hukum dalam lalu lintas hukum khususnya hukum perjanjian setidak-tidaknya melibatkan 2 (dua) pihak yang terikat oleh hubungan tersebut, yaitu kreditor dan debitor. ”Masing-masing pihak mempunyai hak dan kewajiban yang lahir dari hubungan hukum itu berupa prestasi dan kontra prestasi yang dapat berbentuk memberi, berbuat, dan tidak berbuat sesuatu”.27 Sumber munculnya hak dan kewajiban antara kreditor dan debitornya tersebut adalah adanya perikatan sebagaimana pasal 1233 KUH Perdata, yang berbunyi : ”Tiap-tiap perikatan dilahirkan, baik karena persetujuan, baik karena Undang-Undang”.

Dari pasal tersebut suatu perjanjian yang mengikat para pihak (kreditor dan debitor) yang mempunyai kebiasaan untuk mengadakan segala jenis perikatan asal tidak bertentangan dengan Pasal 1337 KUH Perdata, yaitu:

1. Tidak dilarang oleh undang-undang; 2. Tidak berlawanan dengan kesusilaan; 3. Tidak mengganggu ketertiban umum.

      

26

 Unger, Roberto Mangabeira, Gerakan Studi Hukum Kritis, Jakarta: Lembaga Studi Advokasi  Masyarakat, 1999, hlm. 54. 

27

Zainal Asikin, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewjiban Pembayaran di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000, hlm. 23.

(26)

UUKPKPU memberikan defenisi kreditor, debitor, dan utang yang tidak terdapat dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 Tentang Kepailitan yang selama ini menimbulkan berbagai interprestasi. Kreditor menurut UUKPKPU adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau karena undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan, sedangkan debitor menurut UUKPKPU adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka Pengadilan.

Tujuan kepailitan pada hakekatnya adalah untuk menyelesaikan utang piutang antara debitor kepada lebih dari satu kreditor. Seorang debitor hanya mempunyai satu kreditor dan debitor tidak membayar utangnya, maka seorang kreditor akan menggugat debitor secara perdata ke Pengadilan Negeri yang berwenang tanpa melalui kepailitan dengan alasan wanprestasi dan seluruh harta debitor menjadi sumber pelunasan utangnya kepada kreditor tersebut. Selanjutnya apabila dalam hal debitor memiliki lebih dari satu kreditor tidak cukup untuk membayar lunas semua utang-utangnya, maka para kreditor akan berlomba dengan segala cara baik halal maupun tidak untuk mendapatkan pelunasan utangnya terlebih dahulu.

Bentuk perlindungan bagi kreditor sebagaimana tersebut di atas telah diatur dalam ketentuan UUKPKPU antara lain :

1. Memberikan fasilitas dan prosedur untuk mereka sehingga dapat memenuhi tagihan-tagihannya terhadap debitor;

(27)

2. Menjamin agar pembagian harta kekayaan debitor di antara para kreditor sesuai dengan asas pari passu (membagi secara proporsional harta kekayaan debitor kepada para kreditor konkuren atau unsecured

creditors berdasarkan perimbangan besarnya tagihan masing-masing

kreditor tersebut);

3. Mencegah agar debitor tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat merugikan kepentingan para kreditor;

4. Menghukum pengurus yang karena kesalahannya telah mengakibatkan perusahaan mengalami keadaan keuangan yang buruk sehingga perusahaan mengalami insolvensi dan kemudian dinyatakan pailit oleh pengadilan;

5. Memberikan kesempatan kepada debitor dan para kreditornya untuk berunding dan membuat kesepakatan mengenai restrukturisasi utang-utang debitor.28

Selain itu dalam UUKPKPU juga diatur mengenai bagaimana cara menentukan kebenaran mengenai adanya (eksistensi) suatu piutang (tagihan) seorang kreditor, mengenai sahnya piutang (tagihan) tersebut, mengenai jumlah yang pasti dari piutang (tagihan) tersebut atau bagaimana tata cara melakukan pencocokan/verifikasi.

Kepailitan menurut Siti Soemarti Hartono adalah ”suatu lembaga yang merupakan realisasi dari 2 (dua) asas pokok yang tercantum dalam Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUH Perdata”.29 Menurut Pasal 1131 KUH Perdata semua benda bergerak dan tidak bergerak dari seorang debitor, baik yang sekarang ada maupun       

28

Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan..., Op. Cit, hlm. 45. 29

Siti Soemarti Hartono, Pengantar Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran, Liberty, Yogyakarta, 1981, hlm. 3.

(28)

yang akan diperolehnya menjadi jaminan atas segala perikatannya, sedangkan Pasal 1132 KUH Perdata menyatakan bahwa benda-benda itu menjadi jaminan bagi semua kreditornya secara bersama-sama, hasil penjualan benda-benda itu dibagi secara seimbang menurut perbandingan tagihan-tagihan masing-masing kreditor, kecuali di antara para kreditor terdapat alasan-alasan yang sah untuk didahulukan dari kreditor lain.

Berkaitan dengan ketentuan dan asas yang terkandung dalam Pasal 1131 KUH Perdata, Djuhaendah Hasan menyatakan bahwa: ”Pemegang jaminan fidusia, Hak Tanggungan, hipotek, kreditor preferen atau kreditor dengan hak istimewa adalah kreditor seperti yang diatur dalam Pasal 1139 KUH Perdata.”30 ”Adapun kreditor yang tidak mempunyai keistimewaan sehingga kedudukannya satu sama lain sama”.31

Berkaitan dengan Hukum Kepailitan, Sutan Remy Sjahdeini menyatakan:

Apabila seorang debitor memiliki lebih dari seorang kreditor, lebih-lebih apabila jumlah kreditor itu banyak sekali, dan di antara kreditor- kreditor itu terdapat pula satu atau lebih kreditor yang merupakan kreditor preferen, maka perlu diatur oleh hukum cara membagi hasil penjualan asset debitor di antara para kreditor itu. Cara pembagian itu diatur dalam Hukum Kepailitan (Bankrupcy law atau insolvency law). Pengaturan tersebut diperlukan demi ketertiban dan kepastian.32

      

30

Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebandaan..., Op.Cit, hlm. 234. 31

Iman S. Sastrawidjaya, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, (Bandung: Alumni, 2006), hlm. 127.

32

(29)

Dalam ilmu hukum perdata, seorang pemegang hak jaminan (hak agunan) memiliki hak yang disebut sebagai hak separatis. Hak separatis adalah hak-hak yang diberikan oleh hukum kepada kreditor pemegang hak jaminan bahwa hak jaminan (agunan) yang dibebani dengan hak jaminan tidak termasuk harta pailit, dan kreditor berhak untuk melakukan eksekusi berdasarkan kekuasaannya sendiri yang diberikan oleh undang-undang sebagai perwujudan dari hak kreditor pemegang hak jaminan untuk didahulukan dari pada kreditor lainnya.

Sehubungan dengan berlakunya hak separatis tersebut, maka pemegang hak jaminan tidak boleh dihalangi haknya untuk melakukan eksekusi atas hak jaminannya atas harta kekayaan debitor yang dibebani dengan hak jaminan itu. Dalam UUKPKPU ternyata tidak menjunjung tinggi hak separatis dari para kreditor pemegang hak jaminan sebagaimana dilihat dari diberlakukannya ketentuan Pasal 56 ayat (1) UUKPKPU.

Menurut Sutan Remy Sjahdeini, UUKPKPU ini ternyata tidak konsisten. Di satu pihak ketentuan Pasal 56 ayat (1) UUKPKPU tersebut mengakui hak dari kreditor, tetapi di pihak lain ketentuan Pasal 56 ayat (1) UUKPKPU justru mengingkari hak separatis itu karena menentukan bahwa benda yang dibebani hak jaminan merupakan harta pailit.

Jaminan kebendaan yang dapat diikat Hak Tanggungan tersebut diatur didalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Tanah

(30)

Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah. Agar kedudukan kreditor sebagai pemegang jaminan menjadi kuat secara yuridis, maka untuk memberikan perlindungan kepada kreditor separatis dalam UUHT Pasal 21 ditentukan bahwa : ”Apabila pemberi Hak Tanggungan dinyatakan pailit, pemegang Hak Tanggungan tetap berwewenang melakukan segala hak yang diperolehnya menurut Undang-Undang ini”. ”Di dalam keadaan diam (standstill) hal ini tidak dimungkinkan terhadap harta kekayaan debitor, baik sebagian maupun seluruhnya, dibebani sita. Juga tidak dimungkinkan para pemegang hak jaminan untuk melakukan eksekusi atas hak jaminannya”.33

Sikap UUKPKPU yang tidak menempatkan harta debitor yang telah dibebani dengan hak jaminan di luar harta pailit merupakan sikap yang meruntuhkan sendi-sendi sistem hukum hak jaminan. Hal ini telah membuat Lembaga Hak Jaminan menjadi tidak ada artinya serta membuat konsep dan tujuan Lembaga Hak Jaminan menjadi tidak jelas. ”Padahal menurut Peraturan Kepailitan yang lama

(Faillissements verordening), kreditor separatis dapat melaksanakan haknya

sekalipun tidak ada kepailitan, artinya masa penundaan selama 90 (sembilan puluh) hari tidak ada, artinya hak separatis dari kreditor preferen benar-benar dihormati”.34

Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) UUKPKPU dapat diketahui bahwa syarat seorang debitor dinyatakan pailit adalah apabila debitor tersebut mempunyai dua atau

      

33

Ibid, hlm. 54.

34

(31)

lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Kemudian Pasal 8 ayat (4) UUKPKPU berbunyi :

”Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah terpenuhi.”

Permohonan pernyataaan pailit harus dikabulkan bahkan secara harafiah permohonan pailit tidak dapat ditolak apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit telah terpenuhi. Fakta atau keadaan yang dimaksud adalah fakta bahwa debitor mempunyai 2 (dua) atau lebih kreditor dan fakta bahwa debitor tidak membayar utangnya yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih.

2. Konsepsi

Dalam rangka menjawab permasalahan dalam penelitian ini harus didefinisikan beberapa konsep dasar, agar secara operasional diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan.

Actio Pauliana adalah untuk kepentingan harta pailit, kepada pengadilan

(32)

yang merugikan kepentingan kreditor, yang dilakukan sebelum putusan pailit diucapkan.35

Debitor adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau undang- undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan.36

Debitor Pailit adalah debitor yang sudah dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan.37

Hakim Pengawas adalah hakim yang ditunjuk oleh Pengadilan dalam putusan pailit atau putusan penundaan kewajiban pembayaran utang.38

Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas.39

Kreditor adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undang-undang yang dapat ditagih di muka pengadilan.40

      

35

Pasal 1 ayat (2) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

36

Pasal 1 ayat (3) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

37

Pasal 1 ayat (4) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

38

Pasal 1 ayat (8) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

39

Pasal 1ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran utang.

40 Pasal 1 ayat (2) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

(33)

Kreditor Separatis adalah kreditor yang memegang hak untuk melakukan eksekusi terhadap jaminan.41

Kreditor istimewa adalah kreditor pemegang suatu hak yang diberikan oleh undang-undang sehingga tingkatannya lebih tinggi dari kreditor lainnya, semata-mata berdasarkan sifat piutangnya.42

Kurator adalah Balai Harta Peninggalan atau orang perseorangan yang diangkat oleh Pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta debitor pailit di bawah Pengawasan Hakim Pengawas.43

Pailit adalah keadaan debitor yang tidak mampu lagi membayar utang-utangnya kepada para kreditornya yang dinyatakan pailit oleh Pengadilan yang berwenang untuk itu.44

Pengadilan adalah Pengadilan Niaga dalam lingkup peradilan umum.45

Standstill adalah keadaan diam dari debitor dengan tidak melakukan

perbuatan-perbuatan atau tindakan-tindakan.46

      

41

Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

42

Pasal 1134 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 43

Pasal 1 ayat (5) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

44

Zainal Asikin, Hukum Kepailitan…, Loc.Cit, hlm. 23. 45

Pasal 1 ayat (7) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

46 Pasal 56 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

(34)

Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontijen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang yang wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditor untuk dapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitor.47

G. Metode Penelitian

1. Spesifikasi Penelitian

Penelitian adalah ”usaha atau pekerjaan untuk mencari kembali yang dilakukan dengan suatu metode tertentu dengan cara hati-hati, sistematis serta sempurna terhadap permasalahan, sehingga dapat digunakan untuk menyelesaikan atau menjawab problemnya”.48

Penelitian hukum pada dasarnya merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisisnya, kecuali itu maka juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian yang ditimbulkan di dalam gejala yang bersangkutan.49

      

47

Pasal 1 ayat (6) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

48

Joko P, Subagyo, Metode Penelitian Dalam Teori Dan Praktek (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), hlm. 2.

49

(35)

Berdasarkan judul dan permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini dan supaya dapat memberikan hasil yang bermanfaat maka penelitian ini dilakukan dengan penelitian yang bersifat deskriptif yaitu ”menggambarkan dan menganalisa masalah-masalah yang akan dikemukakan, yang dilakukan dengan cara pendekatan yuridis normatif”.50

”Pendekatan yuridis normatif ini digunakan dengan maksud untuk mengadakan pendekatan terhadap masalah dengan cara melihat dari segi peraturan perundang-undangan yang berlaku, dokumen-dokumen dan berbagai teori”.51 ”Pendekatan yuridis normatif dalam penelitian ini dilakukan dengan cara meneliti sumber-sumber bacaan yang relevan dengan tema penelitian, yang meliputi penelitian terhadap asas-asas hukum”,52 sumber-sumber hukum, peraturan perundang-undangan yang bersifat teoritis ilmiah yang dapat menganalisa permasalahan yang akan dibahas.

      

50

Penelitian hukum normatif adalah penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder, lebih lanjut lihat Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum

Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, hlm. 13.

51

Ronny Hantijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta: Gramedia Indonesia, 1990), hlm. 11.

52

M. Solly Lubis, Pembahasan Undang-Undang Dasar 1945, Alumni, Bandung, 1997, hlm. 89, mengatakan asas-asas hukum adalah dasar kehidupan yang merupakan pengembangan nilai-nilai yang dimasyarakatkan menjadi landasan hubungan-hubungan sesama anggota masyarakat.

(36)

2. Pendekatan Penelitian

Penulisan tesis ini menggunakan pendekatan yuridis normatif yang diartikan sebagai penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum, yaitu meneliti terhadap bahan pustaka atau bahan sekunder. Penelitian ini meliputi penelitian terhadap asas-asas hukum, sumber-sumber hukum, peraturan perundang-undangan, buku-buku dan literatur lain mengenai saat keadaan diam (standstill), mengkaji aspek hukum yang ada, dan dengan peraturan yang ada, bagaimana pelaksanaannya, apakah peraturan tersebut cukup menaungi fenomena yang ada dan atau diperlukan suatu peraturan yang lebih kompleks.

3. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Medan pada Kantor Balai Harta Peninggalan Medan, Jalan Listrik Nomor 10 Medan.

4. Alat Pengumpulan Data

”Dalam penelitian hukum normatif, data yang diperlukan adalah data sekunder”,53 oleh karena itu ”alat pengumpulan data yang dipergunakan di dalam penelitian ini adalah sebagai Library Research (Studi Kepustakaan)”.54

      

53

Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, hlm. 121.

54

Studi Kepustakaan merupakan suatu alat pengumpulan data yang dilakukan melalui data tertulis dengan menggunakan content analysis. Selanjutnya lihat Soerjono Soekanto, Pengantar

(37)

Metode ini dilakukan dengan cara membaca, mempelajari, menafsirkan dan mentransfer dari sumber atau bahan-bahan tertulis sebagai berikut :

1. Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan yang berhubungan dengan peraturan perundang-undangan, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Surat Edaran Mahkamah Agung dan peraturan yang ada kaitannya dengan kepailitan.

2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan-bahan hukum primer yaitu karangan ilmiah, buku-buku referensi dan informasi, kepailitan, penundaan pembayaran utang dan keadaan standstill dari kreditor dan putusan kepailitan yang ada di Balai Harta Peninggalan (BHP) Medan.

3. Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum yang memberi petunjuk dan penjelasan-penjelasan terhadap bahan hukum sekunder, yakni kamus umum, kamus hukum, jurnal, artikel, majalah dan lain sebagainya.

Wawancara (interview), yaitu melakukan wawancara dengan para informan atau nara sumber dari Balai Harta Peninggalan selaku kurator yang ditunjuk oleh pihak pemerintah dan para praktisi serta akademisi yang mengetahui tentang masalah kepailitan, dengan menggunakan pedoman wawancara bebas agar data diperoleh langsung dari sumbernya dan lebih mendalam yaitu dengan :

1. Bapak Amri Marjunin, selaku Mantan Ketua BHP di Medan.

(38)

3. Bapak Syahril Sofyan, selaku Mantan Ketua BHP di Makasar. 4. Bapak Sueb Soeparno, selaku Mantan Ketua BHP di Jakarta. 5. Bapak Mukhlis Adlin, selaku Mantan Ketua BHP di Jakarta. 6. Bapak Thamsir Halik, selaku Sekretaris BHP di Jakarta.

7. Bapak Tan Kamello, selaku Guru Besar Ilmu Hukum di Universitas Sumatera Utara.

8. Ibu Sunarmi, selaku Guru Besar Ilmu Hukum di Universitas Sumatera Utara. 9. Bapak Basril, selaku Legal Division pada PT. Bank Mandiri Medan.

10. Bapak Iwan Setiawan, selaku Legal Division pada PT. Bank CIMB Niaga Medan.

5. Analisa Data

Dalam suatu penelitian sangatlah diperlukan suatu analisis data yang berguna untuk memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti. ”Setelah pengumpulan data dilakukan, baik dengan studi kepustakaan dan dengan wawancara maka data tersebut dianalisa secara kualitatif”55 yakni dengan ”mengadakan pengamatan data-data yang diperoleh dan menghubungkannya dengan ketentuan-ketentuan maupun asas-asas hukum yang terkait dengan permasalahan yang diteliti dengan logika induktif” 56 yaitu berpikir dari hal yang khusus menuju hal yang lebih       

55

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997, hlm. 10.

56 Ibid.

(39)

umum, dengan menggunakan perangkat normatif, yakni interpretasi dan konstruksi hukum dan selanjutnya dianalisis dengan menggunakan cara metode kualitatif sehingga dapat ditarik kesimpulan dengan cara metode deduktif yang menghasilkan suatu kesimpulan yang bersifat umum terhadap permasalahan dan tujuan penelitian.

6. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

Bab I adalah pendahuluan yang terdiri dari latar belakang diadakannya

penelitian ini, kemudian rumusan permasalahan yaitu bagaimana keadaan diam (standstill) diatur dalam hukum kepailitan Indonesia, bagaimanakah pelaksanaan keadaan diam (standstill) dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit di Balai Harta Peninggalan Medan, apakah peraturan tentang keadaan diam (standstill) dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 telah memberikan perlindungan hukum bagi kreditor separatis. Selanjutnya diikuti dengan tujuan penelitian, manfaat penelitian, keaslian penelitian. Kemudian kerangka teori dan kerangka konsepsional yang terdiri dari pengertian standstill, kreditor separatis, kepailitan dan kurator. Dan yang terakhir dari bab ini adalah metode penelitian yang terdiri dari spesifikasi penelitian, lokasi penelitian, sumber data, alat pengumpulan data dan analisis data.

Bab II memberikan penjelasan tentang keadaan diam (standstill) diatur

(40)

Bab III memberikan analisis mengenai pelaksanaan keadaan diam (standstill)

dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit di Balai Harta Peninggalan Medan.

Bab IV memberikan penjelasan tentang peraturan tentang keadaan diam

(standstill) dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 telah memberikan perlindungan hukum bagi kreditor separatis

Bab V merupakan kesimpulan dan saran dari hasil penelitian ini yang terdiri

dari kesimpulan yang merupakan jawaban atas permasalahan yang merupakan topik pembahasan dalam penelitian ini, dan saran yang merupakan sumbang saran atas penelitian ini.

Referensi

Dokumen terkait

1.. pikiran, pendapat dan keinginannya. Melalui komunikasi yang baik anatara orang tua dengan anak dapat membentuk watak yang baik. Komunikasi yang harmonis antara orang tua dan

Temuan yang diperoleh tersebut sejalan dengan Temuan yang diperoleh didalam tahapan pengujian hipotesis konsisten dengan penelitian Siregar (2012) mengungkapkan

Project Based Learning adalah kegiatan pembelajaran yang dilakukan dengan memberikan proyek dalam bentuk tantangan atau permasalahan sehingga mengharuskan anak untuk

Memberikan pembebasan dan pelunasan tanggung jawab sepenuhnya ( ) kepada Dewan Komisaris dan Direksi Perseroan atas tindakan pengawasan dan pengurusan yang telah dilakukan selama

Berdasarkan data dari luas kebakaran hutan dan lahan pada tahun 2019, jumlah titik panas, dan luas lahan gambut terdapat 7 daerah yang dapat direkomendasikan

Menghitung formulasi pakan dengan menggunakan bahan-bahan baku yang akan digunakan dalam pembuatan pakan dengan target kadar protein pakan adalah 30% (untuk ikan

Kebiasaan mahasiswa menilai atau memandang suatu situasi baik atau buruk dalam penyelesaian skripsinya, dalam aktivitasnya sehari-hari yang dilakukan dalam lingkungan kampus

Berdasarkan mekanisme kerjanya, secara umum diuretik dapat dibagi menjadi dua golongan besar yaitu diuretik osmotik yaitu yang bekerja dengan cara menarik air ke urin, tanpa