• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Perubahan sosial dan budaya yang terjadi pada masyarakat adat di Indonesia berkaitan erat dengan hadirnya negara dan pasar dalam kehidupan mereka. Li (2002) menjelaskan hal tersebut dengan istilah keterlibatan politik, ekonomi, dan sosial dalam bentuk pasar, pemerintah, jenis tanaman baru, teknologi, imigran, dan berbagai agenda pembangunan. Perubahan sosial dan budaya masyarakat adat tersebut merupakan bagian dari dinamika pembentukan negara modern, yaitu bagian dari proses penciptaan dan penataan wilayah dan penduduknya. Li (2002) menggunakan istilah teritorialisasi untuk menujukkan proses penataan ini, Indonesia telah melakukan beberapa hal pada masa pasca kolonial (khususnya orde baru), yaitu: 1) penentuan status sebagian besar lahan sebagai hutan, 2) pembangunan perkebunan dan pemukiman transmigrasi, 3) pengaturan pemukiman para migran spontan, dan 4) pemukiman kembali masyarakat terasing.

Penataan yang ditujukan khusus pada masyarakat adat adalah pemukiman kembali masyarakat terasing (terpencil atau terbelakang). Program ini mulai dilaksanakan pada masa orde baru, dikenal dengan program Pemukiman Kembali Masyarakat Terasing (PKMT). Pemerintah orde baru mendefinisikan masyarakat adat sebagai “masyarakat terasing”, yaitu kelompok-kelompok penduduk yang tinggal atau mengembara di daerah-daerah yang jauh secara geografis dan terasing secara sosial dan budaya (Suparlan, 1995; Maunati, 2004). Pemerintah mengasumsikan bahwa kelompok-kelompok semacam ini relatif terbelakang jika dibandingkan dengan orang-orang Indonesia pada umumnya. Cara dan gaya hidup masyarakat adat dipandang sebagai terbelakang dan tak beradab.

Program relokasi ini menunjukkan bahwa negara berusaha untuk mendefinisikan/menentukan gaya dan cara hidup warga negaranya yang hidup lebih terpencil. Pandangan-pandangan tentang modern vs tradisional, maju vs terbelakang, dikedepankan oleh pemerintah untuk membenarkan program relokasi penduduk ini. Geertz (1984) berpendapat bahwa dengan mengedepankan indikator-indikator pertumbuhan ekonomi, pemerintah memandang bahwa the

modernity of tradition adalah solusi, sehingga gaya dan cara hidup (budaya) yang

dijalankan masyarakat adat dapat menjadi penghambat (culture as barrier) pembangunan.

Beberapa studi tentang masyarakat adat menemukan bahwa terdapat berbagai dampak yang dirasakan oleh masyarakat adat dalam program PKMT. Hasil studi pada masyarakat Suku Sakai (Suparlan, 1995), Suku Bajo (Zacot, 2008), Suku Dayak (Maunati, 2004; Dharmawan, 2001), dan Suku Kubu atau Anak Dalam (Syuroh, 2011) mengarah pada kesimpulan bahwa dampak dari program relokasi masyarakat adat adalah: 1) terkikisnya identitas budaya, 2) komodifikasi budaya, 3) konflik agraria, 4) marginalisasi masyarakat adat, 5) lompatan dan gegar budaya, dan 5) perubahan sistem penghidupan.

Program-program pembangunan yang ditujukan pada masyarakat adat dengan sendirinya telah memperkenalkan mereka pada pasar. Proses penataan

(2)

wilayah dan penduduk tidak jarang pula ditujukan untuk mempermudah masuknya investasi-investasi dari pihak swasta. Kehadiran pasar dalam kehidupan masyarakat adat ini, dapat merubah hubungan teknis maupun hubungan sosial dari struktur sosial. Perubahan tersebut menurut Li (2002) tidak jarang telah menyebabkan hilangnya sumber-sumber penghidupan masyarakat lokal.

Salah satu dampak perubahan sosial dan budaya masyarakat adat yang menjadi fokus perhatian adalah perubahan penghidupan (livelihood change). Pentingnya studi perubahan penghidupan sesungguhnya telah disadari lama oleh sosiolog yang menekuni masyarakat pedesaan pada saat PKMT dijalankan, namun dominannya pertimbangan modernisasi-pertumbuhan yang diambil pemerintah, menyebabkan hasil-hasil studi tersebut kurang mendapat tempat dalam pandangan pemerintah. Akhir-akhir ini semakin disadari bahwa terdapat banyak kelemahan jika transformasi sosiokultural masyarakat adat tidak berbasiskan nilai-nilai dan kelembagaan lokal, tidak berorientasi penghidupan lokal yang berkelanjutan, dan mengurangi akses dan hak-hak penghidupan masyarakat terhadap sumber-sumber alam (Suparlan, 1995; Dharmawan, 2007). Realitas ini menunjukkan pentingnya suatu studi mendalam tentang penghidupan-penghidupan lokal yang memiliki kelenturan tinggi dalam menghadapi perubahan kualitas lingkungan dan perubahan sosiokultural, maupun penghidupan yang sangat rentan terhadap perubahan-perubahan tersebut.

Studi yang mengkaitkan penghidupan lokal, lingkungan, dan perubahan sosiokultural banyak dilakukan dalam disiplin ilmu multi dan trans disiplin, dengan pendekatan-pendekatan tertentu. Sosiologi nafkah berkembang dalam sosiologi khususnya sosiologi pedesaan dan ekologi budaya berkembang dalam antropologi lingkungan. Kedua pendekatan ini dipandang dapat memberikan penjelasan sosiologis yang mendalam pada penelitian ini. Konsep yang menjadi penghubung diatara kedua pendekatan ini adalah penghidupan, adaptasi, sosialisasi, tindakan, struktur, dan budaya.

Aktivitas menongkah yang dilakukan oleh Suku Duano di Kabupaten Indragiri Hilir Provinsi Riau merupakan suatu realitas sosial, yang dapat digunakan untuk mempelajari praktek penghidupan lokal dalam konteks perubahan sosial. Pertautan antara human-system atau culture system dengan

nature system atau ecological system pada aktivitas menongkah, sangat terkait erat

dengan upaya pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat lokal dan pengelolaan sumberdaya nafkah yang tersedia, serta perubahan yang terjadi pada human

system dan ecological system tersebut.

Sejauh ini, sumberdaya alam yang dikelola oleh Suku Duano dalam menjalankan aktivitas menongkah adalah Kerang Darah (Anadara granosa) dengan sistem teknologi tradisional. Kerang Darah (Anadara granosa) merupakan sumberdaya alam yang penguasaannya bersifat common, dan pengelolaannya dilakukan oleh masyarakat atau komunitas lokal yang dikukuhkan melalui seperangkat norma-nilai dan tata-aturan. Kelembagaan common pool resources (CPRs) seperti menongkah ini, menurut Dharmawan (2007) dan Twig (2007) selalu dibayangi oleh kerentanan-kerantanan jangka pendek maupun jangka panjang. Kerentanan penghidupan (livelihood vulnerability) tersebut sangat berkait erat dengan tekanan-tekanan terhadap sistem sosial dan sistem ekologi, baik yang bersumber dari faktor manusia maupun non manusia.

(3)

Pola hubungan penguasaan, pemilikan, pemanfaatan, dan penggunaan sumberdaya alam yang berlangsung selama ini, telah membentuk struktur sosial dengan akses yang besar dari Suku Duano terhadap Kerang Darah (Anadara

granosa) di Kabupaten Indragiri Hilir. Salah satu ancaman dari keberlanjutan

aktivitas menongkah adalah dimensi akses masyarakat lokal ini, misalnya jika akses yang besar terbuka atau diberikan pula kepada pengusaha atau negara mengambil alih dan membatasi akses masyarakat pada Kerang Darah (Anadara

granosa). Ancaman lain tentunya berkaitan dengan pemanfaatan yang berlebihan

(overuse) dari sumberdaya ini, baik karena faktor teknologi yang tidak ramah lingkungan maupun tekanan penduduk.

Mempelajari aktivitas menongkah merupakan jalan masuk untuk mempelajari penghidupan Suku Duano pada berbagai aras dan mengamati adaptasi ekologi budaya mereka, yang terdiri dari aspek-aspek populasi, organisasi sosial, environment, dan teknologi (POET). Mempelajari menongkah bertujuan pula untuk memahami ketahanan nafkah Suku Duano atas kerentanan ekologi dan kerentanan sosial yang hadir, serta mempelajari lapisan sosial mana yang paling mampu melakukan penyesuaian dan yang paling rentan. Hal-hal tersebut digunakan sebagai dasar dalam merumuskan permasalahan penelitian ini.

1.2. Perumusan Masalah

Kerisauan sosiolog di IPB (Mazhab Bogor) tentang kerentanan-kerentanan penghidupan (livelihood vulnerability) masyarakat di pedesaan karena menurunnya daya dukung lingkungan (carryng capacity) maupun terbatasnya peluang pekerjaan di luar sektor pertanian, mengarahkan mereka pada keberpihakan atau pembelaan terhadap keberlanjutan penghidupan kelompok masyarakat lapisan bawah (miskin) di pedesaan (Dharmawan, 2007). Kerisauan yang sama sesungguhnya juga dirasakan oleh ilmuwan-ilmuwan transdisiplin seperti ekologi politik, sebagaimana terlihat dari berbagai studi yang mengkaitkan

environmental vulnerability dengan livelihood masyarakat lokal (Forsyth, 2003).

Kerentanan penghidupan yang disebabkan oleh perubahan lingkungan,

dapat ditelusuri dengan menggunakan konsep kerentanan lingkungan

(environmental vulnerability) yang ditawarkan Forsyth (2003), yaitu kerentanan ekologi (ecological vulnerability) dan kerentanan sosial (social vulnerability). Forsyth (2003) menganjurkan untuk menggunakan non-linear model of

environmental causality, dimana kerentanan lingkungan harus dipahami dalam

konteks yang menyatu antara perubahan natural dan perubahan sosial. Kerentanan lingkungan tidak hanya menekankan pada kegentingan lingkungan pada aspek lingkungan bio-fisik (geosentris) atau kegentingan pada aspek lingkungan sosial (antroposentris), tetapi merupakan hybridasi dari dari keduanya. Kerentanan sosial dapat ditelusuri melalui dampak faktor sosial, ekonomi, dan politik, serta faktor alamiah pada keberlanjutan penghidupan masyarakat lokal. Kerentanan ekologi dapat ditelusuri melalui dampak perubahan lingkungan biofisik secara alamiah maupun oleh aktivitas manusia pada kestabilan ekosistem.

Keyakinan akan pentingnya studi tentang penghidupan masyarakat lokal, akhir-akhir ini diperkuat oleh keyakinan bersama berbagai disiplin ilmu, tentang pandangan bahwa lingkungan tidak lagi dapat dimaknai secara terpisah antara

(4)

lingkungan bio-fisik dan lingkungan sosial, serta terdapatnya interrelasi antara permasalahan lingkungan pada lingkup global, regional, dan lokal. Kajian-kajian tentang penguatan jejaring sosial dalam penghidupan pedesaan (Eilenberg & Wadley, 2009), sumber nafkah di luar pertanian (Ozturk I, 2009; Shimelis & Bogale, 2007), biodiversitas dan penghidupan pedesaan (Sallu et al, 2009), perubahan dan keberlanjutan sistem penghidupan (Calkins, 2009), serta studi jangka panjang non farm rural employment (NFRE) mazhab Bogor (Dharmawan, 2007), mengarah pada suatu keyakinan akan pentingnya untuk mencari atau menemukan praktek-praktek baik (good practice) penghidupan pedesaan yang ramah lingkungan (eco friendly) sekaligus memiliki daya lentur yang tinggi dalam menghadapi terpaan sistem ekonomi kapitalisme global.

Studi Febrianis (2008) menunjukkan bahwa terdapat aktivitas nafkah masyarakat pedesaan di Kabupaten Indragiri Hilir yang tetap bertahan ditengah kerentanan-kerentanan penghidupan yang berlangsung. Masyarakat Suku Duano menjalankan aktivitas nafkah berupa mengumpulkan kerang di hamparan lumpur yang sangat luas. Mereka mengembangkan teknik sederhana untuk dapat beraktivitas di atas lumpur, yaitu menggunakan alat luncur yang mereka sebut

tongkah. Aktivitas mengumpulkan kerang dengan tongkah inilah yang sekarang

dikenal sebagai aktivitas menongkah. Tongkah merupakan sebilah papan datar dari kayu alam yang berukuran kurang lebih 40x100 cm. Kerang yang berhasil dikumpulkan selanjutnya digunakan untuk konsumsi rumah tangga dan juga untuk dijual kepada pedagang pengumpul.

Penjelasan sosiologis terhadap aktivitas menongkah jika dikaitkan dengan kerisauan-kerisauan tentang keberlanjutan dan kerentanan penghidupan masyarakat di pedesaan, menjadi menarik dan penting untuk dipelajari. Aktivitas

menongkah dapat dimaknai sebagai suatu mekanisme adaptif, namun dapat pula

dipandang sebagai terbatasnya akses Suku Duano pada sumber-sumber agraria. Sintesis dari dua pandangan ini adalah mekanisme adaptif masyarakat lokal terhadap lingkungan biofisik dipengaruhi pula oleh faktor-faktor dari luar komunitas (negara dan pasar).

Menurut Steward (1955) bahwa mekanisme adaptif yang dijalankan oleh suatu masyarakat terhadap lingkungannnya akan sangat terkait erat dengan budaya yang mereka kembangkan. Masyarakat yang belum jauh berkembang, seperti masyarakat berburu meramu, selalu membangun budaya yang terpusat pada aktivitas subsisten. Mempelajari menongkah tentunya merupakan bagian yang menyatu dengan studi budaya seputar aktivitas subsisten yang dijalankan Suku Duano, sebagaimana yang diutarakan Steward (1955) tersebut. Apakah

menongkah yang dijalankan Suku Duano merupakan sistem penghidupan mereka

atau hanya sekedar organisasi sosial produksi yang sifatnya temporer? Jika memang aktivitas menongkah merupakan sistem penghidupan, mengapa aktivitas ini yang dipilih dan bagaimana mekanisme adaptif yang dikembangkan. Jika aktivitas ini hanya merupakan organisasi sosial produksi temporer, bagaimana Suku Duano memposisikan aktivitas ini pada sistem penghidupan mereka.

Perubahan hubungan timbal balik antara budaya (inti dan non inti), tindakan/perilaku individu, dan lingkungan biofisik atau yang disebut Steward sebagai perubahan ekologi budaya, dan untuk kasus Suku Duano berkorelasi dengan aktivitas negara dan pasar, menjadi penting untuk dipelajari.

(5)

Pertanyaan-pertanyaan seputar, bagaimanakah budaya (inti dan non inti) Suku Duano dibangun, apakah budaya tersebut semakin menguat atau semakin tercerai berai karena hadirnya negara dan pasar? Penting pula mengungkap apakah hubungan teknis dan sosial antara pemerintah, swasta, dan Suku Duano yang terbangun semakin mengukuhkan keberlanjutan sistem penghidupan Suku Duano, atau justru membatasi akses Suku Duano terhadap sumber-sumber penghidupan. Kebijakan-kebijakan budaya yang diambil oleh pemerintah daerah yang berkaitan dengan masyarakat adat (khususnya Suku Duano) menjadi penting pula untuk ditelusuri.

Pendekatan yang bertujuan untuk mempelajari perubahan sosial yang spesifik lokal atau pada bidang kehidupan tertentu dari suatu kelompok kecil masyarakat, menurut Steward (Sztompka, 1994) harus dibedakan dengan pendekatan yang bertujuan mempelajari perubahan sosial masyarakat global sebagai suatu kesatuan. Kelemahan dari pendekatan evolusi multilinier jika diterapkan pada masyarakat seperti Suku Duano adalah faktor organisasi sosial politik dan faktor ideologi, yang dipandang sebagai faktor yang sangat kecil peluangnya dalam mendorong perubahan. Asumsi tersebut menunjukkan bahwa Steward memandang masyarakat berburu-meramu masih jauh dari kehadiran negara dan pasar, sehingga budaya terbentuk lebih dominan karena proses adaptasi pada lingkungan bio-fisik. Perubahan sosial Suku Duano dari tipe masyarakat berburu-meramu menuju masyarakat pra-kapitalis tidak semata merupakan mekanisme adaptif, kehadiran negara dan pasar memainkan peran yang penting pula.

Ekologi budaya dalam pandangan Steward (1955) adalah interaksi antara kultur-kultur spesifik dari suatu masyarakat dengan lingkungannya. Interaksi ini berkaitan dengan proses adaptasi dan sosialisasi. Adaptasi yang menjadi perhatian utama adalah yang berkaitan dengan aktivitas subsisten dan pengaturan ekonomi. Teori ekologi budaya memandang aktivitas subsisten seperti menongkah dapat menjadi jalan masuk untuk memahami budaya Suku Duano secara menyeluruh. Mempelajari menongkah bertujuan untuk mempelajari inti budaya Suku Duano secara utuh, dengan asumsi bahwa budaya Suku Duano berkembang dari aktivitas subsisten. Adaptasi Suku Duano terhadap lingkungan laut berkaitan erat dengan inti budaya (culture core) yang terdiri dari adaptasi teknologi, organisasi sosial, dan aspek-aspek demografi.

Penyesuaian-penyesuaian pada aspek-aspek inti budaya, selanjutnya akan diikuti oleh aspek-aspek non inti budaya (non culture core) yang terdiri dari religi, nilai-nilai bersama, ritual, seni, bahasa, dan adat istiadat. Bagaimana aspek-aspek ini disosialisasikan dari satu generasi ke generasi berikutnya menjadi penting untuk ditelusuri. Penelusuran tentang non culture core dilakukan secara simultan dengan studi culture core, karena keduanya bersifat interrelasi.

Kehadiran negara dan pasar tentunya berimplikasi pula pada aspek struktur sosial, yaitu pada hubungan teknis dan hubugan sosial. Pola interaksi baru terbentuk pada berbagai aras, yaitu interaksi antar individu pada aras mikro dan interaksi yang lebih luas pada aras komunitas. Penyesuaian pada aspek struktur sosial dapat berupa stratifikasi sosial, stratifikasi etnis dan rasial, kepolitikan, pembagian kerja secara seksual, keluarga/kekerabatan, dan pendidikan. Hal-hal

(6)

tersebut menjadi penting pula untuk diungkap secara sistematis dalam penelitian ini.

Kajian yang mengkaitkan perubahan pada aras makro dan tindakan ekonomi juga telah dilakukan oleh beberapa peneliti di Indonesia. Geertz (1963; 1984) mengkaitkan perubahan ekologi, sosiokultural, dan tindakan ekonomi petani Jawa. Selanjutnya Dharmawan (2001) mengkaitkan perubahan sosial ekonomi, strategi nafkah, dan tindakan ekonomi petani di pedesaan Indonesia. Kedua peneliti ini menggunakan analisis multilevel dalam menjelaskan fenomena kehidupan ekonomi petani, tetapi mereka tidak menggunakan pendekatan dalam kerangka NIES, sehinga struktur insentif dan organisasi sosial tidak dilihat terlalu jauh di dalam proses perubahan.

Salah satu aspek terpenting di dalam mempelajari adaptasi yang berkaitan dengan aktivitas penghidupan (ekologi budaya) adalah perilaku/tindakan. Pemahaman terhadap tindakan sosial dalam aktivitas menongkah dapat dilakukan dengan mencari apa yang mendasari tindakan tersebut dan konteks yang melekat padanya. Tindakan dapat ditelusuri dengan melihat aspek kepentingan (interest), emosi (emotions), dan kebiasaan (habits).

Rasionalitas menjadi kunci untuk memahami tindakan ekonomi, selain aspek-aspek emosi dan kebiasaan. Kepentingan apa yang ingin dipenuhi seseorang dalam menjalankan aktivitas nafkah (dapat berupa kepentingan materialistik dan kepentingan idealistik) akan menentukan bentuk rasionalitas yang bermain. Pemetaan tindakan sosial dan rasionalitas yang bermain pada aras individu ini menjadi penting, karena menurut Weber (Kalberg, 1980) bahwa bentuk-bentuk tindakan dan rasionalitas sebagaimana tipe ideal yang telah disusunnya, boleh jadi bervariasi diantara satu tipe masyarakat dengan tipe masyarakat yang lainnya.

Berdasarkan rangkaian pemikiran dan keterkaitan permasalahan yang telah diuraikan tersebut, disusun pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Sejauh apakah terjadi perubahan lingkungan dan budaya bernafkah (livelihood

culture) masyarakat lokal (dalam hal ini Suku Duano), sebagai akibat dari

perubahan struktur sosial?

2. Sejauh mana menongkah menjadi basis sistem penghidupan masyarakat lokal Suku Duano, sebagai akibat dari perubahan lingkungan dan budaya bernafkah? 3. Bagaimana aktivitas menongkah mempertahankan penghidupan dan bagaimana aktivitas ini diposisikan dalam inti budaya dan sistem penghidupan Suku Duano?

4. Bagaimana individu Suku Duano mengorientasikan tindakannya dalam menjalankan aktivitas nafkah?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah disusun, ditetapkan tujuan penelitian sebagai berikut:

1. Menjelaskan secara mendalam latar sosio-historis dan sosio-ekologis adaptasi Suku Duano pada lingkungan bio-fisik.

(7)

2. Menganalisis perubahan lingkungan dan budaya bernafkah Suku Duano sebagai akibat dari perubahan struktur sosial.

3. Menganalisis perubahan sistem penghidupan, peran ekonomi menongkah, dan keberlanjutan nafkah Suku Duano.

4. Membuat suatu analogi teoritis tentang perubahan orientasi tindakan ekonomi dan pembentukan rasionalitas aktor dalam aktivitas menongkah.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Implementasi UU Nomor 17 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji tergambar dalam konsep urut kacang atau first come first served yakni

 Inflasi Kota Bengkulu bulan Juni 2017 terjadi pada semua kelompok pengeluaran, di mana kelompok transport, komunikasi dan jasa keuangan mengalami Inflasi

Penataan promosi statis ialah suatu kegiatan untuk mempertunjukkan, memamerkan atau memperlihatkan hasil praktek atau produk lainnya berupa merchandise kepada masyarakat

Pendapat tersebut juga sesuai dengan pendapat Sudjana (2008, p.56) bahwa evaluasi produk mengukur dan menginterpretasi penca- paian program selama pelaksanaan program

Dari pendapat tersebut, dapat di simpulkan bahwa dalam memilih media untuk kepentingan pembelajaran sebaiknya guru harus memperhatikan kriteria-kriteria yang

Untuk keperluan air minum, sumber air harus mempunyai kadar sulfat tidak lebih dari 200 mg/L hal ini dikarenakan kandungan konsentrasi yang tinggi dalam air minum dapat menyebabkan

Nilai ekonomis dari ampas tebu akan semakin tinggi apabila dilakukan proses lanjutan yaitu dengan memanfaatkan limbah tebu menjadi membran silika nanopori yang

yang sangat besar seperti: (1) pengembangan kompetensi guru (matematika) dalam pendidikan dan pengajaran serta pengabdian kepada masyarakat merefleksikan pada