Seminar Nasional Sains Antariksa
Homepage: http//www.lapan.go.id
ANALISIS PENGARUH BADAI GEOMAGNET TERHADAP RESPON foF2
IONOSFER DI BPAA SUMEDANG
(GEOMAGNETIC STORM EFFECT TO THE FOF2 IONOSPHERE RESPONSE
AT SUMEDANG OBSERVATORY)
Anwar Santoso, Dadang Nurmali, Mira Juangsih, Iyus Edi Rusnadi, Sri Ekawati, Anton Winarko, Siska Filawati
Pusat Sains Antariksa LAPAN Email: anwar.santoso@lapan.go.id
ABSTRAK
Riwayat Artikel: Diterima: 22-11-2016 Direvisi: 17-03-2017 Disetujui: 27-03-2017 Diterbitkan: 22-05-2017 Kata kunci:respon foF2 ionosfer, badai geomagnet, analisis korelasi
Badai geomagnet menyebabkan gangguan foF2 ionosfer yang dinamakan badai ionosfer melalui kopling magnetosfer-ionosfer. Waktu tunda respon ionosfer terhadap badai geomagnet berbeda-beda tergantung intensitasnya. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh badai geomagnet terhadap respon foF2 ionosfer di BPAA Sumedang. Data indeks Dst dan foF2 dari BPAA Sumedang tahun 2011-2015 digunakan untuk mendapatkan keterkaitan diantara mereka. Metode yang digunakan adalah statistik. Studi kasus dilakukan pada 13 kejadian badai geomagnet terpilih. Hasilnya diperoleh bahwa badai geomagnet menyebabkan gangguan foF2 ionosfer di BPAA Sumedang dengan respon yang bervariasi dan mengalami penundaan waktu. Korelasi antara Dst minimum dengan ∆TonsetfoF2SMD menunjukkan
signifikansi yakni 80,32% dengan persamaan ∆TOnset = 0,0718(Dst min) +
8,8256. Korelasi antara Dst minimum dengan (∆TpeakfoF2SMD) menunjukkan
ketidaksignifikanan karena hanya sebesar 37,46% dengan persamaan ∆Tpeak
= 0,0387(Dst min) + 19,003. Sedangkan korelasi antara Dst minimum dengan peak foF2SMD yakni sebesar 55,47% menunjukkan korelasi
walaupun tidak kuat dan persamaan korelasinya adalah peakfoF2SMD =
0,2278 x (Dst Min) - 10,731. Artinya variasi deviasi foF2 ionosfer di BPAA Sumedang relatif bergantung pada intensitas badai geomagnetnya.
Keywords: foF2 ionospheric response, geomagnetic storm, correlation analysis
ABSTRACT
Geomagnetic storms causing the ionosphere foF2 disturbance named ionospheric storm through ionosphere-magnetosphere coupling. Delay time of ionospheric response to geomagnetic storms was varied depending on its intensity. The purpose of this study was to analyze the effect of geomagnetic storms on the foF2 ionosphere response at BPAA Sumedang. Dst index and foF2 ionospheric data from BPAA Sumedang in periode 2001-2015 is used to obtain the relationship between them. The method used is a statistic analyzed. The case study conducted on 13 selected geomagnetic storm events. The result shows that the geomagnetic storm caused disruption to foF2 ionospheric of BPAA Sumedang with a varied response and a delayed time. The correlation between the minimum Dst with ΔTonsetfoF2SMD showed
the significance of 80.32% with the equation of ΔTOnset = 0.0718 (Dst min) +
8.8256. The correlation between the minimum Dst with ΔTpeak foF2SMD
showed no significance because only about to 37.46% with the equation ΔTpeak = 0.0387 (Dst min) + 19.003. While the correlation between the
1. Pendahuluan
Telah diketahui bahwa sistem magnetosfer-ionosfer dan interaksi mereka sangat dikendalikan oleh aktivitas matahari. Selama badai geomagnet, energi magnetosfer masuk ke dalam atmosfer atas kutub bumi dan kemudian dapat memodifikasi proses-proses kimia dan elektrodinamika pada sistem ionosfer-termosfer (I-T) secara siginifikan. Konsekuensinya, gangguan densitas elektron ionosfer dan total electron content (TEC) teramati selama badai geomagnet. Respon ionosfer terhadap badai geomagnet tidak terjadi secara langsung dalam sistem kopling magnetosfer-ionosfer melainkan ada efek atau respon tunda. Pengaruh badai geomagnet terhadap ionosfer di ekuator dan lintang rendah memiliki fitur yang unik yakni dapat berupa naiknya nilai foF2 atau turunnya nilai foF2 dengan waktu tunda respon berbeda-beda. Beberapa hasil penelitian sebelumnya telah melaporkan bahwa semakin kuat badai geomagnet, semakin cepat respon dari ionosfer. Badai ionosfer dapat terjadi dalam selang waktu satu sampai 4 jam setelah kejadian badai geomagnet kuat. Badai geomagnet menengah mengakibatkan badai ionosfer dalam selang waktu satu sampai 10 jam setelah badai geomagnet tersebut. Sedangkan badai geomagnet lemah mengakibatkan badai ionosfer yang terjadi dalam selang waktu lebih dari 10 jam setelah badai geomagnet menengah tersebut. Perbedaan respon ionosfer tersebut diduga dipengaruhi oleh modifikasi pada Equatorial ionization anomaly (EIA), Equatorial spread-F (ESF) dan Equatorial electrojet (EEJ) yang diproduksi oleh : (1) gangguan medan listrik yang dihasilkan dari penetrasi medan listrik lintang tinggi menuju ekuator dengan cepat, (2) gangguan dinamo yang digerakkan oleh peningkatan sirkulasi termosfer global yang dihasilkan dari masuknya energi pada lintang tinggi, dan (3) gangguan angin zonal dan meridional yang memodifikasi dinamika termosfer ekuator.
Pusat Sains Antariksa, Kedeputian Bidang Sains Antariksa dan Atmosfer, LAPAN pada September 2015 lalu, mengembangkan program Space Weather Information and Forecast Services (SWIFtS), sebagai penyempurnaan dari layanan
Sistem Pemantauan dan Informasi Cuaca Antariksa (SPICA). Salah satu masalah yang ditemui oleh para peneliti dalam SWIFtS adalah kesulitan untuk memperkirakan waktu tunda respon ionosfer di wilayah Indonesia akibat badai geomagnet. Oleh karena itu, pengetahuan dan pemahaman tentang respon ionosfer terkait badai geomagnet dan tranportasi medan listrik dari lintang tinggi ke lintang rendah serta ekuator amat diperlukan dalam kegiatan SWIFtS ini.
Dalam makalah ini dilakukan analisis pengaruh badai geomagnet terhadap respon foF2 ionosfer di Indonesia menggunakan data foF2 ionosfer Balai Pengamatan Antariksa dan Atmosfer (BPAA) Sumedang (SMD; 6,91o
LS; 106,83o BT koordinat geografis atau
16,55o LS; 179,95o BT koordinat magnet).
Tujuannya adalah mengetahui respon ionosfer di atas BPAA Sumedang terkait badai geomagnet. Hasilnya dapat digunakan untuk memprakirakan besar respon foF2 ionosfer di atas BPAA Sumedang saat terjadi badai geomagnet.
2. Landasan Teori
Matahari merupakan sumber penggerak cuaca antariksa. Salah satu fenomena di matahari yang menjadi sumber penggerak cuaca antariksa adalah Coronal Mass Ejection (CME) atau dinamakan juga peristiwa ledakan matahari. Ketika terjadi CME, partikel-partikel dan medan magnet dilontarkan ke antariksa. Partikel-partkel tersebut terbawa serta oleh angin surya. Angin surya yang menuju Bumi akan bertumbukan dengan magnetosfer (biasanya dinamakan interplanetary shock, IPS). Dalam tumbukan ini akan terjadi injeksi energi medan listrik melalui mekanisme rekoneksi (O’Brien dan McPherron, 2000; Russell, 2006). Energi tersebut akan menyebabkan pertumbuhan arus cincin di sekitar Bumi. Pertumbuhan arus cincin akibat masuknya energi medan listrik gabungan (merger) memicu gangguan medan magnet bumi dengan skala global (Mayaud, 1980; Gonzales et al., 1994; Gopalswamy, 2009; Boudouridis,
et al., 2004; Khabarova, 2007; Santoso, 2010). Peristiwa ini dinamakan badai geomagnet (magnetic stom). Ilustrasinya seperti ditunjukkan pada Gambar 2-1. Injeksi energi medan listrik akan semakin intens (kuat) pada saat berlangsung tumbukan antara partikel angin surya dengan magnetosfer Bumi bersamaan dengan medan magnet antar planet (Interplanetary Magnetic Field, IMF) arah selatan (Bz(-)), sehingga pertumbuhan arus cincin semakin intens dan intensitas badai geomagnetnya yang terbentuk juga semakin kuat. Ilustrasinya seperti dapat dilihat pada Gambar 2-1 (kiri). Sebaliknya, injeksi energi medan listrik kurang intens (kurang optimal) pada saat tumbukan antara partikel angin surya dengan magnetosfer Bumi bersamaan dengan medan magnet antar planet (Interplanetary Magnetic Field, IMF) arah utara (Bz(+)) sehingga pertumbuhan arus cincin kurang optimal dan akibatnya intensitas badai geomagnetnya yang terbentuk juga lemah. Ilustrasinya seperti dapat dilihat pada Gambar 2-1 (kanan).
Pengaruh badai geomagnet terhadap ionosfer di ekuator dan lintang rendah memiliki fitur yang unik. Respon ionosfer terhadap badai geomagnet tidak terjadi secara langsung melainkan melalui proses kopling magnetosfer-ionosfer. Selama badai geomagnet, energi magnetosfer masuk ke dalam atmosfer atas kutub-kutub bumi. Energi ini dapat memodifikasi proses-proses kimia dan elektrodinamika sistem ionosfer-termosfer (I-T) secara siginifikan. Konsekuensinya, gangguan densitas elektron ionosfer dan total electron content (TEC) teramati sepanjang badai geomagnet (Mannucci et al., 2005). Sebuah studi oleh Abdu (1997 dan 2001) melaporkan bahwa selama kondisi terganggu, modifikasi pada Equatorial ionization anomaly (EIA), Equatorial spread-F (ESF) dan Equatorial electrojet (EEJ) diproduksi oleh : (1) gangguan medan listrik yang dihasilkan dari penetrasi medan listrik lintang tinggi menuju ekuator dengan cepat, (2)
gangguan dinamo yang digerakkan oleh peningkatan sirkulasi termosfer global yang dihasilkan dari masuknya energi pada lintang tinggi, dan (3) gangguan angin (zonal dan meridional) yang memodifikasi dinamika termosfer ekuator.
Di lintang rendah, gangguan ionosfer diproduksi oleh beberapa proses diantaranya pemanasan di area lintang tinggi menghasilkan lonjakan angin arah ekuator yang menyeret plasma lintang menengah-rendah menuju lintang lebih tinggi sepanjang garis gaya medan magnet bumi. Pemindahan plasma di wilayah tersebut menginduksi peningkatan kerapatan plasma (NmF2) karena penurunan molekul gas atau berkurangnya konsetrasi O+ pada lintang
lebih tinggi. Faktor penting lain yang mempengaruhi perilaku waktu-badai ionosfer lintang rendah adalah medan listrik. Di bawah pengaruh penetrasi yang cepat medan listrik, medan listrik dinamo dan gangguan angin meridinal dan zonal, maka anomali ionisasi ekuator (Equatorial ionization anomaly, EIA); Equatorial spread-F (ESspread-F) dan EEJ dapat mengalami modifikasi drastis yang menghasilkan gangguan ionosfer besar di lintang rendah (Abdu et al., 1991).
Pengaruh badai geomagnet pada ionosfer dapat berupa naiknya nilai foF2 atau turunnya nilai foF2. Naik atau turunnya nilai foF2 ionosfer dari mediannya tersebut dinamakan badai ionosfer. Naiknya nilai foF2 ionosfer dari mediannya dinamakan badai ionosfer positif dan sebaliknya dinamakan badai ionosfer negatif. Pembentukan badai ionosfer positif atau negatif sangat dipengaruhi oleh perubahan angin dan komposisi udara netral, yang mengakibatkan perubahan tingkat rekombinasi dan ionosasi.
Gambar 2-1. Ilustrasi mekanisme terbentuknya badai geomagnet setelah “interplanetary shock”. IMF mempunyai 3 komponen yaitu Bx, By dan Bz. Diantara ketiga komponen tersebut yang dominan berperan dalam pembentukan badai geomagnet adalah IMF Bz (Russell, 2006).
Sobral et al. (2001) telah menunjukkan bahwa beberapa kasus kenaikan foF2 ionosfer (badai ionosfer positif) di lintang rendah berhubungan dengan meningkatnya plasma fountain. Badai ionosfer negatif di lintang rendah dipicu oleh ion-drag dan pembengkakan komposisi molekul dari kutub yang mengembang ke lintang lebih rendah oleh angin netral horizontal yang dibangkitkan dari gaya gradien tekanan di kutub (Fuller-Rowell et al., 1994; 1996).
Rastogi (1999) dalam Yatini et al., 2009 telah melaporkan bahwa selang waktu antara munculnya badai geomagnet dan gangguan ionosfer adalah sekitar 20 jam. Lusiani et al. (2011), menggunakan data indeks Dst dan foF2 LPD LAPAN Sumedang bulan Oktober-November 2003, juga telah melaporkan bahwa semakin kuat badai geomagnet, semakin cepat respon dari ionosfer untuk terjadinya badai geomagnet ionosfer. Badai ionosfer dapat terjadi dalam selang waktu satu sampai 4 jam setelah kejadian badai geomagnet kuat. Badai geomagnet menengah mengakibatkan badai ionosfer dalam selang waktu satu sampai 10 jam setelah badai geomagnet tersebut. Sedangkan badai geomagnet lemah mengakibatkan badai ionosfer yang terjadi dalam selang waktu lebih dari 10 jam setelah badai geomagnet menengah tersebut.
3. Data dan Metode
3.1 Data
Data yang digunakan adalah indeks Dst danfoF2 ionosfer dari BPAA Sumedang.Periode data yang diolah adalah tahun 2011-2015. Indeks Dst digunakan untuk mengidentifikasi kejadian badai geomagnet minimal kelas sedang (Dst < -79,3 nT) menurut kriteria yang diberikan oleh Tim Space Weather Information and Forecast Services (SWIFtS) Pusat Sains Antariksa,LAPAN disesuaikan dengan kondisi Indonesia. Hasil klasifikasinya, seperti ditunjukkan pada Tabel 3-1.
Hasil identifikasi menggunakan indeks Dst diperoleh 34 kejadian badai geomagnet minimal kelas menengah (Dst < -79,3 nT). Dari 34 kejadian badai geomagnet tersebut, setelah dilakukan verifikasi dengan keberadaan data foF2 ionosfer dari BPAA Sumedang maka hanya terpilih 13 kejadian badai geomagnet dengan intensitas Dst < -100 nT yang dapat digunakan sebagai bahan analisis. Hasil identifikasi kejadian badai geomagnet tersebut, ditampilkan pada Tabel 3-2.
Tabel 3-2.
Daftar kejadian badai geomagnet terpilih dengan kelas sedang ke atas (Dst <-100 nT) sepanjang tahun 2010-2015.
No. Tanggal Kejadian Intensitas Badai No. Tanggal Kejadian Intensitas Badai 1 6-Aug-11 -115 8 9-Oct-12 -105 2 26-Sep-11 -118 9 14-Nov-12 -108 3 25-Oct-11 -147 10 17-Mar-15 -223 4 9-Mar-12 -131 11 23-Jun-15 -204 5 24-Apr-12 -108 12 7-Oct-15 -124 6 15-Jul-12 -127 13 19-Feb-14 -116 7 1-Oct-12 -119
Gambar 3-1: Contoh pola grafik foF2Obs-SMD dan foF2Med-SMD serta Dst dan foF2SMD yakni saat
3.2 Metode
Setelah terseleksi 13 kejadian badai geomagnet maka kemudian dilakukan perhitungan variasi foF2 ionosfer BPAA Sumedang yang diakibatkan oleh masing-masing kejadian badai geomagnet tersebut. Deviasi antara foF2 ionosfer pengamatan di BPAA Sumedang dengan median bulannya dibandingkan terhadap median bulanannya didefinisikan sebagai besar gangguan foF2 ionosfer di BPAA Sumedang. Persentase nilai gangguan foF2 ionosfer BPAA Sumedang terhadap badai geomagnet dalam makalah ini dinotasikan dengan foF2SMD. Formulasinya
seperti ditampilkan pada Persamaan (3-1):
% 100 2 2 2 2 0 SMD Med SMD Med o SMD Obs o SMD o F f F f F f F f (3-1)
Dengan foF2Obs-SMD adalah foF2 ionosfer
pengamatan di BPAA Sumedang dan foF2Med-SMD
adalah nilai median bulanan foF2 ionosfer di BPAA Sumedang. Selanjutnya foF2SMD yang
diperoleh dari persamaan (3-1) diplot bersama dengan indeks Dst dan juga dilakukan penyesuaian waktu indeks Dst yakni UT menjadi LT (UT+7) mengikuti skala waktu foF2 ionosfer BPAA Sumedang. Kemudian dilakukan penentuan atau perhitungan nilai foF2SMD
minimum yang dalam makalah ini didefinisikan sebagai nilai gangguan foF2 akibat badai geomagnet. Selanjutnya dilakukan penentuan atau perhitungan TOnsetfoF2SMD yang
didefinisikan sebagai selisih waktu antara waktu onset Dst dan foF2SMD mulai mengalami
gangguan. Terakhir dilakukan penentuan atau
perhitungan TpeakfoF2SMD yang
didefinisikan sebagai selisih waktu antara waktu indeks Dst dan foF2SMD mencapai
minimum. Ilustrasi dan contohnya seperti ditunjukkan pada Gambar 3-1 yakni untuk kejadian badai geomagnet tanggal 12 Maret 2012 dan 17 Maret 2015.
Cara yang sama seperti yang telah ditunjukkan pada Gambar 3-1, maka dilakukan penentuan peakfoF2SMD,
∆tonsetfoF2SMD dan ∆tpeakfoF2SMD untuk
seluruh kejadian badai geomagnet terpilih pada Tabel 3-2. Hasilnya seperti ditunjukkan pada Tabel 3-3. Kemudian dari Tabel 3-3 tersebut diplot dan dianalisis menggunakan metode analisis korelasi. Hasil analisis kemudian disimpulkan.
4. Pembahasan
Gambar 4-1 menunjukkan dua contoh hasil plot foF2Obs-SMD dan foF2Med-SMD serta
Dst dan foF2SMD yakni saat kejadian badai
geomagnet tanggal 12 Maret 2012 dan 17 Maret 2015.
Dari Gambar 4-1 di atas terlihat bahwa pola ionosfer yang menunjukkan gangguan mengikuti pola indeks Dst. Variasi foF2SMD
yang menunjukkan depresi (pola terganggu) terjadi setelah onset badai geomagnet. Hal ini menunjukkan adanya modifikasi pada Equatorial ionization anomaly (EIA) di BPAA Sumedang yang diduga dipicu oleh gangguan medan listrik dari penetrasi lintang tinggi menuju ekuator dengan cepat (transportasi elektron) bersesuaian dengan hasil teori yang telah diperoleh oleh Abdu et al., 1991; Fuller-Rowell et al., 1994, 1996; Abdu 1997, 2001;
5 24-Apr-12 -108 -1 14 -63.5 6 15-Jul-12 -127 -2 18 -49.6 7 1-Oct-12 -119 0 11 -29.8 8 9-Oct-12 -105 -1 12 -30 9 14-Nov-12 -108 4 12 -19.1 10 17-Mar-15 -223 -9 11 -65.5 11 23-Jun-15 -204 -5 10 -55.3 12 7-Oct-15 -124 -2 19 -49.5 13 19-Feb-14 -116 -2 12 -48.9
Sobral et al. 2001 dan Manucci et al., 2005. Dari gambar tersebut juga terlihat bahwa respon ionosfer terhadap badai geomagnet tidak terjadi secara langsung melainkan mempunyai delai waktu. Atau dengan kata lain ada jeda antara badai geomagnet dengan mulai terganggunya ionosfer di BPAA Sumedang. Hal ini bersesuaian dengan teori yang ada (Rasogi, 1999; Yatini et al., 2009 dan Lusiani et al., 2011).
Dari Gambar 4-1 tersebut dapat diperoleh persamaan korelasi dan nilai korelasi dari ketiganya, seperti ditampilkan pada Tabel 4-1. Tabel 4-1 diperoleh korelasi yang signifikan antara Dst minimum dengan ∆tonsetfoF2SMD
dengan nilai korelasi sebesar 80,32%. Hal ini
berarti bahwa semakin kuat intensitas badai geomagnet maka onset respon ionosfer terhadap badai tersebut akan semakin singkat. Dengan kata lain, onset respon ionosfer tersebut bisa mulai terjadi bahkan sebelum badai geomagnet mencapai puncaknya (Dst minimum). Kaitan keduanya dapat dinyatakan melalui persamaan ∆TOnset
= 0,0718(Dst min) + 8,8256. Sedangkan korelasi yang kurang signifikan ditunjukkan antara Dst minimum dengan peak foF2SMD
yakni dengan nilai korelasi yang hanya sebesar 55,47%. Hal ini diduga adanya modifikasi pada Equatorial ionization anomaly (EIA) di BPAA Sumedang yang Tabel 4-1.
Nilai ∆tonset dan ∆tpeak serta peakfoF2SMD untuk seluruh kejadian badai geomagnet terplilih. No Parameter Persamaan Korelasi Nilai Korelasi
1 Dst min dan peakfoF2SMD peak = 0,2278 x (Dst Min) - 10,731 R = 55,47%
2 Dst min dan ∆TOnsetfoF2SMD ∆TOnset = 0,0718(Dst min) + 8,8256 R = 80,32%
3 Dst min dan ∆TpeakfoF2SMD ∆T peak = 0,0387(Dst min) + 19,003 R = 37,46%
Gambar 4-1. Grafik korelasi antara Dst minimum dengan peakfoF2SMD (atas), Dst minimum
kurang optimal atau tidak sebanding. Kaitan keduanya dapat dinyatakan melalui persamaan peakfoF2SMD = 0,2278 x (Dst Min) -
10,731.Sementara itu, korelasi yang tidak signifikan ditunjukkan antara Dst minimum dengan ∆TpeakfoF2SMD yakni dengan nilai korelasi
yang hanya sebesar 37,46%. Seperti halnya dengan hasil korelasi antara Dst minimum dengan peak foF2SMD, diduga penyebab kecilnya
nilai korelasi antara Dst minimum dengan ∆TpeakfoF2SMD adalah sama. Kaitan keduanya
dapat dinyatakan melalui persamaan ∆T peak = 0,0387(Dst min) + 19,003.
5. Kesimpulan
Dari analisis di atas dapat disimpulkan bahwa respon ionosfer di BPAA Sumedang terkait badai geomagnet bervariasi. Waktu onset respon foF2 ionosfer di BPAA Sumedang (∆tonsetfoF2SMD)
ada yang terjadi sebelum puncak badai geomagnet (Dst minimum) dan ada yang terjadi sesudahnya. Korelasi antara Dst minimum dengan ∆tonsetfoF2SMD yakni sebesar 80,32% yang
artinya cukup signifikan. Persamaan korelasinya adalah ∆TOnset = 0,0718(Dst min) + 8,8256. Waktu
puncak respon ionosfer di BPAA Sumedang (∆TpeakfoF2SMD) minimal 8 jam setelah puncak
badai geomagnet (Dst minimum). Korelasi antara Dst minimum dengan (∆TpeakfoF2SMD) yakni
hanya sebesar 37,46% yang artinya tidak menunjukkan signifikansi. Persamaan korelasinya adalah ∆T peak = 0,0387(Dst min) + 19,003. Sedangkan deviasi respon foF2 ionosfer di BPAA Sumedang (∆tonsetfoF2SMD) mengikuti
intensitas badai geomagnet yang mempengaruhinya walaupun signifikansinya tidak terlalu kuat yakni sebesar 55,47%. Persamaan korelasinya adalah peakfoF2SMD =
0,2278 x (Dst Min) - 10,731.
Ucapan Terima Kasih
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Kepala Pusat Sains Antariksa atas diperkenankannya menggunakan data ionosfer BPAA Sumedang dan juga kepada tim scaling Pusat Sains Antariksa yang telah menyediakan data foF2 BPAA Sumedang yang digunakan
Ionization Anomaly (EIA): an overview. J. Atmos. Terr. Phys., 53, 757–771
Abdu, M. A. (1997). Major phenomena of the equatorial ionosphere thermosphere system under disturbed conditions, J. Atmos. Terr. Phys., 59, 1505–1519.
Abdu, M. A. (2001). Outstanding problems in the equatorial ionosphere thermosphere electrodynamics relevant to spread-F. J. Atmos.Terr. Phys., 2001,63 , 869–884
Boudouridis, A., E. Zesta, L.R. Lyons, P.C. Anderson, and D. Lummerzheim. (2004). Magnetospheric reconnection driven by solar wind pressure fronts. Ann. Geophys., 22, 1367–1378.
Dani T. (2016). Komunikasi pribadi.
Fuller-Rowell, T. J., Codrescu, M. V., Moffett, R. J., Quegan, S. (1994). Response of the thermosphere and ionosphere to geomagnetic storms, J. Geophys. Res., 99, 3893–3914.
Fuller-Rowell, T. J., D. Rees, S. Quegan, R. J. Moffett, M. V. Codrescu, and G. H. Millward. (1996). A coupled thermosphereionosphere model (CTIM), in STEP: Handbook of Ionospheric Models, edited by R. W. Schunk, pp. 239 – 279, Sci. Comm. on Sol.-Terr. Phys., Boulder, Colo.
Gopalswamy, N. (2009). Halo coronal Mass ejections and geomagnetic storm, Earth Planet Space, 61, 1-3.
Khabarova, O. V. (2007). Current problems of magnetic storm prediction and Possible ways of their solving, Sun and Geosphere, 32-37, 2(1).
Lusiani, Mumpuni E. S., dan Utama J. A. (2011). Analisis kaitan badai geomagnet dengan badai ionosfer sebagai dampak kejadian lontaran massa korona matahari (Oktober-November 2003), Prosiding Sem. Himpunan Astronomi Indonesia, ITB Bandung.
Mannucci, A. J., B. T. Tsurutani, B. A. Iijima, A. Komjathy, A. Saito, W. D. Gonzalez, F. L. Guarnieri, J. U. Kozyra, and R. Skoug. (2005). Dayside global ionospheric response to the major
interplanetary events of October 29–30, 2003 “Halloween Storms”, Geophys. Res. Lett., 32, L12S02.
Mayaud, P.N. (1980). Derivation, meaning and use of geomagnetic indices, Geophysical monograph 22. America Geophysical Union, Washington, DC.
O’Brien, T. P. and R. L. McPherron. (2000). An empirical phase space analysis of ring current dynamics: Solar wind control of injection and decay, J. Geophys. Res., 105, 7707-7720.
Rastogi R. G. (1999). Morphological aspects of a new type of counter electrojet event, Ann. Geophysicae, 17, pp. 210-219 EGS Springer-Verlag.
Russell C.T. (2006). The solar wind interaction with the Earth’s Magnetosphere: Tutorial, Department of Earth and space sciences and
Institute of Geophysics and Space Physics of University of California, Los Angeles.
Santoso A. (2010). Identifikasi Kondisi Angin Surya (Solar Wind) Untuk Prediksi Badai Geomagnet, Prosiding Pertemuan Ilmiah XXIV HFI Jateng & DIY, Semarang, pp. 275-283, 10 April 2010.
Sobral, J. H. A., Abdu, M. A., Yamashita, C. S ., Gonzales, A. C. de Batista, I. S., Zamlut ti, C. J., and Tsurutani, B. T. (2001). Responses of the low-latitude ionosphere to very intense geomagnetic storms, J. Atmos. S.-P., 63, pp 965–974
Yatini, C. Y., Jiyo, dan Ruhimat M. (2009). Badai matahari dan pengaruhnya pada ionosfer dan geomagnert di Indonesia, Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara, 4, 17-24.
Anwar Santoso, M.Si, lahir di kota Surabaya (Jawa Timur) pada tanggal 5 Oktober 1971 dan bekerja sebagai pegawai negeri sipil di lingkungan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), masuk mulai tahun 2000, menjadi staf Peneliti Bidang Fisika Magntosferikdan Ionosferik di satuan kerja Pusat Sains Antariksa di Bandung. Menyelesaikan pendidikan Strata 1 (S1) di Universitas Airlangga (UNAIR) Surabaya Jurusan Fisika lulus pada tahun 1999 dan Strata 2 (S2) di Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya Jurusan Fisika lulus pada tahun 2007.