• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

35 BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

1. Hukum yang Berlaku dalam Pembagian Harta Bersama Akibat Perceraian dari Perkawinan Campuran

Di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, tidak ditentukan secara jelas terkait hukum kebendaan yang dapat digunakan dasar dalam proses pembagian harta bersama. Namun dalam ketentuan Pasal 37, dijelaskan bahwa pembagian harta bersama berdasarkan hukum masing-masing, dalam hal ini apabila gugatan terkait harta bersama diajukan ke Pengadilan Negeri, maka ketentuan yang mungkin dapat dipakai sebagai dasar pembagian harta bersama adalah ketentuan yang terdapat dalam KUHPerdata.

Berdasarkan Pasal 504 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, benda dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu benda bergerak dan benda tidak bergerak. Mengenai benda tidak bergerak, diatur dalam Pasal 506 – Pasal 508 KUHPerdata. Sedangkan untuk benda bergerak, diatur dalam Pasal 509 – Pasal 518 KUHPerdata.

Prof. Subekti, S.H. dalam bukunya yang berjudul Pokok-Pokok Hukum Perdata (1970:61-62), suatu benda dapat tergolong dalam golongan benda yang tidak bergerak (onroerend) pertama karena sifatnya, kedua karena tujuan pemakaiannya, dan ketiga karena memang demikian ditentukan oleh undang-undang.

Lebih lanjut, Subekti menjelaskan bahwa adapun benda yang tidak bergerak karena sifatnya ialah tanah, termasuk segala sesuatu yang secara langsung atau tidak langsung, karena perbuatan alam atau perbuatan manusia, digabungkan secara erat menjadi satu dengan tanah itu. Jadi, misalnya sebidang pekarangan, beserta dengan apa yang terdapat di dalam tanah itu dan segala apa yang dibangun di situ secara tetap (rumah) dan yang ditanam di situ (pohon), terhitung buah-buahan di pohon yang belum diambil. Tidak bergerak karena tujuan pemakaiannya, ialah segala apa yang meskipun tidak

(2)

commit to user

secara sungguh-sungguh digabungkan dengan tanah atau bangunan, dimaksudkan untuk mengikuti tanah atau bangunan itu untuk waktu yang agak lama, yaitu misalnya mesin-mesin dalam suatu pabrik. Selanjutnya, ialah tidak bergerak karena memang demikian ditentukan oleh undang-undang, segala hak atau penagihan yang mengenai suatu benda yang tidak bergerak.

Pada sisi lain masih menurut Subekti, suatu benda dihitung termasuk golongan benda yang bergerak karena sifatnya atau karena ditentukan oleh undang-undang. Suatu benda yang bergerak karena sifatnya ialah benda yang tidak tergabung dengan tanah atau dimaksudkan untuk mengikuti tanah atau bangunan, jadi misalnya barang perabot rumah tangga. Tergolong benda yang bergerak karena penetapan undang-undang ialah misalnya vruchtgebruik dari suatu benda yang bergerak, lijfrenten, surat-surat sero dari suatu perseroan perdagangan, surat-surat obligasi negara, dan sebagainya. Untuk kebendaan tidak bergerak dapat dibagi dalam tiga golongan (Frieda Husni Hasbullah, 2005:43-44) :

a. Benda tidak bergerak karena sifatnya (Pasal 506 KUHPerdata) misalnya tanah dan segala sesuatu yang melekat atau didirikan di atasnya, atau pohon-pohon dan tanaman-tanaman yang akarnya menancap dalam tanah atau buah-buahan di pohon yang belum dipetik, demikian juga barang-barang tambang.

b. Benda tidak bergerak karena peruntukannya atau tujuan pemakaiannya (Pasal 507 KUHPerdata) misalnya pabrik dan barang-barang yang dihasilkannya, penggilingan-penggilingan, dan sebagainya. Juga perumahan beserta benda-benda yang dilekatkan pada papan atau dinding seperti cermin, lukisan, perhiasan, dan lain-lain; kemudian yang berkaitan dengan kepemilikan tanah seperti rabuk, madu di pohon dan ikan dalam kolam, dan sebagainya; serta bahan bangunan yang berasal dari reruntuhan gedung yang akan dipakai lagi untuk membangun gedung tersebut, dan lain-lain.

c. Benda tidak bergerak karena ketentuan undang-undang misalnya, hak pakai hasil, dan hak pakai atas kebendaan tidak bergerak, hak pengabdian

(3)

commit to user

tanah, hak numpang karang, hak usaha, dan lain-lain (Pasal 508 KUHPerdata). Di samping itu, menurut ketentuan Pasal 314 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, kapal-kapal berukuran berat kotor 20 m3 ke atas dapat dibukukan dalam suatu register kapal sehingga termasuk kategori benda-benda tidak bergerak.

Sedangkan untuk kebendaan bergerak dapat dibagi dalam dua golongan:

a. Benda bergerak karena sifatnya yaitu benda-benda yang dapat berpindah atau dapat dipindahkan misalnya ayam, kambing, buku, pensil, meja, kursi, dan lain-lain (Pasal 509 KUHPerdata). Termasuk juga sebagai benda bergerak ialah kapal-kapal, perahu-perahu, gilingan-gilingan dan tempat-tempat pemandian yang dipasang di perahu dan sebagainya (Pasal 510 KUHPerdata).

b. Benda bergerak karena ketentuan undang-undang (Pasal 511 KUHPerdata) misalnya:

1) Hak pakai hasil dan hak pakai atas benda-benda bergerak; 2) Hak atas bunga-bunga yang diperjanjikan;

3) Penagihan-penagihan atau piutang-piutang;

4) Saham-saham atau andil-andil dalam persekutuan dagang, dan lain-lain. Manfaat pembedaan benda bergerak dan benda bergerak akan terlihat dalam hal cara penyerahan benda tersebut, cara meletakkan jaminan di atas benda tersebut, dan beberapa hal lainnya. Pentingnya pembedaan tersebut berkaitan dengan empat hal yaitu penguasaan, penyerahan, daluwarsa, dan pembebanan. Keempat hal yang dimaksud adalah sebagai berikut (Frieda Husni Hasbullah, 2005:45-48):

a. Kedudukan berkuasa (bezit)

Bezit atas benda bergerak berlaku sebagai titel yang sempurna (Pasal 1977 KUHPerdata). Tidak demikian halnya bagi mereka yang menguasai benda tidak bergerak, karena seseorang yang menguasai benda tidak bergerak belum tentu adalah pemilik benda tersebut.

(4)

commit to user b. Penyerahan (levering)

Menurut Pasal 612 KUHPerdata, penyerahan benda bergerak dapat dilakukan dengan penyerahan nyata (feitelijke levering). Dengan sendirinya penyerahan nyata tersebut adalah sekaligus penyerahan yuridis (juridische levering). Sedangkan menurut Pasal 616 KUHPerdata, penyerahan benda tidak bergerak dilakukan melalui pengumuman akta yang bersangkutan dengan cara seperti ditentukan dalam Pasal 620 KUHPerdata antara lain membukukannya dalam register.

Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), maka pendaftaran hak atas tanah dan peralihan haknya menurut ketentuan Pasal 19 UUPA dan peraturan pelaksananya.

c. Pembebanan (bezwaring)

Pembebanan terhadap benda bergerak berdasarkan Pasal 1150 KUHPer harus dilakukan dengan gadai, sedangkan pembebanan terhadap benda tidak bergerak menurut Pasal 1162 KUHPerdata harus dilakukan dengan hipotik.

Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, maka atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah hanya dapat dibebankan dengan Hak Tanggungan. Sedangkan untuk benda-benda bergerak juga dapat dijaminkan dengan lembaga fidusia menurut Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.

d. Daluwarsa (verjaring)

Terhadap benda bergerak, tidak dikenal daluwarsa sebab menurut Pasal 1977 ayat (1) KUHPerdata, bezit atas benda bergerak adalah sama dengan eigendom; karena itu sejak seseorang menguasai suatu benda bergerak, pada saat itu atau detik itu juga ia dianggap sebagai pemiliknya. Terhadap benda tidak bergerak dikenal daluwarsa karena menurut Pasal 610 KUHPerdata, hak milik atas sesuatu kebendaan diperoleh karena daluwarsa.

(5)

commit to user

Kesulitan akan selalu muncul apabila pembahasan tentang benda dan hak-hak kebendaan dalam HPI dimulai dari dikotomi antara benda tetap, benda bergerak, dan benda-benda tidak berwujud karena berbagai sistem hukum menetapkan kriteria serta klasifikasi tentang benda yang berbeda-beda. Karena itu, pertanyaan yang menjadi penting dalam HPI adalah berdasarkan hukum mana klasifikasi jenis benda itu harus dilakukan. Dalam kaitan ini, teori HPI mengenal dua asas utama yang menetapkan bahwa klasifikasi semacam itu harus dilakukan berdasarkan :

a. Hukum dari tempat gugatan atas benda diajukan (lex fori). b. Hukum dari tempat benda berada (lex situs).

Status benda-benda bergerak

Beberapa asas HPI yang menyangkut penentuan status benda-benda bergerak, antara lain, menetapkan bahwa status benda-benda bergerak didtetapkan berdasarkan :

1) Hukum dari tempat pemegang hak atas benda tersebut (bezitter atau

eigenaar) berkewarganegaraan (asas nasionalitas).

2) Hukum dari tempat pemegang hak atas benda tersebut berdomsili (asas

domicile).

3) Hukum dari tempat benda terletak (lex situs).

Pada poin ke 2 dan ke 3 dilandasi oleh asas hukum lain, yaitu asas mobilia

sequntuur personam (status benda bergerak mengikuti orangnya).

Status benda tetap

Asas umum yang diterima dalam HPI menetapkan bahwa status benda-benda tetap ditetapakan berdasarkan lex rei sitae atau lex situs atau hukum dari tempat benda berada atau terletak. Asas ini juga dianut di Indonesia seperti yang dimuat dalam pasal 17 AB.

Status benda tidak berwujud

Benda-benda yang dikategorikan ke dalam benda tidak berwujud biasanya meliputi utang piutang, hak milik perindustrian, atau hak-hak milik intelektual. Asas-asas HPI yang relevan dengan usaha penetuan status benda-benda tidak berwujud, menetapkan bahwa yang harus diberlakukan sistem hukum dari tempat :

(6)

commit to user

a. Kreditur atau pemegang hak atas benda itu berkewarganegaraan atau berdomisili (lex patriae atau lex domicili).

b. Gugatan atas benda-benda itu diajukan (lex fori).

c. Yang sistem hukumnya dipilih para pihak dalam perjanjian yang menyangkut benda-benda itu (choice of law).

d. Yang memiliki kaitan yang paling nyata dan substansial terhadap transaksi yang menyangkut benda tersebut (the most subtantial

connection).

e. Pihak yang prestasinya dalam perjanjian tentang benda yang bersangkutan tampak paling khas dan karakteristik (the most

charateristic connection).

Dalam hal ini ada perbedaan paham mengenai sifat hukum sebenarnya dari harta benda perkawinan internasional dan hukum mana yang harus digunakan apabila para pihak tidak membuat syarat-syarat perkawinan, maka ada tiga aliran yang perlu dipahami yakni:

a. Pendirian yang memandang hukum harta benda perkawinan seperti benda tidak bergerak, karena itu termasuk dengan apa yang dinamakan status reel. Dalam pandangan ini dibedakan antara benda-benda yang tidak bergerak dan benda-benda bergerak. Untuk benda tidak bergerak dipakai Lex Rei Sitae yakni hukum dari tempat letaknya benda tidak bergerak yang dipergunakan, sedangkan benda-benda bergerak ditaruh dibawah hukum tempat tinggal para mempelai.

b. Pendirian bahwa hukum harta benda perkawinan termasuk bidang status personal. Dengan demikian dianut sistem kesatuan daripada hukum yang mengatur harta benda perkawinan tanpa membedakan antara benda-benda yang bergerak dan tidak bergerak.

c. Pendirian bahwa hukum harta benda merupakan suatu kontrak diantara para mempelai, maka kehendak para pihaklah yang menentukkan hukum yang harus dipergunakan (Lili Rasjidi, 1982:67-68).

Dalam Jurisprudensi Indonesia memandang bahwa hukum harta benda termasuk bidang status personal dan pada saat sekarang banyak negara-negara menerima bahwa hukum harta benda perkawinan termasuk

(7)

commit to user

bidang status personal. Namun bila menunjuk pada Konvensi HPI Den Haag mengenai Hukum Harta Benda Perkawinan yang ditanda tangani pada tanggal 23 Oktober 1976 (Convention in the law applicable to

matrimonial property regimes), ditentukan bahwa pertama-tama kepada

suami-isteri diberi kebebasan untuk menentukan sendiri hukum yang akan berlaku bagi harta benda perkawinan mereka. Jika mereka tidak menggunakan kesempatan ini, akan berlakulah hukum intern dari Negara tempat kedua suami isteri menetapkan kediaman sehari-harinya yang pertama setelah perkawinan. Pasal 4 ayat (1) berbunyi : “if the spouses,

before marriage, have not designated the the applicable law their matrimonial property regime is governed by the internal law of the state in which both sponses establish they first habitual residence after marriage”

(Bakri.A Rahman dan Ahmad Sukardja, 1981:85-89).

Tidak jarang terjadi persoalan mengenai harta bersama di Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama. Hampir semua Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama di Indonesia pernah menyelesaikan sengketa harta bersama. Banyak terjadi di negara ini perkawinan campuran sejak jaman dahulu kala hingga sekarang, apalagi di era globalisasi ini, menurut pengamatan penulis, para Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dan Tenaga Kerja Wanita (TKW) bahkan juga para selebriti Indonesia yang melaksanakan perkawinan campuran berakhir juga pada perceraian. Tentunya dari perkawinan mereka selama bertahun-tahun lamanya menghasilkan suatu harta yang berupa harta bersama. Harta bersama itu sebagian dapat berada di Indonesia dapat juga sebagian berada di Luar Negeri. Hal ini tidak jarang menjadi kasus dan persoalan hukum, oleh karena itu tidak aparat peradilan mengerti hal ini tetapi juga para pelaku perkawinan campuran. Hal sebagaimana perlu diketahui untuk mempersiapkan diri apabila hal-hal yang tidak diinginkan terjadi pada suami istri yang melakukan perkawinan campur.

Permasalah timbul apabila harta bersama tersebut berada di Luar Negeri. Seperti kita ketahui bahwa terhadap benda tidak bergerak berlaku asas Lex Rei Sitae yaitu hukum yang berlaku atas suatu benda berdasarkan

(8)

commit to user

tempat dimana benda tersebut berada. Jika putusan pembagian harta bersama diputuskan di Indonesia, hanya berlaku untuk harta bersama yang berada di Indonesia. Apabila objek (harta bersama) eksekusi berada di Luar Negeri dan hal tersebut diputus oleh pengadilan di Indonesia, maka putusan tersebut tidak dapat digunakan sebagai dasar untuk mengeksekusi harta bersama tersebut, karena jangkauan hukum Indonesia hanya berlaku dalam wilayah Indonesia saja. Oleh karena itu, perkawinan campuran yang sudah dinyatakan sah bercerai di Indonesia dan putusan pembagian harta bersama yang terletak di Indonesia sudah berkekuatan hukum tetap, maka atas harta yang terletak di Luar Negeri, Pemohon (suami atau istri) dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan di Luar Negeri untuk melakukan pembagian harta bersama yang terletak di negara yang bersangkutan.

Berbicara mengenai yurisdiksi ekstrateritorial, atas dasar kedaulatannya setiap Negara berwenang sepenuhnya untuk mengklaim yurisdiksi atas subjek hukum, namun secara international diterima prinsip bahwa kewenangan semacam itu perlu dibatasi dan Negara-negara harus membatasi diri dalam mengklaim kewenangannya (self-restraint). Artinya setidaknya harus ada dasar yang kongkret bagi pengadilan sustu Negara untuk mengklaim yuridiksi ekstrateritorialnya. Dasar yang konkret itu umumnya ditentukan oleh ada-tidaknya suatu pertautan atau kontrak (connection) tertentu antara Negara dan badan peradilannya disatu pihak, dengan gugatan atau pihak-pihak dalam perkara dilain pihak.

Penentuan dasar yurisdiksi pengadilan, dalam praktek litigasi international umumnya dibedakan kedalam :

a) yurisdiksi in personam;

yurisdiksi atas orang, umumnya dianggap sebagai yurisdiksi tidak terbatas (unlimited jurisdiction), artinya pengadilan memiliki yurisdiksi / kewenangan untuk memutus perkara yang menyangkut tergugat untuk jumlah yang tidak terbatas dan menyangkut seluruh asetnya. Yurisdiksi ini timbul disebabkan oleh :

1) Kehadiran (presence). Kehadiran seseorang di wilayah suatu negara forum dianggap sebagai dasar yang cukup bagi forum untuk

(9)

commit to user

mengklian yurisdiksinya atas orang itu, namun kehadiran seseorang di sebuah Negara sekedar transit belum dianggap cukup untuk mengklaim yuridiksi;

2) Tempat kediaman tetap (domicilie) disuatu Negara, dianggap sebagai dasar mengklaim yurisdiksi;

3) Penundukan sukarela (consent). Penundukan sukarela seseorang ditunjukkan dengan seseorang mengajukan gugatan atau menjawab gugatan terhadap dirinya diforum suatu Negara. Yurisdiksi ini dikatagorikan sebagai yurisdiksi khusus (specific jurisdiction); 4) Pertautan Minimum (Minimum Contacts). Adanya minimum

contacts antara seorang dan Negara forum. b) yurisdiksi in rem

Yuridiksi atas benda (thing/res) yang berada di wilayah Negara forum, yang secara langsung atau tidak berkaitan dengan perkara yang sedang dihadapi. Pengadilan yang memiliki yurisdiksi in rem memiliki kewenangan untuk mengadili sengketa-sengketa yang berkenaan dengan title atas benda-benda tertentu yang berada di wilayah forum. c) yurisdiksi quasi in rem

Yurisdiksi quasi in rem dikenal dalam system hukum acara Amerika, untuk perkara-perkara yang tidak langsung menyelesaikan gugatan atas kepemilikan tergugat atas suatu kebendaan yang berkaitan dengan perkara, tetapi hanya karena penggugat menuntut agar kekayaan tertentu milik tergugat yang ada di wilayah forum dilekatkan pada perkara, walaupun tidak ada kaitan langsung antara kekayaan dengan pokok perkara.

2. Akibat Hukum Perceraian dari Perkawinan Campuran Terhadap Harta Bersama

a. Kedudukan Perkawinan Campuran

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur perkawinan campuran secara tersendiri. Terinci sampai pelaksanaan dan pecatatan serta akibat hukumnya. Ketentuan tersebut

(10)

commit to user

dilengkapi dengan peraturan lama yang masih berlaku sebagaimana ditentukan oleh Pasal 66 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dengan adanya ketentuan Undang-Undang Perkawinan dan peraturan pelaksanaannya, maka ketentuan peraturan perkawinan campuran lama (GHR) dinyatakan tidak berlaku sejauh Undang-Undang Perkawinan atau peraturan pelaksanaannya telah mengatur (Ichtijanto, 2003:69).

Sebelum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan berlaku, kasus perkawinan campuran pernah terjadi. Salah satu contoh adalah perkawinan antara Putu Mahardika Utama dengan Enjelijk van de Groott. Putu Mahardika Utama menikah dengan Enjelijk van de Groott, seorang perempuan berkewarganegaraan Belanda pada tahun 1948 di Denpasar, Indonesia. Dari perkawinan tersebut dilahirkan dua orang putra, yang keduanya lahir di Amerika pada tahun 1949 dan tahun 1953, sehingga berkewarganegaraan Amerika Serikat. Pada Tahun 1972 diketahui bahwa kedua putra Putu Mahardika Utama berkewarganegaraan Indonesia (http://www.academia.edu).

Untuk menyelesaikan persoalan tersebut memakai ketentuan yang mengatur perkawinan antara lain diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen Huwelijks Ordonantie Christen Indonesiers S.1933 No. 74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijken S. 1898 No. 158) (Pasal 66 UUP). Untuk pencatatan perkawinannya dilakukan di Pegawai Catatan Sipil (Pasal 4 KUHPerdata).

Setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada hakikatnya telah terjadi unifikasi dalam bidang hukum perkawinan, walaupun Undang-Undang tidak menutup terjadinya perkawinan campuran di kalangan penduduk Indonesia. Sementara itu di dalam Pasal 66 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menegaskan bahwa untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-Undang ini ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata

(11)

commit to user

(KUHPerdata), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen, serta Peraturan Perkawinan Campuran dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-Undang ini, dinyatakan tidak berlaku. Walaupun demikian, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ini idak menutup kemungkinan bagi mereka yang ingin melakukan perkawinan campuran. Di dalam Undang-Undang Perkawinan ini, perkawinan campuran diatur dalam Pasal 54sampai dengan Pasal 62 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pengertian perkawinan campuran dirumuskan di dalam Pasal 57 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan:

“Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-Undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia yang tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.”

Dari definisi Pasal 57 Undang-Undang Perkawinan ini dapat diuraikan unsur-unsur perkawinan campuran sebagai berikut:

a. perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita; b. di Indonesia tunduk pada aturan yang berbeda; c. karena perbedaan kewarganegaraan;

d. salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.

Unsur pertama jelas menunjuk kepada asas monogami dalam perkawinan. Unsur kedua menunjukkan kepada perbedaan hukum yang berlaku bagi pria dan wanita yang kawin itu. Tetapi perbedaan itu bukan karena perbedaan agama, suku bangsa, golongan di Indonesia melainkan karena unsur ketiga karena perbedaan kewarganegaraan. Perbedaan kewarganegaraan ini bukan kewarganegaraan asing semuanya, melainkan unsur keempat bahwa salah satu kewarganegaraan itu ialah kewarganegaraan Indonesia. Tegasnya perkawinan campuran menurut UU ini adalah perkawinan antar warganegara Indonesia dan warganegara asing. Karena berlainan kewarganegaraan tentu saja hukum yang berlaku bagi mereka juga berlainan.

(12)

commit to user

Pengertian istilah “Perkawinan Campuran” menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah lebih sempit jika dibandingkan dengan isi pengertian perkawinan campuran menurut GHR, karena kriteria “Perkawinan Campuran” menururt Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan hanya didasarkan atas adanya hukum yang berlainan karena perbedaan kewarganegaraan semata-mata. Untuk itu dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan perkawinan campuran disaini hanyalah perkawinan campuran yang dilangsungkan antara WNI dengan WNA (Usman, 2006:297).

Pengertian perkawinan campuran dalam Pasal 57 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengandung unsur asing karena akan melibatkan hukum yang berbeda, yaitu hukum dari masing-masing pihak. Salah satu berkewarganegaraan Indonesia dan pihak yang lain berkewarganegaraan asing. Sehingga karena terdapat unsur asing maka untuk melakukan perkawinan campuran ini membutuhkan pedoman dari Hukum Perdata Internasional.

Didalam HPI pengertian perkawinan campuran itu sendiri adalah perkawinan yang berlangsung antara pihak-pihak yang berbeda domisili atau berbeda kewarganegaraan. Pengertian ini apabila dihubungkan dengan pengertian perkawinan dalam Pasal 57 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memiliki kesamaan, yaitu perkawinan yang dilangsungkan antara para pihak yang berbeda kewarganegaraan, namun dalam UUP ini salah satu pihak harus berkewarganegaraan Indonesia dan dilangsungkan di Indonesia.

Berdasarkan Pasal 18 Algemene Bel Palingen Van Wet Geving (AB) yang menyatakan bahwa segala bentuk peristiwa hukum yang terdapat unsur asing didalamnya, dilaksanakan menurut hukum dari tempat dilaksanakannya peristiwa hukum tersebut (locus regit actum). Sehingga perkawinan campuran menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang dilaksanakan di Indonesia, dilakukan menurut Hukum Indonesia.

(13)

commit to user

Perihal syarat-syarat perkawinan yang menyangkut kedudukan dan kekuasaan hukum, yaitu in casu untuk kawin, menurut Pasal 16 AB jo Pasal 3 AB harus diberlakukan hukum nasional dari orang asing yang akan melangsungkan perkawinan di Indonesia.

Pasal 16 AB mengatur mengenai status personil sesorang dan wewenang, bahwa status dan wewenang seseorang harus dinilai menurut hukum nasionalnya (lex patriae). Jadi seseorang dimanapun ia berada tetap terikat kepada hukumnya yang menyangkut status dan wewenang demikian pula orang asing, maksudnya status dan wewenang orang asing itu harus dinilai hukum nasional orang asing tersebut.

Oleh karena itu berdasarkan kedua pasal tersebut, maka terkait syarat-syarat hingga tata cara perkawinan campuran harus berdasarkan aturan dalam Hukum Indonesia yaitu apa yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

1) Syarat Sahnya Perkawinan Campuran

Dalam melangsungkan sebuah perkawinan campuran ada syarat-syarat yang dipenuhi agar perkawina tersebut sah. Perkawinan dianggap sah apabila diakui oleh negara. Namun dalam perkawina campuran, hal tersebut mennjadi lebih kompleks, karena masing-masing pihak memiliki syarat yang berbeda.

Persyaratan dan pelangsungan perkawinan yang dilangsungkan di Indonesia harus dilakukan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia dapat dilaksanakan apabila syarat-syarat yang ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah dipenuhi oleh masing-masing pihak yang ingin menikah, baik WNI maupun WNA, syarat tersebut adalah :

a) Syarat Materiil, yaitu syarat mengenai diri pribadi calon mempelai. Karena para pihak berbeda warga negara, maka secara materiil para pihak tunduk pada hukum perkawinan masing-masing negaranya, bagi pihak yang berkewarganegaraan Indonesia syarat materiil berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1

(14)

commit to user

Tahun 1974 tentang Perkawinan. Syarat bagi pihak WNI dalam perkawina campuran adalah sama dengan mereka yang melakukan perkawinan pada umumnya, yaitu :

(1) Ketentuan Pasal 6 ayat (1) mengenai keharusan adanya persetujuan dari kedua mempelai;

(2) Ketentuan Pasal 6 ayat (2) mengenai ijin dari kedua orang tua bagi mereka yang belum mencapai usia 21 tahun;

(3) Ketentuan Pasal 7 ayat (1) mengenai batasan usia, pria harus mencapai usia 19 tahun dan wanita 16 tahun;

(4) Ketentuan Pasal 9 mengenai status kedua mempelai bahwa masing-masing tidak terikat tali perkawinan dengan orang lain (kecuali dalam diijinkan oleh Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4; (5) Ketentuan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan jo Pasal 39 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1974 mengenai waktu tunggu bagi seorang wanita yang putus perkawinannya.

(6) Ketentuan Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 10 mengenai larangan perkawinan.

Sementara itu bagi pihak yang berkewarganegaraan asing, harus memenuhi syarat materiil yang ditentukan oleh hukum perkawinan yang berlaku di negaranya. Perkawinan akan dapat dilaksankan apabila pihak yang berkewarganegaraan asing telah mempunyai bukti bahaw aia telah memenuhi syarat materiil perkawinan menurut hukum yang berlaku baginya. Bukti ini berupa surat keterangan berbentuk “Certificate of non Impediment to

Marriage” yang menerangkan bahwa yang bersangkutan tidak

mempunyai halangan untuk melangsungkan perkawinan menurut hukum nasionalnya dari Pemerintah atau Kedutaan Besar negara asal pasangan WNA (HukumOnline.com). Tidak dipenuhinya syarat-syarat tersebut menimbulkan ketidakwenangan untuk melangsungkan perkawinan dan berakibat batalnya perkawinan.

(15)

commit to user

b) Syarat formil yaitu yang menyangkut formalitas-formalitas atau tata cara yang harus dipenuhi sebelum dan pada saat dilangsungkan perkawinan.

Secara formal perkawinan campuran yang dilakukan di Indonesia diatur dalam Pasal 59 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menetukan bahwa, Perkawinan Campuran yang dilangsungkan di Negara Indonesia akan dilaksanakan dan harus memperhatikan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Syarat-syarat formil menururt Hukum Indonesia meliputi :

(1) Pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan kepada Pegawai Pencatat Perkawinan (Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975);

(2) Pengumuman oleh Pegawai Pencatat Perkawinan (Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975);

(3) Pelaksanaan perkawinan menurut hukum agama dan kepercayaannya masing-masing (Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975);

(4) Pencatatan perkawinan oleh Pegawai Pencatat perkawinan (Pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975).

Sebagai bukti telah dipenuhinya syarat-syarat perkawinan dan tidak ada halangan atau rintangan untuk melangsungkan perkawinan campuran, yang bersangkutan hendaknya meminta suatu keterangan dari Pegawai Pencatat Perkawinan masing-masing yang berwenang mencatat perkawinan. Jika pejabat Pegawai Pencatat Perkawinan menolak untuk memberikan surat keterangan itu, yang berkepentingan dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan negeri setempat untuk memutuskan apakah penolakan pemberian surat keterangan itu beralasan atau tidak. Pengadilan akan memberikan keputusan dengan tidak beracara serta tidak boleh dimintakan banding lagi. Keputusan Pengadilan itu menjadi pengganti keterangan dari Pegawai Pencatat Perkawinan bila

(16)

commit to user

Pengadilan memutuskan penolakan surat keterangan itu tidak beralasan.

Jadi dalam suatu perkawinan campuran, perkawinan tersebut hanya dapat dilakukan jika telah dipenuhi persyaratan yang mengenai diri pribadi masing-masing yang akan melangsungkan perkawinan, demikian juga persyaratan mengenai tata cara perkawinan. Syarat mengenai diri pribadi yang harus dipenuhi ialah bahwa bagi WNI harus memenuhi persyaratan yang diatur atau ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Sedangakan bagi orang asing harus memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh hukum negara yang bersangkutan. Untuk membuktikan persyaratan tersebut telah terpenuhi, mereka harus dapat menunjukkan surat keterangan yang diberikan oleh Pejabat yang berwenang untuk itu, menururt hukumnya yang menerangkan bahwa yang bersangkutan telah memenuhi syarat Pasal 60 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Adapun tata cara perkawinan campuran diatur dalam Pasal 59 ayat (2) sampai dengan Pasal 61 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menetukan sebagai berikut : a) Perkawinan campuran yang dilakukan di Indonesia dilakukan

menurut Undang-Undang Perkawinan ini;

b) Perkawinan campuran ini tidak dapat dilangsungkan sebelum terbukti syarat-syarat perkawinan yang ditentukan oleh hukum yang relatif terpenuhi dan karena itu tidak untuk melangsungkan perkawinan campuran, maka mereka menurut hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing berwenang mencatat perkawinan, diberikan surat keterangan bahwa syarat-syarat telah terpenuhi; c) Jika pejabat yang bersangkutan menolak untuk memberikan surat

keterangan itu, maka atas permintaan yang berkepentingan pengadilan memberikan keputusan dengan tidak boleh dimintakan banding soal apakah penolakan pemberian surat keterangan tersebut beralasan atau tidak;

(17)

commit to user

d) Jika pengadilan memutuskan bahwa penolakan tidak beralasan maka keputusan itu menjadi pengganti keterangan yang tersebut dalam Pasal 60 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;

e) Surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak mempunyai kekuatan lagi jika perkawinan itu tidak dilangsungkan dalam masa 6 (enam) bulan setelah surat keterangan itu diberikan; f) Perkawinan campuran dicatat oleh pegawai pencatat yang

berwenang.

Pencatatan perkawinan ini dimaksudkan untuk memperoleh kutipan Akta Perkawinan (kutipan buku nikah) oleh pegawai yang berwenang. Bagi yang beragama Islam, pencatatan dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah Talak Cerai Rujuk. Sedang bagi yang Non Islam, pencatatan dilakukan oleh Pegawai Kantor Catatan Sipil.

g) Legalisir Kutipan Akta Perkawinan, Kutipan Akta Perkawinan yang telah didapatkan, masih harus dilegalisir di Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Departemen Luar Negeri, serta didaftarkan di Kedutaan negara asal suami. Dengan adanya legalisasi itu, maka perkawinan sudah sah dan diterima secara internasional, baik bagi hukum di negara asal suami, maupun menurut hukum di Indonesia.

Tata cara penyelenggaraan dan pencatatan perkawinan campuran merupakan sesuatu urutan formalitas yang harus ditempuh dalam melangsungkan perkawinan campuran. Hal ini diperlukan untuk memenuhi syarat formil dari suatu perkawinan campuran.

Dari segi ilmu perbandingan hukum perkawinan campuran (terutama antar warga negara yang berbeda) berpengaruh terhadap konsep hukum suatu negara. Perkawinan campuran berakibat terhadap hak-hak pribadi (terhadap harta), hak kekeluargaan (hak untuk berkeluarga, kedudukan anak, pemeliharaan anak).

(18)

commit to user b. Harta Kekayaan dalam Perkawinan

Disamping soal hak dan kewajiban, persoalan harta benda merupakan pokok pangkal yang dapat menimbulkan berbagai perselisihan dan ketegangan dalam hidup perkawinan. Sehubungan dengan itu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memberikan ketentuan-ketentuan sebagaimana yang dicantumkan dalam Pasal 35 sampai Pasal 37 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menetapkan:

1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. 2) Harta bawaan dari masing-masing suami istri dan harta benda yang

diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 36 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, harta benda milik bersama berada dibawah penguasaan suami istri sejak perkawinan dan suami istri hanya dapat bertindak terhadap harta benda milik bersama berdasarkan atas persetujuan kedua belah pihak. Apabila perkawinan putus maka harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing (Pasal 37 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Untuk melakukan perbuatan hukum terhadap harta bersama harus didahului dengan perjanjian antara suami istri. Sedangkan untuk melakukan perbuat hukum terhadap harta bawaan, suami istri sepenuhnya menguasai harta bawaannya masing-masing. Meskipun demikian terbuka peluang bagi suami istri untuk menyimpangi ketentuan Undang-Undang melalui perjanjian kawin yang dibuat sebelum atau pada saat melangsungkan perkawinan. Perjanjian perkawinan sangat dibutuhkan untuk mengantisipasi permasalahan yang timbul terkait pembagian harta bersama apabila terjadi perceraian, apalagi terkait perkawinan campuran yang mengandung unsur asing didalamnya.

Perjanjian kawin (Huwdlijkse Voorwaarden) adalah perjanjian (persetujuan) yang dibuat oleh calon suami atau istri sebelum atau pada

(19)

commit to user

saat perkawinan dilangsungkan untuk mengatur akibat-akibat perkawinan terhadap harta benda mereka (R. Soetojo Prawirohadojo. 1988:57).

Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, hanya terdapat satu pasal yang mengatur terkait Perjanjian Kawin, yaitu Pasal 29. Sedangkan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 sebagai peraturan pelaksananya sama sekali tidak mengatur tentang perjanjian kawin. Sehingga Mahkamah Agung berpendapat bahwa ketentuan yang sudah berlaku sebelumnya, termasuk KUHPerdata, tetap berlaku.

Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menetukan bahwa pada waktu sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas perjanjian bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersebut tersangkut. Dengan demikian bentuk perjanjian perkawinan adalah bebas, bisa akta otentik atau akta dibawah tangan. Namun dalam praktik perjanjian kawin berbentuk akta otentik yang dibuat dihadapan notaris.

Selanjutnya perjanjian kawin disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan.Pengesahan hanya dapat diberikan apabila perjanjian kawin tidak melanggar batasan-batasan hukum, agama, dan kesusilaan. Pasal 29 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menetukan bahwa perjanjian kawin mulai berlaku sejak perkawinan berlangsung. Apabila perkawinan tidak jadi dilangsungkan, maka perkawinan akan menjadi gugur.

Pasal 29 ayat (4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menetukan bahwa selama perkawinan berlangsung, perjanjian kawin tidak dapat diubah, kecuali atas persetujuan suami istri dan tidak merugikan pihak ketiga (R. Soetojo Prawirohadojo. 1988:58-61).

Dalam membuat suatu perjanjian tidak boleh melanggar atau bertentangan dengan undang-undang, agama, kesusilaan, dan ketertiban umum.Landasan inilah yang digunakan seorang suami istri dalam mengadakan perjanjian perkawinan. Dalam membuat perjanjian

(20)

commit to user

perkawinan tidak boleh melanggar pula ketentuan-ketentuan mengenai hukum perkawinan.

Proses mengenai pembuatan perjanjian perkawinan khususnya mengenai harta bersama tidak diatur secara lengkap baik di Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maupun Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Sehingga berdasarkan Pasal 66 Undang-Undang Perkawinan, kita masih bisa mengacu pada ketentuan KUHPerdata sepanjang Undang-Undang Perkawinan tidak mengaturnya. Sebelum perkawinan dilangsungkan, calon suami istri atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian perkawinan (Huwelijkvoorwarden) mengenai harta bersama melalui proses-proses sebagai berikut:

1) Kesepakatan mengenai kedudukan harta bersama dan harta bawaan masing-masing pihak.

2) Biaya yang dikeluarkan untuk rumah tangga dan pemeliharaan serta pendidikan anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan mereka dan pengeluaran biasa dan sehari-hari untuk keperluan rumah tangga menjadi tanggungan kedua belah pihak.

3) Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama akan dibagi secara wajar dan adil dan/atau diatur menurut hukumnya masing-masing.

4) Ketentuan mengenai pilihan hukum yang berlaku;

5) Perjanjian perkawinan tersebut dibuat secara tertulis (Akta Notariil). 6) Perjanjian perkawinan tertulis tersebut disahkan oleh Pegawai Pencatat

Perkawinan.

7) Sejak pengesahan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, isi ketentuan perjanjian tersebut menjadi sah kepada suami isteri dan juga terhadap pihak ketiga, sepanjang isi ketentuan yang menyangkut pihak ketiga. 8) Perjanjian perkawinan mulai berlaku sejak tanggal hari perkawinan

dilangsungkan.

9) Perjanjian perkawinan tidak dapat diubah selama perkawinan, jika perubahan tersebut dilakukan secara sepihak. Perubahan Unilateral

(21)

commit to user

tidak boleh, akan tetapi jika perubahan atas kehendak bersama atau secara bilateral perubahan dimaksud dapat dilakukan.

10) Perjanjian perkawinan tidak dapat disahkan bilamana isi ketentuan perjanjian itu melanggar batas-batas hukum agama dan kesusilaan.

Perjanjian perkawinan ini sangat penting diadakan terutama terhadap pasangan yang akan melakukan perkawinan campuran. Pada pasangan yang berbeda kewarganegaraan ini, biasanya dibuat perjanjian perkawinan pemisahan harta kekayaan, misalnya istri yang berkewargaraan Indonesia memiliki tanah hak milik, jika ia mengadakan perjanjian perkawinan ketika menikah dengan suaminya yang berkewarganegaraan asing, maka pasangannya tidak ikut memiliki setengah tanah tersebut. Jika tidak dibuatkan perjanjian perkawinan, maka akan timbul permasalahan terkait pembagian harta bersama apabila terjadi perceraian.

“Agreements made before or during marriage or civil partnership

which seek to regulate the couple’s financial affairs during the relationship or to determine the division of their property in the event of divorce, dissolution or separation. Often referred to colloquially as “pre-nups” and “post-nups” (depending on whether they are made before or after marriage), and sometimes in legal writing collectively as “nuptial agreements” (David Hertzell,

2014 :19).”

c. Perceraian dari Perkawinan Campuran

Perceraian adalah putusnya suatu perkawinan yang sah didepan hakim pengadilan berdasarkan syarat-syarat yang ditentukan Undang-undang. Secara umum mengenai putusnya hubungan perkawinan ini dalam tiga golongan seperti yang tercantum dalam Pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yaitu; kematian, perceraian dan atas keputusan pengadilan. Menurut ketentuan Pasal 209 Kitab Undang Undang Hukum Perdata mengenai berbagai alasan yang dapat mengakibatkan perceraian, yakni: Overspel (perzinahan), meninggalkan pihak yang lain tanpa alasan, dikenakan pidana penjara selama lima tahun atau lebih setelah perkawinan dilangsungkan, isteri/suami yang mengalami luka berat akibat penganiayaan sehingga membahayakan jiwa pihak yang teraniaya. Sedangkan menurut ketentuan Pasal 39 ayat (1) Undang

(22)

commit to user

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang pengadilan, setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha mendamaikan kedua belah pihak.

Perceraian dalam perkawinan campuran termasuk dalam bidang status personal HPI. Hal ini menjadi tidak ada masalah apabila suatu perceraian itu dilakukan oleh suami-istri yang mempunyai kewarganegaraan yang sama, tetapi menjdi kurang apabila suami-istri mempunyai kewarganegaraan yang berbeda. Persoalan perceraian dalam bidang HPI dibagi dalam beberapa aspek yang menarik perhatian, antara lain; Perceraian dari Warga Negara Indonesia, perceraian dari orang-orang di Indonesia, persoalan Jurisdiksi dalam perkara-perkara perceraian, pengakuan terhadap keputusan-keputusan cerai dari luar negeri (Sudargo Gautama, 2005:167).

Mengenai perceraian orang-orang asig yang dilakukan di Indonesia ini menjadi sangat menarik karena menyangkut kompetensi dan persoalan tentang hukum mana yang dipergunakan (choice of law). Bagi orang-orang asing yang berada diwilayah Indonesia, Pengadilan Negeri dapat memberikan keputusan-keputusan perceraian, bilamana kedua mempelai bertempat tinggal di Indonesia, hal ini menjadi tidak masalah. Yang menjadi persoalan adalah apabila hanya salah satu pihak saja yang berada di Indonesia sedang pihak yang lain berada di luar negeri, maka tuntutan perceraian diajukan di Pengadilan Negeri dan apabila para pihak tidak mendalilkan kewarganegaraan mereka, maka Hakim mempergunakan hukum Indonesia, tanpa menghiraukan segi-segi HPInya. Jika para pihak mendalilkan kewarganegaraannya maka perlu diperhatikan “choice of

law”. Sesuai dengan asas kewarganegaraan, suatu keputusan cerai yang

diucapkan diluar negeri antara para pihak yang kedua-duanya adalah WNI hanya dapat diakui Hakim Indonesia, jika keputusan bersangkutan didasarkan atas alasan-alasan yang dikenal dalam Hukum Indonesia.

Salah satu contoh kasus perceraian yang terjadi atas sepasang suami istri dalam perkawinan campuran, yaitu seorang wanita Ni Made

(23)

commit to user

Jati WNI dengan seorang laki-laki WNA Michael Patrick Donnelly (berkebangsaan Amerika Serikat). Mereka menikah di Los Angeles, Country Angeles, California pada tanggal 14 September 1985 dan menikah secara hukum adat Bali dan agama Hindu Bali pada tanggal 25 Mei 1994 di Jalan Pengembak Gang III No. 29 Sanur Denpasar Bali sesuai dengan kutipan Akta Perkawinan No. 299/1996 yang dikeluarkan oleh kantor catatan sipil Kab. Dati II Badung pada tanggal 30 September 1996, namun pada bulan April 2005, Ni Made Jati menggugat cerai suaminya. Ni Made Jati menggugat cerai ke Pengadilan Negeri Denpasar berdasarkan kutipan Akta Perkawinan No. 299/1996 yang dikeluarkan oleh kantor catatan sipil Kab. Dati II Badung pada tanggal 30 September 1996.

Terhadap gugatan tersebut PN Denpasar menjatuhkan putusan No. 119/Pdt.G/2005/PN, tanggal 22 November 2005, yang amar putusannya mengabulkan gugatan dari Ni Made Jati. Salah satunya menyatakan bahwa perkawinan yang dilakukan menurut adat dan agama Hindu Bali sah dan putus karena perceraian. Putusan PN Denpasar tersebut dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Denpasar dengan putusan No. 16/Pdt/2006/PT.Dps, tanggal 20 Februari 2006.

Atas putusan terakhir tersebut maka Michael Patrick Donnelly mengajukan kasasi. Mahkamah Agung menjatuhkan putusan yang isinya membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Denpasar No. 15/Pdr/2006/PT.Dps, tanggal 20 Februari 2006 yang menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Denpasar No. 119/Pdt.G/2005/PN.Dps, tanggal 22 November 2005. Salah satu pertimbangan hukumnya adalah Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyebutkan bahwa perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara dua orang WNI atau seorang WNA adalah sah apabila dilakukan menurut hukum yang berlaku di Negara tempat perkawinan tersebut dilaksanakan. Selanjutnya dalam ayat (2) disebutkan bahwa perkawinan tersebut harus didaftarkan di Kantor Pencatatan Perkawinan tempat tinggal mereka. Sehingga tentang hukum yang dipergunakan atas perkawinan yang dilaksanakan di Bali pada tanggal 30 September 1996 adalah tidak

(24)

commit to user

benar, karena kedua belah pihak sudah mengajukan surat perkawinan tahun 1985 di Amerika Serikat. Sehingga perkawinan yang benar-benar sah adalah perkawinan yang dilangsungkan di Amerika Serikat. Perkawinan yang dilakukan di Bali tidak mempunyai kekuatan hukum. Putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi Denpasar mengabaikan surat perkawinan tahun 1985 yang dilaksanakan di Amerika Serikat.

Sehingga gugatan perceraian yang diajukan berdasarkan perkawinan tanggal 30 September 1996 harus ditolak, karena mengabaikan perkawinan tahun 1985 di Amerika Serikat. Oleh karena itu dalam dalam mengeluarkan putusan perceraian tersebut tidak boleh mengabaikan ketentuan hukum yang berlaku di Amerika Serikat.

Mengenai perceraian dengan segala akibat hukumnya, di dalam Hukum Perdata Internasional berkembang beberapa asas yang menyatakan bahwa hal tersebut harus diselesaikan berdasarkan sistem hukum dari tempat (Bayu Seto Hardjowahono, 2006:157-158) :

1. Sistem hukum tempat perkawinan diresmikan atau dilangsungkan (lex

loci celebrationis)

2. Sistem hukum dari tempat suami-isteri bersama-sama menjadi warga negara setelah perkawinan (joint nationality)

3. Sistem hukum dari tempat suami isteri berkediaman tetap bersama-sama setelah perkawinan (joint residence) atau tempat suami berdomisili tetap setelah perkawinan.

4. Tempat diajukannya perceraian (lex fori)

Perbedaan yang demikian besar dalam perundang-undangan perceraian dari berbagai negara, nyata pula kecondongan kepada lex fori. Persoalan perceraian dalam Hukum Perdata Internasional ini menjadi berubah sifatnya menjadi persoalan yurisdiksi. Dengan demikian, dalam menghadapi perceraian internasional, suatu negara cenderung untuk menyelesaikannya berdasarkan lex fori dengan mempergunakan hukum nasionalnya sendiri (Sudargo Gautama. 2005:275).

(25)

commit to user

Pada umumnya kewarganegaraan tidak dipakai untuk menentukan kompetensi, domicilie lah yang dipergunakan sebagai titik taut. Dalam penjelasan yang tersebut di atas, dipergunakan “tempat kediaman” (woonplaats) sebagai yang menentukan yurisdiksi pengadilan.

Bilamana hendak dipertahankan prinsip nasionalitas, maka hal ini juga dapat dilakukan dengan menerima suatu kombinasi antara prinsip domisili dan nasionalitas ini.

Kecenderungan untuk hidup bersatu adalah kodrat naluri manusia. Dalam keadaan semacam itu, norma yang mengatur ragam aktivitas tersebut tentu tidak diserahkan kepada aturan normatif suatu negara tertentu. Hal itu disebabkan hukum nasional suatu negara berdaulat, batas berlakunya hanya di dalam teritorial negara tersebut. Untuk itu, pengaturan tentang berbagai kepentingan bersama antar negara berdaulat, tentu akan diupayakan dalam bentuk kesepakatan bersama antar negara-negara yang lazimnya dituangkan dalam bentuk “perjanjian internasional (Mochtar Kusumaatmadja, 1978:109-114).

Instrumen itulah yang paling mungkin untuk digunakan dalam menangani berbagai persoalan transnasional yang dihadapi bersama. Memang setiap negara merdeka dan berdaulat memiliki sistem HPI yang berlainan satu sama lain. Untuk mengatasi kesulitan yang terjadi manakala muncul persoalan perdata dan melibatkan dua negara atau lebih, biasanya negara-negara berupaya mengadakan kerjasama internasional dengan jalan mempersiapkan konvensi-konvensi yang bertujuan menciptakan unifikasi di dalam bidang hukum, khususnya hukum perdata. Akan tetapi upaya tersebut bukan dimaksudkan untuk menyeragamkan seluruh sistem hukum intern dari negara-negara peserta konperensi, melainkan sekedar upaya untuk menyelaraskan kaidah-kaidah HPI-nya. Selanjutnya, penyelesaian persoalan untuk masalah-masalah hukum perdata tertentu akan dapat dilakukan oleh badan-badan peradilan masing-masing negara peserta (Sudargo Gautama, 2005:5).

Permasalahan perceraian internasional ini ternyata telah diupayakan penyelesaiannya pada konferensi tentang Hukum perdata

(26)

commit to user

Internasional ke sebelas yang diselenggarakan di Den Haag tanggal 7 sampai 26 Oktober 1968. Pada konferensi tersebut telah diterima suatu Konvensi tentang pengakuan keputusan perceraian dan pisah hidup (Conventions on the recognition of divorces and legal separations). Konferensi Den Haag inilah yang pertama kali dimana Indonesia turut serta pula, walau baru sebagai “observer” (Sudargo Gautama, 2005:13).

Menghindarkan perceraian-perceraian pincang dan memudahkan hak untuk menikah kembali inilah yang merupakan tujuan utama Konvensi Den Haag pada Konferensi ke-11 tahun 1968 ini. Konvensi ini hanya akan memakai sistem apa yang dinamakan “Convention Simple”. Pada Konvensi semacam ini maka tidaklah oleh Konvensi dibebankan suatu peraturan kompetensi yang demikian mengikatnya hingga para hakim dari negara negara peserta akan harus mengucapkan sendiri perceraian atau hidup terpisah, tetapi ia hanya wajib untuk mengakui perceraian-perceraian yang telah diucapkan oleh instansi dari negara peserta lainnya berdasarkan ketentuan-ketentuan yurisdiksi yang telah ditentukan dalam Konvensi yang bersangkutan (Sudargo Gautama, 2005:222).

Untuk menjamin bahwa jumlah ratifikasi Konvensi ini bisa menjadi sebesar mungkin diadakan pembatasan pula dari berlakunya Konvensi yang bersangkutan, hingga tak termasuk di dalamnya perintah-perintah yang kondemnatoir dan menyertai suatu keputusan cerai, misalnya mengenai kewajiban memberikan nafkah atau mengenai kewajiban finansial berkenaan dengan anak-anak dan pendidikan serta pemeliharaan anak. Tujuan konvensi ini ialah menjamin bahwa keputusan-keputusan cerai dan hidup terpisah dalam negara peserta yang satu dijamin pengakuannya dan realisasinya (misalnya untuk menikah lagi) dalam negara-negara perserta lainnya.

Seperti perceraian pada umumnya, perceraian pada perkawinan campuran pun menimbulkan akibat-akibat baik terhadap hubungan suami istri yang bercerai tersebut, juga terhadap anak jika ada, dan terhadap harta bersama.

(27)

commit to user

Menurut ketentuan Pasal 119 Kitab Undang undang Hukum Perdata, sejak dilangsungkannya perkawinan antara suami istri secara hukum (van rechtswege) terjadilah kebersamaan harta perkawinan sejauh hal tersebut tidak menyimpang dari perjanjian kawin. Dengan demikian terbukti bahwa walaupun ada kebersamaan secara bulat, tetapi ada kemungkinan bahwa barang-barang tertentu yang diperoleh suami atau istri dengan cuma-cuma, yaitu karena pewarisan secara testamentair, secaraa legaat atau hadiah, tidak masuk dalam kebersamaan harta kekayaan itu, tetapi menjadi milik suami pribadi atau milik istri pribadi. Hal ini terdapat dalam ketentuan Pasal 120 Kitab Undang undang Hukum Perdata.

Menurut UUP tentang harta benda dalam perkawinan diatur dalam tiga pasal saja yaitu :

Pasal 35 menyatakan bahwa,

“(1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harat bersama.

(2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.”

Pasal 36 menyatakan bahwa,

“(1) Mengenai harta suami istri dapat bertindak atas perjanjian kedua belah pihak.

(2) Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.”

Pasal 37 menyatakan bahwa “bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.”

Pasal 37 ini mengindikasikan bahwa ketika terjadi perceraian, harta bersama yang diperoleh oleh pasangan suami isteri selama perkawinan dapat diatur dengan menggunakan aturan yang berbeda-beda tergantung pada variasi hukum adat atau hukum lain di luar hukum adat.

Secara umum di Indonesia berlaku dua sistem peraturan tentang harta benda perkawinan yang satu sama lain berhadapan secara diam artinya berseberangan satu sama lain yakni : Hukum Islam dan Kitab

(28)

commit to user

Undang undang Hukum Perdata. Menurut Hukum Islam menganggap kekayaan suami dan isteri masing-masing terpisah satu dengan lainnya, artinya atas harta benda milik suami, si isteri tidak mempunyai hak, dan terhadap barang-barang milik si isteri, si suami tidak mempunyai hak.Jadi konsekwensi menurut Hukum Islam, status harta benda, status harta benda seorang perempuan tidak berubah dengan adanya perkawinan. Di Indonesia juga berlaku Kompilasi Hukum Islam, yang berkaitan dengan pembagian harta bersama sebagaimana diatur dalam Pasal 96 dan 97 Kompilasi Hukum Islam tersebut, yang menyebutkan bahwa pembagian harta bersama baik cerai hidup maupun cerai mati ini, masing-masing mendapat setengah dari harta bersama tersebut. Selengkapnya Pasal 96 Kompilasi Hukum Islam berbunyi :

“(1) Apabila terjadi cerai mati, maka separo harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama.

(2) Pembagian harta bersama bagi seorang suami atau istri yang istri atau suaminya hilang harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau mati secara hukum atas dasar keputusan Pengadilan Agama.”

Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam menyatakan: “Janda atau duda yang cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan”. Dari uraian di atas, dapat diambil pengertian bahwa pembagian harta bersama karena cerai hidup dapat dilakukan secara langsung antara bekas istri dan suami dengan pembagian masing-masing setengah bagian.

Sedangkan menurut Kitab Undang undang Hukum Perdata menganggap bahwa apabila suami dan isteri pada waktu akan melangsungkan perkawinan tidak mengadakan perjanjian pisah harta diantara mereka maka akibat dari perkawinan itu adalah percampuran kekayaan suami dan isteri menjadi satu kekayaan milik berdua secara bersama-sama dan bagian masing-masing dalam kekayaan bersama ini adalah separuh. Di dalam Hukum Adat menganut sistem tengah antara sistem Hukum Islam dan Kitab Undang undang Hukum Perdata artinya ada kemungkinan dalam suatu perkawinan sebagian dari kekayaan masing-masing suami dan isteri terpisah satu dari yang lain, dan ada kemungkinan

(29)

commit to user

sebagian kekayaan itu tercampur menjadi harta benda bersama suami isteri (R.Soetojo Prawirohamidjojo, 1994:74).

Berdasarkan ketentuan tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa konsep pembagian harta gono gini (harta bersama) setelah perceraian adalah 50:50, yaitu 50% untuk pihak isteri dan 50% untuk pihak suami. Hal ini didasarkan pada suatu pemikiran bahwa dalam suatu perkawinan itu baik pihak isteri maupun pihak suami mempunyai kedudukan yang seimbang dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat dengan suami sebagai kepala rumah tangga dan isteri sebagai ibu rumah tangga. sPembagian harta gono gini tersebut dilakukan setelah perceraian terjadi atau diputus oleh Pengadilan yang berwenang untuk itu. Hal ini disebabkan, pembagian harta gono gini tersebut akan didasarkan pada isi amar putusan perceraian yang menyatakan mengenai pembagian harta gono gini.

Dalam hal terjadi suatu perceraian, maka pihak yang mensahkan pembagian harta gono gini tersebut adalah pihak Pengadilan yang berwenang untuk itu. Hal ini dikarenakan, pembagian harta gono gini tersebut terdapat/dicantumkan dalam amar putusan perceraian yang diputus dan disahkan oleh Pengadilan yang berwenang untuk itu.

Berkaitan dengan saksi-saksi dalam pembagian harta gono gini, peraturan perundang-undangan tidak memperinci secara lebih jelas lagi perihal mengenai pihak yang menjadi saksi untuk hal tersebut. Hanya saja, dalam suatu sidang perceraian yang merupakan sidang tertutup saksi-saksi akan diajukan berkaitan dengan hal-hal yang dinyatakan dalam gugatan cerai selama sidang pemeriksaan gugatan cerai.

Mengenai pembagian harta dalam perkawinan campuran, dapat dilakukan hanya terhadap harta bersama (harta yang di dapat selama perkawinan). Harta bawaan adalah tetap dikuasai oleh masing-masing pihak, kecuali sebelum perkawinan campuran dilakukan, kedua belah pihak membuat dan menanda tangani suatu Perjanjian Pisah Harta.

Mengenai harta bersama berupa benda tetap yaitu tanah, dalam perkawinan campuran, seorang WNA tidak dapat memiliki tanah atas

(30)

commit to user

namanya sendiri. Jika seorang WNI yang melaksankan perkawinan dengan WNA tanpa diadakan perjanjian perkawinan sebelumnya, dipaksa untuk tunduk pada ketentuan peraturan yang diperuntukkan bagi WNA. Dapat dilihat dalam Pasal 21 ayat (3) Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA) yang menyatakan :

“Orang asing yang sesudah berlakunya Undang-Undang ini memperoleh hak milik karena pewarisan tapa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan, demikian pula Warga Negara Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah berlakunya Undang-Undang ini kehilangan kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu didalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu. jika sesudah jangka waktu tersebut lampau hak milik tidak dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung.”

Berdasarkan Pasal 42 dan Pasal 45 UUPA dan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Guna Usaha (HGU), Hak Pakai (HP) atas tanah pada Pasal 39, WNA dapat memiliki hak pakai dan hak sewa saja. WNI yang menikah dengan WNA dan tidak mengadakan perjanjian perkawinan dapat secara otomatis digolongkan sebagai subjek hukum yang hanya berhak untuk mendapatkan hak pakai dan hak sewa. Pada Pasal 41 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996, hak pakai dapay diberikan diatas tanah dengan status Tanah Negara, Tanah Hak Pengelolaan, dan Tanah Hak Milik. Oleh karena itu, salah satu cara agar WNI tersebut agar tetap memiliki hak milik atas tanahnya sendiri adalah dengan perjanjian perkawinan. Dengan dibuatnya perjanjian perkawinan, semua harta yang diatur dalam perjanjian tersebut terpisah, sehingga WNI tersebut tetap dapat memiliki tanah atas namanya sendiri, dan pasangannya yang WNA tidak berhak atas setengah tanahnya tersebut.

Referensi

Dokumen terkait

2) Interaktivitas siswa dalam pembelajaran matematika dengan mengunakan media tangram pada tingkatan pertama ini, secara keseluruhan perlu ditingkatkan pada tindakan

Tujuan penelitian ini ialah menganalisis galur BC 3 F 2 padi gogo yang membawa lokus gen Alt and Pup1 secara molekuler (analisis foreground dan background) dan

orang tua dalam mendidik atau membentuk moral dan karakter siswa, khususnya di SD Negeri 2 Tamanbali, diperoleh bahwa yang mempengaruhi rendahnya karakter siswa

Data di atas menunjukkan bahwa kondisi terumbu karang di Perairan Teluk Kulisusu Sulawesi Tenggara, masih jauh lebih baik jika dibandingkan dengan kondisi

Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Pratiwi dkk (2012), terdapat hubungan negatif yang signifikan antara keterampilan sosial dengan perilaku adiksi game

Hasil penelitian menunjukkan bahwa OCB berpengaruh positif dan signifikan pada kinerja karyawan, artinya bahwa semakin karyawan berperilaku OCB (membantu rekan kerja, bekerja

Dan pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan yang memiliki sisi yang berbeda dalam melaksanakan proses pendidikannya, yang terletak dari sebuah sistem yang di

Hal ini sesuai dengan acuan pustaka yang menyatakan ambliopia anisometropia ialah gangguan refraksi berbeda dari kedua mata yang menyebabkan gambar di satu retina