TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik Ternak Kelinci
Kelinci merupakan jenis ternak yang mulai banyak dilirik peternak. Hal ini karena kelinci memiliki potensi yang bisa diandalkan. Selain sebagai penghasil daging, kelinci juga bisa dimanfaatkan sebagai penghasil kulit dan bulu sebagai bahan baku industri. Kelinci juga dapat berkembang di semua daerah, termasuk indonesia (Masanto dan Agus, 2013).
Bangsa kelinci mempunyai klasifikasi taksonomi sebagai berikut: Kingdom: Animalia, Filum: Chordata, Subfilum: Vertebrata, Class: Mamalia,
Ordo: Lagomorpha, Family: Leporidae, Subfamily: Leporine, Genus: Lepus Orictolagus, Species: Lepus spp, Orictolagus spp(Susilorini, 2008).
Ternak kelinci merupakan salah satu bagian yang memberikan pengaruh sebagai salah satu sumber protein hewani yang sangat potensial untuk dikembangkan. Budidayanya cocok dilakukan masyarakat karena tidak membutuhkan tanah yang luas dan modal yang besar serta mampu tumbuh dan berkembang dengan cepat (Sitorus et al., 1982).
Kelinci makan dan mengunyah makananya sekitar 300 kali. Setiap mengunyah, kelinci akan memutar makanannya ke kedua sisi rongga mulut. Kemudian makanan yang sudah dikunyah tersebut akan turun ke esophagus (kerongkongan). Dari kerongkongan akan menuju ke lambung, tapi reaksi sebenarnya bukan disini. Lambung hanya menyimpan makanan, sedangkan nutrisinya disterilisasi dan dipindahkan ke usus halus. Pakan yang tidak tercerna dari usus halus dibawa menuju ke coecumdan colon(hindgut) untuk difermentasi
oleh enzim bakteri. Selanjutnya dari coecum, pakan masuk kedalam usus besar yang akhirnya dibuang melalui anus.
Kebutuhan Nutrisi Kelinci
Bahan pakan adalah setiap bahan yang dapat dimakan, disukai, dapat dicerna sebagian atau seluruhnya, dapat diabsorpsi dan bermanfaat bagi ternak. Pakan adalah satu macam atau campuran lebih dari satu macam bahan pakan yang khusus disediakan untuk ternak (Kamal, 1994).
Pakan kelinci berupa hijauan dankonsentrat dan harus terjamin jumlah danmutunya.Pakan yang diberikan harus baikdan jelas kualitasnya serta dapatmemenuhi kebutuhan nutrisi dari kelinci.Kelinci pada masa pertumbuhanmembutuhkan Digestible Energy (DE)sebesar 2500 Kkal/kg, TDN sebesar 65%,serat kasar sebesar 10-12%, protein kasarsebesar 16% dan lemak sebesar 2% (NRC,1977).
Menurut (Wheindrata, 2012) volume bahan hijauan harus paling banyak dalam komposisi pakan kelinci, karena kelinci membutuhkan makanan dengan kandungan serat kasar yang lebih tinggi. Bahan hijauan yang dibutuhkan dalam pembuatan pakan kelinci minimal 25-30%. Kebutuhan bahan kering kelinci dibedakan sesuai dengan periode pemeliharaan. Kelinci muda dengan bobot 1,8-3,2 kg membutuhkan bahan kering 112-173 g/ekor/hari. Kelinci dewasa dengan bobot 2,3-6,8 kg membutuhkan bahan kering 92-204 g/ekor/hari. Menurut Ensminger (1991) menyatakan bahwa kelinci dengan bobot badan 1,8-3,2 kg, kebutuhan bahan keringnya sebesar 112-173 g/ekor/hari atau setara dengan 5,4-6,2% dari bobot hidup.
Pakan kelinci sebaiknya mengandung nutrisi yaitu air (maksimal 12%), protein (12-18%), lemak (maksimal 4%), serat kasar (maksimal 14%), kalsium (1,36%), fosfor (0,7%). Pakan kelinci bisa berupa pelet dan hijauan. Kelinci yang dipelihara secara intensif, porsi pakan hijauan bisa mencapai 60-80%, selebihnya menggunakan konsentrat. Namun beberapa peternak menggunakan 60% konsentrat dan 40% hijauan (Masanto dan Agus, 2013).Kebutuhan ransum kelinci lepas sapih umur 2-4 bulan dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 1. Kebutuhan ransum kelinci lepas sapih
No Nutrisi Jumlah 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Protein Lemak Serat Kasar Energi Calsium Phosfor Air 12-19%** 2,5-4%** 11-14%** 2005-2900%* 0,9-1,5%** 0,7-0,9%** 12%***
Sumber : AAK (1982)*, Manshur (2009)**, Masanto (2009)***.
Sistem Pencernaan Kelinci
Sistem pencernaan kelinci menurut Cheeke et al. (2000) bahwa alat pencernaan kelinci dibagi dua bagian yaitu perut depan (foregut) terdiri dari lambung, pankreas dan usus kecil (duodenum, jejenum, ileum) dan perut belakang (hindgut) yang terdiri dari sekum, appendix dan kolon.
Perut belakang memegang peranan penting dalam sistem pencernaan kelinci, karena merupakan tempat terjadinya fermentasi pakan didalam sekum, pemisahan dan pencernaan kembali isi sekum. Kelinci merupakan hewan herbivora non ruminansia yang mempunyai sistem lambung sederhana (tunggal) dengan pembesaran dibagian sekum dan kolon (hindgut) seperti alat pencernaan pada kuda dan babi. Kolon merupakan tempat pertumbuhan bakteri yang memiliki fungsi
yang sama dengan rumen pada sapi yaitu sebagai tempat terjadinya proses pencernaan makanan.
Gambar 1. Sistem Pencernaan Kelinci
Menurut Herman (2000) kelinci merupakan ternak herbivora yang bukan ruminansia, kurang mampu untuk mencerna serat kasar, tetapi dapat mencerna protein dari tanaman berserat dan memanfaatkannya dengan efektif. Hal ini memungkinkan kelinci dapat makan dan memanfaatkan bahan-bahan hijauan, rumput dan sejenisnya. Kelinci mempunyai kebiasaan yang tidak dilakukan pada ternak ruminansia yaitu kebiasaannya memakan feses yang sudah dikeluarkan yang disebut dengan coprophagy (Blakely dan Bade, 1991). Sifat coprophagy biasanya terjadi pada malam atau pagi hari berikutnya.
Menurut Parakkasi (1983), Sistem pencernaan adalah sebuah sistem yang terdiri dari saluran pencernaan yang dilengkapi dengan beberapa organ bertanggungjawab atas pengambilan, penerimaan dan pencernaan bahan pakan
dalam perjalanannya melalui tubuh (saluran pencernaan). Mulai dari rongga mulut sampai ke anus. Di samping itu sistem pencernaan bertanggung jawab pula atas pengeluaran (ekskresi) bahan-bahan pakan yang tidak terserap.
Kelinci termasuk aneka ternak non ruminansia tetapi melakukan suatu proses coprophagy yaitu feses lembek dimakan kembali dan dipakai sebagai sumber nutrient tertentu. Kelinci juga melakukan proses fermentasi pakan berserat oleh mikrobia pada sekum. Hal ini disebut pseudo ruminansia yaitu ternak non ruminansia yang melakukan fermentasi pakan berserat di sekum (setelah pakan melewati lambung). Proses fermentasi tersebut terjadi di sekum, oleh karena itu sekum mempunyai volume 42% dari total volume tractus digestivus pada kelinci (Prawirokusumo, 1994).
Dalam caecum, bakteri akan mencerna selulosa, hampir semua jenis gula, sari-sari makanan dan protein berlebih yang tidak tercerna di usus halus. Setiap 3 sampai 8 jam sekum akan berkontraksi dan memaksa material yang ada di dalamnya untuk kembali ke usus besar, dimana sisa-sisa tersebut akan dilapisi oleh lendir, dan berpindah ke anus. Sisa-sisa ini akan menjadi kotoran yang berbentuk seperti anggur hitam kecil-kecil yang disebut “cecothropes” atau “cecal pills”. Proses ini lebih sering terjadi dimalam hari. Kelinci biasanya akan memakan
cecothropesnya kembali langsung dari anus (coprophagy) untuk mencerna kembali
nutrien yang tidak tercerna tadi dan menerima nutrisi yang lebih banyak (Rukhmana, 2005).
Daya cerna merupakan selisih antara ransum yang dikonsumsi dengan yang dikeluarkan dalam bentuk feses. Daya cerna dihitung berdasarkan bahan kering dan bahan organik. Bahan organik yang diserap tractus gastrointestinalis pada ternak herbivora merupakan faktor yang penting untuk menentukan keluaran
produk ternak (Williamson dan Payne, 1993). Anggorodi (1990) menyatakan pada dasarnya tingkat kecernaan adalah suatu usaha untuk mengetahui banyaknya nutrien yang diserap oleh saluran pencernaan. Selanjutnya dijelaskan bahwa bagian yang dapat dicerna adalah selisih antara nutrien yang dikonsumsi dengan nutrien yang dibuang bersama feses. Pengukuran daya cerna bermanfaat bagi suatu usaha untuk meningkatkan jumlah zat makanan dari bahan makanan yang diserap di dalam saluran pencernaan.
Selisih antara nutrien yang terkandung dalam bahan pakan yang dimakan dan nutrien dalam feses adalah jumlah yang tinggal dalam tubuh hewan atau jumlah dari nutrien yang dicerna, dapat pula disebut koefisien cerna. Faktor-faktor yang mempengaruhi daya cerna bahan pakan adalah suhu, laju perjalanan melalui alat pencernaan, bentuk fisik dari pakan, komposisi ransum dan pengaruh perbandingan dengan zat lainnya (Anggorodi, 1990), komposisi kimia bahan, daya cerna semu protein kasar, penyiapan pakan (pemotongan, penggilingan, pemasakan, dan lain-lain), jenis ternak, umur ternak, dan jumlah ransum (Tillman
et al., 1991).
Menurut Standford (1996) cit Astuti (2009), pakan yang tidak tercerna seperti serat kasar masuk ke coecum dimana terdapat bakteri perombak yang akan mencernanya. Coecum merupakan organ yang sangat panjang dengan bagian akhir
appendix dan dalam keadaan normal coecum mengandung cairan. Pada periode
tertentu coecum akan berkontraksi dan memaksa bahan pakan yang ada didalamnya menuju ke bagian pertama pada kolon untuk proses perombakan bahan pakan. Setelah melalui kolon akan dihasilkan feses normal yang dikeluarkan melalui anus.
Menurut Anggorodi (1990) pada umumnya kesanggupan hewan untuk mencerna selulosa atau serat kasar tergantung dari jenis alat pencernaan yang
dimiliki hewan tersebut dan tergantung pula dari mikroorganisme yang terdapat dalam alat pencernaan. Herbivora (kelinci) mempunyai colon dan caecum istimewa tempat mikroorganisme dapat tumbuh dengan baik.
Kecernaan in vivo
Kecernaan In vivo merupakan suatu cara penentuan kecernaan nutrient menggunakan hewan percobaan dengan analisis nutrient pakan dan feses (Tillman et al. 2001). Anggorodi (2004) menambahkan pengukuran kecernaan atau nilai cerna suatu bahan merupakan usaha untuk menentukan jumlah nutrient dari suatu bahan yang didegradasi dan diserap dalam saluran pencernaan. Daya cerna merupakan persentse nutrient yang diserap dalam saluran pencernaan yang hasilnya akan diketahui dengan melihat selisih antara jumlah nutrient yang dikonsumsi dengan jumlah nutrient yang dikeluarkan dalam feses.
Dengan metode Invivo dapat diketahui pencernaan bahan pakan yang terjadi di dalam seluruh saluran pencernaan ternak, sehingga nilai kecernaan pakan yang diperoleh mendekati nilai sebenarnya. Koefisien cerna yang ditentukan secara In vivo biasanya 1% sampai 2 % lebih rendah dari pada nilai kecernaan yang diperoleh secara In vitro. Menurut Anggorodi (1990), daya cerna dapat ditentukan dengan mengukur secara teliti bahan pakan yang dimakan dan feses yang dikeluarkan. Jumlah nutrien dalam pakan dapat diketahui dengan jalan analisis kimia, sedangkan jumlah nutrien yang dicerna dapat diketahui apabila pakan telah mengalami proses pencernaan. Nutrien dapat dicerna diketahui melalui analisis secara biologis yang diikuti dengan analisis kimia untuk nutrien yang terdapat dalam feses. Jumlah nutrien tercerna (digestible nutrien) dari pakan dapat dihitung
apabila jumlah nutrien dalam pakan dan jumlah nutrien dalam feses diketahui (Kamal, 1994).
Kecernaan Pakan
Kecernaan merupakan presentasi nutrien yang diserap dalam saluran pencernaan yang hasilnya akan diketahui dengan melihat selisih antara jumlah nutrien yang dimakan dan jumlah nutrien yang dikeluarkan yang terkandung dalam feses. Nutrien yang tidak terdapat dalam feses diasumsikan sebagai nilai yang dicerna dan diserap McDonald et al., (2002) menyatakan bahwa kecernaan suatu pakan didefinisikan sebagai bagian dari pakan yang tidak diekskresikan melalui feses dan diasumsikan bagian tersebut diserap oleh ternak.
Daya cerna merupakan selisih antara ransum yang dikonsumsi dengan ransum yang dikeluarkan dalm bentuk feses. Daya cerna dihitung berdasarkan bahan kering dan bahan organik. Bahan organik yang diserap tractus
gastrointestinalis pada ternak herbivora merupakan faktor yang penting untuk
menentukan keluaran produk ternak (Williamson dan Payne, 1993).
Anggorodi (1990) menyatakan pada dasarnya tingkat kecernaan adalah suatu usaha untuk mengetahui banyaknya nutrien yang diserap oleh saluran pencernaan. Selanjutnya dijelaskan bahwa bagian yang dapat dicerna adalah selisih antara nutrien yang dikonsumsi dengan nutrien yang dibuang bersama feses. Pengukuran daya cerna adalah suatu usaha untuk meningkatkan jumlah zat makanan dari bahan makanan yang diserap di dalam saluran pencernaan.
Selisih antara nutrien yang terkandung dalam bahan pakan yang dimakan dan nutrien dalam feses adalah jumlah yang tinggal dalam tubuh hewan atau jumlah dari nutrien yang dicerna dapat pula disebut koefisien cerna. Faktor-faktor
yang mempengaruhi daya cerna bahan pakan adalah suhu, laju perjalanan melalui alat pencernaan, bentuk fisik dari pakan, komposisi ransum dan pengaruh perbandingan dengan zat lainnya (Anggorodi, 1990), komposisi kimia bahan, daya cerna semu protein kasar, penyiapan pakan (pemotongan, penggilingan, pemasakan, dan lain-lain), jenis ternak, umur ternak, dan jumlah ransum (Tillman
et al., 1991).
Tidak semua bahan pakan yang masuk kedalam alat pencernaan dapat dimanfaatkan, tetapi hanya sebagian dari nutrien yang diserap. Persentase yang dapat diserap ini disebut sebagai koefisien kecernaan. Nilai koefisien kecernaan ditentukan melalui selisih banyaknya nutrien yang terdapat dalam bahan pakan dengan nutrien yang terdapat dalam feses (Sihombing, 1997).
Teknologi Fermentasi Menggunakan Mikroorganisme Lokal (MOL)
Proses bioteknologi dengan menggunakan teknologi fermentasi bahan pakan mempunyai prospek untuk meningkatkan nutrien dari bahan-bahan berkualitas rendah (Mahmilia, 2005). Fermentasi adalah proses produksi energi dalam sel dalam keadaan anaerobik (tanpa oksigen). Probiotik merupakan natural
additive berupa mikroorganisme hidup yang mampu menaikkan kecernaan pakan.
Mikroorganisme selulolitik yang terdapat dalam probiotik akan menghasilkan enzim selulase yang akan membantu pemecahan lignoselulosa sehingga akan meningkatkan kecernaan (Agus et al., 1999).
Fermentasi merupakan proses biokimia yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan sifat bahan pakan sebagai akibat dari pemecahan kandungan bahan pakan tersebut, dimana bahan pakan mengalami fermentasi biasanya mempunyai nilai gizi yang lebih baik dari asalnya disebabkan kerena mikroorganisme bersifat
katabolik atau memecah komponen-komponen yang kompleks menjadi lebih sederhana sehingga lebih mudah dicerna (Winarno et al., 1990).
Kelembaban memegang peranan penting dalam proses metabolisme mikroorganisme dan secara tidak langsung berpengaruh pada supply oksigen. Mikroorganisme dapat memanfaatkan bahan organik apabila bahan organik tersebut larut dalam air. Kelembaban 40-60% adalah kisaran optimum untuk metabolisme mikroorganisme. Apabila kelembaban dibawah 40%, aktivitas mikroorganisme akan mengalami penurunan dan akan lebih rendah lagi pada kelembaban 15%. Apabila kelembaban lebih besar dari 60%, hara akan tercuci, volume udara akan berkurang, akibatnya aktivitas mikroba akan menurun dan akan terjadi fermentasi anaerobik yang menimbulkan bau tidak sedap (Isroi, 2008).
Mikroorganisme Lokal (MOL) merupakan pengembangbiakan mokroorganisme yang akan mampu mendegradasi bahan organik. Mikroorganisme ini diperoleh dari ragi tape (Saccharomyces sp), ragi tempe (Rhizopus sp) dan yoghurt (Lactobacillus sp) dikembangkan dengan cara pencampuran air sumur dan air gula.Tujuan tahapan ini adalah untuk membiakkan mikroorganisme yang mampu memfermentasi bahan organik, kulit daging buah kopi. Mikroorganisme dasar adalah Saccharomyces yang berasal dari ragi tape, Rhizopus dari ragi tempe dan Lactobacillus yang berasal dari yoghurt. Mikroorganisme ini mempunyai sifat-sifat sebagai berikut: sifat-sifat amilolitik, mikroorganisme yaitu Saccharomyces akan menghasilkan enzim amilase yang berperan dalam mengubah karbohidrat menjadi
volatile fatty acids dan keto acids yang kemudian akan menjadi asam amino. Sifat
proteolitik, mikroorganisme yaitu Rhizopus akan mengeluarkan enzim protease
yang dapat merombak protein menjadi polipeptida-polipeptida, lalu menjadi peptide sederhana dan akhirnya menjadi asam amino bebas, CO2 dan air. Sifat
lipoluptik, mikroorganisme yaitu Lactobacillus akan menghasilkan enzim lipase
yang berperan dalam perombakan lemak. Maka dari itu kandungan nutrisi pada kulit daging buah kopi dapatdirubah struktur kimia menjadi lebih baik yaitu dapat menurunkan serat kasar dan menaikan kadar protein kasar dan lemak kasarnya (Compost Center, 2009).
Rhizopus sp merupakan kapang yang penting dalam industri makanan
sebagai penghasil berbagai macam ezim seperti amilase, protease, pektinase dan
lipase.Rhizopus sp yaitu koloni berwarna putih berangsur-angsur menjadi abuabu;
stolon halus atau sedikit kasar dan tidak berwarna hingga kuning kecoklatan; sporangiofora tumbuh dari stolon dan mengarah ke udara, baik tunggal atau dalam kelompok (hingga 5 sporangiofora); Kapang dari Rhizopus sp juga telah diketahui sejak lama sebagai kapang yang memegang peranan utama pada proses fermentasi kedele menjadi tempe. Jenis-jenis kapang yang ditemukan diketahui sebagai
Rhizopus oligosporus,Rh. oryzae, Rh. stolonifer (kapang roti), atau Rh. Arrhizus
(Wulandari, 2012).
Hasil penelitian dengan melakukan fermentasi bungkil kedelai memakai
Rhizopus sp., mampu meningkatkan kandungan protein kasar bungkil kedelai dari
41% menjadi 55% dan meningkatkan asam amino sebesar 14,2% sehingga diduga
dapat dipakai untuk alternatif sebagai bahan pemicu pertumbuhan (Handajani, 2007).
Saccaromyces Cerevisiae merupakan kelompok mikroba yang tergolong
dalam khamir (yeast). S. Cereviceae secara morfologis umumnya memiliki bentuk elipsodial dengan diameter yang tidak besar, hanya sekitar 1-3µm sampai 1-7µm3.
Saccahromyses Cerevisiae bersifat fakultatif anaerobik mengandung 68-83% air,
Komposisi kimia S. cerevisiae terdiri atas : protein kasar 50-52%, karbohidrat ; 30-37%; lemak 4-5%; dan mineral 7-8% S. cerevisiae mempunyai beberapa enzim yang mempunyai fungsi penting yaitu intervase, peptidase dan zimase. Pada kelinci
S. cerevisiaememiliki fungsi meningkatkan bakteri yang menguntungkan.
Perlu dipertimbangkan pengaruh buruk jika pemberian secara berlebihan akan mengganggu keseimbangan mikroflora di dalam tubuh sehingga mengakibatkan terjadinya pengaruh patogen pada ternak yaitu penyakit "Saccharomikosis" (Mayasari, 2012).
Lactobacillus casei adalah bakteri Gram-positif, anaerob, tidak memiliki
alat gerak, tidak menghasilkan spora, berbentuk batang dan menjadi salah satu bakteri yang berperan penting. Lactobacillus adalah bakteri yang bisa memecah protein, karbohidrat, dan lemak dalam makanan, dan menolong penyerapan elemen penting dan nutrisi seperti mineral, asam amino, dan vitamin yang dibutuhkan manusia dan hewan untuk bertahan hidup (Damika, 2006).
Kulit Daging Buah Kopi
Menurut (Anthoni, 2009) dalam karya tulis Napitulu, L tahun 2010, menyatakan bahwa produksi perkebunan kopi selama lima tahun terakhir tumbuh sekitar 6%, pada tahun 2008 diperkirakan mencapai 683 ribu ton. Berdasarkan hasil produksi kopi tahunan Indonesia dapat diestimasikan bahwa dari 683 ribu ton yang dihasilkan per tahun juga dihasilkan limbah kulit kopi sebesar 310 ribu ton. Jumlah ini merupakan suatu potensi yang layak dimanfaatkan sebagai bahan baku pakan.
Kulit buah kopi merupakan limbah dari pengolahan buah kopi untuk mendapatkan biji kopi yang selanjutnya digiling menjadi kopi. Dalam kondisi segar buah kopi terdiri dari kulit buah 45%, kulit biji 5%, biji 40% dan mucilage 10%.
Limbah kulit kopi dari sisa pengolahan biji kopi seharusnya bisa dimanfaatkan untuk alternatif komoditi lain, seperti pakan ternak, media tanam bagi jamur dan lain sebagainya. Selain bermanfaat dalam mengurangi pencemaran lingkungan, juga dapat meningkatkan penghasilan petani kopi itu sendiri. Kulit daging buah kopimengandung antinutrisi berupa senyawa kafein 1,3% dan tanin 8,5%.
Kulit buah kopi merupakan limbah dari pengolahan buah kopi untuk mendapatkan biji kopi yang selanjutnya digiling menjadi bubuk kopi. Kandungan zat makanan kulit buah kopi dipengaruhi oleh metode pengolahannya apakah secara basah atau kering. Pada metode pengolahan basah, buah kopi ditempatkan pada tangki mesin pengupas lalu disiram dengan air, mesin pengupas bekerja memisahkan biji dari kulit buah. Sedangkan pengolahan kering lebih sederhana, biasanya buah kopi dibiarkan mengering pada batangnya sebelum dipanen. Selanjutnya langsung dipisahkan biji dan kulit buah kopi dengan menggunakan mesin. Kandungan nutrisi dapat dilihat pada tabel 4.
Tabel 2. Kandungan nutrisi kulit buah kopi berdasarkan pengolahannya Metode pengolahan BK (%) % Bahan Kering PK SK Abu LK BETN Basah 23 12,8 24,1 9,5 2,8 50,8 Kering 90 9,7 32,6 7,3 1,8 48,6 Sumber: Murni (2008).
Menurut data analisa laboratorium Biokimia dan Enzimatik Balai Penelitian Pasca Panen Pertanian Bogor (2003), dapat dilihat pada tabel 5 kandungan zat gizi kulit daging buah kopi sebagai berikut:
Tabel 3. Kandungan zat gizi kulit daging buah kopi
Zat Nutrisi Kandungan Nutrisi (%)
Bahan Kering 89,70 Protein Kasar 6,60 Lemak Kasar 0,72 Serat Kasar 18,69 TDN 27,65 Energi (Mcal/ME) 1901,90
Sumber : Dalam skripsi Manik (2012).
Menurut data analisa laboratorium nutrisi Loka Penelitian Sapi Potong (2011) dapat dilihat perbedaan kandungan zat gizi antara kulit daging buah kopi sebelum dan sesudah difermentasi pada tabel 6 berikut.
Tabel 4. Kandungan nutrisi kulit daging buah kopi sebelum dan sesudah difermentasi
Zat Nutrisi Tanpa Fermentasi Setelah Difermentasi
Bahan Kering (%) 56,79 93,84 Lemak Kasar (%) 4,25 2,30 Serat Kasar (%) 30,40 23,67 Protein Kasar (%) 11,90 15,61 Abu (%) 16,01 17,52 Kadar Air (%) 19,97 15,29
Gross energy (GE) 4,1221 4,2119