12 A. Pecking Order Theory
Menurut Kaaro (dalam Prabansari dan Kusuma, 2005) Pecking
Order Theory ini dikenalkan pertama kali oleh Donaldson pada tahun 1961. Secara singkat teori ini menyatakan bahwa :
1. Perusahaan menyukai internal financing (pendanaan dari hasil operasi
perusahaan berwujud laba ditahan).
2. Apabila pendanaan dari luar (external financing) diperlukan, maka
perusahaan akan menerbitkan sekuritas yang paling aman terlebih
dulu, yaitu dimulai dengan penerbitkan obligasi, kemudian diikuti
oleh sekuritas yang berkarakteristik opsi (seperti obligasi konversi),
baru akhirnya apabila masih belum mencukupi, saham baru
diterbitkan.
Hanafi (dalam Tarigan dan Siregar, 2010) menyimpulkan bahwa
berdasarkan Pecking Order Theory kebutuhan dana ditentukan oleh
kebutuhan investasi. Perusahaan akan berusaha untuk memenuhi kebutuhan
dana berdasarkan investasi yang diperlukan, dengan pemenuhan dana yang
berasal dari internal perusahaan . Kaaro (2003) dalam Elim dan Yusfarita
(2010) urutan penggunaan sumber pendanaan dengan mengacu pada
Pecking Order Theory adalah internal fund (dana internal), debt (utang), dan equity (modal sendiri).
Pecking order theory yaitu teori yang mengatakan bahwa perusahaan lebih menyukai dana internal karena dana internal memungkinan untuk
tidak membukakan diri kepada pihak luar (Firnanti, 2011). Hal ini
disebabkan adanya transaction cost di dalam mendapatkan dana dari pihak
eksternal (Emery et al. 2004). Pecking order theory juga menjelaskan alasan
perusahaan yang mempunyai kinerja bagus mempunyai hutang yang lebih
sedikit.
Berdasarkan teori ini perusahaan lebih menyukai penggunaan
pendanaan dari modal internal, yakni dana yang berasal dari aliran kas dan
laba ditahan. Menurut Indrawati dan Suhendro (2006) Perusahaan yang
mengacu pada pecking order theory mempunyai urutan pendanaan yaitu
dari pendanaan internal yang berupa kas dan laba ditahan, kemudian untuk
pendanaan eksternal dimulai dari yang paling aman dahulu yaitu obligasi,
obligasi konversi, dan pada akhirnya jika masih memerlukan dana,
perusahaan akan menerbitkan saham (common stock). Untuk pendanaan
eksternal perusahaan juga lebih memilih dalam bentuk obligasi
dibandingkan dalam bentuk saham, karena dalam penerbitan saham
perusahaan harus mengeluarkan biaya yang lebih besar dibandingkan
dengan penerbitan obligasi.
Pecking order theory mempunyai arti penting yaitu bahwa
perusahaan pada umumnya lebih memfokuskan kepada sumber
pendanaannya dibandingkan pada optimalisasi struktur modal perusahaan
yang profitable meminjam dana yang lebih sedikit. Hal ini dikarenakan
perusahaan yang profitable mempunyai dana internal lebih baik
dibandingkan perusahaan yang kurang profitable, sehingga perusahaan
profitable lebih mempunyai hutang yang lebih sedikit.
Menurut Amalina (2013) perusahaan-perusahaan yang profitable
umumnya meminjam dalam jumlah yang sedikit. Hal tersebut disebabkan
karena mereka memerlukan external financing yang sedikit. Perusahaan–
perusahaan yang kurang profitable cenderung mempunyai utang yang lebih
besar karena alasan dana internal yang tidak mencukupi kebutuhan dan
karena utang merupakan sumber eksternal yang disukai. Dana eksternal
lebih disukai dalam bentuk utang daripada modal sendiri karena
pertimbangan biaya emisi utang jangka panjang yang lebih murah dibanding
dengan biaya emisi saham. Teori pecking order bisa menjelaskan alasan
perusahaan mencapai tingkat keuntungan yang tinggi justru mempunyai
tingkat utang yang lebih kecil. Tingkat utang yang kecil tersebut tidak
dikarenakan perusahaan yang menargetkan tingkat utang yang kecil, tetapi
karena mereka tidak begitu membutuhkan dana eksternal.Tingkat
keuntungan yang tinggi menjadikan dana internal mereka cukup untuk
B. Trade-Off Theory
Menurut Arifin (2005 : 80) teori yang sering disingkat dengan
Trade-off Theory, berasumsi bahwa struktur modal suatu perusahaan ditentukan dengan mempertimbangkan manfaat pengurangan pajak ketika
hutang meningkat di satu sisi dan meningkatnya agency cost ketika hutang
meningkat pada sisi yang lain. Ketika manfaat pengurangan pajak masih
lebih tinggi dibandingkan dengan perkiraan agency cost maka perusahaan
masih bisa meningkatkan hutangnya dan peningkatan hutang harus
dihentikan ketika pengurangan pajak atas tambahan hutang tersebut sudah
lebih rendah dibandingkan dengan peningkatan agency cost.
Menurut Parasian (2012) model trade-off merupakan model yang
sangat konsisten dengan upaya mencari struktur modal optimal agar nilai
perusahaan dapat dimaksimumkan. Model trade-off juga banyak
penganutnya sehingga masih dianggap sebagai mainstream teori struktur
modal. Namun demikian model ini tidak dapat menjawab beberapa
pertanyaan temuan penting dari pola struktur modal di perusahaan, yaitu,
dalam setiap industri ditemukan bahwa perusahaan-perusahaan yang paling
tinggi profitabilitasnya adalah perusahaan yang paling rendah debt rationya.
Temuan ini bertentangan dengan prediksi trade-off model. Trade-off model
memprediksi perusahaan akan memilih utang sebagai sumber dana asal
manfaat dari tambahan utang masih lebih besar dibandingkan dengan
profitabilitasnya semestinya adalah perusahaan yang sudah mengoptimalkan
porsi utangnya, bukan justru yang meminimalkan porsi utangnya.
Teori trade-off memprediksi hubungan positif antara struktur modal
dengan nilai perusahaan dengan asumsi keuntungan pajak masih lebih besar
dari biaya kepailitan dan biaya keagenen. Pada intinya teori trade-off
menunjukkan bahwa nilai perusahaan dengan utang akan semakin
meningkat dengan meningkatnya pula tingkat utang. Penggunaan utang
akan meningkatkan nilai perusahaan tetapi hanya pada sampai titik tertentu.
Setelah titik tersebut,penggunaan utang justru menurunkan nilai perusahaan.
C. Likuiditas
Likuiditas merupakan suatu keadaan dimana perusahaan dapat
memenuhi kewajiban finansialnya dengan aktiva lancar yang dimilikinya.
Menurut Pecking order theory, perusahaan yang mempunyai likuiditas yang
tinggi akan cenderung mempunyai tingkat utang yang rendah dalam struktur
modal (Setiawan, 2006). Hal ini disebabkan perusahaan yang mempunyai
tingkat likuiditas tinggi mempunyai dana internal yang tinggi, sehingga
perusahaan cenderung menggunakan dana internal tersebut dalam
melakukan pembiayaan dalam kegiatan operasionalnya.
Menurut Gitman dan Zutter (2012), rasio likuiditas dapat
menunjukan tanda-tanda awal mengenai masalah arus kas dan masalah
gagalnya suatu perusahaan pada masa yang akan datang. Pentingnya analisa
namun juga mencakup investor. Dalam proses pengambilan keputusan
tentang alokasi penanaman modal, investor perlu mengetahui likuiditas
perusahaan agar dapat mengetahui pengembalian yang sesuai dengan risiko
gagal bayar yang serendah mungkin (Gitman dan Zutter, 2012). Ketentuan
investasi yang demikian dapat diperoleh dengan menganalisa likuditas suatu
perusahaan.
Likuiditas merupakan gambaran kemampuan suatu perusahaan
dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya secara lancar dan tepat
waktu sehingga likuiditas sering disebut dengan short term liquidity (Irham,
2011:59).
Menurut Toto (2010:171) likuiditas adalah kemampuan perusahaan
dalam melunasi kewajiban jangka pendek atau utang lancar yang akan
dilunasi dalam waktu satu tahun.
Sedangkan menurut Subramanyam dan Wild (2010:241) likuiditas
mengacu pada ketersediaan sumber daya perusahaan untuk memenuhi
kebutuhan kas jangka pendek yang secara konvensional dianggap periode
hingga satu tahun meskipun jangka waktu ini dikaitkan dengan siklus
operasi normal suatu perusahaan (periode waktu yang mencakup siklus
pembelian-produksi-penjualan-penagihan).
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa
likuiditas merupakan kemampuan perusahaan untuk memenuhi semua
Pentingnya likuiditas dapat dilihat dengan mempertimbangkan
dampak yang berasal dari ketidakmampuan perusahaan memenuhi
kewajiban jangka pendeknya. Kurangnya likuiditas menghalangi perusahaan
untuk memperoleh keuntungan dari diskon atau kesempatan mendapatkan
keuntungan. Ketidakmampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban
lancarnya merupakan masalah likuiditas yang lebih ekstrem (Subramanyam
dan Wild, 2010:241)
Jika perusahaan mengalami masalah dalam likuiditas maka sangat
memungkinkan perusahaan tersebut mulai memasuki masa kesulitan
keuangan (financial distress), dan jika kondisi kesulitan tersebut tidak cepat
diatasi maka hal ini berakibat kebangkrutan usaha (bankruptcy) (Irham,
2011:93).
1. Rasio Likuiditas
Menurut Weygandt dan Kieso (2010:396) rasio likuiditas (liquidity
ratio) mengukur kemampuan jangka pendek perusahaan untuk membayar kewajibannya yang telah jatuh tempo dan memenuhi
kebutuhan kas yang tak terduga (di luar prediksi perusahaan). Rasio –
rasio yang dapat digunakan untuk menentukan kemampuan
pembayaran utang jangka pendek perusahaan adalah rasio lancar, rasio
cepat, perputaran piutang dan perputaran persediaan.
a. Rasio Lancar (Current Ratio)
Rasio lancar (current ratio) adalah pengukuran yang digunakan
Aset Lancar Kewajiban Jangka Pendek
Rasio Lancar =
kemampuan membayar utang jangka pendek. Rasio ini dihitung
dengan membagi aset lancar dengan kewajiban jangka pendek.
Rasio lancar terkadang disebut sebagai rasio modal kerja
(working capital ratio) karena modal kerja merupakan selisih antara aset lancar dengan kewajiban jangka pendek. Rasio lancar
adalah indikator likuiditas yang lebih dapat diandalkan
dibandingkan modal kerja. Dua perusahaan dengan jumlah modal
kerja yang sama mungkin memiliki rasio lancar yang berbeda
secara signifikan.
Menurut Bambang (dalam Irham, 2011:60) dalam permasalahan
current ratio, apabila suatu perusahaan menetapkan bahwa current ratio yang harus dipertahankan adalah 3:1 atau 300%, ini berarti bahwa setiap utang lancar sebesar Rp 1,00 harus dijamin
dengan aktiva lancar Rp 3,00 atau dijamin dengan “net working capital” sebesar Rp 2,00. Adapun formulasi dari Current Ratio (CR) adalah sebagai berikut :
b. Rasio Cepat (Quick Ratio)
Rasio cepat (quick ratio) adalah pengukuran likuiditas jangka
Kas + Investasi Jangka Pendek + Piutang (Bersih) Kewajiban Jangka Pendek Rasio Cepat =
Penjualan Kredit Bersih Piutang Bersih Rata-Rata Perputaran Piutang =
jumlah dari kas, investasi jangka pendek, dan piutang bersih
dengan kewajiban jangka pendek. Maka, rasio ini merupakan
pendukung penting terhadap rasio lancar. Adapun formulasi dari
Quick Ratio (QR) adalah sebagai berikut :
c. Perputaran Piutang (Receivable Turnover)
Likuiditas dapat diukur dengan seberapa cepat aset-aset tertentu
dapat diubah menjadi kas. Rasio yang dapat digunakan untuk
menilai likuiditas piutang adalah perputaran piutang (receivables
turnover). Rasio ini mengukur berapa kali rata-rata piutang dapat tertagih selama satu periode. Perputaran piutang dihitung dengan
membagi penjualan kredit bersih (penjualan bersih dikurangi
penjualan tunai) dengan piutang bersih rata-rata.
Adapun formulasi dari Receivable Turnover (RT) adalah sebagai
berikut :
D. Struktur Modal
Menurut pendapat yang disampaikan Brigham dan Gapenski (dalam
Ahmad dan Herni, 2010) Capital structure atau struktur modal merupakan
belanja perusahaan, apakah dengan cara menggunakan ekuitas, atau dengan
menerbitkan saham. Sedangkan struktur modal adalah panduan atau
kombinasi sumber dana jangka panjang yang digunakan oleh perusahaan
(Keown dalam Ahmad dan Herni, 2010).
Menurut Ross, Westerfield dan Jordan (2009) struktur modal sebuah
perusahaan adalah kombinasi spesifik ekuitas dan hutang jangka panjang
yang digunakan perusahaan untuk mendanai operasinya.
Menurut Bambang Riyanto (dalam Ahmad dan Herni, 2010)
menjelaskan bahwa struktur modal merupakan pembelanjaan permanen
dimana mencerminkan perimbangan antara hutang jangka panjang dengan
modal sendiri. Apabila struktur financial tercermin pada keseluruhan
passiva dalam neraca, maka struktur modal hanya tercermin pada hutang
jangka panjang dan unsur-unsur modal sendiri, dimana kedua golongan
tersebut merupakan dana permanen atau dana jangka panjang.
Menurut Harjanti dan Tandelilin (2007) struktur modal merupakan
suatu pilihan pendanaan perusahaan yang terdiri dari hutang dan ekuitas.
Struktur modal adalah penggabungan antara hutang jangka panjang dan
ekuitas yang secara langsung dapat mempengaruhi besarnya tingkat
pengembalian dan risiko perusahaan (Gitman dan Zutter 2012, 508).
Menurut Amalina (2013) struktur modal merupakan hal penting dalam sebuah perusahaan, dimana didalamnya terdapat perpaduan antara
utang beserta ekuitas atau biasa diartikan sebagai perimbangan antara modal
maupun jangka pendek. Sedangkan modal sendiri terbagi atas laba ditahan
dan bisa juga dengan penyertaan kepemilikan perusahaan. Besar kecilnya
struktur modal akan menentukan profitabilitas, sehingga struktur modal
menjadi masalah penting dalam pengambilan keputusan mengenai
pembelanjaan perusahaan.
Berdasarkan beberapa referensi, maka dapat disimpulkan bahwa
struktur modal adalah proporsi dalam menentukan pemenuhan kebutuhan
belanja perusahaan, dimana dana yang diperoleh menggunakan kombinasi
atau paduan sumber yang berasal dari dana jangka panjang yang terdiri dari
dua sumber utama, yakni yang berasal dari dalam dan luar perusahaan.
Menurut Esa dan Desy (2012) struktur modal diukur dengan
menggunakan rumus Debt to Equity Ratio yaitu sebagai berikut :
E. Ukuran Perusahaan
Menurut Riyanto (2008:313) ukuran perusahaan adalah besar
kecilnya perusahaan dilihat dari besarnya nilai equity, nilai penjualan atau
nilai aktiva. Sedangkan menurut Scott dalam Torang (2012:93) ukuran
perusahaan didefinisikan sebagai ukuran organisasi yaitu suatu variabel
konteks yang mengukur tuntutan pelayanan atau produk organisasi.
Ukuran perusahaan merupakan salah satu faktor yang menentukan
kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba. Karena semakin besar
perusahaan, biasanya mereka mempunyai kekuatan tersendiri dalam
Total Hutang
Total Ekuitas
menghadapi masalah bisnis dan kemampuan perusahaan dalam
menghasilkan laba tinggi karena didukung oleh asset yang besar sehingga
kendala perusahaan seperti peralatan yang memadai dan sejenisnya dapat
teratasi (Rahma dan Sri, 2013).
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa
ukuran perusahaan adalah ukuran besar kecilnya perusahaan yang
merupakan gambaran kemampuan finansial perusahaan yaitu
menghasilkan laba.
Menurut Hadri (2005), ada 3 teori yang secara implisit
menjelaskan hubungan antara ukuran perusahaan dengan tingkat
keuntungan perusahaan. 3 teori tersebut adalah:
1. Teori tekhnologi yang menekankan pada modal fisik, economic of
scale, dan lingkup sebagai faktor-faktor yang menentukan besarnya
ukuran perusahaan yang optimal serta pengaruhnya terhadap
keuntungan.
2. Teori organisasi, menjelaskan hubungan profitabilitas dengan ukuran
perusahaan yang dikaitkan dengan biaya transaksi organisasi.
3. Teori institutional mengaitkan ukuran perusahaan dengan
faktor-faktor seperti sistem perundang-undangan, peraturan anti-trust,
perlindungan patent, ukuran pasar, dan perkembangan pasar
keuangan.
Rajan dan Zingales dalam (Hadri, 2005) menyebutkan bahwa
SIZE
=
Ln ( Total Aktiva )
juga akan meningkat, tetapi pada titik atau jumlah tertentu ukuran
perusahaan akhirnya akan menurunkan laba (profit) perusahaan. Teori
critical menekankan pada pengendalian oleh pemilik perusahaan terhadap sumber daya perusahaan seperti aset, teknologi, kekayaan intelektual
sebagai faktor-faktor yang menentukan ukuran perusahaan.
Menurut Rahma dan Sri (2013), ukuran perusahaan diukur dengan
menggunakan rumus :
F. Kinerja Keuangan
Kinerja keuangan adalah suatu analisis yang dilakukan untuk
melihat sejauh mana suatu perusahaan telah melaksanakan dengan
menggunakan aturan-aturan pelaksanaan keuangan secara baik dan benar
(Irham, 2011:3).
Menurut Irham (2011:3) ada 5 (lima) tahap dalam menganalisis
kinerja keuangan suatu perusahaan secara umum, yaitu :
a. Melakukan review terhadap data laporan keuangan
Review di sini dilakukan dengan tujuan agar laporan keuangan yang
sudah di buat tersebut sesuai dengan penerapan kaidah-kaidah yang
berlaku umum dalam dunia akuntansi, sehingga dengan demikian
hasil laporan keuangan tersebut dapat dipertanggungjawabkan.
Penerapan metode perhitungan di sini adalah disesuaikan dengan
kondisi dan permasalahan yang sedang dilakukan sehingga hasil dari
perhitungan tersebut akan memberikan suatu kesimpulan sesuai
dengan analisis yang diinginkan.
c. Melakukan perbandingan terhadap hasil hitungan yang telah
diperoleh
Dari hasil hitungan yang sudah diperoleh tersebut kemudian
dilakukan perbandingan dengan hasil hitungan dari berbagai
perusahaan lainnya.
Metode yang paling umum dipergunakan untuk melakukan
perbandingan ini ada dua yaitu :
a) Time series analysis, yaitu membandingkan secara antarwaktu
antar periode, dengan tujuan itu nantinya akan terlihat secara
grafik.
b) Cross sectional approach, yaitu melakukan perbandingan
terhadap hasil hitungan rasio-rasio yang telah dilakukan antara
satu perusahaan1 dan perusahaan lainnya dalam ruang lingkup
yang sejenis yang dilakukan secara bersamaan.
c) Melakukan penafsiran (interpretation) terhadap berbagai
permasalahan yang ditemukan. Pada tahap ini analisis melihat
kinerja keuangan perusahaan adalah setelah dilakukan ketiga
apa-apa saja permasalahan dan kendala-kendala yang dialami
oleh perbankan tersebut.
d) Mencari dan memberikan pemecahan masalah (solution)
terhadap berbagai permasalahan yang ditemukan. Pada tahap
terakhir ini setelah ditemukan berbagai permasalahan yang
dihadapi maka dicarikan solusi guna memberikan suatu input
atau masukan agar apa yang menjadi kendala dan hambatan
selama ini dapat terselesaikan.
Untuk memutuskan suatu badan usaha atau perusahaan memiliki
kualitas yang baik maka ada penilaian yang paling dominan yang dapat
dijadikan acuan untuk melihat badan usaha atau perusahaan tersebut telah
menjalankan suatu kaidah-kaidah manajemen yang baik. Penilaian ini dapat
dilakukan salah satunya dengan melihat sisi kinerja keuangan (Financial
Performance) (Dwi dan Siti,2014).
Ada beberapa kelompok ukuran kinerja keuangan yang dapat
digunakan oleh perusahaan dan salah satunya adalah menggunakan rasio
profitabilitas. Rasio ini dirasa tepat karena dapat mengukur bagaimana
kinerja perusahaan dilihat dari penggunaan aktiva dan modal yang ada.
Sebab aktiva dan modal merupakan komponen penting dalam proses
kegiatan operasional perusahaan (Dwi dan Siti,2014).
Menurut Toto (2011:139) ada beberapa cara melihat profitabilitas
dan secara umum perhitungan profitabilitas dapat dibagi ke dalam tiga
a. Return On Sales (ROS), yaitu tingkat profitabilitas yang dikaitkan
dengan pendapatan.
b. Return On Assets (ROA), yaitu tingkat profitabilitas yang dikaitkan
dengan penggunaan aset.
c. Return On Equity (ROE), yaitu tingkat profitabilitas yang dikaitkan
dengan modal sendiri.
Sedangkan menurut Hanafi & Halim (2009:81) ada tiga rasio
profitabilitas yang sering dibicarakan, yaitu :
a. Return On Assets (ROA)
Rasio ini digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan
menghasilkan laba bersih berdasarkan tingkat tingkat aset tertentu.
ROA juga sering disebut sebagai ROI (Return On Investment).
Formula untuk mencari Return On Assets dapat digunakan sebagai
berikut:
b. Return On Equity (ROE)
Rasio ini digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan
menghasilkan laba berdasarkan modal saham tertentu. Rasio ini
merupakan ukuran profitabilitas dari sudut pandang pemegang
saham. Formula untuk mencari Return On Equity dapat digunakan
sebagai berikut:
Earning After Interest dan Tax Total Assets
= ROA
Earning After Interest dan Tax Sales
NPM = c. Net Profit Margin
Rasio ini digunakan untuk menghitung sejauh mana kemampuan
perusahaan menghasilkan laba bersih pada tingkat penjualan tertentu.
Rasio ini bisa diinterpretasikan juga sebagai kemampuan perusahaan
menekan biaya-biaya (ukuran efisiensi) di perusahaan pada periode
tertentu. Formula untuk mencari Net Profit Margin dapat digunakan
sebagai berikut :
G. Penelitian Terdahulu
Hilda (2009) melakukan penelitian tentang Analisis Hubungan
Rasio Likuiditas dan Leverage terhadap Rasio Profitabilitas pada PT
Perkebunan Nusantara II (Persero). Rasio-rasio yang digunakan adalah
current ratio dan quick ratio, debt to total equity ratio (DER) dan debt to total asset ratio (DAR), return on investment (ROI). Penelitian ini menyimpulkan bahwa likuiditas yang dihitung dengan current ratio
memiliki hubungan positif dan signifikan dan quick ratio memiliki
hubungan positif tetapi tidak signifikan terhadap profitabilitas. Sedangkan
leverage yang dihitung dengan debt to total equity ratio (DER) dan debt to
asset ratio (DAR) memiliki hubungan negatif dan tidak signifikan terhadap profitabilitas.
Earning After Interest and Tax Equity
Fitri (2012) melakukan penelitian tentang Pengaruh Current Ratio,
Inventory Turnover, dan Debt To Equity Ratio Terhadap Return On Assets (Studi Pada Perusahaan Food and Beverage yang Listing di Bursa Efek
Indonesia tahun 2007-2009). Rasio-rasio yang digunakan adalah Current
Ratio, Inventory Turnover, Debt To Equity Ratio, dan Return On Assets. Penelitian ini menyimpulkan bahwa Current Ratio berpengaruh negatif
terhadap Return on Assets, Inventory Turnover berpengaruh positif
terhadap Return on Asset, dan Debt To Equity Ratio berpengaruh negatif
terhadap Return on Assets.
Esa dan Desy (2012) melakukan penelitian tentang Analisis
Pengaruh Struktur Modal Terhadap Kinerja Pada Perusahaan Otomotif
Yang Terdaftar di BEI Tahun 2008-2010. Rasio-rasio yang digunakan
adalah Debt to Assets Ratio, Debt to Equity Ratio, Long Term Debt to
Equity Ratio dan Return on Investment. Penelitian ini menyimpulkan bahwa secara simultan Debt to Assets Ratio, Debt to Equity Ratio, Long
Term Debt to Equity Ratio memiliki pengaruh terhadap kinerja (Return on Investment), sedangkan secara parsial Debt to Assets Ratio memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap kinerja (Return on Investment),
Debt to Equity Ratio secara parsial tidak memiliki pengaruh terhadap kinerja (Return on Investment), Long Term Debt to Equity Ratio secara
parsial tidak memiliki pengaruh terhadap kinerja (Return on Investment).
Sri Wahyuni (2012) melakukan penelitian tentang Efek Struktur
Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Pada Periode Tahun 2007-2009.
Rasio-rasio yang digunakan adalah Short Debt to Asset Ratio, Longterm Debt to
Asset Ratio, Debt to Equity Ratio, Equity to Asset Ratio dan Return on Equity. Penelitian ini menyimpulkan bahwa Short Debt to Asset Ratio berpengaruh negatif dan signifikan terhadap Return on Equity, Longterm
Debt to Asset Ratio berpengaruh negatif dan signifikan terhadap Return on Equity, Debt to Equity Ratio berpengaruh positif dan signifikan terhadap Return on Equity, Equity to Asset Ratio tidak berpengaruh signifikan terhadap Return on Equity.
Nurhasanah (2012) melakukan penelitian tentang Pengaruh
Struktur Modal Terhadap Profitabilitas Pada Perusahaan Manufaktur yang
Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2011. Rasio-rasio yang
digunakan adalah Debt to Assets Ratio (DAR), Debt to Equity Ratio
(DER), dan Return on Equity (ROE). Penelitian ini menyimpulkan bahwa
secara simultan Debt to Assets Ratio (DAR) dan Debt to Equity Ratio
(DER) tidak berpengaruh signifikan terhadap Return on Equity (ROE).
Sedangkan secara parsial Debt to Assets Ratio (DAR) berpengaruh positif
dan tidak signifikan terhadap Return on Equity, dan Debt to Equity Ratio
(DER) secara parsial berpengaruh negatif dan signifikan terhadap Return
on Equity (ROE).
Faizatur dan Suhadak (2013) melakukan penelitian tentang
Pengaruh Struktur Modal Terhadap Profitabilitas (Studi Pada Perusahaan
2009-2011. Rasio-rasio yang digunakan adalah Debt Ratio (DR), Debt To
Equity Ratio (DER), Return On Assets (ROA), dan Return On Equity (ROE). Penelitian ini menyimpulkan bahwa secara simultan Debt Ratio
(DR), Debt To Equity Ratio (DER) berpengaruh signifikan terhadap
Return On Assets (ROA), dan Return On Equity (ROE). Sedangkan secara parsial Debt Ratio (DR) berpengaruh signifikan positif terhadap ROA,
sedangkan Debt To Equity Ratio (DER) berpengaruh signifikan negatif
terhadap ROA. Sedangkan pada uji hipotesis berikutnya secara parsial DR
berpengaruh signifikan positif terhadap ROE dan DER juga berpengaruh
signifikan terhadap ROE.
Rahma dan Sri (2013) melakukan penelitian tentang Analisis
Pengaruh Leverage, Umur Perusahaan dan Ukuran Perusahaan Terhadap
Kinerja Perusahaan Pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar Pada
Bursa Efek Indonesia tahun 2010-2012. Rasio-rasio yang digunakan
adalah Leverage, Firm Age, Firm Size, Return on Assets. Penelitian ini
menyimpulkan bahwa secara simultan Leverage (DAR), Firm Age (AGE),
Firm Size (Ln_TA) berpengaruh terhadap Return on Assets (ROA), sedangkan secara parsial Leverage (DAR) berpengaruh positif dan
signifikan terhadap Return on Assets (ROA), Firm Age (AGE)
berpengaruh positif dan tidak signifikan terhadap Return on Assets (ROA),
Firm Size (Ln_TA) berpengaruh positif dan signifikan terhadap Return on Assets (ROA).
Alfa (2012) melakukan penelitian tentang Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Profitabilitas Perusahaan (Studi Pada Perusahaan
Manufaktur yang Terdaftar di BEI Tahun 2006-2010). Rasio-rasio yang
digunakan adalah Inventory Turnover Period, Current Ratio, Ukuran
Perusahaan, dan Return on Assets (ROA). Penelitian ini menyimpulkan
bahwa Inventory Turnover Period berpengaruh negatif dan signifikan
terhadap ROA, Current Ratio berpengaruh negatif dan tidak signifikan
terhadap ROA, dan Ukuran Perusahaan berpengaruh positif dan signifikan
terhadap ROA.
H. Rerangka Pemikiran dan Pengembangan Hipotesis
1. Pengaruh Current Ratio Terhadap Return On Assets
Current Ratio (CR) merupakan rasio likuiditas yang menunjukkan kemampuan perusahaan untuk membayar kewajiban jangka
pendeknya dengan menggunakan aktiva lancar (Rima, 2011).
Sedangkan salah satu ukuran kinerja yang dapat mengukur kinerja
suatu perusahaan adalah rasio profitabilitas yaitu return on assets
(ROA). Menurut Dwi dan Siti (2014) apabila tingkat likuiditas baik,
perusahaan akan efektif dalam menghasilkan laba dan para investor
percaya untuk berinvestasi pada perusahaan sehingga perusahaan
dapat memanfaatkan aktiva lancarnya sebaik mungkin untuk
memenuhi kebutuhan perusahaan sehingga tidak banyak dana yang
memanfaatkan aktiva lancarnya sebaik mungkin sehingga
menyebabkan banyak dana yang tidak efektif, hal ini justru
mengurangi kemampuan perusahaan dalam memperoleh laba atau
mengurangi tingkat profitabilitas perusahaan. Menurut Horne dalam
(Rima, 2011) likuiditas yang meningkat merupakan biaya dari
kemampuan memperoleh laba yang menurun.
Menurut Parasian (2012) perusahaan yang sebagian besar
aktivanya terdiri dari aktiva lancar umumnya memiliki tingkat
likuiditas yang tinggi sehingga perusahaan dapat memenuhi
investasinya dengan cepat. Dalam kaitannya dengan penjualan, jika
perusahaan berkeinginan melakukan investasi pada periklanan produk,
peningkatan layanan penjualan, inovasi produk, dan pemberian bonus
maka diharapkan dapat meningkatkan penjualan. Peningkatan
penjualan perusahaan secara tak langsung akan meningkatkan
profitabilitasnya, karena salah satu cara meningkatkan profitabilitas
adalah melalui peningkatan penjualan. Dapat disimpulkan jika
sebagian besar aktiva perusahaan terdiri dari aktiva lancar maka
likuiditasnya akan tinggi sehingga mampu melakukan investasi
dimana investasi ini bertujuan untuk meningkatkan profitabilitas.
Menurut Fitri (2011) perusahaan yang memiliki rasio lancar yang
semakin besar, maka menunjukkan semakin besar kemampuan
perusahaan untuk memenuhi kewajiban jangka pendeknya. Hal ini
pada sisi aktiva lancar. Penempatan dana yang terlalu besar pada sisi
aktiva memiliki dua efek yang sangat berlainan. Di satu sisi, likuiditas
perusahaan semakin baik. Namun di sisi lain, perusahaan kehilangan
kesempatan untuk mendapatkan tambahan laba, karena dana yang
seharusnya digunakan untuk investasi yang menguntungkan
perusahaan, dicadangkan untuk memenuhi likuiditas. Semakin besar
rasio ini,semakin besar likuiditas perusahaan. Menurut Horne dan
Wachowicz (2009) likuiditas perusahaan berbanding terbalik dengan
profitabilitas. Maksudnya, semakin tinggi likuiditas perusahaan maka
kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba semakin rendah
(Elfianto, 2011).
Dalam penelitian Fitri (2011) menunjukkan bahwa current ratio
berpengaruh terhadap return on assets. Berdasarkan pemikiran
tersebut, dapat diturunkan hipotesis sebagai berikut :
Hipotesis 1 : Current Ratio berpengaruh signifikan terhadap ROA
2. Pengaruh Debt To Equity Ratio Terhadap Return on Assets
Menurut Amalina (2013) perusahaan-perusahaan yang profitable
umumnya meminjam dalam jumlah yang sedikit. Hal tersebut
disebabkan karena mereka memerlukan external financing yang
sedikit. Perusahaan–perusahaan yang kurang profitable cenderung
mempunyai utang yang lebih besar karena alasan dana internal yang
tidak mencukupi kebutuhan dan karena utang merupakan sumber
utang daripada modal sendiri karena pertimbangan biaya emisi utang
jangka panjang yang lebih murah dibanding dengan biaya emisi
saham.
Teori pecking order bisa menjelaskan alasan perusahaan mencapai
tingkat keuntungan yang tinggi justru mempunyai tingkat utang yang
lebih kecil. Tingkat utang yang kecil tersebut tidak dikarenakan
perusahaan yang menargetkan tingkat utang yang kecil, tetapi karena
mereka tidak begitu membutuhkan dana eksternal. Tingkat keuntungan
yang tinggi menjadikan dana internal mereka cukup untuk mendanai
kebutuhan investasi perusahaan.
Struktur modal yang rendah akan meningkatkan tingkat
profitabilitasnya, begitu pula sebaliknya apabila struktur modal tinggi
akan menurunkan tingkat profitabilitasnya. Penggunaan hutang yang
tinggi akan meningkatkan beban bunga pada perusahaan, sehingga
tingginya beban perusahaan untuk melunasi kewajibannya dapat
menimbulkan adanya risiko kebangkrutan pada perusahaan. Penjelasan
tersebut sesuai dengan pendapat Weston dan Bringham dalam (Stein,
2012:3) yang menyatakan bahwa perusahaan yang mempunyai tingkat
pengembalian investasi (profitabilitas) tinggi cenderung memiliki
hutang dalam jumlah kecil karena penggunaan modal sendiri lebih
besar.
Dalam penelitian Faizatur dan Suhadak (2013) menunjukkan
Berdasarkan pemikiran tersebut, dapat diturunkan hipotesis sebagai
berikut :
Hipotesis 2 : DER berpengaruh signifikan terhadap ROA
3. Pengaruh Ukuran Perusahaan Terhadap Return on Assets
Hadri (2005:85) menyebutkan bahwa menurut teori critical
resources, semakin besar skala perusahaan maka profitabilitas juga akan meningkat, tetapi pada titik atau jumlah tertentu ukuran
perusahaan akhirnya akan menurunkan laba (profit) perusahaan. Teori
critical resources menekankan pada pengendalian oleh pemilik perusahaan terhadap sumber daya perusahaan seperti aset, teknologi,
kekayaan intelektual sebagai faktor-faktor yang menentukan ukuran
perusahaan.
Dengan adanya sumber daya yang besar, maka perusahaan dapat
melakukan investasi baik untuk aktiva lancar maupun aktiva tetap dan
juga memenuhi permintaan produk. Hal ini akan semakin memperluas
pangsa pasar. Dengan adanya penjualan yang semakin meningkat,
perusahaan dapat menutup biaya yang keluar pada saat proses
produksi. Dengan begitu, laba perusahaan akan meningkat.
Dalam penelitian Rahma dan Sri (2013) menunjukkan bahwa
ukuran perusahaan berpengaruh terhadap return on assets.
Berdasarkan pemikiran tersebut, dapat diturunkan hipotesis sebagai
berikut :
I. Model Konseptual
Berdasarkan rerangka pemikiran dan pengembangan hipotesis yang
telah dijabarkan sebelumnya, maka penulis membuat model konseptual
penelitian sebagai berikut :
LIKUIDITAS (CR) STRUKTUR MODAL (DER) KINERJA KEUANGAN (ROA)
GAMBAR 2.1. MODEL KONSEPTUAL
UKURAN PERUSAHAAN (SIZE)