• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Kemandirian

2.1.1 Pengertian Kemandirian

Kemandirian merupakan isu psikososial yang muncul secara terus menerus dalam seluruh siklus kehidupan individu (Steinberg, 2002). Isu ini muncul di setiap situasi yang menuntut individu untuk mengandalkan dan bergantung kepada dirinya sendiri, seperti di saat baru memasuki perguruan tinggi di luar kota, diterima bekerja di suatu perusahaan, memiliki pasangan, ataupun sedang memiliki masalah dengan teman. Kemandirian yang dimiliki individu akan membantunya siap menghadapi setiap situasi dan persoalan yang ada.

Kemandirian merupakan kemampuan untuk melakukan dan

mempertanggungjawabkan tindakan yang dilakukannya serta untuk menjalin hubungan yang suportif dengan orang lain (Steinberg, 2002). Menurut Shaffer (2002), kemandirian sebagai kemampuan untuk membuat keputusan dan menjadikan dirinya sumber kekuatan emosi diri sehingga tidak bergantung kepada orang lain. Beberapa ahli menyatakan bahwa untuk mencapai kemandirian berarti membebaskan diri dari ikatan orang tua agar dapat mengembangkan identitas dirinya.

Berdasarkan definisi-definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa kemandirian adalah kemampuan untuk bertindak berdasarkan pertimbangan sendiri dan untuk bertanggung jawab atas tindakan tersebut , kemampuan untuk membuat keputusan dan mengatur hidupnya sendiri tanpa ketergantungan berlebihan dengan orang tua, serta kemampuan untuk tetap menjaga hubungan yang suportif dengan orang lain.

2.1.2 Periode Pembentukan Kemandirian

Kemandirian tidak dapat selesai pada satu tahap kehidupan, melainkan akan terus menerus berkembang di dalam setiap tahap perkembangan individu. Menurut teori perkembangan psikososial Erikson (dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2008),

(2)

kemandirian mulai terlihat pada anak usia 18 bulan hingga 3 tahun (toddler). Pada masa ini, seorang anak mulai mengembangkan kontrol diri terhadap pengaturan-pengaturan atau pembatasan-pembatasan eksternal (misalnya, orang tua dan lingkungan sosial). Ia mulai melakukan sesuatu yang diinginkannya dan mengatakan tidak atas apa yang tidak diinginkannya.

Kemandirian kembali menjadi perhatian utama di masa remaja dimana pada masa ini terjadi perubahan sosial, fisik, dan kognitif dalam diri remaja (Santrock, 2008). Jika pada masa toddler kemandirian seorang anak lebih menekankan segi tingkah lakunya, kemandirian di masa remaja sudah melibatkan kognisi yang dapat dijadikan sebagai pondasi berpikir mengenai masalah sosial, moral, dan etika. Dalam teori tahap perkembangan kognitif Piaget, remaja berada dalam tahap formal operational, yang diawali diantara usia 11 hingga 15 tahun dan baru didapatkan dengan baik diantara usia 15 hingga 20 tahun (Santrock, 2008). Kemampuan berpikir remaja menjadi lebih abstrak, idealis, dan logis. Remaja sudah mampu membedakan dan mendiskusikan hal-hal yang bersifat abstrak, seperti cinta, keadilan, dan kebebasan (Papalia, Olds & Feldman, 2008). Peningkatan kemampuannya dalam berpikir abstrak membuatnya mampu melihat perspektif orang lain, mampu menalar dengan lebih baik, dan mampu melihat konsekuensi setiap alternatif tindakan sehingga mereka mampu menimbang opini dan saran orang lain dengan lebih efektif serta dapat membuat keputusan mereka sendiri (Steinberg, 2002).

Remaja mengembangkan identitas diri dimana ia mulai menyadari bahwa mereka memiliki kekuatan untuk mengatur hidupnya sendiri dan merasakan kebutuhan untuk mendefinisikan dirinya dan tujuan-tujuannya. Namun keinginannya tersebut tidak dapat terjadi secara konsisten dalam segala segi kehidupannya. Hurlock (dalam Santrock, 2008) mengatakan bahwa banyak remaja ingin mandiri, namun mereka juga ingin dan butuh rasa aman yang diperolehnya dari ketergantungan emosi kepada orang tua atau orang dewasa lain. Remaja masih memerlukan bimbingan dan dukungan orang tua dalam memutuskan rencana masa depan dan hal-hal penting dalam kehidupannya. Remaja juga biasanya masih membutuhkan bantuan dalam segi ekonomi dari orang tua. Hal–hal tersebut membuat remaja tidak dapat bebas sepenuhnya dari orang tua. Ia masih dituntut untuk tetap menaati aturan dan permintaan orang tua. Keinginan remaja untuk mengatur hidupnya sendiri berbenturan dengan rasa tanggung jawab orang tua untuk

(3)

memperhatikan perkembangan anak-anaknya. Konflik yang terjadi merupakan hal yang biasa mewarnai kehidupan ketika anak masih remaja (Santrock, 2008).

2.1.3 Aspek-aspek Kemandirian

Steinberg (2002) membedakan aspek kemandirian menjadi kemandirian emosional, tingkah laku, dan nilai. Menurut Steinberg (2002), seseorang akan melakukan tingkah laku tertentu (aspek tingkah laku) setelah memikirkannya terlebih dahulu (aspek kognisi). Jadi, kemandirian tingkah laku sudah mencakup kemandirian kognisi. Kemandirian tingkah laku bukan hanya kemampuan untuk melakukan sesuatu dengan bebas, namun juga kemampuan untuk mempertimbangkan dan memutuskan tingkah laku tersebut dengan bebas.

1. Kemandirian emosional (emotional autonomy)

Dilihat dari hubungan anak dengan orang lain, khususnya orang tua. Perkembangan kemandirian ini merupakan proses panjang yang dimulai dari awal masa remaja hingga masa dewasa muda (Steinberg, 2002). Kemandirian emosional adalah aspek kemandirian yang berhubungan dengan perubahan hubungan dengan seseorang, khususnya orang tua, dimana anak mengembangkan perasaan individuasi dan berusaha melepaskan diri dari ikatan kekanak-kanakan dan ketergantungan terhadap orang tua.

Adapun macam-macam perubahan dalam hubungan remaja dengan orang tua mencerminkan perkembangan kemandirian emosional, adalah Emotional Autonomy and Detachment. Freud dalam Steinberg (2002) berpendapat bahwa perubahan fisik pada masa pubertas dapat menyebabkan gangguan yang cukup besar serta konflik dalam sistem keluarga. Konflik intrapsikis yang telah ditekan sejak anak usia dini yang bangkit kembali pada masa remaja awal oleh kebangkitan impuls seksual. Konflik dinyatakan dengan adanya peningkatan ketegangan antara anggota keluarga, argumen yang tidak tertentu yang menimbulkan ketidaknyamanan berada didalam rumah. Remaja awal didorong untuk memisahkan diri, setidaknya secara emosional dari orang tua dan mengubah energi emosional mereka untuk hubungan dengan teman-teman sebaya, khususnya rekan dari lawan jenis.

Badai dan stress yang dialami oleh remaja dianggap merupakan suatu yang biasa, aspek yang sehat, dan tidak terelakan dari perkembangan emosi selama

(4)

masa remaja. Bahkan Freud percaya bahwa dengan tidak adanya konflik antara remaja dan orang tuanya menandakan bahwa remaja itu merupakan remaja yang bermasalah. Meskipun orang tua dan remaja memiliki kemungkinan bermasalah lebih sering daripada yang mereka lakukan selama periode awal perkembangan, tidak terdapat bukti bahwa pertengkaran ini mengurangi kedekatan antara orang tua dan remaja (Hill and Holmbeck, dalam Steinberg, 2002). Orang tua dan remaja akan mengubah hubungan mereka selama masa remaja, namun ikatan emosional mereka tidak akan terputus. Hal ini menunjukkan perbedaan penting bahwa kemandirian emosional selama masa remaja melibatkan perubahan, bukan remaja yang pisah dengan orang tua akan menjadi mandiri secara emosional dari orang tua tanpa harus berpisah dengan mereka (Collins dalam Steinberg, 2002).

Kemudian macam perubahan yang kedua, yakni Emotional Autonomy and Individuation. Dilihat dari perspektif psikoanalitik klasik pada remaja, perkembangan kemandirian emosional mempunyai arti remaja berkembang individuasi. Menurut Petru Blos (2002), individuasi dalam kemandirian ini mempunyai makna individu meningkat dan tumbuh bertanggung jawab apa yang akan dia lakukan dan untuk apa dia melakukan hal tersebut daripada memberikan tanggung jawab dibawah orang-orang yang memberikan bimbingan dan berada disamping individu tersebut selama proses perkembangan. Proses individuasi dimulai dari masa bayi dan berlanjut dengan baik hingga akhir masa remaja, melibatkan proses bertahap mengasah individu sebagai pribadi yang mandiri, mempunyai kemampuan atau mampu, dan terpisah dari orang tua. Proses individuasi ini memiliki hubungan dengan pengembangan identitas, dalam hal ini melibatkan perubahan dalam cara individu melihat dan merasakan tentang diri individu itu sendiri, proses tidak melibatkan stres dan rasa kacau. Individuasi memerlukan pelepasan ketergantungan pada orang tua untuk mendukung proses mandiri yang lebih matang, lebih bertanggung jawab, dan tidak tergantung, remaja yang telah berhasil membangun rasa individuasi dapat menerima tanggung jawab atas pilihan mereka daripada membiarkan orang tua mereka melakukan untuk mereka.

Perkembangan kemandirian emosional merupakan proses yang panjang, dimulai dari awal masa remaja hingga menjadi dewasa muda. Remaja memiliki kesulitan dalam melihat orang tua mereka sebagai individu yang berdiri disamping mereka. Kemandirian aspek emosional ini berkembang pada

(5)

hubungan remaja dengan perbandingan yang dilakukan oleh salah satu orang tua mereka, baik ayah maupun ibu, kurangnya interaksi yang kemudian menimbulkan reaksi remaja yang tidak menganggap orang tua sebagai seorang individu (Youniss and Smollar dalam Steinberg, 2002). Oleh remaja akhir, individu dapat melihat bahwa perbedaan ini jelas antara konsep diri mereka dan pandangan orang tua. Kemandirian emosional tidak hanya terkait dengan ketidaknyamanan bagi remaja, tetapi dengan meningkatnya rasa penolakan terhadap orang tua. Orang tua yang membatasi remaja dengan frekuensi relatif sedikit akan memungkinkan perkembangan yang lebih sehat, remaja akan terindividuasi dan tingginya nilai pada pengukuran kompetensi serta perkembangan psikososial ego yang lebih baik. Perkembangan identitas yang sehat lebih mungkin terjadi di dalam lingkungan keluarga, dimana remaja di dorong untuk menjadi lebih dekat dan terhubung kepada orang tua mereka serta lebih mengekspresikan individualitas mereka (Grotevant and Cooper dalam Steinberg, 2002).

Kemudian yang terakhir, yakni Emotional Autonomy and Parenting Practices. Pengembangan remaja dipengaruhi secara berbeda oleh pola asuh orang tua, kemandirian, tanggung jawab, dan harga diri, semua di mulai dari orang tua yang Authoritative, Authoritarian, hingga Permissive. Perubahan secara bertahap dalam hubungan keluarga memungkinkan remaja memiliki kebebasan dan mendorong rasa tanggung jawab yang lebih, akan tetapi tidak mengurangi ikatan emosional antara orang tua dan anak. Perubahan untuk meningkatkan mandiri secara emosional dan lebih mudah bagi orang tua yang telah melakukan perubahan ini dalam hubungan keluarga. Dalam keluarga otoritatif, peraturan ditetapkan untuk memberikan batasan terhadap perilaku remaja, tetapi orang tua tetap terbuka, memberikan kebebasan untuk berdiskusi. Peraturan-peraturan yang ditetapkan juga dilaksanakan dan diberikan dalam kepedulian, keadilan, serta hubungan kedekatan antara orang tua dan anak, misalnya walaupun orang tua memberikan keputusan akhir atas tindakan yang seharusnya dilakukan oleh anak, namun keputusan biasanya tercapai setelah adanya diskusi dan konsultasi dengan anak atau remaja (Steinberg, 2002). Orang tua juga memberikan kesempatan kepada anak untuk meminta saran dari mereka kemudian mempertimbangkan kembali dalam membuat keputusan akhir.

(6)

Pada pola asuh otoriter, peraturan-peraturan yang kaku diterapkan dalam hubungan keluarga, namun jarang dijelaskan kepada anak, sehingga remaja mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan keluarganya. Orang tua akan mellihat peningkatan kemandirian emosional anaknya sebagai anak yang pemberontak atau tidak sopan, dan mereka akan menolak kebutuhan remaja untuk memiliki kebebasan daripada terbuka dengan anak-anaknya. Orang tua sebenarnya ingin mendorong kemandirian anak, namun secara tidak sengaja perilaku mereka seperti memberikan batasan kepada remaja, tidak memberikan kesempatan anak untuk melakukan pengambilan keputusan serta tanggung jawab atas keputusan mereka bertingkah laku, serta tidak adanya kedekatan disertai kontrol yang berlebihan segan sikap yang dingin dari orang tua. Remaja akan melakukan pemberontakan terhadap orang tua dan menginginkan agar orang tua memberikan pembuktian yang jelas berdasarkan peraturan yang diberlakukan (Steinberg, 2002).

Pola asuh berikutnya yakni pola asuh yang memanjakan, berbeda dengan sebelumnya, orang tua tidak memberikan peraturan atau batasan kepada anaknya, sebagai hasilnya anak tumbuh menjadi individu yang tidak memiliki batasan dalam bertingkah laku, remaja akan membuat keputusan dengan meminta bantuan kepada teman-teman yang dianggap mempunyai pengalaman yang lebih darinya. Remaja akan lebih bergantung kepada teman-temannya dan tidak memiliki nilai mandiri (Steinberg, 2002).

2. Kemandirian bertingkah laku

Dalam menunjukkan kemandirian, remaja mengalami kesalahpahaman dalam pemberian bukti bahwa mereka telah mandiri dengan memberontak atau menghindari keinginan dan peraturan yang diberikan orang tua. Studi menyatakan bahwa pada kenyataannya selama masa awal perkembangan remaja, individu akan menjadi lebih mandiri secara emosional dari orang tua berubah menjadi lebih dekat dengan teman-teman mereka (Santrock, 2008). Individu rentan terhadap tekanan yang diberikan oleh orang disekitar mereka, misalnya adanya pendapat dan saran dari orang yang dianggap memiliki pengalaman dan pengetahuan yang lebih, sehingga memberikan pengaruh yang penting dalam pengambilan keputusan (Santrock, 2008). Remaja dianggap mandiri ketika anak mampu untuk mengubah pendapat dan saran dari orang lain pada kondisi yang tepat, memilih keputusan yang akan diambil berdasarkan penilaian sendiri dan

(7)

mencapai kesimpulan atau keputusan akhir sendiri dalam bertingkah laku (Hill and Holmbeck dalam Steinberg, 2002). Perubahan yang dialami selama masa perkembangan remaja, antara lain perubahan dalam kemampuan pengambilan keputusan. Proses penalaran yang dilakukan oleh remaja meliputi kemampuan mereka dalam menerima dan melihat pendapat dan saran dari orang lain kemudian melakukan perbandingan dengan apa yang mereka pikirkan dalam pengambilan keputusan akhir. Remaja mampu berpikir secara hipotesis, mampu mempertimbangkan konsekuensi jangka panjang dan pendek atas pemilihan keputusan diantara keputusan lainnya, mempertimbangkan pendapat orang lain sementara memperhitungkan perspektif atau pandangan seseorang (Santrock, 2008). Secara keseluruhan, perubahan kognitif menghasilkan peningkatan dalam hal pengambilan keputusan dan individu memiliki kemampuan yang lebih besar untuk bertingkah laku secara mandiri. Pada remaja akhir lebih teliti dalam pengambilan keputusan, menyadari adanya resiko, mempertimbangkan akibat jangka panjang atau dimasa depan, dan meningkatnya kewaspadaan dalam penerimaan pendapat dari orang lain yang dianggap dapat memberikan efek bias (Steinberg, 2002).

Perubahan yang kedua, yakni perubahan dalam kerentanan terhadap pengaruh orang lain, remaja lebih banyak berada dilingkungan luar dari lingkungan keluarga, mereka akan menerima saran dan pendapat dari teman-teman, meminta bantuan guru atau orang yang lebih dewasa dalam pengambilan keputusan, dimana pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat mereka pertanyakan ketika mereka sudah berada dirmh atau didalam lingkungan keluarga (Steinberg, 2002). Adanya perbedaan keputusan dari orang tua dengan teman-teman, membuat remaja harus menentukan keputusan atau kesimpulan akhir dari pendapat-pendapat yang bertentangan tersebut (Steinberg, 2002). Remaja diharapkan dapat menyesuaikan tekanan dari teman sebaya dan menempatkan remaja dalam situasi mereka antara tekanan dari orang tua atau teman-teman mereka atau antara keinginan mereka sendiri dengan orang lain . secara khusus, remaja akan cenderung menyesuaikan diri dengan pendapat teman-teman dalam jangka waktu pendek, misalnya masalah sehari-hari dimulai dari gaya berpakaian, kehidupan sosial, selera dalam musik, dan pemilihan kegiatan di waktu luang, namun untuk beberapa situasi pendapat dari orang tua lebih mempengaruhi (Steinberg, 2002). Beberapa studi menunjukkan remaja yang lebih rentan terhadap tekanan kelompok untuk terlibat

(8)

dalam aktifitas nakal seperti membolos cenderung berperilaku lebih buruk dibandingkan teman-teman mereka (Brown, Clasen, and Eicher dalam Steinberg, 2002). Remaja lebih rentan terhadap pengaruh teman-teman karena orientasi kebutuhan mereka yang tinggi terhadap teman sebaya, mereka lebih peduli terhadap bagaimana teman-teman menganggap mereka dan cenderung menghindari adanya penolakan dari kelompok sosial (Brown, Clasen, and Eicher dalam Steinberg, 2002). Berdasarkan tekanan yang lebih dalam masa perkembangan remaja, remaja dapat menjadi pribadi yang mandiri secara emosional sebelum waktunya (Steinberg and Silverberg dalam Steinberg, 2002).

Selama masa kanak-kanak, anak laki-laki dan anak perempuan lebih banyak menghabiskan waktunya untuk beorientasi dengan orang tua dibandingkan dengan teman-temannya. Ketika perubahan masa kanak-kanak ke masa remaja, tekanan dari teman sebaya meningkat yang memberikan keuntungan anak dalam berperilaku mandiri dari orang tua, yang berubah dalam proses perubahan ini hanyalah pergeseran sumber pengaruh. (Steinberg, 2002).

Perubahan yang ketiga, yaitu perubahan dalam penilaian diri sendiri mengenai kemandirian yang dimiliki. Pendekatan ini untuk mempelajari kemandirian bertingkah laku yang berfokus dalam penilaian remaja sendiri tentang kemandirian mereka sendiri. Remaja menunjukkan diri mengenai kemandirian mereka terhadap peningkatan kemampuan dalam menahan tekanan dari teman sebaya. Dilihat dari sudut pandang orang tua atau orang yang lebih dewasa, remaja dianggap tidak mengalami perubahan yang mencolok, namun remaja dengan rasa percaya diri yang dimiliki akan membuat penilaian bahwa mereka telah dapat melewati tahap itu tanpa dilihat oleh mereka sendiri (Steinberg, 2002).

3. Kemandirian nilai

Perkembangan kemandirian nilai memerlukan perubahan dalam pandangan moral remaja, isu-isu mengenali politik, ideologi, dan agama. Dalam tahapannya, remaja akan memiliki pola pikir secara abstrak dalam berbagai hal, kemudian keyakinan mereka menjadi semakin mengikuti prinsip-prinsip umum yang memiliki dasar ideologis, dan akhirnya keyakinan mereka semakin berada dalam nilai-nilai yang diturunkan oleh orang tua atau tokoh-tokoh lainnya (Steinberg, 2002). Proses penalaran pada remaja mengalami perkembangan dan peningkatan dengan berpikir berdasarkan kesimpulan atau hipotesis dalam masalah ideologis

(9)

dan filosofis dengan cara yang dilihat dari pandangan mereka. Kemampuan untuk mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan dalam mengekplorasi sistem nilai yang berbeda, politik, etika pribadi, dan keyakinan dalam beragama (Steinberg, 2002). Kemandirian nilai baru dapat tercapai setelah kemandirian emosional dan kemandirian bertingkah laku telah berkembang dengan baik (Steinberg, 2002). Terdapat bukti yangmenunjukkan bahwa perkembangan kemandirian ini muncul lebih lama (antara usia 18-20 tahun) dibandingkan perkembangan kemandirian emosional dan tingkah laku.

Untuk mencapai kemandirian ini, individu melakukan evaluasi kembali terhadap ide-ide dan nilai-nilai yang dulu diterimanya tanpa banyak pertanyaan saat masih kanak-kanak. Individu akan mempertanyakan nilai-nilai dan kepercayaan yang ditanamkan oleh orang tua dan figur otoritas lainnya dan mencoba untuk mengembangkan prioritas dirinya sendiri. Perkembangan kemandirian nilai memiliki tiga aspek (Steinberg, 2002), yaitu kemampuan berpikir abstrak, lebih mendasarkan keyakinannya pada prinsip-prinsip umum yang memiliki dasar ideologis (prinsip moral) dan menggunakan nilai-nilai individu sendiri dalam keyakinannya, bukan sistem nilai yang diturunkan oleh orang tua atau figur otoritas lainnya.

Ketiga aspek kemandirian nilai tersebut dapat dilihat dari pandangan dan keyakinan individu mengenai moralitas, politik, dan agama (Steinberg, 2002). Teori moralitas berasal dari sudut pandang perkembangan kognitif, menekankan adanya pergeseran dalam jenis penalaran yang digunakan individu dalam membuat keputusan moral dan bukan perubahan isi dari keputusan mereka mencapai tindakan yang mereka ambil sebagai hasilnya (Steinberg, 2002). Remaja yang berada dalam tahap Conventional tidak berfokus pada penghargaan dan hukuman secara nyata, tetapi pada bagaimana individu akan dinilai oleh orang lain untuk berperilaku dengan cara tertentu. Dalam penalaran moral konvensional, kepentingan khusus diberikan kepada orang yang dianggap berperilaku baik, peraturan dalam masyarakat dipandang sebagai relatif dan subjektif bukan sebagai otoritatif, kewajiban moral untuk mematuhi pedoman peraturan masyarakat untuk tujuan manusia, namun ketika muncul prinsip-prinsip yang lebih penting seperti keadilan dan kesucian hidup manusia didahulukan dari norma-norma sosial yang lebih baik (Steinberg, 2002).

(10)

Pandangan yang kedua adalah mengenai politik, pada masa remaja, perkembangan pemikiran politik lebih konsisten dengan pandangan bahwa keyakinan akan menjadi lebih berprinsip, lebih asbtrak, dan lebih mandiri. Joseph Adelson menyarankan bahwa perubahan pemikiran politik selama masa remaja dalam beberapa cara yang penting (Steinberg, 2002), pertama, remaja diharapkan menjadi lebih abstrak dalam menanggapi pertanyaan-pertanyaan hukum, misalnya “apa tujuan hukum?” pada remaja yang memiliki usia lebih muda akan memberikan jawaban yang lebih konkret, namun pada remaja yang lebih tua akan merespon dengan pernyataan yang lebih abstrak dan lebih umum, kedua, pemikiran politik selama masa remaja menjadi semakin otoriter dan kaku, remaja yang muda cenderung menuju arah mematuhi terhadap otoritas, sikap kritis, percaya, dan sepakat dengan pemerintah, remaja yang lebih tua akan lebih memberikan saran, ketiga, meningkatnya penggunaan prinsip yang sama dengan apa yang diamati oleh remaja selama proses perkembangan moral, remaja akan mendukung gagasan nilai yang muncul selama perkembangan remaja, berpikir dari keputusan otoritas, mempertanyakan nilai-nilai dan keyakinan yang berasal dari orang tua atau tokoh-tokoh lainnya dan mencoba untuk membangun prioritas keyakinan mereka sendiri (Steinberg, 2002).

Pandangan yang terakhir adalah mengenai agama, kepercayaan individu terhadap agama berorientasi kepada hal-hal yang bersifat spiritual dan ideologis, bukan sekedar ritual, praktek, dan budaya-budaya agama. Individu remaja lebih menekankan aspek komitmen keagamaan (seperti apa yang individu percaya) dan kurang pada manifestasi eksternal (seperti apakah seorang individu pergi ke gereja?) (Elkin dalam Steinberg, 2002). Selama masa remaja, individu akan masuk kedalam tahap dimana mereka mulai membentuk sistem keyakinan keagamaan pribadi, daripada mengandalkan dan mengikuti pada ajaran orang tua mereka (Fowler dalam Steinberg, 2002).

2.2 Anak Tunggal

2.2.1 Pengertian Anak Tunggal

Anak tunggal berbeda dengan anak bukan tunggal karena anak tunggal tidak memiliki saudara kandung dalam kehidupannya. Dapat dikatakan bahwa anak tunggal adalah anak yang tidak memiliki saudara laki-laki maupun saudara

(11)

perempuan, dimana ibunya hanya melahirkan satu kali, tumbuh besar dalam perlindungan orang tuanya, dan merupakan satu-satunya anak di dalam keluarga (Laybourn dalam Neuman, 2001).

2.2.2 Karakteristik Anak Tunggal

Laybourn (1994) mengatakan bahwa orang tua dengan anak tunggal memiliki lebih banyak untuk diberikan dibandingkan orang tua dengan anak bukan tunggal. Mereka dapat memberikan anaknya barang-barang yang lebih banyak (mainan dan pakaian), jumlah uang yang diberikan lebih besar, karena penghasilannya tidak harus diberikan kepada beberapa anak. Mereka juga dapat memberikan anaknya waktu, perhatian lebih, dan cinta yang tak terbagi karena mereka tidak memiliki anak-anak lain yang berkompetisi untuk mendapatkannya.

Anak tunggal tidak mampu menyesuaikan diri dengan baik serta memiliki keterbatasan dalam menghadapi lingkungan sosialnya. Perhatian yang berlebihan dari orang tua yang biasa dituntut dan didapatkan oleh anak tunggal menyebabkannya menjadi anak yang iri, egois, egosentris, bergantung, agresif, mendominasi, atau argumentative (Santrock, 2008). Berdasarkan pengalamannya sendiri, Laybourn (1994) berpendapat bahwa tidak semua anak tunggal bermasalah. Hasil penelitian Laybourn (1994) juga menambahkan bahwa dalam hal kemandirian, anak tunggal tidak dapat dinyatakan untuk pasti mandiri atau tidak mandiri. Terdapat anak tunggal yang tidak mandiri dan juga anak yang mandiri. Ketergantungan atau kemandirian anak tunggal tergantung dari perlakuan yang diberikan oleh orang tua. Anak tunggal tidak kurang atau lebih baik dibandingkan dengan anak bersaudara dalam tes kepemimpinan, kedewasaan, kewarganegaraan, kemandirian, kontrol diri, stabilitasi emosi, kepuasan, partisipasi sosial dan popularitas sosial.

2.2.3 Pembentukan Kemandirian Anak

Kemandirian seorang anak tidak dapat lepas dari peran keluarga. Hal ini disebabkan karena keluarga adalah lingkungan terdekat bagi kehidupan anak dan merupakan salah satu faktor lingkungan terpenting dalam hidup seseorang. Dalam sebuah keluarga, biasanya orang yang memiliki pengaruh terbesar bagi kehidupan anak adalah orang tua. Pola dan tingkah laku orang tua akan mempengaruhi perkembangan kepribadian anak (Bigner, 2002).

(12)

Santrock (2008) mengatakan bahwa keluarga yang sehat secara psikologis mengatasi dorongan kemandirian remaja dengan memperlakukan remaja secara lebih dewasa dan melibatkannya dalam pembuatan keputusan keluarga. Keluarga yang menginginkan anaknya untuk mandiri biasanya memberikan kebebasan kepada anaknya untuk melakukan dan memutuskan sesuatu atas pertimbangannya sendiri. Mereka tidak mengekang atau memberikan aturan-aturan yang harus dipatuhi tanpa penjelasan sebelumnya. Orang tua berusaha untuk mengembangkan kemandirian, kompetensi, dan identitas anak yang dipilih oleh anak tersebut dengan bebas (Bigner, 2002). Orang tua yang memberikan perhatian dan perlindungan berlebihan kepada anak akan menyebabkan anak tersebut menjadi egosentris, manja dan egois (Bigner, 2002).

2.3 Masa Remaja

2.3.1 Pengertian Masa Remaja

Masa remaja adalah fase transisi antara masa kanak-kanak dan dewasa. Pada masa ini juga individu mengalami perubahan secara fisik, sosial, mental, dan perubahan emosional. Menurut Stanley Hall, pada masa ini disebut sebagai masa “badai dan stress”, dalam hal kerangka waktu, masa remaja dimulai sekitar masa pubertas (usia 11-12 tahun) dan berakhir selama masa remaja akhir dan dewasa muda (usia 19-20 tahun) (Fall dalam Santrock, 2008).

2.3.1.1 Masa Remaja Awal

Masa remaja awal atau early adolescence kira-kira sama dengan masa Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan mencakup kebanyakan perubahan pubertas. 2.3.2 Aspek-aspek Perkembangan Masa Remaja

a. Perkembangan Fisik

Perkembangan fisik merupakan perubahan-perubahan pada tubuh, otak, kapasitas sensoris dan keterampilan motorik. Perubahan pada tubuh ditandai dengan pertambahan tinggi dan berat tubuh, pertumbuhan tulang dan otot, dan kematangan organ seksual dan fungsi reproduksi. Tubuh remaja mulai beralih dari tubuh kanak-kanak hingga menjadi tubuh orang dewasa.Perubahan fisik otak sehingga strukturnya semakin sempurna meningkatkan kemampuan kognitif. (Papalia and Olds, 2005).

(13)

b. Perkembangan Kognitif

Perkembangan kognitif menurut Piaget dalam Santrock (2008), remaja secara aktif membangun dunia kognitif mereka, dimana informasi yang didapatkan tidak langsung diterima ke dalam skema kognitif mereka. Remaja sudah mampu membedakan antara hal-hal atau ide-ide yang lebih penting dibandingkan ide lainnya kemudian menghubungkan hal-hal atau ide-ide tersebut. Remaja tidak saja mengorganisasikan apa yang dialami dan diamati, tetapi remaja mampu mengolah cara berpikir mereka sehingga memunculkan suatu ide baru (Santrock, 2008).

Perkembangan kognitif adalah perubahan kemampuan mental seperti belajar, memori, menalar, berpikir, dan bahasa. Pada masa remaja terjadi kematangan kognitif, yakni interaksi dari struktur otak yang telah sempurna dan lingkungan sosial yang semakin luas untuk memberikan kesempatan kepada remaja untuk berpikir secara abstrak (Papalia and olds, 2005).

Tahap perkembangan kognitif remaja menurut Piaget meliputi dua tahap, yakni:

1. Pemikiran operasional konkret, berlangsung sejak sekitar usia 7 sampai 11 tahun. Pada tahap ini, anak mampu melakukan operasi kognitif. Penalaran logis menggantikan pemikiran intuitif selama nalar dapat diterapkan pada suatu kejadian khusus atau konkret. Karakteristik pemikiran operasional konkret, adalah:

1. Dapat menggunakan operasi kognitif, secara mental mengubah urutan tindakan, menampilkan ketrampilan konservasi

2. Penalaran logis muncul menggantikan penalaran intuitif, tetapi hanya untuk kejadian atau situasi yang konkret

3. Tidak abstrak (tidak mampu membayangkan langkah-langkah dalam persamaan aljabar,misalnya)

4. Ketrampilan klasifikasi-mampu memecah kelompok benda

menjadi set dan subset, serta memikirkan kaitan antara subset tersebut

2. Pemikiran operasional formal tahap awal dan tahap akhir Karakteristik pemikiran operasional formal, adalah:

(14)

1. Abstrak, remaja berpikir secara lebih abstrak dibandingkan dengan anak-anak. Misalnya pemikir operasional formal dapat memecahkan persamaan aljabar abstrak.

2. Idealistis, remaja kerap berpikir mengenai hal-hal yang mungkin terjadi. Mereka memikirkan karakteristik ideal dari diri mereka sendiri, orang lain dan dunia.

3. Logis, remaja mulai berpikir lebih seperti ilmuwan, menyusun berbagai rencana untuk memecahkan masalah,dan secara sistematis menguji cara pemecahan yang terpikirkan. Piaget menyebut jenis cara berpikir ini sebagai penalaran hipotesis-deduktif.

c. Perkembangan Sosio-Emosional

Perkembangan Sosio-Emosional pada remaja lebih melibatkan kelompok teman sebaya dibandingkan orang tua. Berbeda dengan masa kanak-kanak, remaja lebih banyak melakukan kegiatan diluar rumah, seperti kegiatan sekolah, ekstra kulikuler, dan bermain dengan teman (Papalia and Olds,2005).

2.3.3 Karakteristik Masa Remaja

Perkembangan sosial anak dimulai sejak bayi, kemudian pada masa kanak-kanak dan selanjutnya pada masa remaja. Menurut Santrock (2008) teman sebaya adalah individu dengan tingkat usia atau kedewasaan yang sama. Remaja mulai belajar mengenai pola hubungan timbal balik melalui interaksi dengan teman sebaya. Mereka juga mengamati dengan teliti minat dan pandangan teman sebaya dengan tujuan untuk memudahkan proses penyatuan dirinya ke dalam aktifitas teman sebaya yang sedang berlangsung (Piaget dalam Santrock, 2008). Sullivan dalam Santrock (2008) beranggapan bahwa teman memainkan peran yang penting dalam membentuk kenyamanan dan perkembangan remaja. Semua orang memiliki sejumlah kebutuhan sosial dasar, yakni kebutuhan kasih sayang, teman yang menyenangkan, penerimaan oleh lingkungan sosial, keakraban, dan hubungan seksual.

Masa remaja adalah fase transisi dari masa kanak-kanak dan dewasa, disertai adanya perubahan emosional, fisik, sosial dan mental (Steinberg dalam Santrock, 2008). Perubahan pada fase ini meliputi peningkatan idealism, penalaran logis, perubahan sosial yang berfokus pada kemandirian dan identitas diri, perubahan

(15)

kebijaksanaan pada orang tua, serta harapan yang tidak sesuai dengan orang tua dan remaja.

Remaja yang mengalami perubahan dari fase anak menjadi seorang yang tidak mempunyai sifat patuh, seperti melawan dan menantang aturan-aturan orang tua, cenderung akan mendapatkan pengendalian yang lebih keras dan orang tua dan diberikan tekanan dan hukuman yang lebih dengan tujuan menaati aturan-aturan yang diberlakukan oleh orang tua.

2.4 Kerangka Berpikir Kemandirian Anak Tunggal Emosional Bertingkah-laku Nilai SMP Tarakanita 3

(16)

Referensi

Dokumen terkait

Sesuai dengan hipotesis yang dikembangkan di dalam penelitian ini, disparitas pembangunan antar wilayah di Pulau Jawa diduga dapat bersumber dari (1) disparitas antar

Jadi teknik penarikan contoh dua tahap pada Survei Pertanian menghasilkan penduga populasi yang lebih rendah tingkat validitasnya dibandingkan dengan keempat teknik penarikan

Dari kegiatan di atas, dapat dirumuskan bahwandalam setiap segitiga ABC dengan panjang sisi- sisi BC, AC dan AB berturut-turut adalah a, b dan c satuan panjang dan besar sudut

Dari wawancara tersebut peneliti memperoleh data berkaitan dengan pelaksanaan kegiatan bimbingan yang diikuti oleh anak tunarungu terkait dengan pembimbing, metode dan media

Sedangkan pada daging matang yang diberikan perlakuan penambahan dan pengganti secara signifikan menunjukan nilai expressible drip yang rendah atau memiliki daya ikat air

Dalam makalah ini Knowledge Management Capability Maturity Model (KMCMM) adalah kerangka yang digunakan untuk mengukur tingkat kematangan organisasi dalam menjalankan

(persero) Cabang Pekanbaru Kota tidak melakukan upaya apapun dalam hal tidak dilakukannya roya atau pencoretan terhadap jaminan fidusia, karena pada saat nasabah

Standar Kompetensi adalah pernyataan yang menguraikan keterampilan, pengetahuan dan sikap yang harus dilakukan saat bekerja serta penerapannya, sesuai