154
Jurnal Diversita
Available online http://ojs.uma.ac.id/index.php/diversita
Budaya Organisasi dan Voice Behavior: Peran Mediasi Kepribadian
Proaktif pada Karyawan Lembaga Pemerintah
Organizational Culture and Voice Behavior: Proactive Personality as
Mediator in Government Institutions Employees
Muhammad Ibrahim(1)* & Alice Salendu(2)
Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia, Indonesia, Indonesia
Disubmit: 13 April 2020; Diproses: 13 April 2020; Diaccept: 05 Agustus 2020; Dipublish: 11 Desember 2020
*Corresponding author: E-mail: baimzmaxim@gmail.com Abstrak
Organisasi memiliki kondisi tantangan dan tuntutan agar dapat unggul dalam persaingan melalui perubahan dan pengembangan. Penelitian ini bertujuan untuk meneliti bagaimana kondisi organisasi di lembaga pemerintah dengan melibatkan tiga variabel penelitian, yaitu budaya organisasi, kepribadian proaktif dan voice behavior. Data diperoleh melalui 3 alat ukur, yaitu organizational culture scale (1996), proactive personality scale (1999), dan voice
behavior scale (1998). Responden penelitian ini adalah 113 orang karyawan yang diperoleh melalui convenience
sampling denga kriteria sebagai karyawan tetap dan telah bekerja selama 1 tahun. Teknik statistik PROCESS yang dikembangkan oleh Hayes digunakan untuk menguji analisis peran mediasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa budaya organisasi mempengaruhi voice behavior secara langsung dengan nilai efek sebesar 0,10. Nilai pengaruh antara budaya organisasi terhadap voice behavior melalui mediasi kepribadian proaktif adalah sebesar 0,07. Penelitian ini juga menunjukkan semua variabel memiliki hubungan yang positif dan kepribadian proaktif memedisasi secara parsial hubungan antara budaya organisasi dan voice behavior.
Kata Kunci: Kepribadian Proaktif; Budaya Organisasi; Voice Behavior
Abstract
Organizations have challenging conditions and demands to be able to excel in competition through change and development. This study aims to examine how the condition of organizations in government institutions involves three research variables, namely organizational culture, proactive personality and voice behavior. Data obtained through 3 measuring instruments, namely organizational culture scale (1996), proactive personality scale (1999), and voice behavior scale (1998). The respondents of this study were 113 employees obtained through convenience sampling with criteria as permanent employees and had worked for 1 year. The PROCESS statistical technique developed by Hayes was used to test the analysis of the role of mediation. The results of this study indicate that organizational culture directly affects voice behavior with an effect value of 0,10. While the value of the influence of organizational culture on voice behavior through proactive personality mediation is 0,07. This study also shows all variables have a positive relationship and proactive personality partially mediates the relationship between organizational culture and voice behavior.
Keywords: Proactive Personality; Organizational Culture; Voice Behavior
How to Cite: Ibrahim, M. & Salendu, A. 2020. Budaya Organisasi dan Voice Behavior: Peran Mediasi Kepribadian
155
PENDAHULUAN
Perubahan dan pengembangan dalam organisasi dibutuhkan untuk tetap unggul dalam persaingan. Cummings & Worley (2015), menjelaskan bahwa perubahan dan pengembangan organisasi adalah bentuk usaha yang dilakukan organisasi untuk dapat menyesuaikan diri dengan tuntutan zaman. Perubahan dan pengembangan tersebut dapat berupa perubahan strategi, struktur oganisasi dan proses dari sistem organisasi yang digunakan.
Hal ini berkaitan dengan kemampuan organisasi dalam menemukan solusi terhadap masalah yang berpotensi terhadap organisasi dan juga berperan dalam merespon lingkungan. Banyak elemen dari organisasi yang dapat berperan untuk kemajuan organisasi, salah satunya karyawan. Karyawan berperan penting terhadap usaha organisasi dalam merespon tuntutan lingkungan.
Kontribusi yang dapat diberikan oleh karyawan kepada organisasi diantaranya adalah dengan memberikan ide, gagasan, informasi atau menyampaikan masalah organisasi kepada orang yang memiliki wewenang dalam organisasi atau perusahaan, hal ini dikenal dengan istilah voice
behavior. Berdasarkan penjelasan di
atas maka dapat dikatakan bahwa voice
behavior adalah bentuk perilaku
karyawan dalam mengekspresikan pendapat yang disampaikan kepada atasan yang bersifat konstruktif untuk perusahaan dan dilakukan secara sadar untuk kemajuan organisasi.
Salah satu fenomena yang menggambarkan pentingnya pendapat karyawan pada perusahaan bisa dilihat pada perusahaandan ritel mainan internasional yaitu “Toys R Us” (Sharp, 2018), bahwa kegagalan perusahan tersebut untuk bertahan terhadap perubahan dan perkembangan zaman dikarenakan peran voice behavior karyawan.
Perusahan tidak mendapatkan keuntungan dari penerapan voice behavior yaitu inovasi dari karyawan.
Voice behavior dapat berperan dalam
meningkatkan produktifitas dan inovasi perusahaan (Sharp, 2018). Kisah Toys R Us menggambarkan bahwa karyawan memiliki peranan penting dalam kemajuan dan pengembangan perusahaan, bahkan dapat berperan dalam menemukan solusi permasalahan.
Voice behavior diperkenalkan
pertama kali oleh Hirschman (1970) sebagai salah satu bentuk usaha karyawan menunjukan ketidakpuasan terhadap organisasi. Dalam perkembangannya literature voice behavior, Van Dyne dan LePine (1998)
memasukan variabel tersebut sebagai salah satu bentuk perilaku karyawan yang diinginkan perusahaan, namun berada di luar tugas formal dan deskripsi pekerjaan (Britt & Jex, 2008).
Dengan kata lain voice behavior bukan merupakan kewajiban untuk dilakukan oleh karyawan namun diharapkan untuk dilakukan. Ciri–ciri dari voice behavior adalah menyuarakan dan menunjukkan dengan kesungguhan untuk mengubah
156
status quo yang ada di dalam organisasi (Maynes & Podsakoff, 2014). Voice
behavior memiliki potensi risiko karena
dapat menimbulkan perbedaan pendapat yang dapat berpotensi merusak hubungan antar anggota di oganisasi, terutama untuk yang menyuarakan. Hal yang perlu ditekankan bahwa voice behavior dapat memberi manfaat bagi organisasi, namun juga memiliki potensi risiko bila dilakukan.
Voice behavior merupakan
perilaku karyawan dalam mengekspresikan pendapat yang bersifat konstruktif dan bertujuan untuk kemajuan organisasi (Van Dyne & LePine, 1998). Van Dyne dan LePine (1998) menempatkan voice behavior sebagai bagian dari extra-role behavior.
Extra-role behavior adalah perilaku
positif karyawan yang tidak termasuk dalam deskripsi pekerjaan, namun karyawan bersedia melakukannya (Morrison & Phelps, 1999). Voice
behavior adalah tingkah laku dalam
bentuk pemberian saran-saran inovatif yang bertujuan untuk perubahan yang lebih baik bagi organisasi (Van Dyne, Ang, & Botero, 2003).
Dengan pertimbangan bahwa
voice behavior dapat membantu
organisasi menghadapi tantangan di masa mendatang (Andiyasari, Matindas, & Riantoputra, 2017), maka organisasi perlu mendorong karyawan untuk bersedia menunjukkan perilaku ini.
Voice behavior bukan perilaku yang
diwajibkan kepada karyawan namun memberi manfaat besar, sehingga organisasi harus mengambil peran aktif
untuk mendorong terwujudnya hal tersebut.
Morrison (2011)
mengelompokkan faktor-faktor yang berperan terhadap munculnya voice
behavior sebagai motivators dan inhibitors. Motivators merupakan faktor
yang mendorong munculnya voice
behavior tersebut, sedangkan inhibitors
adalah faktor yang menghambat voice
behavior muncul. Faktor pertama
adalah individual dispositions, yaitu sifat yang secara khusus dimiliki seseorang dan memiliki kapasitas berbeda untuk setiap orang dalam mengartikan stimulus.
Beberapa faktor individual dispositions menurut Morrison (2014) adalah extraversion, proactive personality (Crant, Kim, & Wang, 2011) ;
(Wijaya, 2019), psychological safety (Liang, Farh, & Farh, 2012) yang berperan sebagai motivators dan achievement orientation sebagai
inhibitors. Faktor kedua yang berperan
terhadap munculnya voice behavior adalah pekerjaan, sikap dan persepsi karyawan terhadap organisasi seperti
organizational identification dan job satisfaction sebagai motivators dan detachment serta powerlessness sebagai inhibitors (Morrison, 2014).
Faktor ketiga terdiri dari emosi, kepercayaan dan skema seperti
psychological safety sebagai motivators
dan ketakutan sebagai inhibitors (Morrison, 2014). Selain itu Morrison (2014) juga mengelompokkan perilaku atasan dan pemimpin ke dalam satu faktor seperti transformational leadership (Svendsen, Unterrainer, &
157
abusive leadership sebagai inhibitors.
Faktor kelima menurut Morrison (2014) adalah faktor kontekstual lainnya seperti group voice climate dan
caring climate sebagai motivators dan social stressor sebagai inhibitors. Faktor
yang mempengaruhi munculnya voice
behavior juga dapat berupa variabel–
variabel demografis seperti jenis kelamin, etnis, usia dan masa kerja (Van Dyne & LePine, 1998).
Salah satu faktor yang mendorong
voice behavior adalah faktor
kontesktual salah satunya budaya organisasi dimana karyawan tersebut bekerja. Budaya organisasi berperan dalam menciptakan kecendrungan untuk berkembangnya sikap dan perilaku tertentu (Jain, 2015). Budaya organisasi merupakan kumpulan dari nilai dan norma yang dibagikan di dalam organisasi untuk mengatur interaksi organisai tersebut (Hill, Jones, & Schilling, 2013). Semakin kuat budaya organisasi dalam diri karyawan semakin kuat kuat pula pengaruhnya terhadap sikap dan perilaku karyawan.
Goffee dan Jones (2002) mengelompokkan budaya organisasi ke dalam dua dimensi, yaitu sociability dan
solidarity. Sociability merupakan
ukuran dari keramahan di antara anggota organisasi yang menggambarkan hubungan emosional sebagai teman bukan sebagai alat untuk mencapai tujuan pribadi. Hal ini digambarkan dengan cenderung berbagi ide, sikap, minat, dan nilai tertentu. Sedangkan solidarity adalah ukuran kemampuan anggota organisasi untuk mencapai tujuan bersama dengan
cepat dan efektif, terlepas dari ikatan pribadi. Dalam hal ini, hubungan antar anggota organisasi didasarkan pada tugas, kepentingan dan tujuan bersama yang akan menguntungkan semua pihak yang terlibat.
Dalam budaya organisasi dengan
sociability dan solidarity yang tinggi
karyawan akan berperan dalam mencapai tujuan bersama dan tidak merasa tertekan dalam menyampaikan pendapat karena memiliki hubungan emosional dengan rekan kerja lainnya. Hubungan antara budaya organisasi di tempat kerja dan voice behavior dapat dijelaskan oleh social exchange theory (Eisenberger, Stinglhamber, Vandenberghe, Surcharski, & Rhoades, 2002). Dasar dari teori ini adalah bahwa hubungan yang memberikan manfaat dan menghasilkan rasa saling percaya serta ketertarikan akan bertahan lama (Stinglhamber, Ohana, Caesens, & Meyer, 2019). Berdasarkan teori ini, ketika satu pihak memberikan manfaat pada pihak lain, maka ada harapan bahwa pihak lain juga memberi manfaat sebagai bentuk pertukaran. Dalam konteks organisasi salah satu bentuk pertukaran yang diberikan karyawan adalah memberikan ide, saran atau sekedar masukan kepada organisasi (voice
behavior).
Selain faktor kontekstual, faktor kepribadian juga berperan terhadap
voice behavior. Setiap orang memiliki
kepribadian yang berbeda yang menjadikannya unik dengan yang lainnya, sehingga menghasilkan peran yang berbeda pula dalam
158
mempengaruhi voice behavior. Salah satu faktor kepribadian yang sering dikaitkan dengan penelitian voice
behavior adalah kepribadian proaktif.
Kepribadian proaktif merupakan kecenderungan seseorang dalam mengambil tindakan untuk mengubah lingkungannya (Bateman & Crant, 1999). Daripada menunggu untuk menanggapi lingkungan kerja mereka, individu dengan kepribadian proaktif secara aktif mencari informasi, mengeksplorasi lingkungan dan mencoba menciptakan peluang di masa depan (Bateman & Crant, 1999) ; (Crant, 2000). Individu yang memiliki kepribadian proaktif akan berusaha menunjukan voice behavior demi lingkungan kerja yang lebih baik. Sehingga dengan adanya kepribadian proaktif akan mendorong munculnya
voice behavior pada diri karyawan.
Penelitian yang dilakukan oleh Pashib, Yaqubi, Moharani, Tatari, & Mohammadi (2015) pada staf di universitas, menunjukkan bahwa ada hubungan yang lemah antara budaya organisasi dan OCB seperti voice
behavior dalam populasi yang diteliti
sehingga perlu penetian lebih lanjut untuk memahami hubungan tersebut. Mengacu kepada trait activation theory (Tett & Burnett, 2003) karakteristik pribadi bergantung pada isyarat situasional seperti pekerjaan, sosial, dan karakteristik organisasi untuk kinerja perilaku yang berhubungan dengan karakteristik kepribadian tersebut. Sehingga budaya organisasi dapat mendorong muncul kepribadian proaktif yang berdampak pada munculnya voice behavior.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan organizational culture, proactive personality dan voice behavior. Dengan mempertimbangkan
faktor individual dan situasional serta efek mediasi terhadap voice behavior, maka akan memberi gambaran yang lebih lengkap mengenai voice behavior melalui peran faktor individual dan situasional. Manfaat pada penelitian ini adalah untuk mengembangkan pengetahuan terkait hal-hal yang dapat mendorong voice behavior. Penelitian ini dapat menambah wawasan bahwa
voice behavior tidak hanya dipengaruhi
faktor situasional dan individual namun juga oleh faktor yang mempengaruhi muncul tidaknya voice behavior.
Pada penelitian ini kepribadian proaktif diharapkan dapat menjadi mediator terhadap hubungan antara budaya organisasi dengan voice behavior. Dengan demikian peneliti
mengajukan penelitian bahwa budaya organisasi memiliki pengaruh yang signifikan terhadap voice behavior melalui mediasi kepribadian proaktif. Oleh karena itu, hipotesis penelitian ini adalah sebagai berikut:
H1: Budaya organisasi berhubungan positif dengan voice
behavior.
H2: Budaya organisasi berhubungan positif dengan kepribadian proaktif.
H3: Kepribadian proaktif berhubungan positif dengan voice
behavior.
H4: Kepribadian proaktif memediasi hubungan antara budaya organisasi dan voice behavior.
159
Berdasarkan hipotesis penelitian tersebut, peneliti menetapkan model penelitian seperti Gambar 1.
Gambar 1. Hubungan antara budaya organisasi, kepribadian proaktif dan voice behavior.
METODE PENELITIAN
Peneliti menggunakan metode penelitian kuantitatif yaing merupakan penelitian terkait dengan kuantifikasi perilaku (Cozby & Bates, 2015). Subjek penelitian yang terlibat dalam penelitian ini berjumlah 113 karyawan yang bekerja di lembaga pemerintahan di Indonesia berusia 20-52 tahun. Teknik sampling yang digunakan adalah convenience sampling. Convenience sampling adalah teknik
sampling dimana yaitu responden dipilih karena ketersediaannya dan adanya keinginan secara sukarela untuk berpartisipasi dalam penelitian (Gravetter & Forzano, 2018). Data diperoleh menggunakan metode cross
sectional study. Usia peserta
dikelompokkan sesuai tahap perkembangan karir yang dibagi menjadi 4 kategori, yaitu tahap eksplorasi, pembentukan, kemajuan, dan pengelolaan karir (Cohen, 1993). Sedangkan masa kerja dibagi menjadi 3 kategori, yaitu tahap ekplorasi, pembentukan dan pengelolaan karir (Cohen, 1993). Instrumen pengumpulan data menggunakan skala
likert. Skala yang digunakan adalah skala voice behavior, proactive personality, dan organizational culture.
Semua pengumpulan data dilakukan dengan metode self-report dan diberi peringkat menggunakan skala tipe likert 6 poin yang bertanda 1 = sangat tidak setuju dan 6 = sangat setuju. Alat ukur yang digunakan merupakan adaptasi yang digunakan dari penelitian sebelumnya.
Variabel voice behavior adalah variabel yang mengukur bagaimana individu menyampaikan ide, gagasan dan saran untuk kemajuan organisasi. Variabel voice behavior diukur dengan menggunakan skala adaptasi alat ukur
voice behavior (Van Dyne & LePine,
1998) yang berjumlah 6 item yang terdiri dari 1 dimensi dengan koefisien realibilitas sebesar α = 0.85 yang berarti alat ukur ini dapat mengukur
voice behavior dengan sangat baik.
Contoh item dari alat ukur ini adalah “saya menyarankan solusi terkait masalah yang mempengaruhi kinerja unit kerja ini”.
Variabel proactive personality adalah variabel yang menggambarkan kepriabadian seseorang yang secara proaktif berusaha berperan dalam merubah lingkungan. Variabel proactive
personality diukur menggunakan alat
ukur yang diadaptasi dari Seibert, Crant & Kraimer (1999). Skala ini terdiri dari 1 dimensi berjumlah 10 item dengan koefisien realibilitas sebesar α = 0.87. Contoh item dari alat ukur ini adalah “Saya terus mencari cara baru untuk meningkatkan hidup saya".
160
Organizational Culture adalah
variabel yang menjelaskan nilai dan norma organisasi yang terbagi menjadi 2 dimensi, yaitu sociability yang menggambarkan hubungan emosional antar anggota organisasi dan solidarity yang menggambarkan hubungan dalam mencapai tujuan bersama dalam organisasi. Variabel organizational
culture diukur menggunakan alat ukur
yang diadaptasi dari Goffee dan Jones (2002) yang terdiri dari 7 item untuk mengukur dimensi sociability dan 7 item untuk mengukur bentuk solidarity dalam budaya organisasi dengan koefisien realibilitas sebesar α = 0.91. Contoh dimensi sociability adalah, "Di sini semua anggota organisasi mencoba untuk berteman dan berusaha untuk menjaga hubungan mereka tetap erat"; dan contoh dimensi solidarity adalah, "Pekerjaan dilakukan secara efektif dan produktif."
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji korelasi dan uji hipotesis. Uji hipotesis dalam penelitian ini menggunakan mediated
regression analysis menggunakan
program PROCESS versi 3.0 yang dikembang oleh (Hayes, 2018) dan menggunakan software IBM SPSS versi 20.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian pada bagian ini merupakan pengolahan data beserta interpretasinya. Hasil yang diperoleh berdasarkan pengolahan data yang dilakukan secara deskriptif. Dari segi usia, responden didominasi oleh partisipan dengan usia < 30 tahun sebanyak 66 orang (58,4%), usia 31-35
tahun sebanyak 35 orang (30,9), usia 36-40 tahun sebanyak 4 orang (3,53%) dan usia > 40 tahun sebanyak 8 orang (7,07%). Berdasarkan jenis kelamin terbanyak adalah laki-laki sebanyak 61 orang (54,0%) perempuan 52 orang (46,0%), serta latar belakang pendidikan terbanyak adalah berasal dari pendidikan D4/S1 sebanyak 89 orang (78,1%) diikuti pendidikan S2 sebanyak 20 orang (17,5%) dan D3 sebanyak 4 orang (3,5%). Mayoritas karyawan yang menjadi partisipan telah menikah yaitu sebanyak 74 orang (64,9%) dan belum menikah sebanyak 39 orang (34,2%). Untuk lama masa kerja terbanyak adalah 1-4 tahun sebanyak 67 orang (59,2%) diikuti masa kerja 5-8 tahun sebanyak 31 orang (27,4%) dan masa kerja >9 tahun sebanyak 15 orang (13,2%).
Selanjutnya peneliti melakukan nalisis mediasi menggunakan PROCESS yang dikembangkan oleh Hayes (2018). Analisis ini bertujuan untuk mengetahui efek mediasi pada variabel kepribadian proaktif terhadap hubungan antara budaya organisasi dan
voice behavior. Hasil analisis mediasi
161
Tabel 2. Hasil analisis hubungan budaya organisasi terhadap voice behavior melalui mediasi kepribadian proaktif.
Anteseden Konsekuen M (PP) Y(VB) β SE t p β SE t p X (OC) a 0,31 0,57 6,81 0,00 c’ 0,10 0,03 2,79 0,00 M (PP) - - - - b 0,22 0,05 4,10 0,00 constant iM 25,26 3,70 6,81 0,00 iY 14,70 2,31 6,35 0,00 R2=0.21 R2=0.28 F(30.48), p<0.01 F(22.38), p<0.01
Total effect 0,17 LLCI=0,10 ULCI=0,24 Direct effect 0,10 LLCI=0,02 ULCI=0,17 Indirect
effect
0,07BootSE=0,02 BootLLCI=0,03 BootULCI=0,03
Berdasarkan hasil analisis peran mediasi pada tabel 2, terdapat hubungan positif yang signifikan antara budaya organisasi dengan kepribadian proaktif (β = 0,31; SE = 0,57; t = 6,81; LLCI = 0,20; ULCI = 0,42 ; p <0.01); budaya organisasi dengan voice behavior (β = 0,10; SE = 0,03; t = 2,79; LLCI = 0,02; ULCI = 0,17 ; p <0.05); serta kepribadian proaktif dengan voice behavior β = 0,22; SE = 0,05; t = 4,10; LLCI = 0,11; ULCI = 0,33; p <0.01). Selanjutnya, hubungan antara budaya organisasi dengan voice behavior yang dimediasi kepribadian proaktif juga menunjukkan hasil yang signifikan β = 0,07; BootSE = 0,02; BootLLCI = 0,03; BootULCI = 0,03 ; p <0.01).
Pengujian korelasi menunjukann bahwa ketiga variabel memiliki korelasi positif dan signifikan, data korelasi ini dijelaskan pada Tabel 2. Model penelitian juga menunjukkan bahwa
ketiga variabel memiki nilai yang signifikan di masing-masing jalur. Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan langsung maupun tidak langsung antara budaya organisasi dengan voice behavior pada karyawan. Berdasarkan data penelitian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa kepribadian proaktif memediasi secara parsial hubungan antara budaya organisasi dan voice behavior.
Faktor kepribadian merupakan salah satu faktor yang penting dalam munculnya voice behavior dalam diri karyawan karena dapat menimbulkan perbedaan dalam menunjukkan voice
behavior (Xie, Chu, Zhang, & Huang,
2014). Perbedaan tersebut muncul karena masing-masing individu memiliki kepribadian yang berbeda yang berdampak pada respon yang berbeda terhadap situasi yang dihadapi. Hal tersebut terjadi karena karyawan dengan kepribadian proaktif cenderung menyarankan cara-cara baru yang berkaitan dengan tugas dan mengusulkan ide-ide baru untuk fungsi yang lebih baik (Jafri, Dem, & Choden, 2016).
Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa kepribadian proaktif memiliki hubungan positif dengan voice behavior (Elsaied, 2018) ; (Xie, Chu, Zhang, & Huang, 2014). Selain itu karena voice behavior adalah bentuk yang lebih spesifik dari perilaku proaktif (Crant, 2000) ; (Grant & Ashford, 2008) ; (Morrison, 2011) maka kepribadian proaktif akan berperan dalam memunculkan voice behavior.
162
Karyawan dengan kepribadian proaktif cenderung untuk mencari cara yang dapat memperbaiki hal yang memiliki kaitan dengan proses kerja maupun hasil menegaskan bahwa kepriabadian tertentu seperti kepribadian proaktif berperan terhadap voice behavior (Xu, Qin, Dust, & Direnzo, 2019).
Perilaku karyawan adalah fungsi interaksi antara karakteristik pribadi dan lingkungan di sekitar karyawan. Selain dari karakteristik pribadi seperti kepribadian proaktif pengaruh lingkungan seperti budaya organisasi juga dapat berperan dalam perilaku karyawan. Budaya organisasi yang sesuai akan mendorong kecocokan dengan kepribadian tertentu sehingga menciptakankinerja yang lebih tinggi (Gardner, Reithel, Cogliser, Walumbwa, & Foley, 2012).
Menurut trait activation theory (Tett & Burnett, 2003) karakteristik pribadi bergantung pada isyarat situasional seperti pekerjaan, sosial, dan karakteristik organisasi untuk kinerja perilaku yang berhubungan dengan karakteristik kepribadian tersebut. Budaya organisasi yang membuat karyawan merasa didukung dan nyaman dalam menyampaikan pendapat akan mengaktifkan kepribadian proaktif individu yang akibatnya mengarah pada keterlibatan kerja yang tinggi dalam kelompok dan berdampatk terahadap peran kerja yang ekstra seperti voice behavior. Hal ini sejalan dengan penelitian Baba, Tourigny, Wang, dan Liu (2009) bahwa lingkungan berhubungan dengan kepribadian proaktif karena lingkungan dapat memfasilitasi kinerja yang lebih
tinggi pada karyawan. Karyawan dengan kepribadian proaktif cenderung mencari cara yang lebih baik dalam menghadapi situasi lingkungan. Selain itu rekan kerja dalam kelompok dengan hubungan pertukaran yang berkualitas tinggi dan saling percaya cenderung untuk bertukar informasi dan sumber daya akan meningkatkan keterampilan anggota tim secara lebih baik melalui kolaborasi dan mencapai kinerja yang lebih tinggi (Banks, Batchelor, Seers, Jr, Pollack, & Gower, 2014).
Hubungan antar pribadi yang disukai sangat penting untuk kepribadian proaktif karena terlibat dalam dapat berisiko secara interpersonal (Williams, Parker, & Turner, 2010). Risiko yang dipersepsikan oleh karyawan akan meningkat ketika individu khawatir rekan kerja mereka tidak menyetujui ide dan tindakan mereka (Williams, Parker, & Turner, 2010). Menurut Dutton, Ashford, Lawrence, & Miner-rubino (2002) ketika memutuskan apakah akan terlibat dalam perilaku tertentu, individu akan menilai apakah secara kontekstual perilaku yang dimunculkan memiliki konsekuensi tertentu. Kepercayaan anggota tim pada rekan kerja untuk secara positif terkait dengan terlibat dalam perilaku kerja proaktif tingkat individu (Williams, Parker, & Turner, 2010).
Menurut model Goffee dan Jones (2002) dua dimensi budaya membentuk dasar budaya organisasi yaitu solidarity dan sociability. Solidarity adalah ukuran keterkaitan ke arah pencapaian kepentingan dan tujuan bersama dan muncul di antara
orang-163
orang yang memiliki minat yang sama dan merasakan manfaat mengejar mereka secara kolektif (Goffee & Jones, 2002). Dengan budaya organisasi
solidarity yang tinggi karyawan akan
terdorong untuk mencaapai tujuan organiasasi sehingga berusaha memberi kontribusi terhadap organisasi. Sedangkan sociability ini adalah ukuran keramahan di antara individu, dan muncul ketika orang-orang memiliki sikap, gagasan, minat, dan nilai yang sama.
Kemasyarakatan dapat mengarah pada kreativitas dan keterbukaan terhadap ide-ide baru, komitmen terhadap kolega, dan kinerja (Goffee & Jones, 2002). Sociability digambarkan dengan cenderung berbagi ide, sikap, minat, dan nilai tertentu sehingga budaya organisasi dengan sociability tinggi akan mendorong karyawan untuk berbagi ide dan pendapat yang dapat disalurkan melalui voice behavior.
Fokus budaya tertentu dapat memiliki dampak positif pada proaktif (Brettel, Chomik, & Flatten, 2014). Anggota kelompok dengan kepribadian proaktif cenderung untuk mengusulkan ide dan membuat saran tentang meningkatkan cara kerja, serta berusaha mengidentifikasi potensi masalah dan memikirkan cara untuk mengatasi masalah tersebut. Dengan demikian, semakin besar jumlah anggota kelompok dengan kepribadian proaktif, semakin banyak saran dan ide yang akan dipertimbangkan oleh kelompok. Selain itu, interaksi antara anggota kelompok dengan kepribadian proaktif cenderung akan merangsang
diskusi tim sehingga kelompok dapat menghasilkan ide-ide terkait penyelesaian masalah.
Organisasi dapat mendorong perilaku ekstra karyawan jika karyawan merasa bahwa organisasi memperhatikan salah satunya melalui budaya organisasi muncul dari interaksi karyawan dan menciptakan ritual, bahasa yang sama, dan perilaku yang dapat membantu atau menghambat tujuan organisasi. Hal ini juga sesuai dengan social exchange
theory bahwa karyawan akan
melakukan pertukaran yang menguntungkan terhadap dukungan yang diberikan oleh organisasi (Eisenberger, Stinglhamber, Vandenberghe, Surcharski, & Rhoades, 2002). Dasar dari teori ini adalah bahwa hubungan yang memberikan manfaat dan menghasilkan rasa saling percaya serta ketertarikan akan bertahan lama (Stinglhamber, Ohana, Caesens, & Meyer, 2019). Budaya organisasi yang membuat karyawan merasa didukung akan mendorong karyawan untuk membalas dukungan tersebut (Chiang & Hsieh, 2012) ; (Stinglhamber, Ohana, Caesens, & Meyer, 2019).
Hubungan pertukaran sosial tersebut cenderung melibatkan pertukaran manfaat sosial dan emosional dan bersifat jangka panjang (Eisenberger, Stinglhamber, Vandenberghe, Surcharski, & Rhoades, 2002). Hal ini terkait dengan ikatan emosional yang erat dengan organisasi. Ketika karyawan membentuk hubungan pertukaran sosial dengan organisasi,
164
maka mereka cenderung menunjukkan kinerja yang lebih baik, seperti dengan meningkatkan organizational citizenship behavior dan berusaha
berperan untuk kepentingan organisasi (Kurtessis, Eisenberger, Ford, Buffardi, Stewart, & Adis, 2017). Salah satu bentuk organizational citizenship behavior yang dilakukan karyawan
adalah voice behavior untuk memberi manfaat bagi organisasi. Dengan secara proaktif menyarankan ide-ide baru dan perbaikan pada organisasi, karyawan memiliki keinginan untuk membantu berfungsinya organisasi secara efektif dalam jangka panjang (Chiang & Hsieh, 2012).
Lingkungan bisnis semakin menuntut organisasi untuk lebih dinamis dan adaptif. Organisasi perlu melibatkan peran aktif karyawan untuk mau mengkomunikasikan ide atau saran untuk kemajuan organisasi (Morrison, 2014). Voice behavior dapat menjaga organisasi untuk terus beradaptasi dengan perubahan (Maynes & Podsakoff, 2014). Dengan demikian, dengan menciptakan budaya organisasi yang memberikan dukungan kepada karyawan dapat mendorong karyawan untuk melakukan peran ekstra untuk mendukung organisasi seperti menyampaikan ide, kritik, dan saran yang bermafaat untuk organisasi. Selain itu karyawan yang merasa didukung oleh organisasi akan terhindar dari perilaku
counterproductive work behavior yang
dapat disebabkan oleh perceived
organizational support yang rendah
(Kurtessis, Eisenberger, Ford, Buffardi, Stewart, & Adis, 2017).
Penelitian ini juga tidak luput dari kekurangan sehingga terdapat sejumlah keterbatasan. Pertama, penelitian ini menggunakan desain studi cross
sectional dimana pengambilan data
dilakukan pada satu waktu. Peneliti menyarankan desain longitudinal dalam penelitian selanjutnya karena rentang waktu akan membuat penilaian karyawan terhadap voice behavior akan lebih obyektif dan akurat (Bashshur & Oc, 2014). Desain longitudinal juga dapat diterapkan untuk mengurangi common method bias jika dibandingkan penelitian yang dilakukan dalam satu waktu.
Penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi terkait faktor-faktor yang mendorong voice behavior, terutama pada karyawan yang berkerja di lembaga pemerintahan. Berkaitan dengan kondisi kerja karyawan pada lembaga pemerintahan yang memiliki cara kerja birorkratis terdapat variabel-variabel lain yang menarik untuk diteliti. Salah satunya variabel leader
member exchange (LMX), karena cara
kerja karyawan tidak terlepas dari hubungan antara atasan dan bawahan yang dapat mempengaruhi voice
behavior karyawan. Selain itu untuk
penelian kedepannya diharapkan menggunakan jumlah sampel yang lebih besar sehingga hasil penelitian dapat digeneralisasikan. Sampel tidak hanya di lembaga pemerintah namun juga jenis organisasi lainnya.
SIMPULAN
Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa variabel kepribadian proaktif berperan dalam
165
memediasi hubungan antara budaya organisasi dan voice behavior. Hasil penelitian ini juga didukung oleh beberapa penelitian sebelumnya. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa hubungan budaya organisasi dan voice
behavior dapat terjadi langsung tanpa
peran variabel mediator yaitu kepribadian proaktif. Perlu penelitian lebih lanjut untuk menjelaskan hubungan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Andiyasari, A., Matindas, R. W., & Riantoputra, C. D. (2017). Voice Behavior: The Role of Perceived Support and Psychological Ownership. The South East Asian Journal
of Management , 1-24.
Baba, V. V., Tourigny, L., Wang, X., & Liu, W. (2009). Proactive Personality and Work Perfromance in China: The Moderating Effects of Emotional Exhaustion and Perceived Safety Climate. Canadian
Journal of Administrative Sciences , 23-37.
Banks, G. C., Batchelor, J. H., Seers, A., Jr, E. H., Pollack, J. M., & Gower, K. (2014). What Does Team-Member Exchange Bring to the Party: A Meta-analytic Review of Team and Leader Social Exchange.
Journal of Organizational Behavior ,
273-295.
Bashshur, M. R., & Oc, B. (2014). When Voice Matters: A Multilevel Review of The Impact of Voice in Organizations. Jounal
of Management , 1-25.
Bateman, T. S., & Crant, J. M. (1999). Proactive
Behavior: Meaning, Impact, Recommendations. Diambil kembali dari
Business Horizon:
https://homepages.se.edu/cvonbergen/fil
es/2013/01/Proactive_Behavior-Meaning_Impact_Recommendations.pdf Brettel, M., Chomik, C., & Flatten, T. C. (2014).
How Organizational Culture Influences Innovativeness, Proativeness, and Risk-Taking: Fostering Entrepreneurial Orientation in SMEs. Journal of Small
Business Management , 868-885.
Britt, T. W., & Jex, S. M. (2008). Productive Behavior in Organizations.
Organizational Psychology , 87-114.
Chiang, C., & Hsieh, T. (2012). The Impacts of Perceived Organizational Support and Psychological Empowerment on Job Performance: The Mediating Effects of Organizational Citizenship Behavior.
International Journal of Hospitality Management , 180-190.
Cohen, A. (1993). Age and Tenure in Relation to Organizational Commitment: A Meta-Analysis. Basic and Applied Sociol
Psychology , 143-159.
Cozby, P. C., & Bates, S. C. (2015). Methods in
Behavioral Research (20th ed.). New York:
McGraw-Hill Education.
Crant, J. M. (2000). Proactive Behavior in Organizations. Journal of Management , 435-462.
Crant, J. M., Kim, T. Y., & Wang, J. (2011). Dispositional Antecedents of Demonstration and Usefulness of Voice Behavior. Journal of Business and
Psychology , 285-297.
Cummings, T. G., & Worley, C. G. (2015).
Organization Development & Change (10th ed.). Satmford: Cengage Learning.
Dutton, J. E., Ashford, S. J., Lawrence, K. A., & Miner-rubino, K. (2002). Red Light, Green Light: Making Sense of the Organizational Context for Issue Selling.
Organizational Science , 355-369.
Eisenberger, R., Stinglhamber, F., Vandenberghe, C., Surcharski, I. L., & Rhoades, L. (2002). Perceived Supervisor Support: Contributions to Perceived Organizational Support and Employee Retention. Journal of Applied Psychology , 565-573.
Elsaied, M. (2018). Supportive Leadership, Proactive Personality and Employee Voice Behavior: The Mediating Role of Psyhological Safety. American Journal of
Business .
Gardner, W. L., Reithel, B. J., Cogliser, C. C., Walumbwa, F. O., & Foley, R. T. (2012). Matching Personality and Organizational Culture: Effects of Recruitment Strategy and the Five-Factor Model on Subjective Person-Organization Fit. Management
166
Goffee, R., & Jones, G. (2002). What Holds The
Modern Company Together. New York:
Harper Collins Publisher, Inc.
Grant, A. M., & Ashford, S. J. (2008). The Dynamics of Proactivity at Work.
Research in Organizational Behavior ,
3-34.
Gravetter, F. J., & Forzano, L. A. (2018).
Research Methods for the Behavioral Sciences (6th ed.). Boston: Cengage
Learning.
Hayes, A. F. (2018). Introduction to Meditation,
Moderation, and Conditional Process Analysis: A Regression Based Approach (2nd ed.). New York: Guilford Publications.
Hill, C. W., Jones, G. R., & Schilling, M. A. (2013). Strategic Management An Integrated Approach (11th ed.). Stamford :
Cengage Learning.
Hirschman, A. O. (1970). Exit, Voive and
Loyalty: Responses to Decline in Firms, Organizations and States. Cambrige: MA:
Harvard University Press.
Jafri, H. M., Dem, C., & Choden, S. (2016). Emotional Intelligence and Employee Creativity: Moderating Role of Proactive Personality and Organizational Climate.
Business Perspective and Research ,
54-66.
Jain, A. K. (2015). Volunteerism and Organizational Culture Relationship to Organizational Commitment. Cross Cultural Management , 116-144.
Kurtessis, J. N., Eisenberger, R., Ford, M. T., Buffardi, L. C., Stewart, K. A., & Adis, C. S. (2017). Perceived Organizational Support: A Meta-analytic Evaluation of Organizational Support Theory. Journal
of Management , 1854-1884.
Liang, J., Farh, C. I., & Farh, J. L. (2012). Psychological Antecedents of Promotive and Prohibitive Voice: A Two-Wave Examination. Academy of Management
Journal , 71-92.
Maynes, T. D., & Podsakoff, P. M. (2014). Speaking More Broadly: An Examination of The Nature, Antecedents, and Consequences of An Expanded Set of Employee Voice Behaviors. Journal of
Applied Psychology , 87-112.
Morrison, E. W. (2014). Employee Voice and Silence . The Annual Review of Organizational Psychology and Organizational Behavior .
Morrison, E. W. (2011). Employee Voice Behavior: Integration and Directions for Future Research. Academy of Management Annals , 373-412.
Morrison, E. W., & Phelps, C. C. (1999). Taking Charge at Work: Extrarole Efforts to Initiate Workplace Change. Academy of
Management Journal , 403-419.
Pashib, M., Yaqubi, M., Moharani, I. S., Tatari, M., & Mohammadi, S. (2015). The Relationship Between Organizational Culture and Organizational Citizenship Behavior Among Staff of Torbat Herdariyeh University of Medical Sciences in 2015. Journal of Torbat
Heydariyah University of Medical Sciences , 26-32.
Seibert, S. E., Crant, J. M., & Kraimer, M. L. (1999). Proactive Personality and Career Success. Journal of Applied Psychology , 416-427.
Sharp, R. (2018, July 9). Breaking the Silence:
Employee Voice. Dipetik July 9, 2018, dari
HR Magazine:
https://www.hrmagazine.co.uk/article- details/breaking-the-silence-employee-voice
Stinglhamber, F., Ohana, M., Caesens, G., & Meyer, M. (2019). Perceived Organizational Support: The Interactive Role of Coworkers 'Perceptions and Employees' Voice Support. Employee
Relations: The International Journal .
Svendsen, M., Unterrainer, C., & Jonsson, T. F. (2018). The Effect of Transformational Leadership and Job Autonomy on Promotive and Prohibitive Voice: A Two-Wave Study. Journal of Leadership and
Organizational Studies , 171-183.
Tett, R. P., & Burnett, D. D. (2003). A Personality Trait-Based Interactionist Model of Job Performance. Journal of
Applied Psychology , 500-517.
Van Dyne, L., & LePine, J. A. (1998). Helping and Voice Extra-Role Behaviors: Evidence of Construct and Predictive Validity. Academy of Management Journal , 108-119.
Van Dyne, L., & LePine, J. A. (1998). Predicting Voice Behavior in Work Groups. Journal
of Applied Psychology , 853-868.
Van Dyne, L., Ang, S., & Botero, I. C. (2003). Conceptualizing Employee Silence and Employee Voice as Multidimensional Constructs. Journal of Management
167
Wijaya, N. H. (2019). Proactive Personality, LMX, and Voice Behavior: Employee-Supervisor Sex (Dis)similarity as a Moderator. Management Communication
Quarterly , 86-100.
Williams, H. M., Parker, S. K., & Turner, N. (2010). Proactively Performing Teams: The Role of Work Design, Transformational Leadership, and Team Composition. Journal of Occupational
and Organizational Psychology , 301-324.
Xie, J., Chu, X., Zhang, J., & Huang, J. (2014). Proactive Personality and Voice Behavior: The Influence of Voice Self-efficacy and Delegation. Social Behavior
and Personality , 1191-1200.
Xu, M., Qin, X., Dust, S. B., & Direnzo, M. S. (2019). Supervisor-subordinate Proactive Personality Congruence and Psychological Safety: A Signaling Theory Approach to Employee Voice Behavior.