• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMPLEMENTASI INDUSTRIALISASI PEDESAAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "IMPLEMENTASI INDUSTRIALISASI PEDESAAN"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

IMPLEMENTASI INDUSTRIALISASI PEDESAAN

Bab ini menguraikan tentang tingkat implementasi industrialisasi pedesaan di Dusun Karangbolo. Berdasarkan sintesis pemikiran Sundar and Srinivasan (2009), (Desai 2007 dalam Sundand Srinivasan 2009), Krishna (2003) dalam Sundar and Srinivasan (2009), Ram (2000) dalam Sundar and Srinivasan (2009), Prasetyo (2007) dalam Tanzenia (2012), Sayogyo dan Tambunan (1990), terdapat tiga poin penting dalam industrialisasi pedesaan yaitu ketersediaan akses terhadap infrastruktur, penggunaan sumberdaya lokal, dan manfaat bagi masyarakat lokal. Oleh karena itu, tingkat implementasi industrialisasi pedesaan diartikan sebagai sejauh mana pengembangan industri pedesaan disertai dengan ketersediaan akses terhadap infrastruktur, menggunakan sumberdaya lokal, dan memiliki manfaat bagi masyarakat lokal. Tingkat implementasi industrialisasi pedesaan dalam penelitian ini diukur menggunakan pertanyaan-pertanyaan kuesioner yang dibuat untuk mengidentifikasi tiga subvariabel, yaitu tingkat ketersediaan akses terhadap infrastruktur, tingkat penggunaan sumberdaya lokal, dan tingkat manfaat bagi masyarakat lokal.

Implementasi Industrialisasi Pedesaan

Tingkat implementasi industrialisasi pedesaan dilihat dari sejauh mana pengembangan industri pedesaan disertai dengan ketersediaan akses terhadap infrastruktur, menggunakan sumberdaya lokal, dan memiliki manfaat bagi masyarakat lokal. Rumahtangga pemilik usaha keripik diberikan total pertanyaan kuesioner sebanyak 20 buah dengan pilihan jawaban “Ya” atau “Tidak” yang mengidentifikasi tiga subvariabel, yaitu tingkat ketersediaan akses terhadap infrastruktur, tingkat penggunaan sumberdaya lokal, dan tingkat manfaat bagi masyarakat lokal. Penggolongan masing-masing subvariabel berdasarkan data kuesioner digunakan untuk menggolongkan tingkat implementasi industrialisasi pedesaan secara bertingkat dengan menggunakan skala ordinal. Jumlah dan presentase rumahtangga pemilik usaha keripik berdasarkan tingkat implementasi industrialisasi pedesaan dapat dilihat pada Tabel 10. Persentase rumahtangga pemilik usaha keripik berdasarkan tingkat implementasi industrialisasi pedesaan dapat dilihat pada Gambar 5.

Tabel 10 Jumlah dan persentase rumahtangga pemilik usaha keripik berdasarkan tingkat implementasi industrialisasi pedesaan di RW 07 Dusun Karangbolo Tahun 2012

No. Tingkat Implementasi Industrialisasi Pedesaan %

1. Tinggi 13 43.3

2. Sedang 17 56.7

3. Rendah 0 0.0

(2)

Tabel 10. menunjukkan sebaran rumahtangga pemilik usaha keripik berdasarkan tingkat implementasi industrialisasi pedesaan. Tingkat implementasi industrialisasi pedesaan dinyatakan tinggi pada 43.3 persen rumahtangga pemilik usaha keripik dan dinyatakan sedang pada 56.7 persen rumahtangga pemilik usaha keripik. Dengan demikian, secara umum tingkat implementasi industrialisasi pedesaan pada rumahtangga pemilik usaha keripik di RW 07 Karangbolo tergolong sedang.

Tingkat implementasi industrialisasi pedesaan pada 43.3 persen rumahtangga pemilik usaha keripik tergolong tinggi. Hal tersebut disebabkan tingkat ketersediaan akses terhadap infrastruktur, tingkat penggunaan sumberdaya lokal, dan tingkat manfaat bagi masyarakat lokal tergolong tinggi pada 43.3 persen rumahtangga pemilik usaha keripik tersebut, berikut beberapa pernyataan pemilik usaha keripik yang menjelaskan hal tersebut.

“Kalo dari dinas pernah dapet kompor mbak, dibantu juga ijin industrinya, dapat penyuluhan juga dari dinas mbak. Saya juga sering beli bahan baku dari pra koperasi mbak di kelompok. Dari dinas kan juga ada bantuan modal mbak buat simpan pinjam kelompok, dulu saya pernah pinjam juga di kelompok. Cuma sekarang lagi macet mbak pra koperasi sama simpan pinjamnya mbak.“- Ibu SMH

“ Ada mbak buruhnya, empat orang itu ada yang sodara saya juga, perempuan semua. Kerjaannya ya nggorengi, ngrajang tempe, sama mbungkusi mbak. Nek bahan bakune yo paling beli di pasar nek nggak di Bu MQR mbak, nek gak di Bu RKY, gampang kok mbak belinya deket, dianterke juga. Nek buat bikin keripike yo gampang mbak, mung modal piso, wajan, yo ngono-ngono thok, gampang mbak.” – Ibu MQN

“ Ada mbak buruhnya, empat orang itu ada yang saudara saya juga, perempuan semua. Kerjaannya ya menggoreng keripik, memotongi tempe, dan membungkus keripik. Kalau bahan baku ya paling beli di pasar mbak, atau di Bu MQR mbak, atau di Bu RKY, gampang kok mbak belinya deket, diantarkan pula. Kalau untuk membuat keripiknya ya gampang mbak, hanya perlu pisau, wajan, ya itu-itu saja mbak, gampang mbak.”- Ibu MQN

Gambar 5 Persentase rumahtangga pemilik usaha keripik berdasarkan tingkat

implementasi industrialisasi pedesaan di RW 07 Dusun Karangbolo Tahun 2012

(3)

“ Dari keripik ya Alhamdulillah bisa buat beli rumah mbak, lumayan tak kontrakke kui mbak setaun dapat tambahan dikit-dikit. Sama tak buat modal beli jualan bahan baku mbak, muter aja gitu mbak pokoknya”- Ibu MQR

Di sisi lain, tingkat implementasi industrialisasi pedesaan pada 56.7 persen rumahtangga pemilik usaha keripik tergolong sedang. Hal tersebut disebabkan tingkat penggunaan sumberdaya lokal pada industri keripik yang dijalankan oleh sebagian rumahtangga pemilik usaha keripik masih tergolong sedang. Sebagian rumahtangga pemilik usaha keripik yang memiliki industri keripik masih belum menyerap tenaga kerja baik perempuan maupun laki-laki dari lokasi setempat melainkan hanya sebatas menggunakan tenaga kerja dari keluarga kecilnya (suami, istri, dan anak). Alasan pada rumahtangga pemilik usaha keripik tersebut pun bermacam-macam, misalnya: skala usaha keripik yang dijalankan belum cukup besar sehingga masih dapat dikerjakan sendiri, usaha keripik yang dijalankan tidak ditujukan untuk perbesaran skala melainkan hanya sebagai hiburan, pendapatan dari usaha keripik tidak terlalu banyak, ketersediaan SDM dalam rumahtangga melimpah untuk disertakan dalam usaha keripik, dan menjaga kualitas keripik yang diproduksi, contohnya Ibu SMH.

“ Aku rak gelem owk mbak, nggo rewang. Ngko rasane bedho malah langgananne protes. Mbiyen wis tau mbak njajal nggo buruh , mbuh kuwi kok langgananne ngomong rasane bedho. Nek masak ngene kan tangan-an tho mbak, resepe podo nanging nek cekelanne bedo yo iso beda rosone, iso bedo wernone nggorenge, iso bedho ukuranne. Njur aku ngene wae lah mbak, dhewe wae, ben rak diprotes langgananne mergo bedo tumpine.”- Ibu SMH

“ Saya nggak mau mbak pake buruh. Nanti rasanya beda malah pelanggan saya protes. Dulu saya pernah mbak coba pakai buruh, tapi nggak tau kok pelanggannya malah protes karena rasanya berbeda. Kalau urusan masak kan tergantung tangan yang memasak mbak, resepnya sama tapi kalau yang memasak beda kan ya bisa beda rasanya, bisa beda warna hasil gorengan keripiknya, bisa beda ukuran keripiknya. Terus saya kaya gini aja lah mbak, supaya nggak diprotes pelanggan gara-gara tumpinya beda rasanya.”- Ibu SMH

Tingkat implementasi industrialisasi pedesaan yang tergolong sedang pada 56.7 persen rumahtangga pemilik usaha keripik juga disebabkan tingkat manfaat bagi masyarakat lokal yang tergolong sedang pada sebagian rumahtangga pemilik usaha keripik. Hal tersebut disebabkan sebagian rumahtangga pemilik usaha keripik belum merasakan manfaat dalam hal meningkatkan jejaring dan menggunakan pendapatan dari usaha keripik untuk aktivitas nafkah lainnya.

Salah satu rumahtangga pemilik usaha keripik yang belum merasakan manfaat pengembangan industri pedesaan dalam hal meningkatkan jejaring adalah rumahtangga Ibu SRH. Beliau menyatakan bahwa beliau tidak merasa jejaringnya bertambah karena beliau memasarkan keripik dengan menyetor ke adiknya, berikut pernyataan beliau.

“Biasa aja ik mbak, kan saya ndak njual sendiri, saya nyetore ke adik saya, nanti dia yang nyari langganan.”- Ibu SRH

“Biasa saja mbak, kan saya tidak menjual sendiri, saya menyetorkan hasil keripik saya ke adik saya, nanti dia yang mencarikan pelanggan”- Ibu SRH

(4)

Terdapat pula rumahtangga pemilik usaha keripik yang belum merasakan manfaat dari pengembangan industri keripik dalam segi menggunakan pendapatan dari usaha keripik untuk diversifikasi nafkah/ memperoleh tambahan sumber pendapatan baru, misalnya rumahtangga Ibu MRY dan MLH.

“ Alah mbak, ngene wae wis mumet owk mbak. Nek aku ndue usaha liane ngko ndak mumet. Wis duite yo diputer wae nggo tuku modal neh mbak karo disimpen sithik-sithik. Jujur wae saya ndak berani mbak buat bikin usaha lain, yo nek payu, nek orak.”- Ibu MRY

“ Aduh mbak, begini saja sudah pusing kok mbak. Kalau saya punya usaha lainnya nanti malah pusing. Ya sudah, uangnya hanya diputar saja untuk beli modal lagi mbak dan disimpan sedikit-sedikit. Jujur saja saya tidak berani untuk menambah usaha lain, iya kalau laku, kalau tidak bagaimana mbak.”- Ibu MRY

“ Ndak mbak, kancaku mbien pernah njajal-njajal usaha liyane mbak, njur malah usahane do keteter kabeh kae ik mbak, ra kecekel. Dari situ saya belajar mbak, mbek Gusti Allah mungkin emang rak entuk maruk, wis mending disyukuri wae rejekine, sing penting ditenani wae kripike ngko kan mesti ono rejekine. Gusti Allah kan wis ngei dalane, garek ditenani, raksah njipuk rono-rene, wis ono jalure, sing penting lurus, fokus.”- Ibu MLH

“ Tidak mbak, teman saya dulu pernah mencoba-coba membuat usaha tambahan,kemudian usahanya malah tidak terurus semua mbak. Dari saya belajar mbak, tidak boleh serakah, sudahlah lebih baik disyukuri saja rezekinya, yang penting fokus dan serius di usaha keripiknya, nanti kan ya pasti ada rezekinya. Allah kan sudah member jalannya tinggal sungguh-sungguh dalam menjalaninya mbak, tidak perlu menjamah bidang-bidang lainnya, sudah ada jalurnya, yang penting lurus, fokus.” – Ibu MLH

Beberapa rumahtangga pemilik usaha keripik yang tidak memperoleh manfaat dalam segi menggunakan pendapatan dari usaha keripik untuk diversifikasi nafkah/ memperoleh tambahan sumber pendapatan baru memiliki beragam alasan, misalnya karena takut mengambil resiko dan takut gagal, pendapatan dari usaha keripik tidak cukup besar, tidak memiliki waktu dan tenaga untuk melakukan hal tersebut, tidak memiliki keterampilan lain, ingin berfokus mengembangkan usaha keripik, dan karena tidak mampu bekerja dalam tekanan atau tidak mau repot, misalnya pada rumahtangga Ibu AFY.

“ Saya kan orange nggak mau ngoyo mbak, sing penting saya nyaman, ngene wae wis repot mbak. Rejeki ya nggak kemana”- Ibu AFY

“Saya kan orangnya nggak mau tertekan dan memaksakan diri mbak, yang penting saya nyaman, begini saja sudah repot mbak. Rejeki ya nggak ke mana”- Ibu AFY

Ketersediaan Akses Terhadap Infrastruktur

Tingkat ketersediaan akses terhadap infrastruktur dilihat dari sejauh mana tersedia akses terhadap permodalan, pelatihan keterampilan, sarana produksi, jaringan pemasaran dan dukungan pemerintah untuk mendukung perkembangan industri pedesaan. Rumahtangga pemilik usaha keripik diberikan sepuluh pertanyaan dengan pilihan jawaban

(5)

“Ya” atau “Tidak” yang menunjukkan tersedia atau tidaknya akses terhadap permodalan, pelatihan keterampilan, sarana produksi, jaringan pemasaran dan dukungan pemerintah untuk mendukung perkembangan industri pedesaan yang dijalankan rumahtangga pemilik usaha keripik. Data yang diperoleh dari jawaban pertanyaan kuesioner tersebut digolongkan secara bertingkat dengan skala ordinal. Jumlah dan presentase rumahtangga pemilik usaha keripik berdasarkan tingkat ketersediaan akses terhadap infrastruktur dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11 memperlihatkan sebaran rumahtangga pemilik usaha keripik berdasarkan ketersediaan akses terhadap infrastruktur. Sebanyak seratus persen rumahtangga pemilik usaha keripik menyatakan bahwa tingkat ketersediaan akses terhadap infrastruktur tinggi. Adapun presentase sebaran rumahtangga pemilik usaha keripik berdasarkan tingkat ketersediaan akses terhadap infrastruktur dapat dilihat pada Gambar 6.

Berikut beberapa pernyataan pemilik usaha keripik mengenai tingkat ketersediaan akses terhadap infrastuktur.

Tabel 11 Jumlah dan persentase rumahtangga pemilik usaha keripik berdasarkan tingkat ketersediaan akses terhadap infrastruktur di RW 07 Dusun Karangbolo Tahun 2012

No Tingkat Ketersediaan Akses Terhadap Infrastruktur %

1. Tinggi 30 100.0

2. Sedang 0 0.0

3. Rendah 0 0.0

Total 30 100.0

Gambar 6 Persentase rumahtangga pemilik usaha keripik berdasarkan tingkat ketersediaan akses terhadap infrastruktur di RW 07 Dusun Karangbolo Tahun 2012

(6)

“Kalo dari dinas pernah dapet kompor mbak, dibantu juga ijin industrinya, dapat penyuluhan juga dari dinas mbak. Saya juga sering beli bahan baku dari pra koperasi mbak di kelompok. Dari dinas kan juga ada bantuan modal mbak buat simpan pinjam kelompok, dulu saya pernah pinjam juga di kelompok- Ibu SMH

“Dapet kompor sama tabung gas mbak, tak pakek mbak, mergo aku rak seneng nggo kayu mbak, ngundang tikus”- Ibu AFY

“Dapat kompor sama tabung gas mbak, saya pakai mbak, soalnya saya nggak suka pakai kayu mbak, mengundang tikus.”- Ibu AFY

Meskipun tingkat ketersediaan akses terhadap infrastruktur tergolong tinggi pada seratus persen rumahtangga pemilik usaha keripik tetapi masih terdapat beberapa kendala dalam ketersediaan akses terhadap infrastruktur untuk pengembangan industri pedesaan di RW 07 Dusun Karangbolo, sebagaimana pernyataan rumahtangga pemilik usaha keripik berikut mengenai bantuan permodalan.

“Sekarang lagi macet mbak pra koperasi sama simpan pinjamnya mbak.“- Ibu SMH “Saing-saingan harga owk mbak, padahal yo jane wis disepakati mbak ning kelompok. Opomeneh nek misale ada yang wisata tho mbak, biasane cuma mampir ning panggone sing cedhak dalan thok mbak. Padahal kan nek mlebu-mlebu gang kene kan yo akeh mbak sing nggawe kripik. Misale nek dari dinas bantu bikin pusat oleh-oleh kan enak mbak, iso luwih adil, dadi sainganne saingan rasa thok, nek ngono kan sing tuku iso milih sing endi sing paling enak tho mbak.”- SFY

Saling bersaing harga mbak, padahal ya sebenarnya sudah disekapati mbak di kelompok. Selain itu, biasanya kalau ada yang wisata, biasanya hanya mampir ke usaha keripik yang rumahnya di dekat jalan saja. Padahal kan jika masuk ke gang-gang di sini kan ya banyak mbak yang memproduksi keripik. Misalnya dinas bantu membuat pusat oleh-oleh kan enak mbak, bisa lebih adil, jadi bersaingnya hanya saingan rasa saja, jika demikian kan pembeli bisa memilih produk keripik mana yang paling enak mbak.”- SFY

Lebih lanjut, kendala yang ada dalam akses infrastruktur berupa pelatihan menurut salah satu pemilik usaha keripik adalah sebagai berikut.

“Pelatihan yo saya pernah dapet mbak, nanging ya nggak tak terapke mbak, angel soale ngitung-ngitung pake pembukuan gitu, sing penting ada nggo kulakan sesuk, rak tak itungi. Kudune yo diitung ya mbak, ben ngerti gimana biar usahane berkembang, tapi ya pie ya mbak, males mbak, mumet.”- Ibu MQN

“Pelatihan ya saya pernah dapat mbak, tapi ya nggak saya terapkan mbak, karena susah menghitung pemasukan pengeluaran menggunakan pembukuan, kalau saya yang penting ada uang saja untuk belanja bahan baku lagi besoknya, tidak saya hitung. Seharusnya ya dihitung ya mbak supaya tahu bagaimana agar usahanya dapat berkembang, tapi bagaimana lagi, males mbak, pusing.- Ibu MQN

“Pelatihan pernah dapet mbak. Tapi nek pelatihan yang terus-terusan itu cuma buat yang usahane wis mayan gedhe mbak. Terus yo ada pelatihan di provinsi mbak, nyampur sama pengusaha industri kecil lainnya mbak, ndak cuma keripik thok.

(7)

Jadine yo rumangsaku pelatihanne umum thok, nggak kefokus ning keripik thok ngono lho mbak. Kan luwih enak nek misale fokus, nggo sing usaha keripik thok.”-AFY

Pelatihan pernah dapat mbak. Tapi kalau pelatihan yang terus menerus itu hanya untuk yang usahanya sudah lumayan besar mbak. Selain itu, juga ada pelatihan di provinsi mbah, bercampur dengan pengusaha industri kecil lainnya mbak, tidak hanya yang memproduksi keripik saja. Jadinya ya menurut saya pelatihannya sifatnya hanya secara umum saja mbak, tidak terfokus pada usaha keripik saja, begitu lho mbak. Kan lebih enak jika misalnya dapat lebih fokus, khusus hanya untuk yang memproduksi keripik saja”- AFY

Selain itu, kendala lain yang ada terkait dengan akses terhadap infrastruktur berupa bantuan alat dan bantuan pemasaran menurut beberapa pemilik usaha keripik adalah sebagai berikut.

“ Ada mbak bantuan alat, dikasih kompor sama tabung gas, tapi jarang tak pakek mbak, soalnya lebih boros pake gas mbak daripada kayu bakar. Tapi nek gek musim hujan gini yo tak pakek kompor gasnya, kan susah mbak cari kayu. Biasane nek yang pake kompor gas itu yang usahane masih kecil mbak, kan nggak banyak nggorengine jadi nggak boros, tapi yo rak mesti ding mbak”- Ibu SMH

“Ada mbak bantuan alat, diberi kompor dan tabung gas, tetapi jarang saya pakai mbak, soalnya lebih boros pakai gas mbak daripada kayu bakar. Tapi kalau sedang musim hujan seperti ini ya saya pakai mbak kompor gasnya, kan susah cari kayu. Biasanya kalau yang pakai kompor gas itu yang usahanya masih kecil mbak, kan nggak banyak menggoreng keripiknya, jadi nggak boros, tapi ya belum tentu juga sih mbak.”- Ibu SMH

“Dari dinas yo ada pameran mbak. Tapi nek saya no males mbak kalo ditawari, malah remuk kabeh tumpine dimek-mek sing meh tuku ning pameran pas nakoni rego. Terus yo sayang waktune mbak, mending nggo nggorengi ning omah, ning omah wae laku okeh owk mbak, nek ditinggal melu pameran sayang.”- Ibu UAS “Dari dinas ya ada pameran mbak. Tapi kalau saya malas ikut mbak kalau misalnya ditawarkan untuk ikut, karena malah hancur semua keripik saya ketika dipegang-pegang calon pembeli yang menanyakan harga. Sayang waktunya mbak, lebih baik untuk menggoreng keripik di rumah, di rumah saja laku banyak mbak, kalau ditinggal ikut pameran sayang.”- Ibu UAS

Berdasarkan uraian tersebut, langkah-langkah yang sebaiknya dilakukan oleh pemerintah dalam mendukung implementasi industrialisasi pedesaan di RW 07 Dusun Karangbolo, khususnya dalam hal ketersediaan akses terhadap infrastruktur, antara lain: (1) menyediakan dan mengembangkan infrastruktur pemasaran berupa sentra penjualan oleh-oleh Kabupaten Semarang yang menampung produk keripik dari seluruh rumahtangga pemilik usaha keripik pada Kelompok Mekarjati RW 07 Dusun Karangbolo dan menjualnya dengan kesepakatan harga dasar bersama pada kelompok. Hal tersebut dapat membantu mengurangi kendala pemasaran keripik secara merata dan adil pada rumahtangga pemilik usaha keripik yang tergabung pada Kelompok Mekarjati, RW 07 Dusun Karangbolo; (2) memberikan bantuan alat yang lebih sesuai dengan kebutuhan alat produksi pada rumahtangga pemilik usaha keripik. Hal tersebut dapat dilakukan dengan

(8)

mensurvei kebutuhan alat produksi dari masing-masing rumahtangga pemilik usaha keripik secara partisipatif; (3)memberikan pelatihan yang lebih sesuai dengan kebutuhan keterampilan rumahtangga pemilik usaha keripik secara merata dan kontinyu pada seluruh rumahtangga pemilik usaha keripik yang tergabung dalam Kelompok Mekarjati RW 07 Dusun Karangbolo. Hal tersebut dapat dilakukan dengan mensurvei kebutuhan keterampilan pada masing-masing rumahtangga pemilik usaha keripik atau dapat melalui focus group discussionuntuk analisis masalah yang diselenggarakan secara partisipatif bersama-sama dengan pemilik usaha keripik di RW 07 Dusun Karangbolo. Selain itu, peserta pelatihan hendaknya terfokus pada seluruh anggota kelompok Mekarjati saja dan pelatihan dilakukan secara kontinyu (berkelanjutan dan melakukan monitoring pelaksanaan hasil pelatihan secara berkala); (4) memberikan bantuan fasilitasi kemasan yang memungkinkan produk keripik tidak mudah hancur ketika dipasarkan; dan (5) memonitoring penggunaan bantuan dana untuk simpan pinjam kelompok.

Lebih lanjut, langkah-langkah yang sebaiknya dilakukan oleh rumahtangga pemilik usaha keripik untuk mengatasi kendala tersebut antara lain: (1)menyepakati, menaati, menegakkan sanksi, dan memonitoring pelaksanaan kesepakatan harga antara sesama anggota kelompok pemilik usaha keripik di RW 07 Dusun Karangbolo; (2)memonitoring penggunaan dana simpan pinjam kelompok, menaati aturan simpan pinjam, dan menegakkan sanksi demi lancarnya aliran dana simpan pinjam kelompok, dan (3)bekerja sama dalam kelompok untuk memasarkan produk keripik, misalnya dengan mengajukan proposal bantuan pendirian pusat oleh-oleh.

Penggunaan Sumberdaya Lokal

Tingkat penggunaan sumberdaya lokal dilihat dari sejauh mana industri pedesaan menggunakan tenaga kerja, bahan baku dan peralatan produksi yang tersedia di lokasi setempat atau di lokasi yang tidak jauh dari lokasi setempat; menggunakan peralatan produksi yang sesuai dengan pengetahuan, keterampilan, kemampuan dan kondisi masyarakat setempat. Rumahtangga pemilik usaha keripik diberikan lima pertanyaan dengan pilihan jawaban “Ya” atau “Tidak” yang menunjukkan penggunaan tenaga kerja, bahan baku dan peralatan produksi yang tersedia di lokasi setempat atau di lokasi yang tidak jauh dari lokasi setempat; menggunakan peralatan produksi yang sesuai dengan pengetahuan, keterampilan, kemampuan dan kondisi masyarakat setempat dalam industri keripik responden. Data yang diperoleh dari jawaban pertanyaan kuesioner tersebut digolongkan secara bertingkat dengan skala ordinal. Jumlah dan presentase rumahtangga pemilik usaha keripik berdasarkan tingkat penggunaan sumberdaya lokal dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12. memperlihatkan sebaran rumahtangga pemilik usaha keripik berdasarkan tingkat penggunaan sumberdaya lokal. Sebanyak 56.3 persen rumahtangga pemilik usaha keripik menyatakan bahwa tingkat penggunaan sumberdaya lokal sedang. Lebih lanjut, 43.7 persen rumahtangga pemilik usaha keripik menyatakan bahwa tingkat penggunaan sumberdaya lokal tinggi. Dengan demikian, secara umum tingkat penggunaan sumberdaya lokal pada rumahtangga pemilik usaha keripik di RW 07 Dusun Karangbolo relatif sedang. Adapun presentase rumahtangga pemilik usaha keripik berdasarkan tingkat penggunaan sumberdaya lokal dapat dilihat pada Gambar 7.

(9)

Tingkat penggunaan sumberdaya lokal yang tergolong sedang pada mayoritas rumahtangga pemilik usaha keripik disebabkan oleh beberapa hal, salah satunya adalah industri keripik yang dijalankan masih belum menyerap tenaga kerja baik perempuan maupun laki-laki dari lokasi setempat. Masih banyak rumahtangga pemilik usaha keripik yang hanya sebatas menggunakan tenaga kerja dari keluarga kecilnya (suami, istri, dan anak) misalnya rumahtangga Ibu YLT, beliau tidak menggunakan tenaga kerja di luar rumahtangga beliau dengan alasan skala usaha keripik yang dijalankan belum cukup besar.

“Alah mbak, wong pesenanne yo rung akeh koyo tanggane owk mbak, ditandangi dewe yo sih kuat. Wong cuma nggo hiburan thok mbak.”- Ibu YLT

“ Pesanannya juga belum banyak seperti tetangga yang lain mbak, dikerjakan sendiri juga masih kuat. Kan hanya untuk hiburan mbak”- Ibu YLT

Rumahtangga Ibu NFY juga memiliki alasan yang hampir serupa dengan rumahtangga Ibu YLT. Rumatangga beliau tidak menggunakan tenaga kerja di luar

Tabel 12 Jumlah dan persentase rumahtangga pemilik usaha keripik berdasarkan tingkat penggunaan sumberdaya lokal di RW 07 Dusun Karangbolo Tahun 2012

No Tingkat Penggunaan Sumberdaya Lokal %

1. Tinggi 14 43.7

2. Sedang 16 56.3

3. Rendah 0 0.0

Total 30 100.0

Gambar 7 Persentase rumahtangga pemilik usaha keripik berdasarkan tingkat penggunaan sumberdaya lokal di RW 07 Dusun Karangbolo Tahun 2012

(10)

rumahtangga beliau dengan skala usaha keripik yang dijalankan belum cukup besar. Selain itu beliau beralasan bahwa pendapatan dari industri keripik yang dijalankan belum cukup banyak dan masih digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari sehingga beliau tidak memiliki kemampuan untuk membayar upah buruh.

“ Saya kan hasilnya belum banyak tho mbak koyo tanggane sing liyo, meh nge’i wong pie, lha wong sing nggo awake dhewe wae pas-pasan” - Ibu NFY

“Saya kan hasilnya belum banyak mbak seperti tetangga yang lainnya, gimana mau memberi upah orang lain, untuk diri sendiri saja pas-pasan”- Ibu NFY

Terdapat juga rumahtangga pemilik usaha keripik yang tidak mau menggunakan buruh karena rumahtangganya terdiri dari banyak orang sehingga sayang apabila SDM di dalam rumahtangga tidak diberdayakan terlebih dahulu untuk membantu usaha keripik, misalnya rumahtangga Ibu UAS.

“ Ndak mbak, ngko ndak wong ning omah malah kesed, rak gelem ngewangi. Lha wong sak omah wae wong akeh owk, mosok nambah buruh seko njobo, kan mending diewangi keluarga dhewe tho mbak, selain kuwi yo lumayan rak sah ngetokke duit nggo mbayar wong.”- Ibu UAS

“Nggak mbak, nanti malah orang yang di rumah jadi malas, nggak mau bantu-bantu. Kan satu rumah aja banyak mbak orangnya, masa harus tambah buruh dari luar, kan lebih baik dibantu sama keluarga sendiri mbak. Lagipula kan lumayan, tidak perlu keluar uang untuk bayar orang.”- Ibu UAS

Selain itu, ada juga rumahtangga pemilik usaha keripik yang tidak mau menggunakan buruh dengan alasan untuk menjaga kualitas keripik produksinya, contohnya rumahtangga Ibu SMH.

“ Aku rak gelem owk mbak, nggo rewang. Ngko rasane bedho malah langgananne protes. Mbiyen wis tau mbak njajal nggo buruh , mbuh kuwi kok langgananne ngomong rasane bedho. Nek masak ngene kan tangan-an tho mbak, resepe podo nanging nek cekelanne bedo yo iso beda rosone, iso bedo wernone nggorenge, iso bedho ukuranne. Njur aku ngene wae lah mbak, dhewe wae, ben rak diprotes langgananne mergo bedo tumpine.”- Ibu SMH

“ Saya nggak mau mbak pake buruh. Nanti rasanya beda malah pelanggan saya protes. Dulu saya pernah mbak coba pakai buruh, tapi nggak tau kok pelanggannya malah protes karena rasanya berbeda. Kalau urusan masak kan tergantung tangan yang memasak mbak, resepnya sama tapi kalau yang memasak beda kan ya bisa beda rasanya, bisa beda warna hasil gorengan keripiknya, bisa beda ukuran keripiknya. Terus saya kaya gini aja lah mbak, supaya nggak diprotes pelanggan gara-gara tumpinya beda rasanya.”- Ibu SMH

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, implementasi industrialisasi pedesaan di RW 07 Dusun Karangbolo telah menggunakan sumberdaya lokal berupa sumberdaya manusia lokal walaupun tidak semua rumahtangga pemilik usaha keripik menggunakan tenaga kerja di luar anggota rumahtangga mereka. Lebih lanjut, bahan baku keripik yang digunakan juga tersedia secara lokal, yaitu dijual di lokasi setempat, misalnya pasar Ungaran, difasilitasi kelompok Mekarjati, maupun dijual oleh rumahtangga di RW 07 Dusun Karangbolo.

(11)

Bahan baku, misalnya tempe, bahkan juga diproduksi oleh beberapa rumahtangga di RW 07 Dusun Karangbolo. Namun, sumberdaya alam yang digunakan untuk bahan baku keripik tersebut tidak selalu merupakan produk pertanian lokal, khususnya produk pertanian Dusun Karangbolo atau Desa Lerep. Pasar maupun penjual bahan baku yang menjual bahan baku keripik tersebut dapat saja memasoknya dari lokasi lain. Hal tersebut misalnya dikatakan oleh Ibu MQR.

“ Nek tempe di sini ada beberapa sing bikin mbak. Nek liyane yo ono sing tuku ning tanggane, kulak ning saya, ono sing tuku ning pasar, pasar Ungaran kene lho mbak. Yo mbuh mbak, nek neng pasar rak reti kuwi kacange seko endi, yo kan iso wae ndak dari ungaran thok tho mbak, wong jenenge bakul kulak seko endi wae yo iso.”-Ibu MQR

“Kalau tempe di sini ada beberapa yang produksi mbak. Kalau bahan baku lainnya ada yang beli di tetangga, beli di saya, ada yang beli di pasar, pasar Ungaran sini itu lho mbak. Ya tidak tahu mbak, kalau di pasar kan tidak tahu itu kacangnya dari mana, ya kan bisa saja tidak dari Ungaran saja kan mbak, namanya juga penjual bisa memasok dari mana saja kan.”- Ibu MQR

Oleh karena itu, langkah-langkah yang sebaiknya dilakukan pemerintah untuk mendukung implementasi industrialisasi pedesaan pada poin penggunaan sumberdaya lokal adalah mengembangkan pertanian lokal di Dusun Karangbolo maupun Desa Lerep khususnya pertanian komoditas bahan baku keripik, misalnya kedelai dan kacang-kacangan. Hal tersebut juga sebaiknya didukung oleh masyarakat Dusun Karangbolo maupun Desa Lerep, termasuk rumahtangga pemilik usaha keripik. Dengan demikian, implementasi industrialisasi pedesaan dapat didukung sumberdaya alam lokal sehingga pemilik usaha keripik tidak tergantung pada komoditas pertanian dari lokasi lain (maupun produk pertanian impor). Selain itu, melalui langkah tersebut, sektor pertanian on farm juga dapat berkembang sebagai salah satu basis nafkah yang dapat menampung sumberdaya manusia lokal sembari mengembangkan sektor industri keripik sebagai basis aktivitas nafkah pada sektor pertanian off farm. Dengan berkembangnya dua sektor yang menjadi basis aktivitas nafkah tersebut, diharapkan rumahtangga pedesaan di RW 07 Dusun Karangbolo secara umum juga mampu meningkatkan taraf hidupnya melalui strategi nafkah yang dilakukan. Selain itu penggunaan sumberdaya manusia lokal sebagai buruh/tenaga kerja tambahan juga perlu ditingkatkan oleh rumahtangga pemilik usaha pedesaan.

Manfaat Bagi Masyarakat Lokal

Tingkat manfaat bagi masyarakat lokal dilihat dari sejauh mana industrialisasi pedesaan menciptakan diversifikasi ekonomi masyarakat lokal, memberikan keamanan finansial bagi masyarakat lokal, meningkatkan jejaring, meningkatkan keterampilan masyarakat lokal, memenuhi kebutuhan masyarakat lokal. Rumahtangga pemilik usaha keripik diberikan lima pertanyaan dengan pilihan jawaban “Ya” atau “Tidak” yang menunjukkan manfaat bagi rumahtangga pemilik usaha keripik dengan berkembangnya industri pedesaan dari segi keamanan finansial/kemampuan memenuhi kebutuhan, tambahan jejaring, peningkatan keterampilan, dan penggunaan pendapatan dari usaha keripik untuk memperoleh sumber pendapatan tambahan. Data yang diperoleh dari jawaban pertanyaan kuesioner tersebut digolongkan secara bertingkat dengan skala ordinal.

(12)

Jumlah dan presentase rumahtangga pemilik usaha keripik berdasarkan tingkat manfaat bagi masyarakat lokal dapat dilihat pada Tabel 13.

Tabel 13. menunjukkan bahwa tingkat manfaat bagi masyarakat lokal pada rumahtangga pemilik usaha keripik 83.3 persennya tergolong tinggi dan 16.7 persen sisanya tergolong sedang. Dengan demikian, secara umum tingkat manfaat bagi masyarakat lokal yang terdapat pada implementasi industrialisasi pedesaan oleh rumahtangga pemilik usaha keripik tergolong relatif tinggi. Berikut beberapa pernyataan pemilik usaha keripik mengenai hal tersebut.

“Kacek mbak dapetnya, nek dulu meh nggo mbayar sekolah anake ndadak ngutang nek orak ngedol emas, nek saiki yo ono.” - Ibu MTF

“ Perbedaannya jauh mbak, kalau dulu untuk bayar sekolah anak harus berhutang atau jual emas, kalau sekarang sudah ada simpanan untuk itu.”- Ibu MTF

Tabel 13 Jumlah dan persentase rumahtangga pemilik usaha keripik berdasarkan tingkat manfaat bagi masyarakat lokal di RW 07 Dusun Karangbolo Tahun 2012

No Tingkat Manfaat bagi Masyarakat Lokal %

1. Tinggi 25 83.3

2. Sedang 5 16.7

3. Rendah 0 0.0

Total 30 100.0

Gambar 8 Persentase rumahtangga pemilik usaha keripik berdasarkan tingkat manfaat bagi masyarakat lokal di RW 07 Dusun Karangbolo Tahun 2012

(13)

“Mbiyen yo rak iso mbak nggawe keripik, terus ndelok tanggane sing dodol kripik gek nggawe, aku njajal-njajal yo iso.”- Ibu RWY

“Dulu ya saya nggak bisa mbak buat keripik, terus saya lihat tetangga saya yang punya usaha keripik sedang membuat keripik, terus saya cobacoba jadi bisa.” -Ibu RWY

“Lumayan mbak iso dadi omah loro mbak, tak kontrakke nggo tambah-tambah”- Ibu MQR

“Lumayan mbak bisa jadi 2 rumah, saya kontrakkan untuk menambah pendapatan”- Ibu MQR

Namun, terdapat 16.7 persen rumahtangga pemilik usaha keripik dengan tingkat manfaat bagi masyarakat lokal pada implementasi industri pedesaan yang tergolong sedang. Salah satu rumahtangga pemilik usaha keripik yang belum merasakan manfaat pengembangan industri pedesaan dalam hal meningkatkan jejaring adalah rumahtangga Ibu SRH. Beliau menyatakan bahwa beliau tidak merasa jejaringnya bertambah karena beliau memasarkan keripik dengan menyetor ke adiknya, berikut pernyataan beliau.

“Biasa aja ik mbak, kan saya ndak njual sendiri, saya nyetore ke adik saya, nanti dia yang nyari langganan.”- Ibu SRH

“Biasa saja mbak, kan saya tidak menjual sendiri, saya menyetorkan hasil keripik saya ke adik saya, nanti dia yang mencarikan pelanggan”- Ibu SRH

Hal yang serupa juga dialami oleh beberapa responden lainnya, misalnya Ibu RWY.

“ Alah wong aku ngedol ki lewat tonggoku owk mbak. Tak setorke ke mbak SFH kui lho mbak, aku gawene mung nggawe thok. Lha nek mbak SFH kae akeh mbak langgananne.”- Ibu RWY

“ Aku rak nggolek langganan mbak, yo langgananne kui kancaku sing emang jatahe ngedolke mbak. Aku kan kerjasama karo kancaku kui mbak, mbien kanca pabrikku, njur deknen sing ngedolke keripikku.”- Ibu RWY

Terdapat pula rumahtangga pemilik usaha keripik yang belum merasakan manfaat dari pengembangan industri keripik dari segi menggunakan pendapatan dari usaha keripik untuk diversifikasi nafkah/memperoleh tambahan sumber pendapatan baru, misalnya Ibu MRY dan MLH.

“ Alah mbak, ngene wae wis mumet owk mbak. Nek aku ndue usaha liane ngko ndak mumet. Wis duite yo diputer wae nggo tuku modal neh mbak karo disimpen sithik-sithik. Jujur wae saya ndak berani mbak buat bikin usaha lain, yo nek payu, nek orak.”- Ibu MRY

“ Ndak mbak, kancaku mbien pernah njajal-njajal usaha liyane mbak, njur malah usahane do keteter kabeh kae ik mbak, ra kecekel. Dari situ saya belajar mbak, mbek Gusti Allah mungkin emang rak entuk maruk, wis mending disyukuri wae rejekine, sing penting ditenani wae kripike ngko kan mesti ono rejekine. Gusti

(14)

Allah kan wis ngei dalane, garek ditenani, raksah njipuk rono-rene, wis ono jalure, sing penting lurus, fokus.”- Ibu MLH

Rumahtangga Ibu MRY dan Ibu MLH tidak memperoleh manfaat dalam segi menggunakan pendapatan dari usaha keripik untuk diversifikasi nafkah/memperoleh tambahan sumber pendapatan baru karena takut mengambil resiko dan takut gagal. Di sisi lain terdapat juga rumahtangga pemilik usaha keripik yang tidak memperoleh manfaat dalam segi menggunakan pendapatan dari usaha keripik untuk diversifikasi nafkah/ memperoleh tambahan sumber pendapatan baru karena pendapatan dari usaha keripik belum cukup banyak, misalnya rumahtangga Ibu NFY. Selain itu ada juga rumahtangga pemilik usaha keripik yang tidak memperoleh manfaat dalam segi menggunakan pendapatan dari usaha keripik untuk diversifikasi nafkah/memperoleh tambahan sumber pendapatan baru karena tidak memiliki waktu dan tenaga untuk melakukan hal tersebut, misalnya Ibu ULT.

“ Alah mbak, mung hasile seko keripik ngge mangan, sekolah anak-anake, nggo nyumbang mbak. Ora mbak, nek nggo liyane mbak, wis iki wae, mung nggawe kripik thok duene.” - Ibu NFY

“ Alah mbak, kan hasil dari keripiknya untuk makan, biaya sekolah anak dan untuk kegiatan sosial. Tidak mbak, tidak untuk kegiatan lainnya, yasudah hanya ini saja, punyanya hanya usaha keripik saja.”-Ibu NFY

“ Ndak ada waktune mbak, ngene wae pesenanne wis akeh mbak, wis kesel awake”- Ibu ULT

“Tidak ada waktunya mbak, begini saja pesanannya sudah banyak mbak, sudah capek badannya”- Ibu ULT

Selain itu, terdapat pula rumahtangga pemilik usaha keripik yang memang tidak mau menggunakan sumber pendapatan dari keripik untuk memperoleh tambahan sumber pendapatan karena sifatnya yang tidak mampu bekerja dalam tekanan atau tidak mau repot, misalnya rumahtangga Ibu AFY.

“ Saya kan orange nggak mau ngoyo mbak, sing penting saya nyaman, ngene wae wis repot mbak. Rejeki ya nggak kemana” - Ibu AFY

Berdasarkan uraian tersebut, langkah-langkah yang sebaiknya ditempuh oleh rumahtangga pemilik usaha keripik adalah berani mencoba mengembangkan usaha keripiknya menjadi berskala lebih besar dan tidak takut menggunakan keuntungan dari industri keripik yang dijalankan untuk diversifikasi nafkah rumahtangga dalam rangka memperoleh tambahan sumber pendapatan rumahtangga. Selain itu, rumahtangga pemilik usaha keripik juga sebaiknya mengembangkan jejaring melalui lebih aktif mencari pelanggan dan bekerja sama dengan pelanggan tersebut.

Ikhtisar

Tingkat implementasi industrialisasi pedesaan dinyatakan tinggi pada 43.3 persen rumahtangga pemilik usaha keripik dan dinyatakan sedang pada 56.7 persen rumahtangga

(15)

pemilik usaha keripik. Dengan demikian, secara umum tingkat implementasi industrialisasi pedesaan pada rumahtangga pemilik usaha keripik di RW 07 Karangbolo tergolong sedang. Tingkat implementasi industrialisasi pedesaan yang tergolong sedang pada 43.3 persen rumahtangga pemilik usaha keripik juga disebabkan tingkat manfaat bagi masyarakat lokal yang tergolong sedang pada sebagian rumahtangga pemilik usaha keripik. Hal tersebut disebabkan sebagian rumahtangga pemilik usaha keripik belum merasakan manfaat dalam hal meningkatkan jejaring dan menggunakan pendapatan dari usaha keripik untuk aktivitas nafkah lainnya.

Jika diperinci per variabel tingkat implementasi industrialisasi pedesaan, hasil penelitian menunjukkan sebanyak 100 persen responden menyatakan bahwa tingkat ketersediaan akses terhadap infrastruktur tinggi. Berdasarkan tingkat penggunaan sumberdaya lokal, sebanyak 56.3 persen rumahtangga pemilik usaha keripik menyatakan bahwa tingkat penggunaan sumberdaya lokal sedang dan 43.7 persen rumahtangga pemilik usaha keripik menyatakan bahwa tingkat penggunaan sumberdaya lokal tinggi. Dengan demikian, secara umum tingkat penggunaan sumberdaya lokal pada rumahtangga pemilik usaha keripik di RW 07 Dusun Karangbolo relatif sedang. Terakhir, hasil penelitian menunjukkan pada variabel tingkat manfaat bagi masyarakat lokal, 83.3 persen rumahtangga pemilik usaha keripik tergolong tinggi dan 16.7 persen sisanya tergolong sedang. Dengan demikian, secara umum tingkat manfaat bagi masyarakat lokal yang terdapat pada implementasi industrialisasi pedesaan oleh rumahtangga pemilik usaha keripik tergolong relatif tinggi.

Terkait dengan hasil penelitian dan kendala yang ditemukan pada ketiga poin penting industrialisasi pedesaan, langkah-langkah yang sebaiknya dilakukan oleh pemerintah dalam mendukung implementasi industrialisasi pedesaan di RW 07 Dusun Karangbolo, antara lain: (1)menyediakan dan mengembangkan infrastruktur pemasaran berupa sentra penjualan oleh-oleh Kabupaten Semarang yang menampung produk keripik dari seluruh rumahtangga pemilik usaha keripik pada Kelompok Mekarjati RW 07 Dusun Karangbolo dan menjualnya dengan kesepakatan harga dasar bersama pada kelompok; (2) memberikan bantuan alat yang lebih sesuai dengan kebutuhan alat produksi pada rumahtangga pemilik usaha keripik; (3)memberikan pelatihan yang lebih sesuai dengan kebutuhan keterampilan rumahtangga pemilik usaha keripik secara merata dan kontinyu pada seluruh rumahtangga pemilik usaha keripik yang tergabung dalam Kelompok Mekarjati RW 07 Dusun Karangbolo; (4)memberikan bantuan fasilitasi kemasan yang memungkinkan produk keripik tidak mudah hancur ketika dipasarkan; (5)memonitoring penggunaan bantuan dana untuk simpan pinjam kelompok; dan (6) mengembangkan pertanian lokal di Dusun Karangbolo maupun Desa Lerep khususnya pertanian komoditas bahan baku keripik, misalnya kedelai dan kacang-kacangan secara sinergis dengan masyarakat lokal di RW 07 Dusun Karangbolo

Lebih lanjut, langkah-langkah yang sebaiknya dilakukan oleh rumahtangga pemilik usaha keripik dalam mendukung implementasi industrialisasi pedesaan di RW 07 Dusun Karangbolo, antara lain: (1)menyepakati, menaati, menegakkan sanksi, dan memonitoring pelaksanaan kesepakatan harga antara sesama anggota kelompok pemilik usaha keripik di RW 07 Dusun Karangbolo; (2)memonitoring penggunaan dana simpan pinjam kelompok, menaati aturan simpan pinjam, dan menegakkan sanksi demi lancarnya aliran dana simpan pinjam kelompok, (3)bekerja sama dalam kelompok untuk memasarkan produk keripik, misalnya dengan mengajukan proposal bantuan pendirian pusat oleh-oleh, (4)berani mencoba mengembangkan usaha keripiknya menjadi berskala lebih besar, (5)tidak takut menggunakan keuntungan dari industri keripik yang dijalankan untuk diversifikasi nafkah rumahtangga dalam rangka memperoleh tambahan sumber pendapatan rumahtangga, dan

(16)

(6)mengembangkan jejaring melalui lebih aktif mencari pelanggan dan bekerja sama dengan pelanggan tersebut, dan (7)mendukung pengembangan pertanian lokal di Dusun Karangbolo maupun Desa Lerep khususnya pertanian komoditas bahan baku keripik, misalnya kedelai dan kacang-kacangan secara sinergis dengan masyarakat lokal di RW 07 Dusun Karangbolo

Selain itu, masyarakat lokal di RW 07 Dusun Karangbolo, maupun Desa Lerep sebaiknya ikut serta dan mendukung pengembangan pertanian lokal di Dusun Karangbolo maupun Desa Lerep khususnya pertanian komoditas bahan baku keripik, misalnya kedelai dan kacang-kacangan secara sinergis dengan masyarakat lokal di RW 07 Dusun Karangbolo.

Gambar

Tabel  10.  menunjukkan  sebaran  rumahtangga  pemilik  usaha  keripik berdasarkan tingkat implementasi industrialisasi pedesaan
Tabel  11 memperlihatkan  sebaran  rumahtangga pemilik  usaha  keripik berdasarkan ketersediaan  akses  terhadap  infrastruktur
Tabel 12 Jumlah dan persentase rumahtangga pemilik usaha keripik berdasarkan tingkat penggunaan sumberdaya lokal di RW 07 Dusun Karangbolo Tahun 2012
Tabel  13.  menunjukkan  bahwa  tingkat  manfaat  bagi  masyarakat  lokal  pada rumahtangga pemilik usaha keripik 83.3 persennya tergolong tinggi dan 16.7 persen sisanya tergolong sedang

Referensi

Dokumen terkait

Pemeriksaan variasi periode kawin pertama postpartus dikumpulkan dari data reproduksi sapi FH dara dan induk di kedua lokasi yang dikumpulkan oleh stasiun bibit BPTU

Pada turbidimetri, detektor diletakkan segaris dengan sumber sinar (sudut 0 o ), sedangkan untuk nefelometri 90 o .Dapat pula digunakan alat yang lebih canggih, dengan detektor

Untuk mengetahui ada atau tidak pengaruh Metode Inkuiri Berbantuan Alat Peraga terhadap Hasil Belajar Matematika Materi Luas dan Keliling Lingkaran Kelas VIII MTs Darul

huni, sarana pembinaan keluarga, cerminan harkat dan martabat penghuninya, serta aset bagi pemiliknya. Perumahan adalah kumpulan rumah sebagai bagian dari permukiman,

Maksud dari pemboran inti dalam kepentingan penyelidikan geologi khususnya geologi teknik adalah untuk mengetahui kondisi bawah tanah,meliputi dari jenis batuan, sifat fisik,

Saluran Pemasaran ( Marketing Channel ) adalah sekelompok organisasi yang Saluran Pemasaran ( Marketing Channel ) adalah sekelompok organisasi yang saling bergantung dan terlibat

• Dan pada 1989, formasi International Council of Chemical Association (ICCA), badan dunia industri kimia yang mewakili produsen kimia dari seluruh dunia, tengah memimpin

Narasumber menjelaskan tanda–tanda sebelum terjadi bencana banjir yakni berupa awan gelap di bagian hulu sungai, hujan lebat selama beberapa hari, debit air sungai meningkat,