• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERAN LOCUS OF CONTROL DALAM HUBUNGAN JOB INSECURITY DENGAN KOMITMEN ORGANISASI DAN KEPUASAN KERJA Studi Kasus : Karyawan PLN Denpasar

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERAN LOCUS OF CONTROL DALAM HUBUNGAN JOB INSECURITY DENGAN KOMITMEN ORGANISASI DAN KEPUASAN KERJA Studi Kasus : Karyawan PLN Denpasar"

Copied!
133
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

PERAN LOCUS OF CONTROL DALAM HUBUNGAN

JOB INSECURITY DENGAN KOMITMEN ORGANISASI

DAN KEPUASAN KERJA

Studi Kasus : Karyawan PLN Denpasar

NI MADE NOVIARINI

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(2)

PERAN LOCUS OF CONTROL DALAM HUBUNGAN

JOB INSECURITY DENGAN KOMITMEN ORGANISASI

DAN KEPUASAN KERJA

Studi Kasus : Karyawan PLN Denpasar

Tesis untuk memperoleh Gelar Magister Manajemen Pada Program Magister, Program Studi Manajemen

Program Pascasarjana Universitas Udayana

NI MADE NOVIARINI NIM : 0790662006

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI MANAJEMEN

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2013

(3)

ABSTRAK

PERAN LOCUS OF CONTROL DALAM HUBUNGAN JOB INSECURITY DENGAN KOMITMEN ORGANISASI DAN KEPUASAN KERJA

Studi Kasus : Karyawan PLN Denpasar

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran locus of control dalam hubungan job insecurity dengan komitmen organisasi dan kepuasan kerja. Sampel dalam penelitian ini adalah 101 orang karyawan PLN terdiri dari karyawan tetap dan karyawan outsourcing dengan menggunakan spesifikasi metode non

probability sampling yaitu purposive sampling. Teknik analisi data yang

digunakan adalah analisis berdasarkan General Linier Model (GLM) dengan

Analisis Varian Univariat (ANAVA)

Hasil penelitian ini menunjukkan tidak ada pengaruh antara job insecurity terhadap komitmen organisasi dan kepuasan kerja karyawan. Namun bila memasukan peran locus of control dalam hubungan job insecurity dengan komitmen organisasi dan kepuasan karyawan maka kelompok karyawan dengan

locus of control eksternal dalam lingkungan job insecurity tinggi memiliki

komitmen dengan kepuasan kerja yang paling rendah dibandingkan pada karyawan yang memiliki locus of control internal

Implikasi terhadap temuan dalam penelitian ini adalah agar perusahaan terus mengadakan tindakan penanganan mengenai pentingnya job insecurity dalam pekerjaan bagi karyawan. Perlu lebih sering diadakan pelatihan untuk meningkatkan rasa percaya diri karyawan sehingga masing-masing karyawan yakin akan kemampuannya dalam bekerja. Melibatkan karyawan dalam membuat keputusan-keputusan akan membuat karyawan lebih merasa dirinya adalah bagian dari perusahaan. Selalu membuka kesempatan bagi karyawan untuk menunjukkan potensi yang dimiliki, menjaga hubungan yang baik dengan sesama karyawan dan atasan untuk menciptakan suasana organisasi pembelajaran yang baik.

Kata kunci : locus of control, job insecurity, komitmen organisasi, kepuasan kerja

(4)

ABSTRACT

THE ROLE OF THE LOCUS OF CONTROL IN THE CONNECTION OF THE JOB INSECURITY WITH THE ORGANIZATIONAL COMMITMENT

AND JOB SATISFACTION

A Case Study on : The Employees of PLN Denpasar

This study aims to determine the role of locus of control in relation to job insecurity and organizational commitment and job satisfaction. The samples in this study were 101 employees of PLN (State-owned Power Company) consists of permanent employees and outsourced employees using non-probability sampling method specifications, namely purposive sampling. Data analysis technique used is based on analysis of General Linear Model (GLM) with a Univariate Varian Analysis (ANAVA)

Results of this study indicate that there is no influence of job insecurity on organizational commitment and job satisfaction of employees. However, when entering the role of locus of control in relation job insecurity with organizational commitment and employee satisfaction then the group of employees with an external locus of control in an environment of high job insecurity has a commitment with the lowest job satisfaction, compared to employees who have an internal locus of control

Implications of the findings in this study are that the company continues to conduct response actions on the importance of job insecurity in employment of employees. It is necessary to carry out trainings more frequently to improve self-esteem of employees so that each employee is confident of his/her ability to work. Involving employees in making decisions will make employees feel as a part of the company. Always give an opportunity for employees to show their potential, maintaining good relationships with fellow employees and superiors, in order to create a good organizational atmosphere.

Keywords: locus of control, job insecurity, organizational commitment, job satisfaction

(5)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Perusahaan Listrik Negara (PLN) adalah sebuah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang mengurusi semua aspek kelistrikan yang ada di Indonesia. PLN memegang kuasa pemerintah sebagai penyedia dan penyaluran tenaga listrik secara kontinyu kepada masyarakat. Dalam perjalananya selaku perusahaan listrik terbesar di bisnis kelistrikan di Indonesia, PLN dihadapkan oleh tantangan besar yang harus dihadapi. Pertama, membaiknya perekonomian nasional yang memberikan dampak membaiknya pertumbuhan ketenagalistrikan di Indonesia. kedua, diberlakukannya UU. No 20 tahun 2002 yang merubah lingkungan bisnis menjadi sarat dengan kompetisi.

Membaiknya perekonomian nasional merupakan tantangan bagi PLN untuk terus memberikan pelayanan yang baik kepada pelanggannya. Sedangkan lingkungan bisnis yang sarat dengan kompetisi akan merupakan tantangan bagi PLN sebagai perusahaan monopoli untuk menjadi salah satu pemain dalam bisnis kelistrikan. Kedua tantangan tersebut harus dapat dijawab PLN agar visi perusahaan untuk menjadi perusahaan Layanan Kelas Dunia - WCS (World Class

Services) dapat terwujud .

Untuk membantu kelancaran penanganan pelanggan, PLN Distribusi Bali membentuk organisasi yang lebih fokus kepada pelaksanaan pekerjaan di lapangan untuk meningkatkan Citra Perusahaan yaitu, 7 unit Area Pelayanan (AP), 3 unit Area Jaringan (AJ), 1 unit Area Pengatur Distribusi (APD), dan 1 unit

(6)

Area Pelayanan Tegangan Menengah (APTM). PLN Area Pelayanan (AP) Denpasar adalah salah satu kantor cabang yang didirikan untuk melayani pelanggan di daerah bagian denpasar. Sebagai area pelayanan yang memiliki jumlah pelanggan terbanyak di Bali PLN (Persero) AP Denpasar harus memberikan kualitas pelayanan yang baik bagi masyarakat melalui kinerja karyawan yang baik. Data jumlah pelanggan didaerah Bali dapat dilihat pada table1.1

Tabel 1.1 Jumlah Pelanggan listrik prabayar PLN Bali Th.2009

Bulan

Unit

Denpasar Kuta Tabanan Gianyar Klungkung Negara Singaraja

Januari 257 127 46 158 248 103 202 Februari 266 53 39 111 44 60 77 Maret 323 125 50 8 20 5 10 April 60 27 12 2 2 - 1 Mei 702 211 238 142 196 91 41 Juni 992 229 147 149 296 101 158 Juli 608 114 196 67 69 60 128 Agustus 519 87 57 163 129 65 212 September 292 66 49 182 199 56 57 Oktober 711 294 167 139 231 169 113 November 825 125 232 143 160 132 292 Desember 408 193 299 157 472 99 256 JUMLAH 5.963 1.597 1.508 1.421 2.066 941 1.545

(7)

Gambar 1.1

Grafik delta pelanggan per area pelayanan Sumber Data Statistik PLN Distribusi Bali 2009

Dalam era globalisasi dan tuntutan persaingan dunia usaha yang ketat saat ini, maka perusahaan dituntut untuk berusaha meningkatkan kinerja usahanya melalui pengelolaan organisasi yang efektif dan efisien. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan mempekerjakan tenaga kerja seminimal mungkin untuk dapat memberi kontribusi maksimal sesuai sasaran perusahaan. Untuk itu perusahaan berupaya fokus menangani pekerjaan yang menjadi bisnis inti (core

business), sedangkan pekerjaan penunjang (front desk, admin, survey, satpam,

pencatat rekening, cleaning servise, tukang kebun) diserahkan kepada pihak lain. Proses kegiatan ini dikenal dengan istilah “outsourcing”.

Dewasa ini banyak perusahaan yang memutuskan untuk melakukan

outsourcing, karena dengan melakukan outsourcing, perusahaan akan mampu

mengembangkan suatu strategi persaingan yang kompetitif. Berdasarkan survey

KUTA 1.597 10.61 % NEGARA 941 6.85 % KLUNGKUNG 2.066 13.72 % TABANAN 1.508 10% GIANYAR 1.421 9.44% DENPASAR 5.963 39.61% SINGARAJA 1.545 10.28 %

(8)

internasional (divisi PPM Manajemen, 2008) keuntungan outsourcing yang berada 3 urutan atas adalah :

1) Sebanyak 75 persen pelanggan mengatakan bahwa mereka dapat mencapai tujuan outsourcing mereka yaitu : fokus pada core business mereka. (35 persen telah mampu fokus pada core business mereka sebagai tujuan utama).

2) Sebanyak 75 persen dari pelanggan mengatakan bahwa mereka dapat mencapai tujuan outsourcing mereka yaitu : mengurangi pengeluaran (67 persen telah mampu mengurangi pengeluaran mereka sebagai tujuan utama).

3) Sebanyak 65 persen dari pelanggan mengatakan bahwa mereka dapat mencapai tujuan outsourcing mereka yaitu : meningkatkan proses (48 persen telah mampu meningkatkan proses sebagai tujuan utama).

Saat ini, banyak industri jasa yang menetapkan kebijakan perekrutan karyawan secara kontrak. Berdasarkan hasil survei diketahui bahwa 73 persen perusahaan menggunakan tenaga outsourcing dalam kegiatan operasionalnya, sedangkan sisanya yaitu 27 persen tidak menggunakan tenaga outsourcing. (divisi PPM Manajemen, 2008) Sebagian besar alasan diberlakukan kebijakan tersebut adalah pemangkasan biaya karyawan dimana karyawan kontrak mendapatkan imbalan yang lebih sedikit jika dibandingkan dengan karyawan tetap (Gambar1.2)

(9)

Gambar 1.2

Perusahaan yang menggunakan tenaga outsourcing Sumber Divisi PPM Manajemen Th. 2009

Jika dilihat dari status kepemilikan, diketahui bahwa BUMN, Joint Venture dan Nirlaba menggunakan 100 persen tenaga outsource dalam kegiatan operasionalnya. Sedangkan untuk swasta nasional menggunakan tenaga outsource sebanyak 57.69 persen dan swasta asing menggunakan sebanyak 85.71 persen seperti pada gambar 1.3

57,69% 85,71% 100% 100% 100,00% 42,31% 14,29% Swasta Nasional Swasta Asing BUMN Joint Venture Nirlaba TIDAK YA Gambar 1.3

Perusahaan Yang Menggunakan Outsource

Sumber Divisi PPM Manajemen dasarkan Status Kepemilikan Th.2009

Seperti yang diketahui bahwa manusia memegang peranan yang paling penting dalam sebuah perusahaan, karena lewat hasil kerja manusialah akan dihasilkan produk-produk yang berkualitas sehingga mampu bersaing dalam bisnis yang dijalankan. Dengan sumber daya manusia yang baik setiap organisasi

14,29 %

42,31 %

IYA TIDAK

(10)

bisnis akan memiliki kekuatan kompetitif (Handoko, 2001). PLN adalah salah satu perusahaan yang juga menggunakan tenaga outsourcing dalam pengelolaan tenaga kerjanya. Jumlah karyawan PT PLN (Persero) AP Denpasar adalah 236 orang dengan rincian seperti pada Tabel 1.2

Tabel 1.2 Daftar Pegawai PLN (Persero) AP Denpasar per November Th.2009 NO JABATAN JUMLAH (orang) 1 Manager 2 2 Supervisor 7 3 Assitant Manager 5 4 Assitant Officer 34 5 Assitant Analyst 4 6 Junior Officer 14

7 Tenaga Outsourcing Bidang Pekerjaan Utama 35

8 Tenaga kerja Outsourcing Bidang Pekerjaan penunjang 135

TOTAL 236

Sumber : Bagian SDM PT PLN (Persero) AP Denpasar Th.2009

Berdasarkan Tabel 1.2 keseluruhan karyawan yang dimiliki yaitu sebanyak 236 orang yang terbagi menjadi 7 bagian, pegawai tetap berjumlah 66 orang dan ditambah dengan tenaga outsourcing sebanyak 170 orang yang dibagi menjadi dua bagian yaitu tenaga outsourcing bidang pekerjaan utama berjumlah 35 orang dan tenaga kejra outsourcing bidang pekerjaan penunjang sebanyak 135 orang. Karyawan outsourcing ini adalah karyawan yang diperbantukan untuk bekerja di PLN. Tenaga kerja outsourcing bidang pekerjaan utama diantaranya adalah bagian adminstrasi, survey, satpam, sopir dan front desk, sedangkan untuk tenaga kerja outsourcing bidang pekerjaan penunjang diantaranya adalah bagian cater,

cleaning service, tukang kebun. Karyawan ini bisa ditempatkan di posisi mana

(11)

oleh karyawan senior dan selalu mendapatkan pelatihan terlebih dahulu sebelum melaksanakan tugas di posisi masing-masing. Karyawan outsourcing ini adalah karyawan dengan sistem kontrak yang masa kerjanya adalah satu tahun dan akan terus diperpanjang setiap tahunnya apabila masih dibutuhkan oleh perusahaan. Rekapitulasi tenaga kerja outsourcing Tahun 2009 dapat dilihat pada tabel 1.3

Tabel 1.3 Rekapitulasi tenaga kerja outsourcing Th.2009

NO UNIT orang PEG/

BIDANG PEKERJAAN UTAMA/ orang

ADM

TEKNIK SURVEY SATPAM SOPIR FRONT JMLH

DEST OS 1 AP DEN 66 8 - - 15 2 10 35 2 AP KUT 35 3 - - 7 1 10 21 3 AP TAB 24 16 - - 7 1 - 24 4 AP GIA 28 9 - - 12 1 - 22 5 AP KLU 47 12 - - 26 1 - 39 6 AP SIN 33 15 - - 12 1 - 28 7 AP NEG 18 14 - - 8 1 - 23 8 APTM 10 5 - - 2 2 - 9 9 AJ BATAN 177 24 140 120 10 2 - 296 10 AJ BATUR 92 2 40 - 28 1 - 71 11 AJ BARA 80 10 34 - 18 2 - 64 12 APD 73 6 - - 8 1 - 15 13 KTR DIS 200 37 4 - 35 19 - 95 JUMLAH 886 161 218 120 188 35 20 742

Sumber : Sumber : Data Statistik PLN Distribusi Bali 2009

Walaupun banyak penelitian yang menyebutkan bahwa sistem outsourcing menguntungkan tapi banyak pula pro dan kontra akan penggunaan outsourcing di perusahaan, diantaranya adalah outsourcing menyebabkan ketidakamanan dalam pekerjaan (job insecurity). Dalam hal ini job insecurity diartikan sebagai tingkat dimana pekerja merasa pekerjaanaanya terancam dan merasa tidak berdaya untuk melakukan apapun terhadap situasi tersebut (Ashford dkk, 1989).

(12)

Job Insecurity merupakan pandangan subjektif individu terhadap situasi atau peristiwa di tempatnya bekerja. Pandangan ini memungkinkan individu berpikir dan menilai situasi secara berbeda (Sverke & Hellgren, 2002). Dengan demikian, ada orang yang menganggap situasi atau lingkungannya sebagai hal yang tidak mengancam dirinya. Orang yang bekerja sebagai tenaga kerja

outsourcing bekerja berdasarkan pada kontrak kerja yang telah disepakati

sebelumnya. Keadaan ini memungkinkan adanya ketidakpastian akan kelanjutan kontrak kerja.

Karyawan di negara maju juga mengalami rasa tidak aman yang makin meningkat karena ketidakstabilan terhadap status kepegawaian mereka dan tingkat pendapatan yang makin tidak bisa diramalkan. Akibat berbagai perubahan yang terjadi dalam organisasi, karyawan sangat mungkin merasa terancam, gelisah, dan tidak aman karena potensi perubahan untuk mempengaruhi kondisi kerja dan kelanjutan hubungan serta balas jasa yang diterimanya dari organisasi. Kurangnya rasa percaya pada organisasi akan berpengaruh terhadap moral dan motivasi karyawan. Hasil studi menunjukkan bahwa dalam job insecurity terdapat elemen-elemen multidimensi. Sebagai contoh, banyak karyawan tidak mencemaskan tentang hilangnya pekerjaan semata, tetapi yang mereka cemaskan adalah hilangnya kekuatan (power) yang dimiliki atas pekerjaan yang dilakukan ataupun kesempatan-kesempatan yang ditawarkan oleh pekerjaan tersebut seperti status atau promosi.

Hasil dari wawancara dengan karyawan outsourcing PLN mengatakan bahwa ada beberapa keluhan yang disampaikan diantaranya mulai dari pembagian

(13)

beban kerja karyawan outsourcing yang lebih berat ketimbang pegawai tetap, namun dengan bayaran lebih kecil. Hal ini dinilai menimbulkan rasa ketidakadilan. Keluhan lain, mengenai jenjang karir yang tidak jelas, karena nasib perpanjangan kontrak perusahaan outsourcing tersebut terbilang singkat sehingga banyak karyawan outsoucing yang tidak memiliki kepastian pada masa depannya,

Pasewark dan Strawser (1996) menerangkan mengenai empat variabel pendahulu (anteseden), yang oleh Suwandi dan Indriantoro (1999) disebut prediktor, dari job insecurity berdasarkan hasil studi sebelumnya, yaitu : konflik peran (Katz dan Kahn 1978), ketidakjelasan peran (Greenhalg dan Rosenblat 1984), locus of control (Anderson, 1977), dan perubahan organisasi (Schweiger dan Ivancevich, 1985). Sedangkan menurut Ashford (1989) diketahui dampak dari

job insecurity tersebut adalah komitmen organisasi, kepuasan kerja, trust

organisasi yang rendah.

Menurut Forbes (Asford, dkk, 1989) job insecurity memiliki hubungan yang positif dengan komitmen dan rasa percaya karyawan terhadap perusahaan. Hal ini disebabkan karena karyawan merasa kehilangan kepercayaan akan nasib mereka pada perusahaan dan lama-kelamaan ikatan antara karyawan dan organisasi menghilang. Rosenblatt dan Ruvio (1996) menyatakan bahwa pada akhirnya kondisi job insecurity memiliki efek negatif terhadap komitmen organisasi serta prestasi kerja karyawan. Hasil penelitian Pasewark dan Strawser (1996) menunjukkan bahwa job insecurity merupakan salah satu faktor yang menyebabkan seseorang memilih bertahan dengan pekerjaannya atau tidak.

(14)

Ashford, dkk (1989) mengatakan juga bahwa job insecurity memberikan pengaruh terhadap kepuasan kerja. Karyawan yang merasa dirinya tidak aman (insecure) tentang kelangsungan pekerjaan mereka, cenderung merasa tidak puas dibandingkan mereka yang merasakan kepastian masa depan pekerjaan mereka. Kepuasan kerja pada dasarnya merupakan pernyataan emosional yang positif atau menyenangkan sebagai akibat dari apresiasi pekerja terhadap pekerjaan tertentu. Penelitian-penelitian mengenai kepuasan kerja umumnya menguji kaitan antara kepuasan kerja dengan implikasi atau konsekuensinya dan faktor-faktor penyebabnya. Implikasi kepuasan kerja sering dikaitkan dengan peningkatan kerja individual, kemangkiran, tingkat perputaran kerja (Luthans, 1998). Pasewark dan Strawser (1996) sendiri menemukan bukti empiris bahwa job insecurity mempengaruhi kepuasan kerja dan komitmen organisasi dan kepercayaan organisasional yang akhirnya mempunyai hubungan dengan keinginan berpindah karyawan.

Kepuasan mencerminkan reaksi emosional individu sehubungan dengan aspek-aspek dalam lingkungan pekerjaannya. Oleh karena job insecurity mencerminkan serangkaian pandangan individu mengenai kemungkinan terjadinya peristiwa negatif pada pekerjaan, maka sangat mungkin perasaan ini akan membawa akibat negatif pada kepuasan kerja sebagai respon emosional utama pada pekerjaan .

Diketahui bahwa karakteristik personal berpengaruh terhadap job insecurity. Diantaranya adalah locus of control, self esteem, optimisme vs pessimisme, sense of

(15)

Rosenblatt (1984) locus of control didefinisikan sebagai keyakinan masing- masing individu karyawan tentang kemampuannya untuk bisa mempengaruhi semua kejadian yang berkaitan dengan dirinya dan pekerjaannya. Locus of control menurut Kreitner dan Kinicki (2003) terdiri dari dua konstruk yaitu internal dan eksternal, dimana apabila seseorang yang meyakini bahwa apa yang terjadi selalu berada dalam kontrolnya dan selalu mengambil peran serta bertanggung jawab dalam setiap pengambilan keputusan termasuk dalam internal locus of control, sedangkan seseorang yang meyakini bahwa kejadian dalam hidupnya berada diluar kontrolnya termasuk dalam external locus of control. Spector (Falikhatun, 2003) menyatakan bahwa berdasarkan teori locus of control, seseorang yang merasa tidak nyaman dalam satu lingkungan budaya tertentu akan mengalami ketidakberdayaan dan kekhawatiran.

Penelitian ini mengangkat empat variabel untuk diteliti yaitu, variabel job

insecurity, komitmen organisasi, kepuasan kerja dan locus of control. PT PLN

Denpasar adalah perusahaan yang menggunakan jasa outsourcing yang dimana karyawan outsourcing pada perusahaan ini ditempatkan pada posisi yang berhubungan langsung dengan konsumen. Oleh karena itu menarik untuk diteliti kembali, berdasarkan temuan-temuan peneliti terdahulu seperti tersebut di atas permasalahan mengenai ketidakamanan kerja (job insecurity) yang terjadi antara karyawan tetap dan karyawan outsourcing sebagai pelaku garis depan yang dapat mempengaruhi komitmen organisasi dan kepuasan kerja dan dapat berdampak langsung kepada kualitas pelayanan kepada konsumen.

(16)

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka yang menjadi pokok permasalahan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1) Apakah job insecurity mempengaruhi komitmen organisasi karyawan di PLN Denpasar ?

2) Apakah job insecurity mempengaruhi kepuasan kerja karyawan di PLN Denpasar ?

3) Apakah pada kelompok karyawan dengan locus of control internal, efek job

insecurity terhadap komitmen organisasi karyawan, lebih tinggi dibandingkan

dengan pada kelompok karyawan dengan locus of control eksternal ?

4) Apakah pada kelompok karyawan dengan locus of control internal, efek job

insecurity terhadap kepuasan kerja karyawan, lebih tinggi dibandingkan

dengan pada kelompok karyawan dengan locus of control internal rendah ? 1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1) Untuk mengetahui apakah Job Insecurity berpengaruh nyata terhadap komitmen organisasi karyawan di PLN Denpasar.

2) Untuk mengetahui apakah job insecurity berpengaruh nyata terhadap kepuasan kerja karyawan di PLN Denpasar.

3) Untuk mengetahui perbedaan efek job insecurity terhadap komitmen organisasi karyawan di PT. PLNDenpasar pada kelompok karyawan dengan

locus of control internal dibandingkan kelompok karyawan dengan locus of control eksternal.

(17)

4) Untuk mengetahui efek job insecurity terhadap kepuasan kerja karyawan di PT. PLN (persero) pada kelompok karyawan dengan locus of control internal dibandingkan kelompok karyawan dengan locus of control eksternal.

1.4 Manfaat Penelitian

1) Untuk menguji efek job insecurity terhadap komitmen organisasi dan kepuasan kerja dalam hubungannya dengan locus of control karyawan di PT PLN area pelayanan Denpasar

2) Hasil penelitian ini diharapkan akan memberikan sumbangan pemikiran dalam merumuskan kebijakan yang berhubungan outsourcing karyawan dan dalam pengembangan SDM untuk mencapai komitmen organisasi dan kepuasan kerja karyawan yang baik.

3) Bagi pimpinan perusahaan, penelitian ini dapat memberikan informasi sejauh mana kepuasan kerja karyawan dan komitmen organisasi ditinjau dari perbedaan locus of control dan job insecurity sehingga diharapkan mampu memberikan sumbangan pemikiran dan bahan pertimbangan praktis bagi pimpinan perusahaan dalam mengambil kebijakan atau keputusan bagi pengembangan perusahaan atau organisasi.

4) Bagi karyawan hasil penelitian dapat memberikan masukan informasi dan pemahaman mengenai komitmen organisasi melalui perbedaan locus of

control, sehigga karyawan setidaknya mampu mengaplikasikan semua potensi

kreativitasnya dalam pekerjaan dan mampu memiliki komitmen yang tinggi terhadap organisasi tempat bekerja.

(18)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Outsourcing

Dalam pelaksanaan outsourcing, terdapat tiga pihak yang terlibat, yaitu perusahaan outsourcing, perusahaan pengguna jasa outsourcing dan tenaga kerja

outsourcing (Jehani, 2008). Menurut Haines (Greaver, 1999), outsourcing adalah

menggunakan perusahaan penyedia jasa eksternal untuk menjalankan beberapa aktivitas perusahaan dengan baik. Sedangkan Damanik (2006), mengatakan bahwa outsourcing adalah pendelegasian operasi dan manajemen keseharian dari suatu proses bisnis kepada pihak luar (perusahaan penyedia jasa outsourcing). Menururt Direktur Jendral Pembinaan Hubungan Industrial Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Tambusai (2004), outsourcing atau padanan katanya alih daya, adalah memborongkan satu bagian atau beberapa bagian dari kegiatan perusahaan yang tadinya dikelola sendiri kepada perusahaan lain yang kemudian disebut sebagai penerima pekerjaan. Dalam hubungan ini terdapat dua perusahaan yang terlibat. Perusahaan pertama yang terlibat adalah perusahaan

outsourcing, yaitu perusahaan yang khusus menyeleksi, melatih dan

mempekerjakan tenaga kerja yang menghasilkan suatu produk/jasa tertentu untuk kepentingan perusahaan lainnya yang dikenal sebagai perusahaan outsourcing (perusahaan penyedia jasa tenaga kerja). Sedangkan perusahaan yang kedua merupakan perusahaan pengguna jasa outsourcing.

(19)

Oleh karena itu, dapat dinyatakan bahwa pengertain outsourcing yang digunakan oleh peneliti adalah memborongkan atau mendelegasikan satu bagian atau beberapa bagian dari kegiatan perusahaan kepada perusahaan penyedia jasa eksternal.

2.1.1 Perusahaan outsourcing

Berdasarkan pasal 1 pada Kep.220/MEN/X/2004 (dalam suhardi 2006) tentang syarat-syarat penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain bahwa perusahaan outsourcing (perusahaan penerima pekerjaan) adalah perusahaan yang menerima penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan dari perusahaan pemberi pekerjaan. Menurut Suhardi (2006), dalam praktiknya, diketahui ada dua macam outsourcing yang dikenal, yaitu :

1) Outsourcing pekerjaan (bussines process)

Pada outsourcing jenis ini yang ditetapkan adalah perjanjian pemborongan pekerjaan. Perusahaan pengguna jasa outsourcing memberikan sebagian pekerjaan yang bukan pekerjaan pokok kepada perusahaan lain (perusahaan pemborongan pekerjaan), sehingga dapat dikatakan ada sebuah perusahaan pemberi kerja dan perusahaan penerima kerja.

2) Outsourcing pekerja (personel)

Pada outsourcing pekerja tidak dapat diterapkan perjanjian pemborongan kerja karena yang dialihkan adalah tugas dan tenaga kerjanya. Maksudnya, bagian fungsi-fungsi tertentu dari perusahaan dikerjakan oleh pekerja dari luar perusahaan, dimana pekerja tersebut terikat hubungan kerja dengan perusahaan outsourcing yang kegiatan usahanya adalah penyedia jasa

(20)

pekerja. Pada outsourcing jenis ini, biasanya yang dialihkan adalah tugas pekerja pada satuan tertentu, seperti pengamanan, cleaning service, dll. Dengan demikian, untuk bagian fungsi satuan/sektor tertentu dikerjakan oleh pekerja yang berasal dari perusahaan penyedia jasa, dimana pekerja tersebut terikat oleh hubungan kerja dengan perusahan penyedia jasa pekerja tersebut.

Dalam perusahaan outsourcing yang berbentuk penyedia jasa pekerja, terdapat dua perjanjian kerja yang harus dilakukan sebelum pelaksanaan

outsourcing, yaitu :

1) Perjanjian kerja antara perusahaan pengguna jasa outsourcing dengan perusahaan outsourcing.

2) Perjanjian kerja antara perusahaan outsourcing dengan tenaga kerja perusahaan penyedia jasa pekerja atau yang dikenal dengan tenaga kerja outsourcing.

2.1.2 Tenaga kerja outsourcing

Tenaga kerja outsourcing adalah tenaga kerja yang dimanfaatkan oleh perusahaan untuk memproduksi atau melaksanakan suatu pekerjaan pada perusahaan tersebut, yang diperoleh melalui perusahaan penyedia tenaga kerja (Damanik, 2006).

Menurut UU. No 13 tahun 2003 pasal 66 tentang ketenagakerjaan, tenaga kerja outsourcing tidak diperbolehkan untuk melaksanakan kegiatan pokok (inti) atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, melainkan hanya untuk kegiatan yang bersifat penunjang kegiatan inti. Pekerjaan yang

(21)

berfungsi sebagai kegiatan penunjang tersebut adalah cleaning service, catering, tenaga pengamanan (security), usaha penunjang di pertambangan atau perminyakan, serta usaha penyedia angkutan.

Hubungan kerja yang terjadi antara tenaga kerja outsourcing dengan perusahaan outsourcing dituangkan dalam perjanjian kerja tertulis. Bentuk perjanjian kerja yang biasanya digunakan adalah PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu). Mengacu pada pasal 59 ayat 1 UU No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, PKWT adalah perjanjian kerja antara tenaga kerja dengan pengusaha yang hanya dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu. Menurut Khakim dalam Irene (2008), jangka waktu PKWT dapat diperpanjang atau diperbaharui dengan jangka waktu 3 tahun, dengan perincian :

1) Jangka waktu perjanjian kerja tertentu dapat diadakan paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun (pasal 59 ayat 4)

2) Pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu hanya boleh dilakukan 1 (satu) kali dan paling lama 2 (dua) tahun (pasal 59 ayat 6)

2.2 Job Insecurity

Pada akhir tahun 1970-an, perekonomian dunia mengalami penurunan drastis yang menyebabkan munculnya perubahan-perubahan dalam organisasi, seperti restrukturisasi, merger, dan akuisisi. Perubahan organisasi tersebut mengakibatkan banyaknya pemutusan hubungan kerja pada tenaga kerja dalam jumlah besar. Hal

(22)

tersebut tentunya menimbulkan perasaan tidak aman bagi tenaga kerja karena berkaitan dengan kelanjutan dan masa depan pekerjaan, yang dikenal dengan job

insecurity (Sverke & Hellgreen, 2002). Sejak saat itu, job insecurity menjadi suatu

konstruk yang penting untuk diteliti berkaitan dengan dampak yang ditimbulkan

job insecurity terhadap perilaku tenaga kerja dalam organisasi.

Banyak pengertian yang diberikan oleh para ahli mengenai Job insecurity. Menurut Greenhalgh dan Rosenblatt (1984), Job insecurity adalah ketidak berdayaan untuk mempertahankan kelanjutan pekerjaan karena ancaman situasi dari suatu pekerjaan. Sementara itu, Hartley, Jacobson, dkk (Sverke, Hellgren & Naswall, 2002) mengatakan bahwa job insecurity adalah ketidakamanan yang dirasakan seseorang akan kelanjutan pekerjaan dan aspek-aspek penting yang berkatian dengan pekerjaan itu sendiri. Sedangkan Sverke dan Hellgren (2002) mengungkapkan bahwa job insecurity adalah pandangan subjektif seseorang mengenai situasi atau peristiwa ditempatnya bekerja.

Perlu diketahui bahwa job loss dan job insecurity adalah dua hal yang berbeda. Job loss adalah suatu peristiwa dimana seseorang kehilangan pekerjaan. Sedangkan pada job insecurity, individu belum mengalami kehilangan pekerjaan melainkan berada pada situasi yang dapat menyebabkan munculnya perasaan tidak aman akan kelanjutan pekerjaannya saat ini (Sverke, dkk.2002)

Berdasarkan pengertian-pengertian yang dikemukakan oleh para ahli diatas, maka dapat disimpulkan bahwa job insecurity adalah pandangan individu terhadap situasi yang ada dalam organisasi tempatnya bekerja yang menimbulkan

(23)

ketidakamanan akan kelanjutan pekerjaannya, dan hal ini menyebabkan individu merasa tidak berdaya.

2.2.1 Komponen job insecurity

Greenhalg dan Rosenblatt (1984) mengungkapkan bahwa job insecurity terdiri dari dua aspek, yaitu aspek ancaman akan kehilangan pekerjaan itu sendiri dan aspek ancaman kehilangan faset-faset penting dalam pekerjaan, seperti gaji, kesempatan untuk promosi dan lain sebagainya.

Berdasarkan pada kedua aspek job insecurity di atas, Asford (1989) mengembangkan komponen-komponen job insecurity menjadi :

1) Keparahancaman (severity of threat)

Keparah ancaman meliputi seberapa besar individu mempersepsikan adanya ancaman terhadap aspek-aspek dalam pekerjaan dan ancaman terhadap pekerjaan secara keseluruhan.

(1) Ancaman terhadap aspek-aspek dalam pekerjaan

Aspek-aspek yang berkatian dengan pekerjaan, meliputi kesempatan untuk promosi, kebebasan menentukan jadwal pekerjaan, dll. Persepsi seseorang mengenai besarnya ancaman aspek-aspek pekerjaan dapat diketahui melalui seberapa besar aspek-aspek itu dirasakan penting dan seberapa besar kemungkinan individu akan kehilangan aspek-aspek tersebut. Semakin penting dan semakin tinggi aspek-aspek tersebut dipersepsikan mungkin hilang, maka semakin tinggi tingkat ancaman terhadap aspek-aspke dalam pekerjaan yag dirasakan individu tersebut.

(24)

Ancaman kehilangan pekerjaan secara keseluruhan merupakan persepsi seseorang mengenai adalanya kejadian-kejadian negatif yang dapat mempengaruhi pekerjaannya, seperti diberhentikan untuk sementara waktu. Ancaman tersebut dapat diketahui melalui seberapa penting dan seberapa mungkin kejadian-kejadian negatif tersebut dipersepsikan akan mempengaruhi pekerjaannya secara keseluruhan.

2) Ketidakberdayaan (powerlessness)

Ketidakberdayaan menujukkan ketidakmampuan seseorang untuk mencegah munculnya ancaman yang berpengaruh terhadap aspek-aspek pekerjaan dan pekerjaan secara keseluruhan. Semakin individu merasa tidak berdaya, semakin tinggi tingkat Job insecurity.

2.2.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi job insecurity

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi munculnya job isecurity dalam diri tenaga kerja adalah Irene (2008):

1) Karakterisrik demografis

Karakteristik demografis yang dapat mempengaruhi job insecurity meliputi usia, jenis kelamin, masa kerja, status pernikahan dan tingkat pendidikan. (Kinnunen, Dkk, 2000). Pria memilki tingkat job insecurity yang lebih tinggi dibandingkan wanita karena berkaitan dengan peran pria

(25)

sebagai pencari nafkah utama dalam keluarga, sehingga pria akan lebih tegang ketika kehilangan pekerjaan. Usia memiliki hubungan positif dengan job insecurity. Sebaliknya, pendidikan dan masa kerja berhubugan negatif dengan job insecurity, yaitu semakin rendah pendidikan semakin pendek masa kerja, maka semakin tinggi job

insecurity seseorang.

2) Karakteristik pekerjaan

Menurut Jacobson dan Hartley (Hasselink & Van Vuuren, 1999) karakteristik pekerjaan itu sendiri dapat mempengaruhi job insecurity pada tenaga kerjanya.

Job insecurity biasanya rentan terjadi pada tenaga kerja yang masa depan

pekerjaannya tidak pasti, yang bisa dialami pada : 1) Karyawan tetap yang terancam kehilangan pekerjaan

2) Freelancer (pekerja jasa yang tidak terikat pada suatu organisasi) dan karyawan kontrak.

3) Karyawan baru yang berada dalam masa percobaan.

4) Karyawan dari secondary labour market, seperti kelompok suku bangsa minoritas, pekerja yang cacat, pekerja musiman, dan karyawan yang berasal dari agen penyedia karyawan kontrak.

(26)

Lingkungan merupakan sumber ancaman yang berada diluar kontrol individu. Ancaman yang berasal dari lingkungan ini meliputi merger, akuisisi, pengurangan jumlah karyawan, reorganisasi dan penggunaan tekhnologi baru.

6) Ketidakjelasan peran

Ketidakjelasan peran berkaitan dengan seberapa banyak informasi yang dimilki oleh tenaga kerja mengenai tuntutan pekerjaan dan prosedur kerja. Apabila tenaga kerja tidak mengetahui dengan jelas apa yang menjadi tanggung jawabnya, prosedur kerja dan kurang adanya umpan balik menyebabkan tenaga kerja tidak dapat melaksanakan tugasnya. Pada akhirnya, tenaga kerja tidak mampu memenuhi kontrak psikologisnya sebagai tenaga kerja dan dapat memperbesar job insecurity dalam dirinya (Ashford, dkk. 1989)

7) Locus of control

Locus of control merupakan hal yang penting untuk diperhatikan karena

berhubungan dengan bagaimana individu menginterprestaikan ancaman yang berasal dari lingkungan. Tenaga kerja dengan Locus Of control internal cenderung menganggap lingkungan memberikan pengaruh yang rendah dan lebih percaya kepada kemampuan diri sendiri untuk menghadapi ancaman apapun yang berasal dari lingkungan (Asford, 1989). Sebaliknya tenaga kerja dengan locus of

control ekseternal menganggap lingkungan memberikan peran yang lebih besar

terhadap nasibnya dibandingkan dengan kemampuannya sendiri. 8) Nilai pekerjaan

(27)

Nilai dari suatu pekerjaan tentunya dimaknai berbeda oleh setiap orang. Bagi kebanyakan individu, pekerjaan merupakan faktor utama dalam memenuhi kebutuhan ekonomi dan kebutuhan sosial.

2.2.3 Dampak job insecurity

Greenhalgh dan Rosenblatt (Ashford, 1989) mengkonseptualisasikan job

insecurity sebagai suatu sumber stress yang melibatkan ketakutan, kehilangan

potensi dan keccemasan. Salah satu akibat dari stress tersebut adalah bentuk permasalahan somatic, seperti tidak bissa tidur dan kehilangan selera makan. Wish dan coke (Ashford dkk, 1989) menyatakan bahwa persaan job insecurity dapat meningkatkan masalah somatic dan hipertensi.

Berdasarkan penulisan Ashford (1998), diketahui bahwa job insecurity yang tinggi yang dirasakan karyawan akan berhubungan dengan :

1) Keinginan untuk mencari pekerjaan baru

Ketegangan yang dipengaruhi oleh job insecurity juga penting disebabkan karena efeknya terhadap turnover. Seperti stressor yang lainnya, job insecurity mungkin berhubungan dengan respon penarikan diri – sebuah usaha untuk menghindari stress.

Oleh karena itu, Job Insecurity seharusnya mempunyai hubungan yang positif dengan keinginan untuk bekerja.

Orang yang mengalami job insecurity mungkin juga meninggalkan pekerjaan demi alasan yang masuk akal. Hal ini akan masuk akal bagi karyawan yang khawatir terhadap kesinambungan pekerjaan mereka, kemudian mencari

(28)

kesempatan karir yang lebih aman menurut Greenhalgh dan Rosenblatt (Ashford dkk. 1989)

2) Komitmen organisasi yang rendah

Penulisan telah mengindikasikan bahwa orang-orang mengembangkan pendekatan efektif dalam sikap terhadap perusahaan sepanjang waktu oleh Mowday (Ashford dkk, 1989) yang ditunjukkan sebagai level komitmen, kepuasan dan kepercayaan yang tinggi. Perasaan job insecurity dapat mengancam pendekatan tersebut terhadap perusahaan. Karyawan mengharapkan perusahaan dapat diandalkan untuk menegakkan akhir dari kontrak psikologis diantara mereka menurut Buchanan (Ashford dkk, 1989). Penerimaan job insecurity mungkin merefleksikan persepsi individu bahwa perusahaan telah membatalkan kontrak psikologis, dalam hal ini tampilan penting terancam, pekerjaan berada dalam bahaya (bahkan keduanya) dan kesetiaan dipengaruhi secara negatif menurut Romzek (Ashford dkk.1989)

3) Trust organisasi yang rendah

Individu yang merasa bahwa perusahaan tidak dapat diandalkan untuk menghasilkan komitmen terhadap karyawannya, dapat mengurangi komitmen keryawan terhadap organisasi. Job Insecurity akan berhubungan secara negatif dengan komitmen karyawan dan kepercayaan mereka terhadap perusahaan, Forbes(Ashford dkk.1989). Hubungan ini akan terjadi karena karyawan yang

insecure akan kehilangan kepercayaan dan keyakinan bahwa perusahaan dapat

diandalkan dan pendekatan mereka terhadap perusahaan mereka akan berkurang. 4) Kepuasan kerja yang rendah

(29)

Persepsi terhadap job insecurity akan berhubungan secara negatif dengan pengukuran kepuasan kerja. Dari penulis sebelumnya Oldham, dkk (Ashford dkk. 1989) dapat diketahui bahwa karyawan dengan tingkat persepsi terhadap job

insecurity yang rendah akan kurang puas dengan pekerjaan mereka. Para peneliti

telah mendefinisikan kepuasan kerja sebagai suatu respon afektif terhadap pekerjaan dan tugas-tugas, Locke (Ashford dkk.1989). Orang berespon secara afektif terhadap pekerjaan dalam kondisi dimana mereka secara kognitif merepresentasikan atau menerima pekerjaan tersebut menurut Hackman & Oldham (Ashford, 1989)

2.3 Komitmen Organisasi

Menurut Armstrong (1999), ada dua aliran pemikiran tentang komitmen. Aliran yang pertama aliran yang mengedepankan dari kontrol menuju komitmen (from control to commitment) yang dipelopori oleh Walton (Armstrong 1999). Menurutnya, kinerja akan meningkat jika organisasi berpindah dari pendekatan tradisional yang menekankan kontrol ke pendekatan yang lebih menitikberatkan pada manajemen pendorong kerja (workforce management). Hal ini dicapai dengan cara memantapkan perintah, mengolah kontrol dan mencapai efesiensi dalam dorongan kerja.

Menurut Walton (Armstrong 1999) , pendekatan ini sebaiknya diganti dengan strategi komitmen. Pekerja akan menampilkan respon terbaik dan terkreatif mereka tidak pada saat mereka dikontrol secara ketat oleh managemen, diletakkan

(30)

pada pekerjaan yang telah ditentukan secara ketat dan diperlakukan secara kaku, namun kondisi ini akan dijumpai pada saat mereka diberi tanggung jawab yang lebih luas, ditantang untuk memberi kontribusi dan dibantu untuk mencapai kepuasan ditempat kerja (Armstrong,1999).

Menurut Walton (Armstrong), new commitment based approach memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1) Pekerjaan didesain lebih luas dari sebelumnya (dikombinasikan dengan perencanaan dan implementasi serta mencakupkan pula usaha-usaha untuk meningkatkan tindakan-tindakan, tidak hanya sekedar mempertahankan (maintain) semata

2) Tanggung jawab individu diharapkan berubah seiring dengan perubahan kondisi-kondisi dan team, tidak hanya individu-individu semata.

Dengan hirarki manajemen yang relatif datar (flat) serta perbedaan status diminimalkan, kontrol dan koordinasi lateral tergantung pada tujuan-tujuan yang bersama dan menonjolkan keahlian, bukan posisi formal yang mempengaruhi. Aliran kedua adalah aliran Japannese / excellence yang ditampilkan oleh Pascale dan Athos (1981) yang melihat pola komitmen yang menghubungkan pencapaian prestasi terbaik (excellence) untuk mendapatkan komitmen utuh sebagai pendorong kerja pada suatu organisasi sebagaimana yang banyak dijumpai di negara Jepang. (Armstrong, 1999).

Usaha untuk menjelaskan rahasia kesuksesan bisnis bangsa Jepang sampai pada terbentuknya teori yang menyatakan bahwa cara terbaik untuk memotivasi orang-orang untuk mencapai komitmen penuh pada nilai-nilai organisasi adalah

(31)

melalui kepemimpinan (leadership) dan keterlibatan. Pendekatan ini seringkali disebut pendekatan Heart and Minds (dalam Armstrong,1999). Pendekatan Heart

and Minds ini menggunakan cara memperlakukan orang seperti orang dewasa,

mengeluarkan antusiasme mereka dengan kepemimpinan yang hidup/membangkitkan semangat serta imajinatif. Selain itu juga mengembangkan dan mendemonstrasikan obsesi pada kualitas,membuat mereka

merasa memiliki bisnis sendiri . Dorongan semacam ini akan mengeluarkan respon berupa komitmen total (dalam Armstrong,1999).

2.3.1 Pendekatan komitmen organisasi

Pendekatan untuk menjelaskan mengenai komitmen organisasi oleh Shepperd dan Mathew (2000) dikelompokkan menjadi empat pendekatan , yakni :

1) Pendekatan berdasarkan sikap (Attitudinal approach)

Komitmen menurut pendekatan ini, menunjuk pada permasalahan keterlibatan dan loyalitas. Menurut Mowday dan Potter (Armstrong, 1999) komitmen adalah identifikasi yang relatif kuat serta keterlibatan dari individu terhadap organisasi tertentu. Ada 3 faktor yang tercakup didalamnya, yakni :

(1) Keinginan kuat untuk tetap menjadi anggota organisasi.

(2) Keyakinan kuat dan penerimaan terhadap nilai-nilai dan serta tujuan dari organisasi.

(32)

Sementara menurut Steers komitmen organisasi adalah kekuatan relative dari identifikasi individu untuk terlibat dalam organisasi tertentu (Muchinsky,1993). Komitmen organisasi ditandai oleh :

(1) Adanya keyakinan kuat dan penerimaan terhadap tujuan serta nilai-nilai dari organisasi.

(2) Adannya keinginan untuk mengerahkan usaha bagi organisasi.

(3) Adanya keinginan untuk mempertahankan keanggotaan di organisasi tersebut.

Pendekatan Porter dan Steers ini adalah pendekatan attitudinal atau afektif, yang menekankan pentingnya kongruensi antara nilai-nilai dan tujuan pribadi karyawan dengan nilai-nilai dan tujuan organisasi. Oleh karena itu, semakin organisasi mampu menimbulkan keyakinan dalam diri karyawan, bahwa apa yang menjadi nilai dan tujuan pribadinya adalah sama dengan nilai dan tujuan organisasi, maka akan semakin tinggi komitmen karyawan tersebut pada organisasi tempat ia bekerja.

Menurut Armstrong (1999) , ada 3 faktor yang berkaitan dengan keberadaan komitmen organisasi, yakni :

(1) Karakteristik personal, mencakup didalamya umur serta tingkat pendidikan.

(2) Karaketeristik pekerjaan, mencakup didalamnya adalah tantangan, kesempatan untuk berinteraksi sosial dan jumlah umpan balik yang diterima oleh individu tersebut.

(33)

(3) Pengalaman kerja, mencakup didalamnya sikap terhadap organisasi, kebebasan atau independensi organisasi serta realisasi terhadap harapan-harapan didalam organisasi.

2) Pendekatan komitmen organisasi multi dimensi (The Multidimensional

Approach)

Menurut Allen dan Meyer (1990), ada tiga komponen yang mempengaruhi komitmen organisasi, sehingga karyawan memilih tetap atau meninggalkan organisasi berdasar norma yang dimilikinya. Tiga komponen tersebut adalah :

(1) Affective commitment, yang berkaitan dengan adanya keinginan untuk terikat pada organisasi. Individu menetap dalam organisasi karena keinginan sendiri. Kunci dari komitmen ini adalah want to

(2) Continuance commitment, adalah suatu komitmen yang didasarkan akan kebutuhan rasional. Dengan kata lain, komitmen ini terbentuk atas dasar untung rugi, dipertimbangkan atas apa yang harus dikorbankan bila akan menetap pada suatu organisasi. Kunci dari komitmen ini adalah kebutuhan untuk bertahan (need to)

(3) Normative Commitment, adalah komitmen yang didasarkan pada norma yang ada dalam diri karyawan, berisi keyakinan individu akan tanggung jawab terhadap organisasi. Ia merasa harus bertahan karena loyalitas. Kunci dari komitmen ini adalah kewajiban untuk bertahan dalam organisasi (ought to)

Meyer dan Allen (1990) berpendapat bahwa setiap komponen memiliki dasar yang berbeda. Karyawan dengan komponen afektif tinggi, masih bergabung

(34)

dengan organisasi karena keinginan untuk tetap menjadi anggota organisasi. Sementara itu karyawan dengan komponen continuance tinggi, tetap bergabung dengan organisasi tersebut karena mereka membutuhkan organisasi. Karyawan yang memiliki komponen normatif yang tinggi, tetap menjadi anggota organisasi karena mereka harus melakukannya (Shepperd dan Mathew, 2000).

Setiap karyawan memiliki dasar dan tingkah laku yang berbeda berdasarkan komitmen organisasi yang dimilikinya. Karyawan yang memiliki komitmen organisasi dengan dasar afektif memiliki tingkah laku berbeda dengan karyawan yang berdasarkan continuance. Karyawan yang ingin menjadi anggota akan memiliki keinginan untuk menggunakan usaha yang sesuai dengan tujuan organisasi. Sebaliknya, mereka yang terpaksa menjadi anggota akan menghindari kerugian finansial dan kerugian lain, sehingga mungkin hanya melakukan usaha yang tidak maksimal. Sementara itu, komponen normatif yang berkembang sebagai hasil dari pengalaman sosialisasi, tergantung dari sejauh apa perasaan kewajiban yang dimiliki karyawan. Komponen normatif menimbulkan perasaan kewajiban pada karyawan untuk memberi balasan atas apa yang telah diterimanya dari organisasi.

3) Pendekatan komitmen organisasi normativ (The Normative Approach)

Weiner (1982) menyatakan bahwa perasaan akan komitmen terhadap organisasi diawali oleh keyakinan akan identifikasi organisasi dan digeneralisasikan terhadap nilai-nilai loyalitas dan tanggung jawab. Menurut Weiner, komitmen organisasi dapat dipengaruhi oleh predisposisi personal dan intervensi organisasi. Ini mengandung arti bahwa perusahaan atau organisasi

(35)

dapat memilih individu yang memiliki komitmen tinggi, dan bahwa organisasi dapat melakukan apa saja agar karyawan atau anggotanya menjadi lebih berkomitmen (Shepperd dan Mathew, 2000).

4) Pendekatan komitmen organisasi berdasarkan perilaku

Pendekatan ini menitikberatkan pandangan bahwa investasi karyawan (berupa waktu, pertemanan , pensiun) pada organisasi membuat ia terikat untuk loyal terhadap organisasi tersebut. Kanter mendefinisikan pandangan komitmen organisasi sebagai profit associated with continued participation and a `cost'

associated with leaving .

Dari hasil penelitian ditemukan kenyataan bahwa individu yang memiliki komitmen organisasi yang tinggi memiliki kondisi :

(1) Individu-individu tersebut lebih mampu beradaptasi

(2) Jumlah karyawan yang keluar-masuk (turnover) lebih sedikit. (3) Kelambatan dalam bekerja lebih sedikit dijumpai.

(4) Kepuasan kerja lebih tinggi (Muchinsky,1993)

dikataka bahwa seseorang yang terlalu berkomitmen pada organisasi akan cenderung mengalami stagnasi dalam kariernya serta cenderung berkurang pengembangan dirinya (self development) (Muchinsky,1993).

Bila komitmen mencerminkan identifikasi dan keterlibatan dalam organisasi, maka organisasi / perusahaan akan mendapat keuntungan dengan berkurangnya

turnover, adanya prestasi yang lebih baik. (Muchinsky,1993).

(36)

Komitmen terhadap organisasi dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Dari hasil studi menunjukkan bahwa salah satu prediktor terhadap komitmen adalah masa kerja (tenure) seseorang pada organisasi tertentu. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut :

1) Makin lama seseorang bekerja pada suatu organisasi, semakin ia memberi peluang untuk menerima tugas yang lebih menantang, otonomi yang lebih besar, keleluasaan untuk bekerja, tingkat imbalan ekstrinsik yang lebih besar dan peluang mendapat promosi yang lebih tinggi.

2) Adanya peluang investasi pribadi, yang berupa pikiran, tenaga dan waktu untuk organisasi yang makin besar, sehingga makin sulit untuk meninggalkan organisasi tersebut.

3) Adanya keterlibatan sosial yang dalam dengan organisasi dan individu-individu yang ada, hubungan sosial yang lebih bermakna, sehingga membuat individu semakin berat meninggalkan organisasi.

4) Akses untuk mendapat informasi pekerjaan baru makin berkurang. Beberapa karakteristik pribadi dianggap memiliki hubungan dengan komitmen, diantaranya adalah :

(1) Usia dan masa kerja . Usia dan masa kerja berkorelasi positif dengan komitmen (Mowday, dkk 1982).

(2) Tingkat pendidikan. Makin tinggi tingkat pendidikan, makin banyak pula harapan individu yang mungkin tidak bisa diakomodir oleh organisasi, sehingga komitmennya semakin rendah.

(37)

(3) Jenis kelamin. Wanita pada umumnya menghadapi tantangan yang lebih besar dalam pencapaian kariernya, sehingga komitmennya lebih tinggi.

(4) Peran individu tersebut di organisasi. Hasil studi menunjukkan bahwa adanya hubungan yang negatif antara peran yang tidak jelas dan

komitmen terhadap organisasi. Peran yang tidak jelas muncul akibat adanya tujuan yang tidak jelas pula atas suatu pekerjaan Ciri-cirinya antara lain ketidakjelasan evaluasi terhadap pekerjaan, cara untuk mencapai unjuk kerja yang baik dan batas wewenang serta tanggung jawab individu. Ada beberapa faktor yang menyebabkan munculnya ketidakjelasan peran, yakni : (1) faktor organisasi- keberadaan individu tidak jelas fungsinya sehingga peranannyapun tidak jelas; (2) faktor pemberi peran – ketidakjelasan muncul karena atasan tidak mengkomunikasikan dengan jelas harapannya terhadap bawahan ; (3) faktor penerima peran – ketidakjelasan peran karena bawahan tidak mengerti peran yang harus ia lakukan sesuai\harapan

(5) Faktor lingkungan pekerjaan akan berpengaruh terhadap sikap individu pada organisasi. Menurut Mowday, dkk (1982)

(6) lingkungan dan pengalaman kerja dipandang sebagai kekuatan sosialisasi utama yang mempengaruhi komitmen terhadap organisasi. Faktor lingkungan yang berkaitan dengan komitmen adalah: (1) keterandalan organisasi yakni sejauh mana individu merasa bahwa organisasi tempat ia bekerja memperhatikan anggotannya, dalam hal

(38)

minat maupun kesejahteraan(2) perasaan dianggap penting oleh organisasi yakni sejauh mana individu merasa diperlukan dalam mencapai misi organisasi. Tempat kerja yang baik adalah tempat yang membuat karyawan dihargai keberadaannya dan merasa bangga menjadi anggota organisasi tersebut. Ketidakberartian akan membuat komitmen organisasi menjadi rendah(3) realisasi terhadap harapan individu yakni sejauh mana harapan individu dapat direalisasikan melalui organisasi dimana ia bekerja (4)persepsi tentang sikap terhadap rekan kerja-sejauh mana individu merasa bahwa rekan kerjanya dapat mempertahankan sikap kerja yang positif terhadap organisasi. (5)persepsi terhadap gaji-sejauh mana individu tersebut merasa gaji yang diterimanya seimbang dengan gaji individu lain. (6)persepsi terhadap perilaku atasan-sejauh mana individu merasa dihargai dan dipercayai oleh atasan. Jika persepsi sikap atasan negatif, maka cenderung mengakibatkan sikap negatif pula yang

diaktualkan dalam bentuk perilaku negatif seperti mangkir dan keinginan berpindah kerja Jika dalam organisasi , komitmen dari karyawannya cenderung rendah.

Menurut Schermerhorn (1996) akan terjadi kondisi sebagai berikut :

1) Tingkat absensi karyawan yang tinggi dan meningkatnya turnover (High

levels of abseentism and voluntary turnover). Pada banyak penelitian, individu

yang berkomitmen terhadap organisasinya cenderung kurang melakukan usaha mencari pekerjaan baru.

(39)

2) Ketidakinginan untuk berbagi dan berkorban untuk kepentingan organisasi. (Unwillingness to share and make sacrifice). Individu – individu yang memiliki komitmen rendah cenderung memiliki motivasi kerja yang rendah, dan sebisa mungkin bekerja dengan kondisi minimal yang diharapkan organisasi

2.4 Locus Of Control (LoC)

Konsep tentang locus of control (pusat kendali) pertama kali dikemukakan oleh Rotter (1966), seorang ahli teori pembelajaran sosial.

Locus of control merupakan salah satu variabel kepribadian (personility),

yang didefinisikan sebagai keyakinan individu terhadap mampu tidaknya mengontrol nasib (destiny) sendiri (Rotter, 1966). Individu yang memiliki keyakinan bahwa nasib atau event- event dalam kehidupannya berada dibawah kontrol dirinya, dikatakan individu tersebut memiliki internal locus of control. Sementara individu yang memiliki keyakinan bahwa lingkunganlah yang mempunyai control terhadap nasib atau event-event yang terjadi dalam kehidupannya dikatakan individu tersebut memiliki external locus of control. Kreitner & Kinichi (2001) mengatakan bahwa hasil yang dicapai locus of control internal dianggap berasal dari aktifitas dirinya. Sedangkan pada individu locus of

control eksternal menganggap bahwa keberhasilan yang dicapai dikontrol dari

keadaan sekitarnya.

Dinyatakan bahwa dimensi internal-external locus of control dari Rotter memfokuskan pada strategi pencapaian tujuan tanpa memperhatikan asal tujuan tersebut. Bagi seseorang yang mempunyai internal locus of control akan

(40)

memandang dunia sebagai sesuatu yang dapat diramalkan, dan perilaku individu turut berperan didalamnya. Pada individu yang mempunyai external locus of

control akan memandang dunia sebagai sesuatu yang tidak dapat diramalkan,

demikian juga dalam mencapai tujuan sehingga perilaku individu tidak akan mempunyai peran didalamnya.

Individu yang mempunyai external locus of control diidentifikasikan lebih banyak menyandarkan harapannya untuk bergantung pada orang lain dan lebih banyak mencari dan memilih situasi yang menguntungkan Sementara itu individu yang mempunyai internal locus of control diidentifikasikan lebih banyak menyandarkan harapannya pada diri sendiri dan diidentifikasikan juga lebih menyenangi keahlian-keahlian dibanding hanya situasi yang menguntungkan.

Konsep tentang locus of control yang digunakan Rotter (1966) memiliki empat konsep dasar, yaitu a) Potensi perilaku yaitu setiap kemungkinan yang secara relatif muncul pada situasi tertentu, berkaitan dengan hasil yang diinginkan dalam kehidupan seseorang. b). Harapan , merupakan suatu kemungkinan dari berbagai kejadian yang akan muncul dan dialami oleh seseorang. c) Nilai unsur penguat adalah pilihan terhadap berbagai kemungkinan penguatan atas hasil dari beberapa penguat hasil-hasil lainnya yang dapat muncul pada situasi serupa. d) Suasana psikologis, adalah bentuk rangsangan baik secara internal maupun eksternal yang diterima seseorang pada suatu saat tertentu, yang meningkatkan atau menurunkan harapan terhadap munculnya hasil yang sangat diharapkan.

(41)

2.4.1 Karakteristik locus of control

Perbedaan karateristik antara internal locus control dengan external

locus of control sebagai berikut :

1) Internal locus of control

(1) Suka bekerja keras.

(2) Memiliki inisiatif yang tinggi.

(3) Selalu berusaha untuk menemukan pemecahan masalah. (4) Selalu mencoba untuk berpikir seefektif mungkin.

(5) Selalu mempunyai persepsi bahwa usaha harus dilakukan jika ingin berhasil.

2) External locus of control

(1) Kurang memiliki inisiatif.

(2) Mempunyai harapan bahwa ada sedikit korelasi antara usaha dan kesuksesan.

(3) Kurang suka berusaha, karena mereka percaya bahwa faktor luarlah yang mengontrol.

(4) Kurang mencari informasi untuk memecahkan masalah.

Pada orang-orang yang memiliki internal locus of control faktor kemampuan dan usaha terlihat dominan, oleh karena itu apabila individu dengan internal locus

of control mengalami kagagalan mereka akan menyalahkan dirinya sendiri karena

kurangnya usaha yang dilakukan. Begitu pula dengan keberhasilan, mereka akan merasa bangga atas hasil usahanya. Hal ini akan membawa pengaruh untuk

(42)

tindakan selanjutnya dimasa akan datang bahwa mereka akan mencapai keberhasilan apabila berusaha keras dengan segala kemampuannya.

Sebaliknya pada orang yang memiliki external locus of control melihat keberhasilan dan kegagalan dari faktor kesukaran dan nasib, oleh karena itu apabila mengalami kegagalan mereka cenderung menyalahkan lingkungan sekitar yang menjadi penyebabnya. Hal itu tentunya berpengaruh terhadap tindakan dimasa datang, karena merasa tidak mampu dan kurang usahanya maka mereka tidak mempunyai harapan untuk memperbaiki kegagalan tersebut. Locus of control merupakan dimensi kepribadian yang berupa kontinium dari internal menuju eksternal, oleh karenanya tidak satupun individu yang benar-benar internal atau yang benar-benar-benar-benar eksternal. Kedua tipe locus of control terdapat pada setiap individu, hanya saja ada kecenderungan untuk lebih memiliki salah satu tipe locus of control tertentu. Disamping itu locus of control tidak bersifat stastis tapi juga dapat berubah. Individu yang berorientasi internal locus

of control dapat berubah menjadi individu yang berorientasi external locus of control dan begitu sebaliknya, hal tersebut disebabkan karena situasi dan

kondisi yang menyertainya yaitu dimana ia tinggal dan sering melakukan aktifitasnya.

(43)

Untuk dapat memahami pengertian dari kepuasan kerja yang digunakan sebagai pendukung dalam penelitian ini, maka dapat dipahami atas beberapa pendapat para ahli manajemen mengenai pengertian kepuasan kerja, kepuasan kerja adalah suatu perasaan menyokong atau tidak menyokong diri pegawai yang berhubungan dengan pekerjaannya maupun kondisi dirinya. Handoko (2001) menyatakan bahwa kepuasan kerja adalah keadaan emosional yang

menyenangkan atau tidak menyenangkan dengan mana para karyawan memandang pekerjaan mereka. Dijelasakan pula bahwa kepuasan kerja adalah keadaan emosional karyawan dimana terjadi ataupun tidak terjadi titik temu antara nilai balas jasa kerja karyawan dari perusahaan atau organisasi dengan tingkat nilai balas jasa yang memang diinginkan oleh karyawan yang bersangkutan. Balas jasa karyawan ini, baik berupa “finansial” maupun yang “non finansial”. ditegaskan bahwa kepuasan kerja adalah kepuasan yang berhubungan dengan sikap karyawan terhadap pekerjaan itu sendiri, situasi kerja, hubungan antara atasan dengan bawahan dan hubungan sesama karyawan.

Kepuasan kerja merupakan seperangkat perasaan pegawai tentang menyenangkan atau tidaknya pekerjaan mereka yang berbeda dari pemikiran obyektif dan keinginan perilaku. Luthans (1998) menyatakan bahwa kepuasan timbul dari evaluasi terhadap suatu pengalaman, atau pernyataan secara psikologis akibat suatu harapan dihubungkan dengan apa yang mereka peroleh. memberikan batasan-batasan mengenai kepuasan kerja tersebut sebenarnya batasan yang sederhana dan operasional adalah cara pandang seorang pekerja merasakan pekerjaannya.

(44)

Kepuasan kerja merupakan generalisasi sikap-sikap terhadap pekerjaannya yang didasarkan atas aspek-aspek pekerjaannya yang bermacam-macam atau dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa:

1) Kepuasan kerja merupakan suatu perasaan seseorang yang timbul bila yang dirasakan dari pekerjaan yang dilakukan dianggap cukup memadai bila dibandingkan dengan apa yang telah dilakukan atau pekerjaan yang dibebankan.

2) Tingkat kepuasan kerja yang dialami oleh tiap-tiap orang akan berbeda-beda sesuai persepsi masing-masing individu. Singkatnya dinyatakan bahwa kepuasan kerja adalah suatu perasaan seseorang yang timbul bila keuntungan yang diperoleh dianggap sesuai dengan pekerjaan yang dibebankan kepadanya

2.5.1 Faktor-Faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja

Dijelaskan bahwa kepuasan kerja yang berhubungan dengan variabel-variabel atau faktor-faktor yang mempengaruhinya adalah sebagai berikut :

1) Turnover

Kepuasan kerja lebih tinggi dihubungkan dengan turnover pegawai yang rendah. Sedangkan pegawai-pegawai yang kurang puas biasanya turnover-nya lebih tinggi.

2) Tingkat ketidakhadiran kerja

Pegawai yang kurang puas cenderung tingkat ketidakhadirannya tinggi. Mereka sering tidak hadir dengan alasan yang tidak logis dan subyektif.

(45)

3) Umur

Ada kecenderungan pegawai yang tua lebih merasa puas dibandingkan daripada pegawai yang berumur relatif muda karena pegawai yang tua lebih berpengalaman menyesuaikan diri dengan lingkungan pekerjaan. Sedangkan pegawai usia muda biasanya mempunyai harapan yang ideal tentang dunia kerjanya, sehingga apabila antara harapannya dengan realita kerja terdapat kesenjangan atau ketidakseimbangan dapat menyebabkan mereka menjadi tidak puas.

4) Tingkat pekerjaan

Pegawai yang menduduki tingkat pekerjaan yang lebih tinggi cenderung lebih puas daripada pegawai tingkat rendah. Pegawai yang tingkat pekerjaannya lebih tinggi menunjukkan kemampuan kerja yang baik dan aktif dalam mengemukakan ide-ide serta kreatif dalam bekerja.

5) Ukuran organisasi perusahaan

Ukuran perusahaan dapat mempengaruhi kepuasan pegawai, karena besar kecilnya suatu perusahaan berhubungan dengan koordinasi, komunikasi, dan partisipasi pegawai.

(46)

BAB III

KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Konseptual

PLN Denpasar adalah salah satu organisasi yang didirikan oleh PLN Distribusi Bali untuk mempermudah pelayanan dan pelaksanaan pekerjaan dilapangan di area Denpasar dan berlokasi di Jl. Jendral Sudirman no.2 Denpasar. PLN sendiri adalah merupakan perusahaan milik negara yang dalam kinerjanya menggunakan jasa pihak lain atau yang biasa disebut outsourcing. Outsourcing atau alih daya sendiri merupakan proses pemindahan tanggung jawab tenaga kerja dari perusahaan induk ke perusahaan lain diluar perusahaan induk. Namun seiring perjalanannya outsourcing menjadi masalah tersendiri bagi perusahaan khususnya bagi tenaga kerja. Permasalahan itu diantaranya adalah adanya ketidakamanan kerja (job insecurity) bagi pekerja.

Dengan adanya fenomena diatas kerangka berpikir dan konsep penelitian yang dikembangkan dalam penelitian ini disusun berdasarkan pemikiran mengenai efek dari Job Insecurity terhadap komitmen dan kepuasan kerja dalam hubungannya dengan locus of control. Dalam bentuk model konseptual dapat dilihat pada gambar 3.1 berikut ini.

(47)

Gambar 3.1 peran locus of control dalam hubungan job insecurity dengan komitmen organisasi dan kepasan kerja

Menurut penelitian yang dilakukan Marini (2001) bahwa hasil temuan

menunjukkan variabel job insecurity berpengaruh positif terhadap kepuasan kerja. Hasil penelitian tersebut senada dengan penelitian yang dilakukan Forbes (dalam Asford, 1989) bahwa job insecurity memiliki hubungan yang positif dengan komitmen dan rasa percaya karyawan terhadap perusahaan. Dalam arti bahwa apabila karyawan merasa tidak aman dengan pekerjaan yang sedang dijalaninya maka komitmen terhadap organisasi akan berkurang.

Kepuasan kerja didefinisikan sebagai sesuatu yang menyenangkan atau hasil sisi emosional positif dari penilaian pekerjaan seseorang atau pengalaman kerja menurut locke (1976) berpendapat bahwa kepuasan kerja ditentukan oleh perbedaan antara segala sesuatu yang dirasakan akan ditrima seseorang dari pekerjaannya dan segala sesuatu yang diterima secara aktual. Dalam beberapa

JOB INSECURITY KOMITMEN ORGANISASI KEPUASAN KERJA LOCUS OF CONTROL H1 H2 H4 H3

(48)

penelitian menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara job insecurity dan kepuasan kerja, dimana karyawan dengan job insecurity rendah lebih merasa kurang puas dengan pekerjaannya.

Srianik (2007) dalam penelitiannya mengatakan bahwa terdapat hubungan positif yang sangat signifikan antara locus of control internal dengan komitmen organisasi. Hal ini berarti apabila nilai variabel locus of control internal mengalami kenaikan atau penurunan akan diikuti juga naik turunnya nilai pada variabel komitmen organisasi.

3.2 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah, kajian pustaka dan kerangka konsep maka dapat dikemukakan hipotesis penelitian yaitu sebagai berikut:

Pada riset yang dilakukan oleh Rosenblatt dan Ruvio (1996) menggunakan 326 guru sekolah dasar di Israel sebagai objek penelitiannya, mendapatkan hasil bahwa kondisi kerja dalam sekolah dianggap sebagai kondisi kerja yang tidak terancam. Dalam kondisi ini, ternyata job insecurity mempengaruhi komitmen organisasi, persepsi tentang kinerja, persepsi dukungan organisasi, rencana berpindah, dan bertahan terhadap perubahan.

Sedangkan pada penelitian Ashford (1989) yang berjudul content, causes

and consequences of job insecurity : a theory-based measure and substantive test

mengungkapkan penyebab dan konsekuensi dari ketidakamanan pekerjaan yang dinilai dengan menggunakan ukuran teori berbasis memasukkan argumen konseptual baru. Hasil menunjukkan bahwa pribadi, pekerjaan, dan realitas organisasi terkait dengan kurangnya kontrol yang dirasakan berhubungan dengan

(49)

ketidakamanan pekerjaan diukur. job insecurity, pada gilirannya, menyebabkan reaksi sikap, seperti niat untuk berhenti, komitmen organisasi berkurang, dan kepuasan berkurang. Selain itu, hasil menunjukkan kemungkinan pentingnya informasi dalam mengurangi rasa tidak aman kerja.

Penelitian Rauter, dkk (2004) dengan judul organizational citizenship

behaviours in relation to job status,job insecurity, organizational commitment and identification, job satisfaction and work values. Studi ini meneliti perilaku warga

organisasi (OCBs) dalam sampel dari 154 guru dari Victoria, Australia, di antaranya 101 sibuk dengan pekerjaan tetap dan 53 pada kontrak tetap panjang. Peserta menyelesaikan pengukuran OCBs, ketidakamanan kerja, komitmen organisasi, identifikasi organisasi, kepuasan kerja dan nilai kerja yang berkaitan dengan pengaruh, variasi dan pemanfaatan keterampilan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa guru kontrak lebih merasakan ketidakamanan kerja dan OCBs dibandingkan dengan guru tetap. Dengan adanya ketidakamanan kerja yang tinggi maka akan dapat mempengaruhi komitmen karyawan terhadap organisasi.

Hipotesis pertama :

Dalam tesis ini diduga Job insecurity berpengaruh positif dan signifikan terhadap komitmen organisasi karyawan.

Gambar

Tabel 1.1  Jumlah Pelanggan listrik prabayar PLN Bali Th.2009
Tabel 1.2 Daftar Pegawai PLN (Persero) AP Denpasar   per November Th.2009  NO  JABATAN  JUMLAH  (orang)  1  Manager   2   2  Supervisor  7   3  Assitant Manager  5   4  Assitant Officer   34   5  Assitant Analyst  4   6  Junior Officer  14
Gambar 3.1  peran locus of control dalam  hubungan job insecurity dengan  komitmen organisasi  dan kepasan kerja
Gambar  4.1  Prosedur Penelitian  4.5   Metode Analisis Data
+7

Referensi

Dokumen terkait

Yang dimaksud dengan persetujuan pengoperasian kapal adalah persetujuan pengoperasian kapal yang diterbitkan untuk orang pribadi atau badan guna mengoperasikan kapal

The Smart Campus Demonstrator building at the University of Brescia, Italy, is equipped with sensors to monitor and control comfort, indoor air quality and HVAC parameters, such

Demikian atas perhatian dan kehadirannya disampaikan terima kasih. ASTON

Dalam penerapannya Fungsionalisme mewujudkan bangunan murni tanpa hiasan, sederhana dengan komposisi bidang, kotak, balok, dan kubus, sehingga terbentuk aliran baru, yaitu

Gagasan at au ide dar i Mont esquieu m engaj ar kan dalam suat u negar a har us ada pem isahan kekuasaan anat ar sat u dengan kekuasaan yang lain ( Separ at ion Of Pow er ).

Alat bantu forklift 10 ton untuk pemindah coil ini telah melewati berbagai proses, yaitu analisis secara teori (morfologi) maupun perhitungan, dengan berlandaskan

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan karunia-NYA penulis dapat menyelesaikan tugas akhir yang berjudul “ Perencanaan Geometrik

Permasalahan tersebut menuntut guru untuk menggunakan model pembelajaran yang dapat meningkatkan minat dan kemandirian siswa, oleh karena.. itu diperlukan kegiatan