• Tidak ada hasil yang ditemukan

Wacana iklan televisi rokok Djarum 76 versi Pengin Eksis analisis tanda menurut Roland Barthes

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Wacana iklan televisi rokok Djarum 76 versi Pengin Eksis analisis tanda menurut Roland Barthes"

Copied!
102
0
0

Teks penuh

(1)

WACANA IKLAN TELEVISI

ROKOK DJARUM 76 VERSI “

PENGIN EKSIS

”:

ANALISIS TANDA MENURUT ROLAND BARTHES

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia

Program Studi Sastra Indonesia

Oleh

Clara Natalia Christina Mitak NIM: 134114027

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA

(2)

i

WACANA IKLAN TELEVISI

ROKOK DJARUM 76 VERSI “

PENGIN EKSIS

”:

ANALISIS TANDA MENURUT ROLAND BARTHES

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia

Program Studi Sastra Indonesia

Oleh

Clara Natalia Christina Mitak NIM: 134114027

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA

(3)
(4)
(5)

iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka sebagimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 31 Juli 2017 Penulis

(6)

v

PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:

Nama : Clara Natalia Christina Mitak NIM : 134114027

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:

Wacana Iklan Televisi

Rokok Djarum 76 Versi “Pengin Eksis”: Analisis Tanda Menurut Roland Barthes

beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak menyimpan, mengalihkan dalam bentuk lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas dan mempublikasikannya di internet atau media yang lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya maupun memberikan royaliti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta, Pada tanggal, 31 Juli 2017 Yang menyatakan,

(7)

vi

HALAMAN MOTO DAN PERSEMBAHAN

Kita tertawa bukan karena bahagia,

tetapi kita bahagia karena tertawa

Karya sederhana ini dipersembahkan kepada:

orangtua tercinta, Bapak Lambertus Mitak dan Ibu Maria Kasilda;

(8)

vii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini dengan judul “Wacana Iklan Televisi Rokok Djarum 76 Versi “Pengin Eksis”: Analisis

Tanda Menurut Roland Barthes”. Tugas akhir ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana (S-I) Program Studi Sastra Indonesia di Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma.

Penulis menyadari bahwa tanpa dukungan dan bantuan dari banyak pihak, skripsi ini tidak akan selesai pada waktunya. Oleh sebab itu, dalam kesempatan ini, dari hati yang paling dalam penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. P. Ari Subagyo, M. Hum. selaku pembimbing yang telah menyempatkan diri untuk menilik dan mengarahkan penyusunan skripsi ini.

2. Dr. Yoseph Yapi Taum, M.Hum. selaku Dosen Pembimbing Akademik yang juga ikut mendorong dan menyemangati penulis.

3. Alm. Drs. Hery Antono, M.Hum. yang sempat menjadi pembimbing I dan memberikan banyak masukan berharga.

4. Segenap dosen Program Studi Sastra Indonesia: Susilawati Endah Peni Adji, S.S., M.Hum.; Drs, B. Rahmanto, M.Hum.; Prof. Dr. I. Praptomo Baryadi, M.Hum.; Drs. F.X. Santosa, M.S.; Sony Christian Sudarsono, S.S., M.A., serta dosen-dosen pengampu mata kuliah tertentu yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.

5. Seluruh staf Sekretariat Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma atas berbagai pelayanan dalam urusan akademik.

6. Kedua orangtua tercinta, Bapak Lambertus Mitak dan Ibu Maria Kasilda yang telah memberikan perhatian, dukungan, doa, dan semangat kepada penulis.

7. Kedua adik, Dwiana Faustya Mitak dan Maria Krisaniatri Mitak yang telah memberikan perhatian dan dukungan kepada penulis.

(9)

viii

10. Sahabat terbaik, Heronima Rosalia Ate, Theresia Paramita Hardianti, Lorancia Angela Keo, Fransisca Esti Apriliani, Anna Asi Karwayu, serta teman-teman lainnya yang selalu menemani penulis baik suka maupun duka. 11. Teman-teman kelompok KKN Alternatif tahun 2015 Universita Sanata

Dharma, Kakak Carlos, Kakak Dorce, Esti, Siska, dan Niko yang telah memberikan pengalaman berharga.

13. Seluruh keluarga besar UKM Seni Karawitan Universitas Sanata Dharma yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk belajar berorganisasi dan menabuh gamelan.

Penulis menyadari bahwa hasil penelitian ini merupakan tanggung jawab sepenuhnya penulis. Akhir kata, semoga karya ini bermanfaat.

Penulis

(10)

ix ABSTRAK

Mitak, Clara Natalia Christina. 2017. “Wacana Iklan Televisi Rokok Djarum 76 Versi “Pengin Eksis”: Analisis Tanda Menurut Roland Barthes” Skripsi. Yogyakarta: Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma.

Skripsi ini bertujuan mengungkap makna denotasi, konotasi, dan mitos pada iklan televisi rokok Djarum 76 versi “pengin eksis” berdasarkan tanda-tanda visual dan verbalnya. Analisis makna-makna tersebut menggunakan teori tanda menurut Roland Barthes. Teori tersebut diaplikasikan dengan tujuan mengungkapkan makna denotasi, konotasi, dan mitos.

Pada tahap pengumpulan data, teknik dasar yang digunakan berupa teknik sadap dan teknik lanjutan berupa teknik catat. Pada tahap analisis data, teknik yang digunakan ialah teknik Bagi Unsur Langsung (BUL) dan penggunaan model sistem semiologi Roland Barthes. Pada tahap penyajian hasil analisis data, penyajian secara informal dengan perumusan kata-kata biasa, sedangkan penyajian formal dengan perumusan tabel dan bagan.

Iklan Djarum 76 versi “Pengin Eksis” terbagi menjadi sembilan adegan.

Berdasarkan tanda-tanda verbal dan visualnya, ditemukan makna denotatif dan konotatif sebagai berikut. Pada adegan 1, ditemukan makna denotatif dan konotatif tentang tokoh pria paruh baya dan latar (tempat dan waktu). Pada adegan 2, ditemukan makna denotatif dan konotatif tentang tokoh pria paruh baya dan lampu emas ajaib. Pada adegan 3 ditemukan makna denotatif dan konotatif tentang tokoh jn dan penggabungan dua mitos. Pada adegan 4 ditemukan makna denotatif dan konotatif tentang tokoh jin. Pada adegan 5 ditemukan makna denotatif dan konotatif tentang tokoh pria paruh baya. Pada adegan 6 ditemukan makna denotatif dan konotatif tentang tokoh jin. Pada adegan 7 ditemukan makna denotatif dan konotatif tentang tokoh pria paruh baya. Pada adegan 8 ditemukan makna denotatif dan konotatif tentang tokoh jin serta pada adegan 9 ditemukan makna denotatif dan konotatif tentang logo Djarum 76.

(11)

x ABSTRACT

Mitak, Clara Natalia Christina. 2017. “Discourse of Television Cigarette Advertisement of Djarum 76 "Pengin Eksis" Version: An Analysis of Signs on Roland Barthes”. Thesis. Yogyakarta: Indonesia Literature Studies, Faculty of Letters, Sanata Dharma University.

This thesis aims to reveal the meaning of denotation, connotation, and myths on television cigarette advertisement of Djarum 76 "pengin eksis" version based on visual and verbal signs. The analysis of these meanings uses the sign theory according to Roland Barthes. The theory is applied with the aim of expressing the denotation, connotation, and myth meaning.

At the data collection stage uses tapping techniques and recording techniques. In the data analysis stage uses Immagiate Constituent Analyzing (Indonesian: Bagi Unsur Langsung) technique and used Roland Barthes’s semiological system model. In presentation of data analysis results, at the formal way uses common word, for informal way used tables and charts.

Djarum 76 cigarette advertisement is divided into nine scenes. The denotative and connotative meaning are described based on their verbal and visual signs. In scene 1, there are two the meaning of denotative and connotative about the middle-aged man character and background (place and time). In scene 2, there are two meaning of denotative and connotative about the middle-aged man character and magic gold lamp. In scene 3, there are two meaning of denotative and connotative about the jinn character and the merging of two myths. In scene 4, that is one meaning of denotative and connotative about jinn character. In scene 5, there is one meaning of denotative and connotative about middle-aged man character. In scene 6, there is one meaning of denotative and connotative about jinn character. In scene 7, there is one meaning of denotative and connotative about middle-aged man character. In scene 8, there is one meaning of denotative and connotative about jinn character and in scene 9, there is one meaning of denotative and connotative about Djarum 76 logo.

(12)

xi DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... iv

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... v

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

1.6.1 Semiotika Nonverbal dan Visual ... 8

1.6.2 Teori Tanda menurut Roland Barthes ... 11

1.6.3 Iklan Televisi ... 15

1.7Metodologi Penelitian ... 16

1.7.1 Pengumpulan Data ... 16

1.7.2 Analisis Data ... 16

1.7.3 Penyajian Hasil Analisis Data ... 18

1.8Sistematika Penyajian ... 18

BAB II MAKNA DENOTATIF DAN KONOTATIF BERDASARKAN TANDA-TANDA VISUAL DAN VERBAL DARI IKLAN TELEVISI ROKOK DJARUM 76 VERSI “PENGIN EKSIS” 2.1 Pengantar ... 19

2.2 Adegan 1 ... 20

(13)

xii

2.2.2.1.3 Lingkungan Kelas Menengah ke Bawah ... 32

2.2.2.2 Latar Waktu ... 32

2.6.1.1.2 Kepercayaan Masyarakat ... 51

(14)

xiii

2.9 Adegan 8 ... 57

2.9.1 Tokoh Jin ... 58

2.9.1.1 Tindakan ... 58

2.9.1.2 Foto Peringatan ... 58

2.9.1.3 Warna Jingga ... 60

2.10 Adegan 9 ... 62

2.10.1 Logo Djarum 76 ... 62

BAB III MITOS DALAM IKLAN TELEVISI ROKOK DJARUM 76 VERSI PENGIN EKSIS” 3.1 Pengantar ... 65

3.2 Mengekalkan Branding ... 66

3.3 Menunjukkan Eksistensi sebagai Rokok Rakyat ... 69

3.4 Melestarikan Budaya ... 72

3.5 Mengkritik Budaya “Pengin Eksis” ... 73

3.6 Membangun Citra Humoris ... 75

3.7 Menunjukkan Kuasa Produsen Rokok ... 77

BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan ... 81

4.2 Saran ... 82

(15)

xiv

DAFTAR GAMBAR DAN TABEL

Gambar 1: Potongan Adegan dalam Iklan Televisi Rokok Djarum

76 versi “Pengin Eksis” ... 3

Gambar 2: Sistem Semiologis Tingkat Kedua (The Second Order Semiological System) menurut Barthes (2007: 85) ... 13

Gambar 3: Adegan 1 ... 20

Gambar 4: Adegan 2 ... 35

Gambar 5: Adegan 3 ... 40

Gambar 6: Adegan 4 ... 47

Gambar 7: Adegan 5 ... 50

Gambar 8: Adegan 6 ... 53

Gambar 9: Adegan 7 ... 55

Gambar 10: Adegan 8 ... 57

Gambar 11: Adegan 9 ... 62

Tabel 1 Penandaan Denotatif dan Konotatif Adegan 1 ... 33

Tabel 2 Penandaan Denotatif dan Konotatif Adegan 2 ... 39

Tabel 3 Penandaan Denotatif dan Konotatif Adegan 3 ... 46

Tabel 4 Penandaan Denotatif dan Konotatif Adegan 4 ... 49

Tabel 5 Penandaan Denotatif dan Konotatif Adegan 5 ... 52

Tabel 6 Penandaan Denotatif dan Konotatif Adegan 6 ... 54

Tabel 7 Penandaan Denotatif dan Konotatif Adegan 7 ... 57

Tabel 8 Penandaan Denotatif dan Konotatif Adegan 8 ... 61

(16)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Semiotika adalah model penelitian yang memperhatikan tanda-tanda dalam masyarakat, hal-hal yang membangun tanda-tanda, dan hukum-hukum yang mengaturnya. Istilah semiotika sering digunakan bersama dengan istilah semiologi. Pada dasarnya, dua istilah ini merupakan istilah untuk bidang keilmuan yang sama.

Menurut Parmentier (dalam Christomy, 2004: 111), pengikut Peirce acap kali membedakan semiotik dan semiologi. Mereka menyebut semiotik untuk aliran Peirce dan semiologi sebagai khas Saussure. Saussure menggunakan istilah semiologi dengan analogi jelas terhadap istilah lainnya yang berakhir dengan –

logi, seperti psikologi, biologi, antropologi (dari bahasa Yunani logos “kata”,

“kajian”), sementara Peirce memperkenalkan istilah Locke karena ia melihat

semiotika konsisten dengan tradisi sebelumnya atau melihat disiplin ini sebagai bentuk penelaahan yang berorientasi pada filsafat.

Istilah semiologi juga digunakan untuk menyebut kajian berbahasa Perancis, sementara semiotika untuk kajian berbahasa Inggris. Menurut Danesi (2010: 13) keduanya adalah perspektif yang saling melengkapi yang dapat dengan

mudah dipadukan menjadi keseluruhan “ilmu tanda”, betapapun kita ingin

(17)

Sejak pertengahan abad ke-20, semiotika telah tumbuh menjadi bidang kajian yang sungguh besar, di antaranya kajian bahasa tubuh, bentuk-bentuk seni, wacana retoris, komunikasi visual, media, mitos, naratif, bahasa, artefak, isyarat, kontak mata, pakaian, iklan, makanan, upacara (Danesi, 2010: 6). Iklan salah satunya, hal yang selama ini akrab dengan kehidupan kita, yang muncul melalui media baik televisi, radio, koran, dan sebagainya merupakan sekumpulan tanda yang mengandung pesan, kode, dan makna.

Berdasarkan fenomena di atas, fokus dasar pada studi ini adalah pandangan terhadap periklanan khususnya iklan televisi sebagai sebuah sistem yang menciptakan tanda. Objek sasaran dari penelitian ini ialah iklan televisi

rokok Djarum 76 versi “PenginEksis”. Teori tanda yang digunakan peneliti ialah teori tanda yang dikembangkan oleh Roland Barthes.

Alasan peneliti memilih untuk menerapkan teori tanda menurut Roland Barthes pada iklan televisi rokok Djarum 76 versi “Pengin Eksis” ialah untuk melihat makna iklan tersebut secara lebih mendalam (tidak hanya dari makna sebenarnya (denotasi) tetapi juga ke tahap yang lebih lanjut yaitu makna konotasi hingga ke mitos-mitosnya). Adapun alasan lainnya ialah hal-hal yang membuat iklan rokok Djarum 76 ini mampu menanamkan persepsi dengan baik di benak konsumen. Dengan alasan tersebut, penelitian ini akan mengungkapkan makna denotatif dan konotatif dari iklan televisi rokok Djarum 76 versi “Pengin Eksis”

(18)

Iklan Djarum 76 versi “pengin eksis” terdiri dari sembilan adegan, yang menggambarkan parodi kehidupan masyarakat kalangan menengah ke bawah yang bergelut dengan kehidupan yang serba sulit. Tokoh utamanya memimpikan perubahan melalui sebuah keajaiban dalam hidupnya sesuai mitos yang beredar dalam masyarakat yaitu pertolongan dari jin. Salah satu potongan adegan dalam

iklan rokok Djarum 76 versi “Pengin Eksis” dapat dilihat pada Gambar 1 di bawah ini:

Gambar 1: Potongan Adegan dalam Iklan Televisi Rokok Djarum 76 versi “Pengin Eksis”

Hasil analisis berupa makna denotatif, konotatif, dan mitos berdasarkan tanda visual (pakaian jin) dan verbal (“Kuberi satu permintaan”) pada Gambar 1, ialah sebagai berikut: makna denotasi tanda visual menyatakan bahwa jin mengenakan pakaian adat Jawa Tengah (jawi jangkep) yang berwarna emas serta merah marun, makna konotasi berupa simbol kemegahan dan kekuasaan, sedangkan pada tingkat mitos dilihat sebagai bentuk dari pelestarian kebudayaan. Dari contoh ini, alasan peneliti untuk memaknai iklan rokok Djarum 76 versi

(19)

Berdasarkan latar belakang masalah itu maka penelitian ini akan mengungkap makna pada wacana iklan televisi rokok djarum 76 versi “pengin

eksis” dengan teori tanda menurut Roland Barthes.

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1.2.1 Makna denotatif dan konotatif apakah yang terungkap dari iklan televisi rokok Djarum 76 versi “Pengin Eksis” berdasarkan tanda-tanda visual dan verbalnya?

1.2.2 Mitos apakah yang terungkap di balik iklan televisi rokok Djarum 76

versi “PenginEksis”?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian dalam penulisan ini adalah :

1.3.1 Mendeskripsikan makna denotatif dan konotatif yang terungkap dari iklan televisi rokok Djarum 76 versi “Pengin Eksis” berdasarkan tanda-tanda visual dan verbalnya.

1.3.2 Mendeskripsikan mitos yang terungkap di balik iklan televisi Djarum76

(20)

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian berguna untuk memberikan jawaban permasalahan baik secara teoretis maupun praktis. Secara teoretis ialah untuk mengembangkan teori tanda Roland Barthes atau menjadi contoh penerapan teori Roland Barthes dalam analisis wacana iklan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap studi ilmu bahasa terutama dalam kajian semiotika dalam wacana iklan dan memperkaya keilmuan di bidang analisis tanda.

Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi rujukan bagi para peneliti yang berminat menganalisis lebih lanjut tentang iklan, tanda, dan wacana. Diharapkan pula agar penelitian mampu menjadi panduan dalam menganalisis iklan melalui analisis tanda yang berlapis.

1.5 Tinjauan Pustaka

Sejauh ini telah banyak penelitian yang mengkaji wacana iklan rokok yang ada di Indonesia, di antaranya Arlis As Ary (2008), Mirah Hapsari (2013), Wahyu Dwi Asih dan Helni Mutiarsih Jumhur (2012), Abid Helmy (2012), dan Rangga Galura Gumelar (tt). Skripsi Arlis berjudul Maksud Ungkapan-Ungkapan yang Dipergunakan dalam Iklan Rokok di Media Cetak antara Tahun 2006-2007.

Beberapa merek rokok yang ditelitinya, yaitu Sampoerna A Mild, Sampoerna

(21)

2006-2007 itu berupa; menarik minat sekaligus mendekatkan diri kepada konsumen, pada umumnya tidak menggunakan kerangka bahasa Indonesia yang baik dan benar serta melanggar Ejaan Yang Disempurnakan (EYD), menggunakan unsur dialek bahasa daerah, menggunakan gaya bahasa hiperbola dan personifikasi, dan bermaksud untuk menjalin keakraban dengan konsumennya.

Selanjutnya, studi makna konotasi pada iklan luar ruang rokok produk PT Djarum oleh Mirah Hapsari pada tahun 2013. Mahasiswa Jurusan Desain, Institut Seni Indonesia, Yogyakarta ini menggunakan kajian semiotika pada media

billboard produk PT Djarum di wilayah Daerah Isrtimewa Yogyakarta. Ia menguraikan makna konotasi yang terkandung dalam billboard tersebut. Kesimpulan yang diambilnya ialah media billboard yang dibuat oleh perusahaan rokok digunakan sebagai media komunikasi promosi kepada target audience-nya. Diketahui pula bahwa setiap produk memiliki target audience-nya masing-masing, sehingga bahasa penyampaian, isi pesan, dan visualisasinya akan berbeda.

Pada kasus iklan televisi rokok Djarum 76, versi-versi yang telah ditelaah dan dikaji berupa; Tersesat di Pulau Terpencil, Kawin dengan Mawar Kembang Desa, Jangkrik, Jin Serakah (Matrealistis), Jin Ketipu, Pengin Kaya Pengin Ganteng, Sogokan, Dimarahi Istri, Kontes Jin, dan Naik Pangkat (Wakil Dibuang). Wahyu Dwi Asih dan Helni Mutiarsih Jumhur memilih versi

(22)

yang terdapat pada iklan. Elemen-elemen tersebut berupa heard word and sound effect (kata kata yang didengarkan dan efek suara), music (musik), seen word

(kata-kata yang telihat), picture (gambar), colour (warna), dan movement

(gerakan).

Wahyu Dwi Asih dan Helni Mutiarsih Jumhur menyimpulkan bahwa; pertama, iklan televisi Djarum 76 merupakan iklan kreatif yang berbalut komedi dan humor sehingga mendapat tempat di masyarakat terlepas dari perundang-undangan yang dibuat oleh pemerintah. Kedua, iklan tersebut merupakan media kritik sosial sebab mengangkat fenomena Gayus Tambunan sebagai simbol kebobrokan sistem dan budaya yang ada di tubuh perangat pemerintah. Ketiga, iklan televisi rokok Djarum 76 versi “Sogokan” ini mencerminkan budaya korupsi pada akhirnya menempatkan masyarakat kecil menjadi korban.

(23)

lebih rasional adalah bahwa praktek korupsi itu tetap diberantas dan ditekan hingga ke titik terendah dari tingginya praktek korupsi yang terjadi di Indonesia.

Selanjutnya, penerapan teori semiotika oleh Rangga Galura Gumelar pada iklan televisi Djarum 76 versi “Naik Pangkat”. Ia mengutarakan bahwa iklan televisi Djarum 76 menjadi iklan yang akan dikenang masyarakat karena konsep dan tema kritik sosial yang disuguhkan dalam iklannya. Kode-kode yang digunakan oleh pengiklan kemudian dapat dimaknai dan dijadikan sebagai perbaikan sistem atau menjadi perhatian masyarakat umumnya. Kode kultural masih tetap dijaga dengan pakaian adat dan kekuatan mayoritas masyarakat masih tetap dipegang oleh simbol-simbol Jawa.

Dengan demikian, penelitian terhadap iklan televisi Djarum 76 versi

Pengin Eksis” merupakan penelitian yang baru dilakukan. Adapun penelitian ini merupakan pengembangan dan pelengkap kajian terhadap iklan televisi Djarum 76 versi sebelumnya. Penjelasan dan uraian yang akan dilakukan merupakan jawaban atas pertanyaan dan permasalahan yang belum terpecahkan dalam penelitian sebelumnya.

1.6 Landasan Teori

1.6.1 Semiotika Nonverbal dan Visual

(24)

kita mengikuti pandangan Peirce, semiotika tidak lain daripada sebuah makna lain

bagi logika, yakni “doktrin formal tentang tanda-tanda”; sementara bagi Saussure, semiologi adalah sebuah ilmu umum tentang tanda, “suatu ilmu yang mengkaji kehidupan tanda-tanda di dalam masyarakat” (Budiman, 2011: 3).

Sebenarnya, istilah semiotics diperkenalkan oleh Hippocrates (460-377 SM), penemu medis Barat, seperti ilmu gejala-gejala (Danesi, 2010: 7). Gejala, menurut Hippocrates, merupakan semeion____bahasa Yunani untuk “penunjuk” (mark) atau “tanda” (sign) fisik.

Teori tanda pertama yang sebenarnya diperkenalkan oleh Santo Agustinus (354-430 M) walau ia tidak menggunakan istilah semiotika untuk mengidentifikasikannya. Ia mendefinisikan tanda alami sebagai tanda yang ditemukan secara harafiah di alam. Ia membedakan jenis tanda ini dengan tanda

konvensional, yaitu tanda yang dibuat manusia (Danesi, 2010: 11). Dalam teori semiotika modern saat ini, tanda konvensional dibagi menjadi tanda verbal dan

nonverbal. Jadi, gambar dan isyarat adalah contoh tanda nonverbal, sedangkan kata dan struktur linguistik lainnya (ekspresi, frasa, dan lain-lain) adalah contoh tanda verbal. Fokus pada tanda verbal akan tercangkup dalam teori tanda menurut Roland Barthes, sementara tanda nonverbal akan tercangkup dalam semiotika nonverbal dan visual di bawah ini.

(25)

berbagai bidang keilmuan yang sangat luas yang menciptakan cabang-cabang semiotika khusus, di antaranya semiotika sastra, semiotika televisi, semiotika

fashion. Semiotika film, dan termasuk semiotika nonverbal serta semiotika visual. Kedipan mata, isyarat tangan, ekspresi wajah, postur tubuh, dan tindakan badaniah lainnya merupakan tanda dan kode pada perilaku nonverbal. Perilaku ini dihasilkan oleh persepsi yang relevan dengan budaya dalam situasi-situasi sosial tertentu. Danesi (2010: 64) menyebut perilaku semacam ini sebagai sesuatu yang lebih dari sekadar zat fisik melainkan tanda yang mengomunikasikan sesuatu. Secara teknis, studi atas tanda-tanda ini diberi nama semiotika nonverbal.

Perilaku nonverbal tampak alamiah karena diperoleh secara osmotik (tanpa dipikirkan) dalam konteks kultural. Pada kenyataannnya, perilaku ini sebagaian besar berasal dari kesepakatan menurut sejarah, bukan dari kewajaran atau tiadanya kewajaran. Pendeknya, nilai-nilai sosial, jenis-jenis pesan yang dibuat dengan tanda nonverbal selalu melibatkan konotasi, artinya pesan-pesan itu jarang ditafsirkan sebagai murni sinyal fisik.

Selanjutnya ialah studi tentang tanda visual. Tanda-tanda visual adalah simbol visual yang bersifat ringkas dan abstrak serta mengarah pada komunikasi melalui gambar. Studi tanda visual disebut semiotika visual. Semiotika visual pada dasarnya merupakan salah sebuah bidang studi semiotika yang secara khusus menaruh minat pada penyelidikan terhadap segala jenis makna yang disampaikan melalui sarana indra lihat (visual senses).

(26)

dapat dilihat (bukan didengar, disentuh, dikecap, atau dicium). Seperti semua tanda lainnya, tanda visual dapat dibentuk secara ikonis (wajah-wajah), indeksikal (anak panah yang menunjukkan arah), dan simbolis (logo iklan).

1.6.2 Teori Tanda menurut Roland Barthes

Teori tanda menurut Roland Barthes merupakan teori yang dikembangan berdasarkan sistem penandaan (signifiant) oleh Ferdinand de Saussure. Saussure membagi sistem penandaan menjadi dua bagian, yaitu signifiant (penanda, bentuk) dan signifié (petanda, makna). Hubungan antara penanda dan petanda merupakan hubungan langsung, yaitu penanda secara langsung menandai petanda. Bidang penanda untuk menjelaskan bentuk atau ekspresi, sedangkan bidang petanda untuk menjelaskan konsep atau isi. Prinsip Saussure ini menekankan bahwa semiotika sangat menyandarkan dirinya pada aturan main atau kode sosial yang berlaku di dalam masyarakat, sehingga tanda dapat dipahami maknanya secara kolektif.

Selain itu, aliran strukturalisme pun menekankan pentingnya analisis sinkronik untuk menjelaskan relasi dan sistem tanda yang diteliti. Saussure pun

menghubungkan konsep sinkronik tersebut dengan “waktu” atau aspek diakronik.

(27)

Roland Barthes mengembangkan sebuah model relasi antara apa yang disebutnya sistem, yaitu perbendaharaan tanda (kata, visual, gambar, benda) dan sintagma, yaitu cara pengkombinasian tanda berdasarkan aturan main tertentu. Ia merumuskan sistem penandaan terdiri dari dua lapis, tiga lapis, dan seterusnya, karena ia percaya masing-masing tanda memiliki beberapa kemungkinan makna atau hubungan antara ekspresi dan isi terjadi pada manusia lebih dari satu tahap. Berdasarkan sistem itu, dikembangkanlah dua tingkatan pertandaan (staggered system), yang memungkinkan untuk dihasilkannya makna yang juga bertingkat-tingkat, yaitu tingkat denotasi dan konotasi. Seperti yang ditulis dalam bukunya,

berikut ini:

Juga dalam sebuah teks tertulis, teks membuat kita terus-menerus membaca suatu message kedua yang terdapat di antara baris-baris kata

message pertama: jika saya membaca judul besar Paus Paulus IV Takut, judul itu juga ingin mengatakan: jika anda membaca lanjutannya, anda akan mengetahui kenapa Paus Paulus IV takut (Barthes, 2007: 264). Barthes menyebut sistem pemaknaan berlapis tersebut dengan sebutan sistem pemaknaan tataran kedua atau sistem semiologis tingkat kedua (the second order semiological system), yang dibangun di atas sistem lain yang telah ada sebelumnya.

(28)

(conotative meaning). Pada tataran selanjutnya, ia menyebut dengan istilah mitos (myth). Tingkatan makna menurut Barthes ini dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 2: Sistem Semiologis Tingkat Kedua

(The Second Order Semiological System) menurut Barthes (2007: 85)

Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda, atau antara tanda dan rujukannya pada realitas, yang menghasilkan makna yang eksplisit, langsung, dan pasti. Makna denotasi dalam hal ini ialah makna pada apa yang tampak. Misalnya, foto wajah Soeharto berarti wajah Soeharto yang sesungguhnya. Denotasi adalah tanda yang penandanya mempunyai tingkat konvensi atau kesepakatan yang tinggi.

(29)

Selain itu, Roland Barthes juga melihat makna yang lebih dalam tingkatannya, akan tetapi lebih bersifat konvensional, yaitu makna-makna yang berkaitan dengan mitos. Mitos adalah pengkodean makna dan nilai-nilai sosial (yang sebetulnya arbitrer dan konotatif) sebagai sesuatu yang dianggap alamiah. Mitos atau tanda konotatif tidak hanya memiliki makna tambahan, namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Inilah sumbangan Barthes yang amat berarti bagi penyempurnaan semiologi Saussure, yang berhenti pada tataran denotatif.

Konotasi dalam kerangka Barthes, identik dengan kerangka ideologi, yang

disebutnya sebagai “mitos”, dan berfungsi untuk mengungkapkan dan

memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku pada dalam suatu periode tertentu. Dengan kata lain, mitos adalah juga suatu sistem pemaknaan tataran kedua yang petandanya dapat memilki beberapa penanda (Budiman dalam

Semiotika Budaya, 2004: 259).

Jadi, ketika suatu tanda yang memiliki makna konotasi kemudian berkembang menjadi makna denotasi, makna denotasi tersebut akan menjadi mitos. Misalnya, pohon beringin yang rindang dan lebat menimbulkan konotasi

“keramat” karena dianggap sebagai hunian para makhluk halus. Konotasi

“keramat” ini kemudian berkembang menjadi asumsi umum yang melekat pada

simbol pohon beringin, sehingga pohon beringin yang keramat bukan lagi menjadi sebuah konotasi tetapi berubah menjadi denotasi pada pemaknaan tingkat kedua.

Pada tahap ini, “pohon beringin yang keramat” akhirnya dianggap sebagai sebuah

(30)

1.6.3 Iklan Televisi

Istilah iklan berasal dari bahasa Arab, yaitu I‟lan. Istilah dalam bahasa

Arab ini yang kemudian oleh lidah Indonesia dilafalkan menjadi „iklan‟. Istilah iklan lebih lazim digunakan dengan alasan semangat anti-Barat, khususnya Belanda yang menjajah Indonesia saat itu. Menurut Widyatama (2005: 14) pemilihan istilah dari bahasa Arab juga dipilih karena faktor penyebaran agama Islam yang begitu pesat dan kebudayaan Arab yang mudah diterima oleh masyarakat.

Dalam perspektif iklan, cenderung ditekankan pada aspek penyampaian pesan yang kreatif dan persuasif yang disampaikan melalui media khusus. Sebagaimana pandangan iklan oleh Klepper yang dikutip oleh Widyatama, bahwa iklan berasal dari bahasa Latin, ad-vere yang berarti mengoperkan pikiran gagasan kepada pihak lain. Pengertian ini sama halnya dengan pengertian komunikasi yang cenderung menekankan sebagai proses penyampaian pesan dari komunikator kepada komunikan.

Seperti pengertian iklan yang sama dengan pengertian komunikasi, Kasali (1992: 51) juga mengakui bahwa tujuan iklan pada umumnya mengandung misi komunikasi. Periklanan adalah suatu komunikasi massa dan harus dibayar untuk menarik kesadaran, menanamkan informasi, mengembangkan sikap, atau mengharapkan adanya suatu tindakan yang menguntungkan bagi pengiklan.

(31)

personal, disampaikan untuk khalayak tertentu, dilakukan dengan cara membayar, dan mengharapkan dampak tertentu.

1.7 Metododologi Penelitian

Prosedur yang dilakukan oleh penelitian ini berfokus pada iklan televisi

rokok Djarum 76 versi “Pengin Eksis”. Selanjutnya akan dianalisa makna denotasi, konotasi, dan mitos berdasarkan tanda-tanda verbal dan visual dari sembilan potongan adegan yang telah dibagi.

1.7.1 Pengumpulan Data

Metode yang digunakan pada tahap pengumpulan data ialah “metode simak” atau “penyimakan” (Sudaryanto, 2015: 203). Metode simak ialah metode saat peneliti menyimak atau mengamati penggunaan bahasa dari objek penelitian. Adapun teknik dasar yang digunakan ialah teknik sadap, sedangkan untuk teknik lanjutan digunakan teknik catat (Sudaryanto, 2015: 205). Kedua teknik ini digunakan ketika menyadap penggunaan bahasa objek penelitian kemudian dilakukan pencatatan pada kartu data yang segera dilanjutkan dengan klarifikasi.

1.7.2 Analisis Data

(32)

digunakan pada awal kerja analisis ialah membagi satuan lingual datanya menjadi beberapa bagian atau unsur; dan unsur-unsur yang bersangkutan dipandang sebagai bagian yang langsung membentuk satuan lingual yang dimaksud.

Untuk menjawab rumusan masalah yang pertama, metode yang digunakan ialah dengan menangkap sistem signifikasi pada message pertama yang oleh Barthes (2007: 282) disebut dengan denotasi. Message pertama ini ditangkap melalui pemahaman secara literal, yaitu dengan melihat sekelompok signifiant

-signifiant yang mengacu kepada suatu korpus signifié-signifié yang juga memadai. Kemudian, sistem yang pertama (denotasi simpel) menjadi wilayah ekspresi atau

signifiant dari sistem kedua. Signifiant message kedua menjadi konotasi bagi

message yang pertama (Barthes, 2007: 82). Message kedua didapat berdasarkan penyatuan garis-garis style (figur-figur style, metafora, potongan kalimat, gabungan kata-kata) yang berasal dari retorika dengan kalimat literal yang telah diabstraksikan dari message totalnya.

Untuk menjawab rumusan masalah yang kedua, Barthes (2007: 284) mengatakan bahwa perlunya untuk menjelaskan peran yang dimainkan oleh

(33)

1.7.3 Penyajian Hasil Analisis Data

Hasil analisis data yang berupa kaidah penggunaan bahasa disajikan secara informal dan formal. Metode penyajian informal adalah perumusan dengan kata-kata biasa walaupun dengan terminologi yang teknis sifatnya, sedangkan penyajian formal adalah perumusan dengan tabel dan bagan (Sudaryanto, 2015: 241)

1.8 Sistematika Penyajian

Penelitian ini dibagi menjadi empat bab dan sistematikanya dapat dirinci sebagai berikut. Bab I berisi pendahuluan, yang berfungsi sebagai pengantar. Bab I terdiri dari delapan sub bab, yaitu latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitan, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penyajian.

(34)

19 BAB II

MAKNA DENOTASI DAN KONOTASI BERDASARKAN TANDA-TANDA VISUAL DAN VERBAL DARI IKLAN TELEVISI DJARUM 76

VERSI “PENGIN EKSIS”

2.1Pengantar

Roland Barthes (2007: 281) menyebut iklan sebagai sebuah message sebab iklan mengandung suatu sumber yang mengeluarkannya, yaitu perusahaan yang menghasilkan produk yang diluncurkan (dan dibanga-banggakan), suatu titik resepsi-penerimaan, yaitu publiknya, dan suatu saluran transmisi, yang disebut orang sebagai support iklan itu. Menurutnya, pada satu kalimat iklan sesungguhnya mengandung dua message.

Message yang pertama dibuat lewat kalimat yang ditangkap dari literasinya, dengan mengabaikan intensi publisiternya atau tidak akan memperhitungkan metafora yang terdapat dalam iklan. Dengan kata lain, signifiant-signifiant ini mengacu kepada suatu korpus signifié-signifié yang juga memadai. Dalam hubungannya dengan apa yang nyata dan harus “diterjemahkan” oleh langage.

Message yang pertama ini disebut message denotasi atau yang disebut Barthes (2007: 282) sebagai denotasi simpel.

Message yang kedua berupa hubungan antara signifiant dan signifié, yang di dalamnnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung dan tidak pasti (artinya terbuka terhadap berbagai kemungkinan). Signifiant message kedua sesungguhnya dibuat oleh message pertama seutuhnya. Itulah sebabnya message

(35)

kedua terbentuk ketika signifiant dikaitkan dengan berbagai aspek psikologis, seperti perasaan, emosi, atau keyakinan.

Pemaparan Barthes di atas merupakan hal yang akan dibahas pada bab ini. Makna denotasi dan konotasi yang akan diungkap akan berdasar pada tanda-tanda verbal dan visual pada setiap potongan adegan dari iklan televisi rokok Djarum 76

versi “Pengin Eksis”.

2.2Adegan 1

Potongan Adegan 1 menyajikan beberapa tanda visual di antaranya tokoh pria paruh baya yang mengenakan pakaian sederhana, ia berada pada sebuah gang, pada gang tersebut terdapat barang-barang yang berserakan. Selain itu, terdapat tanda visual telepon umum, gerobak angkringan, motor, dan lainnya yang dekat tokoh tersebut. Berdasarkan tanda-tanda visual ini, peneliti membaginya menjadi dua, yaitu (a) tokoh pria paruh baya dan (b) latar. Tanda visual yang disebutkan dapat dilihat pada Gambar 3 di bawah:

(36)

2.2.1 Tokoh Pria Paruh Baya

Sistem penandaan yang menonjol dari tokoh pria paruh baya pada Adegan 1 mencakup: (i) usia, (ii) penampilan, dan (iii) tindakannya.

2.2.1.1 Usia Pria

Melalui visualisasi pria paruh baya pada Gambar 3 dapat ditelusuri makna konotasi melalui penjabaran kode kebudayaan pada aspek pengetahuan. Aspek pengetahuan pada penandaan tataran pertama ini berkaitan dengan pemahaman "kehidupan dimulai pada usia 40". Persoalan makna konotasi pada aspek usia pria berhubungan dengan alasan dipilihnya tokoh ini sebagai karakter utama dalam

iklan Djarum 76 versi “Pengin Eksis”. Alasan itu berupa tolok ukur dan contoh akan keputusan apa yang diambil oleh pria paruh baya jika ditawari sebuah peluang.

Seorang psikolog Amerika bernama Walter B. Pitkin, pada tahun 1932 mengeluarkan buku yang berjudul Life Begins at Forty. Ia mengupas tentang usia 40 tahun dari perspektif Barat yang kental dengan materialisme. Menurutnya, usia 40 merupakan usia saat seseorang telah mencapai golden age yang diukur dari parameter kasat mata: karier yang telah mapan, pendapatan yang lumayan, status sosial cukup terpandang, dan harta yang menjulang.

(37)

tentang hal yang akan dilakukannya dan tidak dari segi lahiriah saja, sebab kecerdasan akal pada usia ini sedang mencapai puncaknya.

Penjabaran di atas menuntun pada suatu titik bahwa usia, kematangan, kedewasaan pada diri pria paruh baya digunakan sebagai tolok ukur dan contoh akan keputusan atau kebijakan yang diambilnya jika ditawari sebuah peluang (penjelasan ada pada 2.5). Oleh karena itu, ia menjadi tokoh protagonis dalam

iklan televisi rokok Djarum 76 versi “Pengin Eksis”.

2.2.1.2 Penampilan

Pada aspek penampilan, pria paruh baya diidentifikasikan sebagai orang Indonesia (khususnya pribumi) dan ia berada pada kelas menengah ke bawah. Selanjutnya sistem penandaan ini akan disajikan menjadi dua sub, yaitu fisik dan busana.

2.2.1.2.1 Fisik

(38)

Yulianto dalam bukunya yang berjudul Pesona „Barat‟: Analisis Kritis -Historis tentang Kesadaran Warna Kulit Indonesia menjabarkan berbagai hal mengenai sentimen warna kulit. Menurutnya sentimen tersebut dibangun oleh globalisasi, kapitalisme, kelas, kekuasaan, dan superioritas. Sentimen ini pun mampu menunjukkan secara signifikan mentalitas rendah diri bangsa Timur dan keterpesonaan mereka terhadap warna kulit orang Barat. Meskipun penelitian yang dilakukan oleh Yulianto lebih difokuskan pada keterpesonaan wanita Indonesia terhadap kulit putih____dengan mengonsumsi produk pemutih____pada poin ini peneliti akan mengaitkannya dengan warna kulit yang dimiliki oleh pria paruh baya.

Pertama ialah idealisme warna kulit bangsawan. Dalam penelitian Yulianto (2007: 44-48), idealisme warna kulit keraton Surakarta adalah kuning/kuning gading____peneliti mengaitkannya sebagai idealisme warna kulit bangsawan. Hal ini dibuktikannya berdasarkan penemuan akan idealisme warna kulit orang Jawa dalam literatur Jawa, yaitu kakawin. Dalam literatur tersebut, kulit yang kekuning-kuningan disebut kulit indah, sedangkan dalam kecantikan priyayi bisa dideskripsikan sebagai gelap atau kehitam-hitaman. Dalam visualisasi kulit sawo matang pria paruh baya, secara jelas menunjukkan bahwa ia bukan berasal dari golongan bangsawan.

(39)

ialah warna kuning gading/kekuning-kuningan telah bergeser menjadi warna putih khas orang Barat.

Dapat disimpulkan bahwa pesan-pesan iklan pemutih kulit___yang bersifat halus, tak terasa, dan tak terlihat memaksa____secara pasti menjadi idealisme warna kulit tunggal Indonesia kontemporer. Dari standar tersebut, diketahuilah bahwa idealisme warna kulit orang kota ialah putih seperti orang Barat dan karena kulit pria paruh baya tidak putih berarti ia bukan orang kota.

Adapun pemaparan idealisme kulit ini menunjukan secara pasti bahwa strategi pemasaran produk pemutih (dalam melokalkan, menggeneralisasikan, memperdalam atau memperluas gairah keinginan orang Asia terhadap kulit putih) tidak terjangkau kepada pria paruh baya. Atau dengan kata lain, indroktinasi dan persuasi akan kulit putih sebagai sebuah keharusan untuk feminitas pun tidak mampu membuat ras cokelat yang satu ini untuk mengamini pesan tersebut.

Bukti ketiga ialah identifikasi golongan pribumi. Kulit sawo matang yang dimiliki pria paruh baya (Yulianto menyebut jenis kulit ini dengan ras cokelat) merupakan bukti kuat bahwa ia dari golongan pribumi ditunjukkan Yulianto melalui pengutipan perkataan Soekarno dalam biografi yang berjudul Soekarno an Autobiography As Told to Cindy Adams:

Klub sepak bola adalah pengalaman traumatik bagiku. „Hey kamu kulit

cokelat!...Hey orang kulit cokelat! Bodoh dan miskin … Pribumi …

Inlander … Petani … Hey, kamu lupa pakai sepatu…‟ „Meski anak bule

yang masih kecil pun sudah tahu meludahi kami, inilah hal pertama yang diajarkan oleh orangtua mereka setelah tidak lagi memakai popok (Yulianto, 2007: 73).

(40)

pria paruh baya pada Gambar 3. berasal dari golongan pribumi dan bukan golongan bangsawan atau orang kota.

2.2.1.2.2 Busana

Ibrahim (dalam Barnard, 2009: vi) mengatakan bahwa pakaian atau busana adalah sesuatu yang erat dengan diri kita. Pakaian menjadi perlambang jiwa. Pakaian bisa menunjukkan siapa pemakainya. Pakaian yang kita kenakan membuat pernyataan tentang diri kita. Bahkan jika kita bukan tipe orang yang peduli soal busana, orang yang bersama dan berinteraksi dengan kita tetap akan selalu menafsirkan penampilan kita seolah-olah kita sengaja membuat suatu pesan. Pernyataan ini membawa kita pada fungsi komunikasi dan nonkomunikasi dari pakaian yang kita kenakan dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam suasana formal maupun informal.

Dalam pemilihan busana pria paruh baya pun, sangat mungkin untuk menunjukkan atau mengonstruksi keanggotaan satu kelas sosial di dalam suatu masyarakat. Barnard (2009: 89) menguraikan dengan jelas mengenai definisi peran sosial yang dimiliki seseorang berdasarkan pakaian atau fashion yang dikenakannya. Busana yang dikenakannya mampu merefleksikan bentuk organisasi ekonomi tempat ia hidup atau pakaian yang dikenakannya pula menggambarkan jenis pekerjaan tertentu, posisi, dan nilai atau status sosialnya.

(41)

seseorang. Warna mampu mempengaruhi kegiatan fisik dan mental. Selera terhadap warna tertentu juga menunjukkan bahwa warna mempengaruhi emosi dan kepribadian seseorang. Melalui warna pun perepresentasian sifat pria paruh baya dapat diketahui. Setelah ditilik kembali, apa sajakah perepresentasian tersebut? Perepresentasian ini mencangkup kaos abu-abu, celana jin hitam, dan sepatu kets kumal.

a. Kaos Abu-abu

Tataran konotasi, kaos abu-abu longgar dapat dinyatakan mendenotasikan seseorang tidak sedang bekerja dan dalam suasana informal. Selain itu, pemilihan warna abu-abu pada pria paruh baya menunjukkan berbagai macam sifat.

(42)

b. Celana Jins Hitam

Celana jins panjang yang dikenakan pria paruh baya dapat digunakan untuk menunjukkan kelelakian sebab celana panjang sudah diidentifikasi secara eksklusif. Penunjukkan kelelakian ini berkaitan dengan pemilihan warna jins yang dikenakannya.

Berkaitan dengan makna warna hitam, Prawira menggolongkan warna ini ke dalam golongan warna dingin. Warna hitam menunjukkan karakteristik warna tua/berat dan warna yang populer di kalangan pria. Ia menyebutkan warna-warna yang tegas, tua, dan sejuk dengan intensitas kuat menjadi kesukaan dan populer di antara kaum pria. Warna hitam sendiri memiliki asosiasi pribadi yang kuat, duka cita, resmi, kematian, keahlian, dan tidak menentu. Asosiasi ini diambil Prawira dari buku Design in Dress oleh Marian L. David.

Dari pemaknaan di atas, dapat disimpulkan bahwa warna celana yang dikenakan oleh pria paruh baya dalam Gambar 3 memperlihatkan sosok maskulin dan suasana kesuraman.

c. Sepatu Kets Kumal

(43)

Dari penjabaran terhadap kaos abu-abu, celana jins hitam, dan sepatu kets kumal diketahuilah bahwa pria paruh baya digambarkan sebagai tokoh yang sederhana, maskulin, suram, dan berada pada kelas menengah ke bawah. Jadi, kesimpulan yang dapat diambil dari perepresentasian tersebut ialah pakaian yang dikenakan pria paruh baya mengandung pernyataan tentang suasana informal dan refleksi akan status soial menegah ke bawah.

2.2.1.3 Tindakan

Representasi bahwa pria paruh baya merupakan tuna karya dan berada pada suasana informal didukung oleh tanda visual lain seperti tempat, waktu, dan keadaan lingkungan pada Gambar 3. Pada Gambar 3 terlihat bahwa pria paruh baya sedang berjalan kaki. Jika ia memiliki penghasilan yang baik, ia akan menggunakan sebuah kendaraan sebagai alat transportasinya. Kedua, lokasi pria paruh baya pada sebuah gang. Gang ini secara tidak langsung merepresentasikan kelas menengah ke bawah sebab gang dalam berbagai bentuk mampu menunjukkan keadaan dan realitas kehidupan masyarakat tertentu. Dengan kondisi gang seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3 diketahui bahwa gang semacam ini banyak ditemui dalam kompleks perumahan rakyat kecil dan bukan kompleks perumahan elit.

(44)

lingkungan biasa pada waktu kerja. Jelaslah dapat didimpulkan bahwa poin-poin ini mendukung petanda pengangguran dan atau dalam keadaan informal.

2.2.2 Latar

Sistem penandaan pada aspek latar yang menonjol dari Adegan 1 mencakup latar tempat dan latar waktu.

2.2.2.1 Latar Tempat

Penandaan latar tempat meliputi dua hal, yaitu Jawa Tengah, toko barang antik, dan lingkungan kelas menengah ke bawah.

2.2.2.1.1 Jawa Tengah

Gambar 3 menunjukkan latar tempat di Indonesia, khususnya di Jawa Tengah. Tanda visual yang mendukung latar tempat Jawa Tengah ialah tanda berupa gerobak angkringan yang terletak di sebelah kanan tokoh pria dalam Gambar 3. Angkringan berasal dari kata nangkring dalam bahasa Jawa yang berarti duduk santai. Di Indonesia, khususnya di Yoyakarta, angkringan

merupakan sebuah warung makan minimalis atau warung tenda sederhana dengan waktu operasi mulai sore hingga dini hari. Jadi, tanda visual gerobak angkringan

menjadi bukti akan latar tempat Jawa Tengah.

2.2.2.1.2 Toko Barang Antik

(45)

mendukung pemaknaan akan keberadaan toko barang antik. Pembuktian itu dapat dilihat sebagai berikut;

a. Nama Toko

Pada Gambar 3, terdapat tanda visual papan nama toko di sebelah kiri atas pria paruh baya. Nama toko tersebut ialah Beny Arts. Kata „Beny‟ menunjukkan nama orang, sedangkan kata „Arts‟ merupakan kata dalam bahasa Inggris yang

dipahami sebagai „seni‟ dalam bahasa Indonesia. Alasan kesimpulan ini

sederhana, yaitu kata „Beny‟ merupakan ciri khas nama orang dan tidak ditemukan

arti kata tersebut dalam bahasa Indonesia. Berbeda dengan kata tersebut, „Arts

secara jelas dipahami sebab ia merupakan kata bahasa Inggris yang mampu dicari padanannya dalam bahasa Indonesia. Jadi, nama toko Beny Arts dimaknai sebagai toko yang menjual barang-barang berseni yang dimiliki oleh seseorang yang bernama Beny.

b. Pesawat Televisi

Tepat di depan toko barang antik, terdapat tanda visual sebuah pesawat televisi. Melihat modelnya yang jarang digunakan pada generasi sekarang, diperkirakan tanda visual ini keluaran tahun 1980-an.

c. Pesawat Telepon

(46)

Penampakannnya berupa gagang telepon dengan kabel yang menyambung di bagian pesawatnya.

d. Patung Totem

Tanda visual patung totem yang merupakan sebuah visualisasi atau figuran akan benda, hewan, atau manusia yang secara spiritual mewakili sebuah kelompok dari orang-orang yang berhubungan seperti suku. Patung totem merupakan sebuah ekspresi religius manusia yang ditemukan dalam hubungan kelompok. Biasanya patung ini dihadirkan sebagai penolong, pengawas, dan pembantu sekelompok orang seperti suku, keluarga, atau rumpun tertentu.

e. Keranjang Anyaman dan Kardus

Keranjang anyaman termasuk kerajinan yang paling banyak dimiliki dan digunakan oleh orang Indonesia. Sudah dari dulu, jika menganyam dari daun kelapa, lontar, dan sebagainya, menjadi kebiasaan dan tradisi. Selanjutnya ialah, kardus. Kardus dalam Gambar 3 merupakan bungkusan dari barang-barang antik yang ada pada toko. Kardus-kardus yang berserakan sebagai tanda bahwa sebelumnya terdapat barang yang berada di dalamnya. Jadi, tanda visual keranjang anyaman dan kardus yang terletak di depan toko dapat diidentifikasikan sebagai wadah penampung.

(47)

tanda visual tersebut merupakan indeks dari toko yang menjual barang-barang antik.

2.2.2.1.3 Lingkungan Kelas Menengah ke Bawah

Penunjuk akan lingkungan kelas menengah ke bawah diperoleh berdasarkan beberapa tanda visual, antara lain keberadaan telepon umum, sepeda motor Honda generasi Astrea Prima, dan sepeda kayuh. Ketiga tanda visual ini memiliki kaitan dengan petanda lingkungan kelas menengah ke bawah sebab mereka mejadi penanda alat yang digunakan oleh kalangan kelas menengah ke bawah tersebut.

Telepon umum di Indonesia, dari yang koin hingga kartu, merupakan sejenis alat komunikasi yang populer pada tahun 1983-1999. Pada periode tersebut, masyarakat yang menggunakan alat komunikasi ini merupakan masyarakat kelas menengah ke bawah, sebab ia dibandingkan dengan telepon rumah yang disebut sebagai barang mewah (penanda kelas atas).

Untuk alat transportasi berupa sepeda kayuh dan sepeda motor Honda generasi Astrea Prima, penunjuk kelas menengah ke bawah diketahui berupa motor Honda tersebut sebagai penanda kelas menengah dan sepeda kayuh sebagai penanda kelas ke bawahnya.

2.2.2.2 Latar Waktu

Gambar 3 menunjukkan latar waktu siang hari pada tahun 1988. Pemaknaan ini berdasarkan tanda visual motor Honda generasi Astrea Prima dan gerobak

(48)

Star, sedangkan angkringan merupakan sebuah warung makan minimalis atau warung tenda sederhana dengan waktu operasi mulai sore hingga dini hari. Karena terlihat gerobak tersebut belum beroperasi, jelaslah bahwa latar waktunya ialah siang hari.

Jadi, secara keseluruhan, sistem penandaan tataran denotasi dan konotasi pada Adegan 1 dapat disajikan dalam tabel berikut.

Tabel 1: Penandaan Denotatif dan Konotatif Adegan 1

No Sub Tanda Denotasi Konotasi

(49)
(50)

umum, bangku, dan seruan “Waw”. Tanda-tanda ini menarasikan seorang pria paruh baya yang berjalan ke arah tumpukan barang demi melihat penampakan

lampu yang berwarna emas. Penemuannya ini diiringi oleh seruan “Waw”

olehnya. Tanda visual dan tanda verbal yang menonjol tersebut kemudian disajikan menjadi dua, yaitu (a) tokoh pria paruh baya dan (b) lampu emas ajaib. Tanda visual dan tanda verbal yang disebutkan dapat dilihat pada Gambar 4 di bawah:

Gambar 4: Adegan 2

2.3.1 Tokoh Pria Paruh Baya

Sistem penandaan yang menonjol dari tokoh pria paruh baya pada Adegan 2 mencakup: (i) ekspresi dan (ii) tindakannya.

2.3.1.1 Ekspresi

(51)

keberadaan Diri disebut, merasuk dalam semiosfir di seluruh dunia. Inilah mengapa orang mampu merepresentasikan potret diri seseorang berdasarkan penanda ekspresi tertentu.

Ekspresi yang ditunjukkan pria paruh baya ialah ekspresi takjub dan riang. Berdasarkan tanda visual ini, pencarian makna melalui kode hermeneutik terlihat pada aspek respons yang ditunjukkan dengan tanda verbal yang berbunyi “Waw”. Persoalan makna konotatif yang terkandung pada seruan tersebut jelas menandakan bahwa ia menemukan sesuatu yang menarik perhatiannya. Ketertarikan tersebut memunculkan sebuah seruan yang secara langsung melambangkan ketakjuban akan sesuatu yang beharga, indah, dan mahal.

Alasan mengapa peneliti menangkap ekspresi wajah pria paruh baya adalah ekspresi takjub dan riang ialah karena cara mata, alis, dan mulut saling berorientasi satu sama lain. Seperti yang telah disinggung sebelumnya, bahwa pada efeknya, semua ini adalah penanda tak sadar universal yang menciptakan tanda wajah takjub dan riang. Jadi, ekspresi yang tergambar pada raut wajahnya menandakan bahwa ia menemukan sesuatu yang beharga, indah, dan mahal.

Adapun tokoh pria paruh baya berada pada posisi tengah, hampir memenuhi seluruh bidang layar, dan memberikan kesan perhatian yang mendalam. Dengan ekpresi yang ditunjukannya pula memperkuat posisi tanda visual lampu emas.

2.3.1.2 Tindakan

(52)

dan kemudian apa yang dilakukannya. Jawaban akan tanda visual yang pertama ialah ia yang berjalan ke sebuah tumpukkan barang; yang kedua ialah ia melihat sebuah benda yang berkilau yang ternyata adalah sebuah lampu emas; dan yang ketiga ialah ia menyentuh lampu emas tersebut.

Berdasarkan makna akan ekspresi dan tindakan dari pria paruh baya pada Adegan 2 dapat ditarik kesimpulan bahwa ia berada dalam sebuah situasi yang memoposisikannya sebagai penemu lampu emas lalu dipandangnya sebagai benda beharga, indah, dan mahal.

2.3.2 Lampu Emas Ajaib

Pada Gambar 4 selain memperlihatkan tanda visual pria paruh baya dan

tanda verbal seruan “Waw”, terdapat pula tanda visual yang sangat penting dalam

(53)

2.3.2.1 Warna Emas

Pada tataran denotasi, lampu yang diperlihatkan dalam Gambar 4 merupakan lampu berwarna emas yang tampak mewah penampilannya. Penelusuran arti sesunguhnya dari warna emas ialah logam mulia berwarna kuning yang dapat ditempa dan dibentuk, biasa dibuat perhiasan seperti cincin, kalung, dan sebagainya. Dalam fungsinya dalam masyarakat, dalam hal ini simbol kebudayaan, warna emas seringkali dipergunakan untuk ornamen jubah, mahkota, atau segala sesuatu yang berhubungan dengan simbol kekuasaan, kekaisaran, kekayaan, dan sebagainya. Di Mesir kuning dan emas adalah lambang matahari.

Prawira (1989: 57) membuktikan bagaimana warna emas menjadi simbol kebajikan dan kebaikan dalam pertunjukkan wayang di Jawa (berdasarkan penelitian Yusuf Affendy tentang warna yang berjudul Desain Warna; Susunan dan Fungsinya). Ia menghubungkan antara warna emas sebagai warna dasar tokoh pewayangan yang berada di sebelah kanan panggung. Tokoh pewayangan yang berada pada posisi ini merupakan tokoh-tokoh kebajikan, kebenaran, halus, dan bijaksana. Sifat penampilan yang direpresentasikan oleh warna ini adalah agung dan luhur. Tokoh pewayangan yang menggunakan warna ini ialah Arjuna, Pandu, dan Srikandi. Berdasarkan pemaparan akan makna warna emas, dapat disimpulkan bahwa warna emas memiliki simbol kekuasaan, kekayaan, keagungan, dan luhur.

2.3.2.2 Aladin dan Lampu Ajaib

(54)

tidak sebab pemunculan tanda visual lampu emas hanyalah sebuah pengenalan. Pembuktian akan keajaiban itu akan ditunjukkan pada adegan selanjutnya, namun untuk sedikit penggambaran akan konteks tersebut, tanda visual lampu dan berwarna emas menjadi sebuah petunjuk akan keberadaan konflik cerita. Konflik yang dimunculkan merupakan indeks akan kemalangan yang menghampiri pria paruh baya. Konflik yang dihadirkan tidak dalam rupa yang buruk, melainkan hadir dalam kemegahan dan kemewahan sebuah lampu. Kemegahan dan kemewahan itu pun didukung oleh pemilihan warna emas yang melingkupinya.

Jadi, secara keseluruhan, sistem penandaan tataran denotasi dan konotasi pada Adegan 2 dapat disajikan dalam tabel berikut.

Tabel 2: Penandaan Denotatif dan Konotatif Adegan 2

No. Sub Tanda Denotasi Konotasi

Ekspresi Raut wajah Ekspresi pria paruh baya yang takjub dan riang.

Dongeng Cerita rakyat dari negeri Baghdad, Arab.

(55)

2.4. Adegan 3

Potongan Adegan 2 menyajikan beberapa tanda visual di antaranya; tokoh pria paruh baya dan tokoh jin yang mengenakan pakaian adat Jawa. Adegan 2 menceritakan kemunculan secara ajaib oleh jin saat pria paruh baya mengusap lampu emas ajaib. Tanda visual yang menonjol tersebut kemudian disajikan menjadi dua, yaitu (a) tokoh jin dan (b) penggabungan dua mitos. Tanda visual dan tanda verbal yang disebutkan dapat dilihat pada Gambar 5 di bawah:

Gambar 5: Adegan 3

2.4.1 Tokoh Jin

Sistem penandaan pada aspek tokoh jin mencakup: (i) usia, (ii) penampilan, dan (iii) kemunculannya.

2.4.1.1 Usia

(56)

tentang hal yang akan dilakukannya dan tidak dari segi lahiriah saja. Jadi, selain kematangan dan kedewasaan yang direpresentasikan oleh usia 40, peneliti berpendapat bahwa usia ini menunjukkan betapa sebuah refleksi status, jenis pekerjaan, dan posisi sangat berpengaruh pada sosok yang ditampilkan. Oleh karena itu, jin yang berusia 40 tahun merupakan representasi dari kedewasaan, kematangan, dan kemapanan (yang berbanding terbalik dengan representasi pria paruh baya).

2.4.1.2 Penampilan

Jin yang muncul secara ajaib dari lampu emas dengan mengenakan pakaian adat Jawa Tengah ini secara tidak langsung digunakan untuk menunjukkan kekuatan, kedalaman, dan keyakinan religius dan ketaatan dalam sejumlah cara yang sangat rumit. Pakaian yang dikenakannya pula ingin menunjukkan jenis layanan yang diharapkan padanya. Jenis pelayanan dalam konteks ini berhubungan dengan fungsi penghadiran karakter jin dengan busana yang dikenakannya. Fungsinya sebagai pengabul permohonan melalui apresiasi pengenaan pakaian tradisional. Fungsi yang dihadirkan melalui pakaian yang dikenakan jin akan diuraikan maknanya sebagai berikut:

2.4.1.2.1 Aksesoris Jawi Jangkep

(57)

jin memiliki filosofi tersendiri seperti; blankon, memiliki makna jika seorang pria harus mempunyai pikiran yang teguh; baju beskap, memiliki makna bahwa seorang pria harus memperhitungkan segala perbuatan yang dilakukannya; kain jarik, mengisyaratkan agar seorang pria jangan sampai melakukan sesuatu dengan keliru.

2.4.1.2.2 Warna Busana

Untuk pemilihan warna yang didominasi oleh warna merah marun/merah tua dan emas dipengaruhi oleh mitos, kebijaksanaan, sastra dan seni Jawa dalam kode kebudayaan. Parawira (1989: 54-55) menunjukkan dengan jelas bahwa dalam buku kesustraan lama, keindahan-keindahan sering dinyatakan dengan gambaran warna emas (seperti yang ditulis dalam Kitab Ramayana), warna sering

diandaikan dengan permata indah. “(...) bunga teratai yang keemasan, daun-daun seperti permata safir dan lapis lazuli, pohon-pohon seperti emas menyala (...)”.

(58)

Perpaduan antara makna warna emas dan warna merah tua di atas kemudian dapat digabungkan menjadi sebuah visualisasi karakter jahat dan licik yang dibalut dalam tampilan yang indah dan hangat. Jadi, makna konotasi yang diperoleh berdasarkan makna jawi jangkep dan warnanya ialah pencerminan karakter antagonis yang dihadirkan dalam bentuk yang agung.

2.4.1.3 Kemunculan

Kemunculan jin secara tiba-tiba saat pria paruh baya menyentuh lampu emas ajaib menimbulkan kesan mistis dan ajaib jika ditilik dari aspek legenda dan pengetahuan pada kode kebudayaan. Pemunculan yang ajaib ini didukung tanda visual asap.

Menurut KBBI asap adalah uap yang dapat terlihat yang dihasikan dari pembakaran. Melalui makna denotasi ini dapat ditelusuri makna-makna lain akan asap. Asap dalam fungsinya dalam masyarakat mampu merepresentasikan banyak hal. Pertama-tama, asap merupakan indeks kebakaran atau menunjukkan sesuatu yang terbakar. Jikalau anda melihat kepulan asap dari kejauhan, hal pertama yang ada dalam benak anda ialah terjadi sebuah kebakaran. Asap menjadi petanda akan kebakaran. Inilah fungsi asap ditinjau dari sudut rasionalnya.

(59)

dengan kepulan asap, hal ini akan menciptakan suasana ketegangan, mistis, dan horor.

Ketiga, asap sebagai alat komunikasi (sinyal). Sinyal asap merupakan salah satu dari bentuk komunikasi tertua yang ada di dalam sejarah. Secara umum sinyal asap digunakan untuk mengirimkan berita, sinyal bahaya, sebagai tanda darurat atau mengumpulkan orang banyak ke suatu area.

Suku Indian dari Amerika Utara melakukan komunikasi dengan menggunakan sinyal asap. Perbedaan penanda asap yang diberikan oleh pengirim memberikan petanda yang berbeda pula kepada penerimanya. Di Roma, di asrama Kardinal, orang menggunakan sinyal asap untuk mengindikasikan terpilihnya Paus baru. Perbedaan warna asap mengindikasikan terpilihnya Paus yang baru. Pengguaan asap oleh tim Search and Rescue (SAR) juga merupakan sinyal adanya korban. Jika korban dari speedboat terbalik dan dalam kondisi kritis sempat melempar sinyal asap yang tersedia, tim SAR segera bergerak melakukan tindakan penyelamatan.

Dari tiga representasi tersebut, agaknya representasi kedua yang lebih menjawab pemaknaan asap pada Gambar 5 meskipun tak dapat dipungkiri representasi pertama dan ketiga memiliki keterkaitan dengan gambar tersebut.

(60)

2.4.2 Penggabungan Dua Mitos

Selain makna warna pada busana yang dikenakan, terdapat makna lain atas kode visual hermeneutik yang mempertunjukkan atau menampilkan tokoh jin. Keberadaan tokoh jin yang berpakaian adat Jawa yang keluar dari lampu ajaib menjadi mitos dongeng yang dikenal oleh masyarakat luas. Jin yang keluar dari lampu ajaib merupakan dongeng yang berasal dari negeri Baghdad-Arab, yaitu

Aladin dan Lampu Ajaib. Dongeng dari Timur Tengah itu telah diadaptasi menjadi tokoh jin yang mengenakan pakaian adat Jawa dan kini dijadikan tokoh andalan dalam iklan televisi Djarum 76. Dalam tampilan adegan itu pula, ada upaya untuk menggabungkan atau terdapat bentuk akulturasi mitos global yaitu,

Aladin dan Lampu Ajaib dengan mitos etnik (tradisi) yakni pakaian tradisional, bahasa daerah (campur kode bahasa Jawa dan Indonesia), dan tentunya latar tempat yang berada di Indonesia.

Akulturasi antara mitos Timur Tengah dan keetnisan Jawa juga dipilih berdasarkan semangat anti Barat. Semangat ini ditunjukkan pula melalui penggabungan kebudayaan yang akrab dengan kebudayaan Indonesia, khususnya dalam penyebaran agama Islam.

Dengan demikian terdapat hubungan yang erat antara tanda visual tokoh dengan pengadaptasian mitos jin dalam Gambar 5. Tanda visual tokoh beserta pengadaptasian mitos dua kebudayaan ini kemudian mengantar pada sebuah kesimpulan akan asal mula pemilihan karakter jin pada iklan Djarum 76.

(61)
(62)

dan (b) lampu emas ajaib. Tanda visual dan tanda verbal yang disebutkan dapat dilihat pada Gambar 6 di bawah:

Gambar 6: Adegan 4

2.5.1 Tokoh Jin

Sistem penandaan yang menjol pada aspek tokoh jin akan tersaji dalam tindakan.

2.5.1.1 Tindakan

(63)

Pada Gambar 6 disebutkan bahwa terdapat tanda visual berupa ancungan jempol yang dilakukan oleh jin. Dalam kode kebudayaan, dapat dilihat dari aspek gerakan bawah sadar dan bersifat kolektif. Aspek ini mencerminkan bahwa hanya kebiasaan orang Jawa yang akan mengacungkan jempol jika ingin mempersilahkan mitra bicaranya untuk berbicara. Adapun tanda bahasa tubuh ini termasuk dalam faktor kesopanan dan penghormatan.

Dalam kehidupan bermasyarakat Jawa apalagi mereka yang masih mengikuti bahkan menuruti tingkah laku, tata krama, dan perbuatan para leluhurnya, akan jelas terlihat penggunaan bahasa tubuh dan tindak tutur yang diperbuatnya. Misalkan saja perwujudan sikap hormat terhadap golongan (kelas sosial) tertentu. Hal yang diperhatikan ialah tutur bahasa pada waktu berbicara atau bertemu serta gaya bahasa yang menyertainya.

Kebiasaan Jawa menekankan bahwa saat bertemu pertama-tama

mengucapkan “Sugeng” (apa kabar) dilanjutkan dengan berjabat tangan dan saling mempersilahkan duduk di tempat duduknya masig-masing. Cara mempersilahkan duduk dengan badan agak membungkuk atau condong ke depan dan tangan kanan diacunkan ke arah tempat duduk yang dimaksud. Sewaktu mengacungkan tangan kanan tersebut, keempat jari tangan yaitu: telunjuk, jari tengah, jari manis, serta kelingking dilipat seperti menggenggam sesuatu, sedangkan ibu jari diacungkan menunjukkan arah yang dimaksudkan. Sikap tangan kiri (telapak tangan kiri) ditempelkan di perut bagian bawah.

(64)

digerak-gerakan atau diacung-acungkan dan keempat jari terlipat, ibu jari diacungkan, seperti sikap telapak tangan di atas.

Dengan demikian, berdasarkan kode hermeneutik dan kode kebudayaan yang dijelaskan pada poin 2.5, tanda yang terdapat pada Gambar 6 bermakna konotasi tata krama dalam percakapan masyarakat Jawa.

Jadi, secara keseluruhan, sistem penandaan tataran denotasi dan konotasi pada Adegan 4 dapat disajikan dalam tabel berikut.

Tabel 4: Penandaan Denotatif dan Konotatif Adegan 4

No. Sub Tanda Denotasi Konotasi

1

Tokoh Jin

Tindakan Acungan jempol

Gerakan tubuh berupa acungan jempol.

Tata krama dalam kebudayaan masyarakat Jawa.

2.6 Adegan 5

(65)

Gambar 7: Adegan 5

2.6.1 Tokoh Pria paruh Baya

Sistem penandaan yang menonjol pada tokoh pria paruh baya berasal dari aspek respon yang dilakukannya.

2.6.1.1 Respon

Berdasarkan tanda verbal yang diungkapkan sebelumnya, dapat ditangkap pesannya dengan bantuan kode hermeneutik dan kode kebudayaan. Pada kode hermeneutik ada pada aspek respons dari tawaran sebelumnya (lihat penjelasan 2.5). Hal itu terlihat dari kalimat “Nah, Jin. Aku pengin terkenal se-Indonesia. Fotoku eksis dimana-mana”.

Gambar

Gambar 1: Potongan Adegan dalam Iklan Televisi Rokok Djarum 76
Gambar 2: Sistem Semiologis Tingkat Kedua
Gambar 3: Adegan 1
Gambar 3 menunjukkan latar tempat di Indonesia, khususnya di Jawa
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dengan adanya perbandingan antara wanita Jawa yang sebenarnya dengan wanita Jawa yang ada pada iklan rokok djarum 76 versi jin takut istri ini, memunculkan

Tujuan dari penelitan ini adalah untuk mengetahui representasi budaya korupsi yang terkandung pada iklan rokok Djarum 76 Versi “Wani Piro” di televisi.. Landasan teori yang

Representasi Budaya Korupsi Dalam Iklan Rokok Djarum 76 Versi Korupsi Pungutan Liar Dan Sogokan Di Media Televisi.. Ilmu Manajemen Komunikasi

Judul Skripsi : Kritik Sosial Pada Iklan Rokok Djarum 76 Fil Gold versi Pemimpin Jujur (Analisis

Selain itu teori Pierce juga akan digunakan untuk menjelaskan setiap tanda yang melekat pada diri tokoh di setiap adegan-adeganya dalam iklan rokok Djarum 76 versi

Berdasarkan uraian diatas maka pada penelitian ini, peneliti tertarik untuk melakukan sebuah studi semiologi untuk mengetahui pemaknaan dari iklan rokok Djarum 76

Dalam sebuah penelitian, peneliti membatasi objek masalah yang akan diteliti yaitu: Iklan yang diteliti adalah tayangan iklan televisi rokok Djarum 76 dalam episode

Menurut Etika Pariwara Indonesia, iklan Djarum 76 versi “Jin” ini melanggar etika pariwara karena dalam Etika Pariwara Indonesia, iklan tidak boleh mempermainkan rasa