• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

2.1.1. Klasifikasi

Syzygium adalah salah satu marga dari suku Myrtaceae. Marga ini memiliki jumlah spesies yang sangat banyak. Tercatat sebanyak kurang lebih 1200 spesies Syzygium yang telah diketahui. Secara taksonomi, marga Syzygium juga merupakan kelompok marga yang sangat kompleks, sehingga studi taksonominya telah berlangsung cukup lama dan panjang. Berbagai penelitian taksonomi telah banyak dilakukan untuk untuk mengklasifikasikan secara sistematik kedudukan spesies dari marga ini. Pada awalnya pendekatan yang dilakukan berdasarkan pada studi morfologi dengan pendekatan taksonomi dan bersifat parsial berdasarkan wilayah. Seiring berjalannya waktu, maka studi berikutnya dilakukan dengan pendekatan filogenetik (Lucas et al. 2005; Craven et al. 2006; Craven dan Biffin 2010).

Sistematika marga Syzygium secara sederhana (Bailey 1953; Cahyono 2010) adalah sebagai berikut:

Kerajaan : Tumbuhan

Divisi : Spermatophyta

Sub Divisi : Angiospermae

Kelas : Dikotil

Ordo : Myrtales

Suku : Myrtaceae

Marga : Syzygium

Mengingat jumlah spesiesnya yang sangat banyak, maka Craven dan Biffin (2010) mengusulkan pengelompokan marga ini menjadi beberapa sub marga. Pengelompokan tersebut berdasarkan pada studi filogenetik yang diambil dari data sequence molecular analysis. Sebanyak enam sub marga Syzygium berhasil dikelompokkan, yaitu: sub marga Syzygium, Acmena, Sequestratum, Perikion, Anetholea, dan Wesa. Sebanyak 80-90 % spesies termasuk ke dalam anggota sub marga Syzygium.

(2)

2.1.2. Morfologi Syzygium

Ciri-ciri umum yang dapat dikenali dari marga ini antara lain habitusnya berupa pohon ataupun semak. Susunan daun berhadapan (oposite), kadang-kadang tersusun berkarang sebanyak 3 daun, atau sub oposite. Pertulangan daun menyirip (pinnate). Bunga keluar dari ujung ranting (terminal), ketiak daun (axilaris), atau pada ketiak daun yang telah gugur, jarang sekali muncul di batang. Perbungaan berbentuk cymes atau panicles. Kelopak bunga sering kali berbentuk turbinate, campanulate, atau obconical terdiri atas 4-5 helai, berkembang ataupun tidak dan biasanya tersisa pada bagian ujung buah. Mahkota bunga tersusun sebanyak 4-5 helai, jarang sekali yang lebih, patent atau coherent dalam small hood, dan umumnya akan luruh. Benang sarinya banyak tersusun dalam satu lingkaran di dasar bunga, tangkai sari filiform, kepala sari dorsifixed. Sel telur berada di bagian bawah dasar bunga (inferior), terdiri atas 2-4 ruang dengan jumlah yang banyak dalam tiap ruang. Buahnya berbentuk buah berry, mengandung 1 sampai beberapa biji dalam tiap buah (Backer dan van den Brink 1963).

2.1.3. Ekologi dan Penyebaran Syzygium

Syzygium banyak tersebar di kawasan Asia Selatan, Asia Tenggara, Australia, Cina Selatan, Malesia dan New Caledonia. Beberapa spesies juga tersebar di Afrika, Malagasy dan wilayah barat daya Kepulauan Pasifik, Hawai dan New Zealand. Syzygium umumnya tumbuh di hutan hujan, namun tumbuh pula pada hampir semua tipe vegetasi, seperti hutan pantai, hutan rawa, hutan munson, hutan bambu, rawa gambut, dataran rendah, hutan kerangas, savana, hutan pegunungan hingga vegetasi semak di wilayah sub alpin (Parnell et al. 2007). Beberapa spesies mampu tumbuh di kondisi habitat yang ekstrim seperti tanah kapur dan ultramafik (Partomihardjo dan Ismail 2008; Mustain 2009).

Di Wilayah Asia spesies dari marga ini tersebar pada beberapa wilayah sebagai berikut: 70 spesies di kawasan Indo-China, 80 spesies di Thailand, 190 spesies di Semenanjung Malaya, 50 spesies di Jawa, 165 spesies di Borneo, 180 spesies di Filipina, dan 140 spesies di New Guinea. Filipina dan New Guinea serta Semenanjung Malaya dan Borneo adalah dua wilayah utama pusat penyebaran dan endemisitas kelompok marga ini (Haron et al. 1995).

(3)

Wilayah Indonesia sebagai bagian dari Kawasan Malesia merupakan salah satu pusat distribusi marga Syzygium (keluarga jambu-jambuan). Khusus untuk di Jawa, tercatat sebanyak 50 spesies Syzygium tersebar pada berbagai tipe habitat (Backer dan van den Brink 1963).

2.2. Pemanfaatan Syzygium

Spesies dari marga Syzygium mempunyai beberapa potensi pemanfaatan, seperti sebagai tanaman hias, buah, tanaman obat atau kayu-kayuan. Beberapa spesies memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi, seperti cengkeh (S. aromaticum), salam (S. polyanthum), jambu air (S. samarangense), jambu darsono (S. malaccense), juwet (S. cumini), jambu mawar (S. jambos) dan spesies lainnya (Coronel 1992; Panggabean 1992; van Lingen 1992; Haron et al. 1995; Sardjono 1999; Verheij dan Snijders 1999).

S. cumini yang dikenal dengan nama lokal juwet, jamblang, duwet, atau dalam bahasa Inggris dikenal dengan nama Java plum, adalah salah satu anggota marga ini yang memiliki potensi sebagai bahan baku obat diabetes melitus dan berpotensi sebagai anti bakteria (Nascimento et al. 2000; Kumar et al. 2009). Beberapa spesies Syzygium yang dijumpai tumbuh di bantaran sungai, seperti: S. aqueum, S. aromaticum, S. malaccense, S. polycephalum, dan S. pycnanthum memiliki peran ekologis bagi ekosistem di sepanjang bantaran aliran sungai, terutama sebagai penahan erosi tebing sungai (Waryono 2001; Riswan et al. 2004). Bahkan keberadannya dapat menjadi habitat dan sumber pakan bagi berbagai satwa liar (Alikodra 1997).

2.3. Status dan Kepentingan Konservasi Syzygium

Hingga September 2011, International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) telah menilai dan mendaftar sebanyak 48 spesies Syzygium ke dalam Redlist of species (Daftar lengkap disajikan dalam Lampiran 16). Dari jumlah tersebut terdapat dua spesies yang berasal dari Indonesia (Jawa), yaitu: S. ampliflorum dan S. dischoporum. S. ampliflorum adalah spesies Syzygium yang secara alami tumbuh di kawasan Gunung Galunggung, Jawa Barat pada ketinggian 1.300-1.400 m dpl. S. dischoporum tumbuh secara alami di kawasan Gunung Wilis pada ketinggian 1.300-1.500 m dpl (Backer dan van den Brink 1963; Whitten at al. 1999).

(4)

Penilaian status konservasi terhadap kedua spesies tersebut sudah cukup lama, sehingga informasinya sudah harus diperbaharui. Jika dilakukan penetapan status konservasi untuk marga Syzygium di Indonesia, dikhawatirkan akan semakin banyak spesies Syzygium yang berstatus terancam punah sehingga memerlukan upaya konservasi. Hal ini diakibatkan tekanan yang kuat terhadap habitat alami spesies-spesies tersebut karena konversi lahan dan kerusakan hutan. Tidak tersedianya data dan informasi yang berkaitan dengan keberadaan, populasi, sebaran, dan pemanfaatan spesies ini mengakibatkan tidak mudah untuk mengetahui dan menentukan status konservasinya. Upaya untuk mengetahui status konservasi Syzygium dilakukan terhadap spesies S. zollingerianum. Widodo et al. (2011) menetapkan status konservasi spesies ini ke dalam kategori hampir terancam (Near Threatened). Dengan kondisi laju kerusakan hutan di Indonesia, dikhawatirkan statusnya menjadi terancam punah di masa yang akan datang.

Umumnya spesies yang berstatus langka tersebut adalah spesies yang belum banyak dikenal oleh masyarakat sehingga keberadaannya terabaikan. Konversi lahan hutan yang terus terjadi mengakibatkan habitat beberapa spesies tumbuhan menjadi terancam. Dengan demikian, informasi mengenai keanekaragaman spesies, struktur populasi, dan pola penyebaran marga ini di alam sangat penting untuk diketahui. Argumentasi etis menjadi alasan konservasi atas spesies yang belum diketahui nilai ekonomi dan manfaatnya secara langsung ataupun tidak bagi manusia. Dimana upaya konservasi yang dilakukan lebih berdasarkan atas nilai intrinsik yang melekat pada setiap spesies makhluk hidup (tumbuhan) yang ada. Nilai ini menjamin bahwa setiap spesies memiliki hak untuk hidup tanpa melihat adanya keterkaitan dengan pemenuhan kebutuhan manusia. Manusia tidak berhak merusak spesies dan harus melakukan upaya untuk menghindari kepunahan spesies (Primack et al. 1998).

2.4. Studi Populasi Tumbuhan

Studi yang berkaitan dengan persebaran dan populasi suatu spesies tumbuhan merupakan salah satu aspek yang dikaji dalam studi ekologi spesies. Studi populasi adalah suatu penelitian yan mengkaji kondisi populasi suatu spesies yang di dalamnya mencakup aspek kelimpahan, pola penyebaran, struktur populasi, serta demografi populasinya (Widyatmoko dan Irawati 2007). Melalui

(5)

kajian ini akan diperoleh informasi mengenai kondisi populasi, regenerasi, preferensi habitat, persebaran, status konservasi dan bahkan strategi konservasi bagi spesies tumbuhan yang dipelajari (Wihermanto 2004; Partomihardjo dan Naiola 2009).

Penelitian mengenai ekologi tumbuhan selalu diawali dengan kegiatan pengumpulan data dan informasi spesies di suatu lokasi/kawasan. Data dan informasi spesies merupakan data dasar yang diperlukan untuk melakukan suatu studi ekologi tumbuhan. Data-data tersebut selanjutnya akan bermanfaat bagi studi lebih lanjut mengenai kondisi vegetasi, komunitas atau spesies penyusun suatu kawasan beserta fungsi dan interaksinya (Partomihardjo dan Rahajoe 2005). Silvertown (1982) mengemukakan bahwa kajian ekologi populasi tumbuhan mencakup dua hal utama, yaitu: jumlah atau ukuran dari populasi serta proses yang mengakibatkan terjadinya perubahan tehadap ukuran populasi. Sekumpulan spesies tumbuhan yang sama yang hidup dalam suatu komunitas, tempat dan waktu yang sama disebut sebagai populasi. Kumpulan beberapa populasi selanjutnya akan membentuk suatu komunitas. Komunitas tersebut melakukan interaksi dengan komponen biotik ataupun abiotik lingkungannya membentuk suatu ekosistem atau sistem ekologi. Dengan demikian ekologi populasi membahas hal-hal yang berkaitan dengan sistem ekologi dari suatu populasi, yang mencakup interaksi di dalam dan antar populasi, serta interaksi dengan lingkungannya.

Tarumingkeng (1994) menyatakan bahwa populasi tidak hanya sebagai kumpulan spesies yang sama dalam waktu dan tempat tertentu, akan tetapi juga harus mampu berinteraksi secara genetik diantara mereka. Berbagai kelompok tumbuhan yang hidup dalam suatu habitat dan saling berinteraksi juga dengan lingkungannya membentuk suatu komunitas. Komunitas tumbuhan berinteraksi dengan kondisi lingkungannya baik biotik ataupun abiotik membentuk suatu sistem ekologi yang disebut ekosistem.

Populasi tumbuhan tersusun atas suatu struktur, yang dapat dikelompokan menurut kelas umur ataupun fase/tingkat pertumbuhannya. Untuk populasi pohon dalam suatu hutan tanaman struktur populasinya dapat diketahui dari umur tegakan yang terbentuk. Hal ini akan sulit diterapkan pada kondisi populasi

(6)

tumbuhan yang hidup secara alami. Oleh karena itu struktur populasinya dapat didekati dengan fase/tingkat pertumbuhannya, yaitu: anakan, pancang, tiang dan pohon. Definisi untuk masing-masing strata pertumbuhan pohon adalah sebagai berikut: (1) anakan atau semai (seedling) adalah regenerasi awal pohon dengan ukuran hingga tinggi kurang dari 1,5 meter, (2) pancang adalah regenerasi pohon dengan ukuran lebih tinggi dari 1,5 meter serta dengan diameter batang kurang dari 10 cm, (3) tiang adalah regenerasi pohon dengan diameter 10-20 cm, dan (4) pohon adalah tumbuhan berkayu dengan diameter batang lebih dari 20 cm (Soerianegara dan Indrawan 1988). Kondisi struktur populasi tumbuhan dapat menggambarkan status regenerasi dari suatu spesies (Tripathi et al. 2010; Uma 2001).

Dalam kajian ekologi tumbuhan, analisis vegetasi adalah cara yang digunakan untuk mempelajari struktur vegetasi dan komposisi spesies tumbuhan di suatu tempat (Soerianegara dan Indrawan 1988). Data yang dapat diperoleh dari kegiatan ini antara lain adalah: komposisi spesies, kerapatan, potensi dominansi, indeks keanekaragamn spesies dan pola sebaran. Data dari suatu analisis vegetasi dapat juga digunakan untuk mengetahui kondisi populasi suatu spesies tumbuhan. Hal ini dikarenakan pada dasarnya analisis vegetasi dilakukan terhadap keseluruhan spesies yang terdapat di lokasi yang dianalisis (Gambar 2). 2.5. Pola Sebaran

Komunitas makhluk hidup (tumbuhan dan satwa) memiliki tiga pola dasar penyebarannya, yaitu: acak, berkelompok dan seragam/teratur. Pola sebaran acak mengindikasikan suatu kondisi lingkungan yang homogen dan atau menunjukan pola perilaku makhluk hidup yang tidak selektif atas kondisi lingkungannya. Pola sebaran berkelompok dapat mengindikasikan adanya heterogenitas habitat atau adanya pola perilaku selektif makhluk hidup terhadap kondisi lingkungannya. Pola sebaran seragam/teratur menunjukan interaksi yang negatif antara individu, seperti persaingan pakan dan ruang (Ludwig dan Reynolds 1988).

Tumbuhan pada umumnya menyukai hidup berkelompok (Fachrul 2008; Risna 2009; Partomihardjo dan Naiola 2009; Lubis 2009). Hal ini dikarenakan adanya interaksi antara tumbuhan dengan habitat dan lingkungannya. Hutchinson (1953) dalam Ludwig dan Reynolds (1988) mengemukakan beberapa faktor yang

(7)

dapat mempengaruhi pola sebaran spasial makhluk hidup, yaitu: (a). Faktor vektoral, yaitu faktor yang diakibatkan oleh aksi lingkungan (misal: angin, intensitas cahaya, dan air), (b). Faktor reproduksi, yaitu faktor yang berkaitan dengan cara organisme bereproduksi (misal: cloning dan progeny), (c). Faktor sosial, yaitu faktor yang berkaitan dengan perilaku organisme seperti teritorial, (d). Faktor co-active, yaitu faktor yang berkaitan dengan interaksi intraspesifik (misal: kompetisi), (e). Faktor stokastik, yaitu faktor yang dihasilkan dari variasi acak pada beberapa faktor tersebut. Faktor-faktor tersebut secara sederhana dikelompokan menjadi faktor intrinsik (reproduksi, perilaku, sosial, dan co-active) dan fakor ekstrinsik (vektoral).

Gambar 2 Hubungan antara tumbuhan, flora dan vegetasi beserta variabel analisisnya (modifikasi dari Fachrul 2008)

Populasi Data floristik Konsosiasi Asosiasi Komunitas Keragaman spesies Data vegetasi Komposisi spesies Kerapatan Potensi Dominansi Pola penyebaran Indeks keanekaragaman spesies

Struktur populasi Tumbuhan Individu Kelompok individu berbagai spesies Kelompok individu satu spesies Kelompok individu

(8)

2.6. Taman Wisata Alam

Menurut definisi dalam Peraturan Pemerintah nomor 68 tahun 1988 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, Taman Wisata Alam didefinisikan sebagai Kawasan Pelestarian Alam dengan tujuan utama untuk dimanfaatkan bagi kepentingan pariwisata dan rekreasi alam. Pengelolaan yang dilakukan pada Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam harus sesuai dengan fungsi kawasan, yaitu:

a. sebagai wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan,

b. sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman spesies tumbuhan dan atau satwa beserta ekosistemnya, dan

c. untuk pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Suatu kawasan ditetapkan sebagai Kawasan Taman Wisata Alam, apabila telah memenuhi kriteria sebagai berikut: a. mempunyai daya tarik alam berupa tumbuhan, satwa atau ekosistem gejala alam serta formasi geologi yang menarik; b. mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelestarian potensi dan daya tarik untuk dimanfaatkan bagi pariwisata dan rekreasi alam; dan c. kondisi lingkungan di sekitarnya mendukung upaya pengembangan pariwisata alam.

Upaya pengawetan Kawasan Taman Wisata Alam dilaksanakan dalam bentuk kegiatan perlindungan dan pengamanan, inventarisasi potensi kawasan, penelitian dan pengembangan yang menunjang pelestarian potensi, pembinaan habitat dan populasi satwa. Sesuai dengan fungsinya, taman wisata alam dapat dimanfaatkan untuk keperluan pariwisata alam dan rekreasi, penelitian dan pengembangan, pendidikan, kegiatan penunjang budidaya.

Gambar

Gambar  2    Hubungan  antara  tumbuhan,  flora  dan  vegetasi  beserta  variabel  analisisnya (modifikasi dari Fachrul 2008)

Referensi

Dokumen terkait

Berkat kemajuan ilmu dan teknologi, pusat kegiatan ekonomi masyarakat sekarang tersebar ke seluruh nusantara. Bahkan Pulau Jawa yang penduduknya sudah sangat padat

Dari rangkuman hasil analisis menggu- nakan SPSS 16 for windows pada Tabel 7 menunjukkan bahwa pada pembelajaran menggunakan multimedia nilai t hitung lebih besar

Penelitian ini dapat menambah data kepustakaan yang berkaitan dengan faktor- faktor yang berhubungan dengan kepatuhan pada pasien CKD yang menjalani hemodialisa di RSUD

Orientasi organisasi dilakukan melalui pemberian materi dalam rangka pengenalan Orientasi organisasi dilakukan melalui pemberian materi dalam rangka

Kampas rem cakram kendaraan bermotor terbaik yang memenuhi spesifikasi dipasaran adalah kampas rem dengan ukuran partikel silika 100 mesh (U 2 ), yaitu ketahanan aus 0,286 cm 3

Tujuan penelitian adalah untuk melihat sejauhmana peran bahan ajar sains berbasis school enviromnent exploration (BAHAS to SEE) yang telah direkayasa dalam meningkatkan

Setelah dilakukan pengukuran, alat vibralog dimatikan sebelum kabel dilepas atau sesuai dengan ketentuan yang tercantum pada point 3.F.. Berikut adalah langkah-langkah