• Tidak ada hasil yang ditemukan

: bahwa nilai sengketa terbukti dalam sengketa banding ini adalah Koreksi Pajak Masukan sebesar Rp ,00;

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan ": bahwa nilai sengketa terbukti dalam sengketa banding ini adalah Koreksi Pajak Masukan sebesar Rp ,00;"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Putusan Pengadilan Pajak Nomor : 65791 /PP/M.VIA/16/2015

Jenis Pajak : Pajak Pertambahan Nilai Tahun Pajak : 2012

Pokok Sengketa : bahwa nilai sengketa terbukti dalam sengketa banding ini adalah Koreksi Pajak Masukan sebesar Rp8.662.223,00;

Menurut Terbanding : bahwa koreksi Terbanding atas pajak masukan sebesar Rp8.662.223,00 dengan dalil pajak masukan tersebut nyata-nyata terkait dengan unit kebun sawit dalam rangka menghasilkan TBS yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN, sehingga sesuai dengan ketentuan Pasal 9 ayat (5) dan ayat (6) serta Pasal 16B Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 s.t.d.t.d Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000, Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 s.t.d.t.d PP Nomor 31 Tahun 2007, PMK Nomor 78/PMK.03/2010, Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-03/PJ.3/1985 dan SE-90/PJ/2011 tidak dapat dikreditkan;

Menurut Pemohon : bahwa TBS yang dihasilkan oleh Unit Perkebunan Pemohon Banding yang selanjutnya dipergunakan/dipakai sebagai bahan baku di Unit Pengolahan Pemohon Banding, pada dasarnya bukanlah merupakan penyerahan BKP tertentu yang bersifat strategis berupa TBS;

Menurut Majelis : bahwa Terbanding melakukan koreksi atas Pajak Masukan dengan mendasarkan pada Pasal 16B ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 78/PMK.03/2010 tanggal 5 April 2010, dan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2007;

bahwa Terbanding melakukan koreksi atas Pajak Masukan dengan dalil bahwa Pajak Masukan tersebut nyata-nyata digunakan untuk unit/divisi perkebunan kelapa sawit yang atas penyerahan hasil perkebunan berupa Tandan Buah Segar (TBS) yang dibebaskan dari pengenaan PPN, sehingga pajak masukan yang terkait tidak dapat dikreditkan;

bahwa menurut Terbanding, dalam penjelasan Pasal 2 angka 1 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 78/PMK.03/2010 tanggal 5 Maret 2010 dijelaskan bahwa perusahaan terpadu adalah perusahaan yang menghasilkan beberapa macam produk, yaitu produk yang atas penyerahannya terutang PPN dan produk yang penyerahannya tidak terutang PPN, sehingga Pajak Masukan yang digunakan untuk menghasilkan produk yang bukan merupakan barang kena pajak tidak dapat dikreditkan;

bahwa menurut Terbanding, karena produk perkebunan Pemohon Banding adalah TBS yang atas penyerahannya dibebaskan dari Pengenaan PPN, maka Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan sekalipun tidak ada penyerahan kepada pihak lain, karena dalam penjelasan Pasal 2 angka 1 Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 78/PMK.03/2010 tanggal 5 Maret 2010 a quo, tidak disyaratkan adanya penyerahan barang yang tidak terutang pajak kepada pihak lain;

bahwa menurut Terbanding, pokok pikiran dalam Undang-undang PPN dan memori penjelasan Pasal 16B ayat (1) huruf b Undang-undang PPN, menghendaki keadilan pembebanan pajak dan diberlakukan dan diterapkannya perlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak atau terhadap kasus-kasus dalam bidang perpajakan yang pada hakekatnya sama;

bahwa menurut Terbanding, Pajak masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, tidak dapat dikreditkan, sebagaimana diatur dalam Pasal 16B ayat (3) Undang-undang PPN;

bahwa menurut Terbanding, atas penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis berupa barang hasil pertanian dibebaskan dari pengenaaan PPN, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007 Tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan pemerintah nomor 12 Tahun 2001 Tentang Impor dan Atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis Yang Dibebaskan Dari Pengenaaan Pajak Pertambahan Nilai;

bahwa menurut Terbanding, barang hasil pertanian tersebut adalah barang yang dihasilkan dari kegiatan usaha di bidang pertanian, perkebunan, dan kehutanan, yang dipetik langsung, diambil langsung atau disadap langsung dari sumbernya termasuk yang diproses awal dengan tujuan untuk memperpanjang usia simpan atau mempermudah proses lebih lanjut, sebagaimana ditetapkan dalam lampiran Peraturan Pemerintah tersebut, termasuk Tandan buah segar (TBS) Kelapa Sawit;

bahwa Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak sehubungan dengan penyerahan Barang Kena Pajak tertentu yang bersifat strategis yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, tidak dapat dikreditkan, sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor

(2)

31 Tahun 2007 a quo;

bahwa Terbanding mendalilkan bahwa salah satu karakteristik yang melekat pada PPN adalah bahwa PPN tidak menghendaki dirinya mempengaruhi kompetisi dalam bisnis;

bahwa Terbanding berpendapat bahwa perlakuan perpajakan yang dilakukan oleh Terbanding atas sengketa a quo adalah dalam rangka menjaga karakteristik netralitas pada PPN;

bahwa Terbanding berpendapat bahwa kompetisi antara perusahaan yang hanya menghasilkan CPO yang membeli TBS dari perusahaan yang menghasilkan TBS dengan perusahaan yang menghasilkan CPO secara terintegrasi pasti berbeda. tetapi PPN tidak boleh menjadi pembeda bagi kompetisi di antara keduanya; bahwa gramatikal (tata bahasa) yang digunakan dalam Pasal 16B ayat (3) UU PPN berbeda dengan Pasal 9 ayat (5) dan 9 ayat (6) UU PPN;

bahwa Pasal 16B ayat (3) menggunakan frase yang atas penyerahannya, sebagai berikut:

“Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, tidak dapat dikreditkan”; bahwa Pasal 9 ayat (5) dan 9 ayat (6) UU PPN menggunakan struktur kalimat aktif transitif yaitu:

“... Pengusaha Kena Pajak selain melakukan penyerahan yang terutang PPN dst...”;

bahwa Terbanding berpendapat bahwa karena tata bahasa yang digunakan berbeda, tentunya maknanya juga tidak sama;

bahwa Terbanding berpendapat bahwa frase “yang atas penyerahannya” pada Pasal 16B ayat (3) UU PPN maknanya berbeda dengan kalimat “Pengusaha yang melakukan penyerahan” pada Pasal 9 ayat (5) dan 9 ayat (6) UU PPN;

bahwa dalam memori penjelasannya ditegaskan sebagai berikut:

“Pengusaha Kena Pajak “B” memproduksi Barang Kena Pajak yang mendapat fasilitas dari Negara, yaitu atas penyerahan Barang Kena Pajak tersebut dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai”;

bahwa Terbanding berpendapat bahwa frase yang atas penyerahannya pada Pasal 16B ayat (3) UU PPN mengandung makna yang apabila diserahkan, itulah sebabnya, pilihan kata pada bagian penjelasan Pasal 16B ayat (3) UU PPN adalah “memproduksi” bukan “menyerahkan”;

bahwa Terbanding berpendapat bahwa ketika PKP memproduksi BKP yang mendapat fasilitas dibebaskan dari pengenaan PPN, ketika itu pulalah ketentuan yang menyatakan bahwa Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan berlaku tanpa menunggu kepastian adanya penyerahan BKP tersebut, itulah sebabnya frase yang digunakan dalam Pasal 16B adalah “yang atas penyerahannya”, bukan “Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan”;

bahwa berkaitan dengan sengketa a quo, Terbanding berpendapat bahwa Pemohon Banding adalah Pengusaha Kena Pajak yang memproduksi BKP yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN, oleh karena itu, sesuai ketentuan Pasal 16B ayat (3) UU PPN, Pajak Masukan atas perolehan BKP tersebut tidak dapat dikreditkan;

bahwa koreksi Terbanding atas pajak masukan sebesar Rp8.662.223,00 dengan dalil pajak masukan tersebut nyata-nyata terkait dengan unit kebun sawit dalam rangka menghasilkan TBS yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN, sehingga sesuai dengan ketentuan Pasal 9 ayat (5) dan ayat (6) serta Pasal 16B Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 s.t.d.t.d Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000, Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 s.t.d.t.d PP Nomor 31 Tahun 2007, PMK Nomor 78/PMK.03/2010, Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-03/PJ.3/1985 dan SE-90/PJ/2011 tidak dapat dikreditkan;

bahwa sengketa atas koreksi positif pajak masukan sebesar Rp8.662.223,00 ini merupakan sengketa yuridis fiskal, yaitu apakah Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP) yang nyata-nyata digunakan untuk unit atau kegiatan usaha kelapa sawit yang menghasilkan Tandan Buah Segar (selanjutnya disebut dengan TBS), yang dilakukan oleh Pemohon Banding yang melakukan kegiatan usaha terpadu (integrated) dapat dikreditkan atau tidak;

bahwa maksud dari terpadu atau terintegrasi (integrated) adalah bahwa industri pengolahan CPO menyatu (terintegrasi) dengan usaha perkebunan kelapa sawit (TBS) dalam satu entitas usaha, dimana TBS tersebut merupakan bahan baku untuk diolah menjadi CPO (Crude Palm Oil / Industri minyak kasar);

bahwa Pemohon Banding menyatakan tidak setuju atas koreksi tersebut dengan dalil, penyerahan yang dilakukan selama tahun 2012 berupa Crude Palm Oil (CPO), Palm Kernel dan Material/Spare Part dan Jasa Kena Pajak berupa Jasa Maklon merupakan penyerahan yang terutang Pajak Pertambahan Nilai dengan tarif 10% (berupa penyerahan yang Pajak Pertambahan Nilai-nya harus dipungut sendiri, penyerahan yang Pajak Pertambahan Nilai-nya tidak dipungut sesuai dengan SK Menteri Keuangan Nomor 291/KMK.05/1997 tentang Kawasan Berikat);

(3)

Pemohon Banding, Fakta Hukum yang terungkap dalam persidangan adalah sebagai berikut:

bahwa Pemohon Banding memiliki 2 (dua) unit usaha yaitu Unit perkebunan yang menghasilkan kelapa sawit (termasuk dalam kategori barang strategis yang PPN-nya dibebaskan sebagaimana diatur dalam PP-31 Tahun 2007) dan Unit Pengolahan yang mengolahan TBS menjadi CPO (termasuk barang Kena Pajak); bahwa lokasi perkebunan terbagi atas 3 Nomor Objek Pajak (PBB) yaitu Nomor 13.06.100.027.900-0018.1, 13.12.031.010.900-0019.1 dan 13.12.031.001.900-0034.1 yang berlokasi di Kabupaten Agam dan Pasaman Barat, Pabrik terletak di Kabupaten Agam;

bahwa terkait lokasi perkebunan tersebut Pemohon Banding menyatakan lokasi perkebunan tersebut sebenarnya menyatu dan berlokasi di perbatasan Kabupaten Agam dan Pasaman, namun demikian secara administrasi terletak di beberapa kecamatan sehingga Nomor Objek Pajaknya terbagi 3;

bahwa Pemohon Banding tidak melakukan penjualan TBS kepada Pihak lain dan hanya menjual Minyak sawit (CPO) dan Minyak Inti sawit (Palm Kernel) hasil dari pengolahan di pabriknya;

bahwa TBS digunakan sendiri oleh Pemohon Banding yaitu diolah di Pabrik Pengolahan yang dimilikinya sendiri;

bahwa berdasarkan uraian fakta hukum tersebut di atas dan berdasarkan peraturan perpajakan yang berlaku Majelis berpendapat sebagai berikut:

bahwa berdasarkan fakta dalam persidangan terbukti Pemohon Banding adalah perusahaan produsen minyak sawit (CPO) yang terintegrasi dengan jenis kegiatan Perkebunan Kelapa Sawit dan sekaligus juga mempunyai unit perkebunan dan pengolahan (pabrik) yang menghasilkan minyak sawit dan minyak inti sawit;

bahwa berdasarkan fakta dalam persidangan terbukti Pemohon Banding melakukan pengolahan semua TBS hasil dari unit kebunnya dan menjual produk akhirnya kepada pihak lain dalam bentuk Minyak sawit dan minyak inti sawit;

bahwa Majelis berpendapat bahwa dalam menentukan dapat dikreditkannya suatu pajak masukan haruslah dikaitkan dengan bidang usaha dan penyerahan yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak bukan dikaitkan dengan jenis barang yang dihasilkan oleh Pengusaha Kena Pajak;

bahwa hal ini secara implisit sesuai dengan Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai yang menyatakan “…Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran untuk Masa Pajak yang sama”;

bahwa selanjutnya Pasal 9 ayat (5) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai menyatakan “Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pengusaha Kena Pajak selain melakukan penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sepanjang bagian penyerahan yang terutang pajak dapat diketahui dengan pasti dari pembukuannya, maka jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan adalah Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang terutang pajak;

bahwa berdasarkan fakta dalam persidangan terbukti Pemohon Banding tidak melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak/dibebaskan pajak kepada pihak lain berupa Tandan Buah Segar yang dihasilkan oleh unit perkebunannya, sehingga secara jelas Pasal 9 ayat (5) tidak dapat diterapkan pada sengketa banding ini;

bahwa Pasal 16 B Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai sesuai falsafah dan historisnya, adalah merupakan aturan khusus di luar ketentuan Pasal 9 Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai;

bahwa Pasal 16 B Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai mengatur perlakuan khusus terkait Pajak Masukan untuk perusahaan yang memperoleh fasilitas atas penyerahan hasil produksinya;

bahwa Pasal 16 B Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai secara lengkap mengatur sebagai berikut: (1) Pajak terutang tidak dipungut sebagian atau seluruhnya, atau dibebaskan dari pengenaan pajak, baik

untuk sementara waktu maupun selamanya, untuk:

a. kegiatan di kawasan tertentu atau tempat tertentu di dalam Daerah Pabean;

b. penyerahan Barang Kena Pajak tertentu atau penyerahan Jasa Kena Pajak tertentu; c. impor Barang Kena Pajak tertentu;

d. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud tertentu dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; dan

e. pemanfaatan Jasa Kena Pajak tertentu dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, diatur dengan Peraturan Pemerintah.

(2) Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai dapat dikreditkan.

(3) Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai tidak dapat dikreditkan.;

(4)

yang khusus mengenai mekanisme pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;

bahwa kekhususan dimaksud adalah terkait dengan: kegiatan, barang kena pajak atau jasa kena pajak, impor barang kena pajak, pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan pemanfaatan Jasa Kena Pajak, yaitu dengan adanya kata “tertentu” di belakang hal-hal yang diatur khusus tersebut;

bahwa kalimat “yang atas penyerahannya” dalam Pasal 16B ayat (3) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai merujuk pada penyerahan akhir dari Pengusaha Kena Pajak yang melakukan “kegiatan tertentu” terkait dengan “barang kena pajak tertentu” dan “jasa kena pajak tertentu”, “impor Barang Kena Pajak tertentu”, “pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud tertentu”, “pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud tertentu”, “pemanfaatan Jasa Kena Pajak tertentu”;

bahwa Majelis berpendapat bahwa terbukti kegiatan Pemohon banding adalah melakukan kegiatan usaha industri kelapa sawit yang terintegrasi dengan produk akhir adalah CPO;

bahwa Majelis berpendapat bahwa Pemohon Banding sebagai pengusaha dengan kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit yang terintegrasi dengan pabrik pengolahan CPO dan PK tidak termasuk dalam lingkup kegiatan, penyerahan maupun pemanfaatan sebagaimana diatur dalam ketentuan pada Pasal 16 B UU PPN a quo;

bahwa kegiatan Pemohon banding yang melakukan kegiatan usaha industri kelapa sawit terintegrasi dengan produk akhir berupa CPO dan PK yang jelas-jelas merupakan barang kena pajak termasuk dalam lingkup kegiatan, penyerahan maupun pemanfaatan yang diatur oleh ketentuan umum yang mengatur tentang penyerahan barang kena pajak beserta pemungutan pajak pertambahan nilai serta pengkreditan pajak masukan pajak pertambahan nilai yaitu ketentuan sebagaimana diatur pada Pasal 9 ayat (5), ayat (6) dan ayat (7) UU PPN;

bahwa berdasarkan fakta dalam persidangan terbukti Pemohon Banding tidak melakukan penyerahan atas hasil produksi unit perkebunannya berupa Tandan Buah Segar yang menurut Pasal 16B ayat (3) UU PPN dan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007, penyerahan Tandan Buah Segar dibebaskan dari pengenaan pajak;

bahwa Pemohon Banding terbukti hanya melakukan penyerahan atas hasil akhir produksinya berupa Minyak Sawit dan Minyak Inti Sawit yang terutang Pajak Pertambahan Nilai, sehingga secara jelas Pasal 16B ayat (3) tidak dapat diterapkan pada sengketa banding ini;

bahwa dalam butir “Menimbang” pada UU PPN dinyatakan: “bahwa dalam rangka lebih meningkatkan kepastian hukum dan keadilan, serta menciptakan sistem perpajakan yang sederhana dengan tanpa mengabaikan pengawasan dan pengamanan penerimaan negara agar pembangunan nasional dapat dilaksanakan secara mandiri, dilakukan perubahan terhadap Undang-undang No.8 Tahun 1983 tentang PajakPertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994”;

bahwa butir “Menimbang” a quo secara tegas mengisyaratkan bahwa UU PPN dibuat dalam rangka menciptakan sistem perpajakan yang sederhana dengan tanpa mengabaikan pengawasan dan pengamanan penerimaan negara agar pembangunan nasional dapat dilaksanakan secara mandiri;

bahwa dalam teori hukum khususnya terkait dengan pembuatan peraturan perundang-undangan dikenal metode “Law and Economis/Economis Analysis of Law”;

bahwa “Law and Economis/Economis Analysis of Law” adalah: “In brief, this method applies the tool of economic analysis to law with a focus on the free market’s aim of efficiency and wealth/or utility maximization (it is being said that the law simply reflects the economic system within which it is situated” (Morris and Murphy);

bahwa menurut metode tersebut pembuatan suatu aturan (perundang-undangan) bertujuan untuk mencapai efisiensi dan maksimisasi kekayaan serta manfaat ekonomis yang kelak akan diperoleh Negara sebagai tujuan akhir dibuatnya aturan terkait;

bahwa adanya aturan yang memberikan manfaat dan keuntungan ekonomis bagi perusahaan sawit yang memiliki kebun dan sekaligus pabrik pengolahan adalah dibuat dalam rangka untuk memberikan kesejahteraan bagi rakyat dan Negara secara keseluruhan sebagai tujuan akhir dibuatnya aturan yang memberikan fasilitas untuk itu;

bahwa dalam hal adanya perusahaan sawit yang hanya memiliki kebun saja dan kemudian tidak mendapatkan fasilitas adalah merupakan kewajaran karena secara ekonomi perusahaan sawit yang hanya memiliki kebun akan memberikan sumbangan kepada perekonomian tidak sebesar sumbangan yang diberikan oleh perusahaan sawit yang terintegrasi yang telah mengeluarkan modal yang lebih besar;

bahwa dengan demikian antara perusahaan sawit yang hanya memiliki kebun saja dengan perusahaan sawit yang memiliki kebun dan pabrik pengolahan tidak dapat diperbandingkan karena tidak sama (tidak ekual); bahwa dengan kondisi sedemikian maka konsep equal treatment tidak dapat diberlakukan antara perusahaan sawit yang hanya memiliki kebun saja dengan perusahaan sawit terintegrasi yang memiliki kebun dan

(5)

sekaligus pabrik pengolahan dan menghasilkan CPO dan PK sebagai produk akhir yang merupakan barang kena pajak;

bahwa terkait prinsip netralitas dalam perpajakan, Majelis berpendapat bahwa keputusan bisnis harus dimotivasi oleh ekonomi itu sendiri dan bukannya oleh faktor pajak;

bahwa dengan pertimbangan seperti disampaikan di atas maka perusahaan (Wajib Pajak) dalam suatu situasi yang sama dan melakukan suatu transaksi yang serupa akan dikenakan tingkat pajak yang sama juga;

bahwa dalam kondisi antara perusahaan sawit dengan kebun saja dibandingkan dengan perusahaan sawit yang memiliki kebun dan juga pabrik pengolahannya maka kedua perusahaan tersebut tidak dapat dikatakan dalam suatu keadaan atau situasi yang sama;

bahwa oleh karenanya Majelis berpendapat bahwa prinsip netralitas bagi ke dua jenis perusahaan sawit tersebut tidak dapat diberlakukan;

bahwa Majelis mempertimbangkan penafsiran yang akan datang (futuristik) dalam hal adanya ketentuan yang mengatur tentang pengkreditan pajak masukan yang tercantum pada Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 21/PMK.011/2014 tanggal 30 Januari 2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 78/PMK.03/2010 Tentang Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan Bagi Pengusaha Kena Pajak Yang Melakukan Penyerahan Yang Terutang Pajak Dan Penyerahan Yang Tidak Terutang Pajak;

bahwa Pasal 2 A ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 21/PMK.011/2014 mengatur:

“Pengusaha Kena Pajak yang:

a. menghasilkan Barang Kena Pajak yang atas penyerahannya termasuk dalam Penyerahan yang Tidak Terutang Pajak; dan

b. mengolah dan/atau memanfaatkan lebih lanjut Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf a, baik melalui unit pengolahan sendiri maupun melalui titip olah dengan menggunakan fasilitas pengolahan Pengusaha Kena Pajak lainnya sehingga menjadi Barang Kena Pajak yang atas seluruh penyerahannya termasuk dalam Penyerahan yang Terutang Pajak,

seluruh Pajak Masukan yang sudah dibayar dapat dikreditkan sesuai ketentuan peraturan perundang undangan di bidang perpajakan.”

bahwa peraturan perundang-undangan a quo mengatur bahwa seluruh Pajak Masukan yang sudah dibayar dapat dikreditkan sesuai ketentuan peraturan perundang undangan di bidang perpajakan;

bahwa Majelis berpendapat bahwa TBS yang dihasilkan dari unit perkebunan kelapa sawit Pemohon Banding digunakan sendiri (pemakaian sendiri) untuk tujuan produktif di unit pengolahan TBS untuk menghasilkan CPO dan PK (Integrated), sehingga tidak tepat apabila hal tersebut dianggap Terbanding sebagai penyerahan Barang Kena Pajak;

bahwa Majelis berpendapat unit perkebunan kelapa sawit yang menghasilkan TBS dan unit pengolahan yang menghasilkan CPO dan PK merupakan satu kesatuan entitas (Single Entity) secara fiskal karena kedua unit tersebut merupakan satu kesatuan NPWP dan NPPKP;

bahwa Majelis berpendapat produk akhir Pemohon Banding berupa CPO dan PK yang merupakan Barang Kena Pajak yang atas penyerahannya terutang PPN yang seharusnya oleh Terbanding dijadikan dasar apakah Pajak Masukan PPN yang dikreditkan berhubungan dengan kegiatan usahanya bukan memilah-milah bagian mata rantai dari proses produksi;

bahwa Majelis berpendapat bahwa Pajak Masukan atas pembelian pupuk, biaya angkut pupuk, peptisida dan sebagainya yang dikoreksi Terbanding terbukti mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha yang menghasilkan CPO dan PK yang merupakan produk akhir Pemohon Banding, bukannya dipilah-pilah apakah PM a quo digunakan untuk menghasilkan barang setengah jadi maupun barang jadi;

bahwa dengan pertimbangan-pertimbangan sebagaimana diuraikan di atas, maka Majelis berpendapat koreksi Terbanding atas Pajak Masukan dalam rangka menghasilkan Tandan Buah Segar (TBS) tidak sesuai dengan ketentuan dan oleh karenanya koreksi a quo tidak dapat dipertahankan;

bahwa dalam musyawarah Majelis, Hakim Wisnoe Saleh Thaib, Ak., M.Sc menyatakan pendapat yang berbeda (dissenting opinion) atas koreksi koreksi Pajak Masukan yang terkait dengan kebun sebesar Rp8.662.223,00 dengan uraian sebagai berikut:

bahwa Pasal 16B ayat (3) UU PPN menyatakan “Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai tidak dapat dikreditkan”;

bahwa apakah dalam konteks Pasal ini dapat diartikan Wajib Pajak harus melakukan penyerahan yang tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai (kepada pihak lain);

(6)

bahwa dalam kamus bahasa Indonesia versi online (http://kbbi.web.id/), kata dasar “yang” memiliki arti sebagai berikut:

yang 1 p kata untuk menyatakan bahwa kata atau kalimat yg berikut diutamakan atau dibedakan dr yg lain: orang -- baik hati; 2 p kata yg menyatakan bahwa bagian kalimat yg berikutnya menjelaskan kata yg di depan: dijumpainya seorang pengemis -- sedang berteduh di bawah pohon asam itu; 3 pron kata yg dipakai sbg kata pembeda: -- kaya sama -- kaya, -- miskin sama -- miskin; 4 kl p adapun; akan: -- hamba ini diperanakkan di Malaka juga; 5 p cak bahwa: saya pun percaya -- Adinda kasih juga akan Kakanda; bahwa berdasarkan kamus bahasa Indonesia versi online di atas, kata “yang” bermakna: kata yang menyatakan bahwa bagian kalimat berikutnya menjelaskan kata yang didepannya. Oleh karena itu, kalimat : “ atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan pajak Pertambahan nilai tidak dapat dikreditkan”, bukan menerangkan penyerahan yang dilakukan, melainkan menerangkan Barang Kena Pajak yang mendapat fasilitas

bahwa dengan demikian, penentuan Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan BKP/JKP dapat dikreditkan atau tidak, bukan didasarkan pada ada tidaknya penyerahan, melainkan jenis BKP/JKP yang diperolehnya yaitu TBS;

bahwa landasan filosofis Pasal 16B UU PPN sebagaimana diuraikan dalam penjelasannya adalah sebagai berikut:

“Salah satu prinsip yang harus dipegang teguh di dalam Undang-Undang Perpajakan adalah diberlakukan dan diterapkannya perlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak atau terhadap kasus-kasus dalam bidang perpajakan yang pada hakikatnya sama dengan berpegang teguh pada ketentuan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, setiap kemudahan dalam bidang perpajakan, jika benar-benar diperlukan, harus mengacu pada kaidah di atas dan perlu dijaga agar di dalam penerapannya tidak menyimpang dari maksud dan tujuan diberikannya kemudahan tersebut”;

“Tujuan dan maksud diberikannya kemudahan pada hakikatnya untuk memberikan fasilitas perpajakan yang benar-benar diperlukan terutama untuk berhasilnya sektor kegiatan ekonomi yang berprioritas tinggi dalam skala nasional, mendorong perkembangan dunia usaha dan meningkatkan daya saing, mendukung pertahanan nasional, serta memperlancar pembangunan nasional”;

bahwa Pemohon Banding berpendapat ketika Wajib Pajak yang hanya melakukan penyerahan dan penjualan TBS saja maka Pajak Masukannya tidak dapat di kreditkan, namun apabila Wajib Pajak melakukan proses bisnis yang terpadu (integrated) dengan hanya melakukan penyerahan/penjualan CPO (BKP) maka Pajak Masukan sehubungan dengan perolehan TBS dapat dikreditkan, sehingga pendapat Pemohon Banding tersebut telah mengabaikan prinsip perlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak (Equal) yang dianut dalam Pasal 16B UU PPN;

bahwa berdasarkan prinsip perlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak (Equal) yang dianut dalam Pasal 16 B UU PPN, Hakim Wishnoe Saleh Thaib Ak, M.Sc berpendapat bahwa Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang nyata-nyata hanya digunakan untuk kegiatan untuk menghasilkan Barang Kena Pajak strategis, tidak dapat dikreditkan;

bahwa prinsip netralitas dalam Pajak Pertambahan Nilai perlu dikedepankan dan tidak boleh ditinggalkan, karena PPN tidak menghendaki adanya kondisi yang mempengaruhi kompetisi dalam dunia bisnis. Jika Pajak Masukan untuk menghasilkan TBS pada usaha terintegrasi dapat dikreditkan, Pengusaha yang memiliki modal kecil yang tidak mampu memiliki unit pengolahan (di dalamnya termasuk petani), akan kesulitan berkompetisi harga dengan pengusaha besar (karena Pajak Masukan akan menjadi unsur Harga Pokok Penjualan). Hal tersebut bertentangan dengan prinsip netralitas PPN yang menghendaki PPN tidak mempengaruhi kompetisi dalam bisnis;

bahwa mengingat TBS merupakan Barang Kena pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dan untuk menjaga prinsip netralitas, maka Hakim Wishnoe Saleh Thaib Ak, M.Sc berpendapat Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan TBS tidak dapat dikreditkan.

bahwa koreksi positif Pajak Masukan PPN atas Barang Kena Pajak yang bersifat strategis yang nyata-nyata digunakan untuk unit kegiatan yang menghasilkan Tandan Buah Segar (TBS) yang penyerahannnya dibebaskan dari pengenaan PPN pada perusahaan yang melakukan kegiatan usaha terpadu (integrated) dapat dibenarkan, sesuai dengan norma atau kaidah serta kebijakan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (5) dan ayat (6) serta Pasal 16 B ayat (3) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai, dengan demikian, koreksi Terbanding tetap dipertahankan karena telah sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan yang berlaku;

bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007, menetapkan Tandan Buah Segar (TBS) sebagai Barang Kena Pajak yang bersifat strategis (BKP Strategis) yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;

bahwa oleh karena itu, Hakim Wishnoe Saleh Thaib Ak, M.Sc berpendapat bahwa Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan dalam rangka menghasilkan BKP yang tidak terutang PPN yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001

(7)

sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007 harus berlaku sama terhadap semua Wajib Pajak, baik bagi usaha kelapa sawit terpadu (integrated) yang mempunyai pabrik CPO maupun bagi usaha kelapa sawit yang tidak terpadu (non integrated) yang tidak mempunyai pabrik CPO, sesuai dengan prinsip perlakuan yang sama (equal treatment) sebagaimana diatur dalam penjelasan Pasal 16B ayat (1) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai;

Dengan demikian berdasarkan hal – hal tersebut diatas, Hakim Wishnoe Saleh Thaib Ak, M.Sc berpendapat bahwa koreksi terbanding atas Pajak Masukan dalam rangka menghasilkan Tandan Buah Segar ( TBS) sudah tepat dan menolak banding atas koreksi tersebut diatas;

Menimbang : bahwa Pasal 79 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak mengatur sebagai berikut : “Dalam hal pemeriksaan dilakukan oleh Majelis, putusan Pengadilan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 diambil berdasarkan musyawarah yang dipimpin oleh Hakim Ketua dan apabila dalam musyawarah tidak dapat dicapai kesepakatan, putusan diambil dengan suara terbanyak”;

Menimbang : bahwa karena salah satu Hakim berpendapat lain, maka putusan diambil berdasarkan suara terbanyak, dengan demikian pendapat berdasarkan suara terbanyak Majelis Hakim adalah berketetapan mengabulkan seluruhnya banding Pemohon Banding terhadap koreksi Pajak Masukan yang digunakan untuk menghasilkan TBS Kelapa Sawit di unit perkebunan sebesar Rp8.662.223,00

Menimbang : bahwa dalam sengketa banding ini tidak terdapat sengketa mengenai Tarif Pajak Menimbang : bahwa dalam sengketa banding ini tidak terdapat sengketa mengenai Sanksi

Administrasi, kecuali bahwa besarnya sanksi administrasi tergantung pada penyelesaian sengketa lainnya;

bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, rekapitulasi pendapat Majelis atas pokok sengketa adalah sebagai berikut :

No Uraian Koreksi Total Sengketa

(Rp) Tidak Dipertahankan(Rp) Dipertahankan(Rp)

1 Pajak Masukan 8.662.223,00 8.662.223,00 0,00

Menimbang : bahwa berdasarkan kesimpulan Majelis terhadap sengketa di atas, maka dengan kuasa Pasal 80 ayat (1) huruf b Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, Majelis memutuskan untuk mengabulkan seluruhnya banding Pemohon Banding, sehingga Pajak Masukan Pemohon untuk Masa Pajak Maret 2012 dihitung kembali sebagai berikut :

Pajak yg dapat diperhitungkan menurut Terbanding sebesar Rp. 3.453.647.248,00 Koreksi Pajak Masukan Yang tidak dapat dipertahankan sebesar Rp. 8.662.223,00

Pajak yg dapat diperhitungkan menurut Majelis sebesar Rp. 3.462.309.471,00 Mengingat : Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, Undang-Undang

Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009, dan ketentuan perundang-undangan lainnya serta peraturan hukum yang berlaku dan yang berkaitan dengan perkara ini;

Memutuskan : Menyatakan mengabulkan seluruhnya banding Pemohon Banding terhadap keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-2228/WPJ.19/2014 tanggal 29 Oktober 2014, tentang Keberatan Wajib Pajak atas Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Masa Pajak Maret 2012 Nomor 00064/407/12/092/13 tanggal 27 November 2013, atas nama XXX, dengan perhitungan menjadi sebagai berikut :

Dasar Pengenaan Pajak : - Ekspor

- Penyerahan yg PPN-nya harus dipungut sendiri - Penyerahan yg PPN-nya tidak dipungut

- Penyerahan yg dibebaskan dari pengenaan PPN - Dikurangi: Retur Penjualan

Rp Rp Rp Rp 0,00 33.009.418.225,00 10.370.207.641,00 4.189.500,00 0,00

Jumlah Seluruh Penyerahan Rp 43.383.815.366,00

(8)

Pajak yg dapat diperhitungkan Rp 3.462.309.471,00 Jumlah Perhitungan PPN yang kurang/(Lebih) bayar Rp (161.367.648,00) Kelebihan Pajak Pertambahan Nilai yang sudah

dikompensasikan Rp 8.030.187,00

Julah Pajak Pertambahan Nilai yang Lebih Bayar Rp (153.337.461,00)

Sanksi Administrasi Undang-Undang KUP Rp 0,00

Jumlah PPN Yang Masih Harus Dibayar Rp (153.337.461,00)

Demikian diputus di Jakarta berdasarkan musyawarah setelah pemeriksaan dalam persidangan dicukupkan pada hari Selasa tanggal 8 September 2015 oleh Hakim Majelis VIA Pengadilan Pajak, dengan susunan Majelis dan Panitera Pengganti sebagai berikut :

Wishnoe Saleh Thaib, Ak.,M.Sc ………..… sebagai Hakim Ketua, Tri Hidayat Wahyudi,Ak.,M.B.A …….……. sebagai Hakim Anggota, Drs. Djoko Joewono Hariadi,M.Si... sebagai Hakim Anggota, yang dibantu oleh Ir. Hendaryati, M.M., sebagai Panitera Pengganti,

dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum oleh Hakim Ketua pada hari Selasa tanggal 17 November 2015 dengan dihadiri oleh para Hakim Anggota, Panitera Pengganti, serta tidak dihadiri oleh Terbanding dan tidak dihadiri oleh Pemohon Banding.

Referensi

Dokumen terkait

bahwa pokok sengketa koreksi atas Pajak Masukan, menurut Terbanding bahwa Pajak Masukan tidak memenuhi ketentuan Pasal 1 angka 24 UU PPN dan Pasal 13 ayat (9) Undang-Undang PPN

Kendala internal yang dialami selama massa pra produksi selama observasi yang penulis lakukan adalah tidak pernah adanya meeting pada saat pra produksi, berbeda dengan

Rata-rata usia menopause perempuan Kecamatan Pamijahan yang tidak berKB adalah 45.0 tahun dengan usia rata-rata menarke 13.5 tahun, sedangkan rata-rata usia menopause

bahwa dengan melihat fakta data seperti tersebut di atas biarpun Majelis berpendapat bahwa 2 (dua) atau lebih metode analisa kesebandingan (CUP dan TNMM) dapat dilaksanakan

Karya-karya sastra yang mengalami Islamisasi dalam sastra Melayu klasik ini menurut Edwar Djamaris (1984: 102) diklasifikasikan dalam enam golongan yaitu: a) kisah

Media informasi yang digunakan adalah poster yang dapat mempengaruhi masyarakat (Public Persuasion) dengan menggunakan kampanye sosial untuk mengubah pola pikir

Bahwa karenanya yang menjadi obyek sengketa berupa Koreksi Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan terkait dengan klarifikasi “tidak ada” dan Pajak Masukan Ganda

Pajak Pertambahan Nilai masukan adalah pajak yang dibebankan kepada pengusaha kena pajak atas perolehan barang atau jasa kena pajak, sedangkan Pajak Pertambahan Nilai