• Tidak ada hasil yang ditemukan

KERAGAMAN KARAKTERISTIK TANAH DI LAPANG DAN HUBUNGANNYA DENGAN POLA SPASIAL BENTUK LAHAN DI AGROTECHNOPARK KOLEBERES, CIANJUR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KERAGAMAN KARAKTERISTIK TANAH DI LAPANG DAN HUBUNGANNYA DENGAN POLA SPASIAL BENTUK LAHAN DI AGROTECHNOPARK KOLEBERES, CIANJUR"

Copied!
94
0
0

Teks penuh

(1)

KERAGAMAN KARAKTERISTIK TANAH DI LAPANG DAN HUBUNGANNYA DENGAN POLA SPASIAL BENTUK LAHAN

DI AGROTECHNOPARK KOLEBERES, CIANJUR

Oleh :

BUDI PRIYANTO A24102040

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

(2)

SUMMARY

BUDI PRIYANTO. Diversity of Soil Characteristics in Field and Its Relation

with Landform Spatial Pattern at Agrotechnopark Koleberes, Cianjur. Supervised by DARMAWAN and SUWARDI.

Soil mapping in detail scale needs a high intensity of observation and costly. To decrease the cost, the mapping usually done using an approach of delineation of soil forming factors into homogeneous sets. This approach is based on an assumption that if soil forming factors are homogeneous then the soil characteristics will also homogeneous. However various survey experiences indicated that at sloping areas, soil characteristics still vary although soil forming factors show a high homogeneity.

The aim of this research is to study soil characteristics observed from boring with a high observation intensity and to search for a spatial relation between soil characteristics and classification with spatial distribution of landform at a slopping areas. Materials of this research comprised contour map, geology map, existing soil map and soil data covering profile description and its of physic and chemical data. GIS software (Arc View GIS 3.3) was used for spatial analysis of landform.

In this research, landform are delineated based on an 1:1000 contour map considering the concept of “Model Diagram of Nine Land Surface” of Dalrymple et. al. (1968; in Darmawan, 1987). Field characteristics of soil were obtained from borings taken at the close distances along slope transects. Observation conducted at some slope transects across various landforms.

Soils on research location formed from parent material which is relatively homogeneous under the influence of the same climate, organism and times. Meanwhile relief/ topography shows a high heterogeneity, with differences that even happened at a narrow space. This heterogeneity is reflected by existence of various landform i.e. convex-rather flat-upper slope, straight-flat to rather steep middle slope, concave-rather steep lower slope, etc.

Soil field characteristics obtained from boring observation at close distances show very high variations as shown by variation in composition and depth of horizon A and B, soil colour, texture and consistency. This phenomenon could affect the soil classification at family and series level.

Toposequently, from upper slope (convex) through the mid slope (straight), to the lower slope (concave) had a tendency to have more complex horizon composition. This phenomenon was due to the dominant process of erosion at the upper slope, and deposition at the lower slope.

(3)

RINGKASAN

BUDI PRIYANTO. Keragaman Karakteristik Tanah di Lapang dan

Hubungannya dengan Pola Spasial Bentuk Lahan di Agrotechnopark Koleberes, Cianjur. Di bawah bimbingan DARMAWAN dan SUWARDI.

Pemetaan tanah tingkat detil memerlukan intensitas pengamatan yang tinggi dan biaya besar. Untuk menekan biaya, maka selama ini pemetaan umumnya dilakukan dengan pendekatan analisis spasial faktor-faktor pembentuk tanah yang dideliniasi dalam satuan homogen. Pendekatan ini didasarkan pada asumsi bahwa jika faktor-faktor pembentuk tanah homogen maka karakteristik tanah juga akan homogen. Akan tetapi berbagai pengalaman survei menunjukkan bahwa di daerah berlereng, karakteristik tanah sangat beragam walaupun analisis spasial faktor pembentuk tanah menunjukkan homogenitas tinggi.

Tujuan penelitian ini ialah untuk mempelajari keragaman karakteristik tanah dari data pemboran dengan intensitas pengamatan yang tinggi dan mencari hubungan spasial antara sebaran karakteristik dan klasifikasi tanah dengan bentuk lahan, pada daerah berlereng. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Peta Kontur, Peta Geologi, Peta Tanah dan data tanah meliputi data deskripsi profil serta data analisis sifat fisik dan kimia. Alat yang digunakan adalah peralatan survei tanah dan perangkat GIS (Software Arc View GIS 3.3).

Penelitian ini bentuk lahan dideliniasi berdasarkan peta kontur skala 1:1000 dengan mengacu pada konsep “Diagram Model Sembilan Permukaan Lahan” menurut Dalrymple et. al. (1968; dalam Darmawan, 1987). Data karakteristik tanah di lapang diperoleh melalui pemboran pada jarak rapat sepanjang transek lereng. Pengamatan dilakukan pada beberapa transek lereng yang memotong berbagai bentuk lahan.

Tanah di lokasi penelitian terbentuk dari bahan induk yang relatif homogen, di bawah pengaruh iklim, organisme dan waktu yang sama. Sementara itu relief/ topografi menunjukkan heterogenitas tinggi, dengan perbedaan yang terjadi pada jarak relatif berdekatan. Hal ini tercermin dari adanya berbagai satuan bentuk lahan yang berbeda yaitu puncak yang berbentuk cembung dengan lereng agak datar, lereng tengah yang lurus dan agak curam sampai curam, lereng bawah yang cekung dan agak curam, dan sebagainya.

Karakteristik tanah di lapang menunjukkan bahwa pada jarak pengamatan yang rapat terdapat variasi yang sangat tinggi yaitu ditunjukkan oleh keragaman susunan dan kedalaman horison A dan B, warna, tekstur dan konsistensi tanah. Hal ini dapat berpengaruh pada pengklasifikasian tanahnya pada tingkat famili dan seri.

Secara toposekuen, dari lereng atas (cembung) ke lereng tengah (lurus) sampai lereng bawah (cekung) terdapat kecenderungan dimana susunan horison semakin kompleks. Hal ini disebabkan oleh dominasi proses erosi pada lereng atas dan deposisi pada lereng bawah.

(4)

KERAGAMAN KARAKTERISTIK TANAH DI LAPANG DAN HUBUNGANNYA DENGAN POLA SPASIAL BENTUK LAHAN

DI AGROTECHNOPARK KOLEBERES, CIANJUR

Oleh :

BUDI PRIYANTO A24102040

Sripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

(5)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Skripsi : KERAGAMAN KARAKTERISTIK TANAH DI

LAPANG DAN HUBUNGANNYA DENGAN POLA SPASIAL BENTUK LAHAN DI AGROTECHNOPARK KOLEBERES, CIANJUR

Nama Mahasiswa : Budi Priyanto

Nomor Pokok : A24102040

Menyetujui,

Pembimbing I

Dr. Ir. Darmawan, M.Sc NIP. 131 879 335

Pembimbing II

Dr. Ir. Suwardi, M.Agr NIP. 131 664 410

Mengetahui,

Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr NIP. 131 124 019

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Rembang Jawa Tengah pada tanggal 27 September 1984. Penulis adalah anak ketiga dari tiga bersaudara dari keluarga Bapak Djupri dan Ibu Suyatni.

Penulis lulus dari SDN Tanjungsari I Rembang pada tahun 1996, kemudian pada tahun 1999 penulis lulus dari SMP Negeri I Rembang dan tiga tahun kemudian, yaitu tahun 2002 penulis lulus dari SMU Negeri I Rembang. Pada tahun 2002 penulis diterima sebagai mahasiswa di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada Jurusan Ilmu Tanah dan Manajemen Sumberdaya Lahan Fakultas Pertanian IPB.

Selama menempuh pendidikan di IPB, penulis aktif dalam berbagai organisasi yaitu menjabat sebagai Komti Angkatan pada saat Tingkat Persiapan Bersama, Kolat PS Merpati Putih dan Kepala Biro Sospol Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Pertanian (BEM-A). Penulis juga aktif dalam organisasi yang bersifat kedinasan Resimen Mahasiswa dengan jabatan terakhir sebagai Komandan Satuan RESIMEN MAHASISWA IPB Tahun 2005. Penulis juga berkesempatan menjadi asisten mata kuliah Dasar-dasar Ilmu Tanah pada tahun 2005 dan mata kuliah Survei Tanah dan Evaluasi Lahan pada tahun 2006.

Pada tahun 2007-2008 penulis berkesempatan mengikuti Program Magang Kerja dari Kantor Jasa Ketenagakerjaan (KJK) IPB selama 1 tahun di Shimota Farm, Kaiduka City, Ibaraki Ken, Japan.

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, yang telah melimpahkan segala rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini. Skripsi yang berjudul “Keragaman Karakteristik Tanah di Lapang dan Hubungannya dengan Pola Spasial Bentuk Lahan di Agrotechnopark Koleberes Cianjur” merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Pertanian, Program Studi Ilmu Tanah, Institut Pertanian Bogor.

Penulis menyadari dalam menyelesaikan skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Dr. Ir. Darmawan, M.Sc. Sebagai pembimbing akademik serta pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan, saran dan dorongan kepada penulis dalam pelaksanaan penelitian dan penulisan skripsi.

2. Dr. Ir. Suwardi, M.Sc. Sebagai pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan, saran dan dorongan kepada penulis dalam pelaksanaan penelitian dan penulisan skripsi.

3. Dr. Ir. Dyah Tjahyandari Suryaningtyas, MAppSc selaku dosen penguji. 4. Dr. Ir. Ophirtus Sumule sebagai Tim Ahli ATP Kementrian Negara Riset dan

Teknologi, yang telah memberikan izin lokasi, sarana dan prasarana dalam pelaksanaan penelitian di Agrotechnopark Koleberes Cianjur.

5. Bapak Ir. Irfan Handriyadi selaku Manager Agrotechnopark Cianjur, Ahmad, Lukman, Dadang, Halim beserta rekan–rekan semuanya yang ada di Agrotechnopark Koleberes Cianjur yang telah membantu penulis selama di lokasi, terimakasih atas bantuannya baik secara moril maupun spiritual.

6. Bapak dan Ibu serta seluruh keluarga yang senantiasa memberikan nasehat dan do’a serta dukungan yang tak henti untuk sebuah kehidupan yang harus diperjuangkan.

7. Semua pihak yang telah membantu penulis selama penelitian dan penyelesaian skripsi ini.

(8)

Penulis berharap tulisan ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membacanya.

Bogor, Februari 2009

(9)

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR……….. DAFTAR ISI ……… DAFTAR TABEL………. DAFTAR GAMBAR ………... I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang ………. 1. 2. Tujuan ………..

II. TINJAUAN PUSTAKA

2. 1. Karakteristik Tanah di Lapang ………... 2. 1. 1. Warna Tanah ………... 2. 1. 2. Tekstur Tanah ……….. 2. 1. 3. Konsistensi Tanah ………... 2. 1. 4. Struktur Tanah ………. 2. 1. 5. Horison Tanah……….. 2. 2. Klasifikasi dan Peta Tanah ……….. 2. 2. 1. Klasifikasi Tanah……….. 2. 2. 2. Peta Tanah ………... 2. 3. Konsep dan Klasifikasi Bentuk Lahan ……… 2. 3. 1. Pengertian Bentuk Lahan ……….... 2. 3. 2. Faktor dan Proses Pembentukan Bentuk Lahan ……….. 2. 3. 3. Sistem Klasifikasi Bentuk Lahan ……….... 2. 3. 4. Klasifikasi Bentuk Lahan ……….... 2. 4. Hubungan Bentuk Lahan dengan Karakteristik Tanah………....

III. BAHAN DAN METODE

3. 1. Waktu dan Tempat ……… 3. 2. Bahan dan Alat ………... 3. 3. Metode………... i iii v vi 1 2 3 3 5 7 7 8 10 10 11 13 13 13 14 15 18 23 23 25

(10)

3. 3. 1. Persiapan ……….. 3. 3. 2. Pelaksanaan Pengamatan ………. 3. 3. 3. Analisis Data ………

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. 1. Faktor Pembentuk dan Proses Pembentukan Tanah………. 4. 2. Sebaran Bentuk Lahan ………. 4. 3. Sebaran Keragaman Karakteristik Tanah di Lapang……… 4. 4. Kemungkinan Pengaruh Keragaman Karakteristik Tanah

di Lapang terhadap Klasifikasi Tanah ……….. 4. 5. Korelasi antara Sebaran Bentuk Lahan dengan Karakteristik

dan Klasifikasi Tanah di Lapang ………..

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5. 1. Kesimpulan ………. 5. 2. Saran ………... DAFTAR PUSTAKA ………... LAMPIRAN ... 25 25 26 27 29 30 40 43 58 58 59 62

(11)

DAFTAR TABEL

Nomor Teks

1. Arti Warna terhadap Sifat Tanah (Rachim, 1999)... 2. Hubungan Antara Sifat-sifat Tanah dengan Kelas Tekstur

Tanah dalam Penetapan Tekstur Tanah di Lapang

(Suwardi, 2000) ... 3. Sifat-sifat Tanah Penciri pada Masing-masing Kategori dalam

Sistem Taksonomi Tanah (Buol et al., 1980)...

4. Persentase Kemiringan Lereng ……….

5. Kemungkinan Famili dan Segmen Lereng Titik-titik

Pemboran ……….. 6. Kemungkinan Pembeda Seri Titik-titik Pemboran ………...

Lampiran

1. Deskripsi Profil ……….

2. Data Curah Hujan Selama 10 Tahun ……….

3. Sifat-sifat Tanah dari Hasil Analisis Laboratorium……… 4. Parameter dan Kriteria Pembeda Seri Tanah yang

Disarankan ……….. Halaman 4 6 11 30 41 53 71 80 81 82

(12)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Teks

7. Diagram Model Sembilan Satuan Bentuk Permukaan Lahan dari Dalrymple et al. (1968; dalam Darmawan, 1987)……… 8. Klasifikasi Lereng Menurut Savigear

(1960; dalam Darmawan, 1987)………... 9. Sekuen Tanah di Peru dan Columbia

(Tyler, 1975; dalam Darmawan, 1987)... 10. Sekuen Tanah di Cipayung-Bogor (Sukarman, 1979)………. 11. Sekuen Tanah di Megamendung-Bogor (Ritung, 1979)………….. 12. Peta Situasi Daerah Penelitian dan Sekitarnya……….

13. Diagram Alir Pelaksanaan Penelitian………

14. Grafik Curah Hujan Bulanan di Daerah Penelitian……….. 15. Grafik Hari Hujan Bulanan di Daerah Penelitian………... 16. Peta Sebaran bentuk Lahan dan Transek Pengamatan…... 17. Bentuk Lahan Sama, Karakteristik Tanah Berbeda……….. 18. Bentuk Lahan Berbeda, Karakteristik Tanah Sama………..

19. Bentuk Lahan Berbeda, Famili Tanah Sama ………

20. Keragaman Karakteristik Tanah dari Lereng Atas-Lereng Bawah...

Lampiran

1. Penyebaran Karakteristik Tanah Transek 1………..

2. Penyebaran Karakteristik Tanah Transek 2………..

3. Penyebaran Karakteristik Tanah Transek 3………..

4. Penyebaran Karakteristik Tanah Transek 4………..

5. Penyebaran Karakteristik Tanah Transek 5………..

6. Penyebaran Karakteristik Tanah Transek 6………..

7. Penyebaran Karakteristik Tanah Transek 7………..

8. Penyebaran Karakteristik Tanah Transek 8………..

Halaman 19 20 21 21 22 24 26 28 28 31 44 46 49 57 63 64 65 66 67 68 69 70

(13)

I. PENDAHULUAN

I. 1. LATAR BELAKANG

Survei dan pemetaan tanah merupakan sarana penting dalam mempersiapkan rencana pengembangan pertanian. Melalui pemetaan tanah diperoleh data tentang karakteristik serta klasifikasi tanah dan penyebarannya secara spasial. Hasil survei dan pemetaan tersebut merupakan dasar untuk mencari potensi sekaligus faktor penghambat dalam rangka pemanfaatan dan pengembangan areal.

Kegiatan pemetaan tanah mencakup identifikasi dan klasifikasi tanah-tanah yang terdapat pada suatu areal, serta membatasi sebarannya dan dituangkan ke dalam peta tanah. Pemetaan dilakukan sesuai dengan tujuan yang diinginkan, misalnya menghendaki data yang lengkap dan detil, maka dilakukan dengan skala detil. Jenis peta yang dihasilkan dalam kegiatan pemetaan tanah sangat bervariasi tergantung pada tujuan dan skala peta yang diinginkan. Semakin besar skalanya maka informasi yang terdapat pada peta juga semakin banyak dan detil, begitu juga sebaliknya semakin kecil skalanya maka semakin sedikit informasi yang terkandung dalam peta tersebut. Intensitas pemetaan erat kaitannya dengan hirarki, identifikasi dan penamaan tanah (Klasifikasi Tanah).

Skala pemetaan detil memerlukan intensitas pengamatan yang tinggi dan biaya besar. Oleh karena itu, untuk menghemat biaya maka selama ini pemetaan tanah umumnya dilakukan dengan pendekatan analisis spasial faktor-faktor pembentuk tanah yang dideliniasi dalam satuan homogen. Pendekatan ini didasarkan pada asumsi bahwa jika faktor-faktor pembentuk tanah homogen maka karakteristik tanah juga akan homogen. Namun demikian berbagai pengalaman survei oleh Staf Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan menunjukkan bahwa di daerah berlereng, karakteristik tanah sangat berbeda walaupun memiliki faktor pembentuk tanah yang sama. Kasus yang sering dijumpai adalah dijumpainya titik-titik pengamatan yang menunjukkan karakteristik tanah berbeda walaupun titik-titik tersebut menempati suatu satuan delineasi berdasarkan homogenitas faktor pembentuk tanah dan bahkan telah mencerminkan homogenitas topografi pada skala spasial yang tinggi. Di Indonesia keadaan

(14)

seperti ini seringkali dijumpai di daerah berlereng. Karena fakta ini maka seringkali satuan peta tanah yang dihasilkan masih memiliki keragaman tinggi bahkan pada pemetaan detil sekalipun. Seberapa jauh hubungan antara homogenitas faktor pembentuk tanah dengan karakteristik tanah di lapang pada lingkup luasan yang sempit belum banyak dipublikasikan.

I. 2. TUJUAN

Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mempelajari keragaman karakteristik tanah berdasarkan hasil pemboran dengan intensitas pengamatan yang tinggi.

2. Mencari hubungan antara sebaran spasial karakteristik dan klasifikasi tanah dengan bentuk lahan pada areal sempit.

(15)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2. 1. Karakteristik Tanah di Lapang

Karakteristik tanah di lapang dapat dipelajari di lapang melalui pengamatan pemboran atau secara utuh pada profil tanah. Karakteristik tanah yang diamati melalui pemboran lebih sedikit dibanding pengamatan profil, tetapi pengamatan bor penting dalam rangka melihat gambaran umum pengeboran karakteristik tanah di suatu areal sehingga pengamatan profil dapat ditempatkan pada titik-titik yang representatif. Karakteristik tanah yang dapat diamati di lapang melalui pemboran adalah warna, tekstur, dan konsistensi tanah yang kombinasinya merupakan bagian dari penciri horison tanah.

2. 1. 1. Warna Tanah

Warna tanah merupakan karakteristik tanah di lapang yang mudah diidentifikasi dan merupakan petunjuk untuk beberapa sifat tanah. Warna hitam biasanya menunjukkan kandungan bahan organik, warna merah menunjukkan adanya oksida besi bebas (tanah-tanah yang teroksidasi), sedangkan warna abu-abu menunjukkan adanya reduksi. Warna tanah berhubungan dengan sifat fisik, kimia dan biologi tanah (Buol et al., 1980).

Rachim (1999) mengemukakan bahwa warna tanah dengan tanah memiliki hubungan yang ditunjukkan dalam dua hal penting, yaitu: pertama warna secara tidak langsung berhubungan dengan interpretasi sifat-sifat yang tidak dapat diobservasi secara tepat dan mudah, dan kedua merupakan ciri yang sangat berguna untuk identifikasi tanah. Sifat-sifat tanah yang berhubungan dengan warna tanah antara lain: kandungan bahan organik, keadaan drainase, aerasi, temperatur tanah, bahan induk, mineralogi tanah, dan lain-lain. Hubungan antara warna tanah dengan sifat-sifat tanah dapat dilihat pada Tabel 1.

Warna tanah dicatat dengan menggunakan notasi dalam Munsell Soil Colour Chart. Notasi ini menggambarkan warna dalam tiga variabel, yaitu hue, nilai (value) dan kroma (chrome). Hue adalah panjang gelombang cahaya dominan yang dipantulkan benda dan terdiri dari lima warna utama (biru, hijau, kuning, merah, ungu) dan lima warna campuran (hijau kebiruan, kuning kehijauan,

(16)

merah kekuningan, ungu kemerahan, biru keunguan). Setiap hue memiliki skala dari 0 sampai 10, dengan selang 2.5 sehingga urutan skalanya adalah 0, 2.5, 5, 7.5 dan 10. Kroma adalah ukuran tingkat kemurnian atau kejenuhan warna. Kroma yang tinggi memberi kesan terang atau berwarna penuh. Value adalah ukuran terang atau gelapnya suatu warna. Value dan kroma mempunyai selang nilai antara 0 – 8. Semakin tinggi nilai value dan kroma, maka warna tanah semakin terang dan mempunyai kemurnian yang tinggi.

Tabel 1. Arti Warna terhadap Sifat Tanah (Rachim, 1999)

Warna Tanah Sifat Tanah

Putih Kelabu putih Kelabu pucat Kelabu kebiruan/ kehijauan Kelabu Coklat-coklat pucat-coklat hitam Kuning Merah Merah gelap Gelap-hitam

Ca-karbonat, gipsum, garam, turunan bahan induk marl/batuan putih lain.

Kuarsa, kaolin, karbonat, gypsum, garam, besi fero.

Besi dan bahan organik rendah; bila tanah pasir cenderung kuarsa tinggi.

Gleisasi, drainase buruk-sangat buruk, air tergenang, besi fero.

Jenuh air dominan, drainase buruk, besi fero.

Variasi proprsi bahan organik dan besi oksida, drainase baik.

Besi oksida hidrat, Al oksida, kelembaban relatif tinggi, lereng agak cembung, drainase baik, fisiografi angkatan baru.

Besi oksida anhidrat, kelembaban relatif rendah, drainase dan aerasi baik, lereng relatif cembung, bahan induk basik-ultra basik, fisiografi angkatan tua.

Bahan induk ultrabasaltik, besi oksida anhidrat (hematite dan magnetit), drainase dan aerasi baik, struktur granular, kesuburan sangat rendah.

Bahan organik tinggi, senyawa Mn, magnetit, arang, struktur granular, relatif subur.

(17)

Pengamatan warna tanah akan berbeda bila kondisi tanah dalam keadaan basah, lembab dan kering, sehingga dalam menentukan warna tanah perlu dicatat apakah tanah dalam keadan basah, lembab atau kering.

2. 1. 2. Tekstur Tanah

Tekstur tanah adalah perbandingan relatif antara fraksi pasir, debu dan liat yang terkandung dalam suatu massa tanah. Fraksi pasir mempunyai ukuran yang lebih besar dari pada debu dan liat. Pasir berukuran 2–0,05 mm, debu berukuran 0,05-0,002 mm, dan liat berukuran <0,002 mm. Penetapan tekstur di lapang dilakukan dengan membasahi massa tanah kemudian dipijit dan dipirid antara ibu jari dan jari telunjuk. Sifat umum dari fraksi pasir dalam penetapan lapang adalah adanya rasa kasar, tidak plastis atau lekat dalam keadaan lembab. Fraksi debu terasa seperti bedak atau semir, tidak plastis atau lekat dalam keadaan lembab. Sedangkan fraksi liat akan terasa licin, lekat dan plastis dalam keadaan lembab, dan membentuk bongkah yang sangat keras dalam keadaan kering.

Tekstur merupakan sifat fisik yang penting dalam menentukan aerasi tanah, konsistensi tanah, permeabilitas dan infiltrasi. Selain itu tekstur berkaitan erat dengan luas permukaan, daya adsorbsi, plastisitas dan daya kohesi yang semuanya merupakan penentu bagi semua reaksi fisik-kimia yang terjadi di dalam tanah (Staff Pusat Penelitian Tanah, 1990).

Tanah-tanah yang bertekstur pasir dan debu mempunyai luas permukaan yang kecil sehingga sulit menahan air dan menjerap unsur hara. Tanah-tanah yang bertekstur liat mempunyai luas permukaan yang besar sehingga kemampuan menahan air dan menyediakan unsur hara tinggi. Tanah bertekstur halus lebih aktif dalam reaksi kimia dari pada tanah bertekstur kasar (Hardjowigeno, 1985).

Kenyataan di lapang, jarang sekali dijumpai suatu tanah yang terdiri dari pasir, debu, atau liat saja. Yang umum dijumpai adalah campuran dari ketiga fraksi tersebut, yang mengakibatkan timbulnya kesulitan dalam memberikan nama (sebutan). Untuk mengatasi hal tersebut maka para ahli membuat kelas tekstur tanah yang dapat dilihat pada Tabel 2.

(18)

Tabel 2. Hubungan Antara Sifat-sifat Tanah dengan Kelas Tekstur Tanah dalam Penetapan Tekstur Tanah di Lapang (Suwardi, 2000)

Simbol Kelas Tekstur Uraian

g Kerikil Fraksi berukuran lebih dari 2 mm

s Pasir Rasa kasar jelas, tidak membentuk bola

dan gulungan, tidak melekat

l Lempung Rasa tidak kasar dan tidak licin,

membentuk bola teguh, dapat sedikit digulung dengan permukaan mengkilat, melekat

si Debu Rasa licin sekali, membentuk bola teguh,

dapat sedikit digulung dengan permukaan mengkilap, agak melekat

cl Liat Rasa berat, membentuk bola baik,

melekat sekali

s.l Lempung berpasir Rasa kasar agak jelas, membentuk bola agak keras, mudah hancur, melekat cl.l Lempung berliat Rasa agak kasar, membentuk bola agak

teguh (kering), membentuk gulungan jika dipirid, gulungan mudah hancur, melekat sedang

s.cl.l Lempung liat

berpasir

Rasa kasar agak jelas, membentuk bola agak teguh, membentuk gulungan jika dipirid, gulungan mudah hancur, melekat

si.cl.l Lempung liat

berdebu

Rasa licin jelas, membentuk bola teguh, gulungan mengkilap, melekat

s.cl Liat berpasir Rasa licin agak kasar, membentuk bola dalam keadaan kering sukar dipijit, mudah digulung, melekat sekali

si.cl Liat berdebu Rasa agak licin, membentuk bola dalam keadaan kering sukar dipijit, mudah digulung, melekat sekali

(19)

2. 1. 3. Konsistensi Tanah

Menurut Soil Survey Staff (1993), konsistensi tanah merupakan sifat dari tanah yang ditunjukkan dengan derajat kohesi atau adhesi serta ketahanannya terhadap perubahan bentuk. Hal ini ditunjukkan oleh daya tahan tanah terhadap gaya dari luar. Sifat-sifat konsistensi tanah harus disesuaikan dengan kondisi tanah, yaitu apakah dalam keadaan basah, lembab atau kering.

Tanah dalam keadaan basah ditetapkan dengan dua parameter, yaitu kelekatan (stickness) dan plastisitas (plasticity). Jika keadaan tanah di lapang dalam keadaan kering, sebaiknya konsisitensi ditetapkan dalam keadaan kering, lembab dan basah. Jika tanah dalam keadaan lembab, sebaiknya konsistensi ditetapkan dalam keadaan lembab dan basah ( Suwardi, 2000).

Konsistensi tanah dalam keadaan lembab, dibedakan menjadi konsistensi gembur sampai teguh. Dalam keadaan kering, dibedakan menjadi lunak sampai keras. Dalam keadaan basah dibedakan plastisitasnya yaitu dari plastis sampai tidak plastis atau kelekatannya yaitu dari tidak lekat sampai lekat. Dalam keadaan lembab atau kering konsistensi tanah ditentukan dengan meremas segumpal tanah. Bila gumpalan tersebut mudah hancur maka tanahnya dikatakan berkonsistensi gembur (lembab) atau lunak (kering). Bila gumpalan tanah sukar hancur dengan remasan tersebut, tanah dikatakan berkonsistensi teguh (lembab) atau keras (kering). Sedangkan dalam keadaan basah ditentukan mudah tidaknya melekat pada jari (melekat atau tidak melekat) atau mudah tidaknya membentuk bulatan dan kemampuannya mempertahankan bentuk tersebut (Soil Survey Staff, 1993).

2. 1. 4. Struktur Tanah

Menurut Soil Survey Staff (1993), struktur merupakan gumpalan-gumpalan kecil dari butir-butir tanah yang terjadi karena butir-butir pasir, debu dan liat terikat satu sama lain oleh suatu perekat seperti bahan organik, oksida-oksida besi dan lain-lain. Gumpalan-gumpalan kecil ini mempunyai bentuk, ukuran dan kemantapan (ketahanan) yang berbeda-beda. Apabila unit-unit struktur tersebut tidak terbentuk, maka tanah tersebut dikatakan tidak berstruktur.

Suwardi (2000) mengemukakan bahwa penyipatan struktur tanah dapat dilihat dari bentuk, tingkat perkembangan dan ukurannya. Bentuk struktur

(20)

berfungsi untuk membedakan kelas struktur. Ada tujuh macam bentuk struktur yaitu lempeng, prismatik, tiang, gumpal bersudut, gumpal membulat dan remah. Sedangkan yang tidak berstruktur disebut lepas dan pejal (masif). Tingkat perkembangan struktur ditentukan berdasarkan kemantapan dan ketahanan struktur tersebut terhadap tekanan, yang dibedakan berdasarkan dari yang mudah hancur sampai yang sulit hancur. Sedangkan ukuran struktur menunjukkan ukuran butir-butir struktur yang dibedakan dari sangat halus sampai sangat kasar.

Struktur merupakan karakteristik tanah yang tidak dapat diamati melalui pemboran. Hal ini disebabkan oleh rusaknya struktur tanah ketika dilakukan pemboran sehingga pengamatan harus melalui profil.

2. 1. 5. Horison Tanah

Menurut Soil Survey Staff (1975), horison tanah adalah lapisan di dalam tanah yang kurang lebih sejajar dengan permukaan tanah yang terbentuk sebagai hasil dari proses pembentukan tanah. Horison tanah dibedakan menjadi dua yaitu horison genetik dan horison diagnostik (penciri). Horison genetik berbeda dengan horison diagnostik. Horison genetik mencerminkan jenis perubahan sifat tanah yang terjadi akibat dari proses pembentukan tanah. Sedangkan horison diagnostik adalah horison yang mungkin terjadi dari beberapa horison genetik yang sifat-sifatnya dinyatakan secara kuantitatif dan digunakan sebagai penciri dalam klasifikasi tanah (Soil Survey Staff, 1998).

Soil survey Staff (1994) mengemukakan bahwa terdapat enam horison genetik utama (lapisan utama) di dalam tanah yang masing-masing diberi simbol huruf kapital O, A, E, B, C, dan R. Huruf-huruf kapital tersebut merupakan simbol dasar. Huruf dan angka kemudian ditambahkan untuk melengkapi penamaan horison. Horison O merupakan lapisan yang didominasi oleh bahan organik, baik yang pernah jenuh air dalam waktu yang lama maupun tidak pernah jenuh air. Horison A merupakan horison tanah mineral yang terbentuk pada permukaan tanah di bawah horison O, merupakan akumulasi bahan organik halus yang bercampur dengan bahan mineral yang tidak didominasi oleh sifat horison E atau menunjukkan sifat sebagai pengolahan tanah. Horison E adalah horison tanah mineral yang mempunyai ciri utama hilangnya liat silikat, Fe, Al, bahan organik,

(21)

atau kombinasinya. Horison B merupakan horison yang terbentuk di bawah horison A, E atau O, dan didominasi oleh hilangnya seluruh atau sebagian besar struktur batuan asli. Horison B adalah lapisan penimbunan dari unsur-unsur yang tercuci pada horison E. Horison C adalah horison yang tidak termasuk batuan induk keras yang sedikit dipengaruhi oleh proses pedogenesis dan tidak mempunyai sifat-sifat horison O, A, E, dan B. Sedangkan horison R merupakan batuan keras yang tidak dapat hancur bila direndam dalam air selama 24 jam.

Horison A, E dan B dapat dibedakan dari warna, struktur dan tekstur tanah. Horison A umumnya lebih gelap dari pada horison E dan B karena mengandung bahan organik yang lebih tinggi. Tingkat perkembangan struktur tanah horison E dan B umumnya lebih kuat dibandingkan dengan horison A. Dilihat dari struktur, horison A umumnya berstruktur granular, remah atau gumpal bersudut, sedangkan horison E dan B umumnya lebih berkembang ke arah gumpal, gumpal bersudut, atau bahkan prismatik atau tiang, tergantung pada karakteristik faktor-faktor pembentuk tanah. Horison E umumnya berwarna lebih cerah dibandingkan horison A dan B. Horison B dan C dapat dibedakan dari struktur dan warna. Pada horison C belum dijumpai struktur, warna lebih terang dan masih berbentuk bongkah-bongkah batu yang sudah menjadi lunak. Horison C dan R dapat dibedakan dari kekerasan. Horison R merupakan batuan yang keras, sedangkan horison C merupakan batuan yang sudah terlapuk dan lunak. Di lapang tidak semua profil tanah mempunyai horison lengkap O, A, B, C dan R, bahkan ada yang hanya mempunyai horison A dan R (Suwardi, 2000).

Dalam Taksonomi Tanah, horison diagnostik dibagi menjadi dua yaitu, epipedon (horison permukaan) dan horison bawah permukaan. Epipedon adalah horison yang terbentuk pada atau dekat permukaan, dan sebagian besar struktur batuannya telah dirusak. Epipedon tidak sama dengan horison A. Epipedon dapat mencakup sebagian atau seluruh bagian dari horison B illuvial, apabila pengaruh warna gelap oleh bahan organik berlanjut ke bawah dari permukaan tanah, ke dalam atau mengenai seluruh horison B. Epipedon terdiri dari delapan macam, yaitu : epipedon antropik, folistik, histik, melanik, molik, okrik, plagen, dan umbrik. Sedangkan horison bawah permukaan adalah horison yang terbentuk di bawah permukaan tanah, meskipun pada beberapa wilayah terbentuk langsung di

(22)

bawah lapisan serasah daun. Horison tersebut mungkin dapat tersingkap pada permukaan tanah karena proses erosi. Horison bawah permukaan tersebut antara lain adalah horison agrik, albik, argilik, kalsik, kambik, glosik, gipsik, kandik, natrik, oksik, petrokalsik, petrogipsik, placik, salik, sombrik dan spodik (Soil Survey Staff, 1999).

2. 2. Klasifikasi dan Peta Tanah 2. 2. 1. Klasifikasi Tanah

Buol et al. (1980) dalam buku Soil Genesis and Classification, mengemukakan bahwa klasifikasi tanah adalah penggolongan tanah berdasarkan karakteristik tertentu secara bertingkat-tingkat dan disusun secara sistematik. Tujuan dari klasifikasi tanah adalah untuk menyediakan suatu data tanah yang sistematik bagi pengetahuan tentang tanah dan hubungannya dengan tanaman, baik mengenai kesuburan maupun produksi tanaman.

Klasifikasi tanah asal mulanya dibuat sangat sederhana, tetapi dengan meningkatnya pengetahuan manusia tentang tanah maka klasifikasi tanah terus diperbaiki hingga menjadi lebih ilmiah dan teratur. Perkembangan sistem klasifikasi tanah di dunia dibedakan ke dalam 5 periode, yaitu : periode teknis, periode ditemukannya pedologi, periode Amerika awal, periode Amerika pertengahan serta periode kuantitatif modern.

Salah satu sistem klasifikasi tanah yang dikenal sekarang ini adalah Taksonomi Tanah atau Soil Taxonomy yang diperkenalkan oleh USDA pada tahun 1975. Indonesia termasuk negara yang merekomendasikan penggunaan sistem ini dalam pembuatan peta tanah pada setiap survei tanah. Sistem ini dinilai lebih komprehensif dibanding dengan sistem yang dikembangkan oleh Pusat Penelitian Tanah (PPT, 1983) maupun FAO/UNESCO (1974) (Rachim dan Suwardi, 2002). Sistem ini menggunakan enam kategori yaitu Order, Suborder, Greatgroup, Subgroup, Family dan Series (sangat berbeda dengan klasifikasi yang telah ada sebelumnya). Sistem ini merupakan sistem yang benar-benar baru baik mengenai cara-cara penamaan (tata nama) maupun definisi-definisi mengenai horison-horison penciri ataupun sifat-sifat penciri lain yang digunakan untuk menentukan jenis-jenis tanah (Buol et al., 1980).

(23)

Hubungan antara sifat-sifat tanah penciri dengan kategori dalam Sistem Taksonomi Tanah dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Sifat-sifat Tanah Penciri pada Masing-masing Kategori dalam Sistem Taksonomi Tanah (Buol et al., 1980).

Kategori Sifat-sifat tanah penciri

Order Proses pembentukan yang ditunjukkan oleh ada/tidaknya horison penciri utama.

Suborder Keseragaman genetik, ada tidaknya sifat yang berhubungan dengan pengaruh air, regim kelembaban tanah, bahan induk utama, pengaruh vegetasi dan tingkat dekomposisi bahan organik.

Greatgroup Kesamaan jenis, susunan dan derajat horisonisasi, kejenuhan basa, regim kelembaban dan temperatur tanah dan ada tidaknya lapisan penciri (Plinthite, fragipan, dan duripan).

Subgroup Memperlihatkan sifat-sifat utama greatgroup, peralihan sifat-sifat ke lain greatgroup, suborder, atau order dan peralihan ke bukan tanah.

Family Kelas ukuran butir rata-rata pada bagian penentu (control section), kelas mineralogi yang dominan pada solum, kelas suhu tanah yang didasarkan pada suhu tanah rata-rata tahunan pada kedalaman 50 cm.

Series Jenis dan susunan horison, warna, tekstur, konsistensi, sifat kimia dan mineralogi pada horison.

2. 2. 2. Peta Tanah

Barus dan Wiradisastra (2000) mengemukakan bahwa data pada suatu peta biasanya telah mengalami pengolahan, umumnya telah ditambah ilmu pengetahuan agar lebih dapat dimanfaatkan langsung oleh pengguna. Semua kegiatan untuk menghasilkan tampilan informasi tersebut secara keruangan (spasial) adalah apa yang disebut dengan pemetaan. Pemetaan ini adalah suatu

(24)

bentuk komunikasi secara grafis antara pembuat dan pemakai peta yang telah lama dikenal orang.

Pemetaan tanah merupakan suatu usaha untuk menggambarkan sebaran jenis-jenis tanah yang terdapat pada suatu daerah. Kegiatan pemetaan tanah mencakup identifikasi dan klasifikasi tipe-tipe tanah yang terdapat pada suatu wilayah serta membatasi distribusinya dan dituangkan kedalam peta tanah. Andahl (1958, dalam Buol et al.,1980) menyatakan bahwa pemetaan tanah merupakan suatu kegiatan mengorganisasikan dan memperkenalkan ilmu pengetahuan mengenai karakteristik, kualitas dan tingkah laku tanah yang diklasifikasikan dan digambarkan ke dalam suatu peta. Peta tanah biasanya dibuat dengan memperhatikan berbagai peta lainnya yang bersifat lebih umum, seperti peta geologi, peta topografi dan potret udara. Ke tiga peta tersebut merupakan alat yang umum dipakai dalam membantu pemetaan tanah sesuai dengan skala peta yang dibuat.

Menururt Dent and Young (1981, dalam Abdullah, 1993) tingkatan survei tanah terdiri dari intensitas sangat tinggi, intensitas tinggi, intensitas sedang dan intensitas rendah. Intensitas ini berkerapatan masing-masing 1 pengamatan per 0.5 ha, 1 pengamatan per 2 ha, 1 pengamatan per 8 ha, 1 pengamatan per 50 ha dan 1 pengamatan per 2 km2.

Peta umumnya dibuat dari hasil pengamatan lapang melalui survei tanah. Secara umum ada empat sistem yang digunakan sebagai dasar dalam pengamatan lapang yaitu : (a). Sistem titik potong (grid system) berdasarkan pada selang-selang jalur tertentu dan dilakukan pada lahan yang datar. Pengamatan ini dilakukan apabila peta dasarnya kurang lengkap. (b). Sistem bebas berdasarkan perubahan faktor –faktor pembentuk tanah dan hasil interpretasi foto udara serta land system. Pengamatan ini dilakukan apabila peta dasar dan data penunjangnya lengkap. (c). Sistem sistematik yang hampir serupa dengan grid system, tetapi jarak pengamatannya berbeda-beda berdasarkan garis potong pada lereng. Pengamatan ini dilakukan apabila peta dasar dan data penunjang lainnya lengkap. (d). Sistem bebas sistematik yang merupakan kombinasi grid system, sistem bebas dan sistem sistematik, pengamatan ini dilakukan untuk mengatasi kekurangan

(25)

waktu pengamatan di lapang dengan peta dasar dan data penunjang lengkap, serta berdasarkan hasil interpretasi foto udara (Abdullah, 1993).

Hardjowigeno (1985) menambahkan bahwa metode grid lebih cocok untuk daerah-daerah yang mempunyai bentuk wilayah datar, sedangkan untuk daerah yang bergelombang dapat memberikan hasil yang salah. Hal ini disebabkan karena penyebaran tanah di suatu daerah tidak terjadi secara acak tetapi lebih bersifat sistematis.

2. 3. Konsep dan Klasifikasi Bentuk Lahan 2. 3. 1. Pengertian Bentuk Lahan

Bentuk lahan (landform) merupakan istilah yang digunakan untuk menyatakan masing-masing dari setiap satu kenampakan dari kenampakan secara menyeluruh dan sinambung (multitudineous features) yang secara bersama-sama membentuk permukaan bumi. Hal ini mencakup semua kenampakan yang luas, seperti dataran, plato, gunung dan kenampakan-kenampakan kecil seperti bukit, lembah, ngarai, arroyo, lereng, dan kipas aluvial (Desaunettes, 1977).

Wiradisastra et al. (1999) menambahkan bahwa bentuk lahan merupakan konfigurasi permukaan lahan (land surface) yang mempunyai bentuk-bentuk khusus. Suatu bentuk lahan akan dicirikan oleh struktur atau batuannya, proses pembentukannya, dan mempunyai kesan topografi spesifik.

2. 3. 2. Faktor dan Proses Pembentukan Bentuk Lahan

Menurut Wiradisastra et al. (1999) bentuk-bentuk lahan yang ada dimuka bumi terjadi melalui proses geomorfik yaitu semua perubahan, baik fisik maupun kimia yang mempengaruhi perubahan bentuk permukaan bumi. Faktor penyebabnya berupa tenaga geomorfik yaitu semua media alami yang mampu memantapkan dan mengangkut bahan dipermukaan bumi. Tenaga tersebut antara lain berupa air mengalir, air tanah, gletser, angin, dan gerakan air lainnya (gelombang laut, pasang surut dan tsunami).

Menurut Thornbury (1969) secara garis besar proses geomorfik yang membentuk rupa bumi terdiri dari proses eksogenetik (epigenetik), endogenetik (hipogenetik), dan ekstraterestrial. Proses eksogenetik terjadi melalui proses

(26)

gradasi dan aktivitas organisme termasuk manusia. Proses gradasi dapat berupa degradasi yang dapat terjadi melalui proses hancuran iklim (weathering processes), gerakan massa (mass wasting), dan erosi. Proses gradasi dapat pula terjadi melalui agradasi yang penyebabnya berupa air mengalir, air tanah, gelombang air (laut atau danau), arus pasang surut, tsunami, gerakan angin dan gletser. Proses endogenetik terjadi melalui diastrofisme dan volkanisme, sedangkan proses ekstraterestrial terjadi melalui jatuhnya meteor.

Proses hancuran iklim dan erosi yang terjadi pada batuan memberikan pengaruh yang berbeda-beda terhadap bentuk lahan, yang disebabkan oleh tiga faktor utama, yaitu: kondisi iklim, jenis penyusun batuan, dan lamanya proses pembentukan lahan tersebut (Desaunettes, 1975).

2. 3. 3. Sistem Klasifikasi Bentuk Lahan

Sistem pemetaan di Indonesia sudah dimulai sejak dulu yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Tanah atau lembaga lain dalam hal pemetaan tanah. Pemetaan secara sistematik baru dimulai tahun 1977 oleh Pusat Penelitian Tanah yang bekerja sama dengan FAO (Desaunettes, 1977) yang dikenal dengan sistem Klasifikasi Landform Desaunettes yang manualnya dicantumkan pada buku Catalogue Landform for Indonesia, tahun 1977, setelah itu berkembang sistem pemetaan lahan Project RePPProT (Regional Physical Planning Programme for Transmigration, 1980-an) dan Project LREP (Land Rersources Evaluation and Planning, pada tahun 1980-an). Berbagai sistem pemetaan tersebut, semuanya didasarkan pada pemetaan bentuk lahan seperti dirangkum oleh Wiradisastra et al. (1999) berikut ini.

Sistem Klasifikasi Bentuk Lahan Desaunettes

Sejak tahun tujuh puluhan sistem klasifikasi lahan telah dikembangkan di Indonesia. Salah satu diantaranya adalah Catalogue of Landform for Indonesia yang disusun oleh Desaunettes (1977). Pada sistem ini klasifikasi lahan dilakukan melalui analisis bentuk lahan (landform). Sedangkan untuk mengidentifikasi dan mendelineasi satuan lahannya (land unit) dilakukan dengan menginterpretasi foto udara. Klasifikasi lahan Desaunettes (1977) merupakan pendekatan secara fisiografis, yaitu merupakan kombinasi pendekatan dari berbagai sifat geologi,

(27)

tanah, iklim serta interaksinya. Dalam sistem ini suatu bentang lahan dianalisis dan dibedakan menjadi beberapa sistem fisiografi berdasarkan pada formasi geologi dan proses pembentukannya. Selanjutnya suatu sistem fisiografi dapat dibedakan lagi menjadi kategori yang lebih rendah.

Sistem Klasifikasi Bentuk Lahan RePPProT

Pada pertengahan tahun 80-an muncul sistem inventarisasi sumberdaya lahan pada kegiatan RePPProT (Regional Physical Planning Project for Transmigrations, 1988) yang dilaksanakan oleh Departemen Transmigrasi dengan bantuan Pemerintah Inggris. Pemetaan sumberdaya alam project RePPProT (1989) sudah selesai dilakukan di seluruh Indonesia. Pada konsep ini dipakai pendekatan pemetaan land system berdasarkan pendekatan ekosistem (land ecology) yang dipopulerkan oleh Christian dan Stewart (1968). Pendekatan yang dilakukan berdasarkan fisiografi yang sebenarnya.

Sistem Klasifikasi Bentuk Lahan LREP (I dan II)

Pemetaan sumberdaya lahan yang lain dikembangkan pada kegiatan LREP (Land Regional and Evaluation Planning, 1989) yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Tanah dan Bakosurtanal. Pemetaan ini khusus untuk evaluasi lahan bagi perencana di daerah (Bappeda) dengan bantuan dari ADB (Asian Development Bank). Project LREP terdiri dari dua fase, dimana fase I (1985-1990) dilakukan pemetaan sumberdaya lahan se-pulau Sumatera dengan skala 1:250.000 dan fase II (1993-1997) yang mencakup seluruh Indonesia di luar pulau Sumatera dengan skala pemetaan yang lebih detil.

Projek LREP-2 merupakan lanjutan studi LREP-1, yang dilakukan di berbagai lokasi di seluruh Indonesia selain pulau Sumatera. Studi ini bersifat lebih detil dan pemetaannya dilakukan pada skala 1:50.000, yang menyebar pada daerah yang direkomendasikan oleh studi RePPProT dan usulan Pemerintah Daerah.

2. 3. 4. Klasifikasi Bentuk Lahan

Strahler & Strahler (1992) mendefinisikan bentuk lahan sebagai suatu konfigurasi permukaan bumi yang menunjukkan keseimbangan antara energi internal berupa proses volkanik dan tektonik serta energi eksternal melalui anasir

(28)

dari proses denudasi. Bentuk lahan yang terbentuk langsung dari aktivitas volkanik dan tektonik adalah bentuk lahan awal. Pembentukan bentuk lahan dari proses dan pelaku denudasi termasuk ke dalam bentuk lahan sekuensial, yang berarti mereka adalah terbentuk pada beberapa tahapan setelah bentuk lahan awal terbentuk dan hancuran-hancuran dari kerak bumi muncul pada posisi-posisi tertentu. Pengelompokan bentuk-bentuk lahan utama diuraikan berikut ini (Wiradisastra et al., 2002).

Bentuk Lahan Volkanik

Bentuk lahan yang terbentuk dari aktivitas volkanik adalah hasil dari dua tenaga yang berlawanan, yaitu konstruktif dan destruktif. Tenaga konstruktif menyebabkan deposisi dari lava dan muntahan lahan piroklastik. Tenaga destruktif adalah hasil proses alami dari erosi (seperti angin, air, dan pergerakan massa), atau aktifitas ledakan volkan itu sendiri.

Bentuk lahan volkanik ditentukan oleh proses geologi yang membentuknya dan terus berpengaruh terhadapnya setelah terbentuk. Lalu bentuk lahan volkanik yang terbentuk akan terbagi ke sifat-sifat material yang membentuknya, yang tergantung aktifitas volkan tersebut sejak masa lampau. Volkan terbentuk dari akumulasi produksi lava, bomb (aliran abu yang mengeras), dan tepra (abu terbang dan debu).

Bentuk Lahan Struktural

Bentuk lahan struktural adalah bagian dari permukaan bumi yang mempunyai morfologi tertentu yang dihasilkan oleh pergerakan diastrofik (diastrophic movements). Pergerakan berasal dari proses-proses endogen (endogenic processes) dan mencakup gerakan-gerakan tektonik, magmatik, isostatik dan eustatik.

Dari keempat macam gerakan tersebut, gerakan-gerakan tektonik dan magmatik merupakan bagian dari diastrofisme yang paling jelas dalam menyumbang pembentukan struktur kulit permukaan bumi. Bentuk lahan yang dihasilkan oleh proses-proses tektonik dan magmatik meliputi struktur-struktur horisontal, homoklinal, kubah, lipatan, dan patahan.

(29)

Bentuk Lahan Fluvial dan Gerakan Massa

Pembentukan bentuk lahan yang terbentuk dari pergerakan air dijelaskan sebagai bentuk lahan fluvial, untuk membedakan bentuk lahan yang terbentuk karena pergerakan air dari bentuk lahan yang terbentuk dari pelaku fluvial lainnya (es glasial, angin, gelombang). Proses fluvial menyebabkan aktivitas geologi seperti erosi, transportasi dan deposisi. Sebenarnya ada dua bagian besar dari bentuk lahan fluvial yaitu bentuk lahan erosional dan bentuk lahan deposisional. Semua bentuk lahan yang terbentuk karena terjadinya perpindahan progresif dari massa batuan induk adalah bentuk lahan erosional. Bagian-bagian tanah, regolit, dan batuan induk yang dipindahkan oleh pergerakan air kemudian terdeposisi ditempat lain dinamakan bentuk lahan deposisional.

Proses fluvial selain merusak dalam bentuk erosi, juga memindahkan melalui proses transportasi dan menghasilkan bentuk sisa yang berbeda dari asalnya dan bentuk baru hasil deposisi ditempat baru (deposisi) dalam bentukan deposisional. Efek jangka panjangnya terjadi pada pengurangan ketinggian pada bagian bukit berlereng, dan efek menimbun di bagian lembah menuju bumi yang lebih rata.

Bentuk Lahan Karst

Pada daerah tertentu pelarutan merupakan suatu proses dominan pada perkembangan bentuk lahan yang berakhir pada pembentukan bentuk lahan yang unik yang disebut karst. Kata karst merupakan istilah umum yang berlaku baik pada batuan kapur maupun dolomit yang memiliki topografi khas, dan dipengaruhi oleh pelarutan batuan dibawah permukaan tanah dan penyebaran air tanah menjadi aliran sungai bawah tanah. Sebagian besar area karst adalah daerah yang permukaannya tertutup oleh batu gamping walaupun dibeberapa tempat tertutup oleh dolomit dan limestone-dolomit.

Bentuk Lahan Pantai

Pantai adalah zona pertemuan antara daratan dan lautan dimana proses perkembangan bentang lahannya pada zona ini sangat dinamis. Hal ini dikarenakan proses-proses geomorfik dari daratan dan lautan bergabung di dalamnya. Kekuatan-kekuatan angin, gelombang, arus sepanjang pantai, arus pasang surut serta suplai sedimen dari daratan melalui muara sungai bergabung

(30)

menghasilkan bentang-bentang lahan pantai dengan tingkat perkembangan dan perubahan yang relatif cepat. Perkembangan dan perubahan dapat berubah dengan penambahan daratan melalui proses deposisi maupun pengurangan daratan (abration) melalui proses erosi pantai.

2. 4. Hubungan Bentuk Lahan dengan Karakteristik Tanah.

Dilihat dari sudut pedogenesis, lereng sebagai unsur terkecil dari bentuk lahan dapat dianggap sebagai pre-existing factor dalam pembentukan tanah. Pada lereng yang curam aliran permukaan berlangsung cepat, erosi berjalan sebanding dengan pembentukan tanah, sedikit air yang masuk ke dalam tanah, dan profil tanahnya tipis serta kurang berkembang. Pada permukaan yang lebih datar aliran permukaan terhambat dan lebih banyak air yang masuk ke dalam tanah untuk menghancurkan mineral dan mentranslokasi liat serta bahan-bahan mobil lainnya dari suatu profil (Bloom, 1979; dalam Darmawan, 1987).

Dalrymple et al. (1968, dalam Darmawan, 1987) mengajukan konsep klasifikasi lereng yang didasarkan pada bentuk serta proses-proses geomorfik dan pedogenesis yang terjadi secara dominan. Konsep ini dikenal sebagai Model Sembilan Satuan Bentuk Permukaan Lahan, yang terdiri dari : (1). Puncak lereng pemisah (interfluve), (2). Lereng perembesan (seepage slope), (3). Lereng perayapan cembung (convex creepslope), (4). Tebing (fallface), (5). Lereng tengah pengangkutan (transportational midslope), (6). Kaki lereng koluvial (colluvial footslope), (7). Kaki lereng aluvial (alluvial toeslope), (8). Dinding sungai (channel wall), dan (9). Dasar sungai (channel bed). Ilustrasinya disajikan pada Gambar 1.

Faktor lereng dapat dibedakan atas bentuk, posisi, kemiringan dan arah lereng. Kemiringan lereng menunjukkan besarnya sudut lereng antara bidang datar dengan tegakan lereng. Posisi menunjukkan letak lereng pada suatu profil lereng yang berkisar dari dasar lereng hingga puncak lereng. Bentuk lereng menunjukkan wujud visual pada transek lereng (Desaunettes, 1977).

Lereng menunjukkan pergerakan air secara vertikal dan horisontal di dalam tubuh tanah. Sedangkan perkembangan tanah tergantung dari jumlah air yang melaluinya. Pada suatu profil lereng terdapat kecenderungan bahwa jumlah

(31)

air yang mengalir di atas permukaan tanah lebih besar dari jumlah air yang merembes ke dalam solum tanah. Sehingga tanah-tanah yang berada pada lereng yang curam kurang memperlihatkan perkembangan profil dibandingkan dengan tanah-tanah yang terdapat pada daerah datar. Hal ini disebabkan pada permukaan yang datar, sebagian besar air hujan meresap ke dalam tanah (Jenny, 1941).

Gambar 1. Diagram Model Sembilan Satuan Bentuk Permukaan Lahan dari Dalrymple et al. (1968, dalam Darmawan, 1987)

Di daerah tropika basah seperti Indonesia pengaruh kemiringan, bentuk dan posisi lereng terhadap erosi, pencucian dan deposisi umumnya sangat nyata. Pada daerah yang berlereng curam, erosi berlangsung terus-menerus sehingga tanah-tanah pada daerah ini bersolum dangkal, kandungan bahan organik rendah dan perkembangan horison lambat, bila dibandingkan dengan tanah-tanah daerah datar (Hardjowigeno, 1985).

(32)

Savigear (1960, dalam Darmawan, 1987) mengklasifikasikan lereng berdasarkan kemiringan dan posisinya menjadi tiga bagian (component), yaitu : (1). Puncak lereng (crestslope), (2) Punggung lereng (backslope), dan (3). Kaki lereng (footslope). Puncak lereng adalah bagian lereng mulai dari bagian teratas hingga bagian yang mulai curam, punggung lereng adalah bagian berikutnya yang mempunyai kamiringan maksimum dan hampir tetap, sedangkan kaki lereng adalah bagian yang melandai mulai dari batas terakhir punggung lereng hingga pusat lembah (Gambar 2).

Gambar 2. Klasifikasi Lereng Menurut Savigear (1960, dalam Darmawan, 1987)

Sementara itu lereng dibedakan atas bentuk cekung, cembung dan lurus. Pada lereng yang cembung sifat lahan sangat dipengaruhi oleh proses erosi dan pencucian, sedangkan pada lereng yang cekung sifat lahan banyak dipengaruhi oleh proses deposisi. Pada lereng lurus (rektilinier) umumnya pengaruh kedua proses tersebut sangat tergantung pada besarnya kemiringan lereng (Djaenudin, 1979).

Karakteristik tanah yang berhubungan dengan lereng antara lain ketebalan solum, kelembaban profil tanah, kandungan bahan organik pada horison A, kandungan garam-garam terlarut, tingkat perkembangan pan, suhu, dan sifat-sifat tanah lainnya. Lebih lanjut dikemukakan bahwa hubungan antara lereng dan sifat tanah ditentukan oleh keadaan geografik setempat, karena faktor-faktor pembentuk tanah lainnya turut berperan dalam hubungan tersebut (Buol et al., 1980).

Berbagai penelitian mengenai hubungan antara lereng dan tanah telah banyak dilakukan oleh peneliti terdahulu. Penelitian Norton dan Smith (1930, dalam Alghan, 1980) di Illionis menunjukkan pengaruh kemiringan lereng

(33)

terhadap sifat-sifat tanah, makin besar kemiringan lereng menyebabkan pemebentukan horison A yang tipis, tekstur yang makin kasar, perubahan warna dari glei ke yang lebih merah.

Selain itu penelitian lain yang mengarahkan penelitiannya pada gejala adanya sekuen tanah pada profil lereng yang toposekuen adalah hasil penelitian Sanchez dan Buol (1974) dan Tyler (1975, dalam Darmawan, 1987) di Peru dan Colombia. Hal ini menunjukkan suatu sekuen tanah pada sebuah profil lereng dari atas ke bawah berturut-turut Udult, Aquult, Aqualf dan Fluvent (Gambar 3). Sementara itu Sukarman (1979) menemukan sekuen tanah di Cipayung-Bogor yang terdiri dari Dystropeptic Tropudult pada puncak lereng, Ultic Tropudalf pada lereng atas, dan Aquic Tropudalf pada lereng bawah (Gambar 4).

Gambar 3. Sekuen Tanah di Peru dan Columbia (Tyler, 1975; dalam Darmawan, 1987)

(34)

Pada sekuen lereng di Megamendung-Bogor, Ritung (1979) menemukan Ortoxic Tropohumult, Ortoxic Tropudult, dan Ultic Tropudalf berturut-turut dari atas ke bawah (Gambar 5).

(35)

III. BAHAN DAN METODE

3. 1. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilakukan dari awal bulan Juli 2008 sampai Desember 2008 di Agrotechnopark (ATP) Koleberes, Kampung Cibeunteur, Desa Mekarlaksana, Kecamatan Cikadu, Kabupaten Cianjur, Propinsi Jawa Barat. Kecamatan Cikadu memiliki posisi geografis antara 07o 17’ 19’’ sampai 07o 21’ 19’’ Lintang Selatan dan 107o 13’ 32’’ sampai 107o 16’ 48’’ Bujur Timur. Lokasi penelitian (Gambar 6) memiliki luas areal 18,5 ha dengan ketinggian antara 587 - 675 m dpl.

Jarak antara pusat Kecamatan Cikadu dengan ibu kota Kabupaten Cianjur sekitar 130 km, jika ditempuh dengan perjalanan darat menggunakan kendaraan memerlukan waktu sekitar 6 jam. Sedangkan jarak dengan ibu kota Propinsi Jawa Barat adalah 190 km atau 9 jam perjalanan darat dengan kendaraan melewati kota Cianjur.

Daerah penelitian sebelah Utara dibatasi oleh Kampung Blok F, sebelah Barat dibatasi oleh Blok B, sebelah Selatan dibatasi oleh Kampung Cibeunteur, sebelah Timur berbatasan dengan Kampung Butun dan Sungai Ciupih.

ATP adalah suatu kawasan pertanian terpadu yang merupakan kawasan percontohan yang berfungsi sebagai pusat aplikasi dan alih teknologi pertanian. Kawasan ini dirancang dan dibangun oleh BPPT dengan memperhatikan kepemilikan lahan petani lokal yang sempit tetapi budidayanya dilaksanakan secara intensif dengan mengacu pada sistem pendekatan siklus biologi tertutup (biocyclofarming) yang disesuaikan dengan kondisi wilayah serta kebutuhan daerah. Selain itu konsep ATP ini mengacu pada sistem pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) yang berorientasi bisnis dan manajemen yang bagus, baik di tingkat off farm maupun on farm.

3. 2. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan untuk penelitian ini adalah Peta Kontur, Peta Geologi, Peta Tanah dan data sekunder (Laporan Akhir Kajian Rencana Induk dan Detail Desain Agrotechnopark (ATP) Koleberes, Kabupaten Cianjur, Propinsi Jawa Barat yang meliputi data deskripsi profil, data analisis sifat físik dan kimia

(36)

tanah. Alat yang digunakan adalah peralatan survei dan perangkat GIS (Software Arc View GIS 3.3).

3. 3. Metode

Langkah-langkah kegiatan dalam penelitian ini meliputi tiga tahapan, yaitu: persiapan, pelaksanaan pengamatan dan analisis data. Secara skematik rangkaian kegiatan penelitian tertera pada Gambar 7.

3. 3. 1. Persiapan

Pada tahap ini dilakukan telaah pustaka serta pengumpulan dan analisis data sekunder dan informasi yang diperlukan untuk menunjang kegiatan lapang di daerah penelitian.

• Analisis spasial bentuk lahan (posisi, bentuk dan kemiringan lereng) dari peta kontur 1:1.000 yang kemudian diolah dengan program Arc View GIS 3.3.

• Penetapan transek jalur pengamatan dengan kriteria sebagai berikut: 1. Transek dipilih pada beberapa toposekuen dari puncak ke lembah. 2. Transek memotong berbagai bentuk lahan.

3. Penentuan titik boring pada transek dengan mempertimbangkan kerapatan jarak dan bentuk lahan pada luasan yang relatif sempit.

• Penetapan titik profil pada masing-masing bukit di lokasi penelitian.

3. 3. 2. Pelaksanaan Pengamatan

Pelaksanaan pengamatan dimulai dengan penjelajahan seluruh daerah penelitian untuk pengecekan bentuk lahan serta penetapan transek pengamatan dan penetapan titik-titik boring dan titik profil. Selanjutnya dilakukan pengamatan karakteristik tanah melalui pemboran pada jalur transek yang sudah ditetapkan pada setiap bentuk lahan yang sudah ditentukan tersebut dengan kerapatan antara 15 sampai 70 meter. Pengamatan juga dilakukan pada titik profil yang sudah ditetapkan pada masing-masing bukit di lokasi penelitian.

(37)
(38)

3. 3. 3. Analisis Data

Data karakteristik tanah di lapang yang diperoleh dari tiap-tiap titik pemboran dan profil ditabulasikan dan dikorelasikan dengan sebaran bentuk lahan. Data ini selanjutnya dikorelasikan dengan data tanah terdahulu (SPT, Pedon pewakil SPT).

Gambar 7. Diagram Alir Pelaksanaan Penelitian

Penelaahan pustaka berdasarkan data Laporan Akhir Kajian Rencana Induk

Agrotechnopark

Pengumpulan data dan informasi yang diperlukan untuk menunjang kegiatan lapang di lokasi penelitian

Analisis data sekunder (tahap awal)

Analisis bentuk lahan

Penjelajahan, pengecekan bentuk lahan dan penetapan transek

pengamatan

Data pengamatan lapang (karakteristik tanah)

Pengamatan lapang dengan boring (15-70 m)

dan profil tanah

T ah ap P er si ap an T ah ap P el ak sa n aa n P en g am at an T ah ap A n al is is D at a

Data ditabulasikan dan dikorelasikan dengan sebaran bentuk lahan

(39)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. 1. Faktor Pembentuk dan Proses Pembentukan Tanah

Berdasarkan data Laporan Akhir Kajian Rencana Induk dan Detail Agrotechnopark (Menristek, 2007), tanah di lokasi penelitian terbentuk di bawah pengaruh faktor-faktor pembentuk tanah yang homogen kecuali lereng. Berdasarkan Peta Geologi lembar Sindangbarang dan Bandarwaru skala 1:100.000, daerah penelitian termasuk dalam formasi Koleberes (Tmk) yang tersusun atas : Batu pasir tuff berlapis baik, kurang mampat, dan tuff kristal; dengan sisipan tuff, breksi tuff batu apung dan breksi bersusunan andesit. Batu pasir kelabu kecoklatan, terutama terdiri dari batuan andesitan dengan sejumlah batu apung. Hal ini dapat dikatakan bahwa tanah di lokasi seluruhnya berkembang dari satu bahan induk, yaitu dari bahan piroklastik yang tak terpisahkan bersusunan andesit, breksi tuf dan tuf lapili.

Proses geologi awal yang berlangsung pada lokasi penelitian berupa proses pelipatan dan pengangkatan. Karena lokasi dekat dengan gunung api (Gunung Bongkok dan Gunung Juna) maka proses geologinya dipengaruhi oleh aktivitas vulkanik, proses ini merupakan hasil dari dua tenaga yang berlawanan, yaitu konstruktif dan destruktif. Tenaga konstruktif inilah yang menyebabkan deposisi dari lava dan muntahan lahan piroklastik yang menutupi permukaannya, sedangkan tenaga destruktif berupa proses alami dari erosi (angin, air dan pergerakan massa), atau aktifitas ledakan itu sendiri. Hal tersebut dapat dikatakan lokasi penelitian memiliki proses geologi yang sama yaitu vulkanisme.

Jumlah curah hujan rata-rata tahunan di lokasi penelitian tergolong tinggi yaitu mencapai 3502 mm/tahun (Gambar 8). Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Nopember yaitu mencapai rata-rata 540,8 mm/tahun dan terendah terjadi pada bulan Agustus rata-rata 53,5 mm/tahun. Berdasarkan klasifikasi Oldeman, untuk bulan basah (>200 mm/bln) terjadi pada bulan Oktober sampai Mei, bulan lembab (100-200 mm/bln) terjadi pada bulan Juni sampai Juli dan bulan kering (<100 mm/bln) terjadi pada bulan Agustus sampai September. Sedangkan jumlah hari hujan terbanyak terjadi pada bulan Januari (19,8 hh) dan Pebruari (19,5 hh), sedangkan hari hujan terendah terjadi pada bulan Agustus (1,9 hh) dan September

(40)

Grafik Curah Hujan 0 100 200 300 400 500 600 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Bulan C u ra h H u ja n ( m m ) Curah Hujan

Grafik Hari Hujan

0 5 10 15 20 25 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Bulan H a ri H u ja n ( h a ri ) Hari Hujan (4 hh) (Gambar 9). Suhu udara rata-rata tahunan sebesar 21 oC dengan kelembaban 79,5 %. Data iklim ini diperoleh dari stasium klimatologi terdekat yaitu dari Kecamatan Tanggeung. Karena luasan lokasi penelitian relatif kecil (18,5 ha), maka dapat dikatakan memiliki iklim makro yang relatif homogen.

Gambar 8. Grafik Curah Hujan Rata-rata Bulanan di Daerah Penelitian

Gambar 9. Grafik Hari Hujan Rata-rata Bulanan di Daerah Penelitian

Lokasi penelitian dahulunya berupa hutan hujan tropis, dan selama masa penjajahan Belanda lahan tersebut digunakan sebagai perkebunan dengan tanaman

(41)

utama adalah teh. Setelah perkebunan tersebut tidak beroperasi lagi, lahan bekas kebun teh tersebut menjadi terlantar berupa semak belukar. Oleh masyarakat setempat kemudian diolah dan dialihgunakan menjadi ladang dengan tanaman budidaya. Pola penanaman tersebut sebelum adanya ATP adalah berupa tanaman palawija (singkong, jagung, dll), tanaman keras (sengon, aren, kelapa, pisang, pete, manglid, manii (suren), rasamala dll). Setelah adanya ATP penggunaan lahannya masih berupa ladang dengan pola penanamannya berupa pisang, kedelai, HMT (Hijau Makanan Ternak) dan tanaman semusim (jagung, jahe, dll). Selain itu kopi dan kina juga sudah ditanam pada lokasi penelitian. Berdasarkan hal ini maka dapat dikatakan bahwa lokasi penelitian memiliki faktor vegetasi yang sama dalam jangka waktu lama, yaitu sejak dideposisikan bahan induk. Perbedaan vegetasi yang mungkin berpengaruh pada perkembangan tanah, berlangsung sejak penggunaan lahan beralih menjadi ladang.

Faktor relief atau topografi merupakan faktor pembentuk tanah di lokasi penelitian yang menunjukkan heterogenitas tinggi. Perbedaan relief dicirikan oleh perbedaan bentuk, posisi dan kemiringan lereng. Hal ini ditunjukkan oleh adanya puncak berbentuk cembung dengan lereng agak datar, lereng tengah lurus dan agak curam sampai curam, lereng bawah cekung dan agak curam, dan sebagainya. Secara teori perbedaan relief akan menyebabkan perbedaan proses-proses pembentukan tanah yang terkait dengan pergerakan air. Hal ini akan menghasilkan perbedaaan karakteristik tanah antara lereng atas, lereng tengah dan lereng bawah, walaupun berasal dari bahan induk dan di bawah pengaruh iklim, organisme serta waktu yang sama. Oleh karena itu, walaupun secara umum tanah di seluruh lokasi penelitian dapat dikatakan homogen dan termasuk ke dalam Latosol (Berdasarkan Sistem Klasifikasi Tanah PPT 1983), namun dalam beberapa hal menunjukkan keragaman, seperti kedalaman solum, ketebalan masing-masing horison, warna, kelekatan, plastisitas dan konsistensi dalam keadaan lembab.

4. 2. Sebaran Bentuk Lahan

Lokasi penelitian dilihat dalam skala yang lebih makro merupakan punggung bukit yang memanjang dari arah Timur-Utara ke arah Barat-Selatan.

(42)

Sementara itu berdasarkan kondisi di lapang, lokasi penelitian memiliki bentuk lahan yang bervariasi dilihat dari aspek posisi, bentuk dan kemiringan lereng. Dari hasil pengkelasan lereng dengan melihat peta kontur dan dilanjutkan dengan pengukuran serta pengecekan langsung di lapang ternyata lokasi penelitian sebagian besar memiliki kelas lereng agak curam (Tabel 4). Bentuk lereng yang paling banyak dijumpai hampir sebagian besar antara cembung dan cekung. Dari korelasi antara posisi, bentuk dan kemiringan lereng maka dibuat peta spasial bentuk lahan yang dapat dilihat pada Gambar 10.

Tabel 4. Persentase Kemiringan Lereng.

Simbol Kemiringan (%) Nama Luas (Ha) Jumlah (%)

A B C D E F 0 - 3 3 - 8 8 - 15 15 - 30 30 - 45 >45 Datar Agak landai Landai Agak curam Curam Sangat curam 0.9 0.2 1.7 6.4 4.5 4.8 4.9 0.9 9.2 34.4 24.5 26.1 Total 18,5 100

Lereng datar sampai lurus umumnya berada pada puncak, punggung dan lembah. Sedangkan lereng agak curam sampai curam berada diantara punggung dan lembah. Lereng yang sangat curam berada pada bagian lekukan yang sangat tajam dan merupakan poros alur menuju lembah.

Dengan mengacu pada “Diagram Model Sembilan Permukaan Lahan” menurut Dalrymple et. al. (1968; dalam Darmawan, 1987), didapatkan bahwa masing-masing transek memiliki beberapa segmen lereng. Secara teori keberadaan segmen lereng yang bervariasi dalam suatu transek lereng dapat menyebabkan perbedaan karakteristik tanah yang signifikan pada sepanjang transek tersebut.

4. 3. Sebaran Keragaman Karakteristik Tanah di Lapang

Karakteristik tanah yang diamati di lapang dengan boring tanah meliputi horison (susunan dan ketebalan), warna tanah (matriks, karat, bercak dan lainnya), tekstur tanah, dan konsistensi. Lokasi penelitian terdiri dari 3 bukit dan berdasarkan penelitian sebelumnya 2 bukit (Bukit A dan B) memiliki tanah yang sama (Oxic Dystrudepts) dan bukit lainnya (Bukit C) memiliki tanah yang

Gambar

Tabel  2.  Hubungan  Antara  Sifat-sifat  Tanah  dengan  Kelas  Tekstur  Tanah  dalam  Penetapan Tekstur Tanah di Lapang (Suwardi, 2000)
Tabel  3.  Sifat-sifat  Tanah  Penciri  pada  Masing-masing  Kategori  dalam  Sistem Taksonomi Tanah (Buol et al., 1980)
Gambar 1. Diagram Model Sembilan Satuan Bentuk Permukaan Lahan dari  Dalrymple et al. (1968, dalam Darmawan, 1987)
Gambar 4. Sekuen Tanah di Cipayung-Bogor (Sukarman, 1979)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang selalu melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul

Mengenai hal ini, apa yang telah dilaku- kan oleh pemerintah Iran bisa dijadikan bahan kajian yang tepat, yaitu karena konsekuensi atas pelarangan perkawinan sesama

Pengaruh tidak langsung antara konflik terhadap kepuasan kerja melalui kepercayaan yang berarti bahwa konflik yang terjadi pada perusahaan akan menurunkan

Sebagai karya seni rupa, sebuah logo tidak bisa lepas dari elemen- elemen senirupa dasar yang membentuknya seperti garis, bentuk, warna, ruang, tipografi dll.. Seperti yang

Karakteristik tersebut bisa menjadi penguat khazanah budaya dan identitas Melayu di Kalimantan Barat, bahasa Melayu yang digunakan dalam buku ini memiliki nilai estetis

Hasil penelitian menunjukkan bahwa teknik PCR menggunakan primer p131 dan p408, proses amplifikasi region PRE-1 pada bakso yang mengandung daging babi menghasilkan

Dapat disimpulkan bahwa penggunaan media benda konkret dalam pembelajaran IPA kelas V di MI Ma’arif NU Penaruban Kecamatan Bukateja Kabupaten Purbalingga Tahun Pelajaran

Penyusutan dan Penurunan Nisbah C/N pada Vermicomposting Campuran Feses Sapi Perah dan Jerami Padi menggunakan Eisenia