• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HASIL. Gambaran Umum Lokasi Penelitian"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

HASIL

Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Desa Cikarawang

Desa Cikarawang merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Darmaga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Secara umum Desa ini berupa dataran dan persawahan yang berada pada ketinggian antara 193 m diatas permukaan laut dengan suhu rata-rata berkisar 25 ˚C s/d 30 ˚C. Batas administratif Desa Cikarawang di sebelah utara adalah berbatasan dengan Sungai Cisadane, sebelah timur berbatasan dengan Kelurahan Situ Gede, sebelah selatan berbatasan dengan Sungai Ciapus, dan sebelah barat berbatasan dengan Sungai Ciapus dan Sungai Cisadane. Desa Cikarawang memiliki luas wilayah 226,56 Ha. Sebesar 128,109 Ha lahan dimanfaatkan untuk persawahan, sebesar 41,465 Ha digunakan sebagai pemukiman dan perkarangan, kemudian selebihnya digunakan untuk perladangan 35,226 Ha, jalanan 7,5 Ha, kuburan 0,60 Ha, perkantoran 0,160 Ha, serta prasarana umum lainnya 3,5 Ha.

Secara administratif, Desa Cikarawang terdiri dari tiga dusun, tujuh rukun warga (RW) dan 32 rukun tetangga (RT) dengan total penduduk sebanyak 8.263 jiwa dengan komposisi perempuan sebanyak 4.048 jiwa dan laki-laki sebanyak 4.215 jiwa. Jumlah kepala keluarga yang ada di Desa Cikarawang sebanyak 2.119 kepala keluarga (Laporan Kinerja Tahunan Desa Cikarawang tahun 2010). Adapun keadaan penduduk Desa Cikarawang berdasarkan tingkat pendidikan, persentase terbesar penduduk Desa Cikarawang adalah SD (1.350 jiwa). Keadaan penduduk juga dapat dilihat berdasarkan mata pencaharian penduduk. Persentase terbesar penduduk Desa Cikarawang berprofesi sebagai petani dan buruh tani (535 jiwa). Adapun mata pencaharian penduduk lainnya adalah pedagang, pegawai negeri sipil, TNI/Polri, karyawan swasta, dan wirausaha lainnya. Hampir seluruh penduduk Desa Cikarawang beragama islam.

Peningkatan kesejahteraan masyarakat sangat tergantung kepada upaya peningkatan pendidikan masyarakat, peningkatan derajat kesehatan masyarakat, pengetahuan kesehatan dan kehidupan sosial budaya. Sarana dan prasarana kesehatan yang mendukung antara lain puskesmas satu unit, posyandu tujuh unit, poliklinik satu unit, bidan desa empat orang, dukun terlatih tujuh orang dan

(2)

adanya dokter satu orang. Sedangkan sarana dan prasarana pendidikan yang mendukung antara lain empat buah PAUD, dua buah TK, empat buah SD, dan satu buah SMP. Adapun sarana perhubungan yang ada di Desa Cikarawang, yaitu angkutan umum yang langsung menuju terminal merdeka, dengan waktu oprasional kurang dari 18 jam perhari dan ojeg.

Potensi sumber daya alam yang ada di wilayah Desa Cikarawang sangat berlimpah, Berdasarkan data monografi kelurahan Sukaresmi. Diketahui bahwa Desa Cikarawang memiliki potensi yang besar terhadap komoditas padi disamping komoditas lain seperti ubi jalar. Hampir semua lahan persawahan ditanami oleh padi, dimana lahan persawahan tersebut menggunakan sistem irigasi sederhana dan sistem irigasi setengah teknis.

Mayoritas mata pencaharian warga Desa Cikarawang adalah dalam bidang pertanian, sehingga keberadaan situ-situ sangat dibutuhkan oleh masyarakat desa dalam mengelola area persawahan. Desa ini memiliki empat kelompok tani untuk memudahkan kegiatan pertanian di desa tersebut

Kelurahan Sempur

Secara geografis, Kelurahan Sempur terletak di Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor dengan batas wilayah sebelah utara berbatasan dengan Bantar jati, sebelah selatan dengan Paledang, sebelah timur dengan Babakan, dan sebelah barat dengan Pabaton. Kelurahan Sempur memiliki luas wilayah 60,3 Ha yang terdiri tujuh rukun warga (RW) dengan 32 rukun tetangga (RT). Sebagian besar lahan di Kelurahan Sempur dimanfaatkan untuk pemukiman 50 Ha dan selebihnya digunakan untuk perkarangan 8 Ha, taman 0,5 Ha, perkantoran 0,5 Ha serta prasarana umum lainnya 1,3 Ha.

Data laporan kinerja Kelurahan Sempur tahun 2010 menunjukan bahwa penduduk di Kelurahan Sempur berjumlah 8.096 jiwa dengan komposisi perempuan sebanyak 3.956 jiwa dan laki-laki sebanyak 4.140 jiwa. Jumlah kepala keluarga yang ada di Kelurahan Sempur berjumlah 2.309 kepala keluarga. Sebagian besar kesejahteraan keluarga yang ada di Kelurahan sempur berada pada keluarga sejahtera 2 (KS 2) yaitu berjumlah 1.206 keluarga. Tingkat pendidikan sebagian besar penduduk Kelurahan Sempur yaitu Sarjana dan Diploma yaitu sebanyak 635 jiwa. Mata pencaharian sebagian besar penduduk Kelurahan Sempur adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) yaitu sebanyak 785 jiwa. Adapun mata pencaharian penduduk lainnya adalah karyawan swasta,

(3)

pensiunan PNS/TNI/POLRI, karyawan perusahaan pemerintah, dan wiraswasta. Sebagian besar penduduk Kelurahan Sempur beragama Islam yaitu sebanyak 7.896 jiwa. Adapun agama yang dianut lainnya adalah Kristen, Katholik, Hindu, dan Budha. Mayoritas penduduk di Kelurahan Sempur berasal dari suku sunda yaitu sebanyak 7.978 jiwa.

Kelurahan Sempur memiliki sarana dan prasarana yang cukup lengkap dibidang air bersih, olah raga, kesehatan, pendidikan, perhubungan dan perekonomian. Sumber air bersih berasal dari sumur pompa dan sumur gali. Prasarana olahraga di Kelurahan Sempur memiliki dua buah lapangan bulu tangkis, dua buah meja pingpong, satu buah lapangan sepak bola, satu buah lapangan basket, satu buah lapangan voli, dan satu buah pusat kebugaran. Sarana dan prasarana kesehatan terdiri dari 11 unit posyandu, satu unit rumah sakit umum, satu unit puskesmas, satu unit apotik, satu unit rumah bersalin, satu orang dokter umum, dan satu orang praktik bidan. Prasarana pendidikan terdiri dari satu buah TK, tiga buah SD, dan satu buah SMP. Sarana perekonomian meliputi empat buah restoran, dua buah hotel, dan satu buah tempat bilyar. Pertumbuhan perekonomian di Kelurahan Sempur lebih tinggi dibandingkan dengan perekonomian di Desa Cikarawang, dikarenakan lokasi wilayahnya lebih mudah untuk mengakses sumber informasi dan teknologi. Sarana perhubungan yang ada adalah sarana transportasi darat, yaitu angkutan umum dan becak yang tersedia setiap saat.

Karakteristik Contoh

Usia Contoh

Usia contoh berkisar antara 19 hingga 72 tahun. Menurut Hurlock (1980), usia dewasa terbagi menjadi tiga yaitu dewasa awal, madya, dan akhir. Usia dewasa awal dimulai pada usia matang secara hukum, yaitu usia 19-40 tahun, sedangkan usia dewasa madya berada pada usia 41-60 tahun, dan usia dewasa akhir berada pada usia 61 tahun ke atas. Tabel 5 menunjukan bahwa lebih dari tiga perempat (77,4%) contoh perdesaan berada pada kategori usia dewasa awal sedangkan perkotaan hampir dari setengah contoh (46,4%) berada pada kategori usia dewasa madya.

Rataan usia contoh perkotaan lebih tinggi daripada rataan usia contoh perdesaan. Rataan pada usia contoh perkotaan sebesar 43.68 tahun, sedangkan rataan usia contoh perdesaan 34,70 tahun. Hasil uji beda independent t-test

(4)

menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nyata antara usia contoh perdesaan dengan perkotaan (p=0,000,p<0,005).

Tabel 5 Sebaran usia contoh perdesaan dan perkotaan

Usia Perdesaan Perkotaan Jumlah

n % n % n %

Dewasa awal (18-40 tahun) 41 77,4 24 42,9 65 59,6 Dewasa madya (41-60 tahun) 11 20,8 26 46,4 37 33,9 Dewasa akhir (≥61 tahun) 1 1,9 6 10,7 7 6,4

Total 53 100,0 56 100,0 109 100,0 Min-max(tahun) 19-66 22-72 19-72 Rata-rata ± sd 34,70 ± 9,77 43,68 ± 11,72 39,31 ± 11,66 P.value t-test 0.000** Ket : ** signifikan Suku bangsa

Indonesia adalah negara kepulauan dengan keanekaragaman suku bangsa. Contoh yang diambil terdiri dari berbagai suku bangsa. Tabel 6 menggambarkan bahwa hampir seluruh (90,6%) contoh perdesaan berasal suku Sunda, hal yang sama pun ditunjukkan pada contoh perkotaan lebih dari setengah (58,9%) contoh berasal dari Sunda. Suku melalui sistem sosial budaya mempunyai pengaruh terhadap apa, kapan, dan bagaimana makanan dikonsumsi keluarga. Kebudayaan tidak hanya menentukan makanan apa tetapi untuk siapa dan dalam keadaan bagaimana pangan tersebut dimakan. Kebiasaan makan individu juga dipengaruhi oleh kebiasaan makan keluarga dan dipengaruhi pula oleh aturan atau tatanan yang didasarkan kepada adat istiadat dan agama (Suhardjo 1989)

Tabel 6 Sebaran contoh berdasarkan suku

Suku Perdesaan Perkotaan Jumlah

n % n % n % Jawa 1 1,9 13 23,2 14 12,8 Sunda 48 90,6 33 58,9 81 74,3 Betawi 1 1,9 0 0,0 1 0,9 Melayu 1 1,9 1 1,8 2 1,8 Minang 0 0,0 4 7,1 4 3,7 Batak 0 0,0 3 5,4 3 2,8 Banten 2 3,8 0 0,0 2 1,8 Aceh 0 0,0 1 1,8 1 0,9 Bugis 0 0,0 1 1,8 1 0,9 Total 53 100,0 56 100,0 109 100,0 Pendidikan contoh

Pendidikan merupakan salah satu indikator yang dapat menentukan kualitas sumberdaya manusia (SDM). Tabel 7 memperlihatkan lebih dari

(5)

sepertiga (34,0%) contoh perdesaan tamat SD. Hal ini disebabkan karena penduduk di perdesaan tidak terlalu mementingkan pendidikan. Jenjang pendidikan contoh perkotaan cukup beragam yaitu mulai dari tamat SMP hingga lulus S1. Persentase terbesar contoh perkotaan berjenjang pendidikan tamat SMA dan Diploma yaitu sebesar 30,4 persen dan sebesar 28,9 persen lulus S1.

Hasil uji beda independent t-test menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara jenjang pendidikan kedua kelompok contoh (p=0,000). Konsumen yang memiliki pendidikan yang lebih baik akan sangat responsif terhadap informasi, pendidikan juga mempengaruhi konsumen dalam pilihan produk maupun merek. Pendidikan yang berbeda akan menyebabkan selera konsumen juga berbeda.

Tabel 7 Sebaran contoh berdasarkan pendidikan

Pendidikan Perdesaan Perkotaan Jumlah

n % n % n %

0 tahun (tidak tamat SD) 11 20,8 1 1,8 12 11,0

6 tahun (tamat SD) 18 34,0 0 0,0 18 16,5

9 tahun (tamat SMP) 10 18,9 5 8,9 15 13,8

12 tahun (tamat SMA) 11 20,8 17 30,4 28 25,7

15 tahun (tamat D3) 1 1,9 17 30,4 18 16,5 16 tahun (tamat S1) 2 3,8 16 28,6 18 16,5 Total 53 100,0 56 100,0 109 100,0 Min-max(tahun) 0-16 0-16 0-16 Rata-rata ± sd 7,81 ± 3,63 13,63 ± 2,65 10,79 ± 4,29 P value 0,000** Ket : ** signifikan Pekerjaan Contoh

Tabel 8 menunjukkan lebih dari separuh (64,2%) contoh perdesaan bekerja sebagai ibu rumah tangga/tidak bekerja dan sebesar 17,0 persen contoh bekerja sebagai wiraswasta, demikian halnya di perkotaan lebih dari separuh (57,1%) contoh bekerja sebagai Ibu rumah tangga/tidak bekerja dan sebesar 12,5 persen contoh bekerja sebagai wiraswasta dan pegawai swasta.

Tabel 8 Sebaran contoh berdasarkan pekerjaan

Pekerjaan ibu Perdesaan Perkotaan Jumlah

n % n % n %

Ibu Rumah tangga/tidak bekerja 34 64,2 32 57,1 66 60,6

Wiraswasta 9 17,0 7 12,5 16 14,7 PNS 4 7,5 3 5,4 7 6,4 BUMN 0 0,0 2 3,6 2 1,8 Swasta 1 1,9 7 12,5 8 7,3 Lain-lain 1 1,9 2 3,6 3 2,8 Total 53 100,0 56 100,0 109 100,0

(6)

Baik di perdesaan dan perkotaan pekerjaan contoh lebih dominan sebagai ibu rumah tangga/tidak bekerja. Hal ini diduga contoh yang tinggal di perdesaan hanya menempuh pendidikan tamat SD, sehingga peluang untuk bekerja disektor publik terbatas, sedangkan contoh yang tinggal di perkotaan meskipun telah memiliki jenjang pendidikan yang cukup baik (tamat SMA sampai S1) contoh lebih memilih untuk tidak bekerja atau sebagai Ibu rumah tangga. Berdasarkan pengamatan setidaknya ada dua alasan yang menjelaskan fenomena ini, yaitu 1) contoh merasa keperluan hidupnya sudah tercukupi dari penghasilan suami; dan 2) contoh memilih untuk mengalokasikan waktunya untuk keluarga dibandingkan untuk bekerja.

Karakteristik Keluarga

Pendapatan Per kapita Keluarga

Pendapatan keluarga mempunyai peranan penting terutama dalam memberikan efek terhadap taraf kehidupannya. Efek tersebut berorientasi pada kesejahteraan dan kesehatan, dimana perbaikan pendapatan ekonomi akan meningkatkan tingkat gizi masyarakat. Pendapatan merupakan faktor penting bagi kuantitas dan kualitas makanan.

Berdasarkan BPS (2010) Garis Kemiskinan Provinsi Jawa Barat yang ditetapkan oleh Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat No.26/07/32/Th. XII, 1 Juli tentang GK (Garis kemiskinan Kabupaten/Kota) Jawa Barat 2010, ditetapkan nominal sebesar Rp 185.335,00 sebagai pendapatan perkapita per bulan Kabupaten Jawa Barat dan Rp 212.210,00 sebagai pendapatan perkapita per bulan Kota Jawa Barat.

Tabel 9 Sebaran contoh berdasarkan perbandingan pendapatan perkapita contoh Pendapatan perkapita Perdesaan pendapatan perkapita Perkotaan n % n % < Rp 185.335 8 15,1 < Rp 212.210 00 0,0 ≥ Rp 185.335 46 84,9 ≥ Rp 212.210 56 100,0

Tabel 9 menunjukkan bahwa keluarga contoh perdesaan hampir seluruhnya (83,0%) memiliki pendapatan perkapita diatas minimum Kabupaten Jawa Barat. Sedangkan di perkotaan seluruh (100%) contoh memiliki pendapatan perkapita diatas minimum Kota Jawa Barat.

(7)

Berdasarkan hasil penelitian pada Tabel 10 menunjukkan bahwa pada keluarga contoh perdesaan lebih dari separuh (69,8%) contoh memiliki pendapatan perkapita antara Rp 212.210,00 - Rp 1.000.000,00. Sama halnya pada contoh perkotaan sebesar 53,6 persen memiliki pendapatan perkapita antara Rp 212.210,00 - Rp 1.000.000,00 namun rataan pendapatan perkapita keluarga contoh perkotaan lebih tinggi daripada contoh perdesaan, yaitu di perkotaan sebesar Rp 978.911,00 sedangkan di perdesaan sebesar Rp 431.184,00.

Berdasarkan uji beda rataan yang dilakukan dalam penelitian terdapat perbedaan yang signifikan (p=0,000). Hal ini diduga penduduk di perdesaan memiliki tingkat pendidikan yang rendah sehingga pekerjaan yang diperolehnya menghasilkan pendapatan yang sedikit.

Tabel 10 Sebaran berdasarkan jumlah pendapatan perkapita keluarga contoh perbulan

Pendapatan perkapita keluarga

(Rupiah)

Perdesaan Perkotaan Jumlah

n % n % n % ≤185.335 8 15,1 0 0,0 8 7,3 185.336-212.210 3 5,7 0 0,0 3 2,8 212.210-1.000.000 37 69,8 30 53,6 67 61,5 1.000.001-2.000.000 4 7,5 24 42,9 28 25,7 ≥2.000.001 1 1,9 2 3,6 3 2,8 Total 53 100 56 100 109 100 Min-max(rupiah) 110.000-2.042.667 325.000-2.675.000 110.000-2.675.000 Rata-rata ± sd (Rp) 431.184±348.875 978.911±365.304 705.794±429.826 P.value t-test 0,000** Ket : ** signifikan

Pengeluaran keluarga per bulan

Selain menghitung pendapatan keluarga contoh, penelitian ini menggunakan metode lain dalam mengukur pendapatan contoh sebagai keluarga, yaitu dengan pendekatan pengeluaran keluarga. Contoh ditanyakan jumlah seluruh pengeluaran selama sebulan untuk semua kebutuhan rumah tangga (makanan, minuman dan kebutuhan bukan makanan lainnya yang sangat beragam). Jumlah pengeluaran rumahtangga inilah yang bisa dianggap sebagai indikator pendapatan rumah tangga (Sumarwan 2004). Rentang pengeluaran didasarkan pada Social Economic Status (SES) AC Nielsen tahun 2010 dapat menunjukkan kelas sosial contoh.

Berdasarkan hasil penelitian yang ditunjukan pada Tabel 11, hampir setengah (49,1%) keluarga contoh perdesaan memiliki pengeluaran antara Rp

(8)

1.000.00,00 - Rp 1.500.000,00 sedangkan di perkotaan lebih dari setengah contoh (57,1%) memiliki pengeluaran antara diatas Rp 3.000.001,00. Hasil uji beda independent t-test menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara pengeluaran keluarga kedua kelompok contoh (p=0,000). Pengeluaran contoh perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan pengeluaran contoh perdesaan

Tabel 11 Sebaran berdasarkan pengeluaran keluarga contoh (SES AC Nielsen 2010)

Pengeluaran

keluarga (Rupiah) Kategori

Perdesaan Perkotaan Jumlah

n % n % n % ≤ 700.000 SES E 1 1,9 0 0,0 1 0,9 700.001-1.000.000 SES D 8 15,1 1 1,8 9 8,3 1.000.001-1.500.000 SES C1 26 49,1 3 5,4 29 26,6 1.500.001-2.000.000 SES C2 12 22,6 5 8,9 17 15,6 2.000.001-3.000.000 SES B 4 7,5 15 26,8 19 17,4 ≥ 3.000.001 SES A 2 3,8 32 57,1 34 31,2 Total 53 100,0 56 100,0 109 100,0 Min-max(rupiah) 517.000-4.550.000 1.000.000-6.750.000 517.000-6.750.00 Rata-rata ± SD (rupiah) 1.476.274 ± 711.441 3.575.455 ± 1.612.977 2.554.752 ± 1.636.960 P.value t-test 0,000** Ket : ** signifikan

Pengeluaran beras per bulan

Pengeluaran beras per bulan adalah jumlah uang yang dikeluarkan oleh keluarga setiap bulannya untuk membeli beras. Penelitian menunjukkan bahwa pengeluaran contoh perdesaan dan perkotaan untuk membeli beras setiap bulan berkisar antara Rp 60.000,00 hingga Rp 400.000,00. Rata-rata pengeluaran beras per bulan pada kedua kelompok contoh adalah Rp 168.248,00. Hasil uji beda t-test menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara pengeluaran beras pada kedua kelompok contoh.

Tabel 12 menampilkan sebaran contoh berdasarkan pengeluaran untuk beras per bulan. Hasil menunjukkan bahwa hampir setengah contoh perdesaan (47,2%) mengeluarkan uang sejumlah Rp 91.000,00 hingga Rp 166.000,00 untuk membeli beras, sedangkan pada contoh perkotaan sebesar 33,9 persen contoh mengeluarkan uang Rp 167.000,00 hingga Rp 150.000,00. Pengeluaran beras berkaitan dengan besar keluarga. Umumnya semakin banyak jumlah anggota keluarga maka pengeluaran keluarga untuk membeli beras juga akan semakin besar. Hasi uji korelasi Pearson memperlihatkan bahwa terdapat hubungan nyata

(9)

antara jumlah anggota keluarga dengan pengeluaran beras keluarga (r=0,458,p=0,000).

Tabel 12 Sebaran contoh berdasarkan pengeluaran untuk beras per bulan Jumlah uang (Rupiah) Perdesaan Perkotaan Jumlah

n % n % n % ≤ 90.000 13 24,5 14 25,0 27 24,8 91.000 – 166.000 25 47,2 15 26,8 40 36,7 167.000 – 242.000 5 9,4 19 33,9 24 22,0 243.000 – 318.000 8 15,1 5 8,9 13 11,9 ≥ 319.000 2 3,8 3 5,4 5 4,6 Total 53 100 56 100 109 100 Min-max (rupiah) 75.000 - 400.000 600.000 - 360.000 60.000 - 400.000 Rataan ± SD 167.453 ± 81.750 169.000 ± 77.121 168.248 ± 79.040 P value t-test 0,919 Besar keluarga

Besar keluarga merupakan keseluruhan jumlah anggota keluarga yang terdiri dari suami, istri, anak, dan anggota keluarga lainnya yang tinggal dalam satu rumah dan hidup dari pengelolahan sumberdaya yang sama. Jumlah anggota keluarga contoh dalam penelitian dibagi ke dalam tiga kelompok seperti yang disajikan pada Tabel 13. Pengkategorian besar keluarga mengacu pada penetapan BKKBN (2005), yaitu 1) keluarga kecil dengan jumlah anggota keluarga kurang dari atau sama dengan empat, 2) keluarga sedang dengan jumlah anggota keluarga sebanyak lima sampai enam orang, dan 3) keluarga besar dengan jumlah anggota keluarga lebih dari atau sama dengan tujuh orang.

Jumlah anggota keluarga akan menentukan jumlah dan pola konsumsi beras. Rumahtangga dengan jumlah anggota yang lebih banyak biasanya akan membeli dan mengkonsumsi beras lebih banyak dibandingkan dengan rumahtangga yang memiliki anggota lebih sedikit. Menurut Sediaoetama (2006) pengaturan pengeluaran untuk pangan sehari-hari akan lebih sulit jika jumlah anggota keluarga banyak.

Tabel 13 menunjukkan bahwa rataan besar keluarga contoh baik di perdesaan maupun perkotaan adalah kurang dari atau sama dengan empat orang. Contoh perkotaan memiliki proporsi keluarga kecil lebih banyak (71,4%) bila dibandingkan dengan di perdesaan (58,5%). Secara keseluruhan rata-rata besar keluarga contoh pada dua wilayah tersebut sebanyak tiga sampai empat orang. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar keluarga contoh termasuk ke dalam kategori keluarga kecil, yaitu keluarga yang memiliki satu sampai dua orang anak. Berdasarkan hasil uji independent t-test menunjukkan tidak adanya

(10)

perbedaan yang signifikan (p=0,175) antara besar keluarga contoh perdesaan dan perkotaan. Besar keluarga berkaitan dengan jumlah pengeluaran keluarga. Semakin besar ukuran keluarga, maka semakin besar alokasi pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan keluarga, terutama dalam hal mengkonsumsi kebutuhan pangan.

Tabel 13 Sebaran contoh berdasarkan besar keluarga

Kategori Perdesaan Perkotaan Jumlah

n % n % n %

Keluarga kecil (≤ 4 orang) 31 58,5 40 71,4 72 66,1 Keluarga sedang (5-6 orang) 18 34,0 15 26,8 32 29,4 Keluarga besar (≥ 7 orang 4 7,5 1 1,8 5 4,6

Total 53 100 56 100 109 100

Min-max 2 - 10 orang 2 - 8 orang 2 - 10 orang

Rataan ± SD 4,43 ± 1,65 3,91 ± 1,10 4,14 ± 1,49

P value t-test 0,175

Pekerjaan suami

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar pekerjaan suami perdesaan didominasi sebagai buruh dan pekerjaan suami perkotaan didominasi sebagai pegawai swasta. Tabel 14 menunjukan bahwa lebih dari setengah contoh yaitu sebesar 56,6 persen memiliki suami yang bekerja sebagai buruh, termasuk buruh tani.

Hal ini dikarenakan di daerah desa penelitian masih banyaknya area persawahan yang dapat digarap sehingga sebagian besar penduduk di desa tersebut bekerja sebagai petani, sedangkan di perkotaan sepertiga contoh yaitu (32,1%) memiliki suami yang bekerja sebagai pegawai swasta.

Tabel 14 Sebaran contoh berdasarkan pekerjaan suami

Pekerjaan bapak Perdesaan Perkotaan Jumlah

n % n % n % Tidak bekerja 0 0,0 0 0,0 0 0,0 Wiraswasta 7 13,2 9 16,1 16 14,7 PNS 4 7,6 12 21,5 16 14,7 BUMN 0 0,0 0 0,0 0 0,0 Swasta 12 22,6 18 32,1 30 27,5 Buruh 30 56,6 17 30,4 47 87,0 Total 53 100,0 56 100,0 109 100,0 Orientasi Nilai

Nilai yang diyakini oleh setiap individu berbeda-beda karena dipengaruhi oleh keyakinan yang dianutnya masing-masing. Mengacu pada Homer & Kahle 1988, diacu dalam De Groot & Steg 2006, nilai yang digunakan dalam mengukur

(11)

konsumsi beras yaitu orientasi nilai yang berfokus pada tiga dimensi, yaitu (1) internal (nilai yang timbul dari dalam sendiri) terdiri dari pemenuhan diri, kegembiraan, pencapaian prestasi, dan harga diri, (2) eksternal (nilai yang yang timbul karena adanya pengaruh dari luar) yang terdiri dari rasa kebersamaan, dihormati, dan rasa aman, dan (3) interpersonal (nilai yang terbentuk dari dalam diri sendiri dan adanya pengaruh dari lingkungan) yaitu kesenangan hidup dan kehangatan hubungan dengan orang lain.

Tabel 15 Rataan skor nilai internal yang diyakini sebagai dasar mengkonsumsi beras

No Pernyataan Rata-rata skor P value

Desa Kota Total

1 Nasi prioritas utama dalam makan 3,72 3,54 3,62 0,324 2 Kebutuhan pangan terpenuhi dengan

mengkonsumsi nasi

3,09 3,34 3,22 0,270 3 Nasi makanan pokok yang tidak dapat

digantikan

3,81 3,34 3,61 0,072 4 Senang memiliki persedian beras di

rumah

4,23 4,27 4,25 0,452 5 Senang mengkonsumsi nasi tiga kali

sehari

3,77 3,50 3,63 0,146 6 Gembira dapat mengkonsumsi nasi setiap

hari

4,28 3,88 4,07 0,031* 7 Nasi menghilangkan rasa lapar 3,81 3,52 3,66 0,089 8 Beras meningkatkan status sosial 3,08 2,57 2,82 0,027* 9 Bangga kalau makanan pokok utama

beras

4,13 3,41 3,76 0,000** 10 Sukses dalam hidup ini, jika telah mampu

mengkonsumsi nasi setiap harinya

2,60 3,04 2,83 0,092 11 Gembira jika mampu mengalokasikan

uang untuk membeli beras dalam sebulan

4,17 3,70 3,93 0,031* 12 Beras merupakan hal terpenting dalam

hidup

4,66 3,55 4,12 0,000** Skor total rata-rata ± sd 3,78 ±

0,48 3,48 ± 0,76 3,62 ± 0,66 P value t-tes 0,015* Ket : * signifikan

Tabel 15 memperlihatkan rataan skor nilai internal yang diyakini contoh. Berdasarkan orientasi nilai internal, menunjukkan bahwa total rataan skor terbesar yaitu 4,25 diperoleh dari pernyataan yang berhubungan dengan nilai kesenangan hidup, yakni contoh sangat menyakini bahwa dengan masih memiliki persedian beras di rumah maka akan menimbulkan kesenangan bagi dirinya, dengan skor rataan contoh perdesaan sebesar (4,23) dan perkotaan sebesar (4,27).

Pada setiap item pernyataan dilakukan uji beda Mann-Whitney untuk melihat perbedaan jawaban pada kedua kelompok contoh. Hasil penelitian

(12)

menunjukkan bahwa terdapat perbedaan antara jawaban contoh pada item pernyataan yang berkaitan dengan rasa gembira yaitu contoh merasa senang dapat mengkonsumsi nasi setiap hari (p=0,031) dan senang jika telah mampu mengalokasikan uang setiap hari untuk membeli beras (p=0,031). Perbedaan lain yaitu ditunjukkan pada pernyataan yang berkaitan dengan harga diri seseorang, yaitu contoh bangga kalau makanan pokok utama beras (p=0,000) dan beras dapat meningkatkan status sosial (0,027), selain itu pada pernyataan yang berkaitan dengan pemenuhan diri seseorang, dimana contoh merasa beras merupakan kebutuhan terpenting dalam hidup (p=0,000).

Secara umum hasil perhitungan menunjukkan bahwa total skor rata-rata contoh pada tipe nilai internal sebesar 3,62, yang artinya contoh menyakini bahwa nilai internal merupakan dasar nilai/keyakinan dalam mengkonsumsi beras. Rataan total skor nilai internal contoh perdesaan sebesar 3,78 dan di perkotaan sebesar 3,48, sehingga keyakinan nilai internal contoh perdesaan lebih tinggi dari pada contoh perkotaan. Hal ini berarti contoh perdesaan lebih menyakini nilai internal sebagai dasar mengkonsumsi beras dibandingkan dengan contoh perkotaan. Hasil penelitian menunjukan bahwa dari seluruh total item pernyataan dengan menggunakan uji beda t-test, terdapat perbedaan yang signifikan (p=0,015) antara nilai internal yang dianut contoh perdesaan dan perkotaan.

Hasil penelitian yang disajikan pada Tabel 16 menunjukkan bahwa, total rataan skor nilai eksternal contoh terbesar yaitu 3,79 yang diperoleh dari pernyataan yang berhubungan dengan nilai kebersamaan. Contoh menyakini bahwa beras dapat menciptakan rasa kebersamaan, sehingga bagi contoh yang disebut makan bersama dalah makan lengkap yang harus ada nasinya dengan rataan contoh perdesaan lebih besar (4,11) dibandingkan dengan contoh perkotaan (3,48). Secara umum total rataan skor dari seluruh pernyataan sebesar 3,57. Hal ini berarti contoh cukup menyakini bahwa nilai eksternal dapat dijadikan sebagai dasar keyakinan dalam mengkonsumsi beras. Rataan skor nilai eksternal contoh perkotaan sebesar 3,83 dan perdesaan sebesar 3,33. Berdasarkan hasil uji independent t-test dari seluruh total item pernyataan menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan (p=0,000) antara nilai eksternal yang dianut pada kedua kelompok contoh.

Hasil uji beda Mann-Whitney, menunjukkan bahwa dari seluruh item pernyataan pada dimensi nilai eksternal terdapat dua pernyataan yang tidak

(13)

menunjukkan tidak adanya perbedaan yang signifikan pada contoh perdesaan dan perkotaan yaitu pada pernyataan yang berhubungan dengan rasa aman yaitu, merasa tidak ada masalah jika tidak ada persedian beras di rumah dan rasa kebersamaan yaitu, kesejahteraan suatu bangsa tidak dapat dilambangkan oleh beras.

Tabel 16 Rataan skor nilai eksternal yang diyakini sebagai dasar mengkonsumsi beras

No Pernyataan Rata-rata skor P value

Desa Kota Total 1 Nasi lebih bergizi dari pada makanan

pokok lain

3,55 3,05 3,29 0,016** 2 Merasa ada masalah jika tidak ada

persediaan beras dirumah

3,55 3,88 3,72 0,125 3 Merasa khawatir akan kurangnya

persediaan stock beras dipasaran,ketika musim paceklik

4,17 3,36 3,75 0,000**

4 Memberikan santunan berupa nasi (beras), akan lebih dihormati

3,45 2,82 3,13 0,001** 5 Kebersamaan dengan tetangga

terjalin, ketika makan nasi bersama

4,15 3,30 3,72 0,000** 6 Yang disebut “makan bersama”

adalah makan lengkap yang harus ada nasinya

4,11 3,48 3,79 0,005**

7 Beras melambangkan kesejahteraan bangsa

3,92 3,55 3,73 0,055 8 Beras melambangkan persatuan

bangsa

3,74 3,18 3,45 0,002** Skor total rata-rata ± sd 3,83 ±

0,40 3,33 ± 0,59 3,57 ± 0,56 P value t-test 0,000** Ket : ** signifikan

Berdasarkan orientasi nilai interpersonal, Tabel 17 memperlihatkan bahwa nilai total rataan skor terbesar yaitu 4,27 diperoleh dari pernyataan yang berhubungan dengan nilai untuk mendapatkan kesenangan hidup yang dirasakan dari hasil interaksi dengan orang lain, sehingga contoh merasa bahwa dengan memberikan beras kepada orang lain akan memperoleh kesenangan hidup, sedangkan total skor terendah diperoleh dari pernyataan yang berkaitan dengan rasa hormat dari orang lain diperoleh dengan memberikan nasi/beras kepada orang lain, total skor pada pernyataan tersebut sebesar 3,13 yang berarti bahwa contoh memiliki keyakinan netral pada pernyataan tersebut. Secara umum total rataan skor dari seluruh pernyataan sebesar 3,86 dengan rata-rata contoh perdesaan sebesar 3,97 dan perkotaan sebesar 3,75. Hal ini berarti pada kedua kelompok contoh menyakini nilai interpersonal dalam mengkonsumsi beras, namun dengan skor rata-rata yang berbeda.

(14)

Hasil uji beda Mann-Whitney, menunjukkan bahwa dari tujuh item pernyataan terdapat lima pernyataan yang memiliki perbedaan signifikan yaitu pada nilai yang berkaitan dengan kesenangan hidup dan kehangatan hubungan. Hasil uji independent t-test juga menunjukkan bahwa dari seluruh total item pernyataan pada dimensi nilai interpersonal terdapat perbedaan yang signifikan (p=0,039) antara nilai interpersonal yang dianut pada contoh perdesaan dan perkotan. Dari hasil tersebut menunjukan bahwa setiap individu memiliki keyakinan/nilai interpersonal yang berbeda-beda.

Tabel 17 Skor nilai interpersonal yang diyakini sebagai dasar mengkonsumsi beras

No Pernyataan Rata-rata skor P value

Desa Kota Rataan 1 Senang dapat memberikan nasi

(beras) kepada orang lain yang mengalami kesulitan

4,26 4,27 4,27 0,784

2 Makan nasi bersama, lebih menimbulkan rasa kebersamaan keluarga

4,13 3,68 3,90 0,040*

3 Sedih ketika memberikan nasi (beras) terhadap korban bencana/musibah

3,32 3,84 3,59 0,031* 4 Nasi (beras) dapat dijadikan alat

pemersatu hubungan dengan orang lain

3,85 3,27 3,56 0,000**

5 Nasi (beras) merupakan makanan pokok yang dapat menciptakan suasanan kehangatan.

4,00 3,57 3,78 0,019**

6 Nasi (beras) alat untuk mempererat tali silaturahmi dengan keluarga besar

4,32 3,61 3,95 0,000** 7 Tamu berkunjung ketika jam makan,

lebih pantas dijamu dengan sajian lengkap (nasi)

3,92 4,04 3,98 0,414

Skor total rata-rata ± sd 3,97 ± 0,43 3,75 ± 0,64 3,86 ± 0,56 P value t-test 0,039* Ket : * signifikan

Sebaran contoh perdesaan dan perkotaan berdasarkan tiga orientasi nilai diuraikan pada Tabel 18. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebesar 79,2 persen contoh perdesaan menyakini nilai internal sebagai nilai yang dianut dalam mengkonsumsi beras, sedangkan contoh perkotaan yang menyakini nilai internal sebesar 53,6 persen. Hal ini berarti contoh berorientasi pada diri sendiri dalam hal mengkonsumsi beras, seperti pemenuhan diri, kegembiraan, harga diri dan pencapaain prestasi. Artinya contoh memiliki keyakinan/nilai yang cukup erat terhadap beras dalam hal pemenuhan kebutuhan pangan, perasaan gembira, status sosial dan pencapaiaan kesuksesan hidup.

(15)

Tabel 18 Sebaran contoh berdasarkan indikator tiga orientasi nilai Orientasi nilai

Kategori

Perdesaan

Internal Eksternal Interpersonal Total

n % n % n % n % Tidak meyakini 1 1,9 0 0,0 0 0,0 0 0,0 Netral 10 18,9 10 18,9 5 9,4 6 11,3 Meyakini 42 79,2 43 81,1 48 90,6 47 88,7 Total 53 100 53 100 53 100 53 100 Rata-rata 3,84 Orientasi nilai Kategori Perkotaan

Internal Eksternal Interpersonal Total

n % n % n % n % Tidak meyakini 5 8,9 6 10,7 3 5,4 3 5,4 Netral 21 37,5 24 42,9 9 16,1 20 35,7 Meyakini 30 53,6 26 46,6 44 78,6 33 58,9 Total 56 100 56 100 56 100 56 100 Rata-rata 3,40

Tabel 19 menunjukkan bahwa secara keseluruhan orientasi nilai yang dianut oleh kedua kelompok contoh baik di perdesaan dan perkotaan menyakini nilai terhadap beras dengan persentase sebesar 88,7 persen pada contoh perdesaan dan sebesar 58,9 persen contoh perkotaan, namun di perkotaan sebesar 35,7 persen masih terdapat contoh yang memiliki keyakinan netral terhadap beras. Hal ini menunjukkan bahwa nilai yang dianut terhadap konsumsi beras pada contoh perdesaan lebih erat dibandingkan dengan contoh perkotaan.

.

Tabel 19 Sebaran contoh berdasarkan orientasi nilai

Kategori Orientasi Nilai Perdesaan Perkotaan Jumlah

n % n % n % Tidak meyakini 0 0,0 5 8,9 3 2,8 Netral 6 11,3 20 35,7 26 23,9 Meyakini 47 88,7 33 58,9 80 73,4 Total 53 100 56 100 109 100 Rata-rata ± sd 3,84 ± 0,35 3,40 ± 0,60 3,67 ± 0,52 P value 0,001** Ket : ** signifikan

Rataan nilai contoh perdesaan sebesar 3,84 dan perkotaan sebesar 3,40. Berdasarkan hasil uji beda t-test menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan (p=0,001,p<0,01) antara orientasi nilai yang dianut contoh perdesaan dan perkotaan. Contoh perdesaan masih bergantung sekali terhadap beras sebagai bahan makanan pokok utama untuk memenuhi kebutuhan pangannya

Sikap Konsumen

Schiffman dan Kanuk (2004), menyatakan bahwa sikap merupakan kecenderungan yang dipelajari dalam berperilaku dengan cara yang menyenangkan atau tidak menyenangkan terhadap suatu objek terentu. Mowen

(16)

dan Minor (2002) menyebutkan bahwa istilah pembentukan sikap konsumen seringkali menggambarkan hubungan antara kepercayaan, sikap, dan perilaku. Kepercayaan konsumen adalah pegetahuan konsumen menyangkut kepercayaan dari suatu atribut produk dan manfaat yang diperoleh dari atribut tersebut.

Sikap konsumen terhadap pengurangan konsumsi beras dapat diartikan sebagai pengetahuan, perasaan, dan keinginan konsumen terhadap pengurangan konsumsi beras. Penelitian ini menggunakan model sikap tiga komponen yang meliputi komponen kognitif, afektif, dan konatif. Kognitif terkait dengan kepercayaan konsumen tentang obyek sikap. Afektif mengacu pada perasaan konsumen terhadap sebuah obyek sikap. Konatif mencakup keinginan atau maksud berperilaku terhadap suatu objek.

Aspek Kognitif (Pengetahuan) Pengurangan Konsumsi Beras

Solomon (1999) mendefinisikan kognitif sebagai kepercayaan konsumen terhadap suatu objek. Hal ini didasarkan pada pernyataan Engel, Blackwell, dan Miniard (1994) bahwa pengetahuan merupakan informasi yang disimpan dalam ingatan dan menjadi sebuah pengetahuan yang kemudian menjadi penentu utama perilaku konsumsi.

Tabel 20 menunjukkan bahwa dari seluruh item pernyataan baik pada contoh perdesaan maupun perkotaan sudah memiliki tingkat pengetahuan yang baik terhadap pengurangan konsumsi beras. Persentase tertinggi (92,7%) pengetahuan contoh baik di perdesaan dan perkotaan, yakni contoh mengetahui dengan baik bahwa selain beras, jagung; kentang; singkong; dan ubi juga mengandung sumber energi dan sebesar 78,9 persen contoh mengetahui bahwa untuk hidup sehat harus mengkonsumsi beragam jenis pangan, sedangkan sebesar 21,1 persen contoh kurang mengetahui bahwa sayur-sayuran bukan merupakan jenis makanan yang mengandung sumber karbohidrat. Angka persentase ini merupakan angka terendah dari seluruh item pernyataan yang diberikan. Hal ini dapat disebabkan karena kurangnya pengetahuan contoh tentang kandungan nutrisi pada sayur-sayuran, sehingga menganggap bahwa sayur-sayuran merupakan jenis pangan yang mengandung karbohidrat. Hasil uji beda Mann Whitney menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan, pada item pernyataan yang berkaitan mengenai pengetahuan contoh terhadap bahan pangan lain yang dapat menggantikan beras (p=0,001) dan contoh menyadari bahwa beras tidak mengandung protein (p=0,000)

(17)

Secara keseluruhan total persentase tingkat pengetahuan contoh terhadap pengurangan konsumsi beras pada contoh perkotaan lebih baik daripada contoh perdesaan yaitu pada perkotaan sebesar 66,4 persen, sedangkan di perdesaan sebesar 52,6 persen, hal ini diduga tingkat pendidikan contoh perkotaan lebih tinggi dari contoh perdesaan sehingga kognitif/pengetahuan contoh perkotaan lebih baik.

Tabel 20 Persentase jawaban aspek kognitif/pengetahuan

No Pernyataan

Persentase Jawaban

benar (%) P value Desa Kota Total

1 Sayur-sayuran sumber karbohidrat selain beras

15,1 26,8 21,1 0,137 2 Selain beras, jagung; kentang;

singkong; dan ubi juga mengandung sumber energi

88,7 96,4 92,7 0,123

3 Mengurangi konsumsi nasi (beras), membantu menurunkan impor beras

39,6 41,1 40,4 0,878 4 Keragaman pangan salah satu cara

mengurangi konsumsi beras

75,5 73,2 74,3 0,788

5 Untuk hidup sehat, harus

mengkonsumsi pangan yang beragam

75,5 82,1 78,9 0,096

6 Keragaman pangan adalah

mengkonsumsi jenis pangan yang bervariasi setiap harinya

64,2 75,0 69,7 0,220

7 Jagung, kentang, singkong, dan ubi dapat menggantikan peran beras

50,9 80,4 66,1 0,001** 8 Beras tidak mengandung protein 18,9 66,1 43,1 0,000**

9 Program swasembada beras,

masyarakat disarankan mengkonsumsi beragam pangan

45,3 57,1 51,4 0,218

Rata-rata 52,6 66,4 59,7

Ket : ** signifikan

Hasil penelitian yang ditunjukkan pada Tabel 21, memperlihatkan bahwa aspek kognitif/pengetahuan contoh terhadap pengurangan konsumsi beras pada kedua kelompok berbeda. Aspek kognitif contoh perdesaan berada pada kategori rendah yaitu sebesar 47,2 persen, sedangkan aspek kognitif contoh perkotaan berada di kategori sedang yaitu sebesar 57,1 persen. Perbedaan hal tersebut diduga karena tingkat pendidikan contoh perdesaan lebih rendah daripada contoh perkotaan, sehingga pengetahuan contoh perdesaan terhadap pengurangan konsumsi beras pun lebih rendah dibandingkan dengan contoh perkotaan. Hasil uji beda rataan t-test menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara aspek kognitif kedua kelompok contoh (p=0.001,p<0.01).

(18)

Tabel 21 Sebaran contoh berdasarkan kategori aspek kognitif pengurangan konsumsi beras

Kategori Perdesaan Perkotaan Jumlah

n % n % n % Rendah 25 47,2 12 21,4 37 33,9 Sedang 20 37,7 32 57,1 52 47,7 Tinggi 8 15,1 12 21,4 20 18,3 Total 53 100 56 100 109 100 Rata-rata ± sd 5,71 ± 2,06 6,79 ± 1,82 6,26 ± 2,00 P value 0,001** Ket : ** signifikan

Aspek Afektif Pengurangan konsumsi Beras

Sumarwan (2002) menyatakan aspek afektif adalah ungkapan perasaan konsumen terhadap suatu objek, apakah konsumen menyukai atau tidak menyukai objek tersebut. Afektif konsumen merupakan faktor penting yang akan mempengaruhi keputusan konsumen, karena afektif sangat terkait dengan konsep kepercayaan dan perilaku

Tabel 22 menunjukkan bahwa sebesar 4,06 total rataan skor diperoleh dari pernyataan yang berhubungan dengan aspek afektif mengenai kesukaan terhadap mengkonsumsi beragam jenis pangan agar asupan gizi yang diperoleh tubuh lebih seimbang dengan jumlah skor rataan di perdesaan sebesar (4,02) dan perkotaan sebesar (4,09). Hasil uji beda Mann Whitney menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan pada item pernyataan yang berkaitan dengan perasaan senang jika makan malam tanpa nasi (p=0,001) dan contoh merasa tertarik untuk mengkonsumsi pangan selain nasi ketika sarapan pagi (0,015)

Total rataan skor dari seluruh pernyataan pada dua kelompok contoh sebesar 3,45 yang artinya contoh menyukai pengurangan konsumsi beras. Rata-rata aspek afektif contoh perdesaan sebesar 3,27. Hal ini berarti aspek afektif contoh perdesaan lebih bersikap netral dalam pengurangan konsumsi beras, sedangkan rata-rata contoh perkotaan sebesar 3,61 yang berarti contoh perkotaan bersikap menyukai terhadap pengurangan konsumsi beras. Hasil uji beda rataan t-test menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara aspek afektif kedua kelompok contoh (p=0,010 p<0,05). Aspek afektif pengurangan konsumsi beras pada contoh perkotaan lebih tinggi dari pada di perdesaan. Hal ini di duga karena nilai beras yang diyakini contoh perdesaan lebih erat daripada contoh perkotaan, sehingga berpengaruh terhadap aspek afektif contoh dalam mengurangi konsumsi beras.

(19)

Tabel 22 Skor rata-rata contoh berdasarkan jawaban aspek afektif

No Pertanyaan Rata-rata P value

Desa Kota Total 1 Senang makan singkong dan ubi,

sebagai sumber karbohidrat

3,38 3,61 3,50 0,383 2 Senang makan malam tanpa nasi 2,66 3,55 3,12 0,001** 3 Senang mengurangi konsumsi nasi

dari tiga menjadi dua kali sehari

3,32 3,61 3,47 0,541 4 Senang mengkonsumsi beragam

jenis pangan agar asupan gizi lebih seimbang

4,02 4,09 4,06 0,474

5 Senang mengurangi makan nasi untuk membantu menurunkan impor beras

2,96 3,14 3,06 0,389

6 Tertarik mengkonsumsi pangan selain nasi pada saat sarapan pagi

2,66 3,34 3,01 0,015* 7 Senang mengurangi konsumsi nasi

untuk menjaga berat badan

3,13 3,48 3,31 0,199 8 Senang mengurangi konsumsi nasi,

untuk menjaga kesehatan tubuh

3,47 3,61 3,54 0,920 9 Tertarik mengurangi nasi agar

terhindar dari penyakit diabetes dan kegemukan

3,87 4,05 3,96 0,997

Skor total rata-rata ± sd 3,27 ± 0,70 3,61 ± 0,64 3,45 ± 0,69 P value t-test 0,010* Ket : ** signifikan

Tabel 23 menunjukkan bahwa aspek afektif pada kedua kelompok berbeda. Hampir separuh (45,3%) contoh perdesaan lebih bersikap netral terhadap pengurangan konsumsi beras, sedangkan sebesar 58,9 persen contoh perkotaan bersikap menyukai pengurangan konsumsi beras. Perbedaan tersebut diduga karena hampir seluruh contoh perdesaan masih memiliki nilai ketergantungan terhadap beras, sedangkan hanya lebih dari setengah contoh perkotaan yang masih menyakini nilai beras.

Tabel 23 Sebaran contoh berdasarkan kategori aspek afektif penurunan konsumsi beras

Kategori Perdesaan Perkotaan Jumlah

n % n % n %

Kurang menyukai 9 17,0 3 5,4 12 11,0

Netral 24 45,3 20 35,7 44 40,4

Menyukai 20 37,7 33 58,9 53 48,6

(20)

Aspek Konatif Pengurangan Konsumsi Beras

Konatif adalah sikap yang menggambarkan tindakan seseorang atau kecenderungan perilaku terhadap suatu objek (Engel, Blackwell dan Miniard,1994). Konatif berkaitan dengan tindakan atau perilaku yang akan dilakukan oleh seorang konsumen Sumarwan (2002).

Tabel 24 Skor rata-rata contoh berdasarkan jawaban aspek konatif

No Pertanyaan Rata-rata skor P value

Desa Kota Total 1 Berencana mengkonsumsi pangan,

selain nasi sebagai sumber energi

2,55 3,77 3,17 0,000** 2 Berencana mengurangi konsumsi

nasi dari tiga menjadi dua kali sehari

3,62 4,12 3,88 0,037* 3 Bermaksud tidak makan nasi pada

malam hari

3,28 4,18 3,74 0,003**

4 Berkeinginan mengkonsumsi

beragam jenis pangan agar asupan gizi seimbang

3,92 4,45 4,19 0,000**

5 Berkeinginan untuk mengurangi konsumsi nasi untuk menjaga berat badan

3,45 4,00 3,73 0,047*

6 Berencana mengurangi nasi agar konsumsi pangan lebih beragam

3,81 4,04 3,93 0,406 7 Berencana mengganti nasi dengan

pangan lain untuk menurunkan impor beras

3,02 2,77 2,89 0,454

8 Berminat mengganti nasi dengan makanan lain

2,96 2,82 2,89 0,795 9 Berencana mengurangi konsumsi

nasi untuk menjaga kesehatan tubuh

3,77 4,04 3,91 0,162 10 Berencana mengurangi konsumsi

nasi, agar terhindar dari penyakit diabetes dan kegemukan

4,08 4,29 4,18 0,952

Total skor rata-rata ± sd 3,45 ± 0,69 3,85 ± 0,64 3,65 ± 0,69 P value 0,002** Ket : ** signifikan

Aspek konatif merupakan bagian dari sikap, Tabel 24 menunjukkan bahwa total rataan aspek konatif pada dua kelompok contoh terbesar yaitu 4,19 yang diperoleh dari pernyataan berkeinginan mengurangi konsumsi nasi agar memperoleh asupan gizi seimbang dengan jumlah skor rataan di perdesaan lebih kecil (3,92) daripada perkotaan (4,45). Hasil uji beda Mann Whitney memperlihatkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan pada item pernyataan yang berkaitan dengan keinginan contoh untuk mengkonsumsi pangan lain selain beras sebagai sumber energi (p=0,000), rencana contoh untuk mengurangi makan nasi menjadai dua kali sehari (p=0,037), contoh bermaksud untuk tidak makan nasi pada malam hari (p=0,003), memiliki keinginan untuk

(21)

mengkonsumsi beragam jenis pangan agar asupan gizi yang diperoleh tubuh seimbang (p=0,000), dan contoh berkeinginan untuk mengurangi konsumsi nasi untuk menjaga berat badan agar tetap ideal (p=0,047).

Secara umum total rataan skor dari seluruh pernyataan sebesar 3,65. Hal ini berarti contoh berkeinginan untuk mengurangi konsumsi beras. Total Rata-rata aspek konatif contoh perdesaan sebesar 3,45 dan perkotaan sebesar 3,85. Hasil uji beda rataan t-test menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara aspek konatif kedua kelompok contoh (p=0,002,p<0,01). Aspek konatif pengurangan konsumsi beras merupakan kecenderungan seseorang untuk melakukan pengurangan terhadap konsumsi beras dengan cara menggantinya dengan bahan makanan pokok lain atau melakukan keragaman pangan.

Hasil penelitian memperlihatkan bahwa baik pada contoh perdesaan (56,6%) dan perkotaan (78,6%) berkeinginan mengurangi konsumsi beras, namun pada contoh perdesaan sebesar 11,3 persen masih terdapat contoh yang tidak berkeinginan mengurangi konsumsi beras dan sebesar 32,1 persen bersikap netral terhadap pengurangan konsumsi beras (Tabel 25).

Tabel 25 Sebaran contoh berdasarkan kategori aspek konatif pengurangan konsumsi beras

Aspek konatif Perdesaan Perkotaan Jumlah

n % n % n %

Tidak berkeinginan mengurangi 6 11,3 2 3,6 8 7,3

Netral 17 32,1 10 17,9 27 24,8

Berkeinginan mengurangi 30 56,6 44 78,6 74 67,9

Total 53 100 56 100 109 100

Perilaku Pengurangan Konsumsi Beras

Hasil penelitian pada Tabel 26 memperlihatkan bahwa rataan skor terbesar yaitu 3,45 diperoleh dari pernyataan yang berkaitan dengan kebiasaan untuk mengurangi nasi dan memperbanyak mengkonsumsi sayur atau lauk-pauk dengan jumlah skor rataan perdesaan lebih kecil (3,06) daripada perkotaan (3,82). Hasil uji beda Mann Whitney yang dilakukan pada setiap item pernyataan menunjukkan bahwa adanya perbedaan yang signifikan pada item pernyataan yang berkaitan dengan perilaku kebiasaan contoh dalam menyajikan nasi untuk kebutuhan makan (p=0,024), kebiasaan contoh yang mengharuskan kepada seluruh anggota keluarganya untuk mengkonsumsi nasi setiap hari (p=0,000), perilaku atau kebiasaan contoh untuk menyajikan makan malam selain nasi

(22)

(p=0,000), dan contoh berperilaku mengurangi konsumsi beras dengan cara mengkonsumsi sumber karbohidrat lain sebagai makanan pokok (p=0,001)

Rataan perilaku pengurangan konsumsi beras contoh perdesaan sebesar 2,15 dan perkotaan sebesar 2,74. Artinya contoh perdesaan tidak pernah berperilaku mengurangi konsumsi beras, sedangkan contoh perkotaan kadang-kadang berperilaku mengurangi konsumsi beras. Hasil uji beda rataan t-test menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang sangat signifikan antara perilaku konsumsi beras kedua kelompok contoh (p=0,000). Secara keseluruhan total rataan skor dari seluruh pernyataan sebesar 2,46. Hal ini berarti rata-rata contoh cenderung tidak pernah berperilaku mengurangi konsumsi beras. Meskipun contoh sudah memiliki sikap yang baik terhadap pengurangan konsumsi beras, namun belum sepenuhnya dapat diaplikasikan dalam perilaku konsumsinya. Tabel 26 Skor rata-rata contoh berdasarkan jawaban perilaku pengurangan

konsumsi beras

No Pertanyaan Skor rata-rata P value

Desa Kota Total 1 Menyediakan nasi tiga kali sehari

untuk makan keluarga saya

1,26 1,66 1,47 0,024* 2 Menyediakan nasi untuk sarapan

keluarga

1,70 1,79 1,74 0,499 3 Mengharuskan seluruh anggota

keluarga untuk mengkonsumsi nasi setiap harinya

1,11 1,84 1,49 0,000**

4 Menyajikan makan malam selain nasi

1,98 3,20 2,61 0,000** 5 Mengurangi makan nasi dari tiga

kali sehari menjadi dua kali sehari

3,30 3,48 3,39 0,589 6 Mengkonsumsi sumber karbohidrat

lain sebagai makanan pokok saya

2,64 3,46 3,06 0,001** 7 Mengurangi porsi nasi dan

memperbanyak sayur atau lauk-pauknya

3,06 3,82 3,45 0,089

Total skor rata-rata ± sd 2,15 ± 0,60 2,74 ± 0,64 2,46 ± 0,69 P value t-test 0,000** Ket : ** signifikan

Tabel 27 memperlihatkan bahwa adanya perbedaan terhadap perilaku pengurangan konsumsi beras pada kedua kelompok contoh. Perilaku pengurangan konsumsi beras di perdesaan berada pada kategori tidak pernah mengurangi, yaitu sebesar 77,4 persen, sedangkan perilaku pengurangan konsumsi beras di perkotaan menunjukkan bahwa hampir dari setengah contoh (46,6%) kadang-kadang melakukan pengurangan konsumsi beras. Perbedaan tersebut diduga disebabkan karena penduduk di perdesaan masih memiliki lahan

(23)

sawah sendiri atau bekerja sebagai buruh tani, sehingga perilaku contoh terhadap konsumsi beras sebagai pemenuhan kebutuhan pangan lebih tinggi dibandingkan dengan contoh perkotaan.

Tabel 27 Sebaran contoh berdasarkan kategori perilaku pengurangan konsumsi beras

Kategori Perdesaan Perkotaan Jumlah

n % n % n %

Tidak pernah mengurangi 41 77,4 20 35,7 61 56,0 Kadang-kadang mengurangi 9 17,0 26 46,4 35 32,1

Selalu mengurangi 3 5,7 10 17,9 13 11,9

Total 53 100 56 100 109 100

Kebiasaan memasak beras

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan terhadap jumlah memasak beras dalam sehari setiap keluarga (Tabel 28). Hampir setengah (49,1%) contoh perdesaan memasak beras antara 0,7 Kg – 1,1 Kg per hari, sedangkan contoh perkotaan sebesar 50,0 persen memasak beras antara 0,2 Kg - 0,6 Kg per hari. Perbedaan tersebut diduga karena nilai dan sikap contoh perkotaan berbeda daripada contoh perdesaan, sehingga contoh perkotaan memasak beras dalam jumlah yang sedikit karena lebih cenderung memiliki sikap dan berperilaku mengurangi konsumsi beras

Tabel 28 Sebaran contoh berdasarkan jumlah memasak beras per hari Jumlah beras per hari (Kg) Perdesaan Perkotaan Jumlah

n % n % n % 0,2 – 0,6 20 37,3 28 50,0 48 44,0 0,7 – 1,1 26 49,1 24 42,9 50 45,9 1,2 – 1,6 6 11,3 4 7,1 10 9,2 ≥ 2,1 1 1,9 0 0,0 1 1,9 Total 53 100 56 100 109 100

Tabel 29, memperlihatkan bahwa jumlah konsumsi nasi per kapita per tahun. Persentase terbesar pada kedua kelompok contoh berkisar antara 48 Kg hingga 77 Kg, jika dibandingkan dengan rata-rata konsumsi beras nasional penduduk Indonesia yaitu sebesar 139 Kg per orang tiap tahun, maka contoh pada penelitian ini berada di bawah rata-rata konsumsi beras nasional penduduk Indonesia, namun terdapat 3,2 persen dari total contoh yang mengkonsumsi nasi diatas rata-rata konsumsi beras nasional penduduk Indonesia yaitu ≥ 137 Kg per tahun. Tingginya angka konsumsi tersebut menyebabkan pemerintah melakukan impor beras untuk mencukupi kebutuhan pangan masyarakat Indonesia.

(24)

Tabel 29 Sebaran contoh berdasarkan jumlah konsumsi nasi per kapita per tahun Jumlah beras per kapita per

tahun (Kg)

Perdesaan Perkotaan Jumlah

n % n % n % 18 – 47 13 24,5 18 32,1 31 28,4 48 – 77 24 45,3 30 53,6 54 49,5 78 – 107 13 24,5 7 12,5 20 18,3 ≥ 137 3 5,7 1 1,8 4 3,2 Total 53 100 56 100 109 100

Hubungan Antara Karakteristik Contoh dan Keluarga dengan Nilai, Aspek Kognitif, Aspek Afektif, Aspek Konatif,

dan Perilaku Pengurangan Konsumsi Beras

Hubungan antara Karakteristik Contoh dan Keluarga dengan Nilai

Hasil uji korelasi Pearson (Tabel 30) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang nyata negatif (r=-0,201,p<0,05) antara variabel usia dengan nilai, yang artinya semakin tua usia seseorang maka nilai yang diyakini terhadap beras semakin rendah, diduga semakin bertambahnya usia seseorang, ia akan cenderung mengurangi konsumsi beras dan menggantinya dengan jenis pangan lain untuk menjaga kesehatan. Pendidikan contoh memiliki hubungan yang nyata negatif (r=-0,346,p<0,01), yang artinya semakin tinggi pendidikan seseorang maka nilai yang diyakini terhadap beras semakin rendah. Hal ini diduga contoh yang memiliki tingkat pendidikan tinggi, lebih cenderung tidak menjadikan beras sebagai prioritas utama untuk memenuhi kebutuhan karbohidrat.

Uji korelasi memperlihatkan bahwa variabel pendapatan memiliki hubungan yang nyata negatif dengan nilai (r=-0,306,p<0,05). Hal ini berarti semakin tinggi pendapatan seseorang maka nilai yang diyakini terhadap beras semakin rendah. Hal ini diduga semakin tinggi pendapatan seseorang lebih berpeluang untuk membeli beragam jenis pangan untuk memenuhi kebutuhan karbohidrat yang diperlukan tubuh. Variabel pengeluaran memiliki hubungan yang nyata negatif dengan nilai (r=-0,284,p<0,05), yang artinya semakin tinggi pengeluaran seseorang maka ketergantungan terhadap konsumsi beras semakin rendah. Hal ini diduga pengeluaran tersebut dilakukan untuk membeli jenis karbohidrat selain beras.

Hubungan antara Karakteristik Contoh dan Keluarga dengan Aspek Kognitif

Uji korelasi Pearson yang dilakukan (Tabel 29) terhadap variabel usia menunjukkan tidak ada hubungan nyata antara usia dengan aspek kognitif. Variabel pendidikan memiliki hubungan yang nyata positif dengan aspek kognitif

(25)

(r=0,525,p<0,01), yang artinya semakin tinggi pendidikan seseorang, maka aspek kognitif terhadap pengurangan konsumsi beras semakin baik. Hal ini dikarenakan seseorang yang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi akan lebih mudah menyerap informasi mengenai perlunya mengurangi nasi dengan cara melakukan penganeka ragaman jenis pangan.

Hasil uji korelasi Pearson memperlihatkan bahwa pendapatan per kapita memiliki hubungan secara nyata (r=0,419,p<0,01) dengan aspek kognitif pengurangan konsumsi beras. Variabel pengeluaran keluarga juga memiliki hubungan yang nyata positif (r=0,356,p<0,01) dengan aspek kognitif pengurangan konsumsi beras. Variabel jumlah keluarga tidak memiliki hubungan dengan aspek kognitif

Hubungan antara Karakteristik Contoh dan Keluarga dengan Aspek afektif

Berdasarkan uji korelasi Pearson (Tabel 29) yang dilakukan, terlihat bahwa ada hubungan nyata antara usia dengan aspek afektif pengurangan konsumsi beras (r=0,257). Uji statistik menyatakan bahwa lama pendidikan contoh memiliki hubungan yang nyata (r=0,263,p<0,01), dengan aspek afektif pengurangan konsumsi beras. Hasil uji korelasi memperlihatkan terdapat hubungan yang nyata positif (r=0,299,p<0,05) antara pendapatan per kapita dengan aspek afektif pengurangan konsumsi beras, begitu pula dengan variabel pengeluaran memiliki hubungan nyata positif (r=0,205,p<0,01) dengan aspek afektif. Pada variabel jumlah keluarga, meskipun aspek kognitif tidak menunjukkan adanya hubungan, namun pada variabel aspek afektif menunjukkan adanya hubungan yang nyata dan negatif (r=-0,216,p<0,05).

Hubungan antara Karakteristik Contoh dan Keluarga dengan Aspek konatif

Tabel 29 menjelaskan bahwa variabel usia memiliki hubungan yang nyata positif (r=0,218) dengan aspek konatif pengurangan konsumsi beras, sama halnya dengan variabel pendidikan berhubungan nyata positif (r=0,370,p<0,01) dengan aspek konatif pengurangan konsumsi beras. Hal ini sejalan dengan pernyataan pada aspek kognitif dan aspek afektif, bahwa pendidikan contoh dapat mempengaruhi sikap seseorang dalam berperilaku

Uji korelasi Pearson memperlihatkan bahwa terdapat hubungan yang nyata positif (r=0,441, p<0,01) antara pendapatan per kapita dengan aspek konatif pengurangan konsumsi beras. Sama halnya dengan pengeluaran memiliki hubungan nyata positif (r=0,391, p<0,01) dengan aspek konatif. Sama

(26)

halnya dengan aspek kognitif, variabel jumlah keluarga tidak memiliki hubungan dengan aspek konatif contoh. Dapat terlihat bahwa jumlah anggota keluarga hanya memiliki hubungan yang nyata dan positif terhadap aspek afektif contoh atau bersikap menyukai saja terhadap pengurangan konsumsi beras.

Hubungan antara Karakteristik Contoh dengan Perilaku Pengurangan Konsumsi Beras

Variabel usia memiliki hubungan yang nyata positif (r=0,234,p<0,05) dengan perilaku pengurangan konsumsi beras (Tabel 29). Artinya semakin tua usia seseorang maka akan cenderung mengurangi konsumsi nasi. Lama pendidikan memiliki hubungan yang nyata positif (r=0,373,p<0,01) dengan perilaku pengurangan konsumsi beras. Artinya semakin tinggi tingkat pendidikan sesorang maka perilaku pengurangan konsumsi beras semakin meningkat.

Variabel pendapatan per kapita memiliki hubungan yang nyata positif r=0,502,p<0,05) dengan perilaku pengurangan konsumsi beras dan variabel pengeluaran memiliki hubungan yang nyata positif (r=0,430,p<0,01) dengan perilaku pengurangan konsumsi beras, sedangkan pada variabel jumlah anggota keluarga memiliki hubungan yang nyata negatif (r=-0,211,p<0,05) dengan perilaku pengurangan konsumsi beras. Artinya semakin banyak jumlah keluarga yang tinggal dalam satu rumah, maka semakin tidak mau melakukan pengurangan konsumsi beras.

Tabel 30 Hasil uji korelasi Pearson karakteristik individu dan keluarga dengan variabel nilai, aspek kognitif, aspek afektif, aspek konatif dan perilaku pengurangan konsumsi beras

Variabel

Nilai Terhadap

Beras

Sikap Pengurangan Konsumsi

Beras Perilaku Pengurangan Konsumsi Beras Aspek kognitif Aspek afektif Aspek konatif Usia -0,220* 0,158 0,257** 0,218* 0,267* Pendidikan -0,346** 0,525** 0,263** 0,370** 0,373** Pendapatan -0,346** 0,337** 0,275** 0,428** 0,405** Pengeluaran -0,350** 0,317** 0,261** 0,407** 0,363** Jumlah anggota keluarga -0,018 -0,015 -0,216* -0,065 -0,211* Ket : * nyata pada p<0.05, ** nyata pada p<0.01

(27)

Hubungan Antarvariabel Nilai, Aspek Kognitif, Aspek Afektif, Aspek Konatif, dan Perilaku Pengurangan Konsumsi Beras

Tabel 31 menunjukkan bahwa dari hasil uji korelasi Pearson variabel nilai terhadap beras memiliki hubungan yang nyata secara negatif (r=-0,292,p=0,002) dengan aspek kognitif pengurangan konsumsi beras. Artinya dengan hubungan yang cukup erat, semakin tinggi nilai beras yang diyakini contoh maka aspek kognitif contoh terhadap pengurangan konsumsi beras semakin rendah. Orientasi nilai yang diyakini, diartikan bahwa contoh tersebut seperti memiliki rasa pemenuhan diri yang erat terhadap konsumsi beras, sehingga aspek kognitif contoh terhadap pengurangan konsumsi beras rendah.

Variabel nilai terhadap beras menunjukkan adanya hubungan yang nyata (p=0,000) dengan aspek afektif pengurangan konsumsi beras dengan korelasi negatif (r=-0,452). Hal ini berarti semakin tinggi orientasi nilai beras yang dimiliki contoh, maka aspek afektif/kesukaan contoh terhadap pengurangan konsumsi beras semakin rendah

Aspek konatif pengurangan konsumsi beras memiliki hubungan yang nyata secara negatif (r=-0,398,p=0,000) dengan nilai terhadap beras. Artinya, dengan adanya hubungan tersebut, maka semakin tinggi keyakinan nilai beras yang dianut contoh maka aspek konatif/keinginan contoh terhadap pengurangan konsumsi beras semakin rendah.

Hasil yang sama pun ditunjukkan pada uji korelasi pada Tabel 30 menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang nyata (p=0,000) dengan variabel nilai yang dianut contoh terhadap beras dengan perilaku pengurangan konsumsi beras dengan korelasi negatif (r=-0,483). Artinya, dengan adanya hubungan tersebut, semakin tinggi keyakinan nilai beras yang dimiliki contoh maka perilaku pengurangan konsumsi beras contoh semakin rendah.

Terdapat hubungan yang nyata secara positif (r=0,331,p=0,000) antara aspek kognitif contoh dengan perilaku pengurangan konsumsi beras. Artinya, dengan hubungan yang cukup erat, semakin tinggi aspek kognitif/pengetahuan terhadap pengurangan konsumsi beras yang dimiliki contoh maka semakin tinggi pula perilaku mengurangi konsumsi beras.

Pada aspek afektif menunjukkan adanya hubungan yang signifikan (p=0,000) dengan perilaku pengurangan konsumsi beras dengan korelasi positif dan kuat (r=0,659). Hal tersebut berarti adanya hubungan yang cukup erat antara aspek afektif dengan perilaku pengurangan konsumsi beras, semakin tinggi

(28)

perasaan kesukaan (aspek afektif) terhadap pengurangan konsumsi beras yang dimiliki contoh, maka perilaku konsumsi contoh untuk mengurangi konsumsi beras semakin meningkat. Aspek afektif yang tinggi diartikan bahwa contoh tersebut memiliki kesukaan untuk melakukan pengurangan konsumsi beras dengan cara mengkonsumsi beragam jenis pangan, sehingga perilaku pengurangan konsumsi beras tinggi.

Konatif contoh memiliki hubungan yang nyata positif terhadap perilaku pengurangan konsumsi beras (r=0,541,p=0,000). Artinya, dengan hubungan yang cukup erat, semakin tinggi keinginan (aspek konatif) yang dimiliki contoh terhadap pengurangan konsumsi beras, maka perilaku konsumsi contoh untuk mengurangi konsumsi beras semakin meningkat. Aspek konatif tinggi yang diartikan bahwa contoh tersebut memiliki keinginan/berencana untuk melakukan pengurangan konsumsi beras dengan cara mengkonsumsi beragam jenis pangan, sehingga perilaku pengurangan konsumsi beras contoh semakin tinggi

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa aspek kognitif memiliki hubungan nyata secara positif dengan aspek afektif (r=0,359). Semakin tinggi aspek kognitif/pengetahuan contoh, maka contoh semakin bersikap menyukai pengurangan konsumsi beras. Aspek afektif selanjutnya berhubungan nyata dengan secara positif dengan aspek konatif (r=0,735), sehingga semakin tinggi kesukaan contoh terhadap pengurangan konsumsi beras, maka semakin tinggi pula keinginan contoh untuk melakukan pegurangan terhadap konsumsi beras. Tabel 31 Hasil uji korelasi Pearson antar variabel nilai, aspek kognitif, aspek

afektif, aspek konatif dan perilaku pengurangan konsumsi beras Variabel

Nilai Terhadap

Beras

Sikap Pengurangan Konsumsi

Beras Perilaku Pengurangan Konsumsi Beras Aspek kognitif Aspek afektif Aspek konatif Nilai -0,292** -0,452** -0,395** -0,506** Aspek kognitif 0,359** 0,540** 0,331** Aspek afektif 0,735** 0,659** Aspek konatif 0,541** Perilaku pengurangan konsumsi beras

(29)

Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Perilaku Pengurangan Konsumsi Beras

Penelitian ini menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perilaku pengurangan konsumsi beras dengan melakukan dua model uji pengaruh. Pada model pertama terdapat variabel karakteristik individu dan keluarga serta wilayah, nilai dan tiga komponen sikap yang menjadi variabel independen. Hasil uji regresi yang dilakukan pada model pertama menghasilkan nilai koefisien determinasi yang telah disesuaikan (Adjusted R square) sebesar 0,512. Berdasarkan hasil tersebut, dapat diartikan bahwa sebesar 51,2 persen variabel dependen perilaku pengurangan konsumsi beras dipengaruhi oleh variabel independen, dan sisanya sebesar 48,8 persen dipengaruhi oleh variabel diluar variabel independen.

Tabel 32 menguraikan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perilaku pengurangan konsumsi beras contoh. Berdasarkan Tabel tersebut, dapat dilihat faktor-faktor apa saja yang memiliki signifikansi p<0,05 dan p<0,01 sehingga berpengaruh secara nyata terhadap perilaku pengurangan konsumsi beras. Terdapat tiga variabel yang berpengaruh secara nyata terhadap perilaku pengurangan konsumsi beras, yaitu wilayah tempat tinggal contoh, nilai dan aspek afektif. Perbedaan wilayah contoh dapat berpengaruh terhadap perilaku konsumsi seseorang. Nilai/Kepercayaan yang dianut contoh berpengaruh terhadap perilaku pengurangan konsumsi beras secara negatif karena contoh yang sangat menyakini nilai beras, maka tingkat ketergantungan terhadap beras semakin tinggi, sehingga akan sulit untuk berperilaku mengurangi konsumsi beras. Aspek afektif memiliki pengaruh positif terhadap perilaku konsumsi beras. Semakin tinggi perasaan kesukaan contoh terhadap pengurangan konsumsi beras, maka perilaku mengurangi konsumsi beras pun semakin tinggi

Pada model kedua dengan menghilangkan karakteristik individu, keluarga, dan wilayah pengujian kembali dilakukan dengan hanya memasukan variabel nilai dan tiga komponen sikap yang menjadi variabel independen. Hasil uji regresi yang dilakukan pada model kedua menghasilkan nilai koefisien determinasi yang telah disesuaikan (Adjusted R square) sebesar 0,475 yang berarti bahwa sebesar 47,5 persen variabel dependen perilaku pengurangan konsumsi beras dijelaskan oleh variabel independen, dan sisanya sebesar 52,5 persen dijelaskan oleh variabel diluar variabel independen. Sama halnya dengan uji regresi yang dilakukan pada model pertama bahwa variabel nilai dan aspek

(30)

afektif tetap menjadi variabel yang berpengaruh terhadap perilaku pengurangan konsumsi beras.

Dari kedua model uji regresi yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa variabel yang memiliki pengaruh cukup besar terhadap perilaku pengurangan konsumsi beras adalah variabel pada model kedua. Hal ini ditunjukkan dari nilai Adjusted R Square yang dihasilkan. Pada model pertama dengan memasukan delapan variabel yang menjadi variabel independen memiliki pengaruh sebesar 51,2 persen, sedangkan pada model kedua yang hanya memasukkan empat variabel utama yang menjadi variabel independen sudah memiliki pengaruh sebesar 47,5 persen.

Baik model pertama dan kedua variabel utama yang berpengaruh nyata dengan perilaku pengurangan konsumsi beras adalah nilai dan aspek afektif. Nilai memiliki pengaruh negatif terhadap perilaku pengurangan konsumsi beras. Semakin tinggi keyakinan nilai contoh terhadap beras, maka perilaku pengurangan konsumsi beras semakin rendah. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Tampubolon (2001) yang menyatakan bahwa nilai yang dianut seseorang terhadap suatu barang maka, akan menentukan perilaku konsumsinya.

Aspek afektif memiliki pengaruh positif terhadap perilaku pengurangan konsumsi beras. Semakin tinggi kesukaan contoh terhadap pengurangan konsumsi beras, maka perilaku pengurangan konsumsi berasnya pun semakin tinggi. Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Sari (2010) yang menyatakan bahwa sikap seseorang dapat menentukan perilaku konsumsinya.

Tabel 32 Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perilaku pengurangan konsumsi beras Variabel Satuan Standardized coefficients Sig Standardized coefficients Sig Beta Beta Konstanta 0,011 0,005 Wilayah (0=desa 1=kota) 0,197 0,039 Usia (Tahun) 0,005 0,947 Pendidikan (Tahun) -0,055 0,627 Besar keuarga (Orang) -0,094 0,202 Pendapatan (Rupiah) 0,083 0,423

Nilai (Skor) -0,203 0,014* -0,249 0,002** Aspek kognitif (Skor) 0,034 0,708 0,054 0,520 Aspek afektif (Skor) 0,457 0,000** 0,485 0,000** Aspek konatif (Skor) 0,038 0,745 0,056 0,623

Adjusted R Square 0,512 0,475

(31)

PEMBAHASAN

Berdasarkan karakteristik contoh dan karakteristik keluarga contoh, hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya beberapa perbedaan antara kedua kelompok contoh. Pada contoh perdesaan usia contoh dominan berada pada kategori dewasa awal (18-40 tahun), sedangkan pada contoh di perkotaan berada pada pada kategori dewasa madya (41-60 tahun). Hasil uji t-test menunjukkan adanya perbedaan antara usia contoh perdesaan dan perkotaan (p=0,000). Adanya perbedaan tersebut diduga contoh yang tinggal di perdesaan banyak yang menikah pada usia muda, sehingga usia contoh perdesaan lebih muda dari pada contoh perkotaan. Suku contoh perdesaan dan perkotaan menunjukkan tidak adanya perbedaan, yaitu contoh dominan berasal dari suku Sunda. Hal ini diduga pengambilan contoh dilakukan di Bogor yang mayoritas penduduknya berasal dari suku Sunda.

Di perdesaan rata-rata contoh hanya menempuh pendidikan selama enam tahun (tamat SD), sedangkan pada contoh perkotaan rata-rata contoh menempuh pendidikan selama 12 sampai 16 tahun (SMA, D3, dan S1). Berdasarkan hasil tersebut, maka ada perbedaan antara tingkat pendidikan contoh perdesaan dengan perkotaan (p=0,000). Hal ini diduga karena penduduk desa tidak terlalu mengutamakan pendidikan apalagi bagi kaum perempuan, selain itu juga diduga karena tingginya biaya pendidikan dan masih rendahnya tingkat kesejahteraan contoh perdesaan daripada contoh perkotaan mengakibatkan masih banyak contoh perdesaan yang belum dapat mengakses pendidikan karena tidak mampu membayar biaya pendidikan. Lebih dari separuh contoh perdesaan dan perkotaan bekerja sebagai ibu rumah tangga/tidak bekerja. Hal ini dikarenakan ketika pengambilan data dilakukan responden yang bersedia dijadikan contoh adalah ibu rumah tangga yang tidak bekerja, sehingga tidak ada perbedaan antara pekerjaan pada dua kelompok contoh.

Rata-rata pendapatan perkapita keluarga contoh perdesaan sebesar Rp 431.184,00 sedangkan di perkotaan sebesar Rp 978.911,00, sehingga terdapat perbedaan antara pendapatan perkapita keluarga pada kedua kelompok contoh. Hal ini disebabkan karena pekerjaan suami contoh perdesaan lebih dominan bekerja sebagai buruh, sedangkan perkotaan bekerja sebagai pegawai swasta. Tingkat pendapatan seseorang ditentukan oleh jenis pekerjannya. Berdasarkan rentang pengeluaran yang ditetapkan oleh SES AC Nielsen 2010, contoh

(32)

perdesaan memiliki pengeluaran keluarga antara berada pada kategori SES C1 (Rp 1.000.001,00 - Rp 1.500.000,00) sedangkan contoh perkotaan berada pada kategori SES A (Rp ≥3.000.001,00). Hal ini diduga biaya kehidupan di kota lebih tinggi dibandingkan di kabupaten. Pada jumlah anggota keluarga tidak terdapat perbedaan pada kedua kelompok contoh, berdasarkan data BKKBN (2005) menyebutkan bahwa besar keluarga contoh perdesaan dan perkotaan, termasuk pada kategori keluarga kecil (≤ 4 orang).

Perilaku pengurangan konsumsi beras dapat dilihat melalui nilai yang dianut, karena nilai tersebut merupakan keyakinan yang dianut atau kepercayaan terhadap beras, dari nilai itulah maka akan membentuk sikap yang nantinya akan mempengaruhi bagaimana perilakunya dalam melakukan pengurangan konsumsi beras (Moven & minor 2002). Seseorang yang memiliki nilai yang kuat terhadap beras, biasanya akan sulit untuk melakukan pengurangan konsumsi beras.

Menurut Homer & Kahle (1988), diacu dalam Mowen & Minor (2002), nilai terdiri dari tiga dimensi, yaitu nilai internal, nilai eksternal, dan nilai interpersonal. Nilai internal merupakan respon positif atau negatif dari keyakinan yang dimiliki oleh setiap individu dan berfokus pada pengembangan diri sendiri serta nilai yang muncul dari dalam sendiri. Nilai eksternal adalah nilai yang berfokus pada dunia luar dan terbentuk karena adanya pengaruh dari lingkungan dan cenderung berkeinginan untuk menyesuaikan diri dengan masyarakat luar. Nilai interpersonal adalah nilai yang terbentuk dari keyakinan yang dianut oleh diri sendiri dan adanya pengaruh dari lingkungan luar.

Berdasarkan uraian tersebut contoh perdesaan memiliki keyakinan nilai terhadap beras berada pada kategori tinggi, sama halnya dengan contoh perkotaan, namun total rata-rata skor contoh perdesaan lebih besar daripada contoh perkotaan, sehingga hasil uji beda yang dilakukan, menunjukkan adanya perbedaan antara nilai yang dianut oleh kedua kelompok contoh (p=0,001). Hal ini diduga bahwa di perdesaan beras masih dianggap sebagai status sosial. Seseorang yang mengkonsumsi beras dianggap berstatus lebih tinggi. Selain itu, tingkat pendidikan contoh perdesaan masih tergolong rendah, sehingga contoh berpandang bahwa hanya nasi saja yang dapat dijadikan sebagai bahan makanan pokok. Sumarwan (2002) menyebutkan bahwa tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi nilai-nilai yang dianutnya.

Menurut Homer & Kahle (1973), diacu dalam De Groot & Steg (2006). Nilai menjadi kriteria yang dipegang individu dalam memilih dan memutuskan

Gambar

Tabel 5  Sebaran usia contoh perdesaan dan perkotaan
Tabel 9  Sebaran contoh berdasarkan perbandingan pendapatan perkapita   contoh Pendapatan  perkapita  Perdesaan  pendapatan perkapita  Perkotaan  n  %  n  %  &lt; Rp 185.335   8  15,1  &lt; Rp 212.210  00     0,0  ≥ Rp 185.335  46  84,9  ≥ Rp 212.210  56
Tabel 11  Sebaran berdasarkan pengeluaran keluarga contoh  (SES AC Nielsen   2010)
Tabel 12 Sebaran contoh berdasarkan pengeluaran untuk beras per bulan  Jumlah uang (Rupiah)  Perdesaan  Perkotaan  Jumlah
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

The values of quality parameters of the commercial sago starch samples found out by Gumbira-Sa id et al.(1999) were used for comparison. Almost all the results of the

Bila melihat gambar 5 dan 6 terlihat hasil ekstraksi atribut amplitudo rms dan spectral decomposition yang di overlay dengan kontur struktur waktu Dari gambar

This book is a collection of problems on the design, analysis, and verification of algorithms for use by practicing programmers who wish to hone and expand their skills, as a

[r]

Berdasarkan paparan tersebut dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui: (1) manakah yang memberikan prestasi belajar yang lebih baik, model pembelajaran

Banyak pemimpin besar meraih keberhasilan dalam pekerjaan dan kehidupannya melalui seperangkat hukum kepemimpinan yang mendetail. Sedangkan manajer &#34;biasa&#34;,

Tempat/Tanggal Lahir : Makassar, 21 Desember 1968 Alamat Tempat Tinggal : Kota Kembang Depok Raya sektor. Anggrek -3 Blok F1/14, Depok, Jabar Jenis Kelamin