• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. 2 Oktober Tinjauan hukum..., Benny Swastika, FH UI, 2011.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. 2 Oktober Tinjauan hukum..., Benny Swastika, FH UI, 2011."

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Walaupun bangsa Indonesia telah merdeka sejak 60 tahun yang lalu, namun fakta menunjukkan bahwa dalam perkembangannya masih menghadapi berbagai masalah mendasar, antara lain tingginya angka kemiskinan dan pengangguran yang menciptakan kesenjangan sosial ekonomi, serta lemahnya penegakan hukum.

Beberapa tahun belakangan ini, kecenderungan perkembangan ekonomi makro Indonesia menunjukkan perkembangan ke arah perbaikan khususnya di bidang moneter yang ditandai dengan stabilnya nilai tukar rupiah dan penurunan tingkat suku bunga. Namun demikian, dari sisi ekonomi mikro, pelaku pasar khususnya perbankan sebagai lembaga intermediasi. Hal ini diperparah dengan lambannya pertumbuhan di bidang investasi baik domestik maupun internasional. Kondisi ini mengakibatkan sektor riil belum bergerak sesuai yang diharapkan.1 Implikasi selanjutnya adalah rendahnya penyerapan tenaga kerja dan turunnya pendapatan perkapita masyarakat, yang berimplikasi pula pada permasalahan sosial kemasyarakatan seperti meningkatnya tindak pidana.

Sebagian besar tindak pidana yang terjadi khususnya korupsi, illegal logging dan narkoba pada dasarnya bermotifkan ekonomi. Tanpa ada kepentingan ekonomi, tindak pidana tersebut tidak akan terjadi. Demikian pula halnya terorisme, aksi-aksi terorisme tidak mungkin dilakukan apabila tidak terdapat pendanaan untuk melaksanakan kegiatan tersebut.

Seiring dengan perkembangan teknologi yang semakin canggih, mengakibatkan modus operandi kejahatan menjadi semakin canggih pula, mulai dari

1

Editorial Media Indonesia, “Kelonggaran Kredit”, http://opini.wordpress.com/tag/ekonomi. 2 Oktober 2010.

(2)

menggunakan telepon genggam hingga menggunakan fasilitas internet. Dapat dikatakan perkembangan teknologi mengakibatkan kejahatan menjadi semakin pesat. Modus operandi kejahatan seperti ini, hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai status sosial menengah ke atas dalam masyarakat, bersikap dan bertingkah laku intelektual, sangat tenang, simpatik, dan terpelajar.2 Modus kejahatan seperti ini yang sejak beberapa waktu lalu mulai dikenal dengan istilah kejahatan “kerah putih” atau White Collar Crime. Karakteristik dari White Collar

Crime menurut Hazel Croall (terjemahan) adalah:3

1. Tidak kasat mata (low visibility). 2. Sangat kompleks (complexity)

3. Ketidakjelasan pertanggung-jawaban pidana (diffusion of responsibility) 4. Ketidakjelasan korban (diffusion of victims).

5. Aturan hukum yang samar atau tidak jelas (ambiguous criminal law) 6. Sulit dideteksi dan dituntut (weak detection and prosecution).

Dapat dipastikan bahwa pada setiap kejahatan yang dilakukan, si pelaku sedapat mungkin berusaha untuk menghilangkan segala bukti yang dapat menyeretnya ke “meja hijau”. Begitu pula yang dilakukan oleh para pelaku kejahatan di bidang perekonomian yang merupakan salah satu bentuk kejahatan kerah putih. Mereka selalu berusaha untuk menyembunyikan uang hasil kejahatannya agar tidak dapat ditemukan oleh aparat penegak hukum. Segala cara mereka lakukan agar uang tersebut tidak “tercium” sebagai uang haram.

Kegiatan untuk menyembunyikan asal usul uang hasil kejahatan mereka lakukan dengan melakukan “pencucian” terhadap uang tersebut. Hal yang seringkali dilakukan oleh para pelaku kejahatan ini ternyata sulit untuk dibuktikan, dan dikenal dengan istilah money laundering (pencucian uang).

2

Marulak Pardede, Masalah Money Laundering di Indonesia, editor L. Sumartini et.al. (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan HAM, 2001) hal. 2.

3

Hazzel Croal (1992), White Collar Crime, dikutip oleh Harkristuti Harkrisnowo,

Kriminalisasi Pemutihan Uang (Money Laundering) sebagai bagian dari White Collar Crime, (Makalah disampaikan pada seminar Money Laundering (Pencucian Uang) Ditinjau dari Perspektif Hukum dan Ekonomi, Jakarta, 23 Agustus 2001), hal. 4.

(3)

Pelaku kejahatan sekarang mempunyai banyak pilihan mengenai dimana dan bagaimana mereka menginginkan uang hasil kejahatan menjadi kelihatan “bersih” dan “sah menurut hukum”. Perkembangan teknologi perbankan internasional yang telah memberikan jalan bagi tumbuhnya jaringan perbankan lokal/regional menjadi suatu lembaga keuangan global telah memberikan kesempatan kepada pelaku money

laundering untuk memanfaatkan jaringan layanan tersebut yang berdampak uang

hasil transaksi ilegal menjadi legal dalam dunia bisnis di pasar keuangan internasional.

Saat ini kegiatan pencucian uang telah melewati batas jurisdiksi yang menawarkan tingkat kerahasiaan yang tinggi atau menggunakan bermacam mekanisme keuangan dimana uang dapat “bergerak” melalui bank, money

transmitters, kegiatan usaha bahkan dapat dikirim ke luar negeri sehingga menjadi

clean-laundered money.4

Kejahatan money laundering tidak hanya merupakan permasalahan di bidang penegakan hukum, namun juga menyangkut ancaman keamanan nasional dan internasional suatu negara. Sehubungan dengan hal tersebut, maka upaya untuk mencegah dan memberantas praktik pencucian uang telah menjadi perhatian internasional yang antara lain dilakukan dengan melakukan kerjasama bilateral maupun multilateral.

Mantan Direktur International Monetary Fund (IMF) Michel Camdessus pernah mengungkapkan bahwa diperkirakan volume dari money laundering adalah antara 2 hingga 5 persen GDP dunia.5 Batas terbawah dari perkiraan tersebut dihasilkan dari kegiatan narcotics trafficking, arms trafficking, bank fraud, securities

fraud, counterfeiting, dan kejahatan sejenis. Yang dicuci di seluruh dunia setiap

tahun mencapai jumlah hampir US $ 600 milyar.6 Financial Action Task Force

(selanjutnya disebut FATF), sebuah organisasi yang bertujuan membebaskan bank dari praktik money laundering memperkirakan jumlah uang yang diputihkan setiap

4

Yunus Hussein, Bunga Rampai Anti Pencucian Uang, (Bandung: Books Terrace & Library, 2007), hal. 3.

5

N.H.T. Siahaan, Money Laundering Pencucian Uang dan Kejahatan Perbankan, cet. I (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2002), hal. 1.

6

Sutan Remy Sjahdeini (A), “Money Laundering”, Jurnal Hukum Bisnis Vol. 11 (2000), hal. 31.

(4)

tahun di seluruh dunia melalui transaksi bisnis haram narkotik berkisar antara US $ 300 milyar dan US $ 500 milyar.7

Kejahatan money laundering ini sangat berkaitan erat dengan peran perbankan. Institusi perbankan merupakan sasaran empuk dan sumber pendulangan uang kotor dalam proses money laundering. Segala sistem yang ada di lembaga perbankan dapat mempermudah proses kegiatan money laundering, sehingga proses penyembunyian dan penyamaran uang haram dapat berjalan dengan cepat. Hal ini disebabkan karena adanya ketentuan kerahasiaan bank yang dianut oleh lembaga perbankan. Bank dalam hal ini, berkewajiban menjaga kerahasiaan identitas nasabahnya dan menjaga semua hal-hal yang berhubungan dengan transaksi nasabahnya. Dana hasil kejahatan mengalir atau bergerak melampaui batas yurisdiksi negara dengan memanfaatkan faktor rahasia perbankan yang umumnya dijunjung tinggi oleh dunia perbankan.8

Tidak dapat dipungkiri, dengan adanya ketentuan tersebut menyebabkan para penyimpan dana gelap dari berbagai negara menggunakan jasa perbankan sebagai tempat penyembunyian uang haram mereka. Oleh karena banyaknya para pencuci uang yang berlindung di balik ketentuan ini, maka berbagai organisasi internasional seperti FATF dan IMF mendesak supaya sistem ini tidak diterapkan secara ketat.

Dalam Pasal 33 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 25 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang disebutkan bahwa untuk kepentingan pemeriksaan dalam tindak pidana pencucian uang, penyidik, penuntut umum, atau hakim, berwenang untuk memintai keterangan dari penyedia jasa keuangan mengenai harta kekayaan setiap orang yang telah dilaporkan oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), tersangka, atau terdakwa, dan tidak berlaku ketentuan undang-undang yang mengatur tentang rahasia bank dan rahasia transaksi keuangan lainnya. Oleh karena itu pelanggaran ketentuan rahasia bank sepanjang bertujuan untuk

7

Ibid.

8

Yunus Husein (B), “Telaah Penyebab Indonesia Masuk dalam List Non Cooperative Countries and Territorries oleh FATF on Money Laundering,” (Makalah disampaikan pada seminar Money Laundering (Pencucian Uang) Ditinjau dari Perspektif Hukum dan Ekonomi, Jakarta, 23 Agustus 2001), hal. 1.

(5)

kepentingan pemeriksaan perkara pencucian uang, bukan lagi merupakan tindak pidana. Dengan adanya ketentuan tersebut diharapkan dapat mencegah terjadinya tindak pidana pencucian uang.

Pencucian Uang merupakan salah satu kejahatan yang terorganisasi dan bersifat lintas batas teritorial (transnasional), disamping korupsi, perdagangan manusia, penyelundupan migrant dan penyelundupan senjata api. Demikian bunyi ketentuan dalam Konvensi Kejahatan Transnasional Terorganisasi. Konvensi tahun 2000 ini sudah ditandatangani namun belum diratifikasi oleh pemerintah Indonesia, sedangkan Konvensi Anti Korupsi tahun 2003 telah diratifikasi dengan Undang-undang nomor 7 tahun 2006.9

Dikarenakan sangat sulitnya melakukan pemberantasan tindak pidana pencucian uang yang dikategorikan sebagai kejahatan yang terorganisasi dan bersifat lintas batas teritorial, maka kemudian diterapkan asas pembuktian terbalik dalam proses pembuktian di pengadilan.

Pencucian uang merupakan kejahatan yang berdiri sendiri, walaupun pencucian uang lahir dari kejahatan asalnya, misalnya korupsi, namun rezim anti pencucian uang di hampir semua negara menempatkan pencucian uang sebagai suatu kejahatan yang tidak tergantung pada kejahatan asalnya dalam hal akan dilakukannya proses penyidikan pencucian uang. Sehingga bila kejahatan asalnya tidak terbukti maka hal tersebut tidak menghalangi proses hukum atas tindak pidana pencucian uang.

Barda Nawawi Arief dan Mardjono Reksodiputro mencontohkan Pasal 480 KUHP tentang pidana penadahan sebagai analogi dari tindak pidana pencucian uang.10 Dalam hal tindak pidana penadahan terjadi maka proses hukum atas tindak pidana penadahan tidak perlu menunggu putusan hukum yang berkekuatan tetap

(inkracht) dari perkara pencuriannya. Penjelasan Pasal 3 Undang-undang nomor 15

tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang menegaskan bahwa terhadap harta kekayaan yang diduga merupakan hasil tindak pidana tidak perlu dibuktikan

9

Romli Atmasasmita, “Pembuktian Terbalik”, Seputar Indonesia:

http://www.hukumnews.com/opini/39-opini/144-pembuktian-terbalik.html. 27 September 2010. 10

Mardjono Reksodiputro, “Money Laundring, Bank Secrecy Act”,

(6)

terlebih dahulu tindak pidana asalnya, untuk dapat dimulainya pemeriksaan tindak pidana pencucian uang.

Sejarah mengenai pembalikan beban pembuktian atau pembuktian terbalik yang menjadi polemik, sudah terjadi sejak tahun 1971. Istilah almarhum Oemar Senoadji adalah pergeseran bukan pembalikan beban pembuktian. Kata “Beban” ditekankan bukan pada alat buktinya tapi pada siapa yang berhak untuk melakukan.11

Di dalam Undang-undang Nomor 15 tahun 2002 sebagaimana dirubah dengan Undang-undang Nomor 25 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang Pasal 35 dimana disebutkan bahwa untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana. Sesuai dengan penjelasan dari pasal tersebut ketentuan tersebut dikenal sebagai asas pembuktian terbalik. Namun, di sini tidak jelas maksud pembuktian tersebut apakah dalam konteks pidana untuk menghukum orang yang bersangkutan atau untuk menyita harta kekayaan yang bersangkutan. Hukum acara yang mengatur pembuktian terbalik ini pun belum ada, sehingga dalam pelaksanaannya bisa menimbulkan kesulitan dalam penanganan kasus tindak pidana pencucian uang.

Polemik penerapan pembuktian terbalik yang sudah lama terjadi dan argumentasi hukum yang diungkapkan para pakar hukum di negeri ini tidak dapat dijadikan alasan penghambat penerapan pembuktian terbalik diatur dalam sebuah peraturan perundang-undangan. Pemikiran-pemikiran yang hanya disandarkan pada pandangan positivisme hukum tidak bisa dijadikan sebagai tameng penghambat pengaturan asas pembuktian terbalik dituangkan dalam UU yang baru. Apalagi menjustifikasi (membenarkan) pembuktian terbalik dianggap bertentangan dengan asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence), dan asas non self

11

Indriyanto Seno Aji, “Asas Pembuktian Terbalik”, Ilmu Hukum:

(7)

incrimination (sesuatu hal yang tidak diperbolehkan dilakukan dalam suatu proses peradilan pidana).12

Dengan adanya pro dan kontra terhadap penerapan asas pembuktian terbalik ini maka penerapan ketentuan tersebut menjadi tidak efektif dan hingga saat ini secara umum masih jaksa yang melakukan pembuktian bahwa terdakwa melakukan tindak pidana pencucian uang.

B. Pokok Permasalahan

Berdasarkan latar belakang sebagaimana telah diuraikan di atas, ada beberapa rumusan permasalahan yang dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaturan asas pembuktian terbalik menurut ketentuan yang berlaku di Indonesia?

2. Bagaimana penerapan asas pembuktian terbalik dalam tindak pidana pencucian uang?

C. Tujuan Penulisan

1. Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana penerapan pembuktian terbalik di Indonesia terkait dengan Undang-Undang nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

2. Tujuan khusus penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui tentang bagaimana pengaturan asas pembuktian terbalik dengan segala aspek-aspek hukumnya di Indonesia.

b. Untuk mengetahui penerapan asas pembuktian terbalik dalam tindak pidana pencucian uang.

D. Kerangka Teori dan Konsepsional

Sebagaimana diketahui menurut ketentuan Pasal 77 Undang-undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang,

12

Aris S Gultom, “Urgensi Pembuktian Terbalik”, Antikorupsi:

http://www.antikorupsi.org/antikorupsi/?q=content/16966/urgensi-pembuktian-terbalik, 10 Oktober 2010.

(8)

bahwa untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana. Hal ini merupakan hal yang tidak lazim bila tidak mau kita katakan bertentangan dengan Hukum Acara yang berlaku selama ini sebagaimana diatur pada Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana dimana lazimnya beban pembuktian berada pada pihak yang mendalilkan bahwa telah terjadi tindak pidana bukan pada pihak terdakwa.

Peraturan pelaksanaan (Verordnung) dan peraturan otonom (Autonome

Satzung) merupakan bentuk peraturan-peraturan yang terletak dibawah

undang yang berfungsi menyelenggarakan ketentuan-ketentuan dalam undang-undang, dimana peraturan pelaksanaan bersumber dari kewenangan delegasi, sedangkan peraturan otonom bersumber dari kewenangan atribusi.

Atribusi kewenangan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan

(atributie van wetgevingsbevoegdheid) yaitu pemberian kewenangan membentuk

peraturan perundang-undangan yang diberikan oleh grondwet (UUD) atau wet (UU) kepada suatu lembaga negara/pemerintahan. Kewenangan tersebut melekat terus menerus dan dapat dilaksanakan atas prakarsa sendiri setiap waktu diperlukan sesuai dengan batas-batas yang diberikan. Contohnya yang berasal dari UUD 1945, Pasal 5 ayat (1) memberikan kewenangan kepada Presiden untuk membentuk Undang-undang dengan persetujuan DPR. Sedangkan yang berasal dari UU seperti UU Bank Indonesia memberikan kewenangan kepada Bank Indonesia berupa kewenangan publik untuk membuat suatu Peraturan Bank Indonesia.

Delegasi kewenangan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan

(delegatie van wetgevingsbevoegdheid) yaitu pelimpahan kewenangan membentuk

peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi kepada peraturan perundang-undangan yang lebih rendah baik pelimpahan dinyatakan dengan tegas (eksplisit) maupun tidak (implisit). Berlainan dengan atribusi, pada delegasi kewenangan tersebut tidak diberikan, melainkan “diwakilkan”, selain itu kewengan delegasi ini bersifat sementara, dalam arti kewenangan ini dapat diselenggarakan sepanjang pelimpahan tersebut masih ada.13

13

Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan, Dasar-Dasar dan Pembentukannya, , Cet 10,(Jakarta : Kanisius, 2005), hal 35.

(9)

Selanjutnya sesuai dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, secara tegas disebutkan bahwa jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah terdiri dari :

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ; 2. Undang-Undang / Perpu ;

3. Peraturan Pemerintah ; 4. Peraturan Presiden ; 5. Peraturan Daerah.

Jenis Peraturan Perundang-undangan selain tersebut diatas, diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.

Sedang jenis Peraturan Perundang-undangan lainnya selain yang telah disebutkan diatas, dalam penjelasannya disebutkan anatara lain peraturan yang dikeluarkan oleh MPR, DPR,DPD, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, BPK, Bank Indonesia, Menteri, kepala Badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk oleh undang-undang atau pemerintah atas perintah undang-undang.

Dalam penjelasan Undang-Undang ini menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan ”hierarki” adalah penjenjangan setiap jenis Peraturan Perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.

Sementara itu, secara prinsip diberlakukannya suatu peraturan dimaksudkan untuk mengatur kewajiban yang harus dilakukan atau larangan yang harus dihindari mengenai suatu materi tertentu, dengan harapan agar ditaati dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Namun dalam pelaksanaanya kadangkala tidak sesuai dengan yang harapkan, banyak kendala atau hambatan yang dihadapi, sehingga peraturan tersebut belum efektif dalam penerapannya. Guna menilai efektifitas dari suatu peraturan dapat dianalisis dengan menggunakan teori Lawrence M. Friedman, yang menganalisis komponen-komponen yang bekerja di dalamnya, yaitu :14

1. Substansi/hukum/aturan

14

Lawrence M. Friedman, Law and Society Review 29 No.1, Stanford University, 1969, hal. 34

(10)

2. Struktur/institution ; aparat penegak hukum, lembaga, sarana 3. Legal culture/budaya hukum

Komponen-komponen tersebut harus dilihat hubungannya satu sama lain dalam suatu proses interaktif yang dinamis. Bagaimana hubungan antara substansi hukum dengan budaya hukum masyarakat, maupun dengan struktur/sarana/aparat yang ada. Dikeluarkannya suatu peraturan harus dilihat dalam pola ”harapan dan pelaksanaannya”, yaitu yang berisi harapan agar peranan dari warga negara sebagaimana dilukiskan dalam peraturan itu dapat dilaksanakan dan dipenuhi oleh mereka. Dalam rangka memenuhi harapan atau menjalankan peranan yang diaharapkan padanya, seseorang itu akan menerima pengaruh dari kerangka sosial,politik,ekonomi dan budaya yang mengelilinginya, sehingga ada lebih dari satu kemungkinan yang dapat terjadi, seperti ditaati, tidak ditaati, tidak ditaati sementara, menimbulkan ketidpastian dalam penegakannya dan lain-lain kemungkinan.15

Berkaitan dengan kerangka konsepsional, dapat disebutkan bahwa suatu kerangka konsepsional merupakan kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus, yang ingin atau akan diteliti. Suatu konsep bukan merupakan gejala yang akan diteliti, akan tetapi merupakan suatu abstraksi dari gejala tersebut. Gejala itu sendiri biasanya dinamakan fakta, sedangkan konsep merupakan suatu uraian mengenai hubungan-hubungan dalam fakta tersebut.16

Eksistensi kerangka konsepsional dalam suatu penelitian diperlukan untuk membatasi pengertian yang akan ditemukan dalam penulisan, karena mungkin saja satu kata atau istilah mempunyai pengertian yang jamak. Dengan demikian, antara penulis dan pembaca akan tercipta suatu kerangka pemikiran dan pemahaman yang sama terhadap terminology sutau pengertian istilah, agar tidak terjadi verbal

dispute.17

Untuk dapat lebih memahami penulisan ini, terlebih dahulu akan dijelaskan mengenai pengertian atau definisi-difinisi yang berkaitan dengan topic penelitian ini.

15

Satijipto Rahardjo, Permasalahan Hukum di Indonesia, (Bandung ; Alumni, 1978), hal. 14. 16

Soerjono Soekanto (1), Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : UI Press, 1984), hal. 132. 17

Soerjono Soekanto, (2), Ringkasan Metode Penelitian Hukum Empiris, Cet 1,(Jakarta : Ind.Hill.Co, 1990), hal 83

(11)

Pembatasan definisi bertujuan agar penelitian yang akan dilakukan nantinya tidak terlalu luas dan tetap pada tujuan penelitian yang telah ditetapkan. Adapun beberapa definisi yang akan menjadi bahan pembahasan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Pencucian Uang adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.18

2. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan yang selanjutnya disingkat PPATK adalah lembaga independen yang dibentuk dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana Pencucian Uang.19

3. Transaksi adalah seluruh kegiatan yang menimbulkan han dan/atau kewajiban atau menyebabkan timbulnya hubungan hukum antara dua pihak atau lebih.20 4. Transaksi Keuangan adalah Transaksi untuk melakukan atau menerima

penempatan, penyetoran, penarikan, pemindahbukuan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, dan/atau penukaran atas sejumlah uang atau tindakan, dan/atau kegiatan lain yang berhubungan dengan uang.21 5. Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah:

a. Transaksi Keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan pola Transaksi dari Pengguna Jasa yang bersangkutan;

b. Transaksi Keuangan oleh Pengguna Jasa yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan Transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh Pihak Pelapor sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini;

c. Transaksi Keuangan yangdilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan Harta Kekayaan yangdiduga berasal dari hasil tindak pidana; atau

18

Indonesia (A), Undang-undang tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, UU No. 8, LN No. 122 tahun 2010, TLN No. 5164, Pasal 1 Angka 1.

19

Ibid., Pasal 1 Angka 2. 20

Ibid., Pasal 1 Angka 3. 21

(12)

d. Transaksi Keuangan yang diminta oleh PPATK untuk dilaporkan oleh Pihak Pelapor karena melibatkan Harta Kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana.22

6. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari dan mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.23

E. Metode Penelitian

Didalam penulisan karya ilmiah suatu hal yang harus dicapai adalah keilmiahan dari tulisan tersebut, yakni dipenuhinya unsur kebenaran, validitas dan keberlakuan didalamnya.

Fungsi metode adalah untuk menemukan, merumuskan, menganalisa maupun memecahkan masalah tertentu untuk mengungkapkan kebenaran.24 Secara umum metode penelitian dibagi menjadi dua bagian, yaitu metode penelitian lapangan dan metode kepustakaan. Metode penelitian lapangan dilakukan untuk mendapatkan data secara langsung dari masyarakat atau pihak-pihak yang berwenang. Cara yang dilakukan dapat melalui observasi, wawancara ataupun kuisioner. Metode penelitian kepustakaan dilakukan dengan cara menganalisa bahan-bahan tertulis atau pustaka yang ada. Jenis data yang diperoleh langsung dari masyarakat atau lapangan disebut sebagai data primer atau data dasar, sedangkan yang diperoleh dari bahan pustaka lazim disebut dengan data sekunder. Dalam penelitian hukum, data sekunder mencakup bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier. Bahan hukum primer terdiri dari norma dasar, peraturan perundang-undangan, yurisprudensi maupun traktat. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang menjelaskan bahan hukum primer, seperti hasil penelitian, makalah, buku, majalah, dan sebagainya. Bahan hukum tertier adalah bahan hukum yang menjelaskan bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus, ensiklopedi ataupun indeks.

22

Ibid., Pasal 1 Angka 5. 23

Indonesia (B), Undang-Undang Hukum Acara Pidana, UU No. 8, LN No. 76 tahun 1981, TLN No. 3209, pasal 1 angka 2.

24

(13)

Istilah “metodologi” berasal dari kata “metode” yang berarti “jalan ke”, namun demikian menurut kebiasan metode dirumuskan, dengan kemungkinan-kemungkinan sebagai berikut :25

1. Suatu tipe pemikiran yang dipergunakan dalam penelitian dan penilaian ; 2. suatu teknik yang umum bagi ilmu pengetahuan ;

3. cara tertentu untuk melaksanakan suatu prosedur.

Terhadap pengertian metodologi, biasanya diberikan arti-arti sebagai berikut : 1. Logika dari penelitian ilmiah ,

2. studi terhadap prosedur dan teknik penelitian 3. suatu sistim dari prosedur dan teknik penelitian.

Penulisan tesis ini dilakukan melalui penelitian secara ilmiah, artinya suatu metode yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala, dengan menganalisisnya dan mengadakan pemeriksaan mendalam terhadap fakta tersebut, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas masalah-masalah yang ditimbulkan oleh fakta tersebut.26

Pada setiap kegiatan yang bersifat ilmiah selalu didasarkan pada metode penelitian tertentu, karena hasil penelitian yang akan dituangkan dalam tulisan berujud karya ilmiah haruslah bersifat obyektif, dalam arti pemikiran maupun materi pembahasan seharusnya dapat diuji kebenarannya secara logis, sistematis dan sesuai dengan data ataupun fakta.

Ilmu pengetahuan mengenal 2 (dua) macam metode penelitian, yaitu penelitian kepustakaan atau penelitian normatif dan penelitian lapangan atau penelitian empiris. Dalam kaitan dengan pembahasan dalam penelitian ini, metode yang akan digunakan untuk mendapatkan data yang diperlukan adalah metode peneltian kepustakaan

(library research) atau penelitian normative, yaitu suatu cara mengumpulkan data

sekunder dengan melakukan studi kepustakaan. Disamping itu penelitian ini juga akan dipertajam dengan melakukan pengamatan langsung dan melakukan wawancara dengan pejabat-pejabat di PPATK dan Instansi terkait lainnya jika dinilai perlu.

25

Ibid., hal. 5

26

(14)

Adapun bahan hukum yang akan dipergunakan untuk memperoleh data tersebut, dikelompokan ke dalam 3 (tiga) bagian, yaitu :

1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat kepada masyarakat yang berujud peraturan perundang-undangan. Dalam kaitan penelitian ini yang akan dipergunakan adalah peraturan perundang-undangan yang berkaitan erat dengan judul penelitian ini, seperti

Undang-UndangNo. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, serta Undang-Undang No. 15 Tahun 2002

tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan

Undang-Undang No. 25 Tahun 2003, dan peraturan pelaksanaannya yang terkait dengan masing-masing undang-undang dimaksud.

2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang menjelaskan bahan hukum primer dan isinya tidak mengikat, berupa penjelasan terhadap bahan-bahan hukum primer, berupa buku, majalah, makalah serta artikel yang berkaitan dengan judul penelitian serta pendapat para ahli.27

3. Bahan Hukum tertier, yaitu bahan yang sifatnya sebagai pelengkap dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus Bahasa Indonesia, Kamus Perbankan dan Aneka Istilah Hukum dan lain-lain.28

Sementara itu metode pengelohan dan analisa data yang akan dipergunakan dalam penelitian adalah metode kualitatif deskriptif dengan menguraikan persoalan dan fakta-fakta yang diterangkan secara tertulis dari bahan kepustakaan dan akan dianalisa dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif, baru ditarik suatu kesimpulan.

F. Sistematika Penulisan

Sistematika disajikan untuk mempermudah pembaca dalam memahami materi yang akan dibahas selanjutnya dalam tesis ini. Dengan adanya sistematika ini diharapkan pembaca dapat mengetahui secara garis besar isi tesis ini.

Adapun sistematika penulisan tesis ini adalah:

27

Ibid., hal 12 28

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat ,Cet 2 (Jakarta : Rajawali, 1986), hal 15.

(15)

BAB I. PENDAHULUAN

Pada bab ini dibahas mengenai latar belakang permasalahan, pokok permasalahan, tujuan penulisan, kerangka konsepsional, metode penulisan serta sistematika penulisan.

BAB II. TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DAN KETENTUAN PENCUCIAN UANG DI INDONESIA

Pada bab ini akan dibahas mengenai pengertian pencucian uang, sejarah, faktor penyebab, tahapan dan tehnik proses pencucian uang, metodenya, dampak serta kerugian yang diakibatkan kepada masyarakat, serta tinjauan terhadap kondisi di Indonesia.

BAB III. PENERAPAN ASAS PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

Pada bab ini akan diuraikan pengertian pembuktian pada umumnya, teori-teori mengenai sistem pembuktian, dan sistem pembuktian yang dianut oleh KUHAP, juga membahas masalah pembuktian terbalik seperti yang diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang serta penerapan pembuktian terbalik dalam kasus tindak pidana pencucian uang beserta permasalahan-permasalahan yang ditemukan di lapangan dalam penerapan ketentuan pembuktian terbalik dalam tindak pidana pencucian uang.

BAB IV. PENUTUP

Bab ini merupakan bab terakhir yang akan merumuskan mengenai kesimpulan yang didapat berdasarkan uraian dan pembahasan terhadap pokok permasalahan yang timbul. Kemudian akan diakhiri dengan dengan saran-saran.

Referensi

Dokumen terkait

penjualan online begitu penting bagi perusahaan sekarang ini dikarenakan pemasaran produk dalam internet memudahkan konsumen untuk memilih produk yang di ingini, ini

Dengan mendapatkan data jumlah material yang harus dikerjakan untuk penanganan lumpur pada main sump , maka dapat diperkirakan lama waktu yang dibutuhkan oleh

Kelompok Kerja (Pokja) Khusus Unit Layanan Pengadaan (ULP) Atas Paket Pengadaan Jasa Konsultan Perencanaan Detail Desain Aplikasi Dan Rancangan Enterprise

[r]

Ukuran dalam, lebar dan tempat galian untuk pemasangan pipa dan peralatannya, serta bangunan yang termasuk di dalam pekerjaan ini harus dibuat sesuai gambar rencana.. Patokan

Penetapan norma, standar, kriteria dan prosedur, dan pengesahan rencana pengelolaan jangka menengah Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan jangka

Asumsi dari penelitian ini yaitu sebagai berikut. a) Akhir masa kanak-kanak sering disebut usia berkelompok yang ditandai dengan adanya minat terhadap aktivitas berteman

Kemudian, metode yang sama juga dilakukan untuk menentukan arah penambangan yang berorientasi lingkungan menggunakan metode Ordinary Kriging di Bukit Sambung Giri,