• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perilaku Harian Owa Jawa (Hylobtes Moloch Audebert, 1798) Di Pusat Penyelamatan Dan Rehabilitasi Owa Jawa (Javan Gibbon Center), Bodogol, Sukabumi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Perilaku Harian Owa Jawa (Hylobtes Moloch Audebert, 1798) Di Pusat Penyelamatan Dan Rehabilitasi Owa Jawa (Javan Gibbon Center), Bodogol, Sukabumi"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

1

Perilaku Harian Owa Jawa (Hylobtes Moloch Audebert, 1798) Di Pusat Penyelamatan Dan Rehabilitasi Owa Jawa

(Javan Gibbon Center), Bodogol, Sukabumi

(Daily behavior of Javan Gibbon (Hylobates moloch Audebert, 1798) in Pusat Penyelamatan dan Rehabilitasi Owa Jawa (Javan Gibbon Center), Bodogol,

Sukabumi)

Aditya Permana1, Wahyu Prihatini2, Anton Ario3 1,2

Program Studi Biologi, Fakultas MIPA Universitas Pakuan, Bogor 3

Program Manager for Gede Pahala Biodiversity Corridor, Conservation International Indonesia.

ABSTRAK

Owa Jawa atau silvery gibbon merupakan primata endemik yang hanya ditemukan di pulau Jawa. Owa Jawa peliharaan banyak yang diperlakukan tidak baik oleh pemiliknya, seperti kondisi kandang dan pakan yang tidak sesuai, sehingga menimbulkan perilaku yang tidak sesuai dengan perilaku alaminya. Telah dilakukan penelitian di Pusat Penyelamatan dan Rehabilitasi Owa Jawa (Javan Gibbon Center), selama bulan Mei sampai Juni 2012, terhadap tiga keluarga owa Jawa. Pengamatan menggunakan metode Focal animal sampling, selama 10 jam/hari, mulai pukul 06.30-16.30 WIB. Satu keluarga owa Jawa diamati selama 25 hari, dua keluarga lainnya diamati bersamaan selama 25 hari, karena jarak kandang tidak terlalu jauh. Waktu pengamatan 25 menit, dengan jeda 5 menit antar waktu pengamatan, total waktu pengamatan adalah 500 jam. Pada P1, frekuensi tertinggi perilaku harian adalah perilaku bergerak, diikuti oleh perilaku istirahat, perilaku makan, dan perilaku sosial. Pada pasangan P2 dan P3, diperoleh frekuensi tertinggi adalah perilaku istirahat, bergerak, makan, dan perilaku sosial. Pasangan yang dinilai paling siap untuk menjalani uji cobapelepasliaran adalah P1, sedangkan P2 dan P3 belum siap menjalani pelepasliaran.

Kata kunci: Owa Jawa, Perilaku harian, Focal Animal sampling, Javan Gibbon Center. Pendahuluan

Berkurangnya hutan-hutan di Jawa secara drastis mengakibatkan owa Jawa terdesak ke kawasan hutan yang terfragmentasi, atau ke kawasan konservasi seperti Cagar Alam dan Taman Nasional. Perburuan liar untuk menjadikan owa Jawa hewan peliharaan, juga menyebabkan satwa ini di ambang kepunahan (Ario, 2011).

Owa Jawa peliharaan sering kali diperlakukan tidak baik oleh pemiliknya, seperti kondisi tempat tinggal dan pemberian pakan yang tidak sesuai sehingga menyebabkan munculnya perilaku yang berbeda dari perilaku

alaminya. Salah satu upaya penyelamatan owa Jawa adalah dengan mendirikan Pusat Penyelamatan dan Rehabilitasi Owa Jawa (Javan Gibbon Center/JGC), yang bertujuan untuk merehabilitasi pemulihan kesehatan dan perilaku owa Jawa bekas peliharaan agar dapat beradaptasi ketika dikembalikan ke habitat alaminya. Oleh karena itu perlu dilakukan studi mengenai perilaku owa Jawa selama masa rehabilitasi, sebagai dasar pertimbangan bagi pelepasliaran.

Tujuan umum penelitian ini adalah mengetahui pola perilaku harian owa Jawa di lokasi rehabilitasi, untuk meningkatkan keberhasilan konservasi ex-situ owa

(2)

2 Jawa.Tujuan khusus penelitian ini adalah mendapatkan data-data untuk dasar pertimbangan bagi pelepasliaran (release) owa Jawa ke habitat alaminya.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya informasi ilmiah tentang owa Jawa bagi masyarakat pada umumnya, dan pengelola Javan Gibbon Center pada khususnya untuk mendukung salah satu program jangka panjang JGC yaitu pelepasliaran (release) dalam rangka pelestarian owa Jawa yang merupakan satwa endemik indonesia.

Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Javan Gibbon Center (JGC) selama bulan Mei sampai Juni terhadap tiga keluarga owa Jawa ( 7 Individu ). Pasangan pertama (P1) terdiri dari sepasang owa dewasa (Jowo-Bombom) dengan satu anak (Yani), pasangan kedua (P2) terdiri dari sepasang owa dewasa (Mel-Pooh), dan pasangan ketiga (P3) juga berupa sepasang owa dewasa (Moli-Sasa). Pengamatan menggunakan metode Focal animal sampling, selama 10 jam/hari, mulai pukul 06.30-16.30 WIB, selama 50 hari kerja. Satu keluarga owa Jawa diamati selama 25 hari, dua keluarga lainnya diamati bersamaan selama 25 hari, karena jarak kandang tidak terlalu jauh. Waktu pengamatan 25 menit, dengan jeda 5 menit antar waktu pengamatan, total waktu pengamatan adalah 500 jam.

Perilaku owa Jawa yang diamati dikelompokkan menjadi empat jenis perilaku, yaitu :

1. perilaku bergerak (lokomosi); diamati frekuensi aktivitas yang terjadi selama rentang waktu pengamatan, dan jenis gerak yang

dilakukan, misalnya melompat dari satu tempat ke tempat lain, berjalan dua kaki, berayun, memanjat, dan turun ke lantai.

2. perilaku istirahat; diamati frekuensi aktivitas yang terjadi selama rentang waktu pengamatan, tempat yang sering digunakan untuk istirahat, serta jenis perilaku istirahat yang dilakukan misalnya duduk diam, berbaring, dan diam menggantung.

3. perilaku makan; diamati frekuensi beberapa aktivitas makan, antara lain mengolah makanan (mengupas kulit, membelah), mencicipi (menjilat sedikit dengan ujung lidah), ataupun langsung makan (menggigit makanan, mengunyah makanan, mengeluarkan kembali makanan dari mulut, dan menelan makanan)

4. perilaku sosial, meliputi :

a. interaksi dengan perawat satwa (keepers).

b. menelisik (grooming), baik menelisik tubuh sendiri (autogrooming) maupun ke individu lain (allogrooming). c. bersuara (calling)

d. agonistik kontak dan non kontak

e. kopulasi, meliputi aktivitas berdekatan, mencoba kawin dan kawin

Data yang diperoleh diolah dalam bentuk grafik presentase dan juga dilakukan secara deskriptif. Frekuensi suatu aktivitas adalah banyaknya suatu aktivitas tertentu yang dilakukan oleh setiap individu (X). dibagi seluruh aktivitas yang diamati pada individu tersebut (Y) dikali 100%:

(3)

3 Hasil Dan Pembahasan

Frekuensi perilaku harian owa Jawa Owa Jawa diketahui pertama kali bangun antara pukul 05.30-06.00 WIB, namun tidak langsung melakukan aktivitas. Aktivitas mulai dilakukan ketika keepers memberi pakan buah-buahan, antara pukul 06.00-06.30 WIB. Pada sore hari, owa Jawa berhenti melakukan aktivitas, dan menuju ke shelter untuk tidur antara pukul 15.30-16.30 WIB. Rata-rata aktifitas harian Owa Jawa di JGC adalah 9 jam, hal ini serupa dengan masa aktif owa Jawa di alam yaitu 8-10 jam setiap harinya (Leighton, 1986).

Berdasarkan pengamatan (tabel 1), frekuensi perilaku harian ketiga pasangan owa Jawa di JGC menyerupai frekuensi perilaku harian owa Jawa liar di hutan Bodogol TNGGP dan hutan cikaniki TNGHS dalam hal bergerak dan istirahat, namun persentase perilaku makan owa Jawa di JGC lebih sedikit, hal ini dikarenakan pemberian pakan hanya pada jam-jam tertentu saja, lain halnya dengan owa Jawa liar yang bebas melakukanpencarian pakan selama periode aktifnya. Menurut Kurniawati (2011) perbedaan pola aktivitas harian owa Jawa di tempat rehabilitasi dengan di alam disebabkan oleh dua hal, yaitu

variasi adaptasi owa Jawa dan kondisi kandang.

Pada pasangan P1 frekuensi tertinggi perilaku harian adalah perilaku bergerak (41,06-48,84 %), dan yang terendah adalah perilaku sosial (6,19-11,09 %), perilaku bergerak merupakan jenis perilaku yang paling sering terlihat, hal ini disebabkan pasangan ini memiliki anak (Yani). Menurut Riendrasari dkk (2009), juga Kartono dkk (2002), anak owa Jawa lebih banyak bergerak dibandingkan berdiam diri. Anak owa Jawa bermain dan meniru induk dalam proses mempersiapkan diri menjadi anggota keluarga yang lebih sempurna,

sehingga sering tampak interaksi bermain antara Yani dengan Bombom, maupun Yani dengan Jowo. Pada pasangan P2, diperoleh frekuensi tertinggi adalah perilaku istirahat (28,43-44,39 %), dan yang terendah adalah perilaku sosial (5,78-16,61 %). Pasangan P2 terutama individu jantan (Mel) lebih banyak menghabiskan waktu dengan duduk diam di atap shelter. Pada pasangan P3 frekuensi tertinggi berupa perilaku istirahat (42,77-47,78 %), dan yang terendah adalah perilaku sosial (1,44-8,84 % ).

(4)

4

Gambar 1. Frekuensi aktivitas bergerak owa Jawa di JGC. Perilaku bergerak

Aktivitas bergerak yang paling sering dilakukan oleh seluruh pasangan, yaitu perilaku berayun (brakhiasi) (Gambar 1). Hal ini sesuai pendapat Ayu (2011), bahwa owa Jawa sebagai brakhiator sejati menggunakan brakhiasi sebagai cara bergerak paling utama, sehingga tungkai depan owa Jawa lebih panjang dibandingkan primata lain (Ario, 2011).

Selama menjalani rehabilitasi di JGC, owa Jawa dibiasakan untuk melatih anggota gerak tubuhnya dengan cara menempatkan mereka pada kandang dengan pengayaan (enrichment) yang memungkinkan untuk melakukan gerakan tersebut. Aktivitas bergerak yang paling jarang dilakukan yaitu turun ke lantai kandang, disebabkan lantai kandang disesuaikan kondisi hutan alami, dengan cara membiarkan lantai kandang dengan tanaman bawah hutan seperti berbagai jenis paku-pakuan dan serasah. Kondisi ini menyebabkan owa Jawa jarang turun

ke lantai kandang, hal ini sudah sesuai dengan karakteristiknya sebagai satwa arboreal tidak pernah bergerak di permukaan tanah untuk menghindari predasi (Supriatna & Wahyono 2000). kecuali untuk individu Sasa (P3) yang terkadang sering melakukan aktifitas di dasar kandang (7,23%).

Perilaku istirahat

Aktivitas istirahat owa Jawa di JGC meliputi duduk diam, diam menggantung cukup lama dan berbaring. Perilaku istirahat mencapai puncak awalnya antara pukul 10.30-12.00 WIB sebelum pemberian pakan siang. Perilaku tersebut tampak kembali meningkat pada pukul 14.00 WIB setelah pemberian pakan ke tiga, hingga akhirnya owa Jawa beristirahat panjang pada pukul 16.30-17.00 WIB. Frekuensi beristirahat owa Jawa di JGC berkisar 28,43-47,78%. Hal ini sejalan dengan pernyataan Leighton (1987), yang menyebutkan perilaku istirahat owa Jawa di alam dilakukan di antara waktu periode aktifnya, dengan proporsi waktu istirahat sekitar 20%-51%.

Melompat Bipedal Memanjat berayun Turun ke

lantai Jowo ♂ 8,51 2,76 13,43 74,83 0,43 Bombom ♀ 1,46 23,73 5,56 68,57 0,65 Yani ♀ 7,08 2,03 9,9 80,7 0,29 Mel ♂ 1,32 0,49 10,86 87 0,29 Pooh ♀ 5,45 0,27 5,87 88,09 0,3 Moli ♂ 1,39 0,87 6,14 91,12 0,46 Sasa ♀ 0,98 0 5,93 85,83 7,23 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 Fr e ku e n si (% )

(5)

5

Gambar 2. Frekuensi aktivitas istirahat owa Jawa di JGC Pasangan yang paling sering

terlihat melakukan perilaku istirahat (gambar 2) adalah P3 (42,77-47,78%), diikuti oleh P2 (28,43-44,39 %), dan paling rendah frekuensinya adalah P1 (35,68-39,92 %). Frekuensi istirahat yang tinggi pada ketiga pasangan disebabkan kecukupan pakan, dan minimnya gangguan predator di kawasan rehabilitasi Javan Gibbon Center. Owa Jawa cenderung hanya menunggu diberi pakan, dengan melakukan istirahat.

Aktivitas beristirahat yang paling sering dilakukan oleh ketiga pasangan, adalah dengan posisi duduk dibandingkan dengan berbaring (Gambar 2). Hal ini sesuai dengan temuan Ayu (2011) yang mendapati perilaku istirahat dengan posisi duduk lebih sering tampak, karena dengan posisi ini mereka dapat mengawasi keadaan sekitar.

Perilaku berbagi tempat tidur merupakan salah satu bentuk dari perilaku kooperatif. Menurut Koontz & Roush, 1996 dalam Kurniawati (2011), perilaku kooperatif pada pasangan owa Jawa merupakan salah satu indikasi kuatnya

ikatan pasangan tersebut. Perilaku ini terlihat pada P1, Pasangan P2 hampir tidak pernah terlihat berdekatan dalam satu shelter saat istirahat pendek di siang hari, namun pada malam hari terkadang terlihat kedua individu tidur dalam satu shelter. Pasangan P3 selama penelitian ini berlangsung, tidak pernah sama sekali terlihat tidur berdekatan dalam satu shelter.

Perilaku makan

Perilaku makan pada owa Jawa di JGC diawali dengan aktivitas memilih pakan, karena jenis pakan yang diberikan bervariasi. Owa Jawa sangat selektif memilih pakan, mereka hanya memakan habis pakan yang disukai, dan tidak memakan yang tidak disukai. saja. Selama aktivitas makan terkadang diselingi dengan aktivitas bergerak.

Frekuensi aktivitas makan yang paling sering dilakukan, yaitu langsung makan buah pasar (32,82-35,86%), sedangkan aktivitas yang jarang terlihat adalah mencicipi buah pasar (0,58-1,65%)

Duduk Diam menggantung Berbaring

Jowo ♂ 80,1 18,51 1,38 Bombom ♀ 66,62 30,98 2,39 Yani ♀ 67,22 30,77 2 Mel ♂ 80,21 16,5 3,28 Pooh ♀ 68,7 28,85 2,44 Moli ♂ 54,45 43,97 2,57 Sasa ♀ 73,73 23,21 3,05 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 Fr e ku e n si %

(6)

6

Gambar 3. Frekuensi aktivitas makan owa Jawa di JGC Pada P2 menunjukan aktivitas tertinggi

berupa langsung memakan buah pasar (36,20-36,96 %), sedangkan yang terendah yaitu mencicipi buah pasar (1,2-1,34%) .Pada P3 tampak bahwa frekuensi aktivitas makan tertinggi yaitu langsung makan buah pasar (37,5-38%), adapun frekuensi aktivitas terendah adalah mencicipi buah pasar (1,2-1,24%). (gambar 3)

Menurut Supriatna & Wahyono (2000), owa Jawa mengonsumsi lebih kurang 61% buah, 38% daun, dan sisanya berbagai jenis makanan seperti bunga dan serangga. Di JGC, owa Jawa diberi pakan umumnya berupa buah-buahan, Pada ketiga pasangan, aktivitas langsung memakan buah pasar terlihat paling sering dilakukan. Hal ini dikarenakan pemberian pakan buah pasar rutin diberikan setiap jam makan pertama pada pagi hari, sedangkan buah-buahan hutan diberikan 2 hari sekali pada saat jam makan ke dua atau ke tiga saja.

Ativitas mencicipi pakan terlihat paling jarang dilakukan oleh ketiga pasangan owa Jawa. Hal ini dikarenakan seringnya mereka diberi pakan yang sama setiap hari. Frekuensi aktivitas langsung makan buahan pasar maupun buah-buahan hutan, tampak tidak terlalu berbeda pada ketiga pasangan owa Jawa. Ario & Masnur (2011) menyebutkan, pemberian pakan alami (buah hutan) dan non-alami (buah pasar) pada owa Jawa yang telah menjalani masa rehabilitasi lebih dari tiga tahun di JGC, yaitu sebanyak 50%:50%. Pemberian pakan alami dilakukan sedini mungkin, agar ketergantungan terhadap pakan non-alami secara bertahap dapat dikurangi. Hal ini penting dilakukan, untuk membiasakan owa Jawa mengonsumsi pakan alami pada masa pelepasan ke alam.

Perilaku sosial

Perilaku sosial owa Jawa di JGC dapat berupa interaksi antar individu dalam satu kandang pasangan, dengan individu lain dalam kandang berbeda,

Mengolah pakan Cicipi buah pasar Langsung makan Buah pasar Cicipi buah hutan Langsung makan buah hutan Jowo ♂ 35,17 1,65 32,82 1,65 28,68 Bombom ♀ 30 0,58 35,86 0,69 32,84 Yani ♀ 28,62 5,79 33,8 1,26 30,5 Mel ♂ 34,06 1,34 36,2 1,18 26,2 Pooh ♀ 34,36 1,2 36,96 1,16 26,3 Moli ♂2 35,8 1,45 38 1,24 35,5 Sasa ♀ 35,1 1,31 37,5 1,2 24,24 0 5 10 15 20 25 30 35 40 Fr e ku e n si %

(7)

7 menanggapi suara owa Jawa liar atau hewan lain di luar kandang, maupun interaksi dengan keeper. Interaksinya dapat berupa grooming (saling mencari kutu), bersuara, bermain, dan bereproduksi (Ario, 2011).

Menelisik

Perilaku menelisik (grooming) merupakan aktivitas mencari kotoran atau ektoparasit, baik di tubuh sendiri (autogrooming) maupun pada individu lain (allogrooming). Aktivitas ini dimulai dengan mencari di sela-sela rambut tubuh, menjilat, dan kemudian mengunyahnya (Rahman, 2011). Ketiga pasangan owa Jawa di JGC terlihat lebih banyak melakukan aktivitas autogrooming, Hal ini sejalan dengan pernyataan Ayu (2011), yaitu owa Jawa lebih banyak melakukan (autogrooming) tidak dengan individu lain. Hanya pada P1 saja terlihat aktivitas allogroming antara pasangan induk maupun antar induk dengan anak. Perilaku ini menunjukan keluarga P1 memiliki ikatan sosial yang tinggi, sesuai pendapat Perez & Vea (2000) yang menyatakan allogrooming sebagai salah satu cara berkomunikasi, dilakukan melalui

sentuhan antar individu untuk memelihara ikatan sosial dalam kelompok, selain untuk membersihkan diri dari kotoran atau parasit di permukaan tubuhnya.

Bersuara

Perilaku bersuara ketiga pasangan owa Jawa di JGC biasanya dimulai pukul 06.00-06.30 WIB (morning call), namun tidak setiap hari perilaku hariannya diawali dengan aktivitas bersuara. Aktivitas ini mencapai puncak pertama pada pukul 08.30-09.30 WIB, kemudian puncak ke dua terjadi pada pukul 14.00-15.30 WIB. frekuensi perilaku bersuara tertinggi dilakukan oleh induk betina P3 (Sasa) sebesar 63,84%, selanjutnya betina P1 (Bombom) sebesar 58,57%, dan betina P2 (Pooh) sebesar 50,10% (gambar 4). Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Kappeler (1981), bahwa betina dewasa lebih sering bersuara dibandingkan jantan dewasa, terkait dengan dominasi betina dalam kelompok owa Jawa. Aktivitas bersuara betina dewasa merupakan upaya untuk berkomunikasi dengan kelompok lainnya, dan menunjukkan batas teritorinya (Rahman, 2011; Supriatna dan Wahyono, 2000)

Gambar 4. Frekuensi aktivitas sosial owa Jawa di JGC

Interaksi dengan keepers

Menelisik Bersuara Agonistik seksual

Jowo ♂ 6,41 46,61 2,68 12,45 31,79 Bombom ♀ 2,18 6,17 58,57 13,25 19,8 Yani ♀ 42,83 44,19 5,61 11,34 Mel ♂ 1,51 70,37 3,02 14,53 10,35 Pooh ♀ 2,76 7,31 50,1 21,78 18,03 Moli ♂ 4,8 72,09 7,4 11,11 4,56 Sasa ♀ 1,74 26,98 63,84 1,96 5,45 0 10 20 30 40 50 60 70 80 Fr e ku e n si %

(8)

8 Agonistik

Agonistik ditunjukkan owa Jawa jika ada pengganggu. Sikap yang ditunjukkan umumnya dengan melompat-lompat sambil bersuara, dan memperlihatkan gigi taring kepada apapun yang dianggap mengganggu (Ario, 2011). Sikap ini merupakan salah satu fungsi hidup berkelompok, karena setiap anggota keluarga sama-sama berperan mewaspadai keadaan sekitarnya, sehingga dapat lebih cepat mengetahui kehadiran pengganggu (Schaik 1985, dalam Tobing 2002). Owa Jawa di JGC umumnya menunjukan perilaku agonistik ketika keepers memberi pakan. Di antara tiga pasangan yang diamati, pasangan P2 terutama induk betina (Pooh), paling sering memperlihatkan sikap agonistik (21,78 %). Pada P1 sikap agonistik tampak seimbang ditunjukan oleh ketiga individunya. Pada P3, sikap ini lebih sering tampak dilakukan induk jantan (Moli), sedangkan induk betina (Sasa) sangat jarang. Antar individu dalam pasangan, perilaku agonistik selama pengamatan tidak pernah terjadi, hal ini mengindikasikan kecocokan pada pasangan tersebut. Kopulasi

Meskipun terdapat perilaku sosial dalam suatu pasangan owa Jawa, namun tidak dapat dipastikan keselarasan antar individunya untuk melakukan perilaku seksual (Kurniawati, 2011). Frekuensi perilaku seksual tertinggi dijumpai pada P1 (19,80-31,79 %). Pasangan ini sering terlihat mencoba kopulasi, ditunjukkan dari sikap induk betina (Bombom) yang membelakangi induk jantan (Jowo), namun pasangan ini sering terganggu oleh anaknya (Yani). Pada P2 dan P3, secara umum perilaku seksual sangat jarang terlihat, bahkan tidak pernah. Pada P2 beberapa kali terlihat individu betina (Pooh) memberi

isyarat pada individu jantan (Mel) untuk kopulasi, namun individu jantan sering menolak ajakan tersebut dengan berpindah ke lain tempat. Pada P3 frekuensi perilaku seksual ini bahkan lebih rendah lagi, kedua individu jarang berdekatan, hal ini karena pasang P3 merupakan pasangan yang baru di tempatkan dalam satu kandang pasangan selama 3 bulan, lain halnya dengan P1 dan P2 yang sudah dalam keadaan berpasangan ketika tiba d JGC pada tahun 2008.

Dasar pertimbangan uji coba pelepasliaran owa Jawa

Menurut Ario (2011) untuk

pelepasliaran diperlukan beberapa kriteria antara lain satwa bebas dari penyakit, satwa berpasangan atau berkelompok, satwa secara fisik mampu makan sendiri (tidak tergantung lagi dengan manusia), memiliki kemampuan brankhiasi yang baik dan jarang turun ke tanah. Sedangkan untuk tempat pelepasliaran harus memiliki daya dukung lingkungan bagi kelangsungan hidup owa Jawa dengan kriteria adalah tidak ada populasi liar di tempat tersebut, merupakan kawasan yang dilindungi seperti taman nasional atau cagar alam, sehingga tidak ada kemungkinan penangkapan secara liar, ketersediaan pakan yang mencukupi serta vegetasi yang memungkinkan untuk tempat tinggal owa Jawa tersebut.

Parameter kesiapan pelepasliaran didasarkan pada aktivitas dan perilaku umum yang ditunjukan oleh owa Jawa yang berada pada habitat alaminya. Parameter kesiapan pelepasliaran menurut Rahman (2011) dan Kurniawati (2011) antara lain:

1. Kesesuaian alokasi penggunaan

waktu aktivitas harian owa Jawa di tempat rehabilitasi dengan yang di alam.

2. Kemampuan melakukan aktivitas

sosial terutama mengeluarkan suara bagi owa Jawa betina, kemampuan untuk berinteraksi melalui aktivitas bersuara dalam kelompok maupun

antar kelompok sangat penting

(9)

9

ikatan dalam kelompok atau

menghindarkan konflik diantara

kelompok yang berbeda dan

menandakan adanya faktor bahaya. 3. Kemampuan bergerak dari satu pohon

ke pohon yang lain atau dari satu

bentuk pengkayaan yang

menstimulasi individu Owa Jawa untuk selalu berada diatas (lebih bersifat arboreal) dan meminimalisir pergerakan dipermukaan tanah. 4. Pasangan owa Jawa lebih banyak

melakukan perilaku afiliatif dan sediki perilaku agonistik satu sama lain.

5. Kemampuan menunjukan aktivitas

seksual (kopulasi) sebelum

dilepasliarkan, Cheyne (2004)

menyatakan bahwa ikatan pasangan yang kuat merupakan syarat utama bagi Owa yang dilepaskan. Ikatan pasangan yang kuat dapat diketahui melalui terjadinya perilaku kopulasi.

Berdasakan kelima parameter tersebut maka peneliti mencoba memberikan penilaian sederhana terhadap kesiapan pelepasliaran pada ketiga pasangan owa Jawa yang diamati. Setelah dirujuk ke standar kriteria pelepasliaran maka dapat disimpulkan bahwa pasangan yang dinilai paling siap adalah P1, karena pasangan P1 sudah memenuhi kelima parameter di atas, kemampuan berpasangan dan melakukan kopulasi telah ditunjukan secara baik oleh P1 serta berhasil memiliki keturunan (Yani). sedangkan untuk P2 dan P3 dinilai belum siap menjalani pelepasliaran, hal ini dikarenakan selama pengamatan terkadang perilaku agonistik terjadi dan tidak pernah terjadi perilaku kopulasi antara kedua individu P2. Untuk P3 dinilai belum siap menjalani pelepasliaran karena kedua individu P3 tidak memiliki ikatan pasangan yang kuat terlihat dari selalu berjauhan satu sama lain dan tidak pernah melakukan perilaku kopulasi, kemudian individu betina (Sasa) pada P3 dinilai belum siap menjalani pelepasliaran karena memiliki persentase melakukan aktivitas di dasar kandang

sebesar 7,32% , Cheyne (2004) menyatakan bahwa persentase penggunaan strata bawah kandang untuk owa yang akan menjalani uji coba pelepasliaran tidak lebih dari 5%.

Simpulan Dan Saran Simpulan

1. Owa Jawa di JGC rata-rata melakukan aktivitas harian selama 9 jam, dengan aktivitas utama yaitu makan, bergerak, istirahat dan aktivitas sosial (grooming, bermain dan bersuara). Hal ini serupa dengan aktivitas harian owa Jawa di alam yaitu 8-10 jam setiap harinya.

2. Pada pasangan P1 frekuensi tertinggi perilaku harian adalah perilaku bergerak, diikuti oleh perilaku istirahat, perilaku makan, dan perilaku sosial. Sedangkan pada pasangan P2 dan P3, diperoleh frekuensi tertinggi adalah perilaku istirahat, bergerak, makan, dan perilaku sosial.

3. Kopulasi hanya dijumpai pada P1. Sangat jarang terlihat, bahkan tidak pernah dilakukan P2 dan P3.

4. Pasangan yang dinilai paling siap untuk menjalani pelepasliaran adalah P1, sedangkan untuk P2 dan P3 dinilai belum siap menjalani pelepasliaran

Saran

1. Perlu dilakukan penanganan khusus pada individu-individu owa Jawa yang cenderung lebih sering melakukan aktivitas di dasar kandang dan owa Jawa yang sering melakukan aktivitas pencarian pakan disekitar kandang.

2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai perbandingan perilaku owa Jawa yang ada di alam dengan yang ada di rehabilitasi, sebagai dasar pertimbangan pelepasliaran bagi owa Jawa yang telah menjalani rehabilitasi.

(10)

10 Ucapan Terima Kasih

Dalam menyelesaikan penelitian ini, penulis banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Dra. Wahyu Prihatini, M.Si. selaku Pembimbing I dan Bpk Anton Ario M.Si. selaku Pembimbing II atas saran serta bimbingannya selama penelitian ini, tidak lupa kepada pihak Javan gibbon center yang telah memberikan bantuan dan dukungan khususnya kepada para perawat satwa JGC, bapak Mulya, bapak Sas, bapak Ayung dan Radi.

Daftar Pustaka

Altman, J. 1974. Observational Study of Behavior: Sampling

Methods.University of Chicago: USA. Page 227-267

Arifin, S. 2011. Pola Aktivitas Harian Owa Jawa (Hylobates moloch Audebert, 1798) di Hutan

Rasamala Resort Bodogol Taman Nasiona Gunung Gede Pangrango. Kumpulan Hasil Penelitian Owa Jawa di Bodogol, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango Periode 2000-2010 (Editor: Anton, Jatna, Noviar). Conservation

International Indonesia. Jakarta. Halaman 57-67

Ario, A. 2011. Pemantauan Owa Jawa (Hylobates moloch Audebert, 1798) di Bodogol Taman Nasional Gede Pangrango. Kumpulan Hasil Penelitian Owa Jawa di Bodogol, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango Periode 2000-2010 (Editor: Anton, Jatna, Noviar). Conservation International

Indonesia. Jakarta. Halaman 30-39. Ario, A & Masnur, I, Y. 2011.

Perkembangan Perilaku Owa Jawa Pada Masa Rehabilitasi di Pusat Penyelamatan dan Rehabilitasi Owa Jawa (Javan Gibbon Center).

Kumpulan Hasil Penelitian Owa Jawa di Bodogol, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango Periode 2000-2010 (Editor: Anton, Jatna, Noviar). Conservation International Indonesia. Jakarta. Halaman 208-216.

Ayu, S. P. 2011. Perilaku Harian Dua Owa Jawa (Hylobates moloch Audebert, 1798) Betina di Pusat Penyelamatan dan Rehabilitasi owa Jawa (Javan Gibbon Center). Kumpulan Hasil Penelitian Owa Jawa di Bodogol, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango Periode 2000-2010 (Editor: Anton, Jatna, Noviar). Conservation International Indonesia. Jakarta. Halaman 217-228.

Cheyne, SM. 2004. Assesing

rehabilitation and reintroduction of captive-raised gibbons in Indonesia. Thesis. Cambridge : University of Cambridge. Page 44 & 170 Iskandar, S. 2007. Penggunaan Habitat

Owa Jawa (Hylobates moloch Audebert, 1798) di Hutan Rasamala (Altingia excelsa Noronha 1970) Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat. Tesis. Departemen Biologi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Indonesia. Depok. Halaman 30.

Kartono AP, Prastyono & I. Maryanto. 2002. Variasi aktivitas harian Hylobates moloch (Audebert, 1978) menurut kelas umur di Taman Nasional Gunung Halimun, Jawa Barat. Berita Biologi 6(1) : 67-73. Kurniawati, N. 2011. Pengamatan

Aktivitas Harian Pasangan owa Jawa (Hylobates moloch, Audebert, 1978). Di Javan Gibbon Center Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Kumpulan Hasil Penelitian Owa Jawa di Bodogol, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango Periode 2000-2010

(11)

11 (Editor: Anton, Jatna, Noviar).

Conservation International Indonesia. Jakarta. Halaman 175-188

Ladjar, L.N. 1996. Aktivitas harian dan penggunaan habitat pada keluarga owa jawa (Hylobates moloch AUDEBERT, 1798) liar di Cikaniki, TamanNasional Gunung Halimun, Jawa Barat. Skripsi Sarjana Biologi.

Fakultas Biologi,

UniversitasNasional Jakarta.

Leighton M. 1986. Gibbons; teritoriality and monogamy. Primate Societie. Chicago and London : The University of Chicago Press : 135-145 hlm.

Perez A.P and Vea J.J. 2000. Allogrooming behavior in

Cercocebus torquatus : the case for the hygienic functional hypothesis. Primates 41 (2) : 199-207

Rahman, D. A. 2011. Studi Perilaku dan Pakan Owa Jawa (Hylobates moloch) Di Pusat Studi Satwa Primata IPB dan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango: Penyiapan Pelepasliaran. Tesis. Program Studi Primatologi. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor. Halaman 59-63

Riendriasari, S.D,. E. Iskandar,. J. Manangsang,. J. Pamungkas. 2009. Tingkah Laku Owa Jawa (Hylobates moloch) di fasilitas penangkaran Pusat Studi Satwa Primata, Institut Pertanian Bogor. Jurnal Primatologi Indonesia. Vol 6 (1): 9-13

Supriatna, J. dan .E. H. Wahyono. 2000. Panduan Lapangan Primata

Indonesia. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Halaman 254-260

Tobing, I.S.L. 2002. Respon Primata Terhadap Kehadiran Manusia di Kawasan Cikaniki, Taman Nasional Gunung Halimun. Berita Biologi. 6 (1): 99-105

Gambar

Gambar 1. Frekuensi aktivitas bergerak owa Jawa di JGC.
Gambar 2. Frekuensi aktivitas istirahat owa Jawa di JGC  Pasangan  yang  paling  sering
Gambar 3. Frekuensi aktivitas makan owa Jawa di JGC  Pada  P2  menunjukan  aktivitas  tertinggi

Referensi

Dokumen terkait

Analisis deskriptif kualitatif dilakukan dengan menggunakan peta wilayah jelajah dugaan dua kelompok studi owa jawa yang telah ditumpang tindih dengan peta digital

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul “ Dukungan Masyarakat Lokal dan Habitat untuk Konservasi Owa jawa ( Hylobates moloch , Audebert, 1798) di

Akhirnya dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Owa jawa di TNGH melaku- kan aktivitas hariannya yang berlangsung antara pukul 06.00 hingga 17.15 WIB. Rata-rata alokasi

Analisis deskriptif kualitatif dilakukan dengan menggunakan peta wilayah jelajah dugaan dua kelompok studi owa jawa yang telah ditumpang tindih dengan peta digital

Berdasarkan hasil pengamatan terhadap ke enam anggota kelompok owa jawa PSSP, pola perilaku harian yang umum diamati pada pagi hari ditandai dengan pergerakan kelompok owa

Owa jawa (Hylobates moloch) merupakan primata endemik Pulau Jawa.Taman Nasional Gunung Halimun Salak adalah salah satu habitat yang sesuai serta merupakan jumlah populasi

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran deskriptif mengenai aktivitas yang berhubungan dengan perilaku makan dan pemilihan pakan Owa Jawa (Hylobates moloch) setiap

Persentase aktivitas harian owa Jawa selama di penangkaran berturut-turut adalah sebagai berikut makan (12,77%), minum (0,96%), defekasi (1,97%), urinasi (2,43%), dan ini