• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH SUHU DAN LAMA PROSES MENGGORENG (DEEP FRYING) TERHADAP PEMBENTUKAN ASAM LEMAK TRANS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH SUHU DAN LAMA PROSES MENGGORENG (DEEP FRYING) TERHADAP PEMBENTUKAN ASAM LEMAK TRANS"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

23

PENGARUH SUHU DAN LAMA PROSES MENGGORENG (DEEP FRYING)

TERHADAP PEMBENTUKAN ASAM LEMAK TRANS

Ratu Ayu Dewi Sartika

Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia

E-mail : ratuayu@ui.ac.id

Abstrak

Proses menggoreng adalah salah satu cara memasak bahan makanan mentah (raw food) menjadi makanan matang menggunakan minyak goreng. Umumnya, proses ini dilakukan oleh industri pengolahan makanan, restoran, jasa boga, penjual makanan jajanan maupun tingkat rumah tangga. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorium yang dilakukan di Laboratorium Gizi Kesehatan Masyarakat FKM-UI serta Laboratorium terpadu IPB, Bogor, pada bulan Desember tahun 2005 sampai Maret 2006. Penelitian dilakukan dengan 2 macam perlakuan (sampel minyak hasil penggorengan singkong dan daging) dengan 4 kali pengulangan setiap perlakuan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh menggoreng dengan cara deep frying (suhu tinggi dan jangka waktu lama) serta berulang terhadap pembentukan asam lemak trans. Hasil penelitian menunjukkan bahwa asam lemak yang paling banyak terkandung pada minyak goreng adalah asam oleat (bentuk cis). Asam lemak trans (elaidat) baru terbentuk setelah proses menggoreng (deep frying) pengulangan ke-2, dan kadarnya meningkat sejalan dengan pengulangan penggunaan minyak. Hasil uji korelasi antara asam elaidat (trans) dan asam oleat (cis) menunjukkan asosiasi negatif (r = - 0,8; p = 0,016). Dilihat dari mulai terbentuknya asam lemak trans, maka disarankan untuk menggunakan minyak goreng tidak lebih dari 2 (dua) kali pengulangan.

Abstract

Influencing of Deep Frying in Forming of Trans Fatty Acid. Frying process is one of the cooking’s techniques using

vegetable oil. This process is commonly used in food industry, restaurants, food services, food retail and household scale. This is a laboratory experimental study which performed in laboratory of Public Health Nutrition FKM-UI and Integrated Laboratory IPB, Bogor from December 2005 until March 2006. It was conducted by two (2) type of treatment (used cooking oil ex cassava and meat) with 4 (four) times for each treatment. The objective of this study is to know the influence of frying by using deep frying (frying in high temperature and in a long time) and repeating to trans fatty acid formation in cooking oil. From the result revealed that fatty acid type mostly contained in a fresh cooking oil is oleic acid. Trans fatty acid was formed after second repeating of deep frying and increased in line with the frequent of repeating. Correlation test result had shown that negative association between elaidic acid (trans) and oleic acid (cis) (r = - 0,8; p value = 0.016). In accordance with the beginning of trans fatty acid formation, it would be better to use the cooking oil not more than twice.

Keywords: deep frying, trans fatty acid, cooking oil

1. Pendahuluan

Minyak merupakan campuran dari ester asam lemak dengan gliserol. Jenis minyak yang umumnya dipakai untuk menggoreng adalah minyak nabati seperti minyak sawit, minyak kacang tanah, minyak wijen dan sebagainya. Minyak goreng jenis ini mengandung sekitar 80% asam lemak tak jenuh jenis asam oleat dan linoleat, kecuali minyak kelapa. Proses penyaringan

minyak kelapa sawit sebanyak 2 kali (pengambilan lapisan lemak jenuh) menyebabkan kandungan asam lemak tak jenuh menjadi lebih tinggi [1]. Tingginya kandungan asam lemak tak jenuh menyebabkan minyak mudah rusak oleh proses penggorengan (deep frying), karena selama proses menggoreng minyak akan dipanaskan secara terus menerus pada suhu tinggi serta terjadinya kontak dengan oksigen dari udara luar yang memudahkan terjadinya reaksi oksidasi pada minyak [2].

(2)

Isomer geometris terbentuk apabila ikatan rangkap cis (struktur bengkok) terisomerisasi menjadi konfigurasi trans (struktur lebih linier) yang secara termodinamik sifatnya lebih stabil daripada cis, seperti asam oleat menjadi asam elaidat [3]. Bentuk isomer trans lebih menyerupai asam lemak jenuh daripada asam lemak tak jenuh. Secara kimiawi, konfigurasi asam lemak tak jenuh trans mengikat atom hidrogen secara berseberangan (opposite), sedangkan bentuk cis sebaliknya [4].

Terdapat 2 (dua) cara proses menggoreng, yaitu pan frying dan deep frying. Menggoreng cara deep frying membutuhkan minyak dalam jumlah banyak sehingga bahan makanan dapat terendam seluruhnya di dalam minyak. Proses menggoreng adalah suatu proses persiapan makanan dengan cara memanaskan bahan makanan di dalam ketel yang berisi minyak [2].

Menurut Puspitasari, pembentukan asam lemak trans dalam makanan diperoleh pada saat pemanasan selama pengolahan minyak (refinery) [3,5] Secara umum, makanan yang digoreng mempunyai struktur yang sama yaitu lapisan permukaan (outer zone surface), lapisan tengah (outer zone/crust) dan lapisan dalam (inner zone/core). Lapisan bagian dalam dari makanan (core) masih mengandung air. Lapisan tengah makanan (crust) adalah bagian luar makanan yang merupakan hasil dehidrasi pada saat digoreng [2].

Minyak yang diserap untuk mengempukkan crust makanan, sesuai dengan jumlah air yang menguap pada saat menggoreng. Jumlahnya yang terserap tergantung dari perbandingan antara lapisan tengah dan lapisan dalam. Semakin tebal lapisan tengah maka semakin banyak minyak yang akan terserap. Lapisan permukaan merupakan hasil reaksi Maillard (browning non enzimatic) yang terdiri dari polimer yang larut, dan tidak larut dalam air serta berwarna coklat kekuningan. Biasanya senyawa polimer ini terbentuk bila makanan jenis gula dan asam amino, protein dan atau senyawa yang mengandung nitrogen digoreng secara bersamaan [6].

Umumnya kerusakan oksidasi terjadi pada asam lemak tak jenuh, tetapi bila minyak dipanaskan suhu 100oC atau lebih, asam lemak jenuh pun dapat teroksidasi. Oksidasi pada penggorengan suhu 200oC menimbulkan kerusakan lebih mudah pada minyak dengan derajat ketidakjenuhan tinggi, sedangkan hidrolisis mudah terjadi pada minyak dengan asam lemak jenuh rantai panjang [7,8].

Dalam kehidupan sehari-hari, asam lemak trans dijumpai dalam berbagai produk pangan lemak nabati yang dihidrogenasi seperti margarin, shortening, biskuit atau kue-kue. Proses hidrogenasi yang terjadi selain menghasilkan jumlah lemak jenuh lebih banyak, juga

Gambar 1. Struktur Kimia dari Cis-Asam Lemak Tak Jenuh (Asam Oleat), Trans-Asam Lemak Tak Jenuh (Asam Elaidat) Dibandingkan dengan Asam Lemak Jenuh (Asam Stearat) [9]

Inner Zone, or Core Inner Zone, or Core Outer Zone Surface

Outer Zone Surface

Outer Zone, or Crust

Outer Zone, or Crust

Gambar 2. Basic Structure of Deep Fried Foods [2,6]

akan mengubah bentuk cis menjadi trans. Fennema menyebutkan bahwa pada suhu 25oC, reaksi oksidasi terhadap asam oleat (C18:1 cis) akan menghasilkan 2 (dua) senyawa radikal intermediate yaitu cis dan trans [6]. Selama ini belum pernah dilakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh penggorengan dengan cara deep frying (suhu tinggi dan pengulangan) terhadap pembentukan asam lemak trans, mengingat preferensi konsumen terhadap makanan gorengan di Indonesia termasuk tinggi, sementara kekhawatiran tentang adanya pengaruh metabolik dari lemak trans khususnya yang berhubungan dengan penyakit kardiovaskular telah bermunculan.

2. Metode Penelitian

Disain penelitian adalah uji eksperimental laboratorium dengan 2 (dua) macam perlakuan (minyak hasil penggorengan singkong dan daging) dan 4 (empat) kali pengulangan dengan suhu 200°C. Penelitian dilakukan di laboratorium Gizi Kesehatan Masyarakat FKM-UI serta laboratorium terpadu IPB, Bogor.

Bahan, alat dan cara kerja: a) Sampel yang digunakan

dalam penelitian ini adalah minyak goreng komersil merk ’B’ yang diperoleh dari supermarket, serta bahan makanan yang digoreng adalah singkong dan daging yang dipotong dengan ukuran/porsi seperti yang dijajakan oleh pedagang makanan (50 gram); b) Bahan kimia yang digunakan adalah larutan standar, larutan NaOH dalam metanol, larutan BF3, larutan NaCl jenuh, Na2SO4 anhidrat dan heksana.

(3)

Peralatan yang digunakan adalah: (1) Ketel penggorengan terbuat dari aluminium dan pengaduk kayu; (2) Termometer (alat pengukur suhu minyak pada saat menggoreng bahan makanan); (3) Peralatan Gas Chromatography (GC) merk Shimadzu GC-17a, 007 series bonded phase fused silica capillary column no.020711a. Alat ini untuk memisahkan konfigurasi asam lemak cis dan trans [6]. Komponen dipisahkan dengan cara diuapkan, dibawa oleh gas inert dan dilewatkan melalui sebuah kolom/fase diam yang berupa zat padat atau cairan yang tidak mudah menguap yang melekat pada bahan pendukung inert. Jenis kolom: Cyanopropil methyl sil (capillary column); dimensi kolom: p = 60 m; Ã` dalam = 0,25 mm, 0,25 î ¼ Film Tickness.

Proses menggoreng dimulai dengan memasukkan minyak goreng segar ke dalam ketel penggorengan sebanyak + 1 liter, kemudian ketel dipanaskan hingga suhu mencapai yang diinginkan yaitu 200oC (menggunakan alat termometer), kemudian bahan makanan digoreng hingga matang dan diupayakan sejarang mungkin melakukan pengadukan untuk mengurangi aliran konveksi dalam minyak dan reaksi oksidasi akibat terjadinya proses aerasi [7, 8].

Identifikasi terhadap komposisi asam lemak dilakukan pada 2 (dua) sampel yaitu minyak hasil gorengan singkong dan minyak hasil gorengan daging. Faktor yang membedakan adalah pengulangan penggorengan dan lama proses menggoreng. Minyak yang digunakan untuk pengulangan adalah minyak yang sama (tidak diganti dan tidak dilakukan penambahan volume minyak segar). Waktu yang dipakai untuk menggoreng singkong yaitu: pengulangan pertama dengan waktu penggorengan 15 dan 30 menit (sampel A dan B). Pengulangan ke-2 dengan waktu penggorengan 15 dan 30 menit (sampel C dan D). Pengulangan ke-3 dengan waktu penggorengan 15 dan 30 menit (sampel E dan F). Pengulangan ke-4 dengan waktu penggorengan 15 dan 30 menit (sampel G dan H).

Sedangkan waktu yang dipakai untuk menggoreng daging lebih pendek yaitu sekitar 4 menit (dengan 2 kali pengulangan, masing-masing selama 2 menit), karena daging sudah dalam keadaan precooked. Pengulangan pertama dengan waktu penggorengan @ 2 menit (sampel A’ dan B’). Pengulangan ke-2 dengan waktu penggorengan @ 2 menit (sampel C’ dan D’). Pengulangan ke-3 dengan waktu penggorengan @ 2 menit (sampel E’ dan F’). Pengulangan ke-4 dengan waktu penggorengan @ 2 menit (sampel G’ dan H’). Jumlah total sampel/minyak perlakuan adalah 16 sampel. Tiap perlakuan terdiri dari 4 (empat) kali pengulangan dan tiap pengulangan sebanyak 2 (dua) sampel minyak. Sampel minyak diambil langsung setelah proses penggorengan, kemudian minyak dalam

ketel didiamkan hingga dingin dan dilanjutkan penggorengan berikutnya.

Pengukuran suhu minyak dengan termometer dimaksudkan untuk menjaga agar suhu minyak konstan, dan waktu mulai dihitung jika suhu sudah mencapai 200oC (selama 15 dan 30 menit untuk singkong sedangkan untuk daging selama 2 menit). Analisis mutu minyak goreng dilakukan di laboratorium, berdasarkan parameter kadar asam lemak trans yang terbentuk dan kadar asam oleat (cis) dari minyak.

Cara pengukuran asam lemak dalam minyak:

a. Preparasi sampel (hidrolisis dan esterifikasi). Pertama, sampel minyak ditimbang dalam tabung bertutup teflon, kemudian ditambahkan 1 ml NaOH 0,5 N dalam metanol dan dipanaskan dalam penangas air selama 20 menit.

b. Selanjutnya ditambahkan 2 ml BF3 16% dan 5 mg/ml standar internal dan dipanaskan lagi selama 20 menit. Setelah dingin, ditambahkan 2 ml NaCl jenuh dan 1 ml heksana. Lapisan heksana dipisahkan dan dimasukkan ke dalam tabung yang berisi 0,1 g Na2SO4 anhidrat dan dibiarkan selama 15 menit. Fase cair dipisahkan dan diinjeksikan ke kromatografi gas.

c. Analisis komponen asam lemak, sebagai FAME dengan alat kromatografi gas, kolom cyanopril methyl sil (capilary column). Kondisi alat diatur sebagai berikut: dimensi kolom (p = 60 m; Ã` dalam = 0,25 mm, 0,25 î ¼ Film Tickness); laju alir N2: 20 mL/menit; laju alir H2:30 mL/menit; laju alir udara:200 †“ 250 mL/menit; suhu injektor: 200 ÂoC; suhu detektor: 230 ÂoC; suhu kolom: program temperature (kolom temperatur: awal 190oC diam 15 menit, akhir 2300C diam 20 menit dan rate 100C/menit); ratio = 1:8; inject volum: 1 î ¼L; linier velocity: 20 cm/sec.

d. Analisis dimulai dari injeksi pelarut (1 ÂμL) ke dalam kolom untuk memperoleh baseline, kemudian dilanjutkan dengan menginjeksi 5 ÂμL campuran standar FAME. Bila semua puncak sudah keluar baru kemudian sampel diinjeksikan sebanyak 5 ÂμL. Waktu retensi dan puncak sampel diukur untuk masing-masing komponen dibandingkan dengan standar dan dihitung dengan cara sebagai berikut:

Cx = Ax . R Cs As keterangan:

Cx : Konsentrasi komponen X Cs : Konsentrasi standar internal Ax : Luas puncak komponen X As : Luas puncak standar internal R : Respon

(4)

3. Hasil dan Pembahasan

Uji asam lemak trans pada minyak goreng (setelah menggoreng singkong). Tabel 1 menunjukkan

kandungan asam oleat pada minyak segar (sebelum digunakan dalam proses menggoreng) yaitu sebesar 41,35%b/

b.Setelah minyak dipakai untuk menggoreng singkong terlihat penurunan kadar asam oleat (sampel A, B dan C), tetapi belum tampak adanya pembentukan asam lemak trans. Asam lemak trans baru terbentuk setelah minyak dipanaskan pada pengulangan ke-2 dengan waktu 30 menit yaitu sebesar 0,37%b/

b (sampel D). Jumlah asam lemak trans (elaidat) ini meningkat sejalan dengan pengulangan ke-3 dan ke-4 serta penambahan waktu menggoreng (sampel E, F, G dan H).

Reaksi oksidasi terhadap asam oleat (bentuk cis) menyebabkan terbentuknya isomer trans (asam elaidat). Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan adanya asosiasi negatif antara asam elaidat dan asam oleat (r = -0,8; p = 0,016), artinya penurunan kadar asam oleat (cis) diikuti dengan peningkatan kadar asam elaidat (trans). Hasil penelitian ini juga membuktikan bahwa pengulangan penggunaan minyak goreng kemungkinan dapat menyebabkan adanya kandungan asam lemak trans pada makanan yang digoreng. Walaupun jenis bahan baku makanan tersebut bukan berasal dari kelompok ruminansia. Hal ini karena terjadinya penyerapan minyak oleh bahan makanan selama proses penggorengan.

Uji asam lemak trans pada minyak goreng (setelah menggoreng daging sapi). Seperti halnya proses

menggoreng singkong, asam lemak trans belum terbentuk saat minyak pertama kali digunakan untuk menggoreng daging sapi. Kadar asam oleat (bentuk cis) pada tahap penggorengan awal sebesar 35,94%b/

b (sampel A’). Pembentukan asam lemak trans (asam elaidat) baru terjadi setelah minyak dipanaskan 2 (dua) menit berikutnya yaitu sebesar 0,13%b/b (sampel B’). Jumlah asam elaidat ini meningkat sejalan dengan pengulangan ke-2 dan ke-3 serta menurun pada pengulangan ke-4. Pada sampel E’ terjadi peningkatan kadar asam elaidat yang cukup besar yaitu 1,51% b/b dan kembali menurun pada sampel F’, G’ dan H’. Hasil uji korelasi Pearson antara asam elaidat dan asam oleat menunjukkan bahwa ada asosiasi negatif antara asam elaidat dan asam oleat, walaupun hubungan ini tidak signifikan (r = -0,14; p > 0,05). Peneliti menduga bahwa tidak adanya hubungan antara penurunan asam lemak bentuk cis dan peningkatan asam lemak bentuk trans disebabkan oleh reaksi oksidasi yang tidak saja mengubah bentuk cis menjadi trans, tetapi juga merusak ikatan isomer trans yang sudah ada.

Bentuk isomer dari asam linoleat (cis) adalah asam linolelaidat (C18:2n9t). Pada penelitian ini, tampaknya

asam linolelaidat (trans) hanya terdeteksi pada sampel E’ yaitu sebesar 0,25%b/

b. Tetapi pada proses pengulangan berikutnya tidak lagi terdeteksi adanya jenis asam lemak trans ini.

Tabel 1. Hasil Analisis Asam Elaidat dan Asam Oleat pada Minyak (Setelah Menggoreng Singkong) dalam Berbagai Pengulangan

Pengu-langan Sampel (minyak) Waktu (Menit) Suhu (°C) Asam Elaidat (trans) (C18:1n9t) (%b/b) Asam Oleat (cis) (C18:1n9c) (%b/b) Minyak baru - 41,35 Ke-1 A 15 200 - 37,94 B 30 200 - 39,55 Ke-2 C 15 200 - 41,92 D 30 200 0,37 36,16 Ke-3 E 15 200 0,54 37,22 F 30 200 0,54 36,33 Ke-4 G 15 200 0,66 36,59 H 30 200 0,73 35,69

Keterangan : - = tidak ada ; (r =- 0,8, p =0,016); asam lemak elaidat

(λ) = 23,104 (C18:1n9t)

Tabel 2. Hasil Analisis Asam Elaidat dan Asam Oleat pada Minyak (Setelah Menggoreng Daging Sapi) dalam Berbagai Pengulangan

Pengulangan Sampel (minyak) Waktu (menit) Suhu (°C) Asam Elaidat (trans) (C18:1n9t) (%b/b) Asam Oleat (cis) (C18:1n9c) (%b/b) Ke-1 A’ 2 200 - 35,94 B’ 2 200 0,13 40,72 Ke-2 C’ 2 200 0,90 37,08 D’ 2 200 0,85 35,79 Ke-3 E’ 2 200 1,51 27,92 F’ 2 200 1,17 35,99 Ke-4 G’ 2 200 1,36 37,81 H’ 2 200 1,20 36,80

Keterangan : - = tidak ada; (r=- 0,14, p=0,736); asam lemak elaidat

(λ) = 23,104 (C18:1n9t)

Gambar 1. Hasil Analisis Asam Lemak pada Minyak Goreng Menggunakan Gas Chromatography, Kolom Cyanopril Methyl Sil (Capilary Column)

(5)

Kadar asam lemak trans yang cenderung turun naik pada minyak hasil menggoreng daging, kemungkinan disebabkan asam lemak tak jenuh yang terdapat dalam daging mengalami pemecahan ikatan rangkap (asam oleat, linoleat dan linolenat) serta terjadi isomerisasi, sehingga terlihat kadar asam elaidat (trans) tertinggi pada sampel E’, diikuti dengan penurunan kadar oleat (terendah). Jadi pembentukan asam lemak trans (C18:1n9t dan C18:2n9t) kemungkinan tidak saja berasal

dari asam lemak cis pada minyak yang mengalami isomerisasi, tetapi juga berasal dari asam lemak trans yang secara alamiah sudah terdapat dalam daging sapi (ruminansia), yang kemudian selama proses penggorengan terjadi pelarutan asam lemak trans dari komponen daging yang digoreng tersebut. Daging yang sebelum digoreng mengandung 2,2 %b/b asam elaidat. Pada saat menggoreng daging, waktu yang dibutuhkan relatif lebih singkat dibandingkan dengan saat menggoreng singkong. Hal ini disebabkan karena daging tersebut sudah dalam keadaan pre-cooked, sehingga waktu untuk menjadi matang relatif lebih pendek [10].

Proses menggoreng dengan cara deep frying dan pengulangan dapat menyebabkan terjadinya isomerisasi geometri dan posisi [2]

. Perubahan kecil terhadap suhu

pemanasan sangat mempengaruhi proses pembentukan isomer geometri dari cis menjadi trans yang lebih stabil, hal ini ditandai dengan perubahan kecepatan reaksi dan energi aktivasi pembentukan isomer [11].

Pada penelitian ini, asam lemak trans yang terbentuk adalah asam elaidat sebagai hasil oksidasi terhadap asam oleat (C18:1 cis). Sedangkan hasil reaksi oksidasi asam linoleat (C18:2 cis) adalah campuran konyugasi antara 9- dan 13- diene hydroperoxides kemudian mengalami isomerisasi geometrik membentuk trans isomer yaitu asam linolelaidat (C18:2 trans)[6]. Pemanasan minyak terputus (dipanaskan-didinginkan-dipanaskan) selama beberapa hari menyebabkan destruksi makin cepat dan mengalami dekomposisi, bila kemudian didinginkan (malam hari) akan menyebabkan dekomposisi pada saat minyak dipanaskan kembali. Minyak goreng yang digunakan lebih dari 4 (empat) kali pemanasan akan mengalami oksidasi (reaksi dengan udara) yang ditandai dengan terbentuknya peroksida [11] .

Umumnya kerusakan oksidasi terjadi pada asam lemak tak jenuh (memiliki ikatan rangkap), tetapi bila minyak dipanaskan suhu 100oC atau lebih, asam lemak jenuhpun dapat teroksidasi. Proses menggoreng pada suhu 200oC lebih memudahkan kerusakan berupa reaksi oksidasi terutama pada minyak dengan derajat ketidakjenuhan tinggi [5]. Ketaren menyebutkan bahwa

kerusakan minyak diakibatkan oleh proses penggorengan pada suhu tinggi (200-250oC) [2].

Penelitian yang dilakukan oleh Ananta menyebutkan bahwa semua asam lemak esensial mudah rusak oleh reaksi oksidasi dan pemanasan [10]. Pada suhu tinggi, asam linoleat dapat mengalami polimerisasi serta terbentuk asam lemak rantai pendek [7]. Kerusakan minyak setelah proses deep frying tergantung dari jenis minyak, mutu minyak goreng segar serta perlakuan terhadap minyak ulangan. Minyak yang telah rusak tidak hanya memberikan efek negatif bagi gizi dan kesehatan tetapi juga berdampak pada tekstur dan rasa makanan yang dihasilkan [1].

4. Kesimpulan

Simpulan. Setelah proses menggoreng dengan cara

deep frying (suhu tinggi dan waktu yang lama) terlihat adanya hubungan terbalik antara kadar asam lemak elaidat (trans) dan asam oleat (cis) dengan nilai p <0,05. Pembentukan asam lemak trans terjadi setelah proses penggorengan minyak pada pengulangan kedua.

Saran. Jika dilihat dari awal terbentuknya asam lemak

trans, sebaiknya proses menggoreng dilakukan dengan api sedang (< 200oC) dan minyak goreng yang digunakan sebaiknya tidak melebihi 2 (dua) kali pengulangan. Sebagai kelanjutan dari penelitian ini, dapat dilakukan analisa kandungan asam lemak trans pada produk makanan gorengan dan makanan lainnya yang mengandung trans dan sering dikonsumsi oleh sebagian besar anggota masyarakat.

Daftar Acuan

[1] A. Khomsan, Pangan dan Gizi untuk Kesehatan, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, p. 47-53. [2] S. Ketaren, Pengantar Teknologi Minyak dan

Lemak Pangan, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta, 1986, p.61-143.

[3] N.N. Puspitasari, Bul.Tek dan Industri Pangan. 1996; 7: 84-94.

[4] P.A. Mayes, Biosintesis Asam Lemak. Biokimia, in: R.K. Murray, D.K. Granner, P.A. Mayes (Eds.), A. Hartono (alih bahasa), Penerbit EGC Kedokteran, Jakarta, 2003, p.217-281.

[5] S. Stender, D. Jorn, The Influence of Trans Fatty Acids on Health, A Report From The Danish Nutrition Council, 4th ed., The Danish Nutrition, 2003.

[6] O.R. Fennema (Ed), Food Chemistry, 3rd ed., Marcel Dekker, Inc., New York. USA, 1996. [7] G.A. Jacobson, Quality Control of Commercial

Deep Fat Frying, Chemistry & Technology of Deep Fat Frying, Food Technology Symposium, 1967, p.42-48.

(6)

[8] C.J. Robertson, The Practice of Deep Fat Frying Chemistry & Technology of Deep Fat Frying, Food Technology Symposium 1967 p. 34-36.

[9] T.P. Pantzaris, Palm Oil in Frying, Frying of Food: Oxidation, Nutrient and Non-Nutrient Antioxidants, Biologically Active Compounds and High Temperatures, Boskou and Ibrahim E. (Eds.), Technomic Publishing Company, Inc., Pennsylvania. USA, 1999.

[10] L.D. Joeliani, Skripsi Sarjana, Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Indonesia, 1996.

[11] C.M. Ananta, Skripsi Sarjana, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Indonesia, 1991.

Gambar

Gambar 1.  Struktur  Kimia  dari  Cis-Asam Lemak Tak  Jenuh (Asam Oleat), Trans-Asam Lemak Tak  Jenuh (Asam Elaidat) Dibandingkan dengan  Asam Lemak Jenuh (Asam Stearat) [9]
Tabel 2. Hasil Analisis Asam Elaidat dan Asam Oleat pada  Minyak (Setelah Menggoreng Daging Sapi)  dalam Berbagai Pengulangan

Referensi

Dokumen terkait

Kedua, baitulmal menjadi ahli waris jika terorganisasi. Dengan demikian, jika seorang muslim meninggal dunia tidak memiliki ahli waris sama sekali, harta peninggalan

Dari hasil perhitungan tersebut terbukti bahwa ada hubungan negatif antara gaya hidup konsumtif dengan keputusan pembelian pada pelanggan toko emas di kawasan

Berdasarkan hasil dari penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa ankle strategy exercise memilik manfaat terhadap keseimbangan statis pada lansia di

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan(P&lt;0.05), terhadap warna keju cottage, tetapi tidak memberikan perbedaan yang nyata terhadap,

Latar belakang penelitian ini berdasrkan pada keadaan di Indonesia saat ini yang masih krisis moral dan sikap karena masih kurangnya akan pendidikan sikap dan sikap dalam

Sebagai contoh pada lahan rawa pasang surut tipe A dan B yang didominasi sebagian besar oleh tanah salin dan sulfat masam, maka petani dapat menggunakan varietas padi

Pada pembahasan ini kita akan membahas bagaimana Arthur Andersen, dahulu satu dari Big 5 kantor akuntan publik di dunia, melanggar hak para pengguna laporan keuangan Enron

Klon kelapa sawit yang dihasilkan dari teknik kultur jaringan pada umumnya terjadi perubahan 10-40% ke arah abnormalitas pada organ reproduktif yaitu bunga dan buah yang