• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. terus meningkat. Pada tahun 2013 data dari UNODC (United Nation Office on

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. terus meningkat. Pada tahun 2013 data dari UNODC (United Nation Office on"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

1

A. Latar Belakang

Penyalahgunaan narkotika dari tahun ke tahun memiliki prevalensi yang terus meningkat. Pada tahun 2013 data dari UNODC (United Nation Office on Drugs and Crime) menunjukkan bahwa 246 juta atau setiap 1 dari 20 orang penduduk dunia usia 15 sampai dengan 64 tahun menyalahgunakan narkotika. Sementara itu, di Indonesia, hasil survei yang dilakukan oleh BNN (Badan Narkotika Nasional) dan Puslitkes (Pusat Penelitian Kesehatan) UI tahun 2008 diperoleh angka prevalensi mencapai 1,9% dan pada tahun 2011 meningkat hingga 2,2% atau lebih kurang 4 juta penduduk Indonesia usia 10 sampai dengan 60 tahun sebagai penyalah guna narkotika. Berdasarkan data studi tahun 2008 dan 2011 tersebut, hasil proyeksi penghitungan jumlah pecandu narkoba di Indonesia pada tahun 2014 diperkirakan sudah mencapai 3,8 juta sampai 4,1 juta orang atau sekitar 2,10% sampai 2,25% dari total seluruh penduduk Indonesia (BNN & Puslitkes UI dalam Poernamasasi, 2014; UNODC, 2015).

Meningkatnya populasi pecandu narkoba membuat pemerintah perlu mengambil langkah yang tepat untuk menurunkan jumlah pecandu dan menyelamatkan pecandu narkoba. Upaya tersebut ditindaklanjuti dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika yang mengamanatkan pencegahan, perlindungan, dan penyelamatan bangsa Indonesia dari penyalahgunaan narkotika serta menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis

(2)

dan sosial bagi pecandu, pada Pasal 54 disebutkan bahwa “korban penyalahgunaan dan pecandu narkotika wajib direhabilitasi”.

Kehadiran Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 yang menyampaikan pesan bahwa program rehabilitasi merupakan hal yang penting bagi penyembuhan individu sebagai pecandu narkoba. Ketika dalam program rehabilitasi, gaya hidup yang baru, prinsip-prinsip hidup, tatanan nilai, dan strategi koping diajarkan kepada pecandu untuk digunakan menghadapi kecanduannya terhadap narkoba. Namun, tetap saja upaya untuk rehabilitasi para pecandu narkoba bukanlah perkara yang mudah, karena kebanyakan dari pecandu yang telah selesai menjalani program rehabilitasi selalu berakhir dengan memakai kembali narkoba setelah para pecandu tersebut dikembalikan ke masyarakat. Berdasarkan data dari RSKO (Rumah Sakit Ketergantungan Obat), dari keseluruhan jumlah pecandu yang mendapatkan rehabilitasi dalam kurun waktu lima tahun antara tahun 2009 hingga 2013 separuhnya adalah pecandu lama (RSKO dalam Prasetyo & Utami, 2014). Hal ini menunjukkan bahwa masalah ketergantungan narkoba bukan hanya masalah fisik semata, melainkan juga masalah psikologis (Orbon, 2013). Ketergantungan narkoba sebagai masalah psikologis mungkin menjadi penjelasan yang masuk akal tentang banyaknya pecandu lama yang kembali memakai narkoba, meskipun sudah berkali-kali mendapat rehabilitasi.

Sebagian dari pecandu narkoba yang lama adalah pecandu narkoba yang mengalami kambuh. Pecandu kambuhan biasanya sudah berhenti mengkonsumsi narkoba tetapi kemudian kembali lagi menjadi pengguna narkoba. Kambuh dalam dunia adiksi disebut dengan istilah relapse yang merujuk kepada situasi ketika

(3)

mantan pengguna narkoba yang sudah sempat “bersih” mulai kembali lagi menggunakan narkoba (BNN, 2006). Data kedatangan pecandu narkoba di Balai Besar Rehabilitasi BNN pada tahun 2013 menunjukkan bahwa perbandingan pecandu lama dan baru adalah 1 berbanding 7 yang berarti bahwa 14,28% dari pecandu yang masuk ke Balai Besar Rehabilitasi BNN di tahun 2013 merupakan pecandu lama yang mengalami relapse. Berdasarkan riset yang dilakukan terhadap pecandu narkoba yang pernah direhabilitasi, ditemukan bahwa 90% diantaranya mengalami relapse (Tanpas, Sulastiana, & Suryaputra, 2014).

Berkaitan dengan relapse, wawancara yang dilakukan oleh Veronida (2002) dengan beberapa pecandu narkoba, menunjukkan bahwa salah satu aspek dalam kepribadian, yaitu penilaian atau penghargaan pecandu terhadap diri sendiri, menjadi salah satu hal yang memiliki kaitan dengan motivasi seorang pecandu untuk melepaskan diri dari ketergantungan terhadap narkoba diluar aspek-aspek lainnya seperti hubungan dengan keluarga dan teman sebaya. Penilaian atau penghargaan diri yang dibuat oleh individu disebut sebagai self esteem dan hal ini merupakan aspek yang sangat penting untuk ketahanan psikologis individu (McKay & Fanning, 2000).

Selain itu, De Leon (2000) juga mengungkapkan bahwa self esteem yang rendah merupakan karakteristik yang sangat melekat pada pecandu narkoba, termasuk pecandu yang berada dalam program rehabilitasi yang berbasis therapeutic community, yaitu suatu metode rehabilitasi sosial yang ditujukan kepada korban penyalahguna dan ketergantungan terhadap narkoba berdasarkan pendekatan behavioral dan juga kelompok untuk mengubah perilaku (De Leon,

(4)

2000). Dalam rehabilitasi berbasis therapeutic community, karakteristik negatif pada pecandu seperti self esteem yang rendah serta karakteristik lainnya berusaha diminimalkan dan diubah. Namun, keberjalanan dari therapeutic community di Indonesia masih perlu peningkatan agar hasil yang diperoleh menjadi lebih optimal bagi pemulihan pecandu narkoba karena therapeutic community di Indonesia masih terfokus pada ranah mengubah perilaku pecandu. Sedangkan kajian terbaru dari therapeutic community oleh Magor dan Blacth (2009) di Australia menyebutkan bahwa perkembangan therapeutic community di negara tersebut sudah sampai pada model therapeutic community dengan pendekatan sosial-kognitif, yang selain mengubah perilaku juga terlibat dalam menghadirkan pola pikir baru bagi pecandu agar mereka mampu melakukan adaptasi secara optimal setelah dilepas kembali ke masyarakat.

Salah satu lembaga negara di Indonesia yang memiliki peranan untuk mengembangkan therapeutic community bagi pecandu narkoba adalah Balai Besar Rehabilitasi BNN Lido, Bogor. Sebagai satu-satunya lembaga negara yang menangani langsung rehabilitasi pecandu narkoba, Balai Besar Rehabilitasi BNN telah memberikan berbagai macam intervensi ataupun pelatihan tambahan guna mengoptimalkan proses pemulihan para pecandu narkoba. Salah satu hal yang dilakukan adalah dengan memberikan terapi edukasi dalam bentuk pelatihan dan motivasi secara rutin kepada para pecandu yang direhabilitasi, disamping pemberian terapi keluarga dan hipnoterapi. Peneliti pun sebelumnya pernah memberikan pelatihan kepada para pecandu di program rehabilitasi Balai Besar Rehabilitasi BNN Lido, Bogor dengan topik “Perencanaan Masa Depan” dan dari

(5)

sanalah peneliti merasa bahwa secara umum para pecandu masih memiliki ekspektasi yang rendah akan masa depannya dan tidak percaya diri dengan kondisinya sebagai pecandu narkoba. Pecandu cenderung memiliki pandangan negatif tentang dirinya bahkan ada pecandu yang sampai berkata bahwa, “saya sudah tidak memiliki masa depan lagi”, ketika mengikuti sesi pelatihan perencanaan masa depan yang pernah diberikan oleh peneliti.

Selain itu, dalam sharing yang dilakukan peneliti dengan staf bagian psikologi Balai Besar Rehabilitasi BNN diketahui bahwa banyak pecandu yang awalnya sudah memiliki sikap dan perilaku positif ketika mengikuti program rehabilitasi yang disebut sebagai program primary, namun ketika masuk ke program re-entry yaitu kelanjutan dari program primary untuk mempersiapkan pecandu kembali ke masyarakat yang ditunjukan untuk pecandu narkoba dengan akumulasi penggunaan lebih dari 5 tahun, berbagai macam perilaku negatif mulai muncul kembali, seperti misalnya mulai acuh dengan lingkungan dan gaya berpakaian yang mulai glamour serta tidak sesuai dengan aturan. Berdasarkan hal tersebut, peneliti berusaha mendalami tentang alasan dari pecandu menampakkan perilaku seperti itu lewat kajian literatur dan peneliti menduga bahwa hal tersebut terjadi karena pecandu memiliki penilaian diri yang negatif atau dengan kata lain self esteem yang rendah.

Individu dengan self esteem yang rendah merupakan individu yang kehilangan kepercayaan diri dan tidak mampu menilai kemampuan diri. Rendahnya penghargaan diri mengakibatkan individu tidak mampu mengekspresikan dirinya di lingkungan sosial. Individu dengan self esteem yang rendah juga memiliki

(6)

kecenderungan untuk membatasi kemampuan diri dalam: bersikap terbuka pada orang lain, mendengarkan kritik, meminta bantuan, dan pemecahan masalah (McKay & Fanning, 2000). Sebaliknya individu dengan self esteem yang tinggi merupakan individu yang puas atas karakter diri (hal-hal positif dan negatif dalam diri), menerima dan memberikan penghargaan positif terhadap diri sehingga akan menumbuhkan rasa aman dalam menyesuaikan diri atau bereaksi terhadap stimulus dari lingkungan sosial. Individu dengan self esteem yang tinggi mengharapkan masukan atau bahkan kritik dari orang lain untuk menilai dirinya. Individu dengan self esteem yang tinggi cenderung aktif serta tidak mengalami kesulitan untuk membina persahabatan dan mampu mengekspresikan pendapatnya (Candraresmi, 2000; McKay & Fanning, 2000).

Tinggi ataupun rendahnya self esteem individu pada dasarnya merupakan hasil dari interaksi individu di dalam keluarga. Hal ini dapat dilihat dalam kumpulan kasus “Freedom From Bondage” yang diambil dari Bigbook of AA (Bigbook of Alcoholics Anonymous) yang menjelaskan tentang penyiksaan dan penelantara yang dilakukan oleh orangtua atau orang terdekat dari anak berdampak kepada aspek diri (self) dari anak yang kemudian memicu permasalahan dalam perkembangan anak, terutama pada kasus-kasus adiksi alkohol dan narkoba (Kauppila, 2006). Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa salah satu hal krusial dalam kaitannya dengan perilaku adiksi dan perkembangan individu adalah self esteem yang terbentuk di dalam keluarga ketika masih kanak-kanak.

Coopersmith dan Gecas (dalam Mruk, 2006) menyebutkan bahwa keterlibatan orangtua merupakan faktor utama yang menjadi fokus dari kajian self

(7)

esteem. Dukungan dari seorang ibu memiliki korelasi terhadap perkembangan rasa harga diri pada anak, dan dukungan dari ayah lebih mengarah kepada perkembangan kompetensi pada anak. Burger (dalam Mruk, 2006) juga menambahkan bahwa orangtua yang memiliki relasi positif dengan anaknya memberikan lebih banyak dukungan positif pada perkembangan self esteem anak daripada orangtua yang jarang menghabiskan waktu bersama anaknya. Jadi, anak dengan orangtua yang jarang melakukan aktivitas bersama lebih cenderung memiliki self esteem yang rendah dalam perkembangannya (Mruk, 2006). Selain itu, penerimaan orangtua terhadap anak juga memiliki pengaruh dalam menghasilkan tinggi rendahnya self esteem pada anak. Orangtua yang menerima kelebihan, kelemahan, potensi, dan keterbatasan anaknya akan membuat anak menjadi lebih percaya diri dan mengembangkan self esteem yang tinggi serta lebih positif daripada orangtua yang terlalu menuntut anaknya untuk menjadi seperti yang diharapkan (Mruk, 2006).

Sehubungan dengan masalah penerimaan dari orangtua, Kernis (dalam Mruk, 2006) menyebutkan bahwa ketika komponen penerimaan dari orangtua tidak diperoleh individu, maka individu tersebut mengalami defisit dalam hal penerimaan, kasih sayang, dan bahkan kelekatan dengan orang lain, serta dalam perkembangannya individu tersebut akan lebih mendasarkan harga dirinya kepada faktor dari luar diri daripada hal-hal yang ada dalam dirinya. Faktor luar yang dimaksud seperti misalnya prestasi akademik, namun ketika prestasi kademik yang menjadi target dari individu tidak tercapai, maka individu tersebut akan menderita kehilangan yang berat dan fatal sehingga memicu perasaan marah, cemas, stres dan

(8)

depresi, serta perasaan mengganggu lainnya. Untuk mengkompensasi kehilangan tersebut, maka salah satu hal yang menjadi pelarian individu adalah dengan menggunakan narkoba (Volkow, 2013).

Hubungan antara self esteem yang rendah dengan penggunaan narkoba juga tampak dalam penelitian yang dilakukan oleh Sheilarina (2012) yang menunjukkan bahwa memang ada rasa rendah diri pada mantan pecandu narkoba yang terlihat dari sikap penarikan diri yang dilakukan oleh mantan pecandu terhadap dunia luar, dan nampak dari perilaku mantan pecandu yang beranggapan bahwa masyarakat memandang negatif dengan keadaan mantan pencandu sendiri atau adanya diskriminasi terhadap para pecandu narkoba. Selain itu, dalam masyarakat sering muncul pandangan negatif terhadap pecandu narkoba seperti adanya anggapan bahwa pecandu adalah penipu dan pencuri sehingga masyarakat sering memperlakukan pecandu sebagai kriminal dan merasa pesimis bahwa pecandu narkoba dapat berubah menjadi individu yang baik (Candraresmi, 2000), pandangan masyarakat yang demikian mungkin akan membuat pecandu narkoba semakin memiliki penilaian negatif tentang dirinya yang akan menurunkan self esteem dari pecandu tersebut (Sheilarina, 2012). Tidak hanya sebatas itu, self esteem yang rendah dari pecandu narkoba juga berimbas pada perilaku emosional (mudah marah), rentan mengalami perasaan cemas dan depresi (Lin, Enright, Kranh, Mack & Baskin, 2004).

Perasaan cemas serta depresi dapat menimbulkan keinginan konsekuen untuk kembali menggunakan narkoba (Lin, Enright, Kranh, Mack & Baskin, 2004) atau dengan kata lain dapat menyebabkan relapse. Menurut Volkow (2014) secara

(9)

umum, individu pecandu menggunakan narkoba karena beberapa alasan, yaitu: 1) to feel good; 2) to feel better; 3) to do better; dan 4) curiosity and “because others are doing it”. To feel good merupakan penggunaan narkoba yang bertujuan untuk menghasilkan perasaan kepuasan yang sifatnya intens. To feel better merupakan penggunaan narkoba dengan tujuan memperoleh pelarian atau perasaan yang lebih baik dari kondisi-kondisi kecemasan sosial, gangguan terkait dengan stres dan depresi. Kemudian, to do better merupakan alasan individu untuk menggunakan narkoba, karena individu tersebut merasa bahwa dengan menggunakan narkoba kemampuan kognitif atau performa fisiknya mengalami peningkatan. Terakhir, curiosity and “others are doing it” merupakan alasan individu untuk menggunakan narkoba karena adanya tekanan dari lingkungan pergaulan teman sebayanya (peer pressure) sehingga individu memiliki dorongan untuk memberikan impresi kepada teman sebayanya bahwa individu tersebut mampu mengikuti pergaulan dan mengekpresikan kemandiriannya dalam dunia sosial. Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa penggunaan narkoba merupakan wujud kompensasi dari perasaan rendah diri yang dirasakan oleh individu agar ia menjadi lebih puas, lebih baik, serta mampu melakukan pekerjaan dengan baik dan mengikuti tuntutan lingkungan maupun pergaulannya (Volkow, 2014).

Salah satu hal yang dapat dilakukan untuk menanggulangi perasaan rendah diri dari pecandu narkoba dan agar pemulihan dapat bertahan lama adalah dengan meningkatkan self esteem dari pecandu. Self esteem dapat ditingkatkan dengan belajar memaafkan (learn to forgive). Penelitian dari Flanagan, Hoek, Ranter, dan Reich (2012) menunjukkan hasil yang signifikan tentang korelasi positif dari

(10)

pemaafan terhadap tingginya tingkat self esteem individu yang menjadi korban bullying oleh teman sebaya. Selain itu, hubungan antara pemaafan dan self esteem juga ditunjukkan oleh hasil studi dari Mansfield, Pasupathi, dan McLean (2015), serta Marshall, Parker, Ciarrochi, Sahdra, Jackson, dan Heaven (2015) yang juga merupakan studi longitudinal dengan hasil menunjukkan bahwa pemaafan untuk mencapai cinta kasih di dalam diri (self compassion) dapat digunakan sebagai sarana perlindungan terhadap dampak negatif dari rendahnya self esteem individu.

Pemaafan sejatinya merupakan proses (atau hasil dari suatu proses) yang melibatkan perubahan emosi dan sikap terhadap seorang yang dianggap telah berperilaku menyakiti individu (Denmark, et al, 2006). Pemaafan juga merujuk pada suatu kebajikan yang melampau perasaan negatif menuju ke penilaian dan sikap yang lebih positif (Lagaree, Turner, & Lollis, 2007). Bahkan beberapa studi menyebutkan bahwa pemaafan merupakan cahaya positif yang mampu mengantarkan individu kepada tujuan hidup yang lebih berarti seperti cinta, kasih sayang, dan empati (Baharuddin, Amat, Jailani, & Sumari, 2011). Jadi, dapat dikatakan bahwa kemampuan untuk memaafkan merupakan hal yang mampu mengubah sikap rendah diri dari individu sebagai pecandu narkoba menjadi sikap yang positif dan lebih percaya diri sehingga individu tersebut dapat mempertahankan pemulihannya dari adiksi narkoba yang berlangsung sepanjang rentang hidup.

Pelatihan pemaafan merupakan suatu bentuk modifikasi dari terapi pemaafan yang dikemas ke dalam bentuk workshop (seminar, diskusi, dan mengerjakan latihan). Pelatihan pemaafan memiliki dua fokus utama, yaitu:

(11)

pemaafan (forgiveness) dan bersyukur (gratitude) (Orbon, Mercado, & Balila, 2014). Pada bagian pemaafan (forgiveness) hal yang ditanamkan adalah metode untuk manajemen perasaan marah (anger) dan kebencian (resentment), serta belajar memaafkan (learn to forgive) yang meliputi: mencari pemaafan dari Tuhan (spiritual experience), mencari pemaafan dari dalam diri (forgiveness of self), serta mencari dan memberi pemaafan terhadap orang lain (forgiveness of others). Tujuan akhir dari bagian pemaafan (forgiveness) adalah untuk menemukan makna dalam kehidupan pecandu (Lyons, 2012).

Kemudian pada bagian bersyukur (gratitude) hal yang ditanamkan adalah metode untuk memperoleh perilaku positif dan mengurangi perilaku negatif yang dimiliki oleh individu (Fluhler, 2010). Perasaan bersyukur dapat disamakan dengan penyembuhan. Semakin bersyukur seorang pecandu, maka semakin besar kesempatan untuk sembuh dari kecanduannya karena perasaan bersyukur dari pecandu membuatnya tetap melakukan hal yang benar sehingga pecandu tersebut akan mampu “bebas” dari narkoba. Rasa syukur yang dibudayakan setiap hari diperlukan oleh pecandu untuk menghadapi berbagai situasi dalam kehidupannya dengan tenang, mengapresiasi hal kecil dan menikmati kehidupannya (Orbon, Mercado, & Balila, 2014). Pemaafan (forgiveness) dan perasaan bersyukur (gratitude) yang terdapat di dalam pelatihan pemaafan dapat membimbing pecandu narkoba untuk menemukan makna keberadaannya di dunia dan menikmati kehidupannya sehingga akan meningkatkan self esteem yang dimiliki pecandu narkoba.

(12)

Berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik untuk meneliti pengaruh pelatihan pemaafan terhadap peningkatan self esteem dari pecandu narkoba di program re-entry Balai Besar Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional (BNN) Lido, Bogor. Selain itu, peneliti tertarik dengan topik penelitian ini karena menurut peneliti pelatihan pemaafan merupakan salah satu usulan yang bisa ditunjukkan untuk program re-entry dalam rangka mengoptimalkan proses pemulihan pecandu narkoba.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas maka dirumuskan masalah penelitian ini adalah “Apakah ada pengaruh pelatihan pemaafan terhadap peningkatan self esteem pecandu narkoba di program re-entry Balai Besar Rehabilitasi BNN?”

C. Tujuan

Tujuan dilaksanakannya penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pelatihan pemaafan terhadap peningkatan self esteem pecandu narkoba di program re-entry Balai Besar Rehabilitasi BNN.

(13)

D. Manfaat

Adapun manfaat dilaksanakannya penelitian ini adalah: 1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pengetahuan bagi ilmu psikologi, terutama dalam bidang psikologi klinis dan sosial yang mengkaji tentang peningkatan self esteem pada pecandu narkoba dengan memberikan pelatihan pemaafan.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi pecandu narkoba yang berada pada masa rehabilitasi

Para pecandu yang berada pada masa rehabilitasi, khususnya fase akhir dari program rehabilitasi diharapkan mampu memiliki sikap pemaaf, baik kepada dirinya sendiri maupun kepada orang lain dan berani mencari pemaafan dari orang-orang yang pernah mereka sakiti ketika masih memakai narkoba sehingga dapat meningkatkan self esteem dari pecandu tersebut.

b. Bagi keluarga pecandu narkoba

Memberikan pengetahuan tentang betapa pentingnya peran keluarga dalam membantu meningkatkan self esteem dari pecandu narkoba. Modul pelatihan pemaafan dalam penelitian ini juga dapat dijadikan pedoman bagi keluarga untuk terus mengajak pecandu mempraktekkan pemaafan dalam kehidupan sehari-hari guna mempertahankan pemulihan pecandu ketika kembali ke keluarga.

(14)

c. Bagi lembaga penyelenggara rehabilitasi narkoba

Memberikan masukkan kepada lembaga penyelenggara rehabilitasi narkoba untuk menggunakan pelatihan dan mengembangkan pelatihan pemaafan sebagai pelengkap dari program-program rehabilitasi yang diberikan sehingga menghasilkan pemulihan yang lebih tahan lama bagi para pecandu.

d. Bagi peneliti lain

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi penelitian selanjutnya yang membahas tentang self esteem pada pecandu narkoba yang berada dalam fase akhir dari program rehabilitasi.

Referensi

Dokumen terkait

Misalnya, jika manajer sebuah perusahaan cenderung menggunakan kelebihan uang tunai untuk melakukan akuisisi value- destroying, maka pendekatan kami

a) Memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk meningkatkan kemampuan sebagai praktisi dalam pemecahan masalah kesehatan. b) Memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk

Untuk itu Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Wakatobi memcoba melakukan riset tentang Perilaku Memilih (Voting Behaviour) pada Pemilihan Umum Legislatif tahun 2014

Nilai kini kewajiban imbalan pasti ditentukan dengan mendiskontokan estimasi arus kas di masa depan dengan menggunakan tingkat bunga obligasi pemerintah (dikarenakan tidak

Disamping dapat mengadukan kerugian yang dideritanya kepada Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia, pihak yang dirugikan atas kesalahan pelayanan dokter juga

Proses ini akan menghasilkan hasil dari sebuah klasifikasi pada dokumen rekam medis untuk digunakan proses informasi ekstraksi teks kedalam database yang akan

Tujuan evaluasi unjuk kerja kalibrator torsi statik hasil rancang bangun ini adalah untuk memastikan keberterimaan kalibrator terhadap kriteria atau persyaratan dalam