• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Setiap perusahaan pasti terlibat dalam suatu transaksi. Karena hal tersebut

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Setiap perusahaan pasti terlibat dalam suatu transaksi. Karena hal tersebut"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Setiap perusahaan pasti terlibat dalam suatu transaksi. Karena hal tersebut sejalan dengan kegiatan perusahaan yang secara terus menerus dan tanpa putus serta sifatnya terbuka. Transaksi dilakukan sebagai tempat untuk menampung bertemunya suatu kesepakatan yang disebut perjanjian.1 Salah satu perjanjian yang dilakukan adalah perjanjian kredit. Perjanjian kredit sering digunakan dalam perusahaan untuk memenuhi kekurangan modal perusahaan tersebut sehingga perusahaan dapat melaksanakan kegiatan usahanya.

Perjanjian kredit adalah “perjanjian pokok atau perjanjian induk yang mengatur hak dan kewajiban antara kreditor dan debitor. Kreditor berkewajiban mencairkan pinjaman sebesar pinjaman yang disetujui dan debitor berkewajiban mengembalikan pinjaman sesuai jadwal waktu yang ditetapkan dalam perjanjian kredit.”2

Perjanjian kredit dapat berupa pinjaman kredit dari bank ataupun fasilitas pinjaman dari kreditur. Namun bagi para kreditur khususnya Bank, setiap pemberian kredit atau pinjaman memiliki resiko, walaupun telah dilakukan berbagai analisis secara seksama. Resiko tersebut seperti debitor tidak mampu       

1

Gatot Supramono, Kedudukan Perusahaan Sebagai Subjek Dalam Gugatan Perdata di Pengadilan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), hal. 5. 

2 

(2)

atau karena mengalami kemerosotan usaha yang mengakibatkan berkurangnya pendapatan usaha debitor atau memang debitor sengaja tidak mau membayar karena karakter debitor yang tidak baik. Oleh karena itu perlu pengamanan dalam pengembaliannya. Bentuk pengamanan ini dalam prakteknya dilakukan dalam pemberian garansi/jaminan.3

Keberadaan garansi/jaminan merupakan upaya guna memperkecil risiko, dimana garansi/jaminan adalah sarana perlindungan bagi keamanan kreditur yaitu kepastian hukum akan pelunasan utang debitur atau pelaksanaan suatu prestasi oleh debitur atau oleh penjamin debitur.4 Dalam pemberian garansi/jaminan sendiri dibagi menjadi dua bagian, yaitu pemberian garansi/jaminan yang dilakukan oleh pribadi (personal guarantee) dan pemberian garansi/jaminan yang dilakukan oleh badan hukum (corporate guarantee). Pada dasarnya keduanya memiliki prinsip yang sama, karena baik hak dan kewajiban yang dimiliki pemberi garansi (penjamin) pada kedua jenis penanggungan tersebut identik, hanya saja subjek pelakunya berbeda.5

Pemberian garansi/jaminan yang dilakukan oleh pribadi (personal

guarantee) dan pemberian garansi/jaminan yang dilakukan oleh perusahaan

(corporate guarantee), berupa pernyataan oleh seorang pihak ketiga

(guarantor/penjamin), bahwa debitor dapat dipercaya akan melaksanakan

       3

Megarita, Upaya Mencegah Timbulnya Kredit Bermasalah, Jurnal Hukum USU vol 12 No. 1, Februari 2007, hal. 65. 

4

Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Kebendaan Lain Yang Melekat Pada Tanah dalam Konsep Penerapan Asas Pemisahan Horisontal, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), hal. 23. 

5

(3)

kewajiban yang diperjanjikan. Dengan syarat bahwa apabila debitor tidak melaksanakan kewajibannya maka pihak ketiga itu bersedia untuk melaksanakan kewajiban debitor tersebut. Adanya garansi/jaminan ini, pihak kreditor dapat menuntut kepada penjamin untuk membayar utang debitor bila debitor lalai atau tidak mampu untuk membayar utangnya tersebut.

Ketentuan yang mengatur masalah penjaminan utang diatur dalam Bab ketujuh belas mulai dari Pasal 1820 sampai dengan Pasal 1850 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pasal 1820 KUHPerdata menyatakan bahwa: “Penjamin/Guarantee adalah suatu perjanjian/persetujuan dengan mana seorang pihak ketiga guna kepentingan si berpiutang mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan si berutang manakala orang itu sendiri tidak dapat memenuhinya.”

Perjanjian pemberian garansi/jaminan ini bersifat sukarela dan accesoir. Dikatakan sukarela karena pihak ketiga secara sukarela bersedia mengikatkan dirinya untuk memberikan jaminan bahwa ia akan membayar utangnya kepada debitor, bahkan dapat dilakukan tanpa sepengetahuan debitor.6 Bersifat accesoir

artinya bahwa perjanjian penjaminan utang tidak akan ada tanpa adanya suatu perjanjian pokok,7 Penjaminan juga tidak dapat dilakukan melebihi kewajiban debitor sebagaimana tercantum dalam perjanjian pokok. Hal ini diatur pada Pasal 1822 KUHPerdata.8 Sebagai perjanjian accesoir, eksistensi perjanjian

       6  Pasal 1823 KUHPerdata.  7 Pasal 1821 KUHPerdata.  8

(4)

garansi/jaminan ditentukan oleh ada dan hapusnya perjanjian pendahuluan atau perjanjian pokoknya.

Pada umumnya perjanjian pendahuluan ini berupa perjanjian utang piutang, perjanjian pinjam meminjam uang, perjanjian kredit, atau perjanjian lainnya yang menimbulkan hubungan hukum utang piutang. Kehadiran perjanjian utang piutang tersebut menjadi dasar timbulnya perjanjian garansi/jaminan, atau sebaliknya dengan berakhirnya perjanjian pendahuluan, berakhir pula perjanjian jaminannya. Dalam perjanjian utang piutang, diperjanjikan pula antara debitor dan kreditor bahwa pinjamannya tersebut dibebani pula dengan suatu garansi/jaminan, yang selanjutnya diikuti dengan pengikatan garansi/jaminan, yang dapat berupa pengikatan jaminan kebendaan atau jaminan perseorangan.9

Sebagai perjanjian ikutan, eksistensi perjanjian garansi/jaminan amat tergantung kepada perjanjian pendahuluannya yang menjadi dasar timbulnya pengikatan jaminan. Artinya perjanjian garansi/jaminan dimaksudkan untuk mengubah kedudukan kreditor-kreditornya menjadi kreditor preferent. Akibatnya kreditor akan merasa aman dan memperoleh kepastian atas pelunasan pinjaman yang diberikan olehnya kepada debitor, karena diikuti dengan pemberian garansi/jaminan kepada kreditor. Untuk itulah dikatakan bahwa perjanjian pemberian garansi/jaminan merupakan perjanjian tambahan dari perjanjian

       9

(5)

pendahulunya/perjanjian pokoknya, yaitu perjanjian yang akan lebih memperkuat perjanjian pendahulunya.10

Apabila debitor tidak dapat melaksanakan kewajibannya kepada kreditor maka salah satu sarana hukum yang dapat dipergunakan bagi penyelesaian utang piutang adalah peraturan kepailitan. Pada asasnya setiap kreditur yang tidak terpenuhi piutangnya dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit kepada pengadilan sesuai dengan syarat-syarat yang telah diatur dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.11

Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang mengatur mengenai pemberian garansi (penjaminan). Dalam istilah Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang disebut penanggungan yang diatur dalam Pasal 141, Pasal 164 dan Pasal 165. Dari bunyi pasal-pasal tersebut tidak tertulis bahwa penjamin/guarantor tidak dapat diajukan pernyataan pailit terhadapnya. Hal ini senada dengan ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1820 sampai dengan Pasal 1850 KUHPerdata yang mengatur mengenai pemberian garansi (penjaminan). Pasal 1820 menyatakan bahwa “Penanggungan/penjaminan adalah suatu persetujuan dengan mana seorang pihak ketiga, guna kepentingan kreditor, mengikatkan diri untuk memenuhi perikatannya debitor manakala orang ini sendiri tidak       

10

Ibid., hal. 86-87. 

11

 Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan Memahami Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan,(Jakarta:PT. Pustaka Utama Grafiti, 2009), hal. 26-28. 

(6)

memenuhinya.” Dari ketentuan-ketentuan dalam KUHPerdata itu dapat disimpulkan bahwa penjamin/guarantor adalah juga seorang debitor yang berkewajiban melunasi utang debitor kepada kreditor atau para kreditornya apabila tidak membayar utang yang telah jatuh waktu dan atau dapat ditagih. Oleh karena penjamin/guarantor adalah debitor, maka penjamin/guarantor dapat dinyatakan pailit berdasarkan Undang-Undang Kepailitan.12

Apabila penjamin/guarantor dapat dinyatakan pailit, bagaimana dengan hak istimewa yang dimilikinya berdasarkan ketentuan Pasal 1831 KUHPerdata, yang menyatakan “penjamin tidaklah diwajibkan membayar kepada kreditor, selain jika debitor lalai, sedangkan benda-benda debitor ini harus lebih dahulu disita dan dijual untuk melunasi utangnya”. Hak istimewa ini memungkinkan bahwa kekayaan penjamin/guarantor hanya merupakan cadangan untuk menutup sisa utang yang tidak dapat ditutup dengan kekayaan debitor. Selain hak istimewa tersebut, penjamin/guarantor juga memiliki hak-hak istimewa lain, yaitu hak untuk meminta pemecahan utang apabila terdapat lebih dari satu orang penjamin yang dimuat dalam Pasal 1837 KUHPerdata dan hak dibebaskan dari penjaminan bilamana karena salahnya kreditor, si penjamin tidak dapat menggantikan hak-haknya Hipotik/Hak Tanggungan dan hak-hak istimewa yang dimiliki kreditor sebagaimana dimuat dalam Pasal 1848 dan 1849 KUHPerdata.13

       12

 Ibid., hal.98. 

13

(7)

Tetapi biasanya kreditor akan meminta supaya penjamin melepaskan hak-hak istimewanya tersebut, padahal pemberian hak-hak-hak-hak istimewa tersebut adalah wujud perlindungan Undang-Undang terhadap penjamin/guarantor. Memang dalam hal ini KUHPerdata juga memberikan peluang bagi guarantor/penjamin secara sukarela melepaskan hak istimewanya tersebut, yang memberikan kepada kreditor suatu kedudukan yang lebih menguntungkan. Dalam perkara-perkara kepailitan selama ini, lepasnya hak istimewa dari guarantor/penjamin tersebut kerap menjadi sebab dimohonkannya guarantor/penjamin untuk pailit. Oleh karena itu, masalah dapat atau tidaknya penjamin/guarantor dimintakan pailit harus dikaitkan dengan persoalan, apakah penjamin/guarantor yang bersangkutan sesuai kemungkinan yang diberikan padanya oleh Pasal 1832 KUHPerdata, melepaskan hak istimewa yang dimiliki olehnya sebagai penjamin/guarantor berdasarkan Pasal 1831 KUHPerdata.14

Salah satu contoh pemberian garansi/jaminan yang dilakukan oleh perusahaan (corporate guarantee) adalah pada kasus No. 05/Pailit/1998/PN Niaga, dalam hal ini PT. Ometraco (induk perusahaan) sebagai pemberi garansi

(guarantor) atas utang anak perusahaannya yaitu PT. Ometraco Multi Artha,

karena PT. Ometraco Multi Artha (anak perusahaannya) tersebut lalai, maka PT. Ometraco selaku guarantor yang dalam hal ini melepaskan hak istimewanya dengan mengikatkan dirinya secara tanggung renteng yang tertuang dalam       

14 

Sunarmi, Kedudukan Guarantor Dalam Kepailitan, Majalah Hukum USU vol 8 No. 2, Agustus 2003, hal. 125. 

(8)

perjanjian pemberian garansi/jaminan. Jadi, dalam hal ini PT. Ometraco kedudukannya juga sebagai debitor atas utang anak perusahaannya. Sehingga induk perusahaan bertanggung jawab kepada kreditor terhadap pelunasan utang anak perusahaannya tersebut.

Dalam perusahaan grup (holding company) terdapat induk perusahaan dan anak perusahaan, hubungan hukum yang timbul antara induk perusahaan dengan anak perusahaannya merupakan hubungan antara pemegang saham (induk perusahaan) dengan anak perusahaan. Salah satu fungsi kepemilikan saham induk perusahaan pada anak perusahaan adalah kepemilikan saham pada anak perusahaan memberikan hak suara kepada induk perusahaan untuk mengendalikan anak perusahaan melalui berbagai mekanisme pengendalian yang ada, seperti rapat umum pemegang saham untuk mendukung konstruksi perusahaan grup sebagai kesatuan ekonomi.15

Meskipun dari sudut kegiatan ekonomi perusahaan grup tersebut merupakan suatu kesatuan, namun dari segi yuridis masing-masing perusahaan anggota grup tersebut mempunyai karakteristik tersendiri dalam pengertian bahwa masing-masing perusahaan yang bergabung dalam perusahaan grup adalah merupakan badan-badan hukum yang berdiri sendiri. Apabila salah satu anak perusahaan memperoleh kredit dari kreditor, maka keterikatan secara yuridis

       15

Sulistiowati, Aspek Hukum dan Realitas Bisnis Perusahaan Grup di Indonesia, (Jakarta: Erlangga, 2010), hal. 96.  

(9)

dari induk perusahaan dapat muncul karena sebagai pemegang saham ia ikut bertanggung jawab terhadap pelunasan utang dari kreditor tersebut.16 9 

B. Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan, sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaturan hak istimewa dalam perjanjian pemberian garansi?

2. Bagaimana hubungan hukum antara induk perusahaan dan anak

perusahaan?

3. Bagaimana tanggung jawab induk perusahaan sebagai penjamin/guarantor terhadap kepailitan anak perusahaan dalam perjanjian pemberian garansi?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui pengaturan hak istimewa dalam perjanjian pemberian garansi.

2. Untuk mengetahui hubungan hukum antara induk perusahaan dan anak perusahaan.

3. Untuk mengetahui tanggung jawab induk perusahaan sebagai

penjamin/guarantor terhadap kepailitan anak perusahaan dalam perjanjian pemberian garansi.

       16

(10)

10 

D. Manfaat Penelitian

Selain tujuan-tujuan tersebut di atas, penulisan tesis ini juga diharapkan bermanfaat untuk berbagai hal di antaranya:

1. Secara teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan pemikiran secara teoritis dalam pengembangan ilmu hukum khususnya dalam bidang hukum kepailitan.

2. Secara praktis

Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk:

a. Memberikan sumbangan kepada penegak hukum terutama dalam

menyelesaikan masalah hukum yang berkenaan dengan hukum kepailitan. b. Dengan adanya penelitian ini maka penulis dapat memberikan gambaran

hukum tentang bagaimana hak istimewa dalam perjanjian pemberian garansi oleh induk perusahaan terhadap anak perusahaan dalam kepailitan.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan informasi dan penelusuran yang telah dilakukan oleh penulis di perpustakaan Universitas Sumatera Utara maka diketahui bahwa belum ada penelitian yang serupa dengan apa yang menjadi bidang dan ruang lingkup penelitian ini, yaitu mengenai “Hak Istimewa Dalam Perjanjian Pemberian Garansi Oleh Induk Perusahaan Terhadap Anak Perusahaan Dalam Kepailitan”.

(11)

11 

Akan tetapi ada tesis terdahulu yang menyangkut dengan masalah kepailitan, yaitu:

1. Halida Rahardini, tesis pada tahun 2002 dengan judul “Analisis Hukum Terhadap Tanggung Jawab Direktur Dalam Hal Terjadi Kepailitan Perseroan.”

2. Atmawati, tesis pada tahun 2003 dengan judul “Penyelesaian Utang Piutang Melalui Hukum kepailitan Suatu Antisipasi terhadap Kredit Bermasalah.”

Meskipun demikian, permasalahan dan penyajian dari penelitian ini tidaklah sama dengan penelitian tersebut, Oleh karena itu penelitian ini adalah asli karena sesuai dengan asas-asas keilmuan yaitu jujur, rasional, obyektif, dan terbuka. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka atas masukan serta saran-saran yang membangun sehubungan dengan pendekatan dan perumusan masalah.

F. Kerangka Teori dan Konsep 1. Kerangka Teori

Teori yang dipergunakan dalam membahas permasalahan yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah teori hukum tentang keadilan yang dikemukakan oleh Aristoteles. Teori keadilan dipergunakan karena relevan dengan filosofi dari kepaillitan itu sendiri yakni menciptakan keadilan bagi debitor dan para kreditor. Keadilan menurut Aristoteles adalah peraturan yang

(12)

12 

mampu memelihara keseimbangan antara kepentingan-kepentingan yang dilindungi dimana setiap orang memperoleh sebanyak mungkin yang menjadi bagiannya.17 Aristoteles juga mengemukakan dua macam keadilan yaitu:18

a. Keadilan Distributif adalah keadilan yang memberikan kepada setiap orang jatah menurut jasanya, ia tidak dibenarkan menuntut bagian yang sama banyaknya.

b. Keadilan Komutatif adalah keadilan yang memberikan pada setiap orang sama banyaknya tanpa mengingat jasa-jasa perorangan.

Beliau juga mengatakan keadilan adalah perlakuan yang sama bagi mereka yang sederajat di depan hukum.19 Seseorang berlaku tidak adil apabila orang itu mengambil lebih dari bagian yang semestinya, orang yang tidak menghiraukan hukum adalah tidak adil karena semua hal yang didasarkan pada hukum dapat dianggap sebagai adil.20

Senada dengan hal tersebut John Rawls berpendapat keadilan adalah ukuran dari keseimbangan antara kepentingan pribadi dan kepentingan bersama.21 Keadilan merupakan nilai yang tidak dapat ditawar-tawar karena hanya dengan keadilan ada jaminan stabilitas hidup manusia. Agar tidak terjadi benturan kepentingan pribadi dan kepentingan bersama itu perlu aturan-aturan.

       17

M. Solly Lubis, Diktat Teori Hukum, (Medan: USU, 2010), hal. 24.  

18

Ibid. 

19

Lawrence M. Friedman, American Law an Introduction, Terjemahan Wishnu Bhakti, (Jakarta: PT. Tata Nusa, 2001), hal. 4. 

20

Mahmul Siregar, Bahan Kuliah Filsafat Hukum, (Medan: USU, 2010), hal. 5-12. 

21

(13)

13 

Disinilah diperlukan hukum sebagai wasitnya. Pada masyarakat yang telah maju, hukum baru akan ditaati apabila ia mampu meletakkan prinsip-prinsip keadilan.22

       

Menurut W. Friedman suatu Undang-Undang haruslah memberikan keadilan yang sama kepada semua walaupun terdapat perbedaan-perbedaan di antara pribadi-pribadi tersebut.23 Dalam hal mewujudkan keadilan, Adam Smith (1723-1790), Guru Besar dalam bidang filosofi moral dan sebagai ahli teori hukum dari Glasgow University pada tahun 1750,24 telah melahirkan ajaran mengenai keadilan (justice). Smith mengatakan: “tujuan keadilan adalah untuk melindungi diri dari kerugian” (the gold of justice is to secure from injury).25

Kepailitan menurut merupakan suatu proses dimana seorang debitor yang mempunyai kesulitan keuangan untuk membayar utangnya dinyatakan pailit oleh pengadilan dalam hal ini pengadilan niaga, dikarenakan debitor tersebut tidak dapat membayar utangnya.26 Dalam hal debitor mempunyai banyak kreditor dan harta kekayaan debitor tidak cukup untuk membayar lunas semua kreditor, maka para kreditor akan berlomba dengan segala cara baik yang halal maupun tidak, untuk mendapatkan pelunasan tagihannya terlebih dahulu. Kreditor yang datang belakangan mungkin sudah tidak dapat lagi pembayaran karena harta debitor sudah habis, hal ini

  22

Darji Darmodiharjo dan shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum ( Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia), (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1995), hal. 159. 

23 

W. Friedman, Teori dan Filsafat Hukum Dalam Buku Telaah Kritis Atas Teori-Teori Hukum, diterjemahkan dari buku aslinya Legal Theory oleh Muhammad Arifin, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993), hal. 7. 

24

 Bismar Nasution, Mengkaji Ulang Hukum Sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi, Pidato pada pengukuhan sebagai Guru Besar, ( USU-Medan, 17 April 2004), hal. 4-5.  

25

 Ibid., hal. 9 

26

 Imran Nating, Hukum Kepailiitan, http// artikelhukumku.blogspot.com//, terakhir diakses tanggal 17 februari 2011. 

(14)

14 

sangat tidak adil dan merugikan. Menurut Kartini Muljadi, hal inilah yang menjadi maksud dan tujuan Undang-Undang Kepailitan.27 Dengan kehadiran Undang-undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang diharapkan antara debitor dan kreditor dapat mengetahui apa yang menjadi hak dan kewajiban mereka masing-masing sehingga terwujudlah keadilan diantara mereka, karena salah satu filosofi hukum kepailitan tersebut adanya nilai keadilan. Menurut Sri Redjeki Hartono, lembaga kepailitan pada dasarnya mempunyai dua fungsi sekaligus yaitu:28

a. Kepailitan sebagai lembaga pemberi jaminan kepada krediturnya bahwa debitur tidak akan berbuat curang, dan tetap bertanggung jawab atas semua utang-utangnya kepada semua krediturnya.

b. Juga memberi perlindungan kepada debitur terhadap kemungkinan eksekusi massal oleh kreditur-krediturnya.

Jadi keberadaan ketentuan tentang kepailitan baik sebagai suatu lembaga atau sebagai upaya hukum khusus merupakan satu rangkaian konsep yang taat asas sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 1132 KUH Perdata. Adapun asas hukum menurut Satjipto Rahardjo adalah” merupakan jantung peraturan hukum, karena selain sebagai landasan yang paling luas bagi

       27

Rudhy A. Lontoh, et. al., Penyelesaian Utang Piutamg Melalui Pailit Atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, ( Bandung: Penerbit Alumni, 2001), hal. 75-76. 

28

Rahayu Hartini, Penyelesaian Sengketa Kepailitan di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), hal. 74-75. 

(15)

15 

olahirnya suatu peraturan hukum, juga sebagai alasan (dasar pemikiran) bagi lahirnya suatu peraturan hukum.”29

Keberadaan Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dalam penjelasannya menyebutkan bahwa keberadaan Undang-Undang ini berdasarkan pada sejumlah asas-asas kepailitan yakni:

1. Asas Keseimbangan

Undang-Undang ini mengatur beberapa ketentuan yang merupakan perwujudan dari keseimbangan, yaitu disatu pihak terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh debitur yang tidak jujur, di lain pihak terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oeh kreditur yang tidak beritikad baik.

2. Asas Kelangsungan Usaha

Dalam Undang-Undang ini, terdapat ketentuan yang memungkinkan perusahaan debitur yang prospektif tetap dilangsungkan.

3. Asas Keadilan

Dalam kepailitan asas keadilan mengandung pengertian bahwa ketentuan mengenai kepailitan dapat memenuhi rasa keadilan bagi para pihak yang berkepentingan. Asas keadilan ini untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan pihak penagih yang mengusahakan pembayaran       

29 

(16)

16 

atas tagihan masing-masing terhadap debitur, dengan tidak mempedulikan kreditur lainnya.

4. Asas Integrasi

Asas integrasi dalam Undang-Undang ini mengandung pengertian bahwa sistem hukum materilnya merupakan suatu kesatuan yang utuh dari sistem hukum perdata dan hukum acara perdata nasional.30

Selain teori keadilan yang dipergunakan dalam membahas permasalahan yang dirumuskan, dalam penelitian ini juga menggunakan teori pemberian garansi/jaminan. Dalam memberikan pinjaman berupa kredit dari bank atau fasilitas pinjaman dari kreditor kepada debitor selalu mengandung resiko,31 oleh karena itu perlu pengamananan dalam pengembaliannya. Bentuk pengamanan ini dalam prakteknya dilakukan dalam pemberian jaminan. Adanya jaminan tersebut dapat memberikan rasa aman bagi bank selaku pihak pemberi kredit, yaitu bila debitor gagal melunasi utangnya, ada jaminan dari seorang penjamin yang akan melunasi utang debitor tersebut.32

Menurut Sutan Remy Sjahdeini untuk memantapkan keyakinan kreditor bahwa debitor akan secara nyata mengembalikan pinjamannya setelah jangka waktu pinjaman berakhir, dalam hukum terdapat beberapa asas menyangkut jaminan. Asas yang pertama menentukan apabila debitor ternyata pada waktunya       

30

Rahayu Hartini, Hukum Kepailitan, (Malang: UMM Press, 2008), hal. 14-17. 

31

Muchdarsyah Sinungan, Dasar-Dasar dan Tekhnik Management Kredit, (Jakarta: Bina Aksara, 2000), hal. 4.  

32

Abdul Hakim Garuda Nusantara dan Benny K. Harman, Analisa Kritis Putusan-Putusan Peradilan Niaga, (Jakarta: Centre For Information & Law – Economi Studies, 2000), hal. 39. 

(17)

17 

tidak melunasi utangnya kepada kreditor karena suatu alasan tertentu, maka harta kekayaaan debitor, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang telah ada maupun yang akan ada di kemudian hari menjadi agunan atau jaminan utangnya yang dapat dijua untuk menjadi sumber pelunasan utang itu. Asas ini di dalam KUHPerdata dituangkan dalam Pasal 1131 yang bunyinya: “Segala harta kekayaan debitor, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi jaminan untuk segala perikatan debitor.”33

Pasal 1131 KUHPerdata tersebut menentukan, harta kekayaan debitor bukan hanya untuk menjamin kewajiban melunasi utang kepada kreditor yang diperoleh dari perjanjian kredit diantara mereka, tetapi untuk menjamin semua kewajiban yang timbul dari perikatan debitor. Oleh karena Pasal 1131 KUHPerdata menentukan, semua harta kekayaan (aset) debitor menjadi agunan bagi pelaksanaan kewajibannya bukan kepada kreditor tertentu saja tetapi juga semua kreditor lainnya, maka perlu ada aturan main tentang cara membagi aset debitor itu kepada para kreditornya apabila aset itu dijual karena tidak dapat membayar utang-utangnya. Aturan main itu ditentukan oleh Pasal 1132 KUHPerdata, yang merupakan asas kedua yang menyangkut jaminan.34

Secara garis besar dikenal 2 (dua) macam bentuk jaminan, yaitu jaminan perorangan dan jaminan kebendaan. Pada jaminan kebendaan, debitor atau pihak       

33

Sutan Remy Sjahdeini, Op. Cit., hal. 4.  34

(18)

18 

yang menerima pinjaman, memberi jaminan benda kepada kreditor atau pihak yang memberi pinjaman sebagai jaminan atas utang yang dipinjam debitor. Jadi apabila debitur tidak membayar utangnya pada saat jatuh tempo maka pihak kreditor dapat menuntut eksekusi atas benda yang telah dijaminkan oleh debitor tersebut untuk melunasi utangnya. Sedangkan dalam jaminan perorangan dalam praktek biasanya yang menjadi penjamin/guarantor adalah orang atau perusahaan yang ada hubungan kepentingan di bidang bisnis antara debitor dengan penjamin/gurantor tersebut. bahwa debitor dapat dipercaya akan melaksanakan kewajiban yang diperjanjikan, dengan syarat bahwa apabila debitur tidak melaksanakan kewajibannya maka penjamin/guarantor tersebut bersedia untuk melaksanakan kewajiban debitur tersebut. Dengan adanya jaminan tersebut maka pihak kreditor dapat menuntut kepada penjamin untuk membayar utang debitor bila debitor lalai atau tidak mampu untuk membayar utangnya tersebut.35

Berkaitan dengan pemberian garansi/ jaminan dalam perusahaan yang biasanya dilakukan oleh penjamin/guarantor dalam perjanjian pemberian kredit, maka dengan adanya perjanjian pemberian garansi/jaminan, penjamin/guarantor

dapat melakukan kewajiban debitor apabila debitor tidak dapat melakukan kewajibannya terhadap kreditor. Dan apabila penjamin tidak dapat melakukan kewajibannya maka penjamin dapat digugat pailit oleh kreditor. Jadi kepailitan perusahaan sebagai debitor utama sangat berpengaruh kepada penjamin/guarantor.       

35

http://staff.blog.ui.ac.id/disriani.latifah/2009/06/09/kedudukan-guarantor-dalam-kepailitan, diakses tgl. 7 Maret 2011. 

(19)

19 

Namun penjamin/guarantor dalam hal ini mempunyai hak istimewa sehingga hak istimewa penjamin/guarantor ini membawa akibat hukum bahwa penjamin/guarantor tidak diwajibkan untuk melunasi kewajiban debitor kepada kreditor sebelum harta kekayaan debitor disita dan dijual terlebih dahulu untuk melunasi hutangnya. Apabila hasil penjualan tidak cukup untuk melunasi hutangnya debitor, berarti penjamin/guarantor hanya akan melunasi sisa kewajiban debitor yang belum dipenuhinya kepada kreditor.36 Dengan adanya hak istimewa tersebut kedudukan penjamin/guarantor tidak berubah menjadi debitor, sehingga penjamin merasa terlindungi dan hal ini dirasa adil kepada penjamin/guarantor.

Dalam hal pemberian garansi/jaminan yang dilakukan oleh perusahaan

(corporate guarantee), yang biasanya induk perusahaan bertindak sebagai

penjamin/guarantor terhadap utang anak perusahaannya. Dalam hal ini kepadanya berlaku doktrin piercing the corporate veil yang diatur dalam Pasal 3 Ayat (2) Undang-undang No. 40 Tahun 2007 yang menyatakan bahwa pertanggung jawaban terbatas pemegang saham dalam Perseroan Terbatas tidak berlaku dalam hal:

1. Persyaratan perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi; 2. Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung

dengan itikad buruk memanfaatkan perseroan untuk kepentingan pribadi; 3. Pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan

hukum yang dilakukan oleh perseroan; atau

4. Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan perseroan, yang mengakibatkan kekayaan perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang perseroan.

       36

Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi, Penanggungan Utang dan Perikatan Tanggung Menanggung, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 24. 

(20)

20 

Doktrin ini mengartikan bahwa sungguhpun suatu badan hukum bertanggung jawab secara hukum hanya terbatas harta badan hukum tersebut, tetapi dalam hal-hal tertentu batas tanggung jawab tersebut dapat ditembus (piercing).37

Yahya Harahap mengemukakan walaupun secara normal pada perusahaan grup tetap berlaku dasar prinsip tanggung jawab entitas terpisah (separate legal entity) yang berujung pada prinsip tanggung jawab terbatas (limited liability) induk perusahaan sebagai pemegang saham anak perusahaan, akan tetapi dalam perseroan yang bersifat grup, dimana perseroan anak:38

a. Dimodali oleh induk perusahaan, sehingga anak perusahaan tersebut benar-benar di bawah permodalan induk perusahaan.

b. Dalam keadaan di bawah permodalan anak perusahaan tersebut, anak perusahaan berada dalam keadaan tidak independen eksistensi ekonomi dan perusahaanya.

c. Anak perusahaan itu semata-mata berperan dan berfungsi sebagai wakil (agent) melakukan bisnis perusahaan grup.

Oleh karena itu dalam kasus perseroan grup yang demikian, induk perusahaan bertanggung jawab terhadap utang anak perusahaan. Dalam kasus yang demikian, anak perusahaan didominasi dan dijadikan alat oleh induk perusahaan, maka induk perusahaan patut dan layak bertanggung jawab terhadap utang anak       

37

 Munir Fuady, Hukum perusahaan Dalam Paradigma Hukum Bisnis, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999), hal. 61. 

38

 Yahya Harahap, Separate Entity, Limited Liability, dan Piercing The Corporate Veil, Jurnal Hukum Bisnis, Vol 26, No. 3 Tahun 2007, hal. 47.

(21)

21 

perusahaan. Penerapan penghapusan tanggung jawab terbatas, sehingga tanggung jawabnya menembus kepada induk perusahaan sesuai asas piercing the corporate

veil, berdasar alasan keadilan dan kepatutan dikarenakan doktrin piercing

corporate veil ini bertujuan untuk menghindari hal-hal yang tidak adil terutama bagi pihak luar perseroan dari tindakan sewenang-sewenang atau tidak layak yang dilakukan atas nama perseroan, baik yang terbit dari suatu transaksi dengan pihak ketiga ataupun yang timbul dari hubungan kontraktual.39

2. Konsepsi

Bagian kerangka konsepsional ini akan menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan konsep yang digunakan dalam tesis ini, agar secara operasional diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan, yaitu:

1. Hak istimewa adalah hak yang dimiliki seorang penjamin untuk menuntut agar harta kekayaan milik si berutang utama (debitor) terlebih dahulu disita dan dijual/dilelang, jika hasil penjualan harta kekayaan debitor tidak cukup untuk melunasi hutangnya, kemudian baru harta kekayaan penjamin,40 hak untuk meminta pemecahan utang,41dan hak untuk dibebaskan dari penjaminan bilamana karena salahnya si kreditor.42

       39 Ibid.  40 Pasal 1831 KUHPerdata.  41 Pasal 1837 KUHPerdata.  42

(22)

22 

2. Kreditor adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau Undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka umum.43

3. Debitor adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau Undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka umum.44

4. Kreditor preferen adalah golongan kreditor yang kedudukan hutangnya mempunyai kedudukan yang istimewa dengan memiliki hak untuk mendapatkan pelunasan lebih dahulu dari hasil penjualan lelang harta pailit.45

5. Kreditor konkuren adalah kreditor-kreditor yang tidak termasuk dalam golongan khusus/istimewa, pelunasan piutang mereka dicukupkan dengan sisa hasil penjualan /pelelangan harta pailit sesudah diambil bagian golongan khusus dan istimewa.46

6. Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.47defenisi yang lebih jelas dikemukakan oleh subekti, dimana Ia memberikan perumusan bahwa: “perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal”.48

       43

Pasal 1 ayat (2) UUK dan PKPU. 

44

Pasal 1 ayat (3) UUK dan PKPU. 

45

Dedi Harianto, Bahan Kuliah, (Medan: Universitas Sumatera Utara, 2010), hal. 4.  

46

 Ibid,

47

Pasal 1313 KUHPerdata. 

48

(23)

23 

7. Perjanjian pemberian garansi/Penjaminan adalah suatu persetujuan dimana seorang pihak ketiga guna kepentingan si berpiutang mengikatkan diri untuk memenuhi perikatannya si berutang manakala orang itu sendiri tidak memenuhinya.49

8. Induk perusahaan adalah suatu perusahaan yang bertujuan untuk memiliki saham dalam satu atau lebih perusahaan lain dan/atau mengatur satu atau lebih perusahaan lain tersebut.50

9. Anak perusahaan adalah perseroan yang mempunyai hubungan khusus dengan perseroan lainnya yang terjadi karena lebih dari lima puluh persen sahamnya dimiliki oleh induk perusahaannya atau lebih dari lima puluh persen suara dalam Rapat Umum Pemegang Saham dikuasai oleh induk perusahaannya dan atau kontrol atas jalannya perseroan, pengangkatan, dan pemberhentian direksi dan komisaris sangat dipengaruhi oleh induk perusahaannya.51

10.Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari (kontinjen), yang timbul karena perjanjian atau Undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak dipenuhi memberikan hak

       49

Pasal 1820 KUHPerdata. 

50

Munir Fuady, Op. Cit., hal. 83. 

51 

(24)

24 

kepada kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitor.52

11.Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) menurut Kartini Muljadi sebagaimana dikemukakan oleh Rudi A. Lontoh adalah “pemberian kesempatan kepada debitor untuk melakukan restrukturisasi utang-utangnya, yang dapat meliputi pembayaran seluruh atau sebagian utang kepada kreditor konkuren dan pada akhirnya jika dapat terlaksana dengan baik debitor akan dapat memenuhi kewajibannya-kewajibannya dan meneruskan usahanya.”53

12.Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas.54 Suatu keadaan dimana seorang tidak mampu lagi untuk membayar utang-utangnya berdasarkan putusan hakim, hal ini diatur dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 37 tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

G. Metode Penelitian

Penelitian merupakan sarana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan maupun tekhnologi. Hal ini disebabkan karena penelitian bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologi dan konsisten.       

52

Pasal 1 angka 6 UUK dan PKPU. 

53

Rudhy A. Lontoh, et. al., Op. Cit., hal. 173. 

54

(25)

25 

Melalui proses penelitian tersebut diadakan analisa dan konstruksi data yang telah dikumpulkan.55

Oleh karena penelitian merupakan suatu sarana ilmiah bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi, maka metodologi penelitian yang diterapkan harus senantiasa disesuaikan dengan ilmu pengetahuan yang menjadi induknya.56 Dengan demikian metode penelitian adalah merupakan upaya ilmiah untuk memakai dan memecah suatu permasalahan berdasarkan metode tertentu.

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan dalam penyusunan tesis ini adalah penelitian yuridis normatif yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaedah-kaedah atau norma-norma hukum positif.57 Dengan pertimbangan bahwa titik tolak penelitian untuk menganalisis hak istimewa dalam perjanjian pemberian garansi dikaitkan dengan kepailitan anak perusahaan sesuai dengan kaedah-kaedah atau norma-norma hukum positif yang mengaturnya.

Mengambil istilah Ronald Dworkin, penelitian semacam ini juga disebut dengan istilah penelitian doktrinal (doktrinal research), yaitu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis di dalam buku (law at it is written in the

       55

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (UI:Press, 2005), hal. 5-6. 

56

Soerjono Soekanto dan sri Mahmudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), hal. 64. 

57

 Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Surabaya: Bayumedia, 2008), hal. 282. 

(26)

26 

book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan

(law as it decided by the jungle through judicial process).58

Sifat penelitian dalam tesis ini adalah bersifat deskriptif analitis, penelitian bersifat deskriptif analitis merupakan suatu penelitian yang menggambarkan, menelaah, menjelaskan, dan menganalisis suatu peraturan hukum.59

2. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier, yaitu:

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari peraturan perundang-undangan yang diurut berdasarkan hierarki60 seperti peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penelitian ini yaitu peraturan perundang-undangan di bidang hukum kepailitan yaitu Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Undang-Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.

       58

Bismar Nasution, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum,

disampaikan pada dialog interaktif tentang penelitian hukum dan hasil penulisan hukum pada majalah akreditasi, (Fakultas Hukum USU, tgl 18 Februari, 2003), hal. 2. 

59

 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), hal. 6. 

60

(27)

27 

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang terdiri atas buku-buku teks yang ditulis oleh ahli hukum yang berpengaruh, jurnal-jurnal hukum, pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum, yurisprudensi, dan hasil-hasil simposium mutakhir yang berkaitan dengan topik penelitian.61 Dalam penelitian ini, bahan hukum sekunder yang digunakan adalah berupa buku-buku rujukan yang relevan, hasil karya tulis ilmiah, dan berbagai makalah yang berkaitan.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder62 berupa kamus umum, kamus bahasa, surat kabar, artikel, internet.

3. Tekhnik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan cara studi dokumen-dokumen yang relevan dengan penelitian ini di perpustakaan dan melakukan identifikasi data. Data yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan tersebut selanjutnya akan dipilah-pilah guna memperoleh Pasal-Pasal (di dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) yang berisi kaedah-kaedah hukum yang kemudian dihubungkan dengan permasalahan yang sedang dihadapi dan di       

61

Jhony Ibrahim, op.cit, hal. 296. 

62

(28)

28 

sistematisasikan sehingga menghasilkan klasifikasi yang selaras dengan permasalahan dalam penelitian ini. Selanjutnya data yang diperoleh tersebut akan dianalisis secara induktif-kualitatif untuk sampai pada kesimpulan, sehingga pokok permasalahan yang ditelaah dalam penelitian ini akan dijawab.63

4. Analisis Data

Bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang diperoleh dianalisis secara normatif kualitatif, analisis tersebut dilakukan dengan memilih peraturan-peraturan hukum tentang hak istimewa dalam perjanjian pemberian garansi oleh induk perusahaan terhadap anak perusahaan dalam kepailitan. Langkah selanjutnya membuat sistematika kaidah-kaidah hukum dalam peraturan tersebut sehingga menghasilkan klasifikasi yang relevan dengan objek permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini. Kemudian analisis dilanjutkan dengan metode deduktif, yakni menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang dihadapi sehingga dapat menjadi acuan dan pertimbangan hukum dalam mengatasi permasalahan-permasalahan yang dihadapi.

       63

 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum (Suatu Pengantar), (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 195-196. 

Referensi

Dokumen terkait

Bank syariah pada umunya telah menggunakan murabahah sebagai instrumen pembiayaan (financing) yang utama (Jannah, 2009)...

Menempatkan pilihan Keadilan Restoratif dalam kebijakan hukum dan penegakan hukum pada peristiwa pidana tidak boleh dipertentangkan dengan pilihan lama Keadilan Retributif

Jika dilihat besarnya perubahan di tahun 2015, kenaikan NTP terbesar terjadi pada bulan Agustus sebesar 1,22 persen karena indeks harga yang diterima petani pada

Sebuah filamen lurus arus I dengan panjang tak berhingga yang terletak di sepanjang sumbu z koordinat silindris ditunjukkan pada Gambar 3-2... Oleh karena a  tidak berubah

1) Pengiriman duta dan konsulat ke negara lain yang merupakan negara ASEAN. Mading - masing negara ASEAN saling mengirimkan duta dan konsulat sebagai

Menurut Nasr Hamid, jelas asumsi ulama kuno tersbut dapat memunculkan rentetan asumsi lain seperti, al-Qur‟an yang diturunkan dapat dilupakan oleh Nabi, sejalan

Kreativitas dan prestasi belajar siswa yang rendah menjadi pertimbangan bagi peneliti dan guru untuk melakukan sebuah upaya peningkatan dengan melalui sebuah

Hasil wawancara dan observasi menunjukkan rendahnya kreativitas dan prestasi belajar siswa kelas V SD Negeri 3 Pliken materi kegiatan ekonomi Indonesia permasalahan yang ada