• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN SCIENCE TEC

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN SCIENCE TEC"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN SCIENCE TECHNOLOGY AND SOCIETY (STS) UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR

KRITIS DAN MEMECAHKAN MASALAH SOSIAL SISWA AHMAD (0909951)

ABSTRAK

Penelitian ini terkait dengan penerapan model pembelajaran STS untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan memecahkan masalah sosial siswa. Dilatarbelakangi oleh rendahnya kemampuan siswa dalam menyikapi penggunaan teknologi dalam kehidupan siswa, ketidakmampuan siswa dalam memecahkan masalah-masalah sosial di sebabkan oleh teknologi yang ada disekitar siswa. Pembelajaran IPS selama bersifat teoritis dan terpisah dari kehidupan nyata siswa, belum mampu mengangkat isu dan permasalahan teknologi disekitar siswa sebagai isi dari pelajaran. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran model STS dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan kemampuan pemecahan masalah sosial siswa dalam pembelajaran IPS SD pada topik perkembangan teknologi. Rekomendasi dari penelitian, bahwa model pembelajaran STS dapat diterapkan guru IPS sebagai salah satu alternatif model pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan kemampuan pemecahan masalah sosial siswa. Kepala sekolah perlu memotivasi guru pada sekolah yang ia pimpin untuk menjadikan model pembelajaran STS sebagai salah satu alternatif model pembelajaran, baik dalam pembelajaran IPS, maupun dalam pembelajaran lainnya dengan mempertimbangkan karakteristik materi yang akan disampaikan.

Kata Kunci: Model Pembelajaran STS, Kemampuan Berpikir Kritis, Kemampuan Pemecahan Masalah Sosial Siswa.

A. Pendahuluan

Mempersiapkan siswa menghadapi masa depan dengan bekal keterampilan sosial sudah seyogianya menjadi tugas pembelajaran IPS. Di abad 21 sekarang ini memasuki era digital, globalisasi dan perkembangan teknologi yang pesat membuat peradaban manusia terus berkembang setiap saat, pembelajaran IPS saat ini belum mampu mengkaji realita sosial yang dihadapi oleh para siswa, isi pelajaran yang bersentuhan langsung terhadap anak dalam menghadapi era digital dan teknologi, kesenjangan ini terlihat dengan bermunculan permasalahan sosial yang disebabkan perkembangan sains dan teknologi tersebut.

(2)

bagaimana menghabiskan materi pelajaran dari buku teks. Lemahnya kemampuan berpikir kritis siswa berdampak pada kemampuan siswa menyikapi dan memberikan pertimbangan-pertimbangan saat siswa menggunakan teknologi tersebut, sehingga hal ini dapat menimbulkan masalah bagi siswa di dalam kehidupannya.

Untuk mengetahui sejauh mana pelaksanaan pembelajaran IPS dalam mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan kemampuan pemecahan masalah sosial siswa, dapat terungkap dari penelitian Erlisnawati (2008) dengan mengukur kemampuan berpikir kritis siswa SD kelas V pada kategori rendah dengan skor rata-rata pretes 4,87 (54,11% dari skor ideal) dan rata-rata skor kelas kontrol diperoleh 4,89 (53,33% dari skor ideal) berada pada kategori rendah.

Penelitian Takiddin (2010) berdasarkan pada data yang diperoleh di lapangan, diperoleh skor rata-rata kemampuan pemecahan masalah sosial siswa sebesar 6,06 atau 30 % dari skor ideal 20 dan 6,25 atau 31% dari skor ideal 20. Data tersebut menunjukkan kemampuan yang rendah.

Penelitian Margawani (2009) menjelaskan temuan tentang kemampuan penyelesaian masalah sosial pada pembelajaran IPS siswa kelas IV dikatakan tidak berhasil, karena dari 24 siswa yang ada, yang menguasai materi pelajaran hanya 35% sedangkan yang lainnya masih belum memahami masalah sosial di dalam materi pembelajaran, bahwa pembelajaran yang dikatakan berhasil apabila minimal 70% penguasaan materi telah dikuasai oleh siswa.

Implikasi rendahnya pembelajaran yang merangsang kemampuan berpikir kritis dan kemampuan pemecahan masalah sosial siswa, terlihat pada keberadaan siswa dan masyarakat sekitar dalam menyikapi teknologi. Rendahnya pengetahuan siswa menyikapi keberadaan teknologi pada masyarakat terlihat pada berbagai lini kehidupan, siswa belum mampu memilah makanan yang sehat bersumber dari pertanian, terjadi kerusakan lingkungan karena penggunaan pestisida dan peralatan kimia lainnya, sehingga mencemari tanah dan sungai, racun tersebut tanpa kontrol yang jelas dapat juga menjadi racun pada makanan, tanpa disadari keadaan demikian menjadi lumrah pada masyarakat tanpa memahami dampak dari prilaku yang salah dari menyikapi penggunaan teknologi.

(3)

iklan yang menawarkan berbagai produk di TV sehingga siswa ingin mendapatkan apa yang siswa lihat. Banyak siswa telah menggunakan kacamata disebabkan oleh kerusakan mata disebabkan radiasi televisi dan komputer. Siswa SD telah menggunakan handphone canggih karena telah melihat orang dewasa atau teman-temannya tanpa menyadari apa manfaat dan kerugian bila menggunakannya. Siswa belum mampu memberikan pertimbangan terhadap apa yang dia inginkan dikarenakan siswa tidak mampu mengkritisi keadaan yang ada pada sekitar siswa.

Pada bidang transportasi masalah sosial yang sering timbul yakni penggunaan alat transportasi, anak di bawah umur telah mampu berkendaraan dengan sepeda motor beroda dua sehingga menjadi tren bersekolah, tanpa mengindahkan aturan-aturan berkendaraan sehingga sering sekali terjadi kecelakaan, mereka malu bersepeda karena dianggap ketinggalan zaman. Hal tersebut bukan hanya memunculkan masalah pada usia anak-anak, namun orang dewasa juga tidak kalah rumitnya, sering kita lihat kemacetan dan kecelakaan di mana-mana karena ketidakmampuan membaca rambu-rambu lalu lintas dan tidak adanya rasa tanggung jawab dalam menggunakan kendaraan transportasi. Penggunaan teknologi tersebut tanpa disadari telah mengikis kehidupan sosial anak, kemampuan sosialisasi anak dengan lingkungannya terus berkurang, etika dan tata krama yang melekat pada masyarakat sebagai bentuk norma-norma semakin memudar.

Hal ini perlu menjadi perhatian guru dalam pembelajaran IPS, menciptakan pembelajaran yang berkaitan langsung dengan kehidupan siswa sehingga siswa memperoleh keterampilan, siap serta dapat bertanggung jawab (responsible) dalam menghadapi perkembangan sains dan teknologi.

Untuk menghindari kondisi tersebut maka perlu usaha untuk mengembangkan keterampilan berpikir kritis dan kemampuan memecahkan masalah sosial dalam proses pembelajaran sehingga nantinya mampu mengarahkan siswa menjadi manusia yang mampu mengambil keputusan, berpikir, dan menyeleksi informasi melalui pemikirannya serta dapat menyelesaikan permasalahan-permasalahan sosial yang dihadapi dengan benar.

(4)

mampu mengambil keputusan, berpikir, dan menyeleksi informasi melalui pemikirannya serta dapat menyelsaikan permasalahan-permasalahan sosial yang dihadapi dengan benar. Kemampuan berpikir kritis dapat membantu siswa untuk menjadi manusia yang mampu membuat keputusan yang tepat berdasarkan usaha yang cermat, sistematis, logis, dan mempertimbangkan berbagai sudut pandang.

Sehubungan dengan permasalahan di atas, maka dapat ditegaskan bahwa usaha perbaikan proses pembelajaran melalui upaya pemilihan model pembelajaran yang tepat dan inovatif dalam pembelajaran IPS di sekolah dasar merupakan suatu kebutuhan yang sangat penting untuk dilaksanakan, melatih siswa untuk berpikir dan memecahkan masalah sosial dalam konteks perkembangan sains dan teknologi agar siswa siap dan responsible terhadap tantangan globalisasi.

Berdasarkan paparan di atas jelas bahwa model pembelajaran STS penting diterapkan bertujuan untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan memecahkan masalah sosial siswa sekolah dasar. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Penerapan Model Pembelajaran Science, Technology and Society (STS) untuk Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis dan Memecahkan Masalah Sosial Siswa (Studi Eksperimen Kuasi pada Siswa Kelas IV Sekolah Dasar Negeri Jambo Reuhat UPTD Darul Aman Kab. Aceh Timur Provinsi Aceh)”.

B. Landasan Teoritis

1. Model Pembelajaran Science Technology and Society (STS)

Istilah STS berasal dari Science Technology and Society. Pada istilah yang telah di alih bahasakan ke Bahasa Indonesia sebagai Sains Teknologi dan Masyarakat (STM). Science Technology and Society (STS) pertama kali diciptakan pada tahun 1980 oleh Jonh Ziman dalam bukunya “Teaching and Learning About Science and Society”. Ziman mencoba mengungkapkan bahwa konsep-konsep dan proses-proses sains seharusnya sesuai dengan kehidupan sehari-hari siswa.

STS merupakan pendekatan terpadu antara sains, teknologi, dan isu yang ada di

masyarakat. Ada pun tujuan dari pendekatan STS ini adalah menghasilkan peserta didik yang cukup memiliki bekal pengetahuan, sehingga mampu mengambil keputusan penting tentang masalah-masalah dalam masyarakat serta mengambil tindakan

(5)

untuk masyarakat. Perkembangan sains dan teknologi ditentukan oleh dinamika kehidupan masyarakat. Sebaliknya, kehidupan masyarakat dipengaruhi oleh perkembangan sains dan teknologi.

NCSS Science and Society Commitee yang diterbitkan dalam Social Education pada April 1990:190 juga mengembangkan beberapa panduan tentang model pembelajaran STS, sehingga memudahkan guru dalam mengembangkan model STS ini, beberapa isi panduan yang dapat di jelaskan sebagai berikut:

1. Chosing a Topic (pemilihan topik) 2. Knowladge of Content (pengetahuan) 3. Values (nilai-nilai)

4. Thinking Process (proses berfikir) 5. Civic action (tindakan warga negara)

6. Instruction Techniques and Strategies (teknik-teknik dan strategi pengajaran) 7. Assesment and Evaluation (penilaian dan evaluasi)

8. Implementation Strategies (implementasi strategi)

Dari berbagai penjelasan mengenai model pembelajaran STS di atas dibutuhkan langkah-langkah untuk mengimplementasikan model pembelajaran STS tersebut. Terdapat beberapa langkah yang bisa digunakan dalam mengaktualisasikan model STS dalam pembelajaran. Langkah-langkah itu adalah sebagai berikut:

1. Mula-mula guru mengemukakan isu-isu, pertanyaan-pertanyaan atau masalah aktual yang ada di masyarakat dan dapat di amati peserta didik,dapat juga dilakukan dengan penggalian pemahaman dari siswa untuk menggali konsep yang akan dibahas, tahap ini disebut inisiasi, apersepsi, invitasi atau eksplorasi. Eksplorasi dapat juga dilakukan dengan metode observasi untuk menggali pemahaman siswa terhadap topik yang diangkat dengan cara melakukan pengamatan terhadap keadaan di sekitar siswa.

2. Melaksanakan pembelajaran dengan strategi tertentu yang sesuai dengan pedagogi. Tahap ini disebut pembentukan konsep dan menurut paham konstruktivisme diharapkan siswa dapat membangun atau mengkonstruk pengetahuan sendiri melalui observasi, diskusi, eksperimen, dan lain-lain.

(6)

4. Guru memantapkan konsep, diharapkan dapat merekonstruksi konsep atau analisa siswa yang salah, tahap ini disebut pemantapan konsep.

5. Tahap pelaksanaan evaluasi yang hendaknya secara berkesinambungan dan mencakup aspek yang ingin di evaluasi (Poedjiadi, 2007).

2. Keterampilan Berpikir Kritis Siswa SD

Keterampilan berpikir dapat dibedakan menjadi keterampilan berpikir dasar dan berpikir kompleks. Proses berpikir dasar merupakan gambaran dari proses berpikir rasional yang mengandung sekumpulan proses mental dari yang sederhana menjadi yang kompleks. Aktivitas berpikir yang terdapat dalam berpikir rasional adalah menghafal, membayangkan, mengelompokkan, menggeneralisasikan, membandingkan, mengevaluasi, menganalisis, mensintesis, mendeduksi, dan menyimpulkan (Arniyana, 2007). Dalam hal ini proses dasar berpikir adalah menemukan hubungan, menghubungkan sebab dan akibat, mentransformasi, mengklasifikasi dan memberikan kualifikasi. Selanjutnya menurut Arniyana (2007) Berpikir kritis adalah “proses terorganisasi yang melibatkan aktivitas mental seperti dalam memecahkan masalah (problem solving), pengambilan keputusan (decision making), analisis asumsi (analizing asumtion) dan inkuiri sains (scientific inquiry).”

Proses berpikir kompleks dikenal sebagai proses berpikir tingkat tinggi. Proses berpikir kompleks (berpikir tingkat tinggi) ini dibedakan menjadi berpikir kritis dan berpikir kreatif. Dari berbagai definisi dan penjelasan mengenai berpikir kritis dapat disimpulkan bahwa sebagai proses kognitif yang dipecah-pecah ke dalam langkah-langkah nyata yang kemudian digunakan sebagai pedoman berpikir. Satu contoh keterampilan berpikir adalah menarik kesimpulan (inferring), yang didefinisikan sebagai kemampuan untuk menghubungkan berbagai petunjuk (clue) dan fakta atau informasi dengan pengetahuan yang telah dimiliki untuk membuat suatu prediksi hasil akhir yang terumuskan.

(7)

tindakan; (4) kemampuan memberi alasan; (5) memutuskan suatu tindakan; (6) mengobservasi dan mempertimbangkan hasil observasi; (7) membuat dan mempertimbangkan nilai keputusan.

Berpikir kritis memungkinkan siswa untuk menemukan kebenaran di tengah banjir kejadian dan informasi yang mengelilingi mereka setiap hari. Dengan adanya keterampilan tersebut, siswa tidak menerima begitu saja cara mengerjakan sesuatu, hanya karena selama ini memang begitulah cara mengerjakannya, dan mereka tidak menganggap suatu pernyataan benar hanya karena orang lain membenarkannya. Siswa yang kritis dalam berpikir mampu berpikir “cepat” dan “tajam”.

3. Kemampuan Memecahkan Masalah Sosial

Suatu masalah biasanya memuat situasi yang mendorong seseorang untuk menyelesaikannya akan tetapi tidak tahu secara langsung apa yang harus dikerjakan untuk menyelesaikannya. Jika suatu masalah diberikan kepada siswa dan siswa tersebut langsung dapat mengetahui cara dengan benar, maka soal tersebut tidak dapat dikatakan sebagai masalah. Santrock (2002:298) menjelaskan pemecahan masalah meliputi usaha menemukan cara yang tepat untuk mencapai tujuan, tujuan yang dimaksud merupakan masalah yang dihadapi.

Menurut Killen (1998), “pemecahan masalah dapat membantu siswa untuk menerapkan pengetahuan yang telah mereka peroleh kepada situasi yang baru untuk dapat memperoleh pengetahuan baru”. Mengungkapkan masalah dapat berupa pengajuan-pengajuan pertanyaan, hal ini dituntut guru untuk menciptakan pertanyaan dan mendorong siswa untuk menjawab pertanyaan tersebut. Melalui menjawab pertanyaan tersebut siswa telah berusaha untuk menyelesaikan masalah yang telah disediakan guru. pertanyaan tersebut disesuaikan dengan tingkat kognisi dan perkembangan siswa. Hal ini sesuai dengan pendapat Hadojo (2005) “suatu pertanyaan merupakan suatu masalah bagi siswa, pertanyaan yang dihadapkan pada siswa haruslah dapat diterima oleh siswa tersebut, jadi pertanyaan itu harus sesuai dengan struktur kognitif siswa”.

(8)

yang di ajukan guru. Menurut penjelasan Hadojo (2005) “mengajarkan pemecahan masalah kepada siswa merupakan kegiatan dari seorang guru di mana guru itu membangkitkan siswa-siswanya agar menerima dan merespons pertanyaan-pertanyaan yang diajukan olehnya dan kemudian ia membimbing siswa-siswanya untuk sampai kepada penyelesaian masalah”.

Sehubungan dengan paparan di atas, Savage dan Amstrong (1996) telah merumuskan prosedur pemecahan masalah yang terdiri dari empat tahap proses pemecahan masalah, yaitu:

1) Mengenal adanya masalah

2) Mempertimbangkan pendekatan-pendekatan untuk pemecahannya 3) Memilih dan menerapkan pendekatan-pendekatan pemecahan masalah 4) Mencapai solusi yang dapat dipertanggungjawabkan

Prosedur pemecahan masalah yang dirumuskan oleh Savage dan Amstrong di atas digunakan sebagai prosedur pemecahan masalah sosial dalam penelitian ini karena prosedur ini dinilai relevan dalam memecahkan permasalahan sosial dalam IPS di sekolah dasar. Relevansinya antara lain karena ahli ini memang memfokuskan bahasannya pada pemecahan masalah dalam IPS SD.

C. Metodologi Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuasi eksperimen. Desain eksperimen yang digunakan adalah kuasi eksperimen Nonequivalent Control Group Pretest-posttest Design dimana kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol tidak dipilih secara random. Variabel bebas penelitian yaitu penerapan model pembelajaran STS, sedangkan variabel terikat kemampuan berpikir kritis dan kemampuan memecahkan masalah sosial siswa. Teknik pengumpulan data terdiri dari tes pemahaman konsep IPS dan prestasi belajar siswa ranah kognitif. Untuk instrumen pelengkap, digunakan lembar observasi, angket tanggapan siswa, dan pedoman wawancara dengan guru. Penelitian ini berlokasi di Sekolah Dasar Negeri Jambo Reuhat UPTD Darul Aman Kab. Aceh Timur Prov. Aceh. Subyek dalam penelitian ini adalah seluruh siswa dan siswi kelas IVa dan IVb semester 2.

(9)

saja tanpa diimbangi dengan aspek nilai dan keterampilan, selain itu penggunaan metode pembelajaran yang cenderung konvensional oleh guru menjadikan pembelajaran kurang bermakna. Pembelajaran yang terjadi di lapangan kemudian dikaji dengan teori yang relevan, maka diadakanlah studi literatur. Studi literatur dimaksudkan untuk memperoleh teori-teori yang berkaitan dengan permasalahan. Teori yang relevan dengan permasalahan dapat berupa teori-teori pembelajaran, psikologi perkembangan dan psikologi pendidikan, strategi pembelajaran, kurikulum dan teori-teori yang berkaitan dengan perencanaan, proses dan evaluasi pembelajaran serta teori pembelajaran dalam IPS.

Perencanaan pembelajaran menyangkut materi tentang pembelajaran IPS dalam Standar Kompetensi dan Standar Isi, Standar Kelulusan yang dikembangkan dalam silabus pembelajaran IPS di SD. Untuk dapat menyusun perangkat pembelajaran itu maka diperlukan pengetahuan tentang karakteristik kehidupan sosial pada sekolah penelitian sehingga materi ajar dapat mengangkat isu-isu sosial sesuai dengan konteks keadaan sosial setempat yang dapat dijadikan sumber belajar dan sebagai acuan pedoman dalam penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), media pembelajaran, soal tes, angket, lembar observasi dan wawancara dengan guru.

(10)

perbaikan dari peneliti disikapi positif oleh guru. Sosialisasi ini berlangsung di sela-sela waktu senggang guru tanpa mengganggu tugas dan kewajiban jadwal guru dalam mengajar.

Proses pembelajaran menyangkut prosedur pelaksanaan pembelajaran yang sesuai dengan metode pembelajaran STS. Langkah pertama dalam penelitian ini adalah memberi uji pretes, diikuti dengan pelaksanaan dan penerapan pembelajaran dan diakhiri dengan uji postes atau tahap evaluasi. Uji pretes ditujukan untuk mengetahui kemampuan awal siswa sebelum pembelajaran materi yang di eksperimenkan. Sedangkan untuk uji postes ditujukan untuk menggambarkan kemampuan akhir siswa setelah mengikuti pembelajaran dengan penerapan metode yang dieksperimenkan. Dalam pelaksanaan pembelajaran, untuk kelas kontrol dan kelas eksperimen diberikan perlakuan (treatment) yang berbeda. Perbedaan perlakuan (treatment) hanya menyangkut metode yang diberikan dalam pembelajaran. Pada kelas eksperimen diterapkan metode pembelajaran STS, sedangkan kelas kontrol diterapkan metode pembelajaran konvensional yang biasa dilakukan guru.

Kelebihan penggunaan model pembelajaran STS dalam meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan kemampuan pemecahan masalah ditinjau berdasarkan perbandingan nilai gain yang dinormalisasi (N-gain), antara kelompok kontrol dan kelompok eksperimen. Gain yang dinormalisasi (N-gain) dapat dihitung dengan persamaan:

g=SpostSpre

SmaksSpre

(Hake dalam Meltzer, 2002)

Keterangan:

g = gain yang dinormalisasi Spos = Skor Postes

Spre = Skor Pretes

Smaks = Skor Maksimum Ideal

D. Hasil Penelitian

1. Hasil Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa dan Kemampuan Memecahkan Masalah Sosial Siswa

(11)

tes akhir, dan N-Gain kemampuan berpikir kritis pada kelompok eksperimnen dan kelompok kontrol pada gambar 1.

Pretest Posttes N-Gain

0 5 10 15

Kemampuan Berpikir Kritis Siswa

A

x

is

T

it

le

Gambar 1. Perbandingan Skor Rata-rata Tes Awal, Tes Akhir, dan N-gain Kemampuan Berpikir Kritis untuk Kedua Kelompok

Berdasarkan pada data yang diperoleh di lapangan kemampuan berpikir kritis siswa diperoleh skor rata-rata tes awal siswa kelas kontrol sebesar 7,00 atau 35% dari skor ideal 20 dan kelas eksperimen 7,12 atau 35,60 % dari skor ideal 20. Sedangkan rata-rata tes akhir kelas kontrol sebesar 8,68 atau 43,40 % dari skor ideal 20 dan kelas eksperimen 14,12 atau 70,60 % dari skor ideal 20. Dari perbandingan data tersebut dapat dilihat bahwa skor rata-rata kelas kontrol lebih kecil dari pada kelas eksperimen. Skor rata-rata gain yang dinormalisasikan (N-Gain) kemampuan berpikir kritis pada kelas kontor sebesar 0,14 dengan kategori rendah dan kelompok eksperimen 0,55 dengan kategori sedang. Pengujian normalitas data dengan Kolmogorov-Smirnov, dan pengujian homogenitas data, dari hasil pengujian kedua data normal dan homogen. Selanjutnya data dilakukan uji perbedaan (komparatif) dengan menggunakan Analisis Independent Sample T Test dengan taraf signifikan 0,05. Hasil analisis data menunjukkan bahwa kemampuan berpikir kritis siswa setelah mengikuti pembelajaran baik kelompok kontrol maupun kelompok eksperimen mengalami peningkatan. Peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa pada kelas eksperimen melalui model pembelajaran STS lebih baik dibandingkan dengan kelas kontrol melalui pembelajaran konvensional.

(12)

persentase skor rata-rata tes awal, tes akhir, dan N-Gain kemampuan berpikir kritis pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol pada gambar 2.

Pretest Posttes N-Gain

0 5 10 15

Kemampuan Pemecahan Masalah

Sosisal Siswa

A

x

is

T

it

le

Gambar 2. Perbandingan Skor Rata-rata Tes Awal, Tes Akhir, dan N-gain Kemampuan Pemecahan Masalah Sosial untuk Kedua Kelompok

Berdasarkan pada data yang diperoleh di lapangan kemampuan pemecahan masalah sosial siswa diperoleh skor rata-rata tes awal siswa kelas kontrol sebesar 4,48 atau 22,40% dari skor ideal 20 dan kelas eksperimen 4,32 atau 21,60 % dari skor ideal 20. Sedangkan rata-rata tes akhir kelas kontrol sebesar 6,56 atau 32,80% dari skor ideal 20 dan kelas eksperimen 13,36 atau 66,80 % dari skor ideal 20. Dari perbandingan data tersebut dapat dilihat bahwa skor rata-rata kelas kontrol lebih kecil dari pada kelas eksperimen. Skor rata-rata gain yang dinormalisasikan (N-Gain) kemampuan berpikir kritis pada kelas kontor sebesar 0,12 dengan kategori rendah dan kelompok eksperimen 0,57 dengan kategori sedang. Pengujian normalitas data dengan Kolmogorov-Smirnov, dan pengujian homogenitas data, dari hasil pengujian kedua data normal dan homogen. Selanjutnya data dilakukan uji perbedaan (komparatif) dengan menggunakan Analisis Independent Sample T Test dengan taraf signifikan 0,05. Hasil analisis data menunjukkan bahwa kemampuan berpikir kritis siswa setelah mengikuti pembelajaran baik kelompok kontrol maupun kelompok eksperimen mengalami peningkatan. Peningkatan kemampuan pemecahan masalah sosial siswa pada kelas eksperimen melalui model pembelajaran STS lebih baik dibandingkan dengan kelas kontrol melalui pembelajaran konvensional.

(13)

masalah siswa pada proses pembelajaran. Temuan-temuan tersebut dapat dideskripsikan sebagai berikut:

Proses belajar mempelajari tiga topik pelajaran, yakni topik perkembangan teknologi produksi, teknologi komunikasi dan teknologi transportasi. Setiap pertemuan, model pembelajaran STS mengangkat permasalahan atau isu-isu yang berkembang pada masyarakat setempat. Permasalahan tersebut dekat dan nyata bagi siswa, yang dikemas dalam LKS. Aktivitas pembelajaran yang dapat merangsang kemampuan berpikir kritis siswa berlangsung melalui tiga hal, pertama pada tahapan eksplorasi pengetahuan siswa, kedua kolaborasi pada kelompok, dan ketiga presentasi diskusi kelas pertanggung jawaban hasil diskusi. Melalui aktivitas pembelajaran siswa menganalisis isu dan permasalahan yang diangkat dalam pembelajaran sehingga dapat merangsang kemampuan berpikir kritis dan kemampuan pemecahan masalah sosial siswa.

Langkah pertama pada pembelajaran, yaitu guru mengajukan pertanyaan dan mengorientasikan masalah, selanjutnya siswa di tugaskan untuk mengobservasi kegiatan teknologi produksi pertanian, komunikasi dan transportasi yang ada di sekitar siswa. Selanjutnya siswa mengeksplorasi pengetahuannya dengan menemukan berbagai teknologi berdasarkan pengalaman siswa menggunakan teknologi tersebut dan berdasarkan hasil observasi yang telah dilakukan. Hasil temuan tersebut di kolaborasikan dengan teman satu kelompok dan dilaporkan ke depan kelas ditulis di papan tulis. Kemudian guru mengarahkan siswa untuk dapat membedakan peralatan tersebut yang digunakan secara tradisional dan modern, di sini terlihat bahwa siswa telah mampu mengidentifikasi peralatan-peralatan tersebut sesuai dengan fungsi kegunaannya dan perkembangan dari masa lalu sampai masa sekarang, serta terlihat bahwa variasi jawaban pada setiap kelompok tersebut menjadi beragam. Hal tersebut mencerminkan kemampuan berpikir kritis siswa telah muncul pada indikator kemampuan mengidentifikasi, membuat dan mempertimbangkan nilai keputusan.

(14)

baru, di sinilah peranan guru untuk memfasilitasi dan mengarahkan siswa yang tidak paham dengan cara-cara mengerjakan LKS tersebut. Siswa telah mampu mengenal adanya masalah, mampu memberikan solusi untuk memecahkan masalah, kedua tahapan ini lebih banyak muncul dari kelompok, di bandingkan dengan tahapan memberikan pertimbangan pendekatan-pendekatan pemecahan masalah dan tahapan memilih dan menerapkan pendekatan-pendekatan pemecahan masalah, hal ini disebabkan oleh rendahnya kemampuan dasar pemecahan masalah pada siswa dikarenakan siswa selama ini belum terbiasa dengan pembelajaran berbasis masalah.

Selanjutnya kemunculan kemampuan berpikir kritis dan pemecahan masalah sosial siswa pada saat presentasi hasil diskusi kelompok ke depan kelas, setiap kelompok melaporkan jawaban diskusi mereka dari LKS yang telah dikerjakan. Dari kegiatan diskusi dan presentasi kelas yang telah dilakukan, siswa menganalisis dan berargumentasi sehingga memunculkan pemikiran kritis dan pemecahan masalah yang variatif dari masing-masing kelompok, jika ada kesalahan pemahaman dari siswa maka di sinilah peranan guru meluruskan jawaban tersebut dan memberikan pemahaman yang benar, hal ini dikenal dengan pelurusan konsep.

Peranan guru untuk merangsang siswa berpikir kritis sangat diperlukan, di mana guru perlu memberikan motivasi dan penghargaan, sehingga siswa tidak takut salah, semua pendapat siswa merasa dihargai di dalam kelas, dengan demikian siswa berani memberikan argumentasi dan mempertahankan pendapatnya, dan siswa dapat menerima pendapat yang lebih benar sehingga dalam proses pembelajaran siswa aktif dan berpartisipasi setiap langkah-langkah pembelajaran yang berlangsung. Guru tidak menjadi satu-satunya sumber belajar, namun, sumber belajar itu berada pada setiap pengalaman siswa, lingkungan siswa dan guru menjadi fasilitator serta mediator. Dengan demikian isu dan permasalahan yang diangkat pada pembelajaran, sebagai wujud pengalaman nyata siswa berkenaan dengan perkembangan sains dan teknologi yang di bahas dalam pembelajaran.

(15)

pembelajaran diharapkan tidak hanya aspek kognitif saja yang berkembang, melainkan keterampilan sikap, kreativitas, kemudian aplikasi konsep juga meningkat. Melalui aktivitas pembelajaran siswa menganalisis isu dan permasalahan yang diangkat dalam pembelajaran sehingga dapat merangsang kemampuan berpikir kritis dan kemampuan pemecahan masalah sosial siswa. Mengutip pendapat Barnes, Alit Mariana (1999) mengatakan bahwa dalam pembelajaran model STS konsep yang dibahas secara langsung dihadapkan kepada siswa atau siswa dibawa langsung ke alam sekitarnya, maka dalam belajar siswa akan mencari hubungan, kesamaan sehingga memperoleh kelompok berdasarkan konsep dan teori yang telah dimiliki dan memperoleh pola-pola berdasarkan pengamatannya. Sebagai dampak positif pembelajaran tersebut menstimulus siswa memperoleh konsep lanjutan melalui penggalian ide-ide dan fakta yang di ikuti dengan proses berpikir dan akhirnya mampu menghubungkan dan menggunakan konsep tersebut untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari, sehingga konsep yang diperoleh menjadi lebih bermakna.

2. Tanggapan Guru dan Siswa Terhadap Model Pembelajaran STS

Hasil wawancara tanggapan guru terhadap model pembelajaran STS adalah sebagai berikut:

a. Guru mengatakan belum mengenal model pembelajaran STS, guru menyampaikan pembelajaran dengan metode, ceramah, tanya jawab dan diskusi kelompok.

b. Pembelajaran ini mempunyai kelebihan, siswa benar-benar diajak untuk belajar pada dunia nyata. Siswa dapat memperoleh pengetahuan dan pemahaman produk teknologi di sekitar mereka, siswa dapat, mempelajari dampak baik dan buruk dari teknologi, siswa dapat berpikir teknologi mana yang baik digunakan, serta mempunyai kemampuan untuk memecahkan masalah sesuai dengan langkah-langkah yang telah dipelajari.

c. Model pembelajaran STS memiliki kelebihan dapat meningkatkan kesadaran siswa terhadap teknologi dan permasalahannya, jika dibandingkan dengan model pembelajaran lain yang biasa dilakukan guru pada topik yang sama, siswa hanya memperoleh pengetahuan peralatan teknologi sesuai yang ada di buku teks. d. Model pembelajaran STS juga sangat baik untuk meningkatkan kemampuan

(16)

berpikir. Melalui isu-isu sosial dan permasalahan sosial yang disediakan siswa dapat memecahkan permasalahan melalui kolaborasi dengan rekan, maupun dengan bantuan guru pada pemantapan konsep.

e. Model pembelajaran STS ini sangat baik dipakai dalam pembelajaran, melihat dari pembelajaran tadi upaya siswa dalam berpikir sudah terarah serta melalui media LKS siswa dapat memecahkan masalah yang telah disediakan, melalui diskusi siswa dapat bertukar pendapat untuk memecahkan masalah tersebut. f. Ketersediaan bahan ajar dalam bentuk LKS sangat membantu siswa dalam

memahami materi yang sedang dipelajari, siswa lebih cepat mengerti dalam mengerjakan tugas baik secara individu maupun kelompok

g. Secara umum guru memberikan respons positif terhadap model pembelajaran STS, pembelajaran ini dapat membantu siswa menganalisis isu permasalahan yang di ajukan dan berpikir serta berusaha menyelesaikan permasalahan yang diberikan.

Dengan memperhatikan hasil jawaban wawancara dengan guru, dapat diketahui bahwa guru mitra pada kelas IVa (empat) yang mengajarkan model pembelajaran STS merespons dengan positif atau tertarik dengan pembelajaran STS pada topik perkembangan teknologi. Implikasi dari ketertarikan guru tersebut, guru berkeinginan menerapkan model pembelajaran STS pada materi yang lain sesuai dengan karakteristik model STS.

(17)

berpikir kritis dan tes kemampuan pemecahan masalah sosial siswa, dilihat dari peningkatan N-gain dari katagori rendah menjadi kategori sedang pada hasil postes.

E. Kesimpulan

(18)

DAFTAR PUSTAKA

Arniyana, I. (2004). Pengembangan Peta Pikiran untuk Peningkatan Kecakapan Berpikir Kreatif Siswa. Jurnal Pendidikan dan Pengajaran UNDIKSHA no.3 Juli 2007.

Ennis, R. H. (1985). Logical Basic for Measuring Critical Thinking Skills. Education Leadership. Association for Supervision and Curriculum Development.

Hadojo, H. (2005). Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika. Malang: UM Press.

Heath, Phillip; Marker, Gerald et al. (1990). Teaching about Science, Technology and Society in Social Studies: Education for Citizenship in the 21st Century. Social Education April/May:189-193.

Killen, R. (1998). Effective Teaching Strategies Lesson from Research and Practice. Katoomba: Sociel Science Press.

Mariana, A. (1999). Hakikat Pendekatan STS dalam Pembelajaran Sains. Bandung : Depdikbud Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah PPPG IPA.

Meltzer, D.E. (2002). The Relationship Between Mathematics Preparation and Conceptual Learning Gain in Physics: A Possible “Hidden Variable” in Diagnostic Pretest Scores. American Journal of Physics [Online]. Tersedia: http://www.physics.iastate.edu/per/docs/AJP-Dec-2002-Vo.70-1259-1268.pdf. [September 2010].

Poedjiadi, A. (2007). Sains Teknologi Masyarakat: Model Pembelajaran Konstektual yang Bermuatan Nilai. Bandung: Remaja Rosda Karya.

Santrock. W, J. (2002). Psikologi Pendidikan. Jakarta: Erlangga.

Savage. T.V. dan Amstrong, D.G. (1996). Effective Teaching in Elementary Social Studies. Third Edition. New Jersey: Prenctice Hall.

Yager, R. (1992). STS Approach Parallels Constructivist Practice. Education International. Vol.3 No.2.

Gambar

Gambar 1. Perbandingan Skor Rata-rata Tes Awal, Tes Akhir, dan N-gain KemampuanBerpikir Kritis untuk Kedua Kelompok
Gambar 2. Perbandingan Skor Rata-rata Tes Awal, Tes Akhir, dan N-gain KemampuanPemecahan Masalah Sosial untuk Kedua Kelompok

Referensi

Dokumen terkait

Web dimana dikelola oleh admin yang bertugas untuk melakukan update pada Aplikasi yang terdapat dalam Android dan yang kedua adalah Aplikasi Android itu sendiri yang dapat

Strategi lain yang di lakukan untuk mensiasati kekurangan dalam memenuhi kebutuhan ialah memanfaatkan kredit informal, mengikuti arisan, menjual barang-barang

Temuan dari hasil penelitian ini adalah: (1) responden terhadap pengaruh bauran promosi terhadap keputusan pembelian (2) Hasil uji t menunjukkan bahwa secara

Ketua prodi terbaik UNAIR tahun 2016 tersebut juga menuturkan keunggulan lain yang dimiliki prodi yang dipimpinnya untuk kali kedua ini.. Salah satunya adalah adanya

Jikalau ada perselisihan antara kedua belah pihak yang tidak dapat diputuskan oleh kedua belah pihak maka perselisihan ini akan diputuskan dalam tingkat yang tertinggi oleh suatu

yang telah melimpahkan rahmat dan hidayat-Nya sehingga penulisan Laporan Tugas Akhir dengan judul Perancangan Buku Illustrasi Monumen Bersejarah di Jakarta ini sebagai syarat

Pencemaran asap lintas batas akibat kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia untuk saat ini memang belum menimbulkan sengketa antara negara-negara ASEAN, terutama antara