ADAT LARIAN DAN HARTA SESAN DALAM MASYARAKAT LAMPUNG: SEBUAH KAJIAN ANTROPOLOGI HUKUM
Oleh
Muhamad Isna Wahyudi (Hakim PA Kotabumi)
Pengantar
Antropologi adalah ilmu atau studi tentang manusia, atau jelasnya ilmu
pengetahuan yang mempelajari manusia, baik dari segi hayati maupun dari segi
budaya. Sementara antropologi hukum adalah ilmu pengetahuan yang
mempelajari manusia dalam kaitannya dengan kaidah-kaidah sosial yang bersifat
hukum, yaitu pola ulangan dari prilaku manusia yang selalu sama dan serasi dan
sering berlaku, atau yang disebut kebiasaan atau adat yang memiliki sanski sosial.
Dalam tulisan ini, penulis berusaha melakukan studi antropologi hukum
terhadap prilaku pasangan laki-laki dan perempuan pra-nikah di kalangan
masyarakat Lampung atau yang dikenal dengan adat larian (sebambangan), dan
adat sesan, dengan menggunakan metode diskriptif. Studi ini penting untuk
mengetahui nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, karena hukum yang
memenuhi rasa keadilan adalah hukum yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai
hukum yang hidup dalam masyarakat.
Adat Larian (Sebambangan)
Selama bertugas di Pengadilan Agama Kotabumi, Lampung Utara, yaitu
sejak Juli 2010 sampai sekarang, penulis telah menemukan kebiasaan unik yang
nikah. Kebiasaan tersebut adalah adat larian. Adat larian adalah suatu kebiasaan
pra-nikah dalam mana pasangan perempuan atas kehendaknya sendiri bersedia
diajak pasangan laki-laki untuk tinggal di tempat kerabat pasangan laki-laki.
Ketika seorang gadis ingin melakukan larian dengan kekasihnya, maka gadis
tersebut akan meninggalkan sepucuk surat untuk orang tuanya yang berisi
pemberitahuan bahwa gadis tersebut sedang dalam larian dengan kekasihnya.
Surat tersebut biasanya diletakkan di bawah bantal atau di dalam almari. Ketika
meninggalkan surat tersebut, gadis tesebut juga meninggalkan sejumlah uang
yang berasal dari kekasihnya, yang disebut dengan uang peninggalan (tengepik).
Selain itu biasanya juga ditinggalkan keris/pisau, sebagai simbol keberanian pihak
keluarga laki-laki.
Adat larian ini biasanya dilatarbelakangi oleh ketidakcocokan keluarga
perempuan dengan calon suami, baik terkait dengan sejumlah uang yang diminta
oleh keluarga perempuan dari pihak laki-laki atau karena masalah status sosial
yang dianggap tidak setara dengan pihak laki-laki. Sebagai upaya untuk dapat
tetap menikah dengan pasangan, maka pasangan perempuan dan laki-laki
kemudian sepakat melakukan adat larian.
Setelah pihak perempuan tinggal bersama kerabat pihak laki-laki, maka
keluarga pihak laki-laki akan menghubungi keluarga pihak perempuan untuk
meminta persetujuan perkawinan perempuan dengan laki-laki yang sedang dalam
larian. Dalam hal ini, biasanya antara keluarga laki-laki dengan keluarga
perempuan terjadi tawar-menawar terkait jumlah uang peninggalan yang
Dalam hal tidak terjadi kesepakatan, atau tidak ada persetujuan dari pihak
keluarga perempuan, maka pasangan perempuan akan tetap tinggal bersama
dengan kerabat pasangan laki-laki untuk beberapa lama, dan kemudian baru akan
dikembalikan kepada keluarga perempuan. Namun demikian, jika hal ini terjadi,
maka perempuan tersebut akan dipandang rendah dan sebagai perempuan yang
tidak laku sebagai sanksi sosial. Oleh karena itu, demi menjaga pi’il (gengsi)
biasanya pihak keluarga perempuan lebih cenderung mengikuti permintaan
keluarga pihak laki-laki untuk menikahkan anak perempuannya dengan pasangan
laki-lakinya.
Apabila suatu perkawinan dilatarbelakangi dengan adat larian ini, maka
acara akad nikah dan pesta perkawinan dilakukan di tempat tinggal keluarga pihak
laki-laki dan semua biaya pelaksanaannya ditanggung oleh pihak laki-laki.
Berbeda dengan perkawinan yang tidak dilatarbelakangi oleh adat larian, maka
akad nikah dan pesta perkawinan dilakukan di tempat tinggal pihak perempuan.
Prilaku pasangan yang melakukan adat larian ini menunjukkan bahwa
dalam hal perkawinan, setiap manusia memiliki hak untuk menentukan pasangan
hidupnya secara mandiri. Kekuasaan orang tua atas anak tidak dapat menghalangi
hak anak untuk menentukan dengan siapa ia akan menikah. Dalam hal ini
terkandung nilai penghargaan terhadap hak asasi manusia dalam menentukan
pasangan hidup.
Adat Sesan
Ketika seorang perempuan akan melangsungkan perkawinan, maka
perempuan tersebut membantu menyediakan perabotan rumah tangga untuk bekal
dalam memulai hidup berumah tangga. Berbagai perabotan rumah tangga tersebut
disebut dengan sesan. Pada saat upacara perkawinan, sesan dibawa oleh
rombongan calon pengatin perempuan. Besarnya nilai sesan sangat tergantung
dengan kemampuan ekonomi kerabat calon pengantin perempuan.
Sebelumnya, para kerabat calon pengantin perempuan mendapat bagian
uang dari pemberian calon pengantin laki-laki yang diterima keluarga perempuan.
Kemudian para kerabat calon pengantin perempuan membelanjakan uang tersebut
untuk membeli berbagai perabotan rumah tangga yang biasanya harganya jauh
lebih tinggi dari pada jumlah uang yang diterima. Perbotan rumah tangga tersebut
biasanya berupa almari pakaian, rak, tempat tidur, kasur, kulkas, meja dan kursi
makan, meja kursi ruang tamu, kompor gas, dan sebagainya. Perabotan tersebut
dibawa pada saat acara resepsi perkawinan di pihak laki-laki.
Adat sesan merupakan kearifan lokal yang mampu meringankan beban
pasangan pengantin baru dalam memulai kehidupan rumah tangga. Dengan cara
ini sebenarnya dapat mengikis ketakutan dalam melangsungkan perkawinan hanya
karena belum memiliki berbagai fasilitas untuk keperluan berumah tangga,
akibatnya dengan semakin lama menunda perkawinan justru lebih mudah
terjerumus untuk melakukan perzinaan. Adat ini juga bertujuan untuk memuliakan
seorang istri sebagai ratu dalam rumah tangga yang perlu dibekali dengan
Adat Larian dan Permohonan Dispensasi Kawin
Ketika calon pengantin belum memenuhi syarat minimal usia perkawinan,
yaitu 16 tahun bagi perempuan, dan 19 tahun bagi laki-laki, sesuai dengan
ketentuan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, maka untuk dapat
melangsungkan perkawinan dapat diajukan permohonan dispensasi kawin kepada
Pengadilan.
Lain di Yogyakarta, lain pula di Kotabumi. Ketika penulis masih bertugas
di Pengadilan Agama Yogyakarta, penulis menemukan bahwa hampir seratus
persen perkara permohonan dispensasi kawin dilatarbelakangi oleh telah
terjadinya kehamilan pasangan perempuan akibat hubungan seks dengan pasangan
laki-laki di luar nikah. Dalam hal ini, alasan lebih bersifat yuridis formal, yaitu
memberikan perlindungan hukum atas status anak yang masih dalam kandungan.
Sementara di Kotabumi, Lampung Utara, penulis menemukan bahwa alasan
permohonan dispensasi kawin adalah karena pasangan perempuan telah tinggal
bersama keluarga pihak laki-laki untuk suatu periode waktu. Alasan ini
sebenarnya merupakan adat larian yang berlaku di kalangan masyarakat
Lampung. Karena pihak perempuan sudah tinggal bersama keluarga pihak
laki-laki, maka apabila tidak segera dinikahkan akan menjadikan aib bagi keluarga
pihak laki-laki dan mendapat kecaman dari masyarakat. Dalam hal ini, alasan
permohonan dispensasi kawin lebih bersifat sosiologis. Oleh karena itu,
hakim-hakim yang bertugas di wilayah Pengadilan Tinggi Agama Bandar Lampung perlu
mengetahui adat larian ini, sebagai nilai-nilai hukum yang hidup dalam
Adat Larian dan Wali Adhal
Ada kalanya adat larian ini terjadi antara dua keluarga yang berbeda suku,
pihak laki-laki berasal dari suku Lampung, sementara pihak perempuan berasal
dari suku Jawa. Dalam hal ini, biasanya pihak keluarga perempuan tidak
menyetujui perkawinan anak perempuannya dengan pasangan laki-lakinya.
Akibatnya, wali pihak perempuan pun enggan untuk menjadi wali (adhal).
Kemudian pihak calon pengantin perempuan mengajukan permohonan wali adhal
ke Pengadilan Agama.
Berbeda ketika adat larian ini terjadi antar keluarga yang berasal dari suku
Lampung, maka masalah di atas jarang sekali terjadi.
Adat Sesan dan Harta Bersama
Selama bertugas sebagai hakim di Pengadilan Agama Kotabumi, Lampung
Utara, penulis pernah memeriksa perkara cerai talak dalam mana terdapat
sengketa harta bersama yang mencakup harta sesan. Pihak laki-laki mengklaim
bahwa harta sesan merupakan hak milik pihak laki-laki, sementara pihak
perempuan meminta harta sesan tersebut untuk dikembalikan kepada pihak
perempuan jika terjadi perceraian. Akhirnya majelis hakim berpendapat bahwa
harta sesan termasuk harta bawaan pihak perempuan karena harta tersebut
diperoleh oleh pihak perempuan sebelum terjadi perkawinan sebagai pemberian
dari para kerabat pihak perempuan. Oleh karena itu, harta sesan bukan termasuk
harta bersama, melainkan harta bawaan dari pihak perempuan, sehingga menjadi
Penutup
Demikian tulisan singkat tentang kearifan lokal yang penulis temukan di
dalam masyarakat Lampung, semoga tulisan ini dapat menjadi bekal bagi
rekan-rekan hakim yang akan menginjakkan kakinya di bumi ruwa jurai. Seandainya
setiap hakim yang bertugas di daerah mau menulis berbagai kearifan lokal yang
ada di masyarakat tempat ia bertugas, maka ke depan akan dapat disusun sebuah
buku tentang kearifan lokal nusantara yang tentunya sangat bermanfaat bagi