• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peranan Pembuktian Terhadap Putusan Hakim Dalam Penjatuhan Hukuman Terhadap Pelaku Pembunuhan Berencana ( Putusan Pengadilan Negeri No.1359 PID.B 2014 PN.JKT.PST)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Peranan Pembuktian Terhadap Putusan Hakim Dalam Penjatuhan Hukuman Terhadap Pelaku Pembunuhan Berencana ( Putusan Pengadilan Negeri No.1359 PID.B 2014 PN.JKT.PST)"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Maraknya kejahatan yang terjadi belakangan waktu ini, membuat penulis

tertarik untuk membahas mengenai kejahatan tersebut, terutama mengenai

kejahatan pembunuhan. Banyak sebab mengenai mengapa seseorang dapat

melakukan kejahatan terutama pembunuhan baik karena alasan cemburu, dendam,

maupun hal lainnya.Untuk menyelesaikan permasalahan tersebut dan memberi

efek jera hukum pidana dianggap masih sebagai penyelesaian terbaik dalam

pemberian hukuman atau efek jera bagi pelaku.

Sebab-sebab timbulnya kejahatan dan apa perlunya sanksi hukum pidana

diterapkan, hingga saat ini meskipun perubahan dalam arti sifat, bentuk dan tujuan

pidana, pidana tetap dianggap sebagai satu-satunya jawaban terakhir dalam

memberantas kejahatan, padahal pandangan ini tidaklah benar karena persoalnnya

bukan saja pengaruh pidana yang menakutkan atau membentuk penegak hukum

yang profesional akan tetapi ada hal lain yang penting untuk diperhatikan adalah

adanya faktor motif timbulnya pelanggar-pelanggar hukum1

Pembahasan mengenai kejahatan dalam hukum pidana Indonesia,

sangatlah menarik untuk dipelajari lebih dalam. Dalam sistem KUHP Indonesia,

mengenal pembagian Delik sebagai berikut :

1. Kejahatan yang dimuat di dalam Buku Kedua;

2. Pelanggaran yang dimuat di dalam Buku Ketiga.

1

(2)

Perbedaan ini mengikuti sistem Wetboek Straftrecht Nederland, namun

berbeda dengan di Nederland, KUHP Indonesia membagi lagi kejahatan tersebut

ke dalam kejahatan biasa dan kejahatan ringan yang diatur di dalam Pasal 302

(Penganiayaan hewan ringan), Pasal 352 (Penganiayaan Ringan), Pasal 364

(pencurian ringan), Pasal 379 (penipuan ringan), Pasal 384 (perbuatan curang

yang ringan), Pasal 407 (perusakan atau penghilangan barang yang ringan) dan

Pasal 482 KUHP (penadahan ringan). Perlu diuraikan bahwa delik menurut Pasal

384 sebagai bentuk ringan delik tersebut pada Pasal 383 dan yang disebut di

dalam Pasal 407 sebagai bentuk ringan delik menurut Pasal 406 KUHP tidak

diberikan kualifikasi delik ringan, tetapi dari uraian dalam kedua Pasal itu dapat

disimpulkan bahwa keduanya adalah kejahatan ringan.2

Jonkers berpendapat, bahwa dibentuknya aturan hukum pidana tentang

kejahatan ringan disebabkan oleh keperluan untuk mengajukan

kejahatan-kejahatan tertentu yang banyak terjadi kepada Pengadilan yang paling dekat

kedudukannya dengan tempat terjadinya. Berhubung karena sekarang hanya

dikenal satu jenis Pengadilan tingkat pertama yaitu Pengadilan Negeri, maka

kriterium demikian tidak perlu lagi, dan yang harus digunakan ialah cara

mengadilinya menurut Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana Indonesia.

Jonkers berpendapat bahwa perbedaan antara Kejahatan dan Pelanggaran

merupakan perbedaan Kualitatif . Pembedaan Tindak Pidana atas Kejahatan dan

pelanggaran itu didasarkan kepada kejahatan itu adalah rechtsdelicten, sedangkan

pelanggaran adalah wetsdelicten, yang penjelasaannya sebagai berikut :

2

(3)

1. Rechtsdelicten (delik umum) merupakan perbuatan yang tidak adil menurut

filsafat, yaitu perbuatan yang tidak tergantung kepada suatu ketentuan pidana,

tetapi merupakan perbuatan yang dirasakan tidak adil menurut keinsyafan

(kesadaran) batin manusia dan juga merupakan perbuatan yang dirasakan

tidak adil menurutundang-undang (yaitu perbuatan yang tidak sah yang

ditentukan oleh undang-undang). Menurut pandangan ini maka pembunuhan,

pencurian,penganiayaan, dan perbuatan-perbuatan semacam itu merupakan

Rechtsdelicten, karena dirasakan sebagai perbuatan yang tidak tidak adil baik

menurut keinsyafan manusia (kesadaran) batin manusia maupun menurut

undang. Jadi, andaikata suatu perbuatan belum dilarang oleh

undang-undang, namun perbuatan itu dirasakan sebagai perbuatan yang tidak adil

maka perbuatan itu merupakan Rechtsdelicten.

2. Wetsdelicten (delik undang-undang), merupakan perbuatan yang pada

mulanya menurut keinsyafan (kesadaran) batin manusia tidak dirasakan

sebagai perbuatan yang tidak adil, namun baru dirasakan sebagai perbuatan

yang dapat dipidana (dilarang) karena perbuatan itu diancam dengan pidana

oleh undang-undang, misalnya perbuatan yang melanggar lalu lintas. Alasan

yang menyebabkan undang-undang menentukan Wetsdelicten sebagai tindak

pidana, adalah untuk menjamin keamanan umum, unyuk memelihara dan

mempertahankan ketertiban umum, untuk memajukan kesehatan umum, dan

alasan semacam itu yang mempunyai corak sosial dan kemasyarakatan,

sehingga dapat tidaknya dipidana perbuatan-perbuatan ini didasarkan pada

(4)

tertentu kemerdekaan daripada seseorang harus dibatasi untuk kepentingan

umum.

Perbedaaan kuantitatif yang membedakan antara kejahatan dengan

pelanggaran dari segi kriminologi ini, didasarkan kepada hal sebagai berikut :

1. Bahwa sanksi pelanggaran lebih ringan daripada sanksi kejahatan ;

2. Bahwa percobaan melakukan pelanggaran (Pasal 54 KUHP) dan membantu

melakukan pelanggaran (Pasal 60 KUHP) tidak dipidana.3

Kejahatan-kejahatan (misdrijven) masih ada yang disebut “lichte

misdrijven”, semuanya ada 9 macam, yaitu :

1. Pasal 364 KUHP, pencurian ringan;

7. Pasal 407 KUHP, merusak barang ringan;

8. Pasal 302 KUHP, penganiayaan binatang ringan;

9. Pasal 482 KUHP, tadah ringan4

Setelah mengetahui apa yang dimaksudkan dengan kejahatan dan

pelanggaran, serta perbedaan diantara keduanya. Hal tersebut merupakan suatu

dasar untuk memahami yang dimaksudkan dengan kejahatan. Sehingga dapat

3

Mohammad Ekaputra, Dasar-Dasar Hukum Pidana Edisi 2 (Medan: USUpress, 2013), hlm. 93-94.

4

(5)

membahas hal yang lebih dalam lagi yaitu kejahatan terhadap jiwa dan kejahatan

Umumnya, para pakar menggabung hal-hal tersebut menjadi “tindak

pidana terhadap jiwa dan tubuh”, yang dalam KUHP diatur dengan sistematika

sebagai berikut :5

1. Kejahatan terhadap nyawa orang (Bab XIX).

2. Penganiayaan (Bab XX).

3. Menyebabkan mati/lukanya orang karena kesalahan/kelalaian.

Perkataan “nyawa” sering disinonimkan dengan “jiwa”. Kata nyawa,

dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dimuat artinya antara lain sebagai berikut :

1) Pemberi hidup;

2) Jiwa, Roh

Kata “jiwa” dimuat artinya antara lain seabagai berikut :

1) Roh manusia (yang ada di tubuh dan yang menyebabkan hidup)

5

(6)

2) Seluruh kehidupan batin manusia

Pengertian nyawa dimaksudkan adalah yang menyebabkan kehidupan

pada manusia. Menghilangkan nyawa berarti menghilangkan kehidupan pada

manusia yang secara umum disebut “pembunuhan”.Pembunuhan dalam sejarah

kehidupan manusia, telah terjadi sejak dahulu kala dan pengaturannya atau

hukumnya pun telah ditentukan.6

Kejahatan pada tubuh dalam KUHP disebut juga dengan istilah

“penganiayaan” tetapi KUHP sendiri tidak memuat arti penganiayaan tersebut.

Penganiayaan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dimuat artinya sebagai

berikut : “perlakuan yang sewenang-wenang”. Pengertian penganiayaan yang

dimuat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tersebut adalah pengertian dalam

arti luas, yakni termasuk yang menyangkut “perasaan” atau “batiniah”.

Penganiayaan yang dimaksud dalam ilmu hukum pidana adalah yang berkenaan

dengan tubuh dari manusia.

Ilmu Pengetahuan (Doktrine) mengartikan “penganiayaan” sebagai

berikut:

“Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk

menimbulkan rasa sakit atau luka kepada orang lain.”

Penjelasan Menteri Kehakiman pada waktu pembentukan Pasal 351

KUHP, dirumuskan, antara lain :

1. Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk memberikan

penderitaan badan kepada orang lain, atau;

6

(7)

2. Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk merugikan kesehatan

orang lain.

Perumusan yang diajukan Menteri Kehakiman tersebut, pada pembentukan

Pasal 351 KUHP diubah yakni :7

1) Penganiayaan ;

2) Diambil alih oleh ayat (4) ;

Mengenai perbedaan antara kejahatan terhadap nyawa dan kejahatan

terhadap tubuh dalam prakteknya, terdapat sedikit kerumitan dalam penerapan

perbedaan keduanya, terutama pada pembunuhan berencana dan juga

penganiayaan yang berakibat pada kematian yang telah direncanakan terlebih

dahulu. Karena pada dasarnya ada akibat dari tindakan tersebut yaitu hilangnya

nyawa seseorang yang disebabkan oleh perbuatan dari pelaku. Sehingga perlu

dibuktikan terlebih dahulu mengenai makna berencana yang terkandung dalam

pembunuhan berencana serta penganiayaan berat dan berencana. Kemudian harus

dibuktikan kembali niat awal dari pelaku kejahatan, hal tersebut dapat dilihat dari

tindakan yang dilakukan oleh para pelaku. Serta perlu dikaji mengenai pembuatan

surat dakwaan.

Jenis tindak pidana yang dalam frekuensi menyusul adalah tindak pidana

mengenai tubuh dan nyawa orang, yaitu terutama penganiayaan dan pembunuhan.

Kedua macam tindak pidana ini sangat erat hubungannya8.Kedua jenis tindak

(8)

berturut-turut, dan baru kemudian dimuat perbuatan menyebabkan luka atau

matinya orang karena kealpaan (culpa). Jadi, sesuai dengan pandangan saya

mengenai hubungan erat antara penganiayaan dan pembunuhan, hanya saja

pembunuhan didahulukan daripada penganiayaan. Pembunuhan termuat dalam

titel XX Buku II. Hal ini mungkin disebabakan lebih pentingnya pembunuhan

daripada penganiayaan, bukan lebih frekuensinya.

Titel XIX mengenai pembunuhan didahului oleh titel XVIII mengenai

kejahatan terhadap kemerdekaan orang, kiranya menunjukkan bahwa pembentuk

KUHP menganggap lebih tinggi kepentingan seseorang atas kemerdekaannya

daripada atas nyawanya.Sikap pembentuk KUHP ini dapat dimengerti, tetapi ini

tidak berarti bahwa tindak pidana menghilangkan atau menggangu kemerdekaan

orang bersifat lebih berat daripada pembunuhan dan penganiayaan. Maka,

maksimum hukumannya lebih berat bagi pembunuhan.9

Pembunuhan oleh Pasal 338 dirumuskan sebagai dengan sengaja

menghilangkan nyawa orang yang diancam dengan maksimum hukuman lima

belas tahun penjara. Ini adalah suatu perumusan secara material, yaitu secara

mengakibatkan sesuatu tertentu tanpa menyebutkan wujud perbuatan dari tindak

pidana.

Perbuatan ini dapat berwujud macam-macam, yaitu dapat berupa

menembak dengan senjata api, menikam dengan pisau, memukul dengan sepotong

besi, mencekik leher dengan tangan, memberikan racun dalam makanan, dan

9

(9)

sebagainya, bahkan dapat berupa diam saja dalam hal seorang berwajib bertindak

seperti tidak memberikan makanan kepada seorang bayi.

Perbuatan-perbuatan ini harus ditambah dengan unsur kesengajaan dalam

salah satu dari tiga wujud, yaitu sebagai tujuan (oogmerk) untuk mengadakan

akibat tertentu, atau sebagai keinsafan kepastian akan datangnya akibat itu (opzet

bij zekerheidsbewustzijn) atau sebagai keinsafan kemungkinan akan datangnya

akibat itu (opzet bij mogelijk-heidsbewustzijn). Lain halnya dengan penganiayaan.

Dalam Pasal 351 KUHP hanya mengatakan bahwa penganiayaan dihukum

dengan hukuman penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau denda

sebanyak-banyaknya tiga ratus rupiah.

Jelaslah bahwa kata penganiayaan tidak menunjuk kepada perbuatan

tertentu, misalnya kata mengambildari pencurian. Maka, dapat dikatakan bahwa

kini pun tampak ada perumusan secara material. Akan tetapi, tampak secara jelas

apa wujud akibat yang harus disebabkan.

Kebetulan, maksud pembentuk pembuat undang-undang dapat terlihat

dalam sejarah terbentuknya Pasal yang bersangkutan dari KUHP Belanda.

Mula-mula, dalam rancangan undang-undang dari Pemerintah Belanda ditemukan

perumusan dengan sengaja mengakibatkan rasa sakit dalam tubuh orang lain,

dan dengan sengaja merugikan kesehatan orang lain. Perumusan ini pada

pembicaraan dalam Parlemen Belanda dianggap tidak tepat karena meliputi juga

perbuatan seorang pendidik terhadapanak didiknya, dan perbuatan seorang dokter

(10)

Keberatan ini diakui kebenarannya, maka perumusan diganti menjadi

penganiayaan dengan penjelasan bahwa ini berarti berbuat sesuatu dengan tujuan

(oogmerk) untuk mengakibatkan rasa sakit. Dan, memang inilah arti dari kata

penganiayaan. Sedangkan menurut Pasal 351 ayat 4, penganiayaan disamakan

dengan merugikan kesehatan orang lain dengan sengaja.

Unsur kesengajaan ini kini terbatas pada wujud tujuan (oogmerk), tidak

seperti unsur kesengajaan dari pembunuhan.Apabila suatu penganiayaan

mengakibatkan luka berat, maka menurut Pasal 351 ayat 2 KUHP, maksimum

hukuman dijadikan lima tahun penjara. Sedangkan jika berakibat matinya orang,

maka maksimum hukuman meningkat lagi menjadi tujuh tahun penjara.

Dua macam akibat ini harus tidak dituju dan juga harus tidak disengaja,

sebab kalau melukai berat ini disengaja, maka ada tindak pidana penganiayaan

berat dari Pasal 354 ayat 1 dengan maksimum hukuman delapan tahun penjara.

Hukuman itu menjadi sepuluh tahun penjara jika perbuatan ini mengakibatkan

matinya orang disengaja, tindak pidananya menjadi pembunuhan yang diancam

dengan maksimum lima belas tahun penjara.

Istilah luka berat menurut Pasal 90 berarti sebagai berikut :10

1. Penyakit atau luka yang tidak dapat diharapkan akan sembuh dengan

sempurna atau yang menimbulkan bahaya-maut (levens gevaar).

2. Menjadi senantiasa tidak cakap mengerjakan pekerjaan jabatan atau

pencaharian.

3. Kehilangan kemampuan memakai salah satu dari pancaindera.

10

(11)

4. Kekudung-kudungan.

5. Kelumpuhan.

6. Gangguan daya berpikir selama lebih dari empat minggu.

7. Pengguguran kehamilan atau kematian anak yang masih ada di dalam

kandungan.

Namun apabila suatu perbuatan penganiayaan dilakukan dengan

direncanakan lebih dulu secara tenang, maka menurut Pasal 353 maksimum

hukuman menjadi empat tahun penjara, dan meningkat lagi menjadi tujuh tahun

penjara apabila ada luka berat, dan sembilan tahun penjara apabila berakibat

matinya orang; sedangkan apabila penganiayaan berat dilakukan dengan

direncankan lebih dulu dengan tenang, maka menurut Pasal 355 maksimum

hukuman menjadi dua belas tahun penjara; dan apabila berakibat matinya orang

menjadi lima belas tahun penjara.

Pembunuhan apabila dilakukan dengan direncanakan lebih dulu secara

tenang, maka terjadi tindak pidana pembunuhan berencana (moord)dari Pasal 340

yang mengancam dengan maksimum hukuman mati, atau hukuman penjara

seumur hidup, atau hukuman penjara dua puluh tahun.Untuk unsur perencanaan

ini tidak perlu ada tenggang waktu lama antara waktu merencanakan dan waktu

untuk melakukan perbuatan penganiayaan berat atau pembunuhan. Sebaliknya,

(12)

Terhadap dua permasalahan diatas, terdapat kerumitan dalam prakteknya

untuk menentukan perbuatan yang terjadi jika hanya berdasarkan pada pengaturan

perundang-undangan semata. Maka dibutuhkan suatu pembuktian dalam

persidangan untuk membantu hakim dalam membentuk keyakinannya untuk

memutuskan sesuatu. Jika dilihat dari kegunaan dan juga tujuannya dari

pembuktian dapat dijabarkan sebagai berikut :12

1. Bagi penuntut umum, pembuktian adalah merupakan usaha untuk

meyakinkan hakim yakni berdasarkan alat bukti yang ada, agar menyatakan

bahwa seseorang terdakwa bersalah sesuai dengan surat atau catatan

dakwaan.

2. Bagi terdakwa atau penasihat hukum , pembuktian merupakan usaha

sebaliknya, untuk meyakinkan hakim yakni berdasarkan alat bukti yang ada,

agar menyatakan bahwa dibebaskan atau dilepaskan dari tuntutan hukum atau

meringankan pidananya. Untuk itu terdakwa atau penasihat hukum jika

mungkin harus mengajukan alat-alat bukti yang menguntungkan atau

meringankan pihaknya. Biasanya bukti tersebut disebut bukti kebalikan.

3. Bagi hakim atas dasar pembuktian tersebut yakni dengan adanya alat-alat

bukti yang ada dalam persidangan baik yang berasal dari penuntut umum atau

penasihat hukum/terdakwa diibuat dasar untuk membuat keputusan.

Mengenai dasar pemeriksaaan adalah surat dakwaan (untuk perkara biasa)

atau catatan dakwaan (untuk perkara singkat) yang berisi perbuatan-perbuatan

yang dilakukan oleh seorang terdakwa pada hari, tanggal, jam serta tempat

12

(13)

sebagaimana didakwakan. Oleh karena itu yang dibuktikan dalam persidangan

adalah perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa yang dianggap

melanggar ketentuan tindak pidana.

Mengenai pembuktian yang dijabarkan diatas, maka dalam proses

pembuktian yang dibuktikan suatu perbuatan pidana itu memang terjadi atau tidak

dan apakah terdakwa memang melakukan perbuatan tersebut. Untuk melakukan

pembuktian tersebut maka dibutuhkan alat-alat bukti untuk dilakukannya

pembuktian. Maka dapatlah dijabarkan mengenai alat bukti sebagai berikut :13

1. Alat bukti yang diatur dalam Pasal 295 HIR, yang macamnya sebagai berikut

:

a. Keterangan saksi.

b. Surat-surat.

c. Pengakuan.

d. Tanda-tanda (petunjuk).

2. Sedangkan dalam KUHAP, diatur dalam Pasal 184 KUHAP, yaitu :

a. Keterangan Saksi;

b. Keterangan Ahli;

c. Surat;

d. Petunjuk;

e. Keterangan Terdakwa

Hal- hal yang dijelaskan diatas terdapat perbedaan mengenai pembunuhan

berencana dan penganiayaan berencana walaupun terdapat kesukaran dalam

13

(14)

pembedaannya terhadap unsur “dengan rencana” dan tidak adanya pengaturan

rinci mengenai cara dalam melakukan pembunuhan, sehingga suatu pembunuhan

terlihat sebagai penganiayaan dan juga sebaliknya. Dalam kasus Pembunuhan Ade

Sara yang ramai diperbicangkan dikarenakan dilakukan dengan sadis untuk

pemuda yang masih duduk dibangku perkuliahan untuk menimba ilmu.

Dalam Pasal 340 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP, yang dalam

unsur-unsurnya dapat dilihat sebagai berikut :

a. Barang siapa;

b. Dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu;

c. Merampas nyawa orang lain;

d. Yang menyuruh melakukan, mereka yang melakukan atau turut serta

melakukan;

Jika melihat unsur-unsur diatas, maka keseluruhan dari Pasal 340 KUHP

haruslah terpenuhi terlebih dahulu, apabila tidak terpenuhi maka tidak dapat

dikatakan sebagai pembunuhan berencana. Maka perlu dilihat lebih dalam

mengenai kesesuaian fakta-fakta hukum dipersidangan sehingga dapat

menemukan kebenaran materiil.

Selain itu, terhadap hal yang dilakukan oleh terdakwa, apakah terdakwa

mengetahui bahwa hal yang dilakukannya tersebut adalah suatu kesengajaan

untuk melakukan pembunuhan berencana ataukah tidak ada niat sama sekali dari

terdakwa untuk membunuh. Dan hal yang ketiga adalah, terbukti kah dalam

persidangan dalam pembuktian yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut umum

(15)

bersalah atau tidak bersalah sama sekali. Oleh tiga alasan diatas maka penulis

mengangkat skripsi ini, karena sebagai mahasiswa fakultas hukum maka perlu lah

mengetahui dan mencari tahu tentang peranan pembuktian dalam menentukan

tindak pidana apa yang sebenarnya terjadi.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana peranan pembuktian dalam perkara pembunuhan berencana?

2. Bagaimana kekuatan pembuktian dalam menentukan keputusan hakim

terhadap tindak pidana pembunuhan berencana dan penaganiayaan berencana

di Putusan Pengadilan No. 1359/PID.B/2014/PN.JKT.PST?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Penelitian dan pembahasan terhadap suatu permasalahan sudah selayaknya

memiliki tujuan dan manfaat sesuai dengan masalah yang dibahas. Maka yang

menjadi tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai

berikut :

1. Untuk mengetahui bagaimana perbedaan dari Pembunuhan Berencana dengan

Penganiayaan Berat Berakibat Kematian;

2. Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara dalam

putusan Pembunuhan Berencana;

Penulisan Skripsi ini juga diharapkan dapat memberi manfaat baik secara

teoritis maupun praktis sebagai berikut :

(16)

a. Penulisan skripsi diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran

secara teroritis kepada disiplin ilmu hukum sehingga dapat berguna bagi

pengembangan ilmu hukum pidana di Indonesia khususnya terhadap

pengaturan-pengaturan tindak pidana yang diatur dalam Buku II KUHP;

b. Dengan adanya skripsi ini kiranya mampu untuk memberikan sumbangan

pemikiran dalam pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya didalam

hukum tindak pidana pembunuhan serta penganiayaan.

2. Manfaat Praktis

Dapat memberikan informasi hukum kepada semua kalangan, terutama

penegak hukum tentang perbandingan secara mendasar mengenai tindak pidana

pembunuhan bencana dengan penganiayaan berat berakibat kematian.

D. Keaslian Penulisan

Penulisan ini telah diperoleh dari literatur perpustakaan, informasi dan

ilmu yang diperoleh dari perkuliahan serta dari media massa baik media cetak

maupun media elektronik yang pada akhirnya dituangkan dalam bentuk skripsi.

Maka, keaslian penulisan dalam menjamin adanya. Meskipun dalam tulisan ini

terdapat pendapat dan kutipan-kutipan dari berbagai sumber, hal ini semata-mata

adalah sebagai bahan penunjang dalam penulisan ini karena hal tersebut memang

sangat dibutuhkan demi memenuhi kesempurnaan penulisan penelitian ini

Skripsi yang berjudul “Analisis Yuridis Putusan Hakim Dalam Penjatuhan

Hukuman Terhadap Pelaku Pembunuhan Berencana (Putusan

(17)

penulisan skripsi ini adalah asli dan dapat dipertanggungjawabkan. Sehubungan

dengan keaslian judul skripsi ini, maka dilakukan pemeriksaan pada perpustakaan

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara untuk membuktikan bahwa judul

skripsi tersebut belum ada atau belum terdapat di Perpustakaan Universitas

Sumatera Utara. Bila di kemudian hari ternyata terdapat judul yang sama atau

telah ditulis oleh orang lain dalam bentuk skripsi sebelum skripsi ini dibuat, maka

hal itu dapat dimintakan pertanggungjawabannya.

E. TINJAUAN KEPUSTAKAAN

1. Putusan hakim

Eksistensi Putusan Hakim atau lazim disebut dengan istilah “Putusan

Pengadilan” sangat diperlukan untuk menyelesaikan perkara pidana. Dengan

adanya “putusan Hakim” ini, diharapkan para pihak dalam perkara pidana

khususnya bagi terdakwa dapat memperoleh kepastian hukum tentang statusnya

bagi terdakwa dapat memperoleh kepastian hukum tentang statusnya dan

sekaligus dapat mempersiapkan langkah berikutnya antara lain yang berupa

menerima putusan, langkah berikutnya antara lain yang berupa menerima putusan,

melakukan upaya banding/kasasi, melakukan grasi dan sebagainya. Kalau kita

bertitik tolak pada pandangan doktrina, hukum positif/ius operatum atau ius

constitutum, dapatlah diberikan batasan “putusan hakim”/putusan pengadilan”

adalah sebagai berikut :

a. Leden Marpaung menyebutkan pengertian “ Putusan Hakim” sebagai

(18)

` “Putusan Hakim adalah “Hasil atau kesimpulan dari sesuatu yang telah

dipertimbangkan dan dinilai dengan semasak-masaknya yang dapat

berbentuk tertulis maupun lisan”. Demikian dimuat dalam buku

”Peristilahan Hukum dalam Praktik” yang dikeluarkan oleh Kejaksaan

Agung Republik Indonesia 1985 halaman 221. Rumusan diatas dirasa

kurang tepat. Selanjutnya, jika dibaca pada buku tersebut ternyata

“putusan dan “keputusan” dicampuradukkan. Mengenai kata “putusan”

yang diterjemahkan dari hasil vonis adalah hasil akhir dari pemeriksaan

perkara di sidang Pengadilan.

b. BAB I angka 11 Kitab undang Hukum Acara Pidana (

Undang-undang No : 8 tahun 1981 ) menyebutkan “Putusan Pengadilan” adalah :

“Pernyataan Hakim yang diucapkan dalam sidang Pengadilan terbuka,

yang dapat berupa pemidanaan atau lepas dari segala tuntutan hukum

dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini.”

c. Menurut Asumsi Penulis pada buku ini ditinjau dari visi teoritik dan

praktik, “Putusan Pengadilan” itu adalah :

“Putusan yang diucapkan oleh Hakim karena jabatannya dalam

persidangan perkara pidana yang terbuka untuk umum setelah melakukan

proses dan prosedural hukum acara pidana pada umumnya berisikan

(19)

hukum dibuat dalam bentuk tertulis dengan tujuan penyelesaian

perkaranya. 14

Praktiknya terdapat beberapa bentuk dari Putusan Hakim, yang dapat

dijabarkan sebagai berikut :

a. Putusan Bebas (Vrijspraak)

Secara teoritik, putusan bebas dalam rumpun hukum Eropa Kontinental

lazim disebut dengan istilah putusan “Vrijspraak”, sedangkan dalam

rumpun Anglo Saxon disebut putusan “Acquital”. Pada asasnya, esensi

putusan bebas terjadi karena terdakwa dinyatakan tidak terbukti secara

sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana

didakwakan Jaksa/Penuntut Umum dalam surat dakwaan. Konkretnya,

terdakwa dibebaskan dari segala tuntutan hukum. Atau untuk singkatnya

lagi terdakwa “tidak dijatuhi pidana”.

Apabila kita bertitik tolak pada ketentuan Pasal 191 (1) KUHAP, putusan

bebas/vrijspraak dapat dijatuhkan oleh Majelis Hakim oleh karena :

1) Dari hasil pemeriksaan di sidang Pengadilan ;

2) Kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya

tidak terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum.

Sedangkan menurut penjelasan pasal demi pasal atas Pasal 191 ayat (1)

KUHAP menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan perbuatan yang didakwakan

14

(20)

kepadanya tidak cukup terbukti menurut penilaian Hakim atas dasar pembuktian

dengan menggunakan alat bukti menurut ketentuan hukum acara pidana ini.15

b. Putusan Pelepasan dari Segala tuntutan Hukum (Onslag van alle

Rechtsvervolging).

Ketentuan Pasal 191 ayat (2) KUHAP mengatur secara eksplisit tentang

“putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum” atau “Onslag van alle

Rechtsvervolging”. Pada ketentuan Pasal tersebut diatas, putusan pelepasan dari

segala tuntutan hukum dirumuskan dengan redaksional bahwa :

“Jika Pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada

terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu perbuatan

tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum”.

Dengan demikian, dari titik tolak ketentuan Pasal 191 ayat (2) KUHAP

ditarik suatu konklusi dasar bahwasanya pada putusan pelepasan, tindak pidana

yang didakwakan oleh Jaksa/Penuntu Umum memang terbukti secara sah dan

meyakinkan menurut hukum, tetapi terdakwa tidak dapat dipidana karena

perbuatan yang dilakukan terdakwa tersebut bukan merupakan “perbuatan

pidana”, tetapi misalnya termasuk yurisdiksi hukum perdata, hukum adat ataukah

hukum dagang. Apabila secara intens diperbandingkan antara putusan bebas

(vrijspraak/acquital) dengan putusan pelepasan pelepasan dari segala tuntutan

hukum (Oslag van alle Rechtsvervolving).16

15

Ibid., hlm. 217-218

16

(21)

c. Putusan Pemidanaan

Putusan pemidanaan atau “veroordeling” pada dasarnya diatur dalam

Pasal 193 ayat (1) KUHAP dengan redaksional bahwa :

“Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan

tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan

menjatuhkan pidana”

Apabila hakim menjatuhkan putusan pemidanaan, hakim telah yakin

berdasarkan alat-alat bukti yang sah serta fakta-fakta di persidangan bahwa

terdakwa melakukan perbuatan sebagaimana dalam surat dakwaan. Lebih

tepatnya lagi, hakim tidak melanggar ketentuan Pasal183 KUHAP. Selain itu,

dalam menjatuhkan putusan pemidanaan, jikalau terdakwa itu tidak dilakukan

penahanan, dapat diperintahkan Majelis Hakim supaya terdakwa tersebut ditahan,

apabila tindak pidana yang dilakukan itu diancam dengan pidana penjara lima

tahun atau lebih, atau apabila tindak pidana itu termasuk yang diatur dalam Pasal

21 ayat (4) huruf b KUHAP dan terdapat cukup alasan untuk itu. Dalam aspek

terdakwa dilakukan suatu penahanan, pengadilan dapat menetapkan terdakwa

tersebut tetap berada dalam tahanan atau membebaskannya , apabila terdapat

cukup alasan untuk itu (Pasal 193 ayat (2) KUHAP). Sedangkan terhadap lamanya

pidana (“sentencing” atau “straftoemeting”) pembentuk Undang-undang

memberi kebebasan kepada Hakim untuk menentukan antara pidana minimum

sampai maksimum terhadap Pasal yang terbukti dalam persidangan. Mengenai

masalah berat ringannya atau lamanya pidana ini merupakan wewenang judex

(22)

pidana melampaui batas maksimum yang ditentukan undang-undang sebagaimana

istilah yang berbeda-beda dalam upayanya memberikan arti dari Strafbaar feit.

Tidak ditemukan penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit di

dalam KUHP maupun diluar KUHP, oleh karena itu para ahli hukum berusaha

untuk memberikan arti dan isi dari istilah itu, yang sampai saat ini belum ada

keseragaman pendapat. Pengertian tindak pidana penting dipahami untuk

mengetahui unsur-unsur yang terkandung di dalamnya. Unsur-unsur tindak pidana

ini dapat menjadi patokan dalam upaya menetukan apakah perbuatan seseorang

itu merupakan tindak pidana atau tidak.

Perlu diperhatikan bahwa istilah tindak pidana (strafbaar feit) dengan

tindakan/perbuatan memiliki makna yang berbeda. Sudarto mengemukakan,

bahwa unsur pertama dari tindak pidana adalah tindakan/perbuatan (gedraging),

perbuatan orang ini merupakan titik penghubung dan dasar untuk pemberian

pidana. Perbuatan (gedraging), meliputi berbuat dan tidak berbuat, sehingga

definisi itu tetap akan kurang lengkap atau berbelit-belit dan tidak jelas.

Barda Nawawi Arief menyebutkan, bahwa di dalam KUHP (Wvs) hanya

ada asas legalitas (Pasal 1 KUHP) yang merupakan “landasan yuridis” untuk

17

(23)

menyatakan suatu perbuatan (feit) sebagai perbuatan yang dapat dipidana

(strafbaarfeit). Namun apa yang dimaksud dengan “strafbaarfeit” tidak

dijelaskan. Jadi tidak ada pengertian/batasan yuridis tentang tindak pidana.

Pengertian tindak pidana (strafbaarfeit) hanya ada dalam teori atau pendapat para

sarjana. Tindak pidana tidak hanya terjadi karena telah dilakukannya suatu

perbuatan yang dilarang oleh undang-undang, namun adakalanya tindak pidana ini

juga terjadi karena tidak berbuatnya seseorang. Suatu peristiwa itu dapat atau

tidak dapat dipidana, ditentukan oleh pembuat undang-undang bukan ditentukan

oleh pendapat umum.18

Uraian di atas telah dapat menjelaskan apa yang dimaksud dengan istilah

“tindak pidana” atau dalam bahasa Belanda straftbaar feit, yang sebenarnya

merupakan istilah resmi dalam Strafwetboek atau Kitab Undang-undang Hukum

Pidana, yang sekarang berlaku di Indonesia. Ada istilah dalam bahasa asing, yaitu

delict. Tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenai

hukuman pidana.19

3. Subjek (pelaku) tindak pidana

KUHP memandang yang dapat menjadi subyek tindak pidana adalah

seorang manusia sebagai oknum. Ini mudah terlihat pada perumusan-perumusan

dari tindak pidana dalam KUHP, yang menampakkan daya berpikir sebagai syarat

bagi subyek tindak pidana itu, juga terlihat pada wujud hukuman /pidana yang

termuat dalam Pasal-Pasal KUHP, yaitu hukuman penjara, kurungan, dan

denda.Dengan adanya perkumpulan-perkumpulan dari orang-orang, yang sebagai

18

Mohammad Eka Putra, Op.Cit., hlm. 74-77.

19

(24)

badan hukum turut serta dalam pergaulan hidup kemasyaraktan, timbul

gejala-gejala dari perkumpulan itu, yang apabila dilakukan oleh oknum, terang masuk

perumusan pelbagai tindak pidana.20 Jadi dapat disimpulkan bahwasanya yang

dapat dikatakan Pelaku Tindak Pidana adalah Manusia (natural person) serta

Korporasi (legal person).

a. Manusia (natural person)

Dalam sejarah perundang-undangan hukum pidana, pernah dikenal

bahwa subjek dari sesuatu tindak pidana bukan hanya manusia saja,

tetapi juga hewan. Sampai abad ke-17 hukum (pidana) pernah

menerapkan pidana terhadap hewan, namun setelah itu hanya manusia

yang menjadi subjek hukum. Pada abad pertengahan (tahun 1571) pernah

dipidana seekor banteng (sapi), karena membunuh seorang wanita.

KUHP menyebutkan yang dapat menjadi subjek hukum pidana ialah

Hukum tidak hanya memikirkan manusai sebagai subjek dalam hukum.

Dengan demikian, disamping manusia, hukum masih membuat konstruksi fiktif

yang kemudian diterima, diperlakukan dan dilindungi seperti halnya ia

20

Ibid, hlm. 55.

21

(25)

memberikan perlindungan hukum terhadap manusia. Mengingat kemajuan yang

terjadi dalam bidang keuangan, ekonomi dan perdagangan, lebih-lebih di era

globalisasi serta berkembangnya tindak pidana yang terorganisasi baik yang

bersifat domestik maupun transnasional, maka subjek hukum pidana tidak dapat

dibatasi hanya pada manusia alamiah (natural person) tetapi mencakup pula

koorporasi, yaitu kumpulan terorganisasi dari orang dan/atau kekayaan, baik

merupakan badan hukum (legal person) maupun badan hukum. Dalam hal ini

koorporasi dapat dijadikan sarana untuk melakukan tindak pidana (corporate

criminal) dan dapat pula memperoleh keuntungan dari suatu tindak pidana (crimes

for corporation). Dengan dianutnya paham bahwa koorporasi sebagai subjek

tindak pidana, berarti korporasi baik sebagai badan hukum maupun non-badan

hukum dianggap mampu melakukan tindak pidana dan dapat

dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana (corporate criminal

responsibility).22

F. METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut:

1. Spesifikasi penelitian

Penelitian yang dipergunakan dalam menyelesaikan skripsi ini bersifat

deskriptif. Deskriptif artinya bertujuan untuk menggambarkan secara cermat

karateristik dari fakta-fakta (individu, kelompok, atau keadaan), dan untuk

22

(26)

menentukan frekuensi sesuatu yang terjadi.23 Dalam penulisan skripsi ini yang mengacu kepada penelitian hukum normatif yaitu mengkaji ketentuan- ketentuan

tentang pelaksanaan dalam pemberian bantuan pembayaran premi asuransi

pertanian oleh Pemerintah. Adapun metode pendekatan yang digunakan adalah

metode pendekatan yuridis.

Penelitian normatif dapat dikatakan juga dengan penelitian sistematik

hukum sehingga bertujuan mengadakan identifikasi terhadap

pengertian-pengertian pokok/dasar dalam hukum, yakni masyarakat hukum, subyek hukum,

hak dan kewajiban, peristiwa hukum, hubungan hukum dan obyek hukum.24

2. Data penelitian

Sumber data adalah subjek dari mana data dapat diperoleh.25 Data

penelitian ini dikumpulkan melalui penelusuran kepustakaan (library research)

untuk memperoleh bahan hukum primer, bahan hukum sekundar, serta bahan

hukum tersier.26 Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber

data sekunder, dimana data yang diperoleh secara tidak langsung.

a. Bahan hukum primer

Dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang

berwenang. Dalam tulisan ini diantaranya adalah Undang-Undang

Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani,

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2001 tentang

23

Rianto Adi, Metode Penelitian Sosial dan Hukum (Jakarta : Garanit, 2004), hlm. 58.

24

Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011), hlm.15

25

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), hlm.172

26

(27)

Badan Perlindungan Konsumen Nasional, Peraturan Pemerintah

Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan

Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen, Peraturan

Pemerintah Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2001 tentang Lembaga

Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat dan peraturan-peraturan

lainnya.

b. Bahan hukum sekunder

Semua dokumen yang merupakan informasi atau hasil kajian tentang

asuransi pertanian seperti buku-buku, seminar-seminar, jurnal hukum,

majalah, koran, karya tulis ilmiah, dan beberapa sumber dari internet

yang berkaitan dengan permasalahan diatas.

c. Bahan hukum tersier

Semua dokumen yang berisi tentang konsep-konsep dan

keterangan-keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum

sekunder, seperti kamus, ensiklopedi, dan sebagainya.

3. Teknik pengumpulan data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan skripsi adalah

dengan penelusuran pustaka (library research) yaitu mengumpulkan data dari

informasi dengan bantuan buku, karya ilmiah dan juga perundang-undangan yang

berkaitan dengan materi penelitian.

Muhammad Nazil berpendapat dalam bukunya, dikemukakan bahwa studi

(28)

penelaahan terhadap buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan dan

laporan-laporan yang ada hubungannya dengan masalah yang dipecahkan.27

4. Analisa data

Penelitian hukum normatif yang menelaah data sekunder menyajikan data

berikut dengan analisisnya.28 Metode analisis data dilakukan dengan metode

kualitatif dengan penarikan kesimpulan secara deduktif.

Metode penarikan kesimpulan pada dasarnya ada dua, yaitu metode

penarikan kesimpulan secara deduktif dan induktif. Metode penarikan kesimpulan

secara deduktif adalah suatu proposisi umum yang kebenarannya telah diketahui

dan berakhir pada suatu kesimpulan (pengetahuan baru) yang bersifat lebih

khusus.29 Metode penarikan kesimpulan secara induktif adalah proses berawal

dari proposisi-proposisi khusus (sebagai hasil pengamatan) dan berakhir pada

kesimpulan (pengetahuan baru) berupa asas umum.30 Penarikan kesimpulan

terhadap data yang telah dikumpulkan dilakukan dengan mempergunakan metode

penarikan kesimpulan secara deduktif maupun induktif, sehingga akan dapat

merangkum jawaban terhadap permasalahan yang telah disusun.31

G. Sistematika Penulisan

Sistem penulisan untuk menghasilkan karya ilmiah yang baik, sehingga

pembahasan didalamnya harus disusun secara sistematis.Untuk memudahkan

27

Muhammad Nazil, Metode Penelitian (Jakarta: Ghalia Indonesia,2010), hlm. 111

28

Soerjono Soekanto, Op.Cit., hlm. 69.

29

Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 11.

30

Ibid.,hlm. 10.

31

(29)

penulisan skripsi ini maka diperlukan adanya penguraian alam bab per bab secara

teratur dan berkaitan satu sama lain. Adapun sistematika penulisan skripsi ini

adalah :

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini merupakan bab pendahuluan yang pokok isinya

menguraikan tentang latar belakang pengangkatan judul skripsi,

perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian judul,

tinjauan pustaka, metode penulisan dan sistematika penulisan.

BAB II PERANAN PEMBUKTIAN DALAM KASUS PEMBUNUHAN

BERENCANA DAN PENGANIAYAAN BERENCANA

Bab ini menjelaskan tentang apa yang dimaksud mengenai

pembunuhan berencana serta penganiayaan berencana. Dimana

dalam bab ini juga akan membahas mengenai peranan pembuktian

dalam menentukan putusan hakim dalam pemeriksaan suatu

perkara pidana.

BAB III ANALISIS PERANAN PEMBUKTIAN TERHADAP PUTUSAN

HAKIM DALAM PERKARA PIDANA DALAM PUTUSAN NO.

1359/PID.B/2014/PN.JKT.PST

Bab ini akan membahas mengenai analisis kasus terhadap putusan

hakim dalam perkara pidana NO.1359/PID.B/2014/PN.JKT.PST,

tentang hal-hal yang terjadi dalam persidangan. Baik kronologis

kasus, dakwaan, fakta hukum, tuntutan pidana, pertimbangan

(30)

Penulis untuk mendapatkan data yang valid mengenai putusan yang

tepat dalam perkara ini.

BAB IV PENUTUP

Bab ini merupakan bab terakhir yang memuat kesimpulan dan

saran, yaitu sebagai bab yang berisikan kesimpulan mengenai

permasalahan yang dibahas dalam pembahasan sebelumnya dalam

Referensi

Dokumen terkait

Softcopy proposal lengkap dalam format PDF ( 1 proposal lengkap dengan maksimum besar file 5 MB ) diunggah oleh pengusul secara mandiri. Dalam proposal lengkap tersebut juga telah

Kartini adalah satu-satunya perempuan pribumi yang ada disana, teman perempuan Kartini hanya anak-anak menir Belanda, jadi tak heran bahwa kartini

Dalam memanfaatkan sumber daya alam pada proses pembelajaran IPA di sekolah dasar kelas V saat melakukan observasi terdapat kelebihan dan kekurangan, antara

Berdasarkan atas hipotesis yang diajukan dengan hasil penelitian yang diperoleh dapat diketahui bahwa ada pengaruh positif antara iklim organisasi dengan kepuasan kerja adalah

Hasil yang sama juga didapatkan pada eksperimen lain pada rangkaian penelitian yang sama di mana pemberian CHQ pada jam ke 24, 36, 48, 60 setelah terjadinya sepsis dapat melindungi

Berdasarkan tabel diatas, dapat diketahui bahwa setiap pertanyaan dan pernyataan yang digunakan dalam penelitian untuk mengukur variabel perilaku tidak jujur dan

Hasil pengujian hipotesis menunjukan remunerasi berpengaruh signifikan positif terhadap komitmen organisasi, sehingga dapat diinterpretasikan semakin baik remunerasi yang diberikan

Siti Rahayu Hassan, Mohammad Syuhaimi Ab-Rahman, Aswir Premadi and Kasmiran Jumari. The Development of Heart Rate Variability Analysis Software for Detection of Individual