• Tidak ada hasil yang ditemukan

Respon Mahasiswa FISIP USU Terhadap Konflik KPK-Polri pada Tahun 2015

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Respon Mahasiswa FISIP USU Terhadap Konflik KPK-Polri pada Tahun 2015"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Respon Mahasiswa

2.1.1 Pengertian

Mahasiswa merupakan individu yang mengikuti perkuliahan di Perguruan Tinggi. Mahasiswa dapat dikatakan sebuah komunitas unik yang berada di masyarakat, dengan kesempatan dan kelebihan yang dimilikinya, mahasiswa mampu berada sedikit di atas masyarakat. Mahasiswa juga belum tercekcoki oleh kepentingan-kepentingan suatu golongan, ormas, parpol, dsb. Sehingga mahasiswa dapat dikatakan (seharusnya) memiliki idealisme. Idealisme adalah suatu kebenaran yang diyakini murni dari pribadi seseorang dan tidak dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal yang dapat menggeser makna kebenaran tersebut.

(2)

2.1.2 Mahasiswa Sebagai “Iron Stock”

Mahasiswa dapat menjadi Iron Stock, yaitu mahasiswa diharapkan menjadi manusia-manusia tangguh yang memiliki kemampuan dan akhlak mulia yang nantinya dapat menggantikan generasi-generasi sebelumnya. Intinya mahasiswa itu merupakan aset, cadangan, harapan bangsa untuk masa depan. Tak dapat dipungkiri bahwa seluruh organisasi yang ada akan bersifat mengalir, yaitu ditandai dengan pergantian kekuasaan dari golongan tua ke golongan muda, oleh karena itu kaderisasi harus dilakukan terus-menerus. Dunia kampus dan kemahasiswaannya merupakan momentum kaderisasi yang sangat mahasiswang bila tidak dimanfaatkan bagi mereka yang memiliki kesempatan.

Sejarah telah membuktikan bahwa di tangan generasi mudalah perubahan-perubahan besar terjadi, dari zaman kolonialisme, hingga reformasi, pemudalah yang menjadi garda depan perubah kondisi bangsa.

2.1.3 Mahasiswa Sebagai “Guardian of Value”

Mahasiswa sebagai Guardian of Value berarti mahasiswa berperan sebagai penjaga nilai-nilai di masyarakat. Nilai yang harus dijaga adalah sesuatu yang bersifat benar mutlak, dan tidak ada keraguan lagi di dalamnya. Selain nilai yang di atas, masih ada satu nilai lagi yang memenuhi kriteria sebagai nilai yang wajib dijaga oleh mahasiswa, nilai tersebut adalah nilai-nilai dari kebenaran ilmiah.

(3)

nilai yang telah bergeser tersebut sudah terlanjur menjadi sebuah perimeter kebaikan di masyarakat, maka akan kesulitan dalam memandang arti kebenaran nilai itu sendiri.

2.1.4 Mahasiswa Sebagai “Agent of Change”

Mahasiswa sebagai Agent of Change maksudnya adalah bahwa mahasiswa sebagai agen dari suatu perubahan. Fakta menunjukkan bahwa kondisi bangsa saat ini jauh sekali dari kondisi ideal, dimana banyak sekali penyakit-penyakit masyarakat yang menghinggapi hati bangsa ini, mulai dari pejabat-pejabat atas hingga bawah, dan tentunya tertular pula kepada banyak rakyatnya. Sudah seharusnyalah melakukan terhadap hal ini. Lalu alasan selanjutnya mengapa harus melakukan perubahan adalah karena perubahan itu sendiri merupakan harga mutlak dan pasti akan terjadi walaupun diam. Bila diam secara tidak sadar telah berkontribusi dalam melakukan perubahan, namun tentunya perubahan yang terjadi akan berbeda dengan ideologi yang anut dan anggap benar.

Mahasiswa adalah golongan yang harus menjadi garda terdepan dalam melakukan perubahan dikarenakan mahasiswa merupakan kaum yang “eksklusif”, hanya 5% dari pemuda yang bisa menyandang status mahasiswa, dan dari jumlah itu bisa dihitung pula berapa persen lagi yang mau mengkaji tentang peran-peran mahasiswa di bangsa dan negaranya ini. Mahasiswa-mahasiswa yang telah sadar tersebut sudah seharusnya tidak lepas tangan begitu saja. Mereka tidak boleh membiarkan bangsa ini melakukan perubahan ke arah yang salah. Merekalah yang seharusnya melakukan perubahan-perubahan tersebut.

(4)

mesin industri akan menciptakan mayarakat kapitalis, internet akan menciptakan menciptakan masyarakat yang informatif, dan lain sebagainya. Pandangan selanjutnya menyatakan bahwaideologi atau nilai sebagai faktor yang mempengaruhi perubahan. Sebagai mahasiswa nampaknya harus bisa mengakomodasi kedua pandangan tersebut demi terjadinya perubahan yang diharapkan. Itu semua karena berpotensi lebih untuk mewujudkan hal-hal tersebut.

Sudah jelas kenapa perubahan itu perlu dilakukan dan kenapa pula mahasiswa harus menjadi garda terdepan dalam perubahan tersebut, lantas dalam melakukan perubahan tersebut haruslah dibuat metode yang tidak tergesa-gesa, dimulai dari ruang lingkup terkecil yaitu diri sendiri, lalu menyebar terus hingga akhirnya sampai ke ruang lingkup yang harapkan, yaitu bangsa ini.

2.1.5 Fungsi Sosial Kemasyarakatan Mahasiswa

Berdasarkan tugas perguruan tinggi yang diungkapkan M.Hatta yaitu membentuk manusia susila dan demokrat yang:

1. Memiliki keinsafan tanggung jawab atas kesejahteraan masyarakat 2. Cakap dan mandiri dalam memelihara dan memajukan ilmu pengetahuan 3. Cakap memangku jabatan atau pekerjaan di masyarakat

(5)

Insan akademis harus memiliki sense of crisis yaitu peka dan kritis terhadap masalah-masalah yang terjadi di sernya saat ini. Hal ini akan tumbuh dengan sendirinya bila mahasiswa itu mengikuti watak ilmu, yaitu selalu mencari pembenaran-pembenaran ilmiah. Dengan mengikuti watak ilmu tersebut maka mahasiswa diharapkan dapat memahami berbagai masalah yang terjadi dan terlebih lagi menemukan solusi-solusi yang tepat untuk menyelesaikannya. Insan akademis harus selalu mengembangkan dirinya sehingga mereka bisa menjadi generasi yang tanggap dan mampu menghadapi tantangan masa depan.

Dalam hal insan akademis sebagai orang yang selalu mengikuti watak ilmu, ini juga berhubungan dengan peran mahasiswa sebagai penjaga nilai, dimana mahasiswa harus mencari nilai-nilai kebenaran itu sendiri, kemudian meneruskannya kepada masyarakat, dan yang terpenting adalah menjaga nilai kebenaran tersebut.

2.1.6 Posisi Mahasiswa Dalam Pembangunan

Mahasiswa dengan segala kelebihan dan potensinya tentu saja tidak bisa disamakan dengan rakyat dalam hal perjuangan dan kontribusi terhadap bangsa. Mahasiswa pun masih tergolong kaum idealis, dimana keyakinan dan pemikiran mereka belum dipengaruhi oleh parpol, ormas, dan lain sebagainya. Sehingga mahasiswa menurut mahasiswa tepat bila dikatakan memiliki posisi diantara masyarakat dan pemerintah.

(6)

yang terjadi di masyarakat beserta solusi ilmiah dan bertanggung jawab dalam menjawab berbagai masalah yang terjadi di masyarakat.

Mahasiswa dalam hal hubungan pemerintah ke masyarakat dapat berperan sebagai penyambung lidah pemerintah. Mahasiswa diharapkan mampu membantu menyosialisasikan berbagai kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Tak jarang kebijakan-kebijakan pemerintah mengandung banyak salah pengertian dari masyarakat, oleh karena itu tugas mahasiswalah yang marus “menerjemahkan” maksud dan tujuan berbagai kebijakan kontroversial tersebut agar mudah dimengerti masyarakat.

Posisi mahasiswa cukuplah rentan, sebab mahasiswa berdiri di antara idealisme dan realita. Tak jarang berat sebelah, saat membela idealisme ternyata melihat realita masyarakat yang semakin buruk. Saat berpihak pada realita, ternyata secara tak sadar sudah meninggalkan idealisme dan juga kadang sudah meninggalkan watak ilmu yang seharusnya miliki.

(7)

2.2 Konflik

2.2.1 Pengertian

Konflik adalah hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki tujuan atau kepentingan yang berbeda. Konflik atau perbedaan merupakan kenyataan hidup yang tidak dapat dihindari yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat. Berdasarkan hal ini, konflik memiliki dua sisi mata uang, di satu sisi bernilai negatif dan di sisi lain bernilai positif.

Suatu konflik dapat bernilai positif dan kreatif, jika dikelola dengan baik dan diarahkan secara produktif untuk membangun situasi yang lebih baik. Konflik perlu direspon melalui mekanisme transformasi—pembelajaran untuk menentukan strategi penyelesaian masalah atau dikenal dengan istilah resolusi konflik.

Menurut Lawang (1994), konflik diartikan sebagai perjuangan untuk memperoleh hal-hal yang langka seperti nilai, status, kekuasaan, dan sebagainya dimana tujuan mereka berkonflik itu tidak hanya memperoleh keuntungan tetapi juga untuk menundukkan pesaingnya. Konflik dapat diartikan sebagai benturan kekuatan dan kepentingan antara satu kelompok dengan kelompok lain dalam proses perebutan sumber-sumber kemasyarakatan (ekonomi, politik, sosial dan budaya) yang relatif terbatas.

(8)

Konflik dapat terjadi pada setiap individu dan kelompok dalam masyarakat, yang menuntut adanya penyelesaian. Konflik pribadi dapat terjadi antar individu atau dalam diri sendiri. Perbedaan pandangan atau kepentingan atau pendapat dapat menjadi pemicu bagi munculnya konflik pribadi. Konflik yang terjadi dalam diri individu dapat muncul manakala terdapat perbedaan antara idealisme yang dimilikinya dengan kenyataan.

Konflik yang terjadi antara individu dengan individu, misalnya konflik di antara sesama teman di sekolah. Konflik antara individu dengan kelompok, misalnya konflik antara seorang majikan dengan buruhnya. Sedangkan konflik antara kelompok dengan kelompok, misalnya para pedagang kaki lima dengan para petugas ketertiban. Konflik kelompok dapat terjadi manakala dua kelompok mengalami perbedaan kepentingan atau perbedaan pendapat. Konflik yang tidak teratasi menjadi potensi laten bagi terjadinya disintegrasi sosial. Dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, konflik merupakan proses sosial. Konflik merupakan salah satu fakta sosial yang berbeda dengan fakta individual.

Penyebab konflik sangatlah kompleks yang dilatarbelakangi oleh berbagai dimensi dan peristiwa sosial. Konflik yang terjadi dalam masyarakat bisa berlatar belakang ekonomi, politik, kekuasaan, budaya, agama, dan kepentingan lainnya. Menurut DuBois dan Miley, sumber utama terjadinya konflik dalam masyarakat adalah adanya ketidakadilan sosial, diskriminasi terhadap hak-hak individu dan kelompok, dan tidak adanya penghargaan terhadap keberagaman. Salah satu sebab terjadinya konflik ialah karena reaksi yang diberikan oleh dua orang/ kelompok atau lebih dalam situasi yang sama berbeda-beda. Selain itu, konflik mudah terjadi apabila prasangka telah berlangsung lama.

(9)

2. Adanya kepentingan perseorangan atau golongan 3. Ketidakinsyafan akan kerugian dari akibat prasangka

Dalam sosiologi, konflik merupakan gambaran tentang terjadinya percekcokan, perselisihan, ketegangan atau pertentangan sebagai akibat dari perbedaan-perbedaan yang muncul dalam kehidupan masyarakat, baik perbedaan secara individual maupun perbedaan kelompok. Perbedaan tersebut dapat berupa perbedaan pendapat, pandangan, penafsiran, pemahaman, kepentingan atau perbedaan yang lebih luas dan umum, seperti perbedaan agama, ras, suku bangsa, bahasa, profesi, golongan politik dan kepercayaan.

Sumber terjadinya konflik dalam kehidupan masyarakat dapat dikategorikan ke dalam lima faktor yaitu:

1. Faktor perbedaan individu dalam masyarakat.

(10)

2. Perbedaan pola kebudayaan

Perbedaan yang terdapat antar daerah atau suku bangsa yang memiliki budaya yang berbeda, atau terdapat dalam satu daerah yang sama karena perbedaan paham, agama dan pandangan hidup. Sehingga dari perbedaan pola kebudayaan tersebut dapat melahirkan dan memperkuat entiment primordial yang dapat mengarah kepada terjadinya konflik antar golongan atau kelompok. Misalnya di daerah transmigrasi terjadi konflik antara kaum pendatang dengan penduduk asli.

3. Perbedaan status sosial

Status sosial adalah kedudukan seseorang dalam kelompok atau masyarakat, yang untuk mendapatkannya ada yang bisa diusahakan (achieved status) dan ada pula status yang diperoleh dengan tanpa diusahakan (ascribed status). Status yang dapat diusahakan misalnya melalui pendidikan, orang yang memiliki tingkat pendidikan tinggi akan berada pada status sosial lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang berpendidikan rendah, sedangkan status yang tanpa diusahakan dapat diperoleh melalui keturunan, seperti kasta dalam Agama Hindu atau kebangsawanan. Terdapatnya beragam kedudukan dalam masyarakat dapat menimbulkan perselisihan untuk mendapatkan kedudukan yang baik, terutama ascribed status.

4. Perbedaan kepentingan

(11)

konsumen dan dalam aspek kehidupan politik terjadi perselisihan antar kelompok untuk mendapatkan partisipan. Jadi konflik yang terjadi karena perbedaan kepentingan dapat terjadi pada setiap masyarakat dengan berbagai tingkatannya.

5. Terjadinya perubahan sosial

Perubahan sosial dengan konflik terdapat hubungan karena perubahan sosial dapat terjadi akibat konflik sosial dan sebaliknya perubahan sosial dapat menimbulkan konflik. Masuknya unsur-unsur baru ke dalam suatu sistem sosial dapat menimbulkan perubahan sosial yang dapat dapat memicu terjadinya konflik apabila anggota masyarakat tidak seluruhnya menerima. Misalnya, penggunaan traktor pada bidang pertanian telah merubah struktur mata pencaharian dan melahirkan konflik antara petani dengan buruh tani (tenaga kerja).

Ralf Dahrendorf adalah tokoh utama yang berpendirian bahwa masyarakat mempunyai dua wajah ( konflik dan konsensus ) dan karena itu teori sosiologi harus dibagi menjadi dua bagian: teori konflik dan teori konsensus. Teori konsensus harus menguji nilai integrasi dalam masyarakat dan teoritisis konflik harus menguji konflik kepentingan dan penggunaan kekerasan yang mengingat masyarakat bersama di hadapan tekanan itu. Dahrendorf mengakui bahwa masyarakat takkan ada tanpa konsensus dan konflik yang menjadi persyaratan satu sama lain. Menurut teoritisi konflik masyarakat disatukan oleh ketidakbebasan yang dipaksakan. Dengan demikian, posisi tertentu di dalam masyarakat mendelegasikan kekuasaan dan otoritas terhadap posisi yang lain.

(12)

alternatif menggantinya terhadap posisi dominan itu. Teori konflik ini berasal dari berbagai sumber yang lain seperti teori Marxian dan pemikiran konflik sosial dari Simmel.

Pada tahun 1950-an dan 1960-an, teori konflik menyediakan alternatif terhadap fungsionalisme struktural. Namun kemudian konflik ini tidak bisa menggantikan masalah mendasar dalam teori konflik karena teori ini tidak akan pernah berhasil memisahkan dirinya dari akar struktural fungsionalisme. Teori ini bisa dibilang merupakan sejenis fungsionalisme struktural yang angkuh ketimbang teori yang benar-benar berpandangan kritis terhadap masyarakatnya.

Teori konflik bertujuan mengatasi watak yang secara dominan bersifat arbitrer. Dari sebuah peristiwa yang tidak dapat dijelaskan, dengan menurunkan peristiwa-peristiwa itu dari elemen struktur sosial. Dengan lain kata, menjelaskan proses-proses tertentu dengan bersifat ramalan. Konflik antara buruh dan majikan memang memerlukan penjelasan. Tetapi yang lebih penting adalah menunjukkan bukti bahwa konflik yang demikian didasari oleh susunan struktural tertentu, yang oleh karenanya dimanapun cenderung melahirkan susunan struktur yang telah ada. Dalam hal ini Dahrendorf menekankan pentingnya kekuasaaan dan akibat konflik yang sampai kapan pun tidak dapat dihindari.

Seperti halnya Marx, perhatian yang kedua terhadap diterminan “konflik aktif”. Seperti fungsionalis, ahli teori konflik berorientasi terhadap studi struktur dan institusi sosial. Sebenarnya sangat sedikit teori ini yang berlawanan dengan secara langsung dengan pendirian fungsionalis. Menurut para fungsionalis, masyarakat adalah statis atau masyarakat berada dalam keadaan berubah secara seimbang.

(13)

yang maksudnya diikat oleh norma, nilai dan moral. Sedangkan dalam pandangan teoritisi konflik apa pun keteraturan yang terdapat dalam masyarakat berasal dari pemaksaan terhadap anggotanya oleh mereka yang berada diatas.

2.2.2 Arena dan Isu-isu yang membingkai konflik

Konflik sosial bisa berlangsung pada asas antar-ruang kekuasaan. Terdapat tiga ruang kekuasaan yang dikenal dalam sebuah sistem sosial kemasyarakatan, yaitu “ruang kekuasaan negara”, “masyarakat sipil atau kolektivitas-sosial”, dan “sektor swasta” (Bebbington, 1997; dan Luckham, 1998). Konflik sosial bisa berlangsung di dalam setiap ruangan ataupun melibatkan agensi atau struktur antar-ruangan kekuasaan. Konflik sosial antar “pemangku kekuasaan” dapat berlangsung dalam tiga bentuk, yaitu:

(1) Warga masyarakat sipil atau kolektivitas sosial berhadap-hadapan melawan Negara dan sebaliknya. Dalam hal konflik sosial dapat terjadi dalam bentuk protes warga masyarakat atas kebijakan publik yang diambil oleh negara/pemerintah yang dianggap tidak adil dan merugikan masyarakat secara umum. Perlawanan asosiasi pedagang kaki-lima di Jakarta melawan penggusuran oleh Pemerintah DKI Jaya adalah contoh klasik yang terus kontemporer.

(14)

akibat pencemaran air terus-menerus dari limbah tailing aktivitas penambangan emas oleh perusahaan swasta asing di Sulawesi Utara di awal dekade 2000-an.

(3) Konflik sosial yang berlangsung antara swasta berhadap-hadapan melawan Negara dan sebaliknya. Berbagai tindakan yang diambil oleh Pemerintah/Negara dalam mengawal jalannya sebuah kebijakan, biasanya memakan biaya sosial berupa konflik tipe ini secara tidak terelakkan.

Dinamika konflik sosial antar-ruang kekuasaan akan berlangsung makin kompleks, manakala unsur-unsur pembentuk sebuah ruang kekuasaan tidak merepresentasikan struktur sosial dengan atribut/identitas sosial yang homogen. Di ruang kekuasaan negara, termuat sejumlah konflik sosial internal baik yang bersifat latent (terselubung terpendam) maupun manifest (mewujud nyata).

Dalam hal ini, contoh yang paling mudah terjadi adalah konflik sosial yang berlangsung dalam praktek manajemen pemerintahan akibat olah-kewenangan dalam pengendalian pembangunan yang berlangsung secara hierarkhikal antara pemerintah kabupaten, provinsi, dan pusat. Konflik yang lebih banyak mengambil bentuk “konflik kewenangan” tersebut mengemuka sejak rejim pengaturan pemerintahan desentralisasi.

(15)

yang dianut oleh masing-masing pihak bersengketa menjadikan friksi sosial dapat berubah menjadi konflik sosial yang nyata.

Beberapa contoh atas konflik ini bisa disebutkan antara lain adalah, tawuran antar warga yang dipicu oleh hal-hal yang dalam “kehidupan normal” dianggap sederhana (sepele), seperti masalah batas wilayah administratif (desa atau kabupaten) yang hendak dimekarkan sebagai konsekuensi otonomi daerah.

Sementara itu, di ruang ini juga bisa berlangsung konflik sosial yang melibatkan perbedaan identitas sosial komunal (ethno-communal conflict) seperti ras, etnisitas dan religiositas. Konflik-konflik sosial yang berlangsung antara para penganut mazhab pada sebuah agama tertentu (konflik sektarian sebagaimana terjadi antara penganut “Ahmadyah” versus “non-Ahmadyah”) juga terjadi secara dramatis di ruang masyarakat sipil di Indonesia.

Terjadinya konflik sosial umumnya melalui dua tahap, yaitu dimulai dari tahap keretakan sosial (disorganisasi) yang terus berlanjut ke tahap perpecahan (disintegrasi). Timbulnya gejala-gejala disorganisasi dan disintegrasi adalah akibat dari hal-hal berikut:

1. Ketidaksepahaman para anggota kelompok tentang tujuan masyarakat yang pada awalnya menjadi pedoman bersama.

2. Norma-norma sosial tidak membantu lagi anggota masyarakat dalam mencapai tujuan yang telah disepakati.

3. Kaidah-kaidah dalam kelompok yang dihayati oleh anggotanya bertentangan satu sama lain. 4. Sangsi menjadi lemah bahkan tidak dilaksanakan dengan konsekuen.

(16)

Adapun isu-isu kritikal yang membingkai konflik adalah:

1. Konflik antar kelas sosial (sosial class conflict) sebagaimana terjadi antara “kelas buruh” melawan “kelas majikan” dalam konflik hubungan-industrial, atau “kelas tuan tanah” melawan “kelas buruh-tani” dalam konflik agraria.

2. Konflik Moda Produksi dalam Perekonomian (Modes of production conflict) yang berlangsung antara kelompok pelaku ekonomi bermodakan (cara-produksi) ekonomi peasantry-tradisionalisme (pertanian skala kecil subsisten-sederhana) melawan para pelaku ekonomi bersendikan moral-ekonomi akumulasi profit dan eksploitatif.

3. Konflik sumberdaya alam dan lingkungan (natural resources conflict) adalah konflik sosial yang berpusat pada isyu “claim dan reclaiming” penguasaan sumberdaya alam (tanah atau air) sebagai pokok sengketa terpenting. Dalam banyak hal, konflik sumberdaya alam berimpitan dengan konflik agraria, dimana sekelompok orang memperjuangkan hak-hak penguasaan tanah yang diklaim sebagai property mereka melawan negara, badan swasta atau kelompok sosial lain.

4. Konflik ras (ethnics and racial conflict) yang mengusung perbedaan warna kulit dan atribut sub-kultural yang melekat pada warna kulit pihak-pihak yang berselisih.

5. Konflik antar-pemeluk agama (religious conflict) yang berlangsung karena masing masing pihak mempertajam perbedaan prinsip yang melekat pada ajaran masing masing agama yang dipeluk mereka.

(17)

7. Konflik politik (political conflict) yang berlangsung dalam dinamika olahkekuasaan (power exercise).

8. Gender conflict adalah konflik yang berlangsung antara dua penganut pandangan berbeda dengan basis perbedaan adalah jenis-kelamin. Para pihak mengusung kepentingan-kepentingan (politik, kekuasaan, ekonomi, peran sosial) yang berbeda dan saling berbenturan antara dua kelompok penyokong yang saling berseberangan.

9. Konflik-konflik antar komunitas (communal conflicts), yang bisa disebabkan oleh berbagai faktor, seperti: eksistensi identitas budaya komunitas dan factor sumberdaya kehidupan (sources of sustenance). Konflik komunal seringkali bisa berkembang menjadi konflik teritorial jika setiap identitas kelompok melekat juga identitas kawasan.

10. Konflik teritorial (territorial conflict) adalah konflik sosial yang dilancarkan oleh komunitas atau masyarakat lokal untuk mempertahankan kawasan tempat mereka membina kehidupan selama ini. Konflik teritorial seringkali dijumpai di kawasankawasan Hak Pengusahaan Hutan (HPH), dimana komunitas adat/lokal merasa terancam sumber kehidupan dan identitas sosio-budayanya manakala penguasa HPH menghabisi pepohonan dan hutan dimana mereka selama ini bernaung dan membina kehidupan sosial-budaya dan sosio-kemasyarakatan.

11. Inter-state conflict adalah konflik yang berlangsung antara dua negara dengan kepentingan, ideologi dan sistem ekonomi yang berbeda dan berbenturan kepentingan dengan pihak lain negara.

(18)

peperangan di Balkan pada akhir dekade 1990an, dimana USA dan NATO menghabisi Serbia.

2.2.3 Pendekatan Resolusi Konflik

Secara ilmiah terminologi resolusi konflik merujuk pada kebutuhan individu,kelompok, tim, organisasi atau komunitas untuk melihat perdamaian sebagai suatu ‘proses’ terbuka dan dalam kerangka aksi penyelesaian konflik dalam beberapa tahap sesuai dengan dinamika siklus konflik.

Beberapa asumsi yang melandasi pentahapan proses resolusi konflik dibuat untuk 5 (lima) tujuan yakni sbb:

1. Konflik tidak hanya dipandang sebagai suatu fenomena politik-militer, namun harus dipandang sebagai sebuah fenomena sosial.

2. Konflik memiliki daur kerja atau siklus hidup yang tidak berjalan linear. Siklus hidup suatu konflik secara spesifik sangat dipengaruhi dinamika dan perubahan lingkungan tertentu.

3. Sebab atau akar masalah suatu konflik tidak dapat direduksi ke dalam suatu variabel tunggal—suatu proposisi kausalitas bivariat tetapi lebih bersifat multidimensi.

4. Konflik sosial harus dilihat sebagai suatu fenomena yang terjadi karena interaksi bertingkat berbagai faktor.

(19)

Suatu mekanisme resolusi konflik hanya dapat diterapkan secara efektif, melalui keterpaduan melibatkan berbagai pihak dan sumber daya dengan upaya komprehensif untuk mewujudkan perdamaian secara berkelanjutan.

Sebagai bagian dari proses-proses sosial, dalam banyak kasus dijumpai bahwa konflik sosial tidak berlangsung secara serta-merta. Meski tipe konflik sosial yang bersifat “spontaneous conflict” tetap ada (misalnya tawuran para pendukung kesebalasan sepakbola yang sedang bertanding), namun jenis konflik yang “serta-merta” tersebut biasanya lebih mudah dikendalikan dan segera diredam, daripada yang bersifat konstruktif dan organized.

Dalam hal dijumpai kasus-kasus konflik sosial yang bertipe “constructive social conflict”, ada sejumlah prasyarat yang memungkinkan konflik sosial dapat berlangsung, antara lain:

1. Ada isu-kritikal yang menjadi perhatian bersama (commonly problematized) dari para pihak berbeda kepentingan,

2. Ada inkompatibilitas harapan/kepentingan yang bersangkut-paut dengan sebuah obyek-perhatian para pihak bertikai,

3. Ada gunjingan/gossip atau hasutan serta fitnah merupakan tahap inisiasi konflik sosial yang sangat menentukan arah perkembangan konflik sosial menuju wujud riil di dunia nyata, 4. Ada kompetisi dan ketegangan psiko-sosial yang terus dipelihara oleh kelompok-kelompok

berbeda kepentingan sehingga memicu konflik sosial lebih lanjut. Pada derajat yang paling dalam, segala pra-syarat terjadinya konflik akan memicu,

(20)

Konflik sosial bisa berakibat sangat luas dan berlangsung dalam jangka waktu lama, bila semua tahapan tersebut diorganisasikan dengan baik (organized social conflict) seperti yang terjadi antara Republik Indonesia melawan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) beberapa waktu lalu. Sementara itu, dampak konflik dapat cepat ditekan perluasannya, jika sifatnya tidak terorganisasikan dengan baik (unorganized social conflict).

Jikalau dilihat dari perspektif kecepatan reaksi (speed of reaction) yang diberikan para pihak atas ketidaksepahaman yang terbentuk di kalangan berkonflik, maka konflik sosial dapat berlangsung dalam beberapa variasi tipe/bentuk, yaitu:

1. Gerakan sosial damai (peaceful collective action) yang berlangsung berupa aksi penentangan, yang dapat berlangsung dalam bentuk: “aksi korektif”, “mogok kerja”, “mogok makan”, dan “aksi-diam”. Dalam hal ini, tidak ditemukan resolusi konflik yang memuaskan, maka aksi damai dapat dimungkinkan berkembang menjadi “aksi membuat gangguan umum” (strikes and civil disorders) dalam bentuk demonstrasi ataupun huru-hara. 2. Demonstrasi (demonstrations) atau protes bersama (protest gatherings) adalah kegiatan

yang mengekspresikan atas ketidaksepahaman yang ditunjukkan oleh suatu kelompok atas suatu isu tertentu. Derajat tekanan konflik kurang-lebih sama dengan pemogokan. Aksi kolektif seperti ini biasanya diambil sebagai protes yang reaksioner yang dilakukan secara berkelompok ataupun massal atas ketidaksepahaman yang ditunjukkan oleh suatu pihak tertentu kepada pihak berseberangan atas suatu masalah tertentu. Biasanya skala bersifat lokalitas, sporadik (meski tidak tertutup kemungkinan dapat meluas).

(21)

keresahan umum. Oleh karena disertai dengan histeria massa, maka huru-hara seringkali tidak bisa dikendalikan dengan mudah tanpa memakan korban luka (bahkan kematian). 4. Pemberontakan (rebellions) adalah konflik sosial berkepanjangan yang biasanya digagas dan

direncanakan lebih konstruktif dan terorganisasikan dengan baik. Pemberontakan bisa menyangkut perjuangan atas suatu kedaulatan atau mempertahankan “kawasan” termasuk eksistensi ideologi tertentu. Pemberontakan tidak harus berlangsung secara manifest, melainkan bisa diawali “di bawah tanah” sehingga tampak latent sifatnya.

5. Aksi radikalisme-revolusioner (revolutions) adalah gerakan penentangan yang menginginkan perubahan sosial secara cepat atas suatu keadaan tertentu.

6. Perang adalah bentuk konflik antar negara yang sangat tidak dikehendaki oleh masyarakat dunia karena dampaknya yang sangat luas terhadap kemanusiaan.

Keberagaman peristiwa dari wujud konflik sosial tersebut sesungguhnya dapat diklasifikasikan ke dalam enam kelompok bentuk konflik sosial, yaitu:

1. Konflik pribadi

Konflik pribadi yaitu merupakan pertentangan yang terjadi secara individual yang melibatkan dua orang yang bertikai. Misalnya pertentangan yang terjadi antar dua teman, perselisihan suami dengan istri, pertentangan antara pimpinan dengan salah seorang stafnya. 2. Konflik kelompok

Konflik ini terjadi karena adanya pertentangan antara dua kelompok dalam masyarakat. Misalnya pertentangan antara dua perusahaan yang memproduksi barang sejenis dalam memperebutkan daerah pemasaran, pertentangan antara dua kesebelasan olah raga.

(22)

Konflik antar kelas dapat terjadi pada status sosial yang berbeda, yang dapat disebabkan oleh perbedaan kepentingan atau perbedaan pandangan. Dalam kehidupan sehari-hari sering ditemukan bentuk konflik ini, seperti pertentangan antara majikan dengan buruh, pertentangan antara yang kaya dengan yang miskin, antara petani dengan tuan tanah.

4. Konflik rasial

Ras yaitu sekelompok manusia yang memiliki ciri-ciri badaniah yang sama dan berbeda dengan kelompok lainnya. Ciri-ciri tersebut dapat terlihat dari bentuk tubuh, warna kulit, corak rambut, bentuk muka dan lain-lain, yang sifatnya kasat mata, sehingga dengan mudah dapat dibedakan dengan kelompok lain. Jadi konflik rasial ini adalah pertikaian yang terjadi karena didasarkan perbedaan pandangan terhadap ada perbedaan ciri-ciri jasmaniah tersebut. Misalnya, ras kaukasoid dipandang lebih tinggi derajatnya dibandingkan ras negroid, sehingga sering terjadi pertikaian yang disebabkan oleh perbedaan ras tersebut, seperti apartheid dan diskriminasi di Amerika.

5. Konflik politik

Politik merupakan salah satu aspek dalam sistem sosial yang menyangkut masalah kekuasaan, wewenang dan pemerintahan. Konflik politik yaitu pertentangan yang terjadi dalam masyarakat karena perbedaan pendapat atau ideologi yang dianut oleh masing-masing kelompok. Misalnya pertikaian antara kaum penjajah dengan pribumi, pertentangan antar dua partai politi, pertentangan antara pemerintah dengan rakyat.

6. Konflik budaya

(23)

yang prularistik dengan latar belakang budaya yang berbeda, sehingga dapat menimbulkan pertentangan antara budaya yang satu dengan lainnya. Selain itu, dapat pula terjadi pertentangan antara budaya daerah dengan budaya yang berasal dari luar atau pertentangan budaya barat dan timur.

Selain berdasarkan bentuknya, konflik sosial dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori berdasarkan tingkatannya, yaitu: konflik tingkat rendah, konflik tingkat menengah, dan konflik tingkat tinggi.

1. Konflik tingkat rendah

Konflik tingkat rendah ini merupakan konflik yang tidak rasional, bertujuan untuk membinasakan lawan secara langsung dengan menggunakan kekerasan. Konflik ini bersifat emosional yang dapat terjadi pada setiap individu atau kelompok. Misalnya perkelahiarn antar dua gang atau perkelahian antar pelajar.

2. Konflik tingkat menengah

Pada tingkat ini, konflik yang terjadi merupakan pertentangan yang menggunakan strategi dengan tujuan untuk mengalahkan lawan. Strategi yang digunakan mungkin dengan cara kekerasan yang menggunakan pihak lain, memaksakan kehendak atau memberikan pengaruh. Misalnya, seorang calon kepala desa menggunakan money politic untuk mengalahkan lawannya.

3. Konflik tingkat tinggi.

(24)

mencari solusi untuk suatu masalah, sehingga tujuan utamanya adalah ditemukannya kesamaan pendapat atau terpecahkannya masalah.

Menurut Durkheim, fakta sosial memiliki tiga karakteristik yakni: bersifat eksternal terhadap individu, bersifat memaksa individu yang berada dalam lingkungan sosialnya, dan bersifat umum yakni tersebar di masyarakat. Fakta sosial meliputi: norma, moral, kepercayaan, kebiasaan, pola berfikir, dan pendapat umum, yang dimiliki bersama oleh anggota masyarakat. Fakta sosial tersebut disebut representatif kolektif.

Apabila diamati dan diperhatikan berbagai gejala dan fenomena kehidupan sehari-hari, baik yang alami sendiri maupun melalui berbagai sumber informasi (seperti surat kabar, majalah, radio, TV, dll) tentang konflik, diperkirakan ada sejumlah pola konflik, yakni sebagai berikut:

1. Konflik internal di terjadi dalam suatu masyarakat lokal,

2. Konflik antara masyarakat lokal dengan pemerintah daerah sendiri, 3. Konflik masyarakat antar daerah, suku, agama, dan ras (SARA), 4. Konflik antar dua atau lebih pemerintah daerah,

5. Konflik antara masyarakat lokal dengan pemerintah pusat sebagai penyelenggara negara 6. Konflik antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat

7. Konflik antar elit di pemerintah pusat yang berimbas pada atau diikuti oleh konflik masyarakat di tingkat lokal

(25)

Konflik tersebut merupakan konflik yang paling sering terjadi di Indonesia seiring dengan krisis ekonomi dan jatuhnya rejim ORBA di tahun 1997. Dalam konflik bernuansa etno-komunal, sangat tampak nyata adanya para pihak yang membawa atribut identitas ideologi, identitas antar-keagamaan, identitas kelompok atau juga perbedaan mazhab pada agama yang sama (konflik sektarian), serta perbedaan asal-usul atau keturunan sebagai pembeda utama kelompok yang saling menggugat, pelancaran klaim, atas persoalan yang disengketakan.

Meskipun akar konflik yang bertanggung jawab atas terjadinya konflik sosial komunal di Indonesia sangatlah berbeda-beda, namun ada beberapa hal yang membuatnya sama yaitu adanya radikalisasi perbedaan identitas, radikalisasi komunalisme serta dianutnya bounded rationality yang memicu “kesadaran kelas” (class consciousness ala Marx) dalam kelompok-kelompok yang bertikai. Hal-hal tersebut tidak bisa dielakkan ikut bertanggung jawab dan memperkuat dorongan kepada setiap warga untuk saling bersengketa dengan warga dari kelompok lainnya dan jika mungkin saling meniadakan (eliminating strategy).

(26)

Dalam tataran konflik antar kelompok ini, kepentingan individual dalam kelompok seringkali juga diabaikan, karena telah diwakili oleh kepentingan kelompok (individu mengalami gejala sosial yang dikenal sebagai oversocialized processes dimana tujuan dan kepentingan kolektif menjadi segala-galanya). Artinya, persaingan antar individu pada suatu kelompok melawan kepentingan individu pada kelompok yang berbeda menjadi bagian integral konflik sosial antar kelompok. Dengan kata lain konflik sosial selalu melibatkan perselisihan antar kelompok (partai/pihak) dimana individu di dalamnya menjadi konstituen pendukung perjuangan kelompoknya masing-masing.

Demikianlah sehingga pada banyak kasus, konflik kelompok (group conflict) dipakai untuk menunjuk pengertian konflik sosial (social conflict). Konflik sosial semacam ini memang dapat dipahami melalui perspektif materalisme, dimana basis material (sustenance needs security atau masalah livelihood/nafkah) bagi kehidupan sekelompok warga sebagai akar konflik sosial yang harus diselesaikan.

(27)

kelompok lain dalam jejaring hubungan sosial masyarakat yang dibangunnya. Jika menyimak pelajaran yang dipetik dari Eropa Barat, etika ini utamanya dikembangkan oleh sekelompok orang yang mengagungkan ciri nasionalisme berlebih lebihan dan pada taraf lanjut etika ini berkembang menjadi ideologi-rasisme yang saat ini dianut oleh partai-partai kanan-radikal yang sangat keras dan berpandangan sangat sempit tentang paham kebangsaan. Komunal konflik ditengarai terus menguat di banyak kawasan sejak era perang dingin berakhir tahun 1990-an (Anonymous, 1996).

Rasionalitas ini diturunkan dari kerangka “teori tindakan rasional individual” dari Weber. Dalam hal ini, setiap individu selalu mengambil sikap untuk mengedepankan kepentingan kelompok daripada kepentingan individu, sekalipun pemikiran itu sebenarnya “membelenggu” kepentingan individual. Pengedepanan kepentingan kelompok tersebut seringkali menjadi “jebakan struktural” bagi seseorang, karena individu tidak mampu membebaskan dirinya untuk mengekspresikan kepentingannya sendiri.

(28)

Untuk melaksanakan resolusi konflik maka kita harus memahami , gejala, intensitas dan sumber penyebab konflik yang ada dalam masyarakat. Terdapat lima sumber penyebab konflik, yaitu:

1. Konflik Struktural

Konflik terjadi ketika ada ketimpangan dalam melakukan akses dan kontrol terhadap sumberdaya, seperti; tanah, tambang, sumber air, dan hutan. Pihak yang berkuasa dan memiliki kewenangan formal untuk menetapkan kebijakan umum, biasanya lebih memiliki peluang untuk menguasai akses dan melakukan kontrol sepihak terhadap pihak yang lain. Di sisi lain, persoalan geografis dan faktor sejarah seringkali dijadikan alasan untuk memusatkan kekuasaan serta pengambilan keputusan yang hanya menguntungkan salah satu pihak tertentu atau pihak dominan—Pemerintah pusat.

2. Konflik Kepentingan

Konflik yang terjadi akibat persaingan kepentingan yang dirasakan menjadi kebutuhan yang harus dipenuhi atau yang secara nyata memang tidak bersesuaian. Konflik kepentingan terjadi ketika satu pihak atau lebih, meyakini bahwa untuk memuaskan kebutuhannya, pihak lain yang harus berkorban, dan biasanya yang menjadi korban masyarakat. Hal lain yang mengindikasikan konflik kepentingan yaitu terjadinya persaingan manipulatif atau tidak sehat antar kedua belah pihak. Konflik yang berdasarkan kepentingan ini bisa terjadi karena masalah yang mendasar (ekonomi,politik kekuasaan), masalah tata cara atau masalah psikologis.

3. Konflik Nilai

(29)

suatu komunitas yang memberi makna dalam kehidupan. Nilai menjelaskan mana yang dianggap baik dan buruk, benar atau salah, adil atau tidak. Perbedaan nilai tidak harus menyebabkan konflik. Individu, kelompok atau komunitas dapat hidup berdampingan secara harmonis dengan sedikit perbedaan sistem nilai. Konflik nilai muncul ketika salah satu pihak berusaha memaksakan suatu sistem nilai kepada pihaklain, atau mengklaim suatu sistem nilai yang eksklusif (di dalamnya tidak dimungkinkan adanya perbedaan kepercayaan). 4. Konflik Hubungan Sosial

Dalam bermasyarakat terjadi jalinan atau interaksi sosial antar pribadi, antar kelompok,antar komunitas, dan antar organisasi. Dalam berinteraksi terdapat kecenderungan terjadi bias persepsi, streotipe diantara pihak-pihak yang terlibat. Terkadang salah satu pihak mempersepsikan dengan caranya sendiri sehingga menjadi bias. Stereotip merupakan salah satu faktor timbulnya prasangka yang akan berlanjut pada ketidakpercayaan, kecurigaan, kecemburuan, dan diskriminasi. Pada akhirnya terjadi tindakan kekerasan. Prasangka menimbulkan gejolak sosial dan memungkinkan terjadinya pertentangan dan rusaknya hubungan sosial yang telah terbangun. Prasangka merupakan sifat negatif terhadap kelompok atau individu tertentu semata-mata karena keanggotaannya dalam kelompok tertentu. Prasangka muncul karena adanya bias persepsi (stereotip) yang memunculkan generalisasi lebih awal tanpa di dasarkan fakta atau bukti akurat. Hal ini mengakibatkan dampak negatif terhadap pihak lainnya. Jika sasaran prasangka mencakup kelompok minoritas dalam arti jumlah maupun status. Prasangka kemudian direalisasikan dalam perilaku atau tindakan diskriminasi kepada kelompok lain.

(30)

Konflik data menyangkut keabsahan dan penggunaaan metode analisis data yang dipergunakan untuk pengambilan keputusan. Konflik ini muncul ke permukaan ketika salah satu pihak kekurangan informasi dan data yang dibutuhkan untuk mengambil keputusan, mendapat informasi yang salah, kekurangan data yang valid dan dapat dipercaya, tidak sepakat mengenai apa saja data yang relevan, menterjemahkan informasi dengan cara yang berbeda, atau memakai metode analisis yang berbeda.Terjadinya konflik data mungkin tidak perlu terjadi karena hal itu disebabkan kurangnya komunikasi diantara orang-orang yang berkonflik. Konflik data lainnya bisa jadi karena ketidakjelasan tujuan dan masalah yang akan di kaji oleh pihak-pihak yang berkepentingan.

Konflik dalam masyarakat merupakan fenomena sosial yang memiliki karakteristik dan pola penyelesaian yang unik. Berbagai dimensi dan kerangka penyelesaian dilakukan melalui proses yang sistematis untuk menemukan alternatif solusi berdasarkan hasil analisis yang benar. Dimensi konflik perlu dipahami sebagai sebuah kerangka kerja dan analisis dalam menemukan pola dasar resolusi konflik dalam membangun perdamaian. Secara umum ada tiga pendekatan dalam melihat resolusi konflik sebagai suatu pendekatan;

(31)

seratus persen tuntutannya. Resolusi dengan pembatalan dilakukan dengan menghilangkan tujuan konflik. Dialog dan negosiasi dipandang sebagai salah satu. Dalam melakukan dialog dan negosiasi perlu dilandasi dengan membangun kekuatan ekonomi, kekuatan sosial, kekuatan militer dan kekuatan kultural (Confidence Building Measures).

2. Pendekatan yang berfokus pada kebutuhan dasar. Konflik dilihat sebagai sebuah fenomena sosial dinamis, Meskipun konflik juga disebabkan oleh munculnya rasa frustasi akan kebutuhan tertentu. Konflik jenis ini disebut sebagai konflik yang realistik. Konflik disebabkan ketiadaan mekanisme saluran, misalnya tidak dihargai dalam masyarakat, tidak mempunyai akses kepada kekuasaan dan politik. Resolusi konflik diarahkan kepada pemenuhan kebutuhan dasar yaitu dengan memberikan akses kepada pihak-pihak yang berpotensi konflik. Cosser kemudian menawarkan pembentukan sebuah institusi baru yang bersifat formal maupun informal.Teori Cosser kemudian diperbaiki oleh Edward Azar yang melihat kepada durasi konflik dan kegagalan dalam resolusi konflik. Azar mengajukan skema resolusi konflik melalui pendekatan struktural yang tredesentralisasi. Pendekatan ini diharapkan dapat memuaskan kebutuhan psikologis, ekonomis dan relasional. Pendapat ini senada dengan pandangan Gurr mengajukan teori "Deprivasi Relatif".Teori Gurr ini melihat kondisi sistematis yang merubah konflik menjadi kekerasan.

(32)

ketiga untuk mendorong dan mempengaruhi pertimbangan melalui pemberian reward atau punishment.

Professor Burton membedakan antara resolusi konflik, manajemen dan penyelesaian (‘settlement’). Manajemen adalah ‘dengan kecakapan resolusi perselisihan alternatif’ (by alternative dispute resolution skills’) dan dapat menampung atau membatasi konflik; ‘settlement’ adalah ‘dengan proses wewenang dan hukum’ (by authoritative and legal processes’) dan dapat dipaksakan oleh kelompok elit (1991:73).

Burton menyatakan bahwa resolusi konflik artinya menghentikan konflik dengan cara-cara yang analitis dan masuk ke akar permasalahan. Resolusi konflik, berbeda dengan sekedar ‘manajemen’ atau ‘settlement’, mengacu pada hasil yang, dalam pandangan pihak-pihak yang terlibat, merupakan solusi permanen terhadap suatu masalah.

Dengan menerima asumsi dan hipotesa Teori Kebutuhan Manusia, Burton menyatakan bahwa perlu adanya pergeseran paradigma dari politik kekuasaan ke arah ‘realitas kekuasaan individu’ (1991:84). Dengan kata lain, individu-individu, sebagai anggota kelompok-kelompok identitasnya, akan memperjuangan kebutuhannya di dalam lingkungannya sendiri. Jika usaha mereka dihalang-halangi oleh kelompok elit, kelompok identitas lain, lembaga-lembaga dan segala bentuk wewenang/otoritas lainnya, maka tak terelakkan lagi akan terjadi konflik. Satu-satunya solusi adalah kelompok-kelompok itu menyelesasikan masalahnya sendiri secara analitis, didukung oleh pihak ketiga yang bertindak sebagai fasilitator dan bukan penguasa.

(33)

sekali konsensus mengenai solusi. Agaknya perlu menjauh dari pokok-pokok (specifics) konflik dan melakukan pendekatan holistik. Abstraksi ini akan mencapai tujuan lebih objektif dalam mencari penjelasan yang memadai.

Resolusi konflik dalam jangka panjang adalah suatu proses perubahan politik, sosial, dan ekonomi. Resolusi konflik adalah suatu proses analisis dan penyelesaian masalah yang mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan individu dan kelompok seperti identitas dan pengakuan, juga perubahanperubahan institusi yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan ini (1991:71)

Pendekatan tradisional terhadap manajemen atau pengaturan konflik atau umumnya berdasarkan mediasi dan negosiasi ‘settlements.’ Pendekatan-pendekatan ini hanya akan berjalan jika pihak-pihak yang berkonflik setuju untuk bernegosiasi dan mempunyai sesuatu yang nyata yang dapat mereka tawarkan (bargain). Namun, pengakuan kebutuhan-kebutuhan primordial menghapuskan kemungkinan negosiasi tradisional. Akibatnya, tinggal memiliki konsep Burton tentang perlunya suatu proses perubahan untuk mencapai resolusi.

Dalam konteks konflik etnis dan agama, setidaknya ada tiga perspektif yang sering digunakan;

1. Perspektif primodial yang melihat konflik sebagai suatu yang tak terhindarkan dalam masyarakat yang secara etnis dan agama berbeda. Realitas etnik dan agama dianggap sebagai sesuatu yang tetap, tidak berubah alami dan tidak terhindarkan.

(34)

entrepreneur’. Perannya melakukan mobilisasi dan mengambil keuntungan dalam konflik.

3. Perspektif konstruktivis yang berpandangan bahwa etnis dan agama merupakan identitas yang dikonstruksikan secara sengaja dalam situasi konflik. Perspektif konstruksionis ini merupakan sintesa dari perspektif primordial dan instrumental. Dalam prakteknya model analisis konflik agamadan etnis didominasi pendekatan instrumental dan konstruktivis. Secara empirik, resolusi konflik dilakukan dalam empat tahap yaitu:

1. Tahap pertama masih didominasi oleh strategi militer yang berupaya untuk mengendalikan kekerasan bersenjata yang terjadi.

2. Tahap kedua memiliki orientasi politik yang bertujuan untuk memulai proses re-integrasi elit politik dari kelompok-kelompok yang bertikai.

3. Tahap ketiga lebih bernuansa sosial dan berupaya untuk menerapkan problem-solving approach.

4. Tahap terakhir memiliki nuansa kultural yang kental karena tahap ini bertujuan untuk melakukan perombakan struktur sosial-budaya yang dapat mengarah kepada pembentukan komunitas perdamaian yang berkelanjutan.

Tahap Pertama: Mencari De-eskalasi Konflik

(35)

pihak-pihak yang berselisih akan menurunkan tingkat eskalasi konfliknya. Kajian tentang ‘entry point’ ini didominasi oleh pendapat Zartman (1985) tentang kondisi “hurting stalemate”. Saat kondisi ini muncul, para pihak yang bertikai lebih terbuka untuk menerima opsi perundingan untuk mengurangi beban biaya kekerasan yang meningkat. Pendapat ini didukung oleh Bloomfied, Nupen dan Haris (2000). Berbeda dengan Burton (1990, 88-90) bahwa pemecahan masalah (resolusi konflik) justru diupayakan sedapat mungkin dapat diprediksi termasuk biaya yang dibutuhkan. Dengan demikian, entry point juga dapat dilakukan apabila tersedia pihak ketiga yang mampu menurunkan eskalasi konflik. De-eskalasi ini dapat dilakukan dengan melalui intervensi militer yang dapat dilakukan oleh pihak ketiga internasional berdasarkan mandat BAB VI dan VII Piagam PBB. Operasi militer untuk perdamaian dalam rangka menurunkan eskalasi konflik menjadi tugas berat dari beberapa lembaga internasional. UNHCR, misalnya, telah menerbitkan suatu panduan operasi militer pada tahun 1995 yang berjudul “A UNHCR Handbook For The Military On Humanitarian Operations”. Panduan yang sama juga telah dipublikasikan oleh Institute for International Studies, Brown University pada tahun 1997 dengan judul “A Guide to Peace Support Operations”.

Tahap Kedua: Intervensi Kemanusiaan dan Negosiasi Politik

(36)

Pertimbangan ini didasarkan bahwa korban dari pihak sipil dan potensi pelanggaran HAM terbesar ada di pusat peperangan dan dilokasi tersebut. Tidak ada yang harus diupayakan untuk melindungi tempat penting bagi dengan intervensi pihak ketiga. Dengan demikian, bentuk minimal dari aksi kemanusian dengan memberikan layanan dan manajemen bantuan terkait masalah kekurangan komoditas kebutuhan pokok (commodity-based humanitarianism) yang dianggap tidak memadai lagi. Intervensi kemanusiaan dapat dilakukan bersamaan dengan usaha untuk membuka peluang dilakukannya negosiasi antar elit atau pemangku kepentingan yang terlibat langsung dalam upaya penyelesaian konflik. Pada tahap ini akan lebih banyak nuansa politik dengan maksud agar terjadi proses negosiasi dan memperoleh kesepakatan politik (political settlement) antara pemangku kepentingan yang terlibat konflik.

Tahap Ketiga: Problem-solving Approach

Tahap ketiga dari proses resolusi konflik adalah pemecahan masalah (problem-solving) yang berorientasi sosial. Tahap ini diarahkan untuk membangun suatu kondisi yang kondusif bagi bertentangan untuk melakukan transformasi konflik yang spesifik ke arah penyelesaian. Transformasi konflik dikatakan berhasil apabila kedua kelompok yang terlibat konflik dapat mencapai pemahaman bersama (mutual understanding) tentang cara mengeskplorasi alternatif penyelesaian konflik secara yang langsung dan dapat dikerjakan komunitas masing-masing. Alternatif solusi konflik tersebut dapat digali jika ada suatu institusi resolusi konflik yang berupaya untuk menemukan sebab-sebab fundamental dari suatu konflik.

Penerapan problem-solving approach dikembangkan Rothman (1992:30) yang menawarkan empat komponen utama proses problem-solving, yaitu;

(37)

(2) Masing-masing pihak memberikan informasi yang benar kepada pihak lain tentang kompleksitas konflik mencakup penyebab konflik, trauma yang timbul selama konflik,dan kendala struktural yang akan menghambat fleksibilitas mereka dalam melakukan proses resolusi konflik.

(3) kedua belah pihak secara bertahap menemukan pola interaksi yang diinginkan untuk mengkomunikasikan indikasi perdamaian.

(4) problem-solving workshop yang berupaya menyediakan suasana pembelajaran yang kondusif bagi pihak-pihak yang bertikai untuk melakukan proses (tidak langsung mencari outcome) resolusi konflik.

Tahap Keempat: Peace-Building

Tahap peace-building meliputi transisi, rekonsiliasi dan konsolidasi yang menjadi tahapan terberat dan membutuhkan waktu lama untuk memperbaiki kondisi masyarakat secara berkelanjutan. Tahap ini memiliki pola penyelesaian yang bersifat struktural dan kultural. Kajian tentang tahap transisi, misalnya, dilakukan oleh Ben Reily (2000, 135-283) yang telah mengembangkan berbagai mekanisme transisi demokrasi bagi masyarakat pasca-konflik. Mekanisme transisi tersebut meliputi lima proses yaitu:

(1) pemilihan bentuk struktur negara, (2) pelimpahan kedaulatan negara, (3) pembentukan sistem politik,

(4) pembentukan sistem pemilihan umum,

(38)

Mekanisme rekonsiliasi dilakukan untuk mengurangi potensi konflik lebih dalam dan berkepanjangan yang akan dialami oleh suatu komunitas akibat rapuhnya kohesi sosial masyarakat karena kekerasan struktural yang terjadi. Atau peristiwa dan kejadian (dinamika sejarah) yang dialami komunitas tersebut. Mekanisme konsolidasi dalam upaya membangun perdamaian yang berupaya mendorong pemangku kepentingan yang terlibat konflik untuk terus melakukan intervensi perdamaian terhadap struktur sosial yang ada. Tujuan utamanya untuk mencegah terulangnya lagi konflik yang melibatkan kekerasan bersenjata serta mengkonstruksikan proses perdamaian secara berkelanjutan yang dapat dijalankan secara mandiri oleh pihak-pihak yang bertikai.

Secara umum kedua tujuan itu dapat dicapai dengan merancang dua kegiatan yaitu; 1. Membangun early warning system. Kegiatan pertama adalah mengoperasionalkan indikator

sistem peringatan dini (Widjajanto, 2001). Sistem peringatan dini diharapkan mampu menyediakan informasi dan ruang bagi pemangku kepentingan dalam resolusi konflik untuk memperkecil kemungkinan penggunaan kekerasan bersenjata dalam mengelola konflik. Sistem peringatan dini ini juga dapat dijadikan tonggak untuk melakukan preventive diplomacy yang melibatkan pemerintah, lembaga non pemerintah, kebijakan dan lembaga yang dapat mengurangi pertikaian antar kelompok yang dimanfaatkan untuk mengurangi penggunaan kekuatan militer–kekerasan dan bentuk represi lain dalam penyelesaian konflik. 2. Mengembangkan mekanisme resolusi konflik lokal yang melibatkan sebanyak mungkin

(39)

Referensi

Dokumen terkait

Konflik organisasi adalah suatu perbedaan pendapat diantara dua atau lebih anggota atau kelompok dalam suatu organisasi yang muncul dari kenyataan bahwa mereka harus membagi

Konflik organisasi adalah suatu perbedaan pendapat diantara dua atau lebih anggota atau kelompok dalam suatu organisasi yang muncul dari kenyataan bahwa mereka

Konflik organisasi adalah suatu perbedaan pendapat diantara dua atau lebih anggota atau kelompok dalam suatu organisasi yang muncul dari kenyataan bahwa mereka harus membagi

Konflik organisasi adalah suatu perbedaan pendapat diantara dua atau lebih anggota atau kelompok dalam suatu organisasi yang muncul dari kenyataan bahwa mereka

Konflik merupakan wujud dari interaksi individu dengan individu atau kelompok,yang tujuannya berbeda bahkan berlawanan hingga orang lain tidak sejalan dengan tujuan

Konflik kerja dalam organsasi merupakan ketidaksesuaian terhadap antara dua individu atau kelompok dalam suatu perusahaan atau organisasi yang timbul karena ada kenyataan pihak

Konflik adalah sebagai hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki atau yang merasa memiliki sasaran-sasaran yang tidak

Selama ini resolusi konflik sulit dilakukan karena pihak-pihak terkait tidak dapat menjawab kepentingan atau mengubah persepsi dari kelompok yang