• Tidak ada hasil yang ditemukan

Proses Metanolisis Degummed Palm Oil (DPO) Dalam Sistem Pelarut Choline Cloride (ChCl) : Gliserol pada Produksi Biodiesel

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Proses Metanolisis Degummed Palm Oil (DPO) Dalam Sistem Pelarut Choline Cloride (ChCl) : Gliserol pada Produksi Biodiesel"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sumber bahan bakar fosil yang semakin langka menyebabkan harga minyak mentah meningkat. Upaya dalam mencari alternatif bahan bakar lain yang lebih ramah lingkungan dan tentunya dapat diperbaharui telah banyak dikembangkan, salah satunya adalah biodiesel. Biodiesel dapat diproduksi dari minyak nabati dan lemak hewani. Bahan baku yang paling potensial di Indonesia adalah CPO (Crude

Palm Oil), dengan kapasitas produksi sebesar 29,4 juta ton pada tahun 2014 [1]. Minyak nabati yang ada di pasaran dunia saat ini, CPO dan RPO (Refined Palm

Oil) menduduki urutan pertama. Penggunaan RPO sebagai bahan baku biodiesel tergolong mahal, karena proses refining minyak kelapa sawit tersebut membutuhkan

biaya yang tidak sedikit. Peneliti ingin mencoba menggunakan DPO (Degummed Palm Oil) sebagai bahan baku biodiesel ini, dimana CPO hanya akan diberikan perlakuan degumming untuk memisahkan getah dari minyak.

Metode yang umum digunakan dalam menghasilkan biodiesel adalah transesterifikasi. Transesterifikasi yang disebut juga reaksi alkoholisis merupakan reaksi kimia yang melibatkan trigliserida dan alkohol serta adanya katalis untuk membentuk ester dan gliserol [2]. Selain adanya alkohol dan katalis, dibutuhkan pelarut di dalam proses transesterifikasi untuk melarutkan CPO dengan alkohol. Pelarut yang digunakan biasanya adalah pelarut organik seperti n-heksana dan metanol [3,4].

Pelarut organik yang digunakan ini memiliki kelemahan diantaranya adalah: (1) ketidakmampuannya dalam menguraikan bahan anorganik dan bahan-bahan logam yang berbeda serta memiliki polaritas tinggi, (2) memiliki tekanan uap yang tinggi, (3) bersifat racun bagi kesehatan, (4) serta bersifat mudah menguap dan terbakar [5]. Hal ini mendorong dilakukannya upaya mengembangkan pelarut yang ramah lingkungan.

Pelarut ramah lingkungan dalam beberapa tahun terakhir ini mendapatkan tempat strategis dalam lingkup teknologi ramah lingkungan di dunia. Dalam 20 tahun

(2)

dunia sebagai generasi baru pelarut ramah lingkungan yang berpotensi di berbagai bidang industri karena sifatnya yang bertekanan uap rendah, tidak mudah menguap, konduktivitas tinggi, dan potensi untuk digunakan kembali cukup baik [6,7].

Terlepas dari sifatnya yang ramah lingkungan, ILs juga memiliki kekurangan yaitu: (1) ketersediaan ILs konvensional yang terbatas seperti imidazolium dan piridinium sehingga mengakibatkan harga ILs sangat mahal, (2) umumnya biodegradasinya rendah [6], (3) proses pemurnian multi tahap yang diperlukan untuk memurnikan ILs setelah disintesis membutuhkan biaya produksi yang cukup tinggi [8], (4) dibutuhkan tingkat kemurnian yang tinggi karena adanya pengotor walaupun dalam jumlah sedikit akan mempengaruhi sifat fisik ILs [9]. Pada saat ini telah ditemukan pelarut ramah lingkungan alternatif yang lebih ekonomis, yaitu DES (Deep Eutectic Solvent) [10].

ILs dan DES memiliki banyak kesamaan manfaat dan sifat fisika. Dalam proses persiapannya DES lebih sederhana dibandingkan dengan ILs konvensional [10]. DES juga memiliki kelebihan lain diantaranya toksisitas rendah dan harga yang relatif murah, tidak beracun, tidak reaktif dengan air, dan mudah terurai sehingga

berpotensi sebagai pelarut ramah lingkungan yang dapat menggantikan ILs dalam berbagai aplikasi industri [11,12,13].

DES berbasis ChCl (Choline Cloride) dan Gliserol telah diaplikasikan sebagai pelarut pada proses ekstraksi gliserol dalam sintesis biodiesel. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa perbandingan rasio ChCl : Gliserol yang memberikan hasil ekstraksi gliserol terbaik pada saat proses pemurnian adalah 1:1 [5].

Pada proses transesterifikasi biodiesel, co-solvent DES digunakan sebagai salah satu strategi untuk mengatasi keterbatasan transfer massa trigliserida dan alkohol membentuk ester. Perbedaan kelarutan antara minyak dan alkohol menjadi penyebab terganggunya transfer massa. Keterbatasan transfer massa inilah yang menyebabkan

lag time (4 menit pertama setelah reaksi berlangsung) sebelum terbentuk metil ester dalam jumlah yang signifikan pada transesterifikasi dengan metanol (metanolisis), sehingga pembentukan metil ester berjalan lebih lambat [14,15].

(3)

dimana nilai ini lebih tinggi dari yield biodiesel tanpa penambahan co-solvent DES, yaitu hanya berkisar 81%. Selain itu, penggunaan DES sebagai co-solvent dalam sintesis biodiesel ini memiliki kelebihan, seperti meminimalkan jumlah penggunaan pelarut volatil (metanol), mempercepat, dan memudahkan pemurnian biodiesel yang diperoleh [17].

Zhao, dkk (2013) juga mengaplikasikan DES berbasis ChCl : Gliserol (1:2) dan

Choline acetate (ChOAc) : gliserol (1:1,5 dan 1:2) sebagai media persiapan enzim sebelum digunakan dalam proses pembuatan biodiesel dari minyak kedelai. Proses enzimatik dengan menggunakan DES berbasis ChCl : gliserol memberikan hasil konversi transesterifikasi terbaik diantara yang lainnya [11].

Evaluasi toksisitas dan kemampuan terurainya DES berbasis choline cloride

dengan 3 hydrogen bond donor (HBD) yang berbeda yaitu ChCl : Glycerol, ChCl :

Glucose, dan ChCl : Oxalic Acid telah dilakukan dalam sebuah penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa DES berbasis choline cloride dengan HBD gliserol adalah yang terbaik di antara ketiga HBD yang diuji [6].

Dari beberapa hasil penelitian yang dilaporkan di atas, dapat disimpulkan bahwa

DES berbasis ChCl : Gliserol adalah yang terbaik dalam sintesis biodiesel secara kimiawi. Oleh karena itu, peneliti ingin mengkaji mengenai penggunaan DES dalam sintesis biodiesel menggunakan DPO sebagai bahan baku.

1.2 Rumusan Masalah

DES yang disintesis dari ChCl sebagai garam halida organik dan gliserol sebagai donor ikatan hidrogennya merupakan salah satu pelarut yang banyak diaplikasikan dalam sintesis biodiesel. Namun penggunaan DES berbasis ChCl dan gliserol sebagai co-solvent dalam metanolisis DPO belum dilaporkan. Oleh karena itu, perlu diketahui pengaruh jumlah DES sebagai co-solvent dalam reaksi metanolisis dengan bahan baku DPO.

1.3Tujuan Penelitian

(4)

1.4Manfaat Penelitian

Memperoleh informasi mengenai kelayakan dan potensi penggunaan DES berbasis ChCl : Gliserol dalam sintesis biodiesel berbahan baku DPO.

1.5Ruang Lingkup

1. Penelitian dilakukan di Laboratorium Penelitian, Departemen Teknik Kimia Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara, Medan.

2. Bahan baku yang digunakan adalah CPO, choline chloride (ChCl), gliserol (C3H8O3), natrium hidroksida (NaOH), kalium hidroksida (KOH), metanol (CH3OH), aquades (H2O), etanol (C2H5OH), phenolftalein (C20H14O4), dan asam fosfat (H3PO4).

3. Sintesis deep eutectic solvents (DES) dilakukan dengan kondisi reaksi: a. Variabel tetap

 Kecepatan pengadukan = 300 rpm [16]

 Suhu = 80 ᵒC [16]

 Waktu = 1 jam [16]

b. Parameter yang diuji

 Densitas dengan metode tes OECD 109  Viskositas dengan metode tes ASTM D 445

(5)

c. Parameter yang diuji

 Komposisi bahan baku CPO dengan menggunakan GC-MS  Kadar FFA dan kadar air bahan baku DPO Metode Tes AOCS

Official Method Ca 5a-40

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Panitia Pengadaan Barang/Jasa KPKNL Metro Paket Pekerjaan Pengadaan Jasa Konstruksi Pembangunan Gedung KPKNL Metro Tahap II. Tahun

Pada hari ini, Jum’at tanggal satu bulan Juni tahun dua ribu dua belas, bertempat di Ruang Rapat Lantai 2 KPKNL Metro, Jalan Imam Bonjol Nomor 26, Kota Metro, Panitia Pengadaan Jasa

SUBDIT PENCEGAHAN SUBDIT SUBDIT PERINGATAN DINI SUBDIT SUBDIT PERAN LEMBAGA USAHA SUBDIT PERAN ORGANISASI PENGKAJIAN RISIKO SEKSI PENGELOLAAN RISIKO SEKSI MITIGASI STRUKTUR

Berupa indikator yang ada di dalam rumusan silabus sesuai dengan KD yang bersangkutan Dipilih sesuai dengan karakteristik indikator pencapaian, seperti tes tertulis, tes

(4) pemantauan, evaluasi, dan analisis pelaporan tentang pelaksanaan kebijakan di bidang pencegahan, mitigasi dan kesiapsiagaan pada prabencana serta pemberdayaan masyarakat.

Ernest Gellner yang memotret adanya pergeseran atau loncatan-loncatan akan terus berjalan dari satu titik paradigma ke titik paradigma yang lain, bisa dikatakan bahwa

kekafiran, yaitu kelompok murji’ah. Bagaimana sikap kita? Imam Hasan Al-Basri terdiam memikirkan jawabannya, saat itulah murid beliau yang bernama Wasil bin Atha’ menyela “saya