BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kepailitan bukan hal yang baru dalam suatu kegiatan ekonomi khususnya
dalam bidang usaha. Dalam mengadakan suatu transaksi bisnis antara debitur dan
kreditur kedua belah bihak di ikat oleh suatu perjanjian baik perjanjian pinjam
meminjam maupun utang piutang. Salah satu kewajiban dari debitur adalah
mengembalikan utangnya sebagai suatu prestasi yang harus dilakukan.
Permasalahan akan timbul apabila debitur mengalami kesulitan untuk
mengembalikan utangnya tersebut, dengan kata lain debitur berhenti membayar
utangnya.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut
KUHPerdata) Pasal 1338 ayat (1) menjelaskan sebuah asas yang cukup penting
dalam hukum perdata, dimana asas tersebut berkaitan dengan kegiatan pinjam
meminjam ataupun utang piutang. Asas tersebut berbunyi perjanjian yang telah
dibuat secara sah mengikat kedua belah pihak. Mengikat berarti para pihak
mempunyai hak dan kewajiban. Dengan demikian, bila para pihak tidak
memenuhi kewajiban apa yang telah disepakati, maka pihak yang tidak memenuhi
kewajibannya dapat dimintai pertanggungjawaban hukum. Konsekuensinya
adalah bagi pihak yang sudah melaksanakan kewajiban, mempunyai hak untuk
Kegiatan pinjam meminjam atau utang piutang merupakan kegiatan yang
tidak asing dalam kegiatan ekonomi, apabila pihak yang berutang (debitur) tidak
dapat memenuhi kewajibannya, maka harta benda debitur menjadi jaminan bagi
semua debitur. Penyitaan (pembeslagaan) secara massal dilakukan agar aset
debitur dapat dibagi secara proporsional dalam membayar utang-utangnya. Sesuai
dengan ketentuan dalam Pasal 1131 KUHPerdata disebutkan, segala kebendaan
pihak yang berhutang baik yang bergerak, maupun tidak bergerak, baik yang
sudah ada maupun yang baru ada di kemudian hari menjadi tanggungan segala
perikatannya perseorangan. Selanjutnya, dalam Pasal 1132 KUHPerdata
disebutkan, kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang
yang mengutangkan padanya; pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi
menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing,
kecuali di antara para pihak yang berpiutang itu ada alasan yang sah untuk
didahulukan. Pasal 1131 dan 1132 KUHPerdata kiranya dapat dikemukakan oleh
para ahli hukum disebut sebagai dasar hukum dalam kepailitan.1
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan
dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut UUK dan
PKPU) menyebutkan bahwa kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan
debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di
bawah pengawasan hakim pengawas. Dari pasal tersebut dapat dilihat, bahwa
kurator memiliki peran penting di dalam proses kepailitan, karena berwenang
dalam melakukan pengurusan dan pemberesan harta pailit demi kepentingan pihak
kreditur dan debitur pailit. Pelaksanaan pengurusan dan pemberesan atas harta
1
pailit tersebut diserahkan kepada kurator yang diangkat oleh pengadilan, dengan
diawasi oleh hakim pengawas yang ditunjuk oleh hakim pengadilan. Berdasarkan
Pasal 16 UUK dan PKPU, terhitung sejak tanggal putusan pernyataan pailit
ditetapkan, maka kurator berwenang melaksanakan tugas pengurusan dan/atau
pemberesan atas harta pailit, meskipun terhadap putusan tersebut diajukan kasasi
atau peninjauan kembali.
Menurut UUK dan PKPU, jika ternyata kemudian putusan pernyataan
pailit tersebut dibatalkan oleh putusan kasasi atau peninjauan kembali, maka
segala perbuatan yang telah dilakukan oleh kurator sebelum atau pada tanggal
kurator menerima pemberitahuan tentang putusan pembatalan tetap sah dan
mengikat bagi debitur pailit.2 Tujuan utama kepailitan adalah pembagian
kekayaan debitur pailit oleh kurator kepada semua kreditur. Kepalitan
dimaksudkan untuk menghindari terjadinya sitaan terpisah atau eksekusi terpisah
oleh kreditur dan menggantikannya dengan mengadakan sitaan bersama, sehingga
kekayaan debitur dapat dibagikan kepada semua kreditur sesuai dengan hak
masing-masing.3
Seorang debitur dapat dinyatakan pailit apabila telah memenuhi
syarat-syarat kepailitan, yaitu:4
1. Debitur mempunyai dua atau lebih kreditur;
2
Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja. Seri Hukum Bisnis Kepailitan (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999), hlm. 62.
3
Imran Nating. Peranan dan Tanggung Jawab Kurator dalam Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 9.
4
2. Tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat
ditagih.
Kepalitan dimaksudkan untuk menghindari terjadinya sitaan terpisah atau
eksekusi terpisah oleh kreditur dan menggantikannya dengan mengadakan sitaan
bersama, sehingga kekayaan debitur dapat dibagikan kepada semua kreditur
sesuai dengan hak masing-masing. 5
Adanya pernyataan pailit mengakibatkan debitur pailit demi hukum
kehilangan hak untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang dimasukkan
dalam kepailitan terhitung sejak tanggal kepailitan itu, termasuk juga untuk
kepentingan perhitungan hari pernyataannya itu sendiri.6 Pasal 69 ayat (1) UUK
dan PKPU, menerangkan bahwa kuratorlah yang berwenang melakukan
pengurusan dan pemberesan harta pailit. Dengan demikian, debitur kehilangan
hak menguasai harta yang masuk dalam kepailitan dan tidak kehilangan hak atas
harta kekayaan yang berada di luar kepailitan.7
Tentang harta pailit, lebih lanjut dalam Pasal 21 UUK dan PKPU
menerangkan bahwa harta pailit meliputi semua harta kekayaan debitur yang ada
pada saat pernyataan pailit diucapkan, serta semua kekayaan yang diperolehnya
selama kepailitan. Harta pailit adalah harta milik debitur yang dinyatakan pailit
berdasarkan keputusan pengadilan.8
5
Imran Nating. Peranan dan Tanggung Jawab Kurator dalam Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 9.
Kendati telah ditegaskan bahwa dengan
dijatuhkannya putusan kepailitan, harta kekayaan debitur pailit akan diurus dan
dikuasai kurator, namun tidak semua kekayaan debitur pailit diserahkan ke
6
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Pasal 24.
7
Imran Nating, Op.Cit., hlm. 45. 8
kurator. Selain itu, hak-hak pribadi debitur yang tidak dapat menghasilkan
kekayaan, atau barang-barang milik pihak ketiga yang kebetulan berada di tangan
debitur pailit tidak dapat dikenakan eksekusi, misalnya hak pakai dan hak
mendiami rumah.
Kurator juga harus paham bahwa tugasnya tidak hanya untuk
menyelamatkan harta pailit yang berhasil dikumpulkannya untuk kemudian dibagi
kepada para kreditur, tetapi juga sedapat mungkin bisa meningkatkan nilai harta
pailit tersebut. Kemampuan kurator harus disertai dengan integritas. Integritas
berpedoman pada kebenaran dan keadilan serta keharusan untuk mentaati standar
profesi dan etika sesuai isi dan semangatnya. Integritas merupakan salah satu ciri
yang fundamental bagi pengakuan terhadap profesionalisme yang melandasi
kepercayaan publik serta patokan (benchmark) bagi anggota (kurator) dalam
menguji semua keputusan yang diambilnya.9 Integritas mengharuskan kurator
untuk antara lain bersikap jujur dan dapat dipercaya serta tidak mengorbankan
kepercayaan publik demi kepentingan pribadi. Integritas mengharuskan kurator
untuk bersikap objektif dan menjalankan profesinya secara cerdas dan saksama.10
Berdasarkan Pasal 69 ayat (2) UUK dan PKPU menegaskan bahwa
dalam melakukan tugasnya, kurator tidak memerlukan persetujuan dari organ
debitur/perseroan pailit, walaupun di luar kepailitan persetujuan tersebut
disyaratkan. Namun perlu diketahui, tugas kurator tidak mudah atau dapat
berjalan dengan mulus seperti yang telah ditentukan dalam UUK dan PKPU.
Persoalan yang dihadapi oleh kurator sering kali menghambat proses kinerja
kurator yang semestinya, seperti menghadapi debitur yang tidak dengan sukarela
9
Imran Nating, Op.Cit., hlm. 14. 10
menjalankan putusan pengadilan, misalkan debitur tidak memberi akses data dan
informasi atas asetnya yang dinyatakan pailit.11
Kurator memiliki kewenangan yang sangat luas dalam proses kepailitan,
sehingga sering kali menimbulkan permasalahan dalam pelaksanaannya, bahkan
tidak jarang kurator dituntut oleh kreditur dalam proses penhurusan dan
pemberesan harta pailit. Dalam Pasal 21 UUK dan PKPU menyebutkan kepailitan
meliputi seluruh kekayaan debitur pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan
serta segala sesuatu yang di peroleh selama kepailitan. Selain itu, dalam pasal 26
ayat (1) UUK dan PKPU menyebutkan tuntutan mengenai hak atau kewajiban
yang menyangkut harta pailit harus diajukan oleh atau terhadap kurator.
Berdasarkan pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam pengurusan dan
pemberesan harta pailit seorang kurator dapat dituntut secara hukum oleh kreditur,
akan tetapi perlindungan bagi kurator terhadap tuntutan hukum tersebut tidak di
atur jelas dalam UUK dan PKPU.
Diperlukan seorang kurator yang
memiliki keahlian dan bertanggung jawab terhadap tugasnya, agar tercipta
kepastian hukum, terutama dalam hukum kepailita.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan beberapa
permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pengurusan dan pemberesan harta pailit?
11
2. Bagaimankah resiko yang dihadapi kurator dalam pengurusan dan pemberesan
harta pailit dalam
3. Bagaimanakah perlindungan hukum bagi kurator terhadap tuntutan hukum
kreditur dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit.
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Penulisan ini bertujuan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui proses-proses dalam pengurusan dan pemberesan harta
pailit.
2. Untuk mengetahui resiko-resiko yang akan dihadapi kurator dalam pengurusan
dan pemberesan harta pailit.
3. Untuk mengetahui perlindungan hukum bagi kurator terhadap tuntutan hukum
kreditur dalam pengurusan dan pemberesan harta pilit.
Selain itu, penulisan skripsi ini juga ditujukan sebagai pemenuhan tugas
akhir dalam memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara.
Adapun manfaat penulisan yang diperoleh dari penulisan skripsi ini
adalah sebagai berikut :
1. Secara teoritis
Secara teoritis, pembahasan mengenai perlindungan hukum bagi
kurator terhadap tuntutan hukum kreditur dalam pengurusan dan
pemberesan harta pailit ini akan memberikan pemahaman dan pengetahuan
apa yang dihadapi kurator dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit,
serta bagaimana perlindungan hukum bagi kurator terhadap tuntutan hukum
kreditur dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit tersebut.
2. Secara praktis
Pembahasan ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi
praktisi dan masyarakat umum yang ingin mengetahui lebih jauh tentang
kepailitan dan kurator, khususnya tentang perlindungan hukum bagi kurator
terhadap tuntutan hukum kreditur dalam pengurusan dan pemberesan harta
pailit.
D. Keaslian Penulisan
Berdasarkan penelusuran yang telah dilakukan, baik dari hasil penelitian
yang masih ada maupun yang sedang dilakukan khususnya di lingkungan
Universitas Sumatera Utara, penelitian dengan judul “Perlindungan Hukum Bagi
Kurator Terhadap Tuntutan Hukum Kreditur Dalam Pengurusan dan Pemberesan
Harta Pailit” belum pernah dilakukan oleh peneliti lain sebelumnya. Sehubungan
dengan keaslian judul ini, peneliti telah melakukan pemeriksaan pada
perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara untuk membuktikan
bahwa judul skripsi ini belum pernah diteliti oleh orang lain di lingkungan
universitas/perguruan tinggi lain dalam wilayah Republik Indonesia.
Apabila di kemudian hari, ternyata terdapat judul yang sama atau telah
ditulis orang lain dalam berbagai tingkat kesarjanaan sebelum skripsi ini dibuat,
E. Tinjauan Kepustakaan
Pengertian pailit dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti
bangkrut, jatuh untuk perusahaan.12 Sementara itu,dalam berbagai kepustakaan
dijabarkan pengertian kepailitan, antara lain dalam kamus hukum Fockema
Andreae, dikemukakan Faillissement (kepailitan). Kepailitan seorang debitur
adalah keadaan yang ditetapkan oleh pengadilan bahwa debitur telah berhenti
membayar utang-utangnya yang berakibat penyitaan umum atas harta kekayaan
dan pendapatannya demi kepentingan semua kreditur di bawah pengawasan
pengadilan.13 Pendapat senada di kemukakan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio
sebagai berikut, pailit berarti keadaan seorang debitur apabila ia telah
menghentikan pembayaran utang-utangnya. Suatu keadaan yang menghendaki
campur tangan hakim guna menjamin kepentingan bersama dari para
krediturnya.14
Pengaturan mengenai kepailitan mengacu pada Pasal 2 UUK dan PKPU
yang menyenbutkan:
Dari pengertian-pengertian tersebut di atas dapat dirumuskan
perngertian kepailitan adalah suatu sitaan dan eksekusi atas seluruh kekayaan si
debitur (orang-orang yang berutang) untuk kepentingan krediturnya (orang-orang
berpiutang).
1. Debitur yang menpunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas
sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, dinyatakan
12
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), edisi II Cet keempat, 1999. 13
Lihat Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae. Edisi Bahasa Indonesia, oleh Saleh Andiwinata, dkk, Binacipta, Bandung 1983.
14
pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun
atas permohonan satu atau lebih krediturnya.
2. Permohonan dapat juga diajukan oleh kejaksaan untuk kepentingan umum.
Penjelasan Pasal 2 ayat (1) di atas menyatakan bahwa yang di maksud
dengan kreditur adalah kreditur konkuren, kreditur separatis dan kreditur preferen.
Kreditur konkuren (Unsecured Creditor) adalah kreditur yang harus berbagi
secara proporsional dari penjualan harta debitur. Dengan kata lain untuk jenis
kategori ini kedudukannya sama dengan kreditur yang lain. Kreditur preferen
(Secured Creditor) adalah krediur yang didahulukan dari kreditur lainnya untuk
pelunasan utang debitur, karena kreditur jenis ini mendapat hak istimewa yang
diberikan oleh undang-undang. kreditur separatis adalah kreditur pemegang hak
jaminan kebendaan. Hak kebendaan yang dimiliki oleh kreditur tersebut
memberikan hak untuk menjual secara lelang kebendaan yang dijaminkan
kepadanya dan selanjutnya memperoleh hasil penjualan kebendaan tersebut untuk
pelunasan piutang secara mendahului dari kreditur lainnya.15
Objek UUK dan PKPU adalah debitur, yaitu debitur yang tidak
membayar utang-utangnya kepada kreditur. Dalam Pasal 2 UUK dan PKPU
menyebutkan syarat-syarat seorang debitur dapat dinyatakan pailit, yaitu:
1. Debitur mempunyai dua kreditur atau tidak dapat membayar sedikitnya satu
utang yang telah jatuh waktu pembayaran.
2. Paling sedikit harus ada 2 (dua) kreditur (concurus creditorum).
3. Cukup satu utang telah jatuh waktu dan dapat ditagih
15
4. Debitur harus dalam keadaan insolvent, yaitu tidak membayar lebih dari 50%
utang-utangnya. Debitur harus telah berada dalam keadaan berhenti membayar
kepada para krediturnya, bukan sekedar tidak membayar kepada satu atau dua
orang kreditur saja.
Apabila seorang debitur telah memenuhi persyaratan-persyaratan tersebut
di atas maka permohonan pailit dapat diajukan ke pengadilan niaga. Pihak-pihak
yang dapat mengajukan permohonan pailit adalah kreditur, debitur itu sendiri,
Bank Indonesia, Meteri Keuangan, Badan Pengawas Pasar Modal/OJK dan jaksa
yang dilakukan demi kepentingan umum.
Setelah suatu permohonan pailit diterima dan kemudian diperiksa dan
diadili oleh majelis hakim pengadilan niaga maka pemeriksaan terhadap
permohonan tersebut dinyatakan selesai dengan dijatuhkannya putusan pailit oleh
pengadilan maka debitur kehilangan sebahagian haknya dalam mengurus harta
kekayaannya. Selanjutnya yang berwenang mengurus harta kekayaan debitur
adalah kurator. Menurut Pasal 70 UUK dan PKPU kurator adalah BHP atau orang
perorangan yang diangkat oleh pengadilan untuk mengurus dan membereskan
harta debitur pailit di bawah pengawasan hakim pengawas.
Kurator berwenang melaksanakan tugas pengurusan dan pemberesan
harta pailit sejak tanggal putusan pailit diucapkan meskipun terhadap putusan
tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali. Terhadap pengangkatan kurator,
apabila kreditur atau debitur tidak mengajukan usul pengangkatan kurator ke
pengadilan maka BHP bertindak sebagai kurator, namun apabila diangkat kurator
yang bukan BHP maka kurator tersebut harus independen dan tidak mempunyai
Seorang kurator perlu memilah kewenangan yang dimilikinya
berdasarkan undang-undang yaitu:
1. Kewenangan yang dapat dilaksanakan tanpa diperlukannya persetujuan dari
instansi atau pihak lain; dan
2. Kewenangan yang dapat dilaksanakan setelah memperoleh persetujuan dari
pihak lain dalam hal ini hakim pengawas.16
Kurator memiliki kewenangan dalam pengurusan dan pemberesan harta
pailit. dalam pelaksanaan pengurusan dan pemberesan harta pailit, kurator diawasi
oleh hakim pengawas. Dalam pengurusan harta pailit kurator harus:
1. Menginventarisasi harta kekayaan debitur pailit untuk kemudian menentukan
mana yang termasuk harta pailit dan mana yang bukan.
2. Menginventarisir harta kekayaan debitur Pailit untuk kemudian menentukan
mana yang masuk harta pailit, mana yang bukan, mengingat adanya
pengecualian yang diatur dalam undang-undang.
3. Membuat daftar kreditur dari debitur Pailit dengan menyebutkan sifat dan
jumlah utang debitur atau piutang kreditur beserta nama dan tempat tinggalnya.
4. Mengadakan verifikasi dari piutang kreditur dari debitur pailit dalam rapat
verifikasi yang dipimpin oleh Hakim Pengawas.
5. Membuat daftar pembayaran piutang pada kreditur sesuai peraturan hukum
yang berlaku (tingkatan para kreditur). Dalam hal pemberesan harta pailit dapat
terlihat bahwa tugas Kurator sangat berat karena Kurator bertanggung jawab
16
atas kesalahan atau kelalaiannya dalam menjalankan tugas pengurusan dan/atau
pemberesan yang yang menyebabkan kerugian terhadap harta pailit.
Sehubungan dengan hal tersebut maka Kurator dapat digugat dan wajib
membayar ganti kerugian apabila karena kelalaiannya atau terutama karena
kesengajaannya telah menyebabkan harta pailit mengalami kerugian, dan dapat
dituntut secara pribadi. Kurator memiliki tanggung jawab yang besar dalam
menjalankan tugasnya, hal ini ditegaskan di dalam Pasal 72 UUK dan PKPU,
bahwa kurator bertanggung jawab atas kesalahan atau kelalaiannya dalam
melaksanakan tugas pengurusan dan/atau pemberesan yang menyebabkan
kerugian terhadap harta pailit.
Perlindungan hukum terhadap kurator tidak diatur jelas dalam UUK dan
PKPU, akan tetapi berdasarkan Pasal 50 Kitab Undang Undang Hukum Pidana
(selanjutnya disebut KUHPidana) yang menyatakan barang siapa melakukan
perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak di pidana, dapat
dijadikan landasan perlindungan terhadap kurator yang menjalankan tugas sesuai
dengan ketentuan dan undang-undang yang berlaku.
F. Metode Penelitian
Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan
analisis dan kontruksi yang dilakukan secara metodologi, sistematis dan
adalah berdasarkan suatu sistem, sedangkan konsisten adalah tidak adanya hal-hal
yang bertentangan dalam suatu kerangka tertentu.17
Adapun penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut :
1. Spesifikasi penelitian
Pendekatan penelitian dalam menyusun skripsi ini adalah pendekatan
yuridis normatif, yaitu pendekatan dengan melakukan pengkajian dan analisa
terhadap perlindungan hukum bagi kurator terhadap tuntutan hukum kreditur
dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit oleh kurator yang ditinjau dari
UUK dan PKPU.
Sifat dari penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Penelitian
deskriptif adalah penelitian yang bertujuan untuk melukiskan tentang suatu hal
tertentu dan pada saat tertentu18
2. Data penelitian
, sehingga pada skripsi ini menggambarkan dan
menguraikan keadaan ataupun fakta yang ada tentang hukum mengenai
perlindungan hukum bagi kurator terhadap tuntutan hukum kreditur dalam
pengurusan dan pemberesan harta pailit.
Materi dalam penelitian ini diambil dari data-data sekunder. Adapun
data-data sekunder yang dimaksud adalah :
a. Bahan hukum primer, yaitu peraturan perundang-undangan yang terkait,
antara lain:
1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
17
Waluyo Bambang, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Edisi 1, Cet ke-3 (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), mengutip pendapat Soerjono Soekanto, hlm. 2.
18
3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan.
4) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan
danPenundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
5) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No. M.01-HT.05. 10
Tahun 2005 tentang Pendaftaran Kurator dan Pengurus
b. Bahan hukum sekunder, berupa buku-buku yang berkaitan dengan judul
skripsi, artikel-artikel, hasil-hasil penelitian, laporan-laporan, dan
sebagainya yang diperoleh melalui media-media cetak maupun media
elektronik.
c. Bahan hukum tersier, yaitu semua dokumen yang memberi
petunjuk-petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder, seperti : jurnal ilmiah, kamus hukum, dan bahan-bahan lain yang
relevan dan dapat digunakan untuk melengkapi data yang dibutuhkan dalam
menyusun skripsi ini.
3. Teknik pengumpulan data
Pengumpulan data dari skripsi ini dilakukan melalui teknik studi
pustaka, yaitu mengumpulkan, mempelajari, menganalisa, dan membandingkan
buku-buku yang berhubungan dengan judul skripsi ini. Selain itu,
pengumpulan data dilakukan juga melalui media elektronik/internet.
4. Analisis data
Metode analisis data yang digunakan penulis adalah metode kualitatif
dimana data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis selanjutnya
dianalisis secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang akan
G. Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini dibuat secara terperinci dan sistematis, agar
memberikan kemudahan bagi pembacanya dalam memahami makna dan
memperoleh manfaatnya. Keseluruhan sistematika ini merupakan kesatuan yang
saling berhubungan satu dengan yang lain. Adapun sistematika dalam penulisan
skripsi ini adalah :
BAB I PENDAHULUAN
Berisikan pendahuluan yang pada pokoknya menguraikan tentang
latar belakang pengangkatan judul skripsi, perumusan masalah yang
menjadi pokok pembahasan dalam bab pembahasan, tujuan dan
manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode
penelitian, dan diakhiri dengan sistematika penulisan.
BAB II PENGURUSAN DAN PEMBERESAN HARTA PAILIT
Berisikan tentang pengurusan dan pemberesan harta pailit, yang pada
pokoknya menguraikan tentang persyaratan dan prosedur permohonan
pailit, akibat hukum kepilitan, serta pengurusan dan pemberesan harta
pailit
BAB III RESIKO YANG DIHADAPI KURATOR DALAM PENGURUSAN
Berisikan tentang resiko yang di hadapi kurator dalam pengurusan dan
pemberesan harta pailit, yang pada pokoknya menguraikan tentang
kode etik profesi kurator dalam pengurusan dan pemberesan harta
pailit, resiko yang dihadapi kurator dalam pengurusan dan pemberesan
harta pailit, serta hambatan yang dihadapi kurator dalam pengurusan
dan pemberesan harta pailit.
BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KURATOR TERHADAP
TUNTUTAN HUKUM KREDITUR DALAM PENGURUSAN DAN
PEMBERESAN HARTA PAILIT
Berisikan perlindungan hukum bagi kurator terhadap tuntutan hukum
kreditur dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit yang pada
pokoknya menguraikan tentang tuntutan yang dihadapi kurator dalam
pengurusan dan pemberesan harta pailit, perlindungan hukum bagi
kurator terhadap tntutan hukum kreditur dalam pengurusan dan
pemberesan harta pailit, serta perlawanan terhadap kurator.
BAB V PENUTUP
Berisikan bagian penutup yang sekaligus merupakan bab terakhir
dalam penulisan skripsi ini, dimana dikemukakan mengenai
kesimpulan dan saran yang berkaitan dengan pembahasan yang