• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan patron klien antara pemilik lahan dengan buruh tani (studi di Desa Sipangan Bolon kecamatan Girsang Sipangan Bolon Kabupaten Simalungun)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan patron klien antara pemilik lahan dengan buruh tani (studi di Desa Sipangan Bolon kecamatan Girsang Sipangan Bolon Kabupaten Simalungun)"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

Bab II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Patron Klien pada Masyarakat Petani

Istilah patron berasal dari bahasa Latin “patronus” atau “ pater”, yang berarti

ayah (father). Karenanya, Ia adalah seorang yang memberikan perlindungan dan

manfaat serta mendanai dan mendukung terhadap kegiatan beberapa orang.

Sedangkan klien juga berasal dari istilah Latin “cliens”yang berarti pengikut.Dalam

literatur ilmu sosial patron merupakan konsep hubungan strata sosial dan penguasaan

sumber ekonomi.Konsep patron selalu diikuti oleh konsep klien, tanpa konsep klien

konsep patron tentu saja tidak ada.Karenanya kedua istilah tersebut membentuk suatu

hubungan khusus yang disebut dengan istilah clientelism.Istilah ini merujuk pada

sebuah bentuk organisasi sosial yang dicirikan oleh hubungan patron-klien, dimana

patron yang berkuasa dan kaya memberikan pekerjaan, perlindungan, infrastuktur,

dan berbagai manfaat lainnya kepada klien yang tidak berdaya dan

miskin.Imbalannya, klien memberikan berbagai bentuk kesetiaan, pelayanan, dan

bahkan dukungan politik kepada patron (Hefni, 2009).

Hubungan patron klien merupakan salah satu bentuk hubungan pertukaran

khusus.Dua pihak yang terlibat dalam hubungan pertukaran mempunyai kepentingan

yang hanya berlaku dalam konteks hubungan mereka. Dengan kata lain, kedua pihak

memasuki hubungan patron klien karena terdapat kepentingan yang bersifat khusus

(2)

dilakukan oleh dua pihak yang masing – masing merasa perlu untuk mempunyai

sekutu yang mempunyai status, kekayaan dan kekuatan lebih tinggi (superior) atau

lebih rendah (inferior)daripada dirinya.Persekutuan antara patron dan klien

merupakan hubungan saling tergantung.Dalam kaitan ini, aspek ketergantngan yang

cukup menarik adalah sisi ketergantungan klien dan patron.Sisi ketergantungan

semacam ini karena adanya hutang budi klien kepada patron yang muncul selama

hubungan pertukaran berlangsung.Patron sebagai pihak yang memiliki kemampuan

lebih besar dalam menguasai sumber daya ekonomi dan politik cenderung lebih

banyak menawarkan satuan barang dan jasa kepada klien, sementara klien sendiri

tidak selamanya mampu membalas satuan barang dan jasa tersebut secara

seimbang.Ketidakmampuan klien diatas memunculkan rasa utang budi klien kepada

patron, yang pada gilirannya dapat melahirkan ketergantungan. Hubungan

ketergantungan yang terjadi dalam salah satu aspek kehidupan sosial, dapat meluas

keaspek – aspek kehidupan sosial lain. (Hefni, 2009)

Menurut Scott dalam Hakim, Abdul sebagai suatu mekanisme sosial, ikatan

patron-klien bukan bersifat modern ataupun tradisional secara keseluruhan. Memang,

dari satu segi, gaya hubungan patron klien bersifat patrikularistik, tersebar dan

informal, sedangkan ikatan modern bersifat universal, spesifik dan kontraktual.

Namun demikian, walaupun gayanya tradisional, jaringan patron klien berfungsi

untuk menyatukan individu yang bukan kerabat dan sebagai sarana bagi terciptanya

suatu integrasi vertical.Sebagai pola pertukaran terbesar, jasa dan barang yang

(3)

belah pihak dan sumberdaya yang dimiliki masing-masing.Hal ini tercermin dalam

arus hubungan patron ke klien dan sebaliknya klien ke patron.Deskripsi dibawah ini

diringkas dari tulisan Scott yang ditulis dalam bukunya perlawanan kaum petani.

Beberapa barang dan jasa yang dipertukarkan oleh patron ke klien adalah sebagai

berikut:

1. Penghidupan subsistensi dasar,. Pada banyak daerah agraris, jasa utama dapat

berupa pemberian pekerjaan tetap atau tanah untuk bercocok tanam, dan juga

mencakup penyediaan benih, peralatan, jasa pemasaran, nasehat teknis, dan

sebagainya

2. Jaminan krisis subsistensi. Umumnya, patron diharapkan memberikan

jaminan pada saat bencana ekonomi, membantu menghadapi keadaan sakit

atau kecelakaan, atau membantu pada saat gagal panen

3. Perlindungan. Yang dimaksud disini adalah penyediaan jasa dari patron yang

bertujuan untuk melindungi klien dalam hal terjadinya konflik sebagai akibat

hubungan – hubungan yang dijalin oleh klien dengan “orang luar”

4. Jasa patron kolektif. Secara internal, patron sebagai kelompok dapat

melakukan fungsi ekonomi secara kolektif. Mereka dapat memberikan subsidi

atau sumbangan untuk tujuan – tujuan kolektif masyarakat desa, misalnya

dalam bentuk sumbangan tanah untuk fasilitas umum.

Berbeda dengan arus patron ke klien, arus barang dan jasa dari klien ke patron amat

(4)

keahlian untuk kepentingan patron, apa pun bentuknya. Unsur tipikal dalam arus

hubungn ini, antara lain mencakup jasa pekerjaan dasar (biasanya pekerjaan dalam

usaha tani), dan pemberian jasa tambahan berupa bantuan dalam pekerjaan domestik

(rumah tangga patron). (Hakim, Abdul)

Ikatan antara pelindung (patron) dan klien, satu bentuk asuransi sosial yang

terdapat dimana – mana di kalangan petani, merupakan satu langkah jauh lainnya

dalam jarak sosial dan seringkali moral, teristimewa apabila sang pelindung bukan

warga desa. Apakah ia seorang tuan tanah, seorang pejabat kecil atau pedagang,

seorang menurut definisinya adalah orang yang berada dalam posisi untuk membantu

klien – kliennya. Meskipun klien – klien seringkali berusaha sebisa- bisanya untuk

memberikan arti moral kepada hubungan itu, oleh karena kedudukan mereka dalam

menghadapi patron seringkali lemah sekali.Patronase itu ada segi baiknya, bukan

petama – tama karena dapat diandalkan melainkan mengingat sumberdayanya (Scott,

1976).

Hubungan terbalik antara sifat dapat diandalkan dan besarnya sumber daya

menghadapkan petani, di satu pihak, dengan sesama saudara yang tidak akan segan –

segan untuk memberikan kemeja yang sedang dipakainya sendiri namun yang

biasanya sama – sama melarat dan, dilain pihak, dengan negara yang lebih mampu

untuk membantu namun yang mungkin sekali tidak akan mengakui kebutuhan petani

itu sebagai tanggung jawabnya. Jika boleh memilih, petani mungkin lebih suka

memenuhi kebutuhannya dengan kekuatan sendiri atau dengan bantuan sanak saudara

(5)

memilih, apabila perlindungan yang diberikan oleh lingkungan terdekatnya tidak

mencukupi (Scott, 1976).

Selanjutnya jelas pula bahwa, begitu seorang petani mengandalkan kepada

sanak- saudaranya atau patronnya daripada kepada sumberdayanya sendiri, maka atas

dasar timbal balik ia memberikan kepada mereka hak atas tenaga kerja dan

sumberdayanya sendiri. Kerabat dan kawan yang telah menolongnya dari kesulitan

akan mengharapkan perlakuan yang sama apabila ia mampu memberikan

pertolongan. Begitu pula, dalam konteks desa, norma – norma desa yang menjamin

bahwa seorang yang miskin akan mendapat bagian sebidang lahan dari tanah

komunal serta makanan, juga mewajibkannya untuk menyumbangkan tenaganya

apabila pejabat- pejabat atau pemuka – pemuka desa memerlukannya. Klien yang

mengandalkan pada perlindungan dari seorang patron yang lebih berpengaruh,

sekaligus juga berkewajiban untuk menjadi anak- buahnya yang setia dan selalu siap

melakukan pekerjaan apa saja yang diberikan kepadanya (Scott, 1976).

2.2Rasionalitas petani

Teori rasional berasumsi bahwa setiap manusia pada dasarnya rasional dengan

selalu mempertimbangkan prinsip efesiensi dan efektivitas dalam melakukan setiap

tindakan. Dengan tetap mengakui adanya determinan factor solidaritas masyarakat

petani yang kuat, subsistensi perekonomian (material) dan hubungan produksi

masyarakat prakapitalis , namun pengaruh rasionalitas selalu dalam konteks

(6)

Menurut Popkin dalam Sairin (2001), desa petani tradisional jauh dari kondisi

harmonis dan penuh dengan eksploitasi.Menurut Popkin desa – desa petani lebih

tepat dipandang sebagai korporasi, bukan sebagai konum, dan hubungan patron klien

harus dilihat sebagai eksploitasi bukan sebagai hubungan paternal.Ketika kaum petani

sampai pada kondisi desa yang sekarang ini mereka memiliki, maka desa itu adalah

desa yang lebih baik keadaannya daripada desa tradisional, dengan mereka yang

terdahulu. Dewasa ini, masyarakat petani tinggal di desa – desa terbuka yang

bercirikan:

1. Tanggung jawab pembayaran pajak secara individual

2. Kekaburan batas desa dengan dunia luar

3. Tidak ada atau sedikitnya larangan pemilikan tanah bagi orang luar desa

4. Kekaburan perasaan sebagai warga desa

5. Privatisasi tanah milik

Sebagai kebalikan dari desa terbuka, dahulu kaum petani tinggal di desa –

desa tertutup yang dicirikan:

1. Pajak dibayar secara kolektif sebagai tanggung jawab desa

2. Batas yang tegas antara desa dengan dunia luar

3. Adanya larangan pengusahaan tanah sebagai hak milik pribadi

4. Konsep kewargaan desa yang jelas

5. Tanah merupakan hak ulayat desa

Desa tertutup ini bukanlah desa seperti yang dibayangkan kaum ekonomi

(7)

meringankan beban golongan miskin sebagai aturan pembagian beban pajak

diantara warga desa sama sekali tidak jelas. Golongan kaya didesa belum tentu

membayar pajak dalam presentase yang lebih besar dari pada golongan

miskin.Bahkan bisa jadi justru sebaliknya, golongan kaya memiliki pengaruh

untuk memperkecil jatah pajaknya dan melimpahkan sisa pajaknya ke pundak

golongan miskin (Sairin, 2001).

Idealisasi desa petani tertutup tidak bisa dipahami jika melaui ekonomi

rasional, sebab petani dipandang sebagai makhluk yang rasional.Ia

mempertimbangkan berbagai macam alternative yang ada, yang dapat

meningkatkan kualitas kehidupan dan kesejahtraan mereka atau paling tidak dapat

mempertahankan apa yang sedang dinikmati, baik bagi diri maupun bagi

keluarganya. Oleh sebab itu, tidak setuju dengan asumsi ekonomi moral yang

menyatakan bahwa para petani enggan mengambil resiko ketika mereka

mengevaluasi strategi, dimana mereka lebih suka strategi kecil tapi mendatangkan

hasil yang pasti daripada strategi yang bisa menghasilkan yang banyak tapi juga

mungkin mendatangkan risiko yang lebih besar yang berupa kegagalan panenan

total. Sebaliknya, dalam kenyataannya, menurut ekonomi rasional, para petani

melakukan investasi, baik berjangka panjang maupun berjangka pendek, dan

dengan demikian mereka melakukan baik investasi berisiko maupun investasi

aman. Adapun alternative investasi yang bisa dipilih oleh petani meliputi bentuk

anak, ternak, tanah dan bentuk benda milik pribadi atau bentuk milik keluarga

(8)

desa, pada program – program asuransi atau kesejahteraan, atau melalui perbaikan

desa (Damsar: 2009).

Hubungan patron klien dalam masyarakat petani yang dipandang sebagai

bentuk hubungan harmonis yang menjaga kepentingan petani miskin menurut

ekonomi moral.Dalam kenyataannya, sebaliknya yang terjadi, kata Popkin,

dimana hubungan tersebut ditandai dengan hubungan eksploitatif.Hubungan ini,

sebenarnya lebih menguntungkan pihak patron dibandingkan klien. Karena

sumberdaya yang diinvestasikan oleh patron bukan hanya untuk memperbaiki

keamanan dan subsistensi klien, tetapi juga untuk menjaga hubungan tersebut

tetap diadik serta menghambat petani, menghambat keterampilan yang bisa

merubah keseimbangan kekuatan (Damsar: 2009).

Hubungan patron klien di desa – desa tertutup sama sekali bukan hubngan

timbal balik yang melindungi kepentingan golongan miskin di desa seperti yang

diasumsikan oleh aliran ekonomi moral. Hubungan patron klien dalam

pendekatan ekonomi politik dianggap sebagai hubungan eksploitasi. Patron

selalu berusaha mencegah agar para kliennya tetap terikat secara ekoomis

kepadanya tanpa mereka memiliki kemampuan menawar terhadap segala tuntutan

yang diajukan oleh patron.Patron bukanlah dewa pelindung golongan miskin

(Sairin, 2001).

(9)

Menurut Betrand (1987) dalam Wisadiraha (2004) nilai budaya masyarakat

merupakan dasar untuk membedakan kelas sosial secara vertikal. Seorang individu

berada pada tingkat superior karena memiliki aktivitas, atribut dan kepemilikan

mereka yang lebih bernilai dan sangat dihargai dibanding dengan orang lain. Dengan

kata lain, posisi sosial yang lebih bergengsi di dalam masyarakat dan sukar untuk

dicapai oleh setiap individu. Posisi pemilik dari suatu kebun yang luas telah

ditetapkan untuk menempati posisi diatas pekerja harian. Sedangkan Walikota dari

suatu kota berada pada posisi yang sangat bergensi dibandingkan dengan masyarakat

pada umumnya (Wisadiraha, 2004).

Lebih lanjut Betrand (1987) dalam Wisadiraha (2004) mengemukakan bahwa

orang – orang yang dikelompokkan bersama oleh karena ranking sosial yang sama,

terutama bagi mereka yang mempunyai hubungan akrab, disebut sebagai suatu kelas

sosial atau lapisan sosial. Masyarakat terbagi kedalam beberapa kelas secara spesifik

yaitu kelas tertinggi, kelas menengah, kelas rendah, kelas pekerja kantor, kelas bisnis,

kelas pekerja, para professional dan para petani (Wisadiraha, 2004).

. Hierarki status yang konvensioanal di kalangan orang miskin di pedesaan

biasanya adalah: petani-pemilik tanah kecil, petani penyewa, buruh. Sudah tentu

kategori – kategori itu tidak bersifat ekslusif, oleh karena biasanya ada petani yang

selain memiliki lahan sendiri juga menggarap lahan tambahan yang ia sewa, begitu

pula ada buruh yang memiliki lahan sendiri. Meskipun demikian, kategori – kategori

itu merupakan realitas sosial dalam hal – hal yang menyangkut preferensi dan status

(10)

memang terjadi, banyak tumpang – tindih di antara kategori – kategori itu. Petani

kecil yang marginal, yang menggarap tanahnya sendiri, umpamanya sering kali lebih

miskin dari petani – penyewa yang dapat menyewa lahan yang besar, begitu pula,

petani penyewa yang marginal seringkali lebih miskin daripada buruh apabila ada

pasaran yang baik untuk tenaga kerja (Scott, 1976).

Pemilik tanah dianggap lebih tinggi kedudukannya daripada penyewa lahan,

dan penyewa lahan dianggap lebih tinggi daripada buruh lepas oleh karena, meskipun

dari segi penghasilan mungkin tidak, masing – masing mewakili satu loncatan

kuantum dalam kepercayaan terhadap subsistensi.Oleh karena itu, jaminan terhadap

krisis merupakan prinsip stratifikasi yang lebih aktif dalam pandangan petani

dibandingkan dengan penghasilan.Selain itu, pembedaan – pembedaan di dalam

kategori – kategori penyewa dan buruh pada umumnya di dasarkan atas kepastian hak

sewa atau lapangan kerja dan besarnya jaminan sosial yang biasanya diberikan oleh

pemilik tanah atau majikan (Scott, 1976).

2.4 Teori Pertukaran Sosial

Hubungan patron klien, menurut Scott adalah sebuah pertukaran hubungan

antara kedua peran, petani lapisan bawah dan petani lapisan atas yang dapat

dinyatakan sebagai kasus khusus dari ikatan dyadic(dua orang) yang terutama

melibatkan persahabatan instrumental di mana seorang instrumental seorang individu

dengan status sosial ekonomi yang lebih tinggi (patron) menggunakan pengaruh dan

(11)

keuntungan bagi seseorang dengan status lebih rendah (klien). Pada gilirannya,

membalasnya dengan menawarkan dukungan umum dan bantuan, termasuk jasa

pribadi, kepada patron.

Interaksi sosial dalam arus hubungan pertukaran antara patron dengan klien

tidaklah berlangsung dalam posisi kesetaraan, karena dominasi kekuasaan dan

kepemilikan sumberdaya ada pada patron. Dengan kata lain terdapat ketimpangan

dalam hal kekuasaan dan sumberdaya pada kedua belah pihak, sehingga terjadilah

pertukaran yang tidak seimbang.

Menurut Peter Blau dalam Ritzer (2004), interaksi sosial mula – mula terjadi

di dalam kelompok sosial. Individu tertarik pada suatu kelompok tertentu karena

merasa saling berhubungan menawarkan imbalan lebih banyak daripada yang

ditawarkan oleh kelompok lain. Karena tertarik pada suatu kelompok tertentu, mereka

ingin diterima. Untuk dapat diterima, mereka harus menawarkan imbalan kepada

anggota kelompok yang lain. Imbalan ini termasuk pemberian kesan kepada anggota

kelompok dengan menunjukkan bahwa anggota yang bergabung dengan anggota baru

akan mendapat keuntungan.

Menurut Turner dalam Sunarto (2000), pokok pikiran teori pertukaran sebagai

berikut:

1. Manusia selalu berusaha mencari keuntungan dalam transaksi sosialnya

(12)

2. Dalam melakukan transaksi social manusia melakukan perhitungan

untung-rugi

3. Manusia cenderung menyadari adanya berbagai alternatif yang tersedia

baginya

4. Manusia bersaing satu dengan yang lain

5. Hubungan pertukaran secara umum antar individu berlangsung dalam hampir

semua konteks sosial dan individu pun mempertukarkan berbagai komoditas

tak berwujud seperti perasaan dan jasa.

Menurut Peter Blau dalam Ritzer (2004:369) bila satu orang membutuhkan

sesuatu dari orang lain, tetapi tidak memberikan apapun yang sebanding sebagai

tukarannya, maka akan tersedia empat kemungkinan, yaitu :

1. Orang itu dapat memaksa orang lain untuk membantunya

2. Orang itu akan mencari sumber lain untuk memenuhi kebutuhannya

3. Orang itu dapat mencoba terus bergaul dengan baik tanpa mendapatkan apa

yang dibutuhkan

4. Orang itu mungkin akan menundukkan diri terhadap orang lain dan dengan

demikian memberikan orang lain itu “penghargaan yang sama” dalam

antarahubungan mereka. Orang lain kemudian dapat menarik penghargaan

yang diberikan itu ketika menginginkan orang yang ditundukkan itu untuk

(13)

Homans berpendapat bahwa pertukaran yang berulang – ulang mendasari

hubungan sosial yang berkesinambungan antara orang tertentu. Menurut proposisi ini

seorang akan semakin cenderung melakukan suatu tindakan manakala tindakan

tersebut makin sering disertai imbalan (Sunarto, 2000). Dalam pola – pola hubungan

sosial atau hubungan patron klien antar petani terdapat unsur pertukaran barang atau

jasa bagi piahk – pihak yang terlibat. Misalnya pemilik lahan akan memberikan

bantuan dana apabila buruh tani tersebut mengalami kesulitan. Begitu pun

sebaliknya, buruh tani akan menunjukkan kualitas kerjanya yang terbaik untuk

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Since the area of quadrilateral KHLS is equal to (the area of quadrilateral SKJR )-(the area of triangle LMR )+(the area of triangle MJH )=1-(the area of quadrilateral AFHJ

neurons, commencing immediately and reaching a maxi- Twenty-seven neurons in the trigeminal nucleus caudalis mum 3–4 min after the start of infusion. Discharge rates of 7 cats

Pajak penghasilan terkait pos-pos yang akan direklasifikasi ke laba rugi 0 PENGHASILAN KOMPREHENSIF LAIN TAHUN BERJALAN SETELAH PAJAKa. TOTAL LABA (RUGI) KOMPREHENSIF TAHUN

The two different statistical approaches that we used to analyze our present data (i.e. linear regression analysis and conditional logistic analysis) indicate that expres- sion

Pajak penghasilan terkait pos-pos yang akan direklasifikasi ke laba rugi 0 PENGHASILAN KOMPREHENSIF LAIN TAHUN BERJALAN SETELAH PAJAKa. TOTAL LABA (RUGI) KOMPREHENSIF TAHUN

We used high-resolution ultrasonography and measured arterial wall thickness (IMT) and atherosclerotic plaque prevalence in carotid and femoral arteries.. The study included

Pajak penghasilan t erkait pos-pos yang akan direklasifikasi ke laba rugi 0 PENGHASILAN KOM PREHENSIF LAIN TAHUN BERJALAN - NET PAJAK PENGHASILAN TERKAIT3. TOTAL LABA (RUGI)