• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peramalan Kasus Hiv Di Kota Medan Tahun 2012-2016 Chapter III VI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Peramalan Kasus Hiv Di Kota Medan Tahun 2012-2016 Chapter III VI"

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah deskriptif (merupakan prosedur untuk membuat ikhtisar, menata, membuat grafik) dilakukan dengan metode peramalan kuantitatif. Peramalan kuantitatif adalah metode peramalan yang melibatkan analisis statistik terhadap data-data masa lalu (Firdaus, 2006).

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kota Medan, Provinsi Sumatera Utara. 3.2.2 Waktu Penelitian

Penelitian ini dimulai dengan melakukan survei awal sampai selesai, yaitu bulan September sampai dengan Nopember tahun 2012.

3.3 Populasi dan Sampel

(2)

3.4 Metode Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan adalah data sekunder, yaitu jumlah penderita HIV di Dinas Kesehatan Kota Medan tahun 2007 sampai dengan 2011. Data diperoleh dengan menggunakan metode dokumentasi. Pengumpulan data dimulai dengan tahap penelitian pendahuluan yaitu melakukan studi kepustakaan dengan mempelajari buku-buku dan bacaan-bacaan lain yang berhubungan dengan pokok bahasan dalam penelitian ini. Pada tahap ini juga dilakukan pengkajian data yang dibutuhkan, yaitu mengenai jenis data yang dibutuhkan, ketersediaan data, dan gambaran cara pengolahan data. Tahapan selanjutnya adalah penelitian pokok yang digunakan untuk mengumpulkan keseluruhan data yang dibutuhkan guna menjawab persoalan penelitian dan memperkaya literatur untuk menunjang data kuantitatif yang diperoleh.

3.5 Variabel dan Definisi Operasional

Penggunaan data bulanan pada penelitian ini dengan alasan data jumlah penderita HIV di Kota Medan diperoleh dalam bentuk laporan bulanan.

1.Laporan bulanan Dinas Kesehatan Kota Medan adalah data penderita HIV yang tercatat pada laporan penderita HIV pada tahun 2007 sampai dengan 2011. 2.Data keseluruhan penderita HIV adalah data penderita HIV yang tercatat pada

laporan penderita HIV pada tahun 2007 sampai dengan 2011.

(3)

4.Data penderita HIV menurut faktor risiko adalah jumlah penderita HIV

berdasarkan faktor risiko ; (a) heteroseksual, (b) homoseksual, (c) IDUs, (d) perinatal, (e) tranfusi darah, dan (f) tidak diketahui yang tercatat pada

laporan penderita HIV pada tahun 2007 sampai dengan 2011.

5.Data penderita HIV menurut usia adalah jumlah penderita HIV berdasarkan kelompok usia ; (a) ≤ 15 tahun, (b) 16-24 tahun, (c) 25-34 tahun, (d) 35 - 44 tahun, dan (e) ≥ 45 tahun yang tercatat pada laporan penderita HIV pada tahun 2007 sampai dengan 2011

6.Data penderita HIV menurut pekerjaan adalah jumlah penderita HIV berdasarkan jenis pekerjaan; (a) PNS/TNI/POLRI, (b) karyawan, (c) wiraswasta, (d) ibu rumah tangga, (e) mahasiswa/siswa, (f) PSK, dan (g) Napi yang tercatat pada laporan penderita HIV pada tahun 2007 sampai dengan 2011.

7. Ramalan jumlah penderita HIV secara keseluruhan adalah perkiraan jumlah penderita HIV di Kota Medan pada tahun 2012-2016, menggunakan metode ARIMA.

3.6Metode Analisis Data

(4)

permasalahan yang ada dan menguji hipotesis digunakan teknik analisis dengan langkah-langkah sebagai berikut :

a. Langkah Pertama: Pemeriksaaan Kestasioneran Data

Sebagaimana telah dikemukakan bahwa data yang dianalisis dalam ARIMA adalah data yang bersifat stasioner. Hal ini dapat dilihat dari grafik data jika data tersebut stasioner nilai rata-rata dan variansinya relatif konstan dari periode ke periode (Aritonang, 2002). Pengujian kestasioneran dapat dilakukan dengan membuat correlogram fungsi autokorelasi (analisis autokorelasi dan autokorelasi parsial) dan

uji akar-akar unit (Dickey-Fuller) dengan bantuan program komputer Eviews. Apabila koefisien autokorelasinya berbeda secara signifikan dari nol dan mengecil secara perlahan membentuk garis lurus dan semua koefisien autokorelasi parsial mendekati nol setelah lag pertama, kedua hal tersebut menunjukkan bahwa data bersifat tidak stasioner. Secara matematis rumus koefisien autokorelasi adalah (Arsyad, 1995) :

(5)

Menurut Quenouille (1949) dalam Aritonang (2002) suatu koefisien autokorelasi yang dikatakan tidak signifikan atau tidak berbeda dari nol jika ia berada dalam interval confidence limit 0 ± Z / √n. Dengan menggunakan α (taraf signifikansi) = 5% dan jumlah data pengamatan setelah differencing (n = 238) maka batas intervalnya adalah 0 ± 1,96 (√238) atau 0 ± 0,127.

Stasioneritas dapat di periksa dengan menemukan apakah data time series mengandung akar unit. Untuk keperluan ini dapat digunakan uji Augmented Dickey-Fuller (ADF) dengan bantuan program komputer Eviews. Series yang di amati stasioner jika memiliki nilai ADF lebih besar daripada nilai kritis.

b.Langkah Kedua: Proses Differencing (Pembedaan)

Suatu data yang tidak stasioner pada tingkat level maka data tersebut kemungkinan stasioner pada first difference atau I(1), jika data tidak stasioner pada first difference maka kemungkinan data tersebut stasioner pada second difference atau

I(2), dan seterusnya. Kesimpulannya ialah harus melakukan proses differencing sebanyak d kali untuk membuat data tersebut stasioner dan mengaplikasikan model ARMA(p,q) untuk data tersebut. Model ARMA(p,q) yang diaplikasikan pada data yang telah melalui proses differencing tersebut dinamakan model ARIMA(p,d,q), yaitu model Autoregressive Integrated Moving Average, di mana p ialah jumlah variabel autoregressive, d ialah proses differencing sehingga data menjadi stasioner, dan q ialah jumlah variabel moving average.

(6)

berikut: d(1) = Yt – Yt-1

c. Langkah Ketiga: Penentuan Nilai p, d, dan q dalam ARIMA

(Aritonang, 2002). Data dari proses pembedaan digunakan kembali untuk membuat fungsi autokorelasi (correlogram) dan uji akar-akar unit (Dickey-Fuller) dengan bantuan program komputer.

Proses Autoreggressive Integrated Moving Average yang dilambangkan dengan ARIMA (p,d,q)

Di mana : p menunjukkan ordo/ derajat autoregressive (AR) d adalah tingkat proses differencing

q menunjukkan ordo/derajat moving average (MA)

Adalah mungkin suatu series nonstasioner homogen tidak tersusun atas kedua proses itu, yaitu proses autoregressive maupun moving average. Jika hanya mengandung proses autoregressive, maka series itu dikatakan mengikuti proses Integrated autoregressive dan dilambangkan ARIMA (p,d,0). Sementara yang hanya

mengandung proses moving average, seriesnya dikatakan mengikuti proses Integrated moving average dan dituliskan ARIMA (0,d,q).

Setelah data runtut waktu telah stasioner, langkah berikutnya adalah menetapkan model ARIMA (p,d,q) yang sekiranya cocok (tentatif), maksudnya menetapkan berapa p, d, dan q. jika tanpa proses differencing d di beri nilai 0, jika menjadi stasioner setelah first order differencing d bernilai 1 dan seterusnya. Dalam memilih berapa p dan q dapat di bantu dengan mengamati pola fungsi autocorrelation dan partial autocorrelation (correlogram) dari data time series.

(7)

Dalam praktik pola autocorrelation dan partial autocorrelation seringkali tidak menyerupai salah satu dari pola yang ada pada tabel itu karena adanya variasi sampling. Kesalahan memilih p dan q bukan merupakan masalah, dan akan diketahui

setelah tahap diagnostic checking.

d.Langkah Keempat: Estimasi Parameter Model ARIMA

Misalkan bentuk model tentatif telah ditetapkan, langkah berikutnya adalah menduga parameternya sebagai berikut:

1. Apabila model tentatifnya AR (autoregressive murni), maka parameternya di estimasi dengan analisis regresi dengan pendekatan kuadrat terkecil linear.

2. Apabila modelnya mencakup MA walaupun modelnya di tulis dalam bentuk linear, tetapi cara menghitungnya menggunakan model non linear. Biasanya dilakukan melalui 2 tahap, yaitu tahap estimasi awal dan estimasi lanjutan, hingga dihasilkan estimasi akhir atas parameter.

e.Langkah Kelima: Peramalan

(8)

Setelah ditetapkan orde AR dan MA yang mungkin cocok untuk memperoleh model peramalan, selanjutnya adalah menentukan estimasi nilai parameter dalam model ARMA. Pemilihan model yang cocok untuk meramal didasarkan pada hasil uji t, R2, uji F, AIC (Akaike Information Criteria), SIC (Schwarz Information Criteria). Model ramalan yang baik berdasarkan uji t adalah jika parameter estimasi signifikan, nilai R2

f. Langkah Keenam: Pengukuran Kesalahan Peramalan

yang tinggi, uji F signifikan, serta AIC dan SIC yang rendah.

Ada beberapa metode yang digunakan untuk menunjukkan kesalahan yang disebabkan oleh suatu teknik peramalan tertentu. Hampir semua ukuran tersebut menggunakan beberapa fungsi dari perbedaan antara nilai sebenarnya dengan nilai peramalannya. Perbedaan nilai sebenarnya dengan nilai peramalan ini biasanya di sebut sebagai residual.

Menurut Arsyad (1995) ada beberapa teknik untuk mengevaluasi hasil peramalan, diantaranya :

(a). MAD (Mean Absolute Deviation) atau simpangan absolut rata-rata

(9)

(b). MSE (Mean Squared Error) atau kesalahan rata-rata kuadrat

Pendekatan ini menghukum suatu kesalahan yang besar karena dikuadratkan. Pendekatan ini penting karena satu teknik yang menghasilkan kesalahan yang moderat yang lebih disukai oleh suatu peramalan yang biasanya menghasilkan kesalahan yang lebih kecil tetapi kadang-kadang menghasilkan kesalahan yang sangat besar.

(c). MAPE (Mean Absolute Percentage Error) atau persentase kesalahan absolut rata-rata

(10)

(d). MPE (MeanPercentage Error) atau persentase kesalahan rata-rata

MPE diperlukan untuk menentukan apakah suatu metode peramalan bisa atau tidak. Jika pendekatan peramalan tersebut tidak bias, maka hasil perhitungan MPE akan menghasilkan persentase mendekati nol.

g.Uji Hipotesis

Pendekatan autokorelasi merupakan pengukuran data dalam suatu periode waktu tertentu yang berurutan, seringkali terjadi korelasi antara nilai data pada suatu waktu tertentu dengan nilai data tersebut pada satu periode waktu sebelumnya (lag) atau lebih Korelasi ini dapat di hitung dengan menggunakan koefisien autokorelasi. Secara matematis rumus koefisien autokorelasi adalah (Arsyad, 1995):

di mana : rk

Y

= nilai koefisien autokorelasi tingkat ke-k

t

Y

= nilai observasi pada waktu t

t-k

Ŷ = nilai rata-rata serial data

= nilai observasi pada k periode sebelum t (t-k)

(11)

Nilai koefisien autokorelasi yang berbeda dengan nol atau di luar confidence limit dapat digunakan untuk menentukan model ARIMA untuk meramal. Apabila

nilai autokorelasi tidak dalam interval confidence limit berarti koefisien autokorelasi signifikan berbeda dari nol, sehingga nilai autokorelasi tersebut berpengaruh dalam menentukan koefisien model ARIMA. Hal ini membuktikan bahwa ada pengaruh antara data tertentu sebelumnya dengan data sekarang dan ini dapat diketahui melalui nilai Q-sataistik pada E-Views.

Hipotesis yang menduga bahwa ada lag (jumlah penderita HIV terdahulu) tertentu yaitu Yt-1, Yt-2,…, Yt-n berpengaruh signifikan positif dalam meramal Yt

(12)

BAB 4

HASIL PENELITIAN

4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian 4.1.1 Letak Geografis

Kota Medan sebagai ibu kota provinsi Sumatera Utara merupakan pusat pemerintahan, pendidikan, kebudayaan dan perdagangan. Terletak di Pantai Timur Sumatera dengan batas-batas sebagai berikut:

Sebelah Utara : Selat Malaka

Sebalah Selatan : Kabupaten Deli Serdang Sebelah Timur : Kabupaten Deli Serdang Sebelah Barat : Kabupaten Deli Serdang Luas wilayah Kota Medan adalah 265,10 km2

4.1.2 Kependudukan

terdiri dari 21 kecamatan dan 151 kelurahan.

(13)

Berdasarkan Tabel 4.1 diketahui bahwa penduduk terbanyak pada kelompok umur 15-44 tahun terdiri dari penduduk laki-laki sebanyak 574.892 orang (54,5%) dan perempuan sebanyak 603.479 orang (56,5%). Sedangkan jumlah bayi (< 1 tahun), laki-laki sebanyak 19.117 orang (1,8 %) dan perempuan sebanyak 18.137 orang (1,7 %). Anak balita 1-4 tahun, laki-laki berjumlah 86.912 orang (8,3 %) dan perempuan sebanyak 81.614 orang (7,7 %).

Tabel 4.1 Jumlah Penduduk Kota Medan Berdasarkan Kelompok Umur dan Jenis Kelamin

Kelompok Umur Laki-laki % Perempuan %

<1 tahun 19.117 1,8 18.137 1,7

1-4 tahun 86.912 8,3 81.614 7,7

5-14 tahun 213.486 20,2 201.919 18,9

15-44 tahun 574.892 54,5 603.479 56,5

45-64 tahun 131.729 12,5 127.716 12,0

≥ 65 tahun 28.207 2,7 33.846 3,2

Jumlah 1.054.343 100,0 1.066.710 100,0

Sumber: Profil Kesehatan Kota Medan Tahun 2012 4.1.3. Kegiatan Penanggulangan HIV

Sosialisasi Perda Nomor 1 Tahun 2012 tentang penanggulangan HIV/AIDS merupakan salah satu kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Medan, dengan memberikan sosialisasi kepada masyarakat tentang HIV/AIDS secara berkelanjutan termasuk menghapus stigma dan diskriminasi terhadap orang dengan HIV/AIDS (ODHA), serta untuk pencegahan penyebaran HIV/AIDS lebih komprehensif, memberdayakan masyarakat secara langsung, sehingga pencegahan penyebarannya

(14)

lebih cepat, untuk itulah diperlukan kerja sama yang lebih erat semua elemen, pemerintah, pengurus KPA dan peran media massa.

Perda Nomor 1 tahun 2012 tentang penanggulangan HIV/AIDS yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kota Medan bila disimak pasal demi pasal belum terlihat langkah yang konkret atau masih bersifat normatif dalam rangka menanggulangi penyebaran HIV. Belum ada satu pasal yang menegaskan untuk mengerem perilaku berisiko misalnya seperti: “Setiap orang diwajibkan memakai kondom jika melakukan hubungan seksual dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan yang sering berganti-ganti pasangan, di wilayah Kota Medan atau di luar wilayah Kota Medan serta di luar negeri.

(15)

Berdasarkan data, dari 10 Provinsi di Pulau Sumatera tentang anggaran penanggulangan HIV/AIDS, Provinsi Sumatera Utara termasuk salah satu provinsi yang paling rendah anggarannya. Sebagai perbandingan, Provinsi Aceh mengalokasikan anggaran Rp.500 juta pada tahun 2010, 2011, dan 2012. Sedangkan Provinsi Sumatera Barat, meskipun hanya mengalokasikan Rp100 juta pada 2010 dan 2011, anggaran untuk tahun 2012, naik empat kali lipat, menjadi Rp.400 juta.

Program penanggulangan HIV/AIDS di Sumatera Utara belum maksimal, sehingga dikhawatirkan upaya untuk mewujudkan Millenium Development Goal’s (MDGs) pada tahun 2015 menjadi terhambat. Salah satu penyebabnya adalah tidak adanya koordinasi yang baik antara lintas sektor dan pihak-pihak terkait dalam penanggulangan bahaya HIV/AIDS. Peran dan tanggung jawab Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Sumatera Utara juga sangat dibutuhkan untuk mengkomunikasikan hal tersebut kepada jajarannya.

4.2 Karakteristik Penderita HIV

(16)

sebanyak 1.331 orang (65,0%). Berdasarkan usia yang terbanyak pada kelompok usia 25-34 tahun, yaitu sebanyak 1.157 orang (56,5%).

Berdasarkan jenis pekerjaan yang terbanyak adalah wiraswata, yaitu sebanyak 796 orang (38,8%) dan berdasarkan status penderita HIV yang dilaporkan meninggal yang terbanyak adalah laki-laki, yaitu sebanyak 385 orang (68,7%). Distribusi karakteristik penderita HIV Tahun 2007-2011, disajikan pada Tabel 4.2.

(17)

Tabel 4.2 Lanjutan

(18)

Tabel 4.3 Jumlah Penderita HIV di Kota Medan Tahun 2007-2011

Variabel Mean St.Dev Minimum Maksimum

HIV 34,2 10,5 19,0 60

4.3 Peramalan Jumlah Penderita HIV dengan Pemodelan ARIMA

Bagian ini menjelaskan langkah-langkah yang dilakukan untuk melakukan peramalan jumlah penderita HIV dimulai dari bulan ke-1 tahun 2007 sampai bulan ke 60 di tahun 2011. Sumber data yang digunakan adalah data jumlah penderita HIV bulanan dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2011, sehingga keseluruhannya berjumlah 60 data. Sebelum dilakukan pembentukan model dilakukan uji stasioneritas. Model yang digunakan adalah teknik Jenkin. Aplikasi teknik Box-Jenkin merupakan salah satu teknik peramalan model time series yang berdasarkan perilaku data di masa lalu.

(19)

4.3.1 Stasioner Data a. Uji Stasioner Data

Data penderita HIV tahunan (2007–2011) dari Tabel 4.2 dapat dilihat bahwa tingkat penderita HIV di Kota Medan berfluktuasi mengalami peningkatan secara berkelanjutan pada setiap selang waktu. Tren jumlah penderita HIV disajikan pada Gambar 4.1

Gambar 4.1 Pergerakan Jumlah Penderita HIV Tahun 2007-2011

Secara sederhana pada Gambar 4.1 jumlah penderita HIV cenderung menaik pada data yang mengandung implikasi bahwa data bersifat non-stasioner. Pola trend yang hampir mendatar dan variasi data terletak pada sebuah “pita yang meliput tidak seimbang” trend data, hal ini mengindikasikan bahwa data stasioner lemah dalam

(20)

dilakukan uji stasioneritas menggunakan aplikasi E-Views 6.0 menghasilkan correlogram dengan lags sebanyak 60 bulan (Lampiran 2). Pembentukan

correlogram dimulai pada level (data asli) dan berlanjut ke data hasil pembedaan

(differencing). Data pembentukan correlogram disajikan pada Gambar 4.2 dan 4.4.

Gambar 4.2 Correlogram pada Level (Deret Asli Data HIV)

(21)

Gambar 4.2 di atas menunjukkan dua fakta, yaitu pertama nilai ACF (Autocorrelation Function) menurun dan mengecil secara perlahan membentuk garis lurus. Bahkan jika pembentukan correlogram dilanjutkan hingga lags ke 60 nilai ACF signifikan secara statistik masih berbeda dari nol. Nilai ACF berada di luar tingkat kepercayaan 95 % (batas tingkat kepercayaan diwakili garis di sisi kanan dan kiri sumbu). Kedua, setelah lag pertama, nilai PACF (Partial Autocorrelation Function) menurun secara drastis dan seluruh PACF setelah lag 1 tidak signifikan

ditunjukkan koefisien autokorelasi parsial mendekati nol setelah lag pertama. Dua fakta di atas menunjukkan bahwa data bersifat non-stasioner.

Uji stasioneritas selanjutnya dilakukan dengan uji akar unit, karena secara visual saja uji kestasioneran data kurang relevan. Metode yang digunakan adalah ADF (Augmented Dickey Fuller). Perhitungan dilakukan dengan menggunakan Software E-Views 6.0.

Tabel 4.4 Uji Akar Unit Level (Data Runtun Waktu Asli) Null Hypothesis: HIV has a unit root

Exogenous: Constant

Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=10)

t-Statistic Prob.*

Augmented Dickey-Fuller test statistic -1,920727 0,3208 Test critical values: 1% level -3,546099

5% level -2,911730

(22)

Berdasarkan Tabel 4.4 di atas nilai t-statistic 1,920727< 1%, 5% dan 10% (critical value) dengan taraf signifikansi p=0,3208>p=0,05, sehingga tidak dapat menolak hipotesis null, yaitu data memiliki unit root atau bersifat non stasioner. Berdasarkan hasil correlogram dan uji akar unit maka dapat disimpulkan data pada level (data runtun waktu asli) bersifat non-stasioner. Untuk itu perlu dilakukan pembedaan (differencing) pada data HIV.

Selanjutnya pergerakan data HIV setelah pembedaan pertama (d=1) disajikan pada Gambar 4.3.

Gambar 4.3 Pergerakan Jumlah Penderita HIV Setelah Pembedaan Pertama Berdasarkan Gambar 4.4 di atas dapat dilihat bahwa data penderita HIV berada di sekitar nilai tengahnya, artinya nilai tengah dan varian tetap tidak

(23)

tergantung pada perubahan waktu. Hal ini dibuktikan dengan correlogram (Gambar 4.3) dan hasil uji akar unit dengan ADF (Tabel 4.5) pada pembedaan pertama.

Tabel 4.5 Uji Akar Unit Pembedaan Pertama Null Hypothesis: D(HIV) has a unit root

Exogenous: Constant, Linear Trend

Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=10)

t-Statistic Prob.*

Augmented Dickey-Fuller test statistic -10,06675 0,0000 Test critical values: 1% level -4,124265

5% level -3,489228

10% level -3,173114

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Berdasarkan Tabel 4.5 di atas diperoleh nilai t-statistic ADF 10,06675 > dari nilai kritis Mackinnon pada level 1%, 5% dan 10% dengan taraf signifikansi p=0,0000<0,05, hal ini berarti H0 di tolak oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa

data bersifat stasioner pada pembedaan pertama. Dengan demikian, orde d pada ARIMA bernilai 1. Berikutnya adalah penentuan ordo suku AR dan MA.

(24)

b. Penentuan Ordo AR – MA

Gambar 4.4 Correlogram pada Pembedaan Pertama

Correlogram pada Gambar 4.4 dapat dilihat bahwa PACF signifikan pada lag

(25)

data pada pembedaan pertama. Hasil uji akar unit dengan menggunakan metode ADF disajikan pada Tabel 4.5 di atas.

4.3.2 Identifikasi Model

Proses selanjutnya dari model Box-Jenkins adalah melakukan identifikasi untuk menentukan model ARIMA yang mungkin cocok (paling baik untuk meramal). Berdasarkan hasil uji stasioner data penderita HIV melalui uji ADF (Tabel 4.5) dan correlogram (Gambar 4.4) dketahui bahwa nilai PACF signifikan pada lag 1 dan 9,

AR (2) dan ACF signifikan pada lag 1 dan 10, MA (2), karena spike =2. Data time series yang dianalisis dalam penelitian ini tidak stasioner dalam level namun data

tersebut menjadi stasioner melalui proses diferensasi. Model dengan data yang stasioner melalui proses differencing ini di sebut model ARIMA. Dengan demikian, jika data stasioner pada proses differencing d kali dan mengaplikasikan ARMA (p,q), maka modelnya ARIMA (p,d,q) di mana p adalah tingkat AR, d tingkat proses membuat data menjadi stasioner dan q merupakan tingkat MA. Model ARIMA yang relevan untuk di estimasi, yaitu model ARIMA (1.1.1), (2.1.1), (1.1.2), (2.1.2). Selanjutnya akan dilakukan estimasi untuk mendapatkan model terbaik.

4.3.3 Estimasi

(26)

dilakukan dengan cara trial end error untuk memperoleh parameter hingga proses iterasi akan mempercepat konfergensi. Hasil estimasi disajikan pada Tabel 4.6.

Tabel 4.6 Estimasi Model Model

ARIMA Variabel Koefisien Probabilitas AIC SIC

Adjusted

Tabel 4.6 di atas menunjukkan hasil estimasi secara ringkas dari beberapa alternatif model ARIMA, yaitu ARIMA: (2.1.1), (1.1.2), (2.1.2) dan (1.1.1). Pemilihan model yang cocok untuk meramal didasarkan pada hasil uji t, R2, AIC (Akaike Information Criteria), SIC (Schwarz Information Criteria). Model ramalan yang baik adalah berdasarkan uji t dengan parameter estimasi yang signifikan, nilai adjusted R2 yang tinggi, AIC dan SIC yang rendah serta nilai q-statistik pada setiap lag tidak signifikan (Gujarati, 2003; Pindyck and Rubinfeld, 1998; Hill, Griffiths and

(27)

Berdasarkan kombinasi pengujian maka dapat di analisa sebagai berikut: a. Model ARIMA (2.1.1), dari hasil uji-t koefisien dari model yang signifikan

adalah konstanta, variabel AR(1) dan MA (1) sedangkan variabel AR(2) tidak signifikan dengan nilai adjusted R2

b. Model ARIMA (1.1.2), dari hasil uji-t koefisien dari model yang signifikan adalah konstanta, variabel AR(1) dan MA (1) sedangkan variabel MA(2) tidak signifikan dengan nilai adjusted R

=0,162005 (Lampiran 7a), sehingga disimpulkan model ini dinyatakan gugur untuk dilanjutkan sebagai peramalan.

2

c. Model ARIMA (2.1.2), dari hasil uji-t koefisien dari model yang signifikan adalah konstanta, variabel AR(1), AR(2) dan MA (2) sedangkan variabel MA(1) tidak signifikan dengan nilai adjusted R

=0,162602 (Lampiran 7c), sehingga disimpulkan model ini juga dinyatakan gugur untuk dilanjutkan sebagai peramalan.

2

d. Model ARIMA (1.1.1), dari hasil uji-t koefisien dari model yang signifikan adalah konstanta p=0,0012<p=0,05, variabel AR(1) p=0,0005<p=0,05, variabel MA(1) p=0,0000<p=0,05 dan nilai adjusted R

=0,561649 (Lampiran 7e), sehingga disimpulkan model ini juga dinyatakan gugur untuk dilanjutkan sebagai peramalan.

2

(28)

4.3.4 Diagnostic Checking

Tahap ini digunakan untuk mendeteksi apakah secara keseluruhan data estimasi yang diperoleh layak digunakan dalam peramalan. Sebagai indikator diagnostic checking dilihat dari nilai Q-statistic. Kemudian estimator model ARIMA

(1.1.1) harus dilihat residualnya berdasarkan nilai Q-statistic, untuk memastikan bahwa model tersebut mampu menjelaskan data dengan baik. Hasil perhitungan

menunjukkan bahwa data model ARIMA (1.1.1) memiliki nilai probabilitas pada Q-statistik tidak signifikan, artinya tidak terdapat nilai residual untuk setiap lag

(Lampiran 7h). Jika pada lag tertentu ada yang signifikan maka model mengandung white noise (atau model masih terdapat nilai residual) (Gujarati, 2003).

Kesimpulan dari analisis correlogram baik ACF dan PACF menunjukkan bahwa residual yang di estimasi dari persamaan model ARIMA (1.1.1) merupakan model yang tidak mengandung white noise. Setelah mendapatkan model estimasi yang tepat, kemudian dilakukan analisis peramalan.

4.3.5 Peramalan

Model ARIMA (1.1.1), yaitu Xt = u + Φ 1Xt-1 – θ1et-1 + et.

Y

(29)

0

Root Mean Squared Error 6.753831 Mean Absolute Error 4.906300 Mean Abs. Percent Error 17.25950 Theil Inequality Coefficient 0.091284 Bias Proportion 0.119973

Melakukan peramalan jumlah penderita HIV berdasarkan persamaan di atas akan dikembalikan ke nilai penderita HIV asli dan bukan nilai pada pembedaan pertamanya. Hasil peramalan berdasarkan estimasi model ARIMA (1.1.1) disajikan pada Gambar 4.5.

= 22,9

Gambar 4.5 Hasil Peramalan Model ARIMA (1.1.1)

Berdasarkan Gambar 4.5. menunjukkan nilai bias proportion sebesar 0,119973 (di bawah 0,2), sementara covariance proportion 0,818352 (hampir mendekati 1), maka model ini dapat meramal jumlah penderita HIV kedepan. Bila mengasumsi model sudah benar, maka langkah selanjutnya adalah memperpanjang range data untuk peramalan 5 (lima) tahun ke depan sampai tahun 2016.

(30)

4.3.6 Peramalan Jumlah Penderita HIV Tahun 2007-2011 di Kota Medan

Hasil peramalan jumlah penderita HIV di Kota Medan dengan model ARIMA (1.1.1) selama tahun 2007-2011, disajikan pada Tabel 4.7.

(31)
(32)

Tabel 4.7 menunjukkan data penderita HIV terus bertambah setiap tahunnya. Hasil peramalan data penderita HIV di Kota Medan selama tahun 2007-2011 yang diramalkan saat ini per bulannya dengan model ARIMA (1.1.1) berbeda dengan data aktual. Data aktual sebanyak 2.049 kasus sedangkan hasil peramalan sebanyak 2.142 kasus. Model ARIMA (1.1.1) layak digunakan untuk menjelaskan keterkaitan jumlah penderita saat ini dengan jumlah penderita sebelumnya karena nilai aktual masih berada pada selang kepercayaan 95% dari nilai forecasting. Secara total memiliki selisih negatif sebesar 4,5% (di bawah 5%), sehingga model ARIMA (1.1.1) relevan digunakan untuk proyeksi penderita HIV ke depan.

Berdasarkan grafik juga dapat dilihat bahwa hasil peramalan jumlah penderita HIV (fitted berdekatan dengan actual) relatif tidak berbeda dengan jumlah penderita aktual. Hasil peramalan jumlah penderita HIV 2007-2011 disajikan pada Gambar 4.6.

-20

(33)

4.3.7 Peramalan Jumlah Penderita HIV Tahun 2012-2016 di Kota Medan

Peramalan jumlah penderita HIV tahun 2012-2016 di Kota Medan dengan model ARIMA (1.1.1) disajikan pada Tabel 4.8.

(34)

Tabel 4.8 Lanjutan

Berdasarkan Tabel 4.8 di atas hasil peramalan jumlah penderita HIV di Kota Medan dengan model ARIMA (1.1.1) meningkat per bulan untuk setiap tahunnya dari tahun 2012-2016, dengan jumlah total proyeksi sebanyak 4.037,3 penderita.

(35)

4.3.8 Uji Ketepatan Peramalan

Metode peramalan tidak ada yang sempurna di setiap kondisi. Bahkan ketika manajemen menemukan pendekatan yang memuaskan, permalan tersebut masih tetap harus terus dimonitor dan dikendalikan untuk memastikan kesalahan peramalan tidak terlalu tinggi (Heizer dan Render, 2006). Keakuratan peramalan selain berdasarkan pola data dapat juga didasarkan pada ukuran lainnya, yaitu error (E atau e) yang diperoleh dari selisih nilai dari data aktual dengan nilai ramalan untuk tiap periode

(36)

BAB 5 PEMBAHASAN

5.1 Analisis Data

Bagian ini akan diulas mengenai statistika deskriptif dari variabel yang digunakan, yaitu data jumlah penderita HIV selama periode 2007-2011 di Kota Medan. Hasil statistika deskriptif jumlah penderita HIV selama periode pengamatan sebanyak 34,2 kasus per bulannya, jumlah penderita terbanyak yang tercatat adalah sebanyak 60 kasus dan jumlah penderita paling sedikit tercatat sebanyak 19 kasus. Nilai standar deviasi sebesar 10,5 (Lampiran 1), hal ini menunjukkan data jumlah penderita HIV memiliki variasi dari nilai rata-ratanya yang cukup tinggi. Pola data tersebut menunjukkan gejala data yang tidak stasioner karena nilai rata-rata dan variannya cenderung berubah-ubah.

Mengubah data time series non-stasioner menjadi stasioner dapat dilakukan dengan cara melakukan differencing. Data asli (Yt) diganti dengan perbedaan

pertama data asli tersebut atau dirumuskan dengan d (1) = Yt – Yt-1

(37)

mengikuti proses AR (jika ya, berapa nilai p) atau mengikuti proses MA (jika ya, berapa nilai q) atau mengikuti proses ARIMA. Jika mengikuti proses ARIMA maka harus diketahui nilai p,d, dan q, dengan cara melakukan serangkaian uji-uji seperti uji kestasioneran data, proses pembedaan, dan pengujian correlogram untuk menentukan koefisien autoregresi.

Berdasarkan gambar correlogram autokorelasi (ACF) dan autokorelasi parsial (PACF) dapat ditentukan bentuk model peramalannya. Jika hasil correlogram ACF signifikan pada lag 1 dan PACF mengalami penurunan secara eksponensial (bergelombang) setelah lag 1 maka yang terjadi adalah proses AR(1) atau ARIMA(1.1.0), dan jika hasil correlogram PACF signifikan pada lag 1 dan ACF mengalami penurunan secara eksponensial (bergelombang) setelah lag 1 maka yang terjadi adalah proses MA(1) atau ARIMA (0.1.1). Namun jika hasil correlogram ACF dan PACF sama-sama bergelombang maka yang terjadi adalah proses ARIMA (1,1,1), hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang ditunjukkan oleh hasil correlogram ACF dan PACF data penderita HIV (Lampiran 4).

(38)

untuk mencari konstanta dan koefisien regresinya (Aritonang, 2002). Dari hasil regresi linear diperoleh nilai konstantanya sebesar 0,514991 dan koefisien regresinya untuk AR(1) sebesar 0,502622 dan MA(1) sebesar -0,957487 dengan signifikansi yang mendekati nol (Lampiran 7g).

Selanjutnya karena model tentatif sudah diketahui maka model tersebut dapat digunakan sebagai peramalan. Penting diketahui untuk series homogen non stasioner, karena yang diperlukan adalah data ramalan series asli, maka bentuk selisih harus dikembalikan pada bentuk variabel asli, yaitu dengan melakukan proses integral. Berdasarkan cirinya, model time series seperti ini lebih cocok untuk peramalan jangka pendek. Akhirnya perlu diingat bahwa peramalan merupakan never ending proses, maksudnya jika data terbaru muncul, model perlu di duga dan di periksa kembali (Mulyono, 2000).

5.2 Peramalan Jumlah Penderita HIV

5.2.1 Peramalan Jumlah Penderita HIV Terdahulu (2007-2011)

(39)

jumlah penderita saat ini dengan jumlah penderita sebelumnya karena nilai aktual masih berada pada selang kepercayaan 95% dari nilai forecasting. Secara total hasil peramalan memiliki selisih negatif sebesar 4,5% (dibawah 5%), sehingga model ARIMA (1.1.1) relevan digunakan untuk proyeksi penderita HIV ke depan.

Fenomena HIV memiliki dependensi waktu bagi seseorang yang mengidap penyakit HIV. Salah satu dependensi waktu yang dimaksud adalah berkaitan dengan lamanya usia hidup seorang penderita HIV yang berpotensi menyebarkan virus HIV kepada orang lain dalam periode waktu tertentu, sehingga fenomena HIV dapat dijelaskan dengan menggunakan analisis time series seperti model ARIMA.

Sesuai dengan prinsip dasar metode ARIMA yang sering disebut metode runtun waktu Box-Jenkins ketepatan peramalannya sangat baik untuk peramalan jangka pendek, sedangkan untuk peramalan jangka panjang ketepatan peramalannya kurang baik. Biasanya akan cenderung flat (mendatar/konstan) untuk periode yang cukup panjang. Salah satu kelebihan model ARIMA adalah model yang secara penuh mengabaikan independen variabel dalam membuat peramalan. ARIMA menggunakan nilai masa lalu dan sekarang dari variabel dependen untuk menghasilkan peramalan jangka pendek yang akurat dan metode ARIMA cocok jika observasi dari deret waktu (time series) secara statistik berhubungan satu sama lain (dependent) (Hanke and Reitsch, 1999).

(40)

pada lag 1 dan 9, sehingga AR (2) dan ACF sebagai indikator variabel MA signifikan pada lag 1 dan 10, sehingga MA (2), karena spike =2. Hal ini mengindikasikan bahwa model ARIMA (1.1.1) yang diprediksi menunjukkan adanya dependensi antara jumlah penderita pada bulan ini dengan jumlah penderita HIV pada bulan sebelumnya HIV di Kota Medan. Hal ini didukung dengan hasil estimasi model ARIMA (1.1.1) memiliki nilai yang signifikan, yaitu pada konstanta p=0,0012<p=0,05, variabel AR(1) p=0,0005<p=0,05, variabel MA(1) p=0,0000<p=0,05 dan nilai adjusted R2

Menurut Hanke dan Reitsch (1999), teknik Box-Jenkins sebagai teknik peramalan berbeda dengan kebanyakan model peramalan yang ada. Di dalam model ini tidak ada asumsi khusus tentang data historis dari runtut waktu, tetapi menggunakan metode iteratif untuk menentukan model yang terbaik. Model yang terpilih kemudian akan dicek ulang dengan data historis apakah telah menggambarkan data dengan tepat. Model terbaik akan diperoleh jika residual antara model peramalan dan data historis kecil, didistribusikan secara random dan independen.

=0.175091, serta nilai AIC=6.370209, SIC=6.476784

(41)

3-6 bulan, jika mengacu kepada lag 1,9 dan 10 yang signifikan, maka dapat dijelaskan bahwa data jumlah penderita HIV pada bulan ini memiliki keterkaitan secara linear dengan data jumlah penderita HIV pada 9 atau 10 bulan sebelumnya.

Hal ini didukung oleh prinsip ARIMA (AR) menunjukkan bahwa nilai prediksi variabel dependen Y-t dan merupakan fungsi linier dari sejumlah Y-t aktual sebelumnya dan MA merupakan nilai prediksi variabel dependen Y-t dipengaruhi oleh nilai residual periode sebelumnya. Hal ini dapat diinterprestasikan bahwa jumlah penderita HIV pada bulan sebelumnya dalam satu tahun memiliki kaitan yang sangat erat dengan jumlah penderita HIV pada bulan ini. Hal ini terkait dengan nilai estimasi parameter ARIMA (1.1.1) memenuhi kriteria dibandingkan dengan model ARIMA lainnya.

Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Wiradarma (2012) di Kabupaten Badung dan Kota Madya Denpasar menggunakan model transfer function mengungkapkan bahwa jumlah penderita HIV/AIDS memiliki dependensi dengan jumlah penderita HIV/ AIDS pada masa sebelumnya, selain itu memiliki keterkaitan atau suatu hubungan secara korelasi linear dengan jumlah kunjungan wisatawan di daerah tersebut.

5.2.2 Peramalan Jumlah Penderita HIV (2012-2016) di Kota Medan

(42)

penderita per bulan setiap tahun sebanyak 67 orang, minimum sebanyak 52 orang dan maksimum sebanyak 82 orang.

Tingkat angka kesakitan dan kematian diakibatkan oleh infeksi HIV masih cukup tinggi, serta laju transmisi yang terus meningkat, diperlukan langkah langkah-langkah strategis penanggulangan infeksi HIV termasuk dengan melibatkan Puskesmas sebagai sarana layanan kesehatan primer untuk penyakit HIV, Puskesmas adalah lini terdepan dalam pelayanan kesehatan masyarakat dan berperan penting dalam menanggulangi penyebaran HIV. Sesuai dengan data yang dimiliki Sahiva USU tahun 2006-2011, Kota Medan menduduki peringkat ke 10 paling berbahaya untuk penderita HIV di Indonesia. Peringkat ini tidak mungkin turun mengingat jumlah penduduk Medan termasuk besar. Diprediksi dalam kurun waktu 2 sampai 3 tahun peringkat tersebut semakin meningkat karena jumlah penduduk yang semakin meningkat dan faktor risiko penyebab HIV juga semakin beragam. Hubungan seks dan pengguna narkoba suntik merupakan risiko yang paling banyak menularkan HIV (KPA Medan, 2011)

(43)

Salah satu upaya untuk mengatasi penyebaran HIV yang sudah sampai tahap membahayakan diperlukan sosialisasi yang efektif seperti melalui media langsung, pelatihan, seminar dan media tidak langsung seperti melalui brosur, surat kabar atau metode-metode baru yang tepat sasaran yang langsung berhadapan dengan penderita HIV. Rencana Strategis Penanggulangan HIV/AIDS Kota Medan tahun 2011-2014 merupakan acuan bagi semua pihak, baik instansi pemerintah, swasta, LSM dan seluruh stakeholder dalam upaya pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS secara terpadu.

Pemerintah Kota Medan telah memiliki peraturan daerah (Perda) nomor 1 Tahun 2012 tentang HIV/AIDS di dalam pasal 8 dan 9 dijelaskan bahwa promosi kesehatan menjadi bahagian penting dalam upaya pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS, termasuk menghapus stigma dan diskriminasi terhadap orang dengan HIV/AIDS (ODHA), dan untuk pencegahan penyebaran HIV/AIDS lebih komprehensif, perlu memberdayakan masyarakat secara langsung, sehingga pencegahan penyebarannya lebih cepat, untuk itulah diperlukan kerja sama yang lebih erat semua elemen, pemerintah, pengurus KPA dan peran media massa.

(44)

tercatat saat ini masih jauh dari angka estimasi Depkes RI (Direktorat Pengendalian Penyakit Menular Kemenkes RI, 2013)

5.3 Keterbatasan Penelitian

(45)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan latar belakang penulisan, tujuan, hipotesis dan pembahasan penelitian maka sebagai kesimpulan penelitian sebagai berikut:

1. Hasil peramalan jumlah penderita HIV tahun 2007-2011 di Kota Medan mampu menjelaskan bahwa pola data jumlah penderita HIV saat ini memiliki keterkaitan dengan jumlah penderita sebelumnya. Keterkaitan tersebut menjelaskan bahwa pola data jumlah penderita HIV pada bulan ini memiliki keterkaitan secara linear dengan pola data jumlah penderita HIV pada 9 atau 10 bulan sebelumnya.

2. Hasil peramalan jumlah penderita HIV tahun 2007-2011 sebanyak 2.142 orang sedangkan data aktual menunjukkan 2.049 orang. Penyimpangan hasil peramalan disebabkan salah satu faktor, yaitu fenomena HIV yang memiliki dependensi untuk menyebarkan virus HIV kepada orang lain. Penyimpangan hasil peramalan dengan data aktual masih berada pada selang kepercayaan 95% dari nilai forecasting dan persentase penyimpangan relatif kecil.

(46)

6.2 Saran

1. Kepada Dinas Kesehatan Kota Medan meningkatkan ketelitian pencatatan penderita HIV dengan lebih intensif seperti; pencatatan data bulanan, tahunan sampai dengan akumulasi, sehingga keakuratan data lebih baik serta terpublikasi. Meningkatkan frekuensi penyuluhan tentang HIV kepada masyarakat melalui media elektronik dan media massa serta seminar, sehingga masyarakat mengetahui dan dapat terhindar dari risiko atau bahaya HIV.

2. Kepada Pemerintah Kota Medan dan instansi terkait meningkatkan kualitas KIE kepada masyarakat dengan lebih komprehensif, dengan melibatkan masyarakat secara langsung, LSM, media massa dan elektronik, serta perlu ketegasan bahwa setiap orang diwajibkan memakai kondom jika melakukan hubungan seksual dengan yang sering berganti-ganti pasangan, sehingga pencegahan penyebaran HIV dapat diminimalisasi lebih cepat.

3. Kepada Pemerintah meningkatkan pembiayaan penderita HIV berupa pemberian obat-obatan ARV dan meningkatkan penatalaksanaan HIV secara klinis bagi ibu hamil untuk menekan transmisi secara vertikal melalui pemberian antiretrovirus serta meningkatkan peran konseling dan tes HIV bagi ibu hamil sebagai deteksi dini terhadap infeksi HIV.

(47)

5. Kepada peneliti berikutnya:

a. Dapat memodelkan jumlah penderita AIDS secara tersendiri misalnya berdasarkan wilayah dengan metode peramalan yang berbeda serta dengan pembahasan yang lebih komprehensif

Gambar

Tabel 4.1 Jumlah Penduduk Kota Medan Berdasarkan Kelompok Umur  dan Jenis Kelamin
Tabel 4.2 Distribusi Karakteristik Penderita HIV Tahun 2007-2011
Tabel 4.2 Lanjutan
Gambar 4.1 70
+7

Referensi

Dokumen terkait

Selain akan banyak penonton yang kepentingannya tidak diwakili secara langsung dalam negosiasi atau hadir saat negosiasi, tetapi yang juga dipengaruhi oleh hasil

[r]

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan: (1) penggunaan diksi pada lirik lagu Sheila On 7; (2) penggunaan gaya bahasa pada lirik lagu Sheila On 7; (3)

Individu dalam organisasi, dengan sedikit pengecualian, mengakui dan menerima wewenang dari atasan mereka sebagai cara yang dapat diterima untuk memecahkan

Tool Wear and Machining Performance of CBN TiN Coated Carbide Inserts and PCBN Compact Inserts in Turning AISI 4340 Hardened Steel.. Journal of materials

jenis gaya bahasa yang mendominasi dan gaya bahasa simile paling mendominasi; (2) penggunaan diksi dalam kumpulan cerpen Kesetiaan Itu ditemukan 4 jenis diksi yang

Kampanye bagi setiap peserta pemilu, termasuk pemilihan Presiden di Amerika Serikat, adalah suatu hal yang penting dalam usaha memeroleh simpati dan dukungan massa

This paper presents the following recent achievements by the authors’ group on design method for fl exural strengthening of concrete structures by external bonding;