• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Yuridis Pengesahan Perkawinan Beda Agama dan Akibat Hukumnya (Studi Penetapan No. 156 PDT.P 2010 PN.SKA Tentang Perkawinan Beda Agama)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Yuridis Pengesahan Perkawinan Beda Agama dan Akibat Hukumnya (Studi Penetapan No. 156 PDT.P 2010 PN.SKA Tentang Perkawinan Beda Agama)"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

A. Latar Belakang

Perkawinan merupakan suatu hal yang sangat penting dan sakral karena merupakan suatu penghubung ikatan yang sangat dalam diantara para pihak yang terlibat di dalamnya, yaitu calon suami dan calon istri yang bermaksud membentuk keluarga dan rumah tangga dengan melaksanakan suatu perkawinan. Oleh sebab itu perkawinan merupakan suatu tradisi yang sangat penting bagi seluruh manusia, dan karena pentinganya suatu perkawinan, maka perkawinanpun banyak diatur dalam berbagai aspek kehidupan, baik dari sisi agama, tradisi masyarakat dan institusi negara sekalipun.

Pada kenyataannya pengaturan tentang perkawinan terdapat banyak perbedaan diantara satu dengan lainnya dan tidak memiliki suatu keseragaman, misalnya suatu tradisi masyarakat yang satu dengan yang lain, antar negara yang satu dengan yang lain, bahkan dalam satu agamapun dapat terjadi perbedaan pengaturan perkawinan disebabkan cara berfikir yang berlainan karena menganut mazhab atau aliran yang berbeda.1 Keadaan dan kondisi tersebut sangat mempengaruhi peraturan hukum perkawinan tersebut.

1Alexander Rizki,

(2)

Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk khususnya bila dilihat dari segi etnis atau suku bangsa dan agama. konsekuensinya, dalam menjalani kehidupannya masyarakat Indonesia dihadapkan kepada perbedaan-perbedaan dalam berbagai hal, mulai dari kebudayaan, cara pandang hidup dan interaksi antar individunya. Yang menjadi perhatian dari pemerintah dan komponen bangsa lainnya adalah masalah hubungan antar umat beragama. Di Indonesia dapat dilihat dari banyaknya agama yang diakui sah di Indonesia, yaitu agama Islam, Hindu, Budha, Kristen, Katolik dan lain-lain. Adanya keseragaman agama tersebut di Indonesia maka pemerintah memberlakukan beberapa peraturan perkawinan antara lain:

1. Bagi orang-orang Indonesia asli yang beragama Islam berlaku hukum agama yang telah diakodomir dalam hukum adat.

2. Bagi orang-orang Indonesia asli lainnya berlaku hukum adat.

3. Bagi orang-orang Indonesia asli yang beragama kristen berlaku

huweliksordonnantic Christen Indonesia.

4. Bagi orang-orang Timur Asing Cina dan warga negara Indonesia keturunan Cina berlaku ketentuan Kitab-Kitab Hukum Perdata dengan sedikit perubahan.

5. Bagi orang-orang Timur Asing lain-lainnya dan warga negara indonesi keturunan Timur Asing lainnya berlaku hukum adat mereka.

6. Bagi orang-orang Eropa dan warganegara keturunan Eropa yang disamakan namanya dengan mereka berlaku Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.2

Selain peraturan perkawinan adapun larangan perkawinan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dalam Pasal 30 sampai dengan Pasal 35, menyebutkan bahwa perkawinan yang dilarang adalah :

(3)

a. Antara mereka yang satu dan lain bertalian keluarga dalam garis lurus keatas dan ke bawah, baik karena kelahiran yang sah atau tidak sah karena perkawinan.

b. Antara mereka yang bertalian keluarga dalam garis menyimpang antara saudara pria dan saudara wanita yang sah atau tidak sah

c. Antara ipar pria dan ipar wanita karena perkawinan sah dan tidak sah, kecuali si suami atau si isteri yang mengakibatkan periparan sudah meninggal atau jika karena keadaan tidak hadirny suami dan isteri, terhadap isteri atau suami yang ditinggalkannya, oleh Hakim diizinkan untuk kawin dengan orang lain.

d. Antara paman atau paman orang tua dan anak wanita saudara atau cucu wanita saudara, sperti juga bibi atau bibi dari orang dan anak pria saudara atau cucu saudara pria dari saudara yang sah atau tidak sah.

e. Antara teman berzinah, jika telah dinyatakan dengan putusan Hakim salah karena berzinah.

f. Antara mereka yang perkawinannya telah dibubarkan karena putusan Hakim setelah pisah meja dan ranjang, atau karena perceraian kecuali stelah lewat waktu satu tahun sejak pembubaran perkawinan yang terakhir. Larangan-larang tersebut lebih sederhana3 dibandingkan dengan larangan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dalam Pasal 8

(4)

tentang larangan perkawinan menyebutkan perkawinan dilarang antara dua orang yang

a. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas; b. berhubungan darah, dalam garis keturunan menyamping yaitu antar saudara,

antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;

c. sehubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan bapak tiri

d. sehubungan susunan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan;

e. sehubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenekan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang;

f. mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan yang berlaku,

dilarang kawin.

Pada poin f menyebutkan bahwa hubungan yang oleh agama atau perturan yang berlaku, dilarang kawin, sehingga dapat diartikan bahwa apabila agama atau hukum itu melarang perkawinan tersebut maka perkawinan tersebut tidak dapat dilaksankan.

Sedangkan menurut Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing dan agamanya dan kepercayaan itu serta tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(5)

kepercayaannya. Jadi, bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk kawin dengan melanggar hukum agamanya sendiri.4

dari penjelasan yang dikemukakan di atas, bahwa hukum negara telah menetapkan syarat dengan melaksanakan perkawinan dengan hukum masing-masing agama dan kepercayaan, sesuai dengan penjelasan Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan: “bahwa sebagai negara yang berdasarkan Pancasila, dimana sila yang pertama ialah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama/kerokhanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur bathin/rohani juga mempunyai peranan yang penting membentuk keluarga yang bahagia rapat hubungan dengan keturunan, yang pula merupakan tujuan perkawinan pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak dan kewajiban orangtua.”5

Larangan menikah beda agama tersebut dipertegas dalam agama Islam dengan Qur’an Surat Al Baqarah ayat 221, yang berbunyi :

Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik dengan wanita-wanita mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan perintah-perintah-Nya kepada manusia, supaya mereka mengambil pelajaran.6

Menurut agama kristen katolik, perkawinan adalah persekutuan hidup antara pria dan wanita atas dasar ikatan cinta kasih yang total dengan persetujuan bebas dari keduanya yang tidak dapat ditarik kembali.7

4Sudarsono,Op.Cit., hal. 10. 5

Penjelasan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 6

(6)

Sah atau tidaknya suatu perkawinan semata-mata ditentukan oleh ketentuan agama dan kepercayaan orang yang hendak melakukan perkawinan, sehingga setiap perkawinan yang dilakukan bertentangan dengan hukum agama dengan sendirinya menurut hukum perkawinan belum sah dan tidak mempunyai akibat hukum sebagai ikatan perkawinan.8 Sehingga di Indonesia, ketika sepasang calon suami dan istri yang berbeda agama hendak melakukan perkawinan harus memilih tunduk pada salah satu hukum agama, agar dengan sendirinya tunduk kepada hukum perkawinan di Indonesia.

Hukum agama dan kepercayaan yang dimaksud bukan hanya hukum yang dijumpai dalam kitab-kitab suci atau dalam keyakinan-keyakinan yang berbentuk gereja-gereja kristen atau dalam kesatuan-kesatuan masyarakat (seperti di Bali) yang berkepercayaan Ketuhanan Yang Maha Esa itu, tetapi juga semua kententuan-ketentuan perundang-undangan baik yang telah mendahului Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maupun yang akan ditetapkan lagi kelak.9

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memberi kesempatan atau upaya hukum bagi para pihak yang hendak melakukan perkawinan tetapi di tolak untuk dicatat oleh pegawai pencatat perkawinan, salah satu alasan penolakan bisa berupa tidak tepenuhi syarat-syarat perkawinan terutama syarat materil khusus perkawinan dalam hal ini berupa larangan kawin. Karena tidak semua

(7)

larangan kawin bersifat mutlak sehingga ada beberapa larangan kawin yang bisa tidak menjadi larangan kawin lagi selama ada penetapan hakim atas hal tersebut.

Penetapan kawin yang diajukan kepada Pengadilan Negeri ini muncul karena memang diatur dalam Pasal 21 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi para pihak yang perkawinannya ditolak berhak mengajukan permohonan kepada pengadilan di dalam wilayah mana pegawai pencatat perkawinan yang mengadakan penolakan berkedudukan untuk memberikan keputusan, dengan menyerahkan surat keterangan penolakan tersebut diatas.

Dalam Penetapan Nomor 156/Pdt.P/2010/PN.Ska mengenai permohonan perkawinan beda agama yang hendak diteliti, sepasang calon suami isteri berbeda agama, calon istri LA beragama kristen dan calon suami AJ beragama Islam. Keduanya hendak mencatatkan perkawinannya kepada pegawai pencatat perkawinan namun, pasangan tersebut tidak mau tunduk pada hukum masing masing agamanya sesuai dengan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, sehingga memohonkan penetapan pengadilan untuk memperoleh izin agar dapat melangsungkan perkawinannya dan dicatatkan. Serta dalam pasal 35 huruf a menyatakan bahwa perkawinan berlaku pula bagi perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan. Undang-Undang Nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan memungkinkan pasangan beda agama dicatatkan perkawinannya dengan memperoleh penetapan pengadilan.

(8)

dengan menerapkan perkawinan campur, yang jelas-jelas bertentangan dengan Pasal 57 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang pengertian perkawinan campur tersebut, yang mana perkawinan campuran adalah perkawinan yang antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu adalah berkewarganegaraan Indonesia10, sedangkan dalam penetapan Nomor 156/Pdt.P/2010/PN.Ska yang diteliti tidak ada perbedaan kewarganegaraan antara kedua pihak, Serta, hakim dalam pertimbangannya menyatakan menganggap para pemohon melepaskan keyakinan agamanya yang melarang adanya perkawinan beda agama. sehingga ada kesenjangan hukum dalam penetapan ini, karena Majelis hakim seakan-akan mengesampingkan hukum agama yang ada di Indonesia, padahal hukum perkawinan sendiri mengakui keberadaan hukum agama tersebut dalam pelaksanaan perkawinan tersebut.

Berdasarkan uraian diatas maka menarik untuk diteliti masalah tersebut dalam tesis ini dengan judul “Analisis Yuridis Pengesahan Perkawinan Beda Agama dan akibat hukumnya (Studi Penetapan No. 156/Pdt.P/2010/PN.Ska Tentang Perkawinan Beda Agama).”

B. Perumusan Masalah

Berangkat dari uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan dalam penulisan ini sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaturan larangan perkawinan beda agama menurut hukum perkawinan di Indonesia?

(9)

2. Bagaimana akibat hukum perkawinan beda agama menurut hukum perkawinan Indonesia?

3. Bagaimana pertimbangan Majelis Hakim dalam Penetapan No. 156/Pdt.P/2010/PN.Ska mengenai permohonan perkawinan beda agama?

C. Tujuan Penelitian

Perumusan tujuan penulisan selalu berkaitan erat dalam menjawab permasalahan yang menjadi fokus penulisan, sehingga penulisan hukum yang akan dilaksanakan tetap terarah. Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penulisan ini adalah:

1. Untuk menganalisis dan mendeskripsikan pengaturan larangan perkawinan beda agama menurut hukum perkawinan Indonesia.

2. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan akibat hukum dari perkawinan beda agama menurut hukum perkawinan Indonesia.

3. Untuk mengetahui pertimbangan Majelis Hakim dalam Penetapan No. 156/Pdt.P/2010/PN.Ska mengenai permohonan perkawinan beda agama.

D. Manfaat Penelitian

Dengan tercapainya tujuan penulisan sebagaimana tersebut di atas, selanjutnya hasil penulisan ini diharapkan bermanfaat untuk :

1. Manfaat Teoritis

(10)

agar dapat disebar luaskan dan dibaca, oleh kalangan akademisi maupun praktisi serta masyarakat pada umumnya.

2. Manfaat Praktis

a. Sebagai bahan masukan dan panduan bagi calon pasangan suami istri terhadap pernikahan beda agama.

b. Untuk menambah khazanah dan wawasan pemikiran hukum kepada masyarakat khususnya yang melaksanakan perkawinan beda agama, tentang pentingnya suatu kesamaan agama dalam perkawinan.

c. Untuk memberikan manfaat kepada pemerintah dalam hal, membuat peraturan tentang larangan perkawinan beda agama yang harus diperjelas agar tidak menimbulkan keraguan dalam penafsirannya.

E. Keaslian Penelitian

Dari hasil penelusuran kepustakaan yang ada di lingkungan Universitas Sumatera Utara, khususnya di lingkungan sekolah pasca sarjana Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, maka penelitian dengan judul “Analisis Yuridis Pengesahan Perkawinan Beda Agama dan akibat hukumnya (Studi Penetapan MA. No. 156/Pdt.P/2010/PN.Ska Tentang Perkawinan Beda Agama).” Belum pernah dilakukan. Memang pernah ada penelitian tentang Perkawinan Beda Agama yang dilakukan :

(11)

1. Bagaimana kedudukan perkawinan beda agama dala sistem hukum di Indonesia?

2. Bagaimanakah pencatatan perkawinan beda agama yang dilangsungkan di luar negeri ?

3. Bagaimanakah akibat hukum perkawinan beda agama yang tidak dicatatkan di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil?

Permasalahan-permasalahan yang dibahas dalam penelitian-penelitian tersebut berbeda dengan permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini. Dengan demikian penelitian ini adalah asli baik dari segi substansi maupun dari permasalahan, sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan secara akademik. Penulis bertanggungjawab sepenuhnya apabila dikemudian hari ternyata penelitian ini merupakan hasil plagiat dari penelitian yang telah ada sebelumnya.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Teori harus mengungkapkan suatu tesis atau argumentasi tentang fenomena tertentu yang dapat menerangkan bentuk substansi atau eksistensinya,11 dan suatu teori harus konsisten tentang apa yang diketahui tentang dunia sosial oleh partisipan dan ahli lainnya, minimal harus ada aturan-aturan penerjemah yang dapat menghubungkan teori dengan ilmu bahkan pengetahuan lain,12 sedangkan kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat teori, tesis mengenai suatu

11H.R. Otje Salman, S dan Anton F Susanto,Teori Hukum, Bandung, Refika Aditama, 2005, hal. 23.

(12)

kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan pegangan teoritis.13

Menurut W.L. Neuman, yang berpendapat dikutip dari Otje Salman dan anton F Susanto menyebutkan bahwa : “Teori adalah suatu sistem yang tersusun oleh berbagai abstraksi yang berinterkoneksi satu sama lainnya atau berbagai ide yang memadatkan dan mengorganisasi pengetahuan tentang dunia, ia adalah cara yang ringkas untuk berfikir tentang dunia dan bagaimana dunia itu bekerja”.14

Otje Salman dan Anton F Susanto akhirnya menyimpulkan pengertian Teori menurut pendapat beberapa ahli, dengan rumusan sebagai berikut : “ Teori adalah seperangkat gagasan yang berkembang disamping mencoba secara maksimal untuk memenuhi kriteria tertentu, meski mungkin saja hanya memberikan Kontribusi parsial bagi keseluruhan teori yang lebih umum” .15

Kerangka teori yang digunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian ini adalah teori efektivitas dan teori kepastian hukum.

Teori efektivitas dalam bidang hukum mengandung arti bahwa ketika ingin mengetahui sejauhmana efektivitas dari hukum, maka pertama-tama harus dapat mengukur sejauhmana aturan hukum itu ditaati atau tidak ditaati. Pada umumnya faktor yang banyak mempengaruhi efektivitas suatu perundang-undangan adalah profesional dan optimal pelaksanaan peran, wewenang, dan fungsi dari para penegak

13 M. Solly Lubis,Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung, Mandar Maju, 2003, hal. 80. 14 H.R. Otje Salman, S dan Anton F Susanto,Op.Cit, hal. 22.

(13)

hukum, baik di dalam menjelaskan tugas yang dibebankan terhadap diri mereka maupun dalam menegakkan perundang-undangan tersebut.16

Teori Efektivitas hukum menurut Soerjono Soekanto adalah bahwa efektif atau tidaknya suatu hukum ditentukan oleh 5 (lima) faktor, yaitu :

1. Faktor hukumnya sendiri (undang-undang)

2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum

3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum

4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan

5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.17

Kelima faktor di atas saling berkaitan erat karena merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur dari pada efektivitas penegakan hukum. Menurut soerjono soekanto, efektif adalah taraf sejauhmana suatu kelompok dapat mencapai tujuannya. Hukum dapat dikatakan efektif jika terdapat dampak hukum yang positif, pada saat itu hukum mencapai sasarannya dalam membimbing ataupun mengubah perilaku manusia sehingga menjadi perilaku hukum.18

Teori efektivitas dapat disimpulkan bahwa suatu peraturan yang telah mengatur mengenai larangan perkawinan beda agama di Indonesia sudah jelas. Namun dalam penafsiran dan penerapannya masih harus dilihat sejauh mana hukum tersebut mengatur dan mengikat masyarakat, sehingga dapat diketahui sejauh mana

16Achmad Ali,Menguak Teori Hukum Dan Teori Peradilan Vol.1, Jakarta, Kencana, 2010, hal. 375.

17

Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mepengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2008, hal. 8.

(14)

efektivitas hukum tentang larangan perkawinan beda agama itu dapat terlaksana dengan baik. Selain menggunakan teori efektivitas dalam membahas larangan perkawinan beda agama ini juga, menggunakan teori kepastian hukum.

Gustaf Radbruch, menyatakan dua macam pengertian kepastian hukum yaitu: Kepatian hukum oleh hukum dan kepastian hukum dalam atau dari hukum. Hukum yang berhasil menjamin banyak kepastian hukum dalam masyarakat adalah hukum yang berguna. Kepastian hukum oleh karena hukum memberi tugas hukum yang lain, keadilan hukum serta hukum harus tetap berguna. Sedangkan kepastian hukum dalam hukum tercapai apabila hukum tersebut sebanyak banyaknya dalam Undang-Undang. Dalam Undang-Undang tersebut terdapat ketentuan-ketentuan yang bertentangan (Undang-Undang berdasarkan suatu sistem yang logis dan praktis). Undang-undang dibuat berdasarkan recht swerkelijkheid(keadaan hukum yang sungguh-sungguh dan dalam Undang-Undang tersebut tidak dapat ditafsirkan berbeda-beda.19 Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multi tafsir) dan logis dalam artian dia menjadi sistem norma dengan norma lain, sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma. Konflik norma yang ditimbulkan karena ketidakpastian aturan dapat berbentuk kontestasi norma, reduksi norma atau distrosi norma.20

Bambang Semedi, dalam tulisannya “Penegakan Hukum Yang Menjamin Kepastian Hukum” dia mengemukakan : “Kepastian hukum yang sering dijadikan alasan para penegak hukum sebenarnya dapat kita lihat dari dua sudut pandang, yakni dengan kepastian dalam hukum itu sendiri dan kepastian karena hukum.21

19E. Fernando M. Manullang,Menggapai Hukum Berkeadilan, Tinjauan Hukum Kodrat dan Antinomi Nilai,jakarta,Kompas, 2007, hal. 88.

20

Ibid,hal. 89.

(15)

Teori kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian yaitu :

“Pertama, adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan hukum yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh negara terdapat Individu. Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam Undang-Undang melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan Hakim antara putusan Hakim yang satu dengan putusan Hakim lainya untuk kasus yang serupa yang telah di putuskan”.22

Dengan menerapkan teori kepastian hukum tersebut dapat dilihat apakah dengan suatu larangan terhadap perkawinan beda agama di Indonesia apakah sudah berjalan dengan baik, dan bagaimana dengan penetapan pengadilan yang menjadi syarat dalam suatu perkawinan beda agama tersebut merupakan salah satu cara untuk memperoleh kepastian hukum, yang sekaligus secara tidak langsung telah mengenyampingkan agama dalam suatu perkawinan.

2. Konsepsi.

Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori, karena konsep adalah sebagai penghubung yang menerangkan sesuatu yang sebelumnya hanya baru ada dalam pikiran (berupa ide).

“Peranan konsep dalam penelitian adalah untuk menghubungkan dunia teori dan observasi antara abstraksi dan realitas.”23

Selanjutnya, Suwandi Suryabrata memberikan arti khusus apa yang dimaksud dengan konsep, menurut beliau, sebuah konsep berkaitan dengan definisi operasional.

22Peter Mahmud Marzuki,Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Kencana Pranada Media Group, 2008, hal. 158.

(16)

“Konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan abstraksi yang digeneralisasi dari hal-hal yang khusus, yang disebut dengan definisi operasional.”24

Konsep dapat dilihat dari segi subyektif dan obyektif, dari segi subyektif konsep merupakan suatu kegiatan intelek untuk menangkap sesuatu. Sedangkan dari segi obyektif, konsep merupakan suatu yang ditangkap oleh kegiatan intelek tersebut, hasil dari tangkapan akal manusia itulah yang dinamakan konsep.25

Konsep merupakan “alat yang dipakai oleh hukum disamping yang lain, seperti asas dan standar. Oleh karena itu kebutuhan untuk membentuk konsep merupakan salah satu dari hal-hal yang dirasakan pentingnya dalam hukum. Konsep adalah suatu Konstruksi mental, yaitu sesuatu yang dihasilkan oleh suatu proses yang berjalan dalam pikiran penelitian untuk keperluan analitis”.26

Dalam kerangka konseptional diungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum.27 Selanjutnya konsep atau pengertian merupakan unsur pokok dari suatu penelitian, kalau masalah dan kerangka konsep teoritisnya sudah jelas, biasanya sudah diketahui pula fakta mengenai gejala-gejala yang menjadi pokok perhatian dan suatu konsep sebenarnya adalah definisi secara singkat dari sekolompok fakta atau gejala itu. Maka konsep merupakan definisi dari apa yang perlu diamati, Konsep menentukan antara variable-variable

24 Suwandi Suryabrata, Metodelogi Penelitian, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 1998, hal.3.

25Yooke Tjuparmah S Komaruddin,Kamus istilah Karya Tulis Ilmiah,Jakarta, Bumi Aksara, 2006, hal. 122.

26Satjipto Rahardjo,Ilmu hukum, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 1996, hal.70.

(17)

yang ingin menentukan adanya gejala empiris.28

Beranjak dari judul tesis ini, yaitu : “Analisis Yuridis Larangan Perkawinan Beda Agama dan akibat hukumnya (Studi Penetapan MA. No. 156/Pdt.P/2010/PN.Ska Tentang Perkawinan Beda Agama).” maka dapatlah dijelaskan konsepsi ataupun pengertian dari kata demi kata dalam judul tersebut, yaitu sebagai berikut :

a. Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk kekuarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.29 b. Larangan Perkawinan adalah segala sesuatu yang dapat menyebabkan

perkawinan itu tidak dapat dilaksanakan karena tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dikehendaki oleh hukm dan larangan agama.30

c. Perkawinan Beda Agama adalah perkawinan antara dua orang, pria dan wanita yang tunduk pada hukum yang berlainan karena berbeda agama.31 d. Akibat Hukum adalah segala akibat yang terjadi dari segala perbuatan

hukum yang dilakukan oleh subyek hukum terhadap obyek hukum atau akibat-akibat lain yang disebabkan karena kejadian-kejadian tertentu oleh hukum yang bersangkutan telah ditentukan atau dianggap sebagai akibat

28Koentjoro Ningrat,Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 1997, hal. 21.

29

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan. 30

C. Dewi Wulansari,Hukum Adat Indonesia, Bandung, Refika Aditama, 2010, hal.

(18)

hukum.32

e. Penetapan adalah keputusan Pengadilan atas perkara permohonan.33

G. Metode Penelitian

1. Sifat Penelitian

Metode pendekatan penelitian ini adalah bersifat deskriptif analisis, bersifat deskriptif analisis maksudnya dari penelitian ini diharapkan diperoleh gambaran secara rinci dan sistematis tentang permasalahan yang akan diteliti. Analisis dimaksudkan berdasarkan gambaran, fakta yang diperoleh akan dilakukan analisis secara cermat untuk menjawab permasalahan.34mengenai bagaimana hak asuh anak dibawah umur terhadap perceraian yang dilaksanakan dalam perkawinan beda agama. Penelitian ini termasuk ruang lingkup penelitian yang menggambarkan, menelaah dan menjelaskan serta menganalisa teori hukum yang bersifat umum dan peraturan perundang-undangan mengenai permasalahan dalam larangan perkawinan beda agama, sehingga dapat diperoleh penjelasan bagaimana penetapan pengadilan tentang perkawinan beda agama. Sebagai hasilnya dapat dijelaskan akibat hukum serta penyelesaian masalah yang terjadi dalam pelaksanaan perkawinan beda agama tersebut.

2. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang dilakukan dengan pendekatan yuridis normatif. Pendekatan terhadap permasalahan dilakukan dengan

32

(19)

mengkaji ketentuan mengenai larangan perkawinan beda agama. Menggunakan pendekatan yuridis normatif karena sasaran penelitian ini adalah hukum atau kaedah (norm) yang dapat dipergunakan sebagai dasar hukum yang mengatur larangan perkawinan beda agama. Pengertian kaedah meliputi asas hukum, kaedah dalam arti sempit, Peraturan hukum konkret. Penelitian yang berobjekkan hukum normatif berupa asas-asas hukum, sistem hukum, taraf sinkronisasi vertikal dan horisontal.35

Penelitian ini sering disebut juga penelitian dokumenter untuk memperoleh data sekunder dibidang hukum. Penelitian lebih meliputi penelitian asas-asas hukum, sumber-sumber hukum, Peraturan perundang-undangan yang berlaku, literatur-literatur yang berkaitan dengan permasalahan. Titik berat penelitian tertuju pada penelitian dokumenter, yang berarti lebih banyak menelaah dan mengkaji data sekunder yang diperoleh dari penelitian.

3. Data dan Tehnik Pengumpulan Data

Sebagai penelitian hukum Normatif, penelitian ini menitikberatkan pada studi kepustakaan. Dalam mencari dan mengumpulkan data yang diperlukan dalam penulisan tesis ini, penulis menggunakan data sekunder dan didukung oleh data primer sebagai data penunjang. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari studi kepustakaan dari arsip-arsip, bahan pustaka, data resmi pada putusan pengadilan Negeri Medan, Undang-Undang, makalah yang ada kaitannya dengan masalah yang sedang diteliti, yang terdiri dari :

1. Data sekunder terdiri dari :

(20)

a. Bahan hukum primer,36yaitu bahan hukum yang mengikat, yaitu : Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam serta Penetapan MA. No. 156/Pdt.P/2010/PN.Ska tentang Perkawinan Beda Agama.

b. Bahan hukum sekunder,37 yaitu bahan hukum yang menjelaskan bahan hukum primer, antara lain berupa tulisan atau pendapat pakar hukum dibidang hukum perkawinan khususnya larangan perkawinan beda agama. c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan-bahan hukum yang sifatnya penunjang

untuk dapat memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti jurnal hukum, jurnal ilmiah, surat kabar, internet serta makalah-makalah yang berkaitan dengan objek penelitian.38 Disamping data sekunder, penelitian ini juga didukung oleh data primer. Data primer digunakan untuk mendukung dalil-dalil hukum yang dirumuskan dari data sekunder.

2. Data Primer, yaitu data yang diambil langsung oleh peneliti dengan wawancara yang dilakukan secara terarah (directive interview),39 yaitu Hakim Pengadilan Negeri Medan, Pegawai Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil. Wawancara ini dilakukan di Medan karena peneliti berada di Medan dan dengan pertimbangan di Medan masih banyak terjadi kawin beda agama namun tidak dicatatkan di

36Ronny Hanitijo Soemitro, Metodelogi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1988, hal. 55.

37 Ibid.

(21)

Kantor Catatan Sipil Medan dengan pertimbangan melanggar syarat sahnya perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan40, penelitian dilakukan dengan menggunakan prosedur pengajuan penelitian dengan mengirim surat keterangan penelitian yang dikeluarkan oleh Magister Kenotaritan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Alat Pengumpulan Data.

Untuk mendapatkan hasil yang objektif dan dapat dibuktikan kebenarannya serta dapat dipertanggung jawabkan hasilnya, maka data dalam penelitian ini diperoleh melalui alat pengumpulan data yang dilakukan dengan menggunakan cara:

a. Studi Dokumen.

Studi dokumen digunakan untuk memperoleh data sekunder dengan membaca, mempelajari, meneliti, mengidentifikasi dan menganalisis data sekunder yang berkaitan dengan materi penelitian.41

b. Pedoman Wawancara.

Wawancara merupakan cara yang digunakan untuk memperoleh keterangan lisan guna mencapai tujuan tertentu.42Wawancara dengan pengumpulan data, dimana penulis melakukan percakapan atau tatap muka yang terarah dengan menggunakan pedoman wawancara kepada Hakim Pengadilan Negeri Medan

40 Wawancara, Susi Rusida, Kepala Seksi Perkawinan dan Perceraian Dinas Kependudukan Dan Catatan Sipil Medan, Pada tanggal 17 Mei 2016.

41

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, Universitas Indonesia Press, 1986, hal. 21.

(22)

dan Pegawai Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil untuk memperoleh keterangan atau data-data yang diperlukan.

5. Analisis data

Penelitian yuridis normatif yang bersifat kualitatif adalah penetilian yang mengacu pada norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan serta norma-norma hidup yang berkembang dalam masyarakat.43 Penelitian ini bersifat Deskriptif Analitis. Analisis data yang dipergunakan adalah pendekatan kualitatif terhadap data primer dan data sekunder. Deskriptif tersebut, meliputi isi dan struktur hukum positif, yaitu suatu kegiatan yang dilakukan untuk menentukan isi atau makna aturan hukum yang dijadikan rujukan dalam menyelesaikan permasalahan hukum yang menjadi objek kajian.44 Bentuk penelitian yang kualitatif merupakan bentuk penelitian yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan serta norma-norma hidup yang berkembang dalam masyarakat, sehingga dapat tercapai tujuan dari penelitian ini.

Proses data kualitatif dilakukan dalam penelitian hukum yang normatif ini dilakukan bertujuan untuk :

1. Inventarisasi data sekunder dan data primer sebagai data penunjang, yang dimaksud dalam tesis ini adalah proses pemilihan atau mengidentifakasi bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

(23)

2. Analisis bahan hukum melalui penafsiran dan content analysis, adalah suatu proses mengolah, mengembangkan dan menentukan instrumen bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

3. Mensistematisasikan data hasil analisis kedalam pola yang sistematis agar mudah di pahami, adalah proses pengurutan hasil analisa kedua bahan hukum tersebut.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam penelitian ini perilaku tidak aman kategori tinggi lebih banyak dilakukan oleh pekerja yang menyatakan kebijakan perusahaan tidak cukup dibandingkan pekerja yang menyatakan

Penelitian ini dilator belakangi oleh pelaksanaan pengobatan Belian pada suku Petalangan Desa Betung Kecamatan Pangkalan Kuras Kabupaten Pelalawan.. Permasalahan yang timbul

Pengertian jaringan komputer menurut Oetomo (2004) adalah sekelompok komputer otonom yang dihubungkan satu dengan yang lainnya dengan menggunakan protokol komunikasi melalui

Also you enjoy reading this Untamed (A Bad Boy Secret Baby Romance) By Emilia Kincade all over you have time, you can appreciate it to check out Untamed (A Bad Boy Secret Baby

kegiatan Rohis yang akan dilaksanakan ”. Pemanfaatan majalah dinding dalam mensosialisasikan kegiatan Rohis adalah suatu hal yang merupakan pengembang daya kreatifitas

masyarakat yang ada di wilayah kerja Puskesmas Mijen namun hanya melakukan penyuluhan mengenai penyakit TB Paru jika diminta oleh pihak tertentu misalnya dari kelurahan, dari

Kelas Unggulan di SMP Negeri 1 Gondang Tulungagung. Untuk mengetahui Keterampilan Guru PAI dalam menggunakan Media. Pembelajaran Audio untuk meningkatkan motivasi belajar Pada

Hasil penelitian yang diperoleh adalah penerapan konsep Tri Hita Karana dibagi menjadi 3 (tiga) yaitu : (1) Parhyangan, yang ditunjukan dengan adanya Pura Subak serta tatanan