• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Moralitas Kesetiaan Tokoh Utama Novel “Uesugi Kenshin” Karya Eiji Yoshikawa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Moralitas Kesetiaan Tokoh Utama Novel “Uesugi Kenshin” Karya Eiji Yoshikawa"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN UMUM TERHADAP MORAL, MORAL BUSHIDO

DAN NOVEL

2.1 Defenisi Moral

Kata moral berasal dari bahasa latin Mores. Mores berasal dari kata mos

yang berarti kesusilaan, tabiat atau kelakuan. Moral dengan demikian dapat

diartikan ajaran kesusilaan. Moralitas berarti hal mengenai kesusilaan.

Moralitas adalah sistem nilai tentang bagaimana kita harus hidup secara

baik sebagai manusia. Sistem nilai ini terkandung dalam ajaran berbentuk

petuah-petuah, nasihat, wejangan, peraturan, dan semacamnya, yang diwariskan secara

turun-temurun melalui agama atau kebudayaan tertentu tentang bagaimana

manusia harus hidup secara baik, agar ia benar-benar menjadi manusia yang baik.

Ada perkataan lain yang mengungkapkan kesusilaan, yaitu etika.

Perkataan etika berasal dari bahasa yunani: ethos dan ethikos yang berarti kesusilaan, perasaan batin, kecenderungan untuk melakukan suatu perbuatan.

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia dari Salam dalam Simanjuntak

(2011:18), terdapat keterangan bahwa moral adalah ajaran tentang baik-buruk

perbuatan dan kelakuan, sedangkan etika adalah ilmu pengetahuan tentang

asas-asas akhlak.

Dari beberapa keterangan tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa moral

(2)

tentang baik-buruknya perbuatan. Jadi, perbuatan itu dinilai sebagai perbuatan

yang baik atau perbuatan yang buruk. Penilaian itu menyangkut perbuatan yang

dilakukan dengan sengaja. Memberikan penilaian atas perbuatan dapat disebut

memberikan penilaian etis atau moral.

Sasaran dari moral adalah keselarasan dari perbuatan manusia dengan

aturan-aturan mengenai perbuatan-perbuatan manusia.

2.2 Prinsip-Prinsip Dasar Moral

1. Prinsip Sikap Baik

Sikap yang dituntut dari kita sebagai dasar dalam hubungan dengan siapa

saja adalah sikap positif dan baik. Seperti halnya dalam prinsip utilitarisme, bahwa kita harus mengusahakan akibat-akibat baik sebanyak mungkin dan

mengusahakan untuk sedapat-dapatnya mencegah akibat-akibat buruk dari

tindakan kita, kecuali ada alasan khusus, tentunya kita harus bersikap baik

terhadap orang lain.

Prinsip moral dasar pertama disebut prinsip sikap baik. Prinsip ini

mendahului dan mendasari semua prinsip moral lain. Prinsip ini mempunyai arti

yang amat besar bagi kehidupan manusia.

Sebagai prinsip dasar etika, prinsip sikap baik menyangkut sikap dasar

manusia yang harus memahami segala sifat konkret, tindakan dan kelakuannya.

Prinsip ini mengatakan bahwa pada dasarnya, kecuali ada alasan khusus, kita

harus mendekati siapa saja dan apa saja yang positif, dengan menghendaki yang

(3)

melainkan sikap hati positif terhadap orang lain, kemauan baik terhadapnya.

Bersikap baik berarti, memandang seseorang dan sesuatu tidak hanya sejauh

berguna bagi dirinya, melainkan menghendaki, menyetujui, membenarkan,

mendukung, membela, membiarkan, dan menunjang perkembangannya (Suseno,

1989:131).

Bagaimana sifat baik itu harus dinyatakan secara konkret, tergantung pada

apa yang baik dalam situasi konkret itu. Maka prinsip ini menuntut suatu

pengetahuan tepat tentang realitas, supaya dapat diketahui apa yang

masing-masing baik bagi yang bersangkutan.

2. Prinsip Keadilan

Prinsip keadilan hanya menegaskan agar kita bersikap baik terhadap siapa

saja. Tetapi kemampuan manusia untuk bersikap baik secara hakiki terbatas, tidak

hanya berlaku bagi benda-benda materiil, melainkan juga dalam hal perhatian dan cinta kasih. Kemampuan untuk memberi hati kita juga terbatas. Maka secara logis

dibutuhkan prinsip tambahan yang menentukan bagaimana kebaikan itu harus

dibagi.

Adil, pada hakikinya berarti bahwa kita memberikan kepada siapa saja dan

apa yang menjadi haknya. Karena pada hakekatnya semua orang sama nilainya

sebagai manusia, maka tuntunan paling dasariah keadilan adalah perlakuan yang

sama terhadap semua orang, tentu dalam situasi yang sama (Suseno, 1989:132).

Jadi prinsip keadilan mengungkapkan kewajiban untuk memberikan

perlakuan yang sama terhadap semua orang lain yang berada dalam situasi yang

(4)

Secara singkat, keadilan menuntut agar kita jangan mau mencapai tujuan,

termasuk hal yang baik, dengan tidak melanggar hak seseorang.

3. Prinsip Hormat Terhadap Diri Sendiri

Prinsip ini menyatakan bahwa manusia wajib untuk selalu memperlakukan

diri sebagai sesuatu yang bernilai pada dirinya sendiri. Prinsip ini berdasarkan

paham bahwa manusia adalah person, pusat pengertian dan berkehendak, yang memiliki kebebasan dan suara hati, mahluk yang berakal budi (Suseno, 1989:133)

Prinsip ini mempunyai dua arah. Pertama, dituntut agar kita tidak

membiarkan diri diperas, diperalat, atau diperbudak. Perlakuan tersebut tidak

wajar untuk kedua belah pihak, maka yang diperlukan demikian jangan

membiarkannya berlangsung begitu saja apabila ia melawan, sebab kita

mempunyai harga diri. Dipaksa untuk melakukan atau menyerahkan sesuatu tidak

pernah wajar. Kedua, kita jangan sampai membiarkan diri terlantar.

Manusia juga mempunyai kewajiban terhadap dirinya sendiri, berarti

bahwa kewajibannya terhadap orang lain di imbangi oleh perhatian yang wajar

terhadap dirinya sendiri.

Sebagai kesimpulan, kebaikan dan keadilan yang kita tunjukkan kepada

orang lain, perlu di imbangi dengan sikap yang menghormati diri sebagai mahluk

yang bernilai. Kita berbaik hati dan bersikap baik terhadap orang lain, dengan

(5)

2.3 Moral Jepang

Kepribadian dan karakter moral rakyat Jepang dibentuk sedari mereka

kecil. Prinsip moral yang mereka anut berasal dari kebudayaan samurai Jepang

yang terdiri dari empat elemen moral, yaitu On, Gimu, Giri dan Ninjo. Menurut

Hashimoto Ayumi dalam http://www.terindikasi.com/2012/05/prinsip-moral-jepang.html#ixzz2APOzq6AW, keempat unsur ini tidak diajarkan di bangku sekolah. Namun, secara otomatis didapat dari orang tua maupun masyarakat

sekitar.

2.3.1 ON

On berarti rasa hutang budi. Dengan prinsip on, seseorang akan merasa berutang setiap kali orang lain berbuat baik padanya. Dalam semua pemakaiannya

on mengandung arti suatu beban, suatu hutang, sesuatu yang harus dipikul seseorang dengan sebaik mungkin mencakup hutang seseorang dari yang paling

besar sampai yang paling terkecil sekalipun yang harus dibayar (Benedict, 1982:105).

2.3.2 GIMU

Gimu berarti kewajiban. Jika seseorang menerima on, maka orang tersebut akan berkewajiban untuk membayarnya yang disebut gimu. Gimu menurut

Benedict (1982:122) adalah pembayaran-pembayaran tanpa batas atau tanpa syarat atas hutang yang telah diterima dari si pemberi on. On yang diterima dengan pembayaran kembali secara gimu sama sekali tidak bisa dihindari oleh setiap orang Jepang. Namun karena tidak ada ketentuan mengenai bentuk, cara

(6)

dengan resiko gimu ini. Artinya ada rasa terpaksa dan keengganan dalam melakukan pembayaran terhadap on yang diterima, karena gimu adalah suatu kewajiban moral yang mengikat.

2.3.3 GIRI

Giri adalah kebaikan. Dengan prinsip giri, seseorang akan membantu temannya atau keluarganya semampunya. Sedangkan giri menurut benedict

(1982:125) adalah kebaikan yang diberikan kepada orang lain, tetapi terkadang

giri menimbulkan beban yang sangat besar kepada penerimanya, merupakan kewajiban yang dibayar dengan tepat sama dengan kebaikkan yang diterima, yang

memiliki batas waktu pembayarannya. Giri akan muncul jika seseorang menerima

on atau budi baik seseorang yang kita terima.

2.3.4 NINJO

Ninjo adalah rasa kasih sayang. Dan prinsip ninjo, mengajarkan rasa empati terhadap sesama dan lingkungannya. Dengan prinsip ini, seseorang akan

merasa semua manusia adalah satu dan sama, di bawah perbedaan yang telah

diatur oleh karma dan berkewajiban untuk menjaga kelestarian lingkunagan.

Kemudian Ninjo merupakan suatu perbuatan yang tidak menuntut balas, atau benar-benar tulus dari dalam hati dan tidak melibatkan menjadi on. Ninjo

merupakan perasaan kemanusiaan dan semua orang jepang mempercayai bahwa

perasaan cinta, kasih sayang, belas kasihan dan simpati merupakan perasaan yang

paling penting dalam menjaga hubungan dengan sesama manusia, yang

merupakan perasaan dari hati terdalam dan tidak dibuat-buat karena adanya

(7)

kebaikan. Orang jepang selalu mengukur sesuatu atau berusaha

mempertimbangkan segala sesuatu berdasarkan perasaan manusiawi.

2.4 Sikap-Sikap Kepribadian Moral

1. Kejujuran

Dasar setiap usaha untuk menjadi orang kuat secara moral adalah

kejujuran. Tanpa kejujuran, kita sebagai manusia tidak dapat maju karena kita

belum berani menjadi diri kita sendiri. Tidak jujur berarti tidak se-iya sekata dan

itu berarti bahwa kita belum sanggup untuk mengambil sikap lurus. Orang yang

tidak lurus, tidak memgambil dirinya sendiri sebagai titik tolak, melainkan apa

yang diperkirakan akan diharapkan oleh orang lain.

Tanpa kejujuran, keutamaan moral lainnya akan kehilangan nilai. Bersikap

baik terhadap orang lain, tetapi tanpa kejujuran, adalah kemunafikan.

Menurut Suseno (2010:142-143), bersikap jujur terhadap orang lain berarti

dua: sikap terbuka dan juga sikap fair (wajar). Dengan terbuka, tidak dimaksud

bahwa segala pertanyaan orang lain harus kita jawab dengan selengkapnya, atau

bahwa orang lain berhak untuk mengetahui segala perasaan dan pikiran kita,

melainkan yang dimaksud ialah bahwa kita selalu muncul sebagai diri kita sendiri,

sesuai dengan keyakinan kita.

Selanjutnya, orang yang jujur harus bersikap fair (wajar) terhadap orang

lain. Ia memperlakukannya menurut standart-standart yang diharapkannya akan

dipergunakan orang lain terhadap dirinya. Ia menghormati hak orang lain, ia

(8)

yang tidak dalam posisi untuk menuntutnya. Ia tidak pernah akan bertindak

bertentangan dengan suara hati atau keyakinannya.

2. Nilai-Nilai Otentik

Otentik berarti, kita menjadi diri kita sendiri. “Otentik” berarti asli.

Manusia otentik adalah manusia yang menghayati dan menunjukkan diri sesuai

dengan keasliannya, dengan kepribadian yang sebenarnya.

3. Kesediaan Untuk Bertanggung Jawab

Kejujuran sebagai kualitas dasar kepribadian moral menjadi dasar dalam

kesediaan untuk bertanggung jawab. Bertanggung jawab berarti suatu sikap

terhadap tugas yang membebani kita, kita merasa terikat untuk menyelesaikannya.

Kita akan melaksanakannya dengan sebaik mungkin, meskipun dituntut

pengorbanan atau kurang menguntungkan atau ditentang oleh orang lain. Tugas

itu bukan sekedar masalah dimana kita berusaha untuk menyelamatkan diri tanpa

menimbulkan kesan yang buruk, melainkan tugas itu kita rasakan sebagai sesuatu

yang dimulai sekarang harus kita pelihara, kita selesaikan dengan baik. Merasa

bertanggung jawab berarti, bahwa meskipun orang lain tidak melihat, kita tidak

merasa puas sampai pekerjaan itu selesai.

Wawasan orang yang bersedia untuk bertanggung jawab secara prinsipal,

tidak terbatas. Ia tidak membatasi perhatiannya pada apa yang menjadi urusan dan

kewajibannya, melainkan merasa bertanggung jawab dimana saja ia berada. Ia

(9)

menyelamatkan sesuatu. Ia bersikap positif, kreatif, kritis dan objektif (Suseno,

2010:146).

Dan lagi, kesediaan untuk bertanggung jawab termasuk kesediaan untuk

diminta dan untuk memberikan, pertanggung jawaban atas tindakan, atas

pelaksanaan tugas dan kewajibannya. Kalau ia ternyata lalai atau melakukan

kesalahan, ia bersedia untuk dipersalahkan. Ia tidak pernah akan melempar

tanggung jawab atas suatu kesalahan yang dilakukannya terhadap orang lain.

Kesediaan untuk bertanggung jawab adalah tanda kekuatan batin yang

sudah matang.

4. Kemandirian Moral

Kemandirian moral berarti bahwa kita tidak tentu harus ikut dengan

berbagai pandangan moral yang dimiliki oleh lingkungan kita, melainkan selalu

membentuk penilaian atau pendirian sendiri dan bertindak sesuai dengan moral

yang kita yakini.

Menurut Suseno (2010:147), kemandirian moral adalah kekuatan batin

untuk mengambil sikap moral sendiri dan untuk bertindak sesuai dengannya.

Mandiri secara moral berarti, bahwa kita tidak dapat dibeli oleh mayoritas, bahwa

kita tidak akan pernah rukun hanya demi kebersamaan kalau kerukunan itu

melanggar keadilan.

Sikap mandiri pada hakikatnya merupakan kemampuan untuk selalu

(10)

5. Keberanian Moral

Keberanian moral menunjukkan diri dalam tekad tetap mempertahankan

sikap yang telah diyakini sebagai kewajiban, sekalipun tidak disetujui atau secara

aktif dilawan oleh lingkungan. Orang yang memiliki keutamaan itu tidak mundur

dari tugas dan tanggung jawab, juga kalu ia mengisolasi diri, merasa malu, dicela,

ditentang atau di ancam oleh banyak orang.

Keberanian moral adalah kesetiaan terhadap suara hati yang menyatakan

diri dalam kesediaan untuk mengambil resiko konflik (Suseno, 2010:147)

Keberanian moral berarti, berpihak pada yang lemah dan melawan yang

kuat, yang memperlakukan silemah dengan tidak adil. Orang yang berani secara

moral akan membuat pengalaman yang menarik. Setiap kali ia berani

mempertahankan sikap yang diyakini, ia merasa lebih kuat dan lebih berani,

dalam arti ia semakin dapat mengatasi perasaan takut dan malu.

6. Kerendahan Hati

Keutamaan terakhir yang hakiki bagi kepribadian yang matang adalah

kerendahan hati. Kerendahan hati tidak berarti bahwa kita merendahkan diri,

melainkan bahwa kita melihat diri kita seadanya. Kerendahan hati adalah

kekuatan batin untuk melihat diri sesuai dengan kenyataannya (Suseno, 2010:148).

Orang yang rendah hati tidak hanya melihat kelemahannya, melainkan juga

melihat kekuatannya.

Dalam bidang moral, kerendahan hati tidak hanya berarti bahwa kita sadar

(11)

kita untuk memberikan penilaian moral itu terbatas. Dengan rendah hati, kita

benar-benar bersedia untuk memperhatikan dan menanggapi setiap pendapat

lawan, bahkan untuk seperlunya, kita harus mengubah pendapat kita sendiri.

Kerendahan hati tidak bertentangan dengan keberanian moral. Tanpa

kerendahan hati, keberanian moral mudah menjadi kesombongan, kita tidak rela

memperhatikan orang lain, atau bahkan sebenarnya kita takut dan tidak berani

membuka diri.

Orang yang rendah hati sering menunjukkan daya tahan yang paling besar,

apabila benar-benar diberikan perlawanan. Orang yang rendah hati tidak merasa

bahwa dirinya terlalu penting, karena keberanian akan datang apabila ia sudah

yakin bahwa sikapnya telah memiliki nilai moral.

2.5 Definisi Novel

Abrams dalam Nurgiyantoro (1995:9), menyatakan bahwa novel berasal

dari bahasa Italia yaitu Novella yang secara harifiah yang berarti sebuah barang

baru yang kecil yang kemudian diartikan sebagai cerita pendek dalam bentuk

prosa.

Novel merupakan jenis dan genre prosa dalam karya sastra. Prosa dalam

pengertian kesusastraan juga disebut fiksi. Karya fiksi menyarankan pada suatu

karya sastra yang menceritakan sesuatu yang bersifat rekaan, khayalan, sesuatu

yang tidak ada dan terjadi sungguh-sungguh sehingga tidak perlu dicari

kebenarannya pada dunia nyata (Nugiyantoro, 1995:2). Dan menurut Takeo

dalam Pujiono (2002:3), novel merupakan sesuatu yang menggambarkan

(12)

Di antara genre utama karya sastra, yaitu puisi, prosa dan drama, genre

prosalah, khususnya novel yang dianggap paling dominan dalam menampilkan

unsur-unsur sosial. Alasan yang dapat ditemukan diantaranya:

1. Novel menampilkan unsur-unsur cerita paling lengkap, memiliki media

yang paling luas, menyajikan masalah-masalah kemasyarakatan yang

paling luas.

2. Bahasa novel cenderung merupakan bahasa sehari-hari, bahasa yang

paling umum digunakan dalam masyarakat.

Karya-karya modern klasik dalam kesusastraan, kebanyakan berisi

karya-karya novel. Novel merupakan bentuk karya-karya sastra yang paling populer di dunia.

Bentuk sastra ini paling banyak beredar, lantaran daya komunikasinya yang luas

pada masyarakat. Novel yang baik adalah novel yang isinya dapat memanusiakan

para pembacanya. Banyak sastrawan yang memberikan batasan atau defenisi

novel. Batasan atau definisi yang mereka berikan berbeda-beda karena sudut

pandang yang mereka pergunakan juga berbeda-beda.

Beberapa pandangan yang berupaya menjabarkan definisi novel antara lain

sebagai berikut:

1. Fielding dalam Atmaja (1986:44) mengatakan bahwa novel merupakan

modifikasi dunia modern paling logis, dan merupakan kelanjutan dari

dunia epik. Pernyataan ini tidak saja terbukti kebenarannya namun relevan

untuk situasi kini, suatu masa dimana novelis tidak lagi menampilkan

tokoh-tokoh hero di dalam karya sastra mereka, tetapi lebih banyak

menampilkan segi-segi sosial dan psikologis di dalam permasalahan

(13)

2. Wellek dan Warren (1995:282) novel adalah gambaran dari kehidupan dan perilaku yang nyata, dari zaman pada saat novel itu ditulis yang bersifat

realistis dan mengacu pada realitas yang lebih tinggi dan psikologi yang

lebih mendalam.

3. Jacob Sumardjo (1999:11-12) novel adalah genre sastra yang berupa cerita,

mudah dibaca dan dicernakan, juga kebanyakan mengandung unsur

suspense dalam alur ceritanya yang mudah menimbulkan sikap penasaran

bagi pembacanya.

Setiap karya sastra fiksi (novel) mempunyai unsur-unsur yang mendukung,

baik unsur dari dalam sastra itu sendiri (unsur intrinsik) ataupun unsur dari luar

(unsur ekstrinsik) yang secara tidak langsung mempengaruhi bangun cerita sebuah

karya sastra.

2.5 Unsur-Unsur Pembangun Novel

Novel merupakan sebuah totalitas, suatu panduan bersifat artistik. Sebagai

sebuah totalitas, novel mempunyai bagian-bagian atau unsur yang berkaitan satu

dengan yang lain secara erat dan saling menguntungkan. Sehingga dengan

unsur-unsur tersebut keterpaduan sebuah novel akan terwujud. Unsur-unsur-unsur yang

terkandung dalam novel adalah unsur instrinsik dan unsur ekstrinsik.

2.5.1 Unsur Instrinsik

Unsur instrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu

sendiri atau dapat juga dikatakan unsur-unsur yang secara langsung membangun

cerita. Adapun unsur pembentuk yang dibangun oleh unsur instrinsik sebagai

(14)

a. Tema

Tema adalah ide, gagasan, pandangan hidup pengarang yang

melatarbelakangi ciptaan karya sastra. Karena sastra merupakan refleksi

kehidupan masyarakat, maka tema yang diungkapkan dalam karya sastra sangat

beragam. Tema bisa berupa persoalan moral, etika, agama, sosial, budaya,

teknologi, tradisi yang terkait erat dengan masalah kehidupan. Namun, tema bisa

berupa pandangan pengarang, ide, atau keinginan pengarang yang mensiasati

persoalan yang muncul.

Istilah tema menurut (Scharbach dalam Aminuddin, 2000:91) berasal dari

bahasa latin yang berarti tempat meletakkan suatu perangkat. Disebut demikian

karena tema adalah ide yang mendasari suatu cerita sehingga berperan juga

sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya fiksi yang

diciptakannya. Sebab itulah penyikapan terhadap tema yang diberikan

pengarangnya dengan pembaca umumnya terbalik. Seorang pengarang hatus

memahami tema cerita yang akan dipaparkan sebelum melaksanakan proses

kreatif penciptaan, sementara pembaca baru dapat memahami tema bila mereka

telah selesai memahami unsur-unsur signifikan yang menjadi media pemapar tema

tersebut.

Sedangkan Brooks dalam Aminuddin (2000:92) mengungkapakan bahwa

dalam mengapresiasikan tema suatu cerita, apresiator harus memahami ilmu-ilmu

humanitas karena tema sebenarnya merupakan pendalaman dan hasil kontemplasi

pengarang yang berkaitan dengan masalah kemanusiaan serta masalah lain yang

bersifat universal. Tema dalam hal ini tidaklah berada di luar cerita, tetapi inklusif

(15)

tidaklah terumus dalam satu dua kalimat secara tersurat, tetapi tersebar di balik

keseluruhan unsur-unsur signifikan atau media pemapar prosa fiksi. Dalam upaya

memahami tema, pembaca perlu memperhatikan langkah berikut secara cermat:

1. Memahami setting dalam prosa fiksi yang dibaca.

2. Memahami penokohan dan perwatakan para pelaku dalam prosa fiksi yang

dibaca.

3. Memahami satuan peristiwa, pokok pikiran serta tahapan peristiwa dalam

prosa fiksi yang dibaca.

4. Memhami plot atau alur cerita dalam prosa fiksi yang dibaca.

5. Menghubungkan pokok-pokok pikiran yang satu dengan lainnya yang

disimpulkan dari satuan-satuan peristiwa yang tepapar dalam suatu cerita.

6. Menentukan sikap penyair terhadap pokok-pokok pikiran yang

ditampilkannya.

7. Mengidentifikasi tujuan pengarang memaparkan ceritanya dengan bertolak

dari satuan pokok pikiran serta sikap penyair terhadap pokok pikiran yang

ditampilkannya.

8. Menafsirkan tema dalam cerita yang dibaca serta menyimpulkannya dalam

satu dua kalimat yang diharapkan merupakan ide dasar cerita yang

(16)

b. Plot/ Alur Cerita

Salah satu elemen terpenting dalam membentuk karya fiksi adalah plot.

Dalam analisis cerita plot sering juga deisebut dengan alur. Alur atau plot pada

karya sastra pada umumnya adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh

tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin suatu cerita yang dihardirkan oleh para

pelaku dalam suatu cerita. Tahapan peristiwa yang menjalin suatu cerita bisa

terbentuk dalam rangkaian peristiwa yang berbagai macam (Aminuddin, 2000:83).

Menurut Suroto (1989:89), alur atu plot ialah jalan cerita yang berupa

peristiwa-peristiwa yang disusun satu persatu dan saling berkaitan menurut sebab

akibat dari awal sampai akhir ceritaa. Dari pengertian tersebut jelah bahwa setiap

cerita tidak berdiri sendiri.

Dalam cerita fiksi atau cerpen urutan peristiwa dapat beraneka ragam.

Montage dan Henshaw dalam Aminuddin (2000:84) menjelaskan bahwa tahapan

peristiwa dalam plot suatu cerita dapat tersusun dalam tahapan-tahapan sebagai

berikut:

- Exposition : yakni tahap awal yang berisi penjelasan tentang tempat

terjadinya peristiwa serta perkenalan dari setiap pelaku yang mendukung

cerita.

- Inciting force: yakni tahap ketika timbul kekuatan, kehendak maupun

perilaku yang bertentangan dari pelaku.

- Rising action : yakni situasi panas karena pelaku-pelaku dalm cerita mulai

berkonflik.

- Crisis: yakni situasi semakin panas dan para pelaku sudah diberi gambaran

(17)

- Climax: yakni situasi puncak ketika konflik berada dalam kadar yang

paling tinggi hingga para pelaku itu mendapatkan kadar nasibnya

sendiri-sendiri.

- Falling action: yakni kadar konflik sudah menurun sehingga ketegangan

dalam cerita sudah mulai mereda sampai menuju conclusion atau

penyelesaian cerita.

Dalam pengertiannya elemen plot hanyalah didasarkan pada paparan

mulai peristiwa, berkembangnya peristiwa yang mengarah pada konflik yang

memuncak, dan penyelesaian terhadap konflik.

Berdasarkan fungsi plot dalam membangun nila estetik cerita, makan

identifikasi dan penilaian terhadap keberadaan plot menjadi sangat beraneka

ragam. Keberagaman tersebut paling tidak dapat dilihat dari tiga prinsip utama

analisis plot yang meliputi:

1. Plots of action, analisis proses perubahan peristiwa secara lengkap, baik muncul secara bertahap maupun tiba-tiba pada situasi yang dihadapi tokoh

utama, dan sejauh mana urutan peristiwa yang dianggap sudah tertulis itu,

berpengaruh terhadap perilaku dan pemikiran tokoh ytang bersangkutan

dalam menghadapi situasi tersebut.

2. Plots of character, proses perubahan perilaku atau moralitas secara lengkap dari tokoh utama kaitannya dengan tindakan emosi dan perasaan.

3. Plots of thought, proses perubahan secara lengkap kaitannya dengan perubahan pemikiran tokoh utama dengan segala konsukuensinya

(18)

Perubahan perilaku, moral, pemikiran atau pandangan, dan

konflik-konflik yang dialami oleh tokoh cerita serta peristiwa-peristiwa yang muncul

memang seharusnya dijalani oleh para tokohnya. Dalam plots of action terjadi

pada perilau yang ingin mengabdi dan membela klannya dari musuh. Plots of

character fokus utama terjadinaya perubahan moral, karakter atau emosi tokoh

cerita. untuk mengetahui jalinan plots of character adalah dengan menganalisis

setiap perubahan perilaku atau emosi dari tokoh. Pada plot of thought, penekanan

utama yang menyebabkan perubahan emosi atau perasaan tokoh didasari pada

situasi yang dihadapi secara langsung.

c. Tokoh

Tokoh dalam karya fiksi tidak hanya berfungsi untuk memainkan cerita,

tetapi juga berperan untuk menyampaikan ide, motif, plot, dan tema, dan

menempati posisi strategis sebagai pembawa dan menyampaikan pesan, amanat,

moral atau sesuatu yang sengaja aingin disampaikan kepada pembaca (Fananie,

2001: 86). Istilah “tokoh‟ menunjukkan pada orangnya, pelaku cerita. penokohan

adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam

sebuah cerita. tokoh cerita (character), menurut Abrams dalam Nurgiyantoro

(1995:165), adalah orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama,

yang oleh pembaca ditafssirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan

tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam

tindakan.

Boultoun dalam Aminuddin (2000:79) mengungkapkan bahwa cara

(19)

di alam mimpi, pelaku yang memiliki semangat perjuangan dalam

mempertahankan hidupnya. Pelaku yang memiliki cara sesuai dengan kehidupan

manusia yang sebenarnya maupun pelaku egois, kacau, dan mementingkan diri

sendiri. Dalam cerita fiksi pelaku itu dapat berupa manusia atau tokoh makhluk

lain yang diberi sifat seperti manusia. Dalam menentukan tokoh utama dan tokoh

pembantu, yang pada umunya merupakan tokoh yang sering dibicarakan oleh

pengarang, sedangkan tokoh tambahan hanya dibicarakan alakadarnya.

Tokoh peristiwa dan tempat yang disebut-sebut dalam fiksi adalah tokoh,

peristiwa, dan tempat yang bersifat imajiner. Walau bersifat imajiner namun ada

juga karya fiksi atau novel yang berdasarkan diri pada fakta. Karya fiksi yang

demikian oleh Abrams dalam Nurgiyantoro (1995:4) digolongkan sebagai fiksi

nonfiksi (nonfiction fiction), yang terbagi atas (1) fiksi historial (historical fiction)

atau novel historis, jika yang menjadi dasar penulisan fakta sejarah; (2) fiksi

biografis (biographical fiction) atau novel biografis; jika yang menjadi dasar

penulisan fakta biografis dan; (3) fiksi sains (science fiction) atau novel sains; jika

yang menjadi dasar penulisannya fakta ilmu pengetahuan. dilihat dari

penggolongannya, maka penulis memasukkan novel “Uesugi Kenshin, yang

merupakan objek penelitian ini, ke dalam novel historis karena terikat oleh

fakta-fakta yang dikumpulkan melalui penelitian dari berbagi sumber.

d. Sudut pandang

Menurut Aminuddin (2000:90) sudut pandang adalah cara pengarang

menampilkan para pelaku dalam cerita yang dipaparkanya. Cara atau pandangan

(20)

latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk sebuah cerita dalam sebuah karya

fiksi kepada pembaca.

Dengan demikian sudut pandang pada hakikatnya merupakan strategi,

Teknik, siasat yang secara sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan

gagasan ceritanya.

e. Gaya bahasa

Gaya bahasa merupakan tingkah laku pengarang dalam menggunakan

bahasa dalam membuat karyanya. Gaya bahasa yang digunakan pengarang

berbeda satu sama lain. hal ini dapat menjadi sebuah ciri khas seorang pengarang.

f. Amanat

Amanat merupakan pesan moral atau hikmah yang ingin disampaikan

pengarang pada pembacanya. Moral dalam karya sastra biasanya mencerminkan

pandangan hidup pengarang yang bersangkutan, pandangannya tentang nilai-nilai

kebenaran dan hal itulah yang ingin disampaikan pada pembacanya.

2.5.2 Unsur Ekstrinsik

Unsur ekstrinsik adalah unsur yang berada di luar karya sastra itu sendiri.

Unsur ekstrinsik adalah unsur luar sastra yang ikut mempengaruhi penciptaan

kaarya sastra. Unsur tersebut meliputi latar belakang pengarang, keyakinan dan

pandangan hidup pengarang, adat istiadat yang berlaku, situasi politik, persoalan

sejarah, ekonomi dan pengetahuan agama. Unsur ekstrinsik untuk tiap karya sastra

sama, unsur ini mencakup berbagai aspek kehidupan sosial yang tampaknya

menjadi latar belakang penyampaian amanat cerita dan tema. Selain unsur-unsur

(21)

kehidupan pengarang pun cukup besar pengaruhnya terhadaap terciptanya suatu

karya sastra.

2.6 Setting Cerita

Menurut Brook dalam Simanjuntak (2011:34), latar adalah latar belakang

fisik, unsur tempat dan ruang di dalam cerita. Wellek dan Werren dalam Syafitri

(2012:35) juga mengemukakan bahwa latar adalah lingkungan alam sekitar,

terutama lingkungan dalam yang dipandang sebagai pengekspresian watak secara

metominik dan metafori.

Hudson dalam Syafitri (2012:36) membagi setting/latar cerita atas latar fisik (material) dan latar sosial. Yang termasuk latar fisik adalah latar yang berupa

benda-benda fisik seperti bangunan rumah, kamar, perabotan, daerah, dan

sebagainya. Latar sosial meliputi pelukisan keadaan sosial budaya, sosial

masyarakat; seperti adat istiasat, cara hidup, bahasa kelompok sosial, dan sikap

hidupnya yang melewati cerita.

Tentu latar membantu kejelasan jalan cerita, sehingga dalam membahas

setting/latar cerita dalam novel ini, penulis akan menjelasankan latar tempat dan

latar waktu sebagai berikut:

1. Latar Tempat

Latar tempat menjelaskan pada lokasi terjadinya peristiwa yang

diceritakan dalam sebuah karya sastra. Unsur-unsur yang digunakan berupa

tempat-tempat dengan nama tertentu, ataupun lokasi tanpa nama yang jelas.

Dalam novel Uesugi Kenshin, mengangkat tema daimyo, sebagian besar

(22)

beberapa latar tempat terjadinya peristiwa dalam novel Uesugi Kenshin adalah

sebagai berikut;

1. Kastel Umayabashi

Hal ini terlihat jelas pada kalimat berikut: “Mereka sedang berada di

Kastel Umayabashi” ( Halaman 6 )

2. Kastel Toyama

Hal ini terlihat jelas pada kalimat berikut: “Pada tahun lalu Kenshin

mengarahkan pasukan ke Ecchu untuk menghancurkan klan Jimbo di

Kastel Toyama” ( Halaman 9 )

3. Dusun Ikushina

Hal ini terlihat jelas pada kalimat berikut : “Sejak datang ke Joshu,

Kenshi sudah dua kali ke Ikushina untuk mengadakan upacara

peringatan Nitta Yoshida ( Halaman 14 )

4. Kyoto

Hal ini terlihat jelas pada kalimat: “Kenshi sudah berkunjung ke Kyoto

saat dia masih berusia muda pada tahun kedua puluh dua era Tenbun

(1554 M )” ( Halaman 17 )

5. Kastel Odawara

Hal ini dapat terlihat jelas pada kalimat berikut: “Setelah semuanya siap,

pasukan Kanto kenrei yang merupakan gabungan pasukan Jomo dan Boso dibawah pimpinan Kenshin bergerak menuju Kastel Odawara

dengan tuduhan atas kesalahan Hojo Ujiyasu” ( Halaman 23 )

(23)

Hal ini dapat terlihat jelas pada kalimat berikut: “Timbulnya api

peperangan lagi di Kastel Warigadake membuat penduduk ketakutan,”

“perang lagi” ( Halaman 28 )

7. Kastel Kasugayama

Hal ini dapat terlihat jelas pada kalimat berikut: “Walaupun jembatan

terbawa arus, air tidak mengurus. Mari berangkat, kembali ke Kastel

Warigadake” ( Halaman 34 )

8. Kastel Ko atau Kastel Tsutsujigasaki

Hal ini dapat terlihat jelas pada kalimat berikut: “Kastel itu begitu besar

sampai-sampai tidak dapat dilukiskan kata-kata. Kastel tersebut adalah

Ko atau Tsutsujigasaki. Itulah markas besar Takeda Shingen di Kofu”

( Halaman 47 )

2. Latar Waktu

Latar waktu berhubungan dengan masalah kapan terjadinya

peristiwa-peritiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Biasanya dapat dihubungkan

dengan waktu faktual atau waktu yang ada kaitannya dengan peristiwa sejarah.

Dalam novel Uesugi Kenshin ini, biasanya berlatar waktu di siang atau

malam hari. Namun ada juga beberapa latar yang terdapat dalam novel ini

menggunakan tahun, yang terdapat pada halaman 6, yang menyatakan pada tahun

(24)

2.7 Biografi Pengarang

Eiji Yoshikawa (吉 川 英 治 Yoshikawa Eiji , lahir 11 Agustus 1892 –

meninggal 7 September 1962 pada umur 70 tahun) adalah seorang pengarang

novel sejarah Jepang yang mungkin adalah salah satu pengarang terbaik dan

paling terkenal di genre tersebut. Banyak di antara novel-novel terkenalnya

merupakan revisi terhadap karya-karya terdahulu. Ia terutama terpengaruh oleh

kisah-kisah klasik seperti Kisah Heike (平 家 物 語 Heike Monogatari), Kisah

Genji (源 氏 物 語 Genji Monogatari), Batas Air, dan Kisah Tiga Negara, yang

selanjutnya banyak ia kisahkan kembali. Sebagai contoh, manuskrip asli Taiko

yang sebanyak 15 jilid dikisahkan kembali olehnya dalam bahasa yang lebih

mudah dicerna serta buku Musashi. Buku-buku karyanya yang lain juga bertujuan

serupa dan walaupun sebagian besar novelnya bukanlah cerita asli, ia menciptakan

sangat banyak karya dan menumbuhkan minat baru terhadap sejarah. Ia

dianugrahi berbagai penghargaan seperti Penghargaan Budaya (文化勲章 Bunka

Kunshō) pada tahun 1960 serta Penghargaan Harta Berharga (瑞宝章Zuihōsho)

sebelum kematiannya karena kanker pada tahun 1962.

Nama aslinya Hidetsugu Yoshikawa. Di Prefektur Kanagawa, dalam apa yang

sekarang menjadi bagian dari Yokohama. Karena bisnis gagal ayahnya, ia harus

drop out dari sekolah dasar untuk bekerja ketika ia berusia 11 tahun. Ketika ia

berusia 18, setelah kecelakaan yang hampir fatal bekerja di dermaga Yokohama,

ia pindah ke Tokyo dan menjadi magang dalam sebuah workshop lacquer emas.

Sekitar waktu ini ia menjadi tertarik pada haiku komik. Dia bergabung dengan

(25)

Ia berasal dari keluarga samurai miskin. Kesulitan keuangan dalam keluarganya

menyebabkan Yoshikawa terhenti sekolah di SD. Ia lalu bekerja macam-macam

untuk bisa hidup, termasuk bekerja di galangan kapal.

Pada 1914, dengan The Tale of Enoshima, ia memenangkan hadiah pertama

dalam lomba penulisan novel disponsori oleh penerbit Kodansha. Ia bergabung

dengan surat kabar Maiyu Shimbun pada tahun 1921, dan pada tahun berikutnya

ia mulai serializations penerbitan, dimulai dengan Kehidupan Shinran.

Ia menikah Yasu Akazawa pada tahun 1923, tahun gempa bumi Great Kanto.

Pengalaman dalam gempa memperkuat tekadnya untuk membuat tulisan karirnya.

Pada tahun-tahun berikutnya ia menerbitkan cerita di berbagai majalah diterbitkan

oleh Kodansha, yang dikenal sebagai seorang penulis jumlah mereka. Dia

menggunakan 19 nama-nama pena sebelum menetapkan Eiji Yoshikawa. Dia

pertama kali menggunakan nama pena dengan serialisasi Sword Trouble, Woman

Trouble. Namanya menjadi kata rumah tangga setelah Secret Record of Naruto

serial di Osaka Mainichi Shimbun. Sejak saat itu selera masyarakat untuk merek

penulisan petualangan yang tak pernah puas.

Pada 1930-an, tulisannya menjadi introspektif, mencerminkan masalah yang

berkembang dalam kehidupan pribadinya. Namun pada tahun 1935, dengan

serialisasi Musashi, tentang pemain pedang terkenal Miyamoto Musashi, di Asahi

Shimbun, tulisannya menetap pas ke dalam genre petualangan fiksi sejarah.

Setelah pecahnya perang dengan China pada tahun 1937 Shimbun Asahi

mengirimnya ke lapangan sebagai koresponden khusus. Pada saat ini ia bercerai

(26)

dan menjadi lebih banyak dipengaruhi oleh budaya Cina. Di antara karya-karya

periode ini adalah Taiko dan dia kembali menceritakan dari Kisah Tiga Kerajaan.

Pada akhir perang ia berhenti menulis dan duduk untuk masa pensiun yang tenang

di Yoshino (Oumeshi sekarang-hari) di pinggiran Tokyo, namun ia segera mulai

menulis lagi pada tahun 1947. pasca-perang-karya meliputi Baru Kisah tentang

Heike, diterbitkan dalam Mingguan Asahi (1950), dan A Record Swasta Perang

Pasifik (1958).

Dialah menulis buku Musashi dan Taiko. Buku yang sangat melegenda, buku

yang dapat dijadikan sumber inspirasi dan semangat hidup. Usia 19 tahun ia

pindah ke Tokyo dan mulai menulis senryu atau haiku lucu. Haiku ialah puisi

pendek khas Jepang yang sangat indah. Sesudah dua tahun menjadi reporter di

Maonichi Shimbun, ia memantapkan diri menjadi novelis profesional. Berbagai

jenis novel ditulisnya : humor, thriller, roman. Tidak jarang ia menulis sekaligus

tiga novel. Semuanya ditulis menggunakan nama samaran, sebelumnya akhirnya

ia memutuskan memakai nama samaran Eiji. Sejak tahun 1930, terjadi perubahan

pada gaya penulisannya. Ia mengekspresikan pandangan-pandangan zamannya

dengan setting masa lampau atau sejarah. Selama perang dengan Cina, ia menulis

laporan-laporan perjalanan. Dan sementara itu ia menyelesaikan

terjemahan/adaptasi kisah populer Cina, Kisah tentang Tiga Kerajaan. Sampai saat

meninggalkannya pada tahun 1962, Eiji Yoshikawa menjadi salah satu novelis

(27)

Karya-karya Eiji:

Musashi, Musashi Book I: The Way of the Samurai, Musashi Book II: The Art of

War, Musashi Book III: The Way of the Sword, Musashi Book IV: The Bushido

Code, Musashi Book V: The Way of Life and Death,Taiko: An Epic Novel of

War and Glory in Feudal Japan, Heike Story: A Modern Translation of the Classic

Referensi

Dokumen terkait

masa depan  Mengartikan kalimat thayyibah melalui bertanya jawab  Menirukan ucapan guru melafalkan kalimat basmalah  Menyanyikan lagu basmalah  Kerja berpasangan

[r]

 Siswa membaca literatur tentang Kalimat Thayyibah masyaa Allah dan subhanallah (fase eksplorasi).  Bertanya jawab tentang Kalimat Thayyibah masyaa Allah dan subhanallah,

Membiasakan berakhlak baik terhadap kedua orang tua dalam kehidupan sehari-hari melalui kisah Nabi Ismail.. Menghindari sikap durhaka kepada kedua orang tua melalui

Titik L10, L11, L12, L13, L15, dan L17 berada pada KM 27 sampai KM 30 yang berlokasi di pekon Luas berpotensi longsor pada tebing jalan jalur transek dan untuk titik L15

Penyiapan anakan Sengon berjumlah 100 batang (75 batang untuk penelitian dan sisanya 25 batang untuk persiapan penyulaman). Kemudian dilanjutkan penyiapan bidang

Permukaan Jalan Lingkungan 76% - 100% area memiliki kualitas permukaan jalan yang buruk dan tidak sesuai standar teknis 51% - 75% area memiliki kualitas permukaan jalan yang buruk

• Menjelaskan gambaran umum secara singkat mengapa (why) kegiatan tersebut dilaksanakan dan alasan penting kegiatan tersebut dilaksanakan serta keterkaitan kegiatan yang