BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Banyak sekali dampak yang ditimbulkan dalam praktek trafficking. Dampak dari praktek ini memberikan efek domino, dimana akan membuka gerbang kriminal lainnya
seperti narkoba. Pemerintah, dalam hal ini pemerintah pusat maupun daerah juga turut
serta dalam merasakan permasalahan yang ditimbulkan oleh praktek perdagangan
manusia, yaitu terganggunya keamanan wilayahnya.
Konsep dasar dari Trafficking in Persons (perdagangan manusia) adalah bentuk dari eksploitasi manusia yang dilakukan oleh sesama manusia, dengan cara
menghilangkan hak-hak yang dimiliki manusia yang dieksploitasi. Protokol Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) dalam urusan obat-obatan dan kriminal (United Nations Office on
Drugs and Crime) mendefinisikan perdagangan manusia (trafficking) sebagai beberapa aksi seperti perekrutan, pemindahan, pelepasan, dan atau penerimaan manusia dengan
cara ancaman dan paksaan untuk keperluan eksploitasi. Menurut Damone (2010)
perdagangan manusia telah ada sejak 200 tahun yang lalu, dan bahkan sejak saat itu,
Inggris dan Amerika Serikat telah secara resmi melarang perdagangan budak
transatlantik1.
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 21 Tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, pengertian perdagangan manusia
adalah:
“tindakan perekrutan, penampungan, pengangkutan, pengiriman, pemindahan atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penculikan, penggunaan kekerasan, penyekapan, penipuan, pemalsuan,
1 Perdagangan manusia melewati jalur Samudra Atlantik. Pada saat itu, orang Afrika diselundupkan melalui
penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, memberi bayaran atau penjeratan utang atau manfaat sehingga dapat memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan antar negara maupun di dalam negara, demi tujuan untuk mengekspoitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi”
Saat ini tidak banyak yang berubah mengenai praktek trafficking yang terjadi. Kemudahan migrasi masuk dan keluar dari suatu negara mempermudah terjadinya
trafficking. Keadaan ini dengan leluasa dimanfaatkan oleh oknum-oknum pelaku kejahatan trafficking. Data terpercaya dan resmi tentang kuantitas kasus trafficking masih belum banyak dilaporkan, baik oleh organisasi-organisasi dunia, regional, maupun lokal.
Walaupun demikian diperkirakan sedikitnya 12 juta orang di seluruh dunia menjadi
korban trafficking dan setengahnya merupakan perempuan dan anak-anak perempuan (UNICRI, 2004). Perempuan dan anak kebanyakan menjadi korban trafficking untuk tujuan eksploitasi seksual.
ASEAN (Association of Southeast Asian Nation) merupakan bentuk organisasi regional negara-negara di Asia Tenggara yang dibentuk dengan tujuan menjadikan
kawasan yang terintegrasi dengan berlandaskan 3 (tiga) pilar yaitu Pilar
Politik-Keamanan ASEAN, Pilar Ekonomi ASEAN, dan Pilar Sosial Budaya ASEAN, untuk
menjadikan satu Masyarakat ASEAN. Pilar Politik-Keamanan ASEAN bertujuan untuk
tercapainya suatu kawasan yang damai dan stabil, dengan memajukan nilai hak asasi
manusia dan demokrasi (Majalah Masyarakat ASEAN, 2015). Selain kerjasama yang
dilakukan tidak hanya dengan negara-negara anggota ASEAN saja, melainkan dengan
negara-negara mitra wicara2 ASEAN lainnya. Bentuk kerjasama yang dilakukan
2 Mitra wicara ASEAN merupakan kerjasama ASEAN dengan negara-negara atau organisasi internasional
diluar dari keanggotaan ASEAN. Terdapat 11 mitra wicara ASEAN, antara lain, China, Jepang, Korea Selatan, Rusia, Amerika Serikat, Australia, Selandia Baru, Uni Eropa, Kanada, India, dan organisasi regional. (Kerja Sama Eksternal ASEAN Mitra Wicara Organisasi Internasional ASEAN. Retrieved from
Indonesia untuk ketiga pilar Masyarakat ASEAN ini tidak terlepas dari kepentingan
nasional Indonesia.
Salah satu bentuk kerjasama ASEAN dalam pilar Politik-Keamanan adalah dalam
ASEAN Convention Against Trafficking in Persons, Especially Woman and Children
(ACTIP) yang disahkan di Kuala Lumpur, Malaysia pada 21 November 2015. Konvensi
ini berisikan 31 article, sebagai landasan ASEAN dalam menangani kasus trafficking,
dengan pertimbangan bahwa kasus ini menjadi ancaman bagi stabilitas keamanan
ASEAN. Indonesia menjadi salah satu negara yang mendorong agar adanya sebuah
instrument yang mengikat mengenai penanggulangan dan pencegahan permasalahan
trafficking terlebih di kawasan, menimbang kepentingan Indonesia dalam permasalahan
trafficking sangatlah besar.
Dalam ACTIP, trafficking in persons (perdagangan manusia) diartikan sebagai:
“recruitment, transportation, transfer, harbouring or receipt of
persosns, by means of threat or use of force or other forms of coercion, of abduction, of fraud, of deception, of the abuse of power or of a position of vulnerability or of the giving or receiving of payments or benefits to achieve the consent of a person having control over another person, for the purpose of exploitation”
Tujuan utama dalam ACTIP ini adalah untuk mencegah dan menangani
permasalahan trafficking, terlebih pada perempuan dan anak, serta hukuman bagi mereka yang melakukan perdagangan manusia. Konvensi ini juga dibuat berdasarkan
pertimbangan dalam deklarasi ASEAN dan PBB mengenai hak asasi manusia. ACTIP
mengharuskan negara-negara anggota ASEAN untuk menerapkan konvensi ini kedalam
peraturan dalam negerinya mengenai penanggulangan dan pencegahan trafficking.
Di Indonesia, permasalahan trafficking merupakan sebuah permasalahan yang terus meningkat. Untuk perdagangan anak-anak saja (child trafficking), terdapat
kecenderungan peningkatan selama kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir dari 410 kasus
pada tahun 2010 meningkat menjadi 480 kasus di tahun 2011 dan menjadi 673 kasus pada
sumber, transit dan tujuan dari trafficking, khususnya terhadap perempuan dan anak. Tujuan utama trafficking adalah eksploitasi terlebih dalam bidang prostitusi dan ekpolitasi terhadap anak. Fenomena trafficking ini semakin beragam bentuk dan modusnya. Banyak pelacuran baik di area lokalisasi maupun ditempat-tempat pelacuran
terselubung seperti di kafe, panti pijat, salon kecantikan plus-plus, hotel dan lain-lain
yang mulai menjamur, baik di dalam maupun luar negeri.
Di Sulawesi Utara, kecenderungan praktek trafficking juga semakin meningkat. Aswiyati dkk. (2013) mengemukakan bahwa kasus trafficking terkhususnya pada perempuan dan anak yang terangkat oleh Kepolisian Daerah Sulawesi Utara, pada tahun
2011, mencapai 30 kasus. Mengacu pada data tersebut, diperkirakan oleh
organisasi-organisasi swadaya masyarakat bahwa angka ini hanya 5% dari data sesungguhnya.
Artinya, masih terdapat 95% (sekitar 370 kasus) yang tidak terlaporkan.
Pada tahun 2010 menurut data BP3A (Badan Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak) Provinsi Sulawesi Utara terdapat 30 anak dan 27 orang dewasa
merupakan korban trafficking. Tahun 2011 menurut data dari rumah perlindungan dan anak, terdapat 23 kasus perdagangan perempuan namun hanya 4 kasus yang sampai di
pengadilan. Pada tahun 2012 terdapat 278 kasus kekerasan terhadap anak, 80 persen
diantaranya merupakan kekerasan seksual, fisik, serta trafficking.
Dari data-data tersebut, Sulawesi Utara sudah termasuk salah satu
provinsi sending area untuk trafficking di Indonesia, walaupun sebelumnya sudah ada kebijakan dalam bentuk Perda yakni Perda No.1 tahun 2004 tentang Pemberantasan
Perdagangan Manusia (trafficking) terutama perempuan dan anak dan Perda No. 249
tahun 2010 tentang Pembentukan Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak
Pidana Perdagangan Orang Provinsi Sulawesi Utara. Kedua peraturan tersebut
Memperhatikan adanya peraturan pemerintah pusat dan daerah terkait dengan
permasalahan trafficking, maka konvensi ini yang nyatanya mengatur tidak hanya permasalahan perdagangan manusia di suatu negara saja, melainkan juga di wilayah
ASEAN, memberikan pertanyaan kepada penulis mengenai peran konvensi ACTIP
dalam mengatasi permasalahan trafficking, serta dinamika proses penerapan peraturan dalam penyelesaian masalah trafficking terkhususnya di Sulawesi Utara. Hal ini
mencangkup mengenai tindakan apa yang telah ditempuh oleh pemerintah pusat dan atau
terlebih khusus pemerintah daerah beserta lembaga-lembaga terkait dengan keberadaan
instrument ACTIP terhadap penanggulangan tindak pidana perdagangan manusia di
Sulawesi Utara. Kemudian selain itu, penulis juga akan melihat sejauh mana peran
peraturan terkait dalam penanggulangan permasalahan trafficking di Indonesia, terlebih khusus di Sulawesi Utara.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini:
1. Bagaimana peran ASEAN Convention Against Trafficking in Persons dalam mengatasi permasalahan trafficking di Sulawesi Utara?
2. Bagaimana dinamika proses penerapan peraturan ASEAN Convention Against
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui peran ASEAN Convention Against Trafficking in Persons dalam mengatasi permasalahan trafficking di Sulawesi Utara.
2. Mengetahui dinamika proses penerapan peraturan ASEAN Convention
Against Trafficking in Persons dalam mengatasi permasalahan trafficking di Sulawesi Utara.
1.4 Manfaat Penelitian
1. Manfaat Praktis : untuk memberikan tambahan pengetahuan kepada
masyarakat mengenai peran dari ASEAN Convention Against Trafficking in Persons dalam mengatasi permasalahan trafficking, khususnya di Sulawesi Utara. Selain itu juga memberi tambahan pengetahuan terhadap peneliti yang
meneliti topik terkait.
2. Manfaat teoritis : untuk menperoleh gambaran mengenai pengaruh ASEAN Convention Against Trafficking in Persons dalam mengatasi permasalahan
1.5 Definisi Konsep
Konsep merupakan pengertian dasar atau definisi dari apa yang akan dijadikan
sebuah telaah ilmiah. Konsep adalah gagasan atau pikiran yang dideskripsikan dalam
berbagai cara (Chilcote, 2010:23). Konsep yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Konsep Perdagangan Manusia (human trafficking atau trafficking in persons) dan Konsep Hukum Internasional.
Definisi mengenai trafficking (perdagangan manusia) telah dibahas dalam forum-forum internasional sehingga dipahami sebagai sebuah permasalahan internasional.
Dalam Protokol PBB, perdagangan manusia adalah kegiatan mencari, mengirim,
memindahkan, menampung atau menerima tenaga kerja dengan ancaman, kekerasan atau
bentuk-bentuk pemaksaan lainnya. Bentuk-bentuk pemaksaan itu antara lain adalah
menculik, menipu, memperdaya, membujuk korban, menyalahgunakan kekuasaan atau
wewenang atau memanfaatkan ketidaktahuan, keingintahuan, ketidak berdayaan dan
tidak adanya perlindungan terhadap korban atau dengan memberikan atau menerima
pembayaran atau imbalan untuk mendapatkan izin atau persetujuan dari orang tua, wali
atau orang lain yang mempunyai wewenang atas diri korban dengan tujuan untuk
memeras tenaga (mengeksploitasi korban) (Lapian, 2006: 132-133).
Kejahatan perdagangan manusia juga tergolong dalam persoalan kejahatan
terorganisir, yang disebut dengan A Transnational-Crime (Kejahatan Terorganisasi Secara Transnasional). Dalam Protokol Palermo (Protocol to Prevent, Suppress and
Punish Trafficking in Persons, Especially Woman and Children, Supplementing The United Nation Convention Against Transnational Organized Crime), trafficking in persons (perdagangan manusia) dimengerti sebagai bentuk
exploitation, forced labour, or service, slavery or practices similar to
slavery, servitude or the removal of organs’.
Konsep Hukum Internasional menurut para ahli Hubungan Internasional (Baylis;
et.al, 2011: 280-290), muncul akibat kejenuhan dari situasi perang yang sangat merugikan hanya untuk mencapai kepentingan dan keamanan suatu negara. Oleh karena
itu negara-negara perlahan menginginkan adanya kebebasan dari kondisi perang dengan
sedikit membuat aturan internasional (international order) yang sampai sekarang tetap bertahan dan menjadi kepentingan bersama dari banyak negara. Untuk membuat sebuah
international order, negara harus membuat institusi internasional. Institusi internasional merupakan kumpulan atas kompleksitas norma, peraturan, dan praktek yang ‘prescribe
behavioral roles, constrain activity, and shape expectations’. Institusi yang dimaksudkan
dalam penelitian ini adalah ASEAN(Association of Southeast Asian Nation)
Selanjutnya dalam kajian Hubungan Internasional, hukum internasional
merupakan sebuah pencampuran dari perilaku dan kebiasaan antar negara yang menjadi
norma atau aturan hukum bersama (Sefrani, 2011: 9). Lebih lanjut dikatakan bahwa
hukum internasional adalah hukum antar bangsa bukan hukum diatas
bangsa-bangsa. Hukum internasional menurut Andrew T. Guzman (dalam Sefrani, 2015: 11)
dapat mempengaruhi perilaku negara dalam bermasyarakat.
Hubungan antara Hubungan Internasional dan Hukum Internasional adalah suatu
pola tertentu menyangkut tingkah laku negara dalam hubungannya satu dengan yang lain