BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi Ketinggian
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, ketinggian merupakan tinggi suatu titik di atas bidang acuan dimana acuan yang biasanya digunakan adalah tinggi rata-rata dari permukaan laut.
Dalam sebuah studi, definisi ketinggian berdasarkan rentang tinggi suatu tempat dari permukaan laut. Ketinggian terdiri dari tiga skala, yaitu tinggi (2438 – 2658 meter), sangat tinggi (3658 – 5487 meter), dan ekstrim ( >5500 meter) (Febriana, Yunus, dan Wiyono, 2003).
2.2. Fisiologi Tubuh terhadap Kondisi di Ketinggian
Berbagai aktivitas manusia bisa dilakukan di ketinggian, misalnya terkait olahraga, bercocok tanam, tujuan pariwisata, dan aktivitas-aktivitas lainnya. Namun, ketinggian tersebut menjadi tantangan tersendiri untuk bertahan hidup. Temperatur yang begitu rendah, kecepatan angin yang tinggi, kelembapan yang rendah, peningkatan intensitas radiasi matahari, dan penurunan tekanan atmosfer merupakan berbagai tantangan yang harus dihadapi bagi mereka di ketinggian, khususnya para pendaki gunung (Chawla dan Saxena, 2014)
terhadap kondisi ketinggian, ada dua aspek yang berada di dalamnya, yakni hypobaric hypoxia dan aklimatisasi.
2.2.1. Hypobaric hypoxia
Hypobaric hypoxia adalah tekanan parsial oksigen yang menurun yang berbading lurus dengan penurunan tekanan atmosfer di tempat dengan ketinggian tertentu (Chawla dan Saxena, 2014).
Menurut Chawla dan Saxena (2014), berdasarkan Hukum “Ideal Gas”, tekanan parsial suatu gas dapat ditentukan dengan rumus sebagai berikut
P = Fi x B
Keterangan :
• P : Tekanan parsial suatu gas (mmHg)
• Fi : Fraksi molekul suatu gas pada komposisi total gas di bumi (%) • B : Tekanan di lingkungan sekitar (mmHg)
Besar tekanan atmosfer di permukaan laut yaitu 1 atm atau sebesar 760mmHg. Oksigen (O2) merupakan salah satu komponen dalam udara di atmosfer yang membentuk 20,84% total komponen gas di bumi atau dapat dikatakan besar fraksi molekul O2 sebesar 20,84%. Dengan begitu, besar tekanan parsial di permukaan laut, PaO2 = 20,84% × 760 mmHg = 159mmHg (Guyton dan Hall, 2006)
2.2.2. Kompensasi Tubuh Terhadap Ketinggian
Tubuh memiliki berbagai sistem dengan fungsi dan kerja kompartemen yang berbeda-beda, namun saling berkaitan dan membentuk sebuah kesatuan. Begitu pula jika terjadi perubahan, baik perubahan dari dalam tubuh (faktor internal) maupun dari lingkungan sekitar (faktor eksternal). Termasuk dalam bahasan mengenai ketinggian, tubuh juga akan melakukan respon atau kompensasi berupa perubahan berbagai aspek, termasuk perubahan sistem respiratori atau pernafasan, sistem kardiovaskular yang berkaitan erat dengan sistem hematologi, sistem urinary atau perkemihan, dan sistem hormonal (Chawla dan Saxena, 2014).
Gambar 2.1. Perubahan fisiologis terkait kondisi hypobaric hypoxia. (Chawla dan Saxena (2014). Physiology of High-Altitude Acclimatization,
hal. 540, figure 1)
a) Perubahan kondisi sistem respiratori
pertama kali dilakukan oleh Halden dan Priestley (1905), diikuti
Boycott dan Halden (1908) serta Rahn dan Otis (1946) menyebutkan
bahwa bila tekanan barometer menurun, ventilasi meningkat untuk
meminimalkan penurunan PaO2. Peningkatan ventilasi terjadi bila
tekanan oksigen inspirasi menurun sampai kira-kira 13,3 kPa
(kilopascal) atau pada ketinggian 3000 meter dan tekanan oksigen
alveolar kira-kira 8 kPa (tabel 1) (Febriana, Wiyono, dan Yunus,
2003).
Akibat tekanan parsial O2 menurun, maka terjadi peningkatan
deoksigenasi darah yang memicu difusi oksigen ke arteri di pulmonary system menurun diikuti perfusi oksigen ke jaringan menurun. Mekanisme terjadinya hal tersebut dapat berbeda dan bergantung juga
Tabel 2.1. Tekanan barometer sesuai ketinggian
Febriana, Wiyono, dan Yunus.(2003). Kelainan Paru pada
Pada kondisi hipoksia, terjadi peningkatan kecepatan respirasi dan
berhubungan dengan berbagai kejadian lainnya, seperti pulmonary
hyperventilation, gangguan keseimbangan asam-basa, dan gangguan
metabolic kompleks lainnya. Hiperventilasi di tempat tinggi diatur oleh
kemoreseptor perifer yang terletak di aorta dan sinus karotis.
Kemoreseptor tersebut peka terhadap perubahan tekanan parsial O2
arteri dan peningkatan tekanan parsial CO2, sehingga memberikan
sinyal terhadap pusat pernafasan tertinggi di otak untuk membentuk
Hypoxic Ventilator Response (HVR) (Chawla dan Saxena, 2014).
HVR atau respon terhadap kondisi hipoksia berupa peningkatan
kecepatan respirasi dan kedalaman ventilasi. HVR melibatkan pons
dan medulla oblongata sebagai pusat pernafasan tertinggi untuk
member sinyal kepada diafragma, otot-otot interkostalis, dan stretch
receptor di paru-paru. Respon ventilasi pada kondisi hipoksia
bertujuan untuk memaksimalkan kemampuan paru dalam difusi gas
dengan meningkatkan ventilasi alveoli. Jika hal itu tercapai, tekanan
parsial O2 di rongga alveoli dapat meningkat hingga 25-30% (Chawla
dan Saxena, 2014).
Seperti telah disebutkan sebelumnya, respon ventilasi memiliki
proses yang bervariasi antar individu. Selain itu, waktu atau onset
terjadinya juga dapat berbeda-beda. Awal respon ventilasi dapat
ditutupi dengan terjadinya alkalosis respiratorik yang bersamaan
sebelum ventilasi semakin meningkat sehubungan dengan status
asam-basa.
b) Perubahan kondisi sistem kardiovaskular dan hematologi
Adaptasi tubuh terhadap kondisi hipoksia di ketinggian utamanya
ditandai dengan peningkatan saraf simpatis. Begitu pula dengan
berperan penting dalam modulasi kardiovaskular bila berada di tempat
yang lebih tinggi (Lanfranchi et al., 2005).
Segala kondisi pada sistem kardiovaskular berhubungan erat
dengan pernafasan (sistem respirasi). Jantung adalah organ utama yang
bekerja sebagai pompa untuk mengalirkan darah ke seluruh tubuh.
Secara tidak langsung, jantung juga berperan penting dalam
transportasi O2 ke seluruh tubuh. Transportasi O2 atau Oxygen Delivery
(DO2) dapat dirumuskan dengan
DO2 = Q × AO2
Keterangan :
• DO2 : Oxygen Delivery
• Q : Volume jantung sekuncup dalam satu menit (Cardiac Output)
• AO2 : Arterial Oxygen
Menurut Richard et al. (2014), untuk menjaga oksigenasi darah
arteri tetap adekuat, tubuh melakukan hiperventilasi pada kondisi
hipoksia supaya hal tersebut dapat terwujud. Hal tersebut terkazit
hiperventilasi karena ketinggian akan diikuti peningkatan curah
jantung, frekuensi jantung dan tekanan darah sistemik (Levitzky MG
(1999), Levine et al. (1999), dan Schoene et al. (2000), dikutip dalam
Febriana, Wiyono, dan Yunus, 2003)
Terkait respirasi dan aliran darah, khususnya aliran darah
pulmoner, respon hiperventilasi akan diikuti perubahan sistem
kardiovaskular. Penjelasan mengenai ini berhubungan dengan
perangsangan simpatis sistem kardiovaskular yang menyebabkan
perangsangan kemoreseptor arteri dan peningkatan inflasi paru. Selain
menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah pulmoner. Peningkatan
curah jantung, vasokonstriksi hipoksik pulmoner dan rangsang saraf
simpatis pembuluh darah menyebabkan peningkatan tekanan arteri
pulmoner rata-rata yang selanjutnya dapat mengakibatkan hipertensi
pulmoner serta peningkatan kerja ventrikel kanan (Febriana, Wiyono,
dan Yunus, 2003).
Darah—sebagai komponen di dalam sistem kardiovaskular—
beperan dalam proses-proses yang telah dijabarkan. Penelitian tahun
2007 oleh Windsdor dan Rodway yang mengatakan bahwa oksigenasi
arteri darah dapat optimal dengan cara meningkatkan hematokrit,
hemoglobin, dan eritrosit. Dalam kondisi 2-3 jam hipoksia, tubuh akan
melakukan kompensasi terkait peningkatan kadar eritropetin tersebut.
Selanjutnya, eritropoetin akan menstimulus sumsum tulang untuk
mensintesis sel darah merah (eritrosit). Dengan peningkatan kadar
eritropoetin, maka sintesis eritrosit akan meningkat dan diikuti dengan
peningkatan kadar hematokrit dan hemoglobin (Chawla dan Saxena,
2012).
Selain itu, Wagner et al. (2007) dalam Chawla dan Saxena (2012)
menjelaskan bahwa tahap-tahap tersebut dapat dicapai dengan
meningkatkan kadar 2,3-diphosphoglycerate (2,3-DPG) supaya
mengoptimalkan kompensasi tubuh dalam trasportasi dan perfusi O2.
2,3-DPG merupakan substansi di eritrosit dan berperan sebagai
allosteric regulator dalam afinitas O2 dan hemoglobin (HbO2).
Afinitas O2 dan hemoglobin akan menurun oleh karena peran 2,3-DPG
sehingga terjadi pelepasan O2 dari darah dan perfusi O2 ke jaringan.
Menurut Lundby dan Olsen (2011) dikutip dalam Heo et al.
(2014), eritropoetin (EPO) meningkatkan O2 di arteri tidak hanya
dengan meningkatkan volume eritrosit, tetapi juga dengan menurunkan
volume plasma. EPO juga dapat meningkatkan kualitas fungsional dari
c) Perubahan Keseimbangan Cairan dan Asam Basa
Respon ventilasi pada kondisi hipoksia diawali dengan alkalosis respiratorik tak terkompensasi. Ini dapat mengaburkan respon ventilasi inisal dimana kondisi alkalosis respiratorik akan meningkatkan pH arteri yang diikuti menurunkan output kemoreseptor perifer. Selanjutnya , terjadi penurunan difusi karbon dioksida melewati blood brain barrier sehingga terjadinya penurunan kemoreseptor sentral oleh
karena penurunan konsentrasi ion hidrogen pada cairan serebrospinal. Dalam beberapa hari, timbul asidosis metabolic yang melibatkan pembuangan bikarbonat oleh ekskresi renal. Kondisi asidosis metabolik berkontribusi meningkatkan ventilasi. (Luks, 2014)
d) Perubahan siklus tidur
Menurut Weil (2004) dikutip dalam Luks (2014), siklus tidur biasanya mengalami gangguan dimana semakin tinggi suatu tempat yang didaki akan meningkatkan insidensi kualitas tidur yang buruk, kesadaran, dan perubahan pola tidur.
Manifestasi klinis yang signifkan pada gangguan tidur ini, yaitu central sleep apnea, oleh karena ventilasi yang meningkat di
ketinggian yang bersamaan dengan tidak adanya peran kortikal saat tidur sebagai feedback-control system (Luks, 2014).
2.3. Aklimatisasi
2.3.1. Definisi Aklimatisasi
Aklimatisasi merupakan proses membaiknya toleransi dan penampilan
individu setelah beberapa jam sampai beberapa minggu yang berkaitan dengan
faktor-faktor tertentu atau karakteristik dari suatu lingkungan. Faktor tersebut
antara lain temperatur lingkungan, ketinggian, iklim, dan cuaca. Aklimatisasi
bertujuan untuk mempertahankan homeostasis tubuh dan tidak jatuh terhadap
kondisi patologis (West, 2013).
2.3.2. Aklimatisasi pada Ketinggian
Aklimatisasi terhadap ketinggian bertujuan untuk mengantarkan oksigen ke
jaringan dapat berjalan dengan baik. Dalam hal ini, Palmer (2010) menyebutkan
bahwa perubahan fisiologis yang terjadi sehubungan aklimatisasi di ketinggian
adalah sebagai berikut :
a. Peningkatan ventilasi secara involunter.
b. Peningkatan konsentrasi hemoglobin.
• Memengaruhi hemokonsentrasi sehubungan dengan volume plasma (dalam beberapa hari).
• Meningkatkan jumlah sel darah merah atau eritrosit (2-3 minggu). c. Peningkatan afinitas hemoglobin dengan oksigen
• Pergeseran kurva disasosiasi oksigen ke kiri dari penurunan PCO2
dan peningkatan pH.
d. Penurunan cardiac output
• Peningkatan waktu difusi O2 dari alveolus ke kapiler akibat aliran darah melambat.
2.4. Acute Mountain Sickness (AMS)
2.4.1. Definisi AMS
Menurut Rennie et al. (1976) dan Subramanyam et al. (1969) dikutip dalam
kepustakaan Roach et al. (2000), Acute Mountain Sickness (AMS) adalah sindrom
yang muncul pada para petualang ke ketinggian dengan melakukan pendakian ke
tempat yang terlalu tinggi dan atau terlalu cepat.
Definisi AMS berbeda lagi pada kepustakaan atau studi lainnya. Misalnya,
kelompok Lake Louis Consensus mendefinisikan AMS dengan adanya sakit
kepala pada individu yang tidak mampu aklimatisasi dan baru saja berada di
ketinggian di atas 2500 m disertai dengan satu atau lebih gejala-gejala sebagai
berikut; masalah gastrointestinal (anorexia, nausea, atau muntah), insomnia,
oyong, kelelahan (Hackett dan Roach, 2001).
2.4.2. Epidemiologi AMS
Tingginya suatu tempat dan kecepatan pendakian merupakan variabel
utama dalam terjadinya AMS. Semakian tinggi suatu tempat dan cepat waktu
pendakian, angka insidensi terjadi AMS juga semakin besar. Sebuah studi yang
disebutkan dalam situs web Altitude Research Center dari Universitas Colorado
Anschutz Medical, 22% dari mereka yang mendaki hingga ketinggian 7000 –
9000 kaki akan mengalami AMS, dan 42% mengalami AMS jika berada di
ketinggian lebih dari 10000 kaki. Dan diduga sekitar 30 juta jiwa memiliki risiko
untuk mengalami AMS setiap tahunnya.
Dalam studi lain, disebutkan bahwa sekitar 22-77% dari petualang,
khususnya pendaki gunung, mengalami AMS di rentang ketinggian 1850-5895
meter di atas permukaan laut (mdpl) (Luks, 2014). Jika berdasarkan jenis kelamin,
antara laki-laki dan perempuan tidak memeliki perbedaan untuk mengalami AMS
(Palmer, 2010). Tetapi, hal tersebut berbeda dengan Hackett et al. (1976) dikutip
dalam Sharma ( 2010) yang menyebutkan bahwa insidensi kejadian AMS
sebesar 53% persen pada laki-laki dan 51% pada perempuan. Kejadian AMS
Menurut Hanaoka (2000) dikutip dalam Febriyana, Wiyono, dan Yunus (2003),
laki-laki dan perempuan dapat menderita AMS walaupun perempuan lebih
cenderung terkena AMS
Acute High Altitude Illness (AHAI), termasuk di dalamnya AMS, mengenai
pada kelompok orang yang tidak menetap di ketinggain tertentu atau dengan kata
lain mereka melakukan pendakian. Berbeda dengan para penduduk atau
orang-orang menetap tinggal di ketinggian, yang mana mereka lebih mudah mengalami
chronic mountain sickness (Monge disease). Sekitar 50-70% pendaki gunung
umumnya mengalami AMS, meskipun insidensi bergantung pada kecepatan
pendakian dan juga skala ketinggian. Insidensi AHAI juga dikelompokkan
berdasarkan ketinggian dengan AMS umumnya terjadi pada ketinggian di atas
2500 mdpl (Smedley dan Grocott, 2013).
Studi lain menyebutkan bahwa AMS mungkin terjadi pada individu yang
mendaki ke ketinggian di atas 2500 mdpl dan dilaporkan bahwa 53% di antaranya
terjadi pada ketinggian di atas 4000 mdpl (Lanfranchi et al., 2005).
Ketinggian memengaruhi proses terjadinya AMS. Dalam hal ini, sekitar
6-8 % disebutkan sebagai persentase terjadinya peningkatan frekuensi nadi dan
ventilasi pada ketinggian 2700 mdpl, meskipun pada ketinggian di atas 3000
mdpl. Saturasi O2 pada orang yang belum terkena AMS masih dapat mencapai
lebih dari 90% (Küpper et al., 2010).
Menurut Luks, Rodway et al. (2014), AMS dapat terjadi berdasarkan 3
kelompok kategori risiko, yaitu :
d) Rendah
• Individu tanpa riwayat altitude illness dan tidak pernah mendaki gunung ≤ 2800 mdpl.
• Individu memakan waktu ≥2 hari untuk mendaki gunung 2500-3000 m.
e) Sedang
• Individu tanpa riwayat AMS dan mendaki gunung > 2800 mdpl dalam 1 hari.
• Semua individu yang mendaki gunung dengan ketinggian sekitar 3000-3500 mdpl dan dengan kecepatan > 500 m per hari.
f)Tinggi
• Individu dengan riwayat AMS dan mendaki gunung > 2800 mdpl dalam 1 hari.
• Semua individu dengan riwayat HAPE atau HACE.
• Semua individu yang mendaki gunung dengan ketinggian > 3500 mdpl.
• Semua individu yang mendaki gunung dengan ketinggian > 3500 mdpl dan dengan kecapatan > 500 m per hari
• Pendakian gunung yang sangat cepat.
2.4.3. Patofisiologi AMS
Menurut Sharma (2010), Acute Mountain Sickness tidak terjadi dengan
onset cepat dan begitu saja. AMS terjadi dalam beberapa jam di ketinggian, tetapi
mekanismenya sehubungan dengan hipoksia akibat tekanan parsial O2 lebih
rendah belum dapat dijelaskan secara pasti. Pada respon tubuh normal terhadap
ketinggian, tubuh akan mengalami diuresis. Sementara pada kejadian AMS,
terjadi hal sebaliknya dimana terjadi antidiuresis.
Mengenai patofisiologi terjadinya AMS, proses pasti terjadinya AMS tidak
diketahui. Hipoksia yang menginduksi vasodilatasi serebral dan efeknya seperti
Nitrit Oksida (NO) dianggap menjadi penyebab timbulnya nyeri kepala melalui
aktivasi sistem trigeminovaskular. AMS mungkin berhubungan dengan
kemampuan individu untuk mengkompensasi edema otak. Individu yang
mempunyai rasio cairan serebrospinal cranial lebih besar, akan lebih baik dalam
mengkompensasi edema melalui pemindahan cairan serebrospinal sehingga lebih
tinggi saat sampai di ketinggian lebih mudah terkena AMS (Febriana, Wiyono,
dan Yunus (2003).
Menurut Clarke (2006), ada beberapa faktor yang terlibat dalam
patogenesis AMS. Faktor-faktor tersebut yaitu :
1. Faktor genetik
Orang-orang tertentu memiliki kecenderungan untuk terkena AMS dan
altitude oedema. Meskipun belum secara pasti dapat dijelaskan, namun
hal itu diduga berkaitan dengan angiotensin-converting enzyme genes
dan polimorfisme pulmonary surfactant protein A.
2. Respon seluler terhadap kondisi hipoksia.
Misalnya, mitochondrial acclimatization dan penjalaran impuls di jalur
axon yang melambat.
3. Perubahan yang terjadi di mikrovaskular.
Berdasarkan hipotesis tersebut, perubahan mikrovaskular yang terjadi bersifat
unik dimana kondisi hipoksia menyebabkan perfusi berlebihan pada pembuluh
darah kecil (mikrovaskular), khususnya di otak dan paru-paru. Hal ini dikarenakan
oleh aktivasi vascular endothelial growth factor yang dipicu oleh
mediator-mediator seperti hypoxia-inducible factor dan nitric oxide (Clarke, 2006).
2.4.4. Gejala Klinis dan Diagnosis AMS
Menurut Heo et al. (2014), gejala utama AMS berupa sakit kepala. Selain
itu, manifestasi klinis AMS yaitu :
1. Masalah gastro-intestinal (Misalnya : anorexia, nausea, dan muntah)
2. Kelelahan (fatigue)
4. Gangguan tidur
5. Retensi cairan
6. Oligouria
Manifestasi klinis AMS jarang timbul pada ketinggian di bawah 2000
mdpl dan biasanya terjadi 6-10 jam setelah pendakian,namun terkadang dapat
timbul 1 jam setelah pendakian (Hackett dan Roach, 2001)
Menurut Richard (2014) menyebutkan, diagnosis AMS dapat ditegakkan
bila baru saja melakukan pendakian hingga ketinggian di atas 2500 mdpl dan
diikuti sakit kepala diikuti satu atau lebih manifestasi klinis lainnya.
Selain itu, retensi cairan merupakan tanda klasik AMS, dimana normalnya
aklimatisasi tubuh akan mengalami dieresis. Retensi cairan ditandai dengan
oliguria diserta edema, baik di wajah maupun perifer. Jika terjadi perburukkan,
maka sakit kepala akan semakin parah dan gejala lain yang menyertai dapat
semakin buruk. Bahkan, jika terus berlanjut, dapat terjadi penurunan atau
gangguan status menta dan koordinasi pergerakkan. Hal itu dapat dipicu oleh
karena edema serebral yang mana menyebabkan kompresi struktur otak diikuti
peningkatan tekanan intrakranial sehingga dapat terjadi ataxia, stupor, dan
kelemahan saraf kranial III dan IV. Koma dapat terjadi bila hal ini terus
dibiarkan atau tidak ditangani segera (Gomersall et al., 2012).
2.4.5. Tatalaksana dan Pencegahan AMS
Menurut Richard (2014), prinsip penatalaksanaan AMS terdiri dari tiga hal,
yakni :
1. Hindari atau jangan melakukan pendakian ke ketinggian lebih lanjut.
2. Jika pasien telah diberi tatalaksana awal, tidak menunjukkan
perbaikan atau respon, segera evakuasi ke tempat yang lebih rendah.
3. Jika pasien menunjukkan gejala AMS berat dan bahkan sudah masuk
ke tahap edema serebri (High Altitude Cerebral Edema), maka segera
Umumnya sebelum melakukan berbagai intervensi, membawa pasien
AMS ke tempat dengan ketinggian yang lebih rendah, merupakan opsi utama,
khususnya pada kejadian AMS berat. Sebuah studi menjelaskan bahwa
mengevakuasi pasien AMS ke tempat dengan ketinggian 500—1000 meter yang
lebih rendah memberikan dampak positif atau pasien menunjukkan perbaikan
yang bermakna. Selain itu, perlu juga diberikan terapi oksigen dan ada baiknya
kedua hal tersebut dikombinasikan supaya penanganan dapat optimal (Luks,
2014).
Namun, jika tidak memungkinkan untuk mengevakuasi pasien atau
memberikan terapi oksigen, tatalaksana secara farmakologi bersifat krusial.
Secara farmakologi, Acetazolamide dan Dexamethasone merupakan obat yang
sering diberikan pada pasien AMS. Bahkan, tak jarang kedua obat ini juga
digunakan untuk pencegahan AMS (Palmer, 2010).
Sebuah studi menunjukkan bahwa jika Acetazolamide dibandingkan
placebo, Acetazolamide memberikan respon perbaikan dengan persentase
sekitar 74% dalam waktu 24 jam. Berbagai studi lain mengungkapkan bahwa
Dexamethasone memberikan respon yang lebih baik dan efektif dibandingkan
dengan pemberian Acetazolamide dan hanya dalam waktu 12 jam. Namun,,
kombinasi Dexamethasone dan Acetazolamide belum diketahui lebih efektif
dikarenakan kerja obat tersebut berbeda (Hackket dan Roach, 2001)
Antioksidan alpha lipoic, vitamin C dan vitamin E bekerja secara sinergi
untuk proteksi tubuh dari kerusakan radikal bebas dan kerusakan vaskular yang
diinduksi hipoksia (Baillie et al., 2009)
.
Pereventif lebih baik daripada kuratif. Maka, pencegahan AMS merupakan
hal utama yang sebaiknya dilakukan para pendaki gunung. Pencegahan tersebut
mudah diterapkan oleh para pendaki gunung, sekalipun bukan paramedis
ataupun mereka yang tidak paham bidang medis. Chawla dan Saxena (2014)
Tabel 2.2. Anjuran bagi para pendaki gunung
(Chawla dan Saxena (2014), Physiology of High Altitude Acclimatization,hal.
547, tabel. 2)
Sebaiknya dilakukan Sebaiknya tidak dilakukan
Mendaki perlahan-lahan. Aktivitas berlebihan dan tidak perlu,
serta berjalan terlalu cepat saat
pendakian.
Istirahat yang cukup, khususnya pada
72 jam pertama.
Hindari mengonsumsi alcohol dan pil
tidur.
Minum yang cukup untuk menghindari
dehidrasi dan makan makanan yang
banyak serat dan rendah garam.
Jangan melanjutkan pendakian jika
terdapat tanda-tanda AMS.
Gunakan kacamata pelindung dan
pakaian yang berlapis.
Jangan ragu untuk meminta bantuan
medis atau turun ke ketinggian lebih
rendah jika kesehatan fisik maupun