• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Pengetahuan Pendaki Gunung tentang Acute Mountain Sickness (AMS) pada Mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Gambaran Pengetahuan Pendaki Gunung tentang Acute Mountain Sickness (AMS) pada Mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU)"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Ketinggian

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, ketinggian merupakan tinggi suatu titik di atas bidang acuan dimana acuan yang biasanya digunakan adalah tinggi rata-rata dari permukaan laut.

Dalam sebuah studi, definisi ketinggian berdasarkan rentang tinggi suatu tempat dari permukaan laut. Ketinggian terdiri dari tiga skala, yaitu tinggi (2438 – 2658 meter), sangat tinggi (3658 – 5487 meter), dan ekstrim ( >5500 meter) (Febriana, Yunus, dan Wiyono, 2003).

2.2. Fisiologi Tubuh terhadap Kondisi di Ketinggian

Berbagai aktivitas manusia bisa dilakukan di ketinggian, misalnya terkait olahraga, bercocok tanam, tujuan pariwisata, dan aktivitas-aktivitas lainnya. Namun, ketinggian tersebut menjadi tantangan tersendiri untuk bertahan hidup. Temperatur yang begitu rendah, kecepatan angin yang tinggi, kelembapan yang rendah, peningkatan intensitas radiasi matahari, dan penurunan tekanan atmosfer merupakan berbagai tantangan yang harus dihadapi bagi mereka di ketinggian, khususnya para pendaki gunung (Chawla dan Saxena, 2014)

(2)

terhadap kondisi ketinggian, ada dua aspek yang berada di dalamnya, yakni hypobaric hypoxia dan aklimatisasi.

2.2.1. Hypobaric hypoxia

Hypobaric hypoxia adalah tekanan parsial oksigen yang menurun yang berbading lurus dengan penurunan tekanan atmosfer di tempat dengan ketinggian tertentu (Chawla dan Saxena, 2014).

Menurut Chawla dan Saxena (2014), berdasarkan Hukum “Ideal Gas”, tekanan parsial suatu gas dapat ditentukan dengan rumus sebagai berikut

P = Fi x B

Keterangan :

• P : Tekanan parsial suatu gas (mmHg)

• Fi : Fraksi molekul suatu gas pada komposisi total gas di bumi (%) • B : Tekanan di lingkungan sekitar (mmHg)

Besar tekanan atmosfer di permukaan laut yaitu 1 atm atau sebesar 760mmHg. Oksigen (O2) merupakan salah satu komponen dalam udara di atmosfer yang membentuk 20,84% total komponen gas di bumi atau dapat dikatakan besar fraksi molekul O2 sebesar 20,84%. Dengan begitu, besar tekanan parsial di permukaan laut, PaO2 = 20,84% × 760 mmHg = 159mmHg (Guyton dan Hall, 2006)

(3)

2.2.2. Kompensasi Tubuh Terhadap Ketinggian

Tubuh memiliki berbagai sistem dengan fungsi dan kerja kompartemen yang berbeda-beda, namun saling berkaitan dan membentuk sebuah kesatuan. Begitu pula jika terjadi perubahan, baik perubahan dari dalam tubuh (faktor internal) maupun dari lingkungan sekitar (faktor eksternal). Termasuk dalam bahasan mengenai ketinggian, tubuh juga akan melakukan respon atau kompensasi berupa perubahan berbagai aspek, termasuk perubahan sistem respiratori atau pernafasan, sistem kardiovaskular yang berkaitan erat dengan sistem hematologi, sistem urinary atau perkemihan, dan sistem hormonal (Chawla dan Saxena, 2014).

Gambar 2.1. Perubahan fisiologis terkait kondisi hypobaric hypoxia. (Chawla dan Saxena (2014). Physiology of High-Altitude Acclimatization,

hal. 540, figure 1)

a) Perubahan kondisi sistem respiratori

(4)

pertama kali dilakukan oleh Halden dan Priestley (1905), diikuti

Boycott dan Halden (1908) serta Rahn dan Otis (1946) menyebutkan

bahwa bila tekanan barometer menurun, ventilasi meningkat untuk

meminimalkan penurunan PaO2. Peningkatan ventilasi terjadi bila

tekanan oksigen inspirasi menurun sampai kira-kira 13,3 kPa

(kilopascal) atau pada ketinggian 3000 meter dan tekanan oksigen

alveolar kira-kira 8 kPa (tabel 1) (Febriana, Wiyono, dan Yunus,

2003).

Akibat tekanan parsial O2 menurun, maka terjadi peningkatan

deoksigenasi darah yang memicu difusi oksigen ke arteri di pulmonary system menurun diikuti perfusi oksigen ke jaringan menurun. Mekanisme terjadinya hal tersebut dapat berbeda dan bergantung juga

(5)

Tabel 2.1. Tekanan barometer sesuai ketinggian

Febriana, Wiyono, dan Yunus.(2003). Kelainan Paru pada

(6)

Pada kondisi hipoksia, terjadi peningkatan kecepatan respirasi dan

berhubungan dengan berbagai kejadian lainnya, seperti pulmonary

hyperventilation, gangguan keseimbangan asam-basa, dan gangguan

metabolic kompleks lainnya. Hiperventilasi di tempat tinggi diatur oleh

kemoreseptor perifer yang terletak di aorta dan sinus karotis.

Kemoreseptor tersebut peka terhadap perubahan tekanan parsial O2

arteri dan peningkatan tekanan parsial CO2, sehingga memberikan

sinyal terhadap pusat pernafasan tertinggi di otak untuk membentuk

Hypoxic Ventilator Response (HVR) (Chawla dan Saxena, 2014).

HVR atau respon terhadap kondisi hipoksia berupa peningkatan

kecepatan respirasi dan kedalaman ventilasi. HVR melibatkan pons

dan medulla oblongata sebagai pusat pernafasan tertinggi untuk

member sinyal kepada diafragma, otot-otot interkostalis, dan stretch

receptor di paru-paru. Respon ventilasi pada kondisi hipoksia

bertujuan untuk memaksimalkan kemampuan paru dalam difusi gas

dengan meningkatkan ventilasi alveoli. Jika hal itu tercapai, tekanan

parsial O2 di rongga alveoli dapat meningkat hingga 25-30% (Chawla

dan Saxena, 2014).

Seperti telah disebutkan sebelumnya, respon ventilasi memiliki

proses yang bervariasi antar individu. Selain itu, waktu atau onset

terjadinya juga dapat berbeda-beda. Awal respon ventilasi dapat

ditutupi dengan terjadinya alkalosis respiratorik yang bersamaan

sebelum ventilasi semakin meningkat sehubungan dengan status

asam-basa.

b) Perubahan kondisi sistem kardiovaskular dan hematologi

Adaptasi tubuh terhadap kondisi hipoksia di ketinggian utamanya

ditandai dengan peningkatan saraf simpatis. Begitu pula dengan

(7)

berperan penting dalam modulasi kardiovaskular bila berada di tempat

yang lebih tinggi (Lanfranchi et al., 2005).

Segala kondisi pada sistem kardiovaskular berhubungan erat

dengan pernafasan (sistem respirasi). Jantung adalah organ utama yang

bekerja sebagai pompa untuk mengalirkan darah ke seluruh tubuh.

Secara tidak langsung, jantung juga berperan penting dalam

transportasi O2 ke seluruh tubuh. Transportasi O2 atau Oxygen Delivery

(DO2) dapat dirumuskan dengan

DO2 = Q × AO2

Keterangan :

• DO2 : Oxygen Delivery

• Q : Volume jantung sekuncup dalam satu menit (Cardiac Output)

• AO2 : Arterial Oxygen

Menurut Richard et al. (2014), untuk menjaga oksigenasi darah

arteri tetap adekuat, tubuh melakukan hiperventilasi pada kondisi

hipoksia supaya hal tersebut dapat terwujud. Hal tersebut terkazit

hiperventilasi karena ketinggian akan diikuti peningkatan curah

jantung, frekuensi jantung dan tekanan darah sistemik (Levitzky MG

(1999), Levine et al. (1999), dan Schoene et al. (2000), dikutip dalam

Febriana, Wiyono, dan Yunus, 2003)

Terkait respirasi dan aliran darah, khususnya aliran darah

pulmoner, respon hiperventilasi akan diikuti perubahan sistem

kardiovaskular. Penjelasan mengenai ini berhubungan dengan

perangsangan simpatis sistem kardiovaskular yang menyebabkan

perangsangan kemoreseptor arteri dan peningkatan inflasi paru. Selain

(8)

menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah pulmoner. Peningkatan

curah jantung, vasokonstriksi hipoksik pulmoner dan rangsang saraf

simpatis pembuluh darah menyebabkan peningkatan tekanan arteri

pulmoner rata-rata yang selanjutnya dapat mengakibatkan hipertensi

pulmoner serta peningkatan kerja ventrikel kanan (Febriana, Wiyono,

dan Yunus, 2003).

Darah—sebagai komponen di dalam sistem kardiovaskular—

beperan dalam proses-proses yang telah dijabarkan. Penelitian tahun

2007 oleh Windsdor dan Rodway yang mengatakan bahwa oksigenasi

arteri darah dapat optimal dengan cara meningkatkan hematokrit,

hemoglobin, dan eritrosit. Dalam kondisi 2-3 jam hipoksia, tubuh akan

melakukan kompensasi terkait peningkatan kadar eritropetin tersebut.

Selanjutnya, eritropoetin akan menstimulus sumsum tulang untuk

mensintesis sel darah merah (eritrosit). Dengan peningkatan kadar

eritropoetin, maka sintesis eritrosit akan meningkat dan diikuti dengan

peningkatan kadar hematokrit dan hemoglobin (Chawla dan Saxena,

2012).

Selain itu, Wagner et al. (2007) dalam Chawla dan Saxena (2012)

menjelaskan bahwa tahap-tahap tersebut dapat dicapai dengan

meningkatkan kadar 2,3-diphosphoglycerate (2,3-DPG) supaya

mengoptimalkan kompensasi tubuh dalam trasportasi dan perfusi O2.

2,3-DPG merupakan substansi di eritrosit dan berperan sebagai

allosteric regulator dalam afinitas O2 dan hemoglobin (HbO2).

Afinitas O2 dan hemoglobin akan menurun oleh karena peran 2,3-DPG

sehingga terjadi pelepasan O2 dari darah dan perfusi O2 ke jaringan.

Menurut Lundby dan Olsen (2011) dikutip dalam Heo et al.

(2014), eritropoetin (EPO) meningkatkan O2 di arteri tidak hanya

dengan meningkatkan volume eritrosit, tetapi juga dengan menurunkan

volume plasma. EPO juga dapat meningkatkan kualitas fungsional dari

(9)

c) Perubahan Keseimbangan Cairan dan Asam Basa

Respon ventilasi pada kondisi hipoksia diawali dengan alkalosis respiratorik tak terkompensasi. Ini dapat mengaburkan respon ventilasi inisal dimana kondisi alkalosis respiratorik akan meningkatkan pH arteri yang diikuti menurunkan output kemoreseptor perifer. Selanjutnya , terjadi penurunan difusi karbon dioksida melewati blood brain barrier sehingga terjadinya penurunan kemoreseptor sentral oleh

karena penurunan konsentrasi ion hidrogen pada cairan serebrospinal. Dalam beberapa hari, timbul asidosis metabolic yang melibatkan pembuangan bikarbonat oleh ekskresi renal. Kondisi asidosis metabolik berkontribusi meningkatkan ventilasi. (Luks, 2014)

d) Perubahan siklus tidur

Menurut Weil (2004) dikutip dalam Luks (2014), siklus tidur biasanya mengalami gangguan dimana semakin tinggi suatu tempat yang didaki akan meningkatkan insidensi kualitas tidur yang buruk, kesadaran, dan perubahan pola tidur.

Manifestasi klinis yang signifkan pada gangguan tidur ini, yaitu central sleep apnea, oleh karena ventilasi yang meningkat di

ketinggian yang bersamaan dengan tidak adanya peran kortikal saat tidur sebagai feedback-control system (Luks, 2014).

(10)

2.3. Aklimatisasi

2.3.1. Definisi Aklimatisasi

Aklimatisasi merupakan proses membaiknya toleransi dan penampilan

individu setelah beberapa jam sampai beberapa minggu yang berkaitan dengan

faktor-faktor tertentu atau karakteristik dari suatu lingkungan. Faktor tersebut

antara lain temperatur lingkungan, ketinggian, iklim, dan cuaca. Aklimatisasi

bertujuan untuk mempertahankan homeostasis tubuh dan tidak jatuh terhadap

kondisi patologis (West, 2013).

2.3.2. Aklimatisasi pada Ketinggian

Aklimatisasi terhadap ketinggian bertujuan untuk mengantarkan oksigen ke

jaringan dapat berjalan dengan baik. Dalam hal ini, Palmer (2010) menyebutkan

bahwa perubahan fisiologis yang terjadi sehubungan aklimatisasi di ketinggian

adalah sebagai berikut :

a. Peningkatan ventilasi secara involunter.

b. Peningkatan konsentrasi hemoglobin.

• Memengaruhi hemokonsentrasi sehubungan dengan volume plasma (dalam beberapa hari).

• Meningkatkan jumlah sel darah merah atau eritrosit (2-3 minggu). c. Peningkatan afinitas hemoglobin dengan oksigen

• Pergeseran kurva disasosiasi oksigen ke kiri dari penurunan PCO2

dan peningkatan pH.

d. Penurunan cardiac output

• Peningkatan waktu difusi O2 dari alveolus ke kapiler akibat aliran darah melambat.

(11)

2.4. Acute Mountain Sickness (AMS)

2.4.1. Definisi AMS

Menurut Rennie et al. (1976) dan Subramanyam et al. (1969) dikutip dalam

kepustakaan Roach et al. (2000), Acute Mountain Sickness (AMS) adalah sindrom

yang muncul pada para petualang ke ketinggian dengan melakukan pendakian ke

tempat yang terlalu tinggi dan atau terlalu cepat.

Definisi AMS berbeda lagi pada kepustakaan atau studi lainnya. Misalnya,

kelompok Lake Louis Consensus mendefinisikan AMS dengan adanya sakit

kepala pada individu yang tidak mampu aklimatisasi dan baru saja berada di

ketinggian di atas 2500 m disertai dengan satu atau lebih gejala-gejala sebagai

berikut; masalah gastrointestinal (anorexia, nausea, atau muntah), insomnia,

oyong, kelelahan (Hackett dan Roach, 2001).

2.4.2. Epidemiologi AMS

Tingginya suatu tempat dan kecepatan pendakian merupakan variabel

utama dalam terjadinya AMS. Semakian tinggi suatu tempat dan cepat waktu

pendakian, angka insidensi terjadi AMS juga semakin besar. Sebuah studi yang

disebutkan dalam situs web Altitude Research Center dari Universitas Colorado

Anschutz Medical, 22% dari mereka yang mendaki hingga ketinggian 7000 –

9000 kaki akan mengalami AMS, dan 42% mengalami AMS jika berada di

ketinggian lebih dari 10000 kaki. Dan diduga sekitar 30 juta jiwa memiliki risiko

untuk mengalami AMS setiap tahunnya.

Dalam studi lain, disebutkan bahwa sekitar 22-77% dari petualang,

khususnya pendaki gunung, mengalami AMS di rentang ketinggian 1850-5895

meter di atas permukaan laut (mdpl) (Luks, 2014). Jika berdasarkan jenis kelamin,

antara laki-laki dan perempuan tidak memeliki perbedaan untuk mengalami AMS

(Palmer, 2010). Tetapi, hal tersebut berbeda dengan Hackett et al. (1976) dikutip

dalam Sharma ( 2010) yang menyebutkan bahwa insidensi kejadian AMS

sebesar 53% persen pada laki-laki dan 51% pada perempuan. Kejadian AMS

(12)

Menurut Hanaoka (2000) dikutip dalam Febriyana, Wiyono, dan Yunus (2003),

laki-laki dan perempuan dapat menderita AMS walaupun perempuan lebih

cenderung terkena AMS

Acute High Altitude Illness (AHAI), termasuk di dalamnya AMS, mengenai

pada kelompok orang yang tidak menetap di ketinggain tertentu atau dengan kata

lain mereka melakukan pendakian. Berbeda dengan para penduduk atau

orang-orang menetap tinggal di ketinggian, yang mana mereka lebih mudah mengalami

chronic mountain sickness (Monge disease). Sekitar 50-70% pendaki gunung

umumnya mengalami AMS, meskipun insidensi bergantung pada kecepatan

pendakian dan juga skala ketinggian. Insidensi AHAI juga dikelompokkan

berdasarkan ketinggian dengan AMS umumnya terjadi pada ketinggian di atas

2500 mdpl (Smedley dan Grocott, 2013).

Studi lain menyebutkan bahwa AMS mungkin terjadi pada individu yang

mendaki ke ketinggian di atas 2500 mdpl dan dilaporkan bahwa 53% di antaranya

terjadi pada ketinggian di atas 4000 mdpl (Lanfranchi et al., 2005).

Ketinggian memengaruhi proses terjadinya AMS. Dalam hal ini, sekitar

6-8 % disebutkan sebagai persentase terjadinya peningkatan frekuensi nadi dan

ventilasi pada ketinggian 2700 mdpl, meskipun pada ketinggian di atas 3000

mdpl. Saturasi O2 pada orang yang belum terkena AMS masih dapat mencapai

lebih dari 90% (Küpper et al., 2010).

Menurut Luks, Rodway et al. (2014), AMS dapat terjadi berdasarkan 3

kelompok kategori risiko, yaitu :

d) Rendah

• Individu tanpa riwayat altitude illness dan tidak pernah mendaki gunung ≤ 2800 mdpl.

• Individu memakan waktu ≥2 hari untuk mendaki gunung 2500-3000 m.

e) Sedang

(13)

• Individu tanpa riwayat AMS dan mendaki gunung > 2800 mdpl dalam 1 hari.

• Semua individu yang mendaki gunung dengan ketinggian sekitar 3000-3500 mdpl dan dengan kecepatan > 500 m per hari.

f)Tinggi

• Individu dengan riwayat AMS dan mendaki gunung > 2800 mdpl dalam 1 hari.

• Semua individu dengan riwayat HAPE atau HACE.

• Semua individu yang mendaki gunung dengan ketinggian > 3500 mdpl.

• Semua individu yang mendaki gunung dengan ketinggian > 3500 mdpl dan dengan kecapatan > 500 m per hari

• Pendakian gunung yang sangat cepat.

2.4.3. Patofisiologi AMS

Menurut Sharma (2010), Acute Mountain Sickness tidak terjadi dengan

onset cepat dan begitu saja. AMS terjadi dalam beberapa jam di ketinggian, tetapi

mekanismenya sehubungan dengan hipoksia akibat tekanan parsial O2 lebih

rendah belum dapat dijelaskan secara pasti. Pada respon tubuh normal terhadap

ketinggian, tubuh akan mengalami diuresis. Sementara pada kejadian AMS,

terjadi hal sebaliknya dimana terjadi antidiuresis.

Mengenai patofisiologi terjadinya AMS, proses pasti terjadinya AMS tidak

diketahui. Hipoksia yang menginduksi vasodilatasi serebral dan efeknya seperti

Nitrit Oksida (NO) dianggap menjadi penyebab timbulnya nyeri kepala melalui

aktivasi sistem trigeminovaskular. AMS mungkin berhubungan dengan

kemampuan individu untuk mengkompensasi edema otak. Individu yang

mempunyai rasio cairan serebrospinal cranial lebih besar, akan lebih baik dalam

mengkompensasi edema melalui pemindahan cairan serebrospinal sehingga lebih

(14)

tinggi saat sampai di ketinggian lebih mudah terkena AMS (Febriana, Wiyono,

dan Yunus (2003).

Menurut Clarke (2006), ada beberapa faktor yang terlibat dalam

patogenesis AMS. Faktor-faktor tersebut yaitu :

1. Faktor genetik

Orang-orang tertentu memiliki kecenderungan untuk terkena AMS dan

altitude oedema. Meskipun belum secara pasti dapat dijelaskan, namun

hal itu diduga berkaitan dengan angiotensin-converting enzyme genes

dan polimorfisme pulmonary surfactant protein A.

2. Respon seluler terhadap kondisi hipoksia.

Misalnya, mitochondrial acclimatization dan penjalaran impuls di jalur

axon yang melambat.

3. Perubahan yang terjadi di mikrovaskular.

Berdasarkan hipotesis tersebut, perubahan mikrovaskular yang terjadi bersifat

unik dimana kondisi hipoksia menyebabkan perfusi berlebihan pada pembuluh

darah kecil (mikrovaskular), khususnya di otak dan paru-paru. Hal ini dikarenakan

oleh aktivasi vascular endothelial growth factor yang dipicu oleh

mediator-mediator seperti hypoxia-inducible factor dan nitric oxide (Clarke, 2006).

2.4.4. Gejala Klinis dan Diagnosis AMS

Menurut Heo et al. (2014), gejala utama AMS berupa sakit kepala. Selain

itu, manifestasi klinis AMS yaitu :

1. Masalah gastro-intestinal (Misalnya : anorexia, nausea, dan muntah)

2. Kelelahan (fatigue)

(15)

4. Gangguan tidur

5. Retensi cairan

6. Oligouria

Manifestasi klinis AMS jarang timbul pada ketinggian di bawah 2000

mdpl dan biasanya terjadi 6-10 jam setelah pendakian,namun terkadang dapat

timbul 1 jam setelah pendakian (Hackett dan Roach, 2001)

Menurut Richard (2014) menyebutkan, diagnosis AMS dapat ditegakkan

bila baru saja melakukan pendakian hingga ketinggian di atas 2500 mdpl dan

diikuti sakit kepala diikuti satu atau lebih manifestasi klinis lainnya.

Selain itu, retensi cairan merupakan tanda klasik AMS, dimana normalnya

aklimatisasi tubuh akan mengalami dieresis. Retensi cairan ditandai dengan

oliguria diserta edema, baik di wajah maupun perifer. Jika terjadi perburukkan,

maka sakit kepala akan semakin parah dan gejala lain yang menyertai dapat

semakin buruk. Bahkan, jika terus berlanjut, dapat terjadi penurunan atau

gangguan status menta dan koordinasi pergerakkan. Hal itu dapat dipicu oleh

karena edema serebral yang mana menyebabkan kompresi struktur otak diikuti

peningkatan tekanan intrakranial sehingga dapat terjadi ataxia, stupor, dan

kelemahan saraf kranial III dan IV. Koma dapat terjadi bila hal ini terus

dibiarkan atau tidak ditangani segera (Gomersall et al., 2012).

2.4.5. Tatalaksana dan Pencegahan AMS

Menurut Richard (2014), prinsip penatalaksanaan AMS terdiri dari tiga hal,

yakni :

1. Hindari atau jangan melakukan pendakian ke ketinggian lebih lanjut.

2. Jika pasien telah diberi tatalaksana awal, tidak menunjukkan

perbaikan atau respon, segera evakuasi ke tempat yang lebih rendah.

3. Jika pasien menunjukkan gejala AMS berat dan bahkan sudah masuk

ke tahap edema serebri (High Altitude Cerebral Edema), maka segera

(16)

Umumnya sebelum melakukan berbagai intervensi, membawa pasien

AMS ke tempat dengan ketinggian yang lebih rendah, merupakan opsi utama,

khususnya pada kejadian AMS berat. Sebuah studi menjelaskan bahwa

mengevakuasi pasien AMS ke tempat dengan ketinggian 500—1000 meter yang

lebih rendah memberikan dampak positif atau pasien menunjukkan perbaikan

yang bermakna. Selain itu, perlu juga diberikan terapi oksigen dan ada baiknya

kedua hal tersebut dikombinasikan supaya penanganan dapat optimal (Luks,

2014).

Namun, jika tidak memungkinkan untuk mengevakuasi pasien atau

memberikan terapi oksigen, tatalaksana secara farmakologi bersifat krusial.

Secara farmakologi, Acetazolamide dan Dexamethasone merupakan obat yang

sering diberikan pada pasien AMS. Bahkan, tak jarang kedua obat ini juga

digunakan untuk pencegahan AMS (Palmer, 2010).

Sebuah studi menunjukkan bahwa jika Acetazolamide dibandingkan

placebo, Acetazolamide memberikan respon perbaikan dengan persentase

sekitar 74% dalam waktu 24 jam. Berbagai studi lain mengungkapkan bahwa

Dexamethasone memberikan respon yang lebih baik dan efektif dibandingkan

dengan pemberian Acetazolamide dan hanya dalam waktu 12 jam. Namun,,

kombinasi Dexamethasone dan Acetazolamide belum diketahui lebih efektif

dikarenakan kerja obat tersebut berbeda (Hackket dan Roach, 2001)

Antioksidan alpha lipoic, vitamin C dan vitamin E bekerja secara sinergi

untuk proteksi tubuh dari kerusakan radikal bebas dan kerusakan vaskular yang

diinduksi hipoksia (Baillie et al., 2009)

.

Pereventif lebih baik daripada kuratif. Maka, pencegahan AMS merupakan

hal utama yang sebaiknya dilakukan para pendaki gunung. Pencegahan tersebut

mudah diterapkan oleh para pendaki gunung, sekalipun bukan paramedis

ataupun mereka yang tidak paham bidang medis. Chawla dan Saxena (2014)

(17)

Tabel 2.2. Anjuran bagi para pendaki gunung

(Chawla dan Saxena (2014), Physiology of High Altitude Acclimatization,hal.

547, tabel. 2)

Sebaiknya dilakukan Sebaiknya tidak dilakukan

Mendaki perlahan-lahan. Aktivitas berlebihan dan tidak perlu,

serta berjalan terlalu cepat saat

pendakian.

Istirahat yang cukup, khususnya pada

72 jam pertama.

Hindari mengonsumsi alcohol dan pil

tidur.

Minum yang cukup untuk menghindari

dehidrasi dan makan makanan yang

banyak serat dan rendah garam.

Jangan melanjutkan pendakian jika

terdapat tanda-tanda AMS.

Gunakan kacamata pelindung dan

pakaian yang berlapis.

Jangan ragu untuk meminta bantuan

medis atau turun ke ketinggian lebih

rendah jika kesehatan fisik maupun

Gambar

Gambar 2.1. Perubahan fisiologis terkait kondisi hypobaric hypoxia.
Tabel 2.1. Tekanan barometer sesuai ketinggian

Referensi

Dokumen terkait

Kendal PELELANGAN UMUM E-PROCUREMENT Setda Kabupaten Kendal 3 Sewa Gedung/kantor/tempat Rp 121.253.400,- APBD Kab.. Kendal PENUNJUKAN LANGSUNG

Penelitian ini tidak menggunakan tes awal ( pretest ) tetapi hanya menggunakan tes akhir ( posttest ) karena peneliti hanya ingin melihat uji perbedaan antara

(3) Terdapat perbedaan kualitas kecakapan vokasional yang signifikan antara siswa yang diberi dengan yang tidak tidak diberi perlakuan model sistem pembelajaran ICARE, baik

Users will be able to handle several varieties of data, import their dataset using a particular data structure, and then mash them up in the WebWorldWind virtual globe.. A broad

[r]

Topic modelling, a machine learning method that enables us to understand the topics in large text corpora by means of drawing probabilistic distribution over topics and

The objectives of this paper are to semantically recognize, extract and geo-code the content or target location information from the 2011 Queensland Flood CSD (General public Tweets

Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara