BAB I PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Infeksi cacing merupakan permasalahan kesehatan di dunia. Saat ini diperkirakan lebih dari 1,5 miliar orang (24% dari populasi dunia) terinfeksi oleh parasit cacing (WHO., 2015). Masalah kecacingan masih merupakan masalah yang serius di Indonesia. Angka infeksi cacing mencapai 28% dari penduduk Indonesia pada tahun 2013 (Kemenkes, RI., 2015). Kecacingan sering terjadi pada anak-anak, diperkirakan sekitar 270 juta anak usia balita dan 600 juta anak usia sekolah beresiko tinggi terinfeksi parasit cacing di seluruh dunia (WHO., 2015). Setiap tahun sekitar 44 juta ibu hamil mengalami anemia yang disebabkan cacing tambang, yang dapat meningkatkan resiko kematian. Diperkirakan angka kematian per tahun yang disebabkan infeksi cacing mencapai 135.000 di seluruh dunia. Tingkat morbiditas cacing berkaitan dengan intensitas infeksi dan infeksi dari spesies yang berbeda (Samudar, dkk., 2013).
penggunaan antelmintik secara berlebihan dapat menyebabkan resistensi cacing parasit atau penurunan efektifitas antelmintik (Suriptiastuti, 2006). Menurut WHO., (2008) dan Behnke, et al., (2008), resistensi cacing parasit terhadap antelmintik telah terjadi pada hewan dan manusia. Masalah peningkatan resistensi terhadap antelmintik mendorong dilakukannya penelitian untuk menemukan sumber antelmintik baru dari tumbuhan (Dey, 2011; Hussain, et al., 2010).
Secara tradisional, masyarakat telah menggunakan tumbuh-tumbuhan untuk mengobati kecacingan, salah satunya adalah pugun tanoh [Curanga fel-terrae (Lour.) Merr.]. Di Maluku dan Filipina, cairan dekoksi dari tanaman ini digunakan sebagai obat cacing untuk anak-anak (Prohati, 2015). Daun pugun tanoh mengandung flavonoid, glikosida, saponin, tanin, steroid, triterpenoid (Patilaya dan Husori, 2015), ß-sitosterol (Sitorus, dkk., 2014), apigenin (Huang, et al., 2011) dan senyawa kukurbitasin seperti picfeltarraenon II, pifeltarraegenin I, picfeltarraenin IA, IB dan IV (Zou, et al., 2006). Beberapa peneliti telah menyebutkan bahwa senyawa metabolit sekunder tumbuhan seperti flavonoid, tanin dan steroid memiliki aktivitas antelmintik (Hrckova dan Velebny, 2013; Sarojini, et al., 2012). Sravani, et al., (2014) dan Yoon, et al., (2006) juga menyatakan bahwa ß-sitosterol dan apigenin memiliki aktivitas antelmintik.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Apakah karakteristik simplisia dan ekstrak etilasetat daun pugun tanoh [Curanga fel-terrae (Lour.) Merr.] memenuhi persyaratan standar simplisia dan ekstrak?
b. Apakah golongan senyawa kimia yang terdapat dalam serbuk simplisia dan ekstrak etilasetat daun pugun tanoh?
c. Apakah ekstrak etilasetat daun pugun tanoh memiliki aktivitas antelmintik terhadap cacing Pheretima posthuma secara in vitro?
1.3 Hipotesis
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka hipotesis penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Karakteristik simplisia dan ekstrak etilasetat daun pugun tanoh memenuhi persyaratan umum simplisia dan ekstrak.
b. Golongan senyawa kimia yang terdapat pada serbuk simplisia dan ekstrak etilasetat daun pugun tanoh adalah flavonoid, glikosida, saponin, tanin dan steroid/triterpenoid.
c. Ekstrak etilasetat daun pugun tanoh memiliki aktivitas antelmintik terhadap cacing Pheretima posthuma secara in vitro.
1.4 Tujuan Penelitian
b. Mengetahui golongan senyawa kimia yang terkandung dalam simplisia dan ekstrak etilasetat daun pugun tanoh.
c. Mengetahui apakah ekstrak etilasetat daun pugun tanoh memiliki aktivitas antelmintik terhadap cacing Pheretima posthuma secara in vitro.
1.5 Manfaat Penelitian
1.6 Kerangka Pikir Penelitian
Kerangka pikir dalam penelitian ini ditunjukkan pada Gambar 1.1. Variabel bebas Variabel terikat Parameter
hihkhihh
Gambar 1.1 Kerangka pikir penelitian Simplisia daun
pugun tanoh
Ekstrak etilasetat daun pugun tanoh