• Tidak ada hasil yang ditemukan

BANTUAN HUKUM BAGI ORANG ATAU KELOMPOK ORANG MISKIN DALAM PERKARA PIDANA DEMI TERSELENGGARANYA PROSES HUKUM YANG ADIL DI DENPASAR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BANTUAN HUKUM BAGI ORANG ATAU KELOMPOK ORANG MISKIN DALAM PERKARA PIDANA DEMI TERSELENGGARANYA PROSES HUKUM YANG ADIL DI DENPASAR"

Copied!
325
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

BANTUAN HUKUM BAGI ORANG ATAU

KELOMPOK ORANG MISKIN DALAM PERKARA

PIDANA DEMI TERSELENGGARANYA PROSES

HUKUM YANG ADIL DI DENPASAR

DIAH RATNA SARI HARIYANTO

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2014

(2)

TESIS

BANTUAN HUKUM BAGI ORANG ATAU

KELOMPOK ORANG MISKIN DALAM PERKARA

PIDANA DEMI TERSELENGGARANYA PROSES

HUKUM YANG ADIL DI DENPASAR

DIAH RATNA SARI HARIYANTO NIM 1190561037

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2014

(3)

BANTUAN HUKUM BAGI ORANG ATAU

KELOMPOK ORANG MISKIN DALAM PERKARA

PIDANA DEMI TERSELENGGARANYA PROSES

HUKUM YANG ADIL DI DENPASAR

Tesis Untuk Memperoleh Gelar Magister Pada Program Magister, Program Studi Ilmu Hukum

Program Pascasarjana Universitas Udayana

DIAH RATNA SARI HARIYANTO NIM 1190561037

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2014

ii ii

(4)
(5)

Tesis Ini Telah Diuji

Pada Hari Senin, Tanggal 24 Februari 2014

Panitia Penguji Tesis

Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana Nomor 1902/UN14.4/HK/2013, Tanggal 1 Oktober 2013

Ketua : Dr. I Gede Artha, S.H., M.H

Sekretaris : Dr. Ida Bagus Surya Dharma Jaya, S.H., M.H Anggota : 1. Prof. Dr. I Ketut Rai Setiabudhi, S.H., M.S

2. Dr. I Gusti Ketut Ariawan, S.H., M.H

3. Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, S.H., M.Hum, L.L.M

(6)
(7)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat, rahmat, dan karunia-Nyalah penulis dapat menyelesaikan tesis ini yang berjudul “BANTUAN HUKUM BAGI ORANG ATAU KELOMPOK

ORANG MISKIN DALAM PERKARA PIDANA DEMI

TERSELENGGARANYA PROSES HUKUM YANG ADIL DI DENPASAR”. Penyusunan tesis ini adalah bagian yang tidak terpisahkan dari berbagai rangkaian kegiatan akademis yang lain, untuk mendapatkan gelar Magister Hukum pada Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana.

Penulis telah banyak mendapatkan bimbingan, dukungan, motivasi, dan bantuan dari berbagai pihak dalam penyusunan tesis ini, sehingga, tesis ini dapat terselesaikan dengan baik. Penulis menyampaikan rasa hormat dan ucapan terima kasih tulus yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Dr. I Gede Artha, S.H., M.H., dosen pembimbing I dan sekaligus sebagai Pembimbing Akademik.

2. Bapak Dr. Ida Bagus Surya Dharma Jaya, S.H., M.H., dosen pembimbing II. 3. Bapak Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.

P.D-K.E.M.D.

4. Ibu Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. A. A Raka Sudewi, Sp. S. (K).

(8)

5. Bapak Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana, Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, S.H., M.H.

6. Ketua Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana, sekaligus dosen penguji III, Ibu Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, S.H., M.Hum., L.L.M.

7. Sekretaris Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana, Bapak Dr. Putu Tuni Cakabawa L., S.H., M.Hum. 8. Dosen penguji I, Prof. Dr. I Ketut Rai Setiabudhi, S.H., M.S.

9. Dosen penguji II, Bapak Dr. I Gusti Ketut Ariawan, S.H., M.H.

10. Bapak dan Ibu dosen pengajar serta pegawai atau tenaga kependidikan/administrasi (Bapak Made Mustiana, Ibu Agung, Ibu Gung Yun, Diva dan Dandy) di Magister (S2) Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana.

11. Bapak I Nyoman Wiranata, S.H., Anggota Sat. Reskrim Unit Satu Penyidik di Polresta Denpasar.

12. Bapak I Made Sujana, S.H., Anggota Sat. Reskrim Unit Satu Penyidik Pembantu di Polresta Denpasar.

13. Bapak Gunawan Tri Budiono, S.H., Hakim di Pengadilan Negeri Denpasar. 14. Bapak Hasoloan Sianturi, S.H., M.H., Hakim di Pengadilan Negeri Denpasar. 15. Ibu Ni Luh Gede Yastini, S.H., Advokat dan Direktur YLBHI-LBH Bali di

Denpasar.

16. Bapak Alit Sunarya, S.H., Advokat dan Kepala PBHI Wilayah Bali di Denpasar.

(9)

17. Bapak Putu Suta Sadnyana, S.H., M.H., Ketua DPC Perhimpunan Advokat Indonesia Denpasar.

18. Bapak I Ketut Sadi, S.H., PLH Kepala Bidang Pelayanan Hukum Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Bali di Denpasar.

19. Bapak I Putu Gede Darmawan, S.H., M.H., advokat di Denpasar. 20. Bapak Agus Gunawan Putra, S.H., advokat di Denpasar.

21. Bapak A.A. Made Eka Dharmika, S.H., advokat di Denpasar. 22. Bapak Gede Parta Wijaya, S.H., advokat di Denpasar.

23. Bapak Didik Irawan, tersangka di Polresta Denpasar. 24. Bapak I Ketut Suarjana, tersangka di Polresta Denpasar.

25. Keluarga yang telah memberikan doa, semangat dan motivasi dalam penyusunan tesis ini. Khususnya keluarga besar penulis termasuk didalamnya keluarga besar I Made Ada, Pakuduwi Tegalalang Gianyar Bali : I Made Ada, Ni Luh Tui, Ni Luh Putu Inten, I Ketut Gede Sempurna Atmajaya, S.E., I Made Juliana Putra, S.E., Ni Nyoman Ayu Tri Martini, S.E., Ni Putu Mira Artati, S.E., dan I Nyoman Darmawan.

26. Teman-teman penulis, teman-teman terdekat yang selalu membantu dan memberikan doa, semangat dan motivasi dalam penyusunan tesis ini diantaranya : Ida Bagus Wirya Dharma, S.H., I Gusti Ayu Eviani Yuliantari, S.H., I Dewa Gede Dana Sugama, S.H., Rika Ekayanti, S.H., Any Rusty, S.H., Gusti Ayu Widnyani, S.H., I Dewa Gede Agung Adi Putra, S.S.N., Ni Luh Witari, S.Pd., I Wayan Sandra, S.Pd., Putu Eka Yulistiari, S.H., I Ketut Gede Wiladatika Kawit, S.H., Adi Wistara, S.H., beserta teman-teman di

(10)

Magister (S2) Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana angkatan tahun 2010, 2011, dan 2012, serta teman-teman yang lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Akhir kata, semoga budi baik dari Bapak/Ibu/Saudara/i akan mendapat imbalan yang sesuai dari Tuhan Yang Maha Esa. Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, baik dari penyajiannya maupun dalam penyusunannya. Kekurangan semata-mata karena kemampuan dan pengetahuan penulis yang sangat terbatas, namun, besar harapan penulis semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi para pembaca. Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu melimpahkan anugrahnya kepada kita semua.

Denpasar, Februari 2014

Penulis

(11)

ABSTRAK

Tersangka dan terdakwa memiliki hak untuk memperoleh bantuan hukum, khususnya bagi tersangka dan terdakwa yang tergolong sebagai orang atau kelompok orang miskin. Faktanya, ditemukan banyak penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaannya, oleh sebab itu, perlu diketahui mengenai implementasi bantuan hukum bagi orang atau kelompok orang miskin dalam perkara pidana di Denpasar dan faktor-faktor penghambat pelaksanaannya. Pelaksanaan bantuan hukum ini dikaji dalam kerangka penyelenggaraan proses hukum yang adil.

Penelitian hukum ini adalah penelitian hukum empiris. Penelitian bersifat deskriptif. Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah teknik studi dokumen dan teknik wawancara. Penelitian ini menggunakan Teknik

non-Probabilitas/Non-Random Sampling. Keseluruhan data yang terkumpul baik dari data primer

maupun data sekunder, diolah dan dianalisis dengan menggunakan analisis data kualitatif.

Implementasi bantuan hukum bagi orang atau kelompok orang miskin dalam perkara pidana di Denpasar belum dapat diimplementasikan dengan baik karena adanya penyimpangan-penyimpangan dalam prakteknya. Penyimpangan-penyimpangan ini masih dapat ditemukan pada tahap pemeriksaan tersangka di tingkat penyidikan di Polresta Denpasar, pada tahap pemeriksaan terdakwa di sidang Pengadilan Negeri Denpasar, dan di LBH (YLBHI-LBH Bali dan PBHI Wilayah Bali di Denpasar). Faktor-faktor penghambat yang mempengaruhi pelaksanaan bantuan hukum bagi orang atau kelompok orang miskin dalam perkara pidana di Denpasar dapat diklasifikasi dan dibedakan menjadi 3 faktor yakni, faktor substansi hukum (legal substance), struktur hukum (legal structure), dan budaya hukum (legal culture).

Kata Kunci : Bantuan Hukum, Perkara Pidana, Orang/kelompok Orang Miskin, dan Proses Hukum yang Adil.

(12)

ABSTRACT

The suspects and defendants has the right to legal aid, especially those who are classified as a poor person or a group of poor persons. However, as a matter of fact, there is a lot of deviation in the implementation of legal aid, therefore, it is necessary to know their implementation for a poor person or a group of poor persons in a criminal case in Denpasar and the inhibiting factors affecting their implementation. The implementation of legal aids is analyzed within a framework of the carrying out of a due process of law.

This is legal empirical research. The research is descriptive. The data used for this research are primary and secondary data. The technique employed for data collecting was documentary research technique and interview. This research used non-Probability/Non-Random Sampling technique. All of the data gathered both the primary and secondary data, were processed and analyzed using the qualitative analysis.

The implementation of legal aid for a poor person or a group of poor persons in a criminal case in Denpasar cannot yet be well implemented because there is deviation in practicing them. The deviation was still faund in the examination stage of a suspects investigation level in the Polresta Denpasar, in an examination stage of a defendants in District Court of Denpasar, and in LBH (YLBHI-LBH of Bali and PBHI Regional Bali in Denpasar). Inhibiting factor that affected the implementation of legal aid for a poor person or a group of poor persons in a criminal case in Denpasar can be classified and differentiated into 3 factors. They are legal substance, legal structure, and legal culture.

Key Word : Legal Aids, Criminal Cases, Poor Person or a Group of Poor Persons, and Due Process of Law.

(13)

RINGKASAN

Tesis ini berjudul, “Bantuan Hukum Bagi Orang atau Kelompok Orang Miskin Dalam Perkara Pidana Demi Terselenggaranya Proses Hukum yang Adil di Denpasar”, yang terdiri dari 5 (lima) bab. Bab I Pendahuluan menguraikan tentang latar belakang masalah penelitian yang mengandung permasalahan dari fakta hukum, fenomena yang ada, kesenjangan das solen dan das sein, dan penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaannya. Bab ini juga menguraikan pentingnya penelitian sehingga tesis ini penting dan menarik untuk diteliti. Bantuan hukum merupakan hak yang sangat penting yang dimiliki oleh tersangka dan terdakwa. Pemberian bantuan hukum kepada orang atau kelompok orang miskin merupakan upaya implementasi dari negara hukum yang mengakui, menjamin, dan melindungi Hak Asasi Manusia dan sebagai upaya pemenuhan kebutuhan akses terhadap keadilan dan persamaan di hadapan hukum (equality

before the law). Faktanya, masih banyak ditemukan berbagai

penyimpangan-penyimpangan dalam pemberian bantuan hukum bagi orang atau kelompok orang miskin, dengan adanya pembaharuan secara normatif tentang bantuan hukum, tentu membawa perubahan dalam implementasinya. Pembaharuan hukum ini menjadikan penelitian menarik untuk diteliti. Penelitian ini sangatlah penting, mengingat manfaat yang sangat besar yang akan didapatkan ketika pelaksanaan bantuan hukum dalam perkara pidana di Denpasar, dapat dilaksanakan secara efektif, selain itu, juga merupakan bentuk upaya reformasi hukum dalam aspek pemerataan keadilan.

Bab II menguraikan tinjauan umum tentang bantuan hukum, pemberi dan penerima bantuan hukum, dan proses hukum yang adil (due process of law). Tinjauan umum mengenai bantuan hukum menguraikan mengenai pengertian bantuan hukum secara yuridis dan berdasarkan pendapat para ahli, selain itu, juga menguraikan mengenai konsep bantuan hukum dan perkembangannya. Bab ini juga diuraikan mengenai sejarah bantuan hukum di Indonesia mulai dari zaman penjajahan Belanda, zaman penjajahan Jepang, pasca kemerdekaan sampai pada bantuan hukum pada zaman kemerdekaan Negara Republik Indonesia. Tinjauan umum mengenai pemberi dan penerima bantuan hukum, diuraikan mengenai pemberi bantuan hukum yakni Lembaga Bantuan Hukum (LBH) atau organisasi kemasyarakatan dan advokat, selanjutnya, diuraikan mengenai orang atau kelompok orang miskin sebagai penerima bantuan hukum. Tinjauan umum mengenai proses hukum yang adil (due process of law) diuraikan mengenai pengertian, pentingnya penyelenggaraan proses hukum yang adil (due process of

law) dan juga unsur-unsur minimal dari proses hukum yang adil (due process of law) dari Tobias dan Petersen.

Bab III membahas rumusan masalah pertama yang menguraikan tentang implementasi bantuan hukum bagi orang atau kelompok orang miskin dalam perkara pidana di Denpasar, yang dikaji dari dua aspek, yakni dikaji dari pelaksanaan bantuan hukum dalam perkara pidana di Denpasar dan mekanisme pemberian bantuan hukum dalam perkara pidana di Denpasar. Mengenai pelaksanaan bantuan hukum dalam perkara pidana pada tahap pemeriksaan

(14)

tersangka di tingkat penyidikan di Polresta Denpasar dapat diketahui bahwa, berbagai penyimpangan yang terjadi tentu menunjukkan pelaksanaan bantuan hukum dalam perkara pidana pada tahap pemeriksaan tersangka di tingkat penyidikan di Polresta Denpasar belum dapat dilaksanakan dengan baik. Secara singkat penyimpangan-penyimpangan tersebut diantaranya yakni :

a. Pelaksanaan bantuan hukum melalui pendampingan advokat baru dapat dinikmati tersangka pada saat pemeriksaan tambahan bukan pada saat pemeriksaan awal. Proses pemeriksaan tetap berlanjut walaupun tanpa hadirnya advokat.

b. Tidak dilakukannya pemeriksaan ulang terhadap pemeriksaan awal yang telah dilakukan tanpa hadirnya advokat.

c. Pelaksanaan hak untuk tidak menjawab dalam Miranda Warning dalam pemeriksaan tersangka di tingkat penyidikan di Polresta Denpasar belum dapat diterapkan dengan baik.

d. Tidak adanya ketentuan untuk memberikan bantuan hukum kepada tersangka yang melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana di bawah 5 (lima) tahun.

e. Pelaksanaan bantuan hukum yang dilaksanakan oleh advokat dinilai kurang profesional dan masih terlihat adanya pembedaan perlakuan antara klien yang didampingi karena haknya untuk mendapatkan bantuan hukum dengan klien yang didampingi karena pembayaran (fee).

f. Masih bisa dijumpai tindakan advokat yang menolak memberikan bantuan hukum.

g. Kondisi secara psikologis tersangka menunjukkan bahwa, penasihat hukum belum maksimal dalam menjalankan tugasnya, karena keadaan psikologis tersangka yang masih berada dibawah tekanan atau ketakutan dalam proses pemeriksaan dan wawancara dengan penulis.

h. Adanya pesimisme dan sikap skeptis terhadap pelaksanaan bantuan hukum yang diberikan advokat, sehingga tersangka menolak menerima bantuan hukum atau menolak untuk didampingi penasihat hukum.

Pelaksanaan bantuan hukum dalam perkara pidana pada tahap pemeriksaan tersangka di tingkat penyidikan di Polresta Denpasar, juga dapat dilihat dari data jumlah pemberian bantuan hukum di Polresta Denpasar, yang meliputi jumlah tersangka yang menerima bantuan hukum dan jumlah tersangka yang menolak menerima bantuan hukum dalam jangka waktu 5 (lima) tahun dari tahun 2009-2013.

Pelaksanaan bantuan hukum dalam perkara pidana pada tahap pemeriksaan terdakwa di Pengadilan Negeri Denpasar, menunjukkan masih terlihat adanya penyimpangan-penyimpangan bahwa, kondisi bahwa bantuan hukum belum dapat diakses dengan kemudahan-kemudahan, sehingga tidak semua terdakwa yang membutuhkan bantuan hukum dapat menikmati haknya untuk memperoleh bantuan hukum, dan tidak adanya ketentuan dengan memberikan bantuan hukum kepada terdakwa yang didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana dibawah 5 (lima) tahun. Penyimpangan-penyimpangan ini, tentu masih perlu dikaji dan diperbaiki dalam meningkatkan efektifitas dalam pelaksanaan bantuan hukum di Pengadilan Negeri Denpasar.

(15)

Mengenai pelaksanaan bantuan hukum di Lembaga Bantuan Hukum di Denpasar dapat diketahui bahwa, ditemukannya pembatasan-pembatasan dalam pemberian bantuan hukum yang tidak dapat diberikan kepada kasus-kasus korupsi, narkotika, kekerasan terhadap perempuan dan anak, yang menunjukkan penyimpangan bahwa seharusnya advokat atau LBH tidak boleh menolak perkara atau menolak memberikan bantuan hukum. Mekanisme pemberian bantuan hukum dalam perkara pidana pada tingkat penyidikan di Polresta Denpasar dan pada tahap pemeriksaan di sidang Pengadilan Negeri Denpasar, telah dilaksanakan dengan baik dengan mengacu pada peraturan perundang-undangan dan SOP yang berlaku. Mekanisme pemberian bantuan hukum di YLBHI-LBH Bali dan PBHI Wilayah Bali di Denpasar, belum dapat dilaksanakan dengan baik, karena dilaksanakan tidak berpedoman pada Peraturan Perundang-undangan yang mengatur mengenai bantuan hukum.

Implementasi bantuan hukum bagi orang atau kelompok orang miskin dalam perkara pidana di Denpasar, jika dikaji dari diagram dalam teori bekerjanya hukum atau berlakunya hukum dari Robert B. Seidman dapat diketahui bahwa, penyidik dan hakim sebagai pemegang peran (role accupant) dalam pelaksanaannya akan menerima dan melaksanakan ketentuan-ketentuan bantuan hukum dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga terjadilah proses pelaksanaan hukum (law implementing processes), namun, tidak terdapat timbal balik (feedback) yang diberikan dari penyidik dan hakim kepada pembuat peraturan (badan legislatif). Implementasi di Lembaga Bantuan Hukum di Denpasar (YLBHI-LBH Bali dan PBHI Wilayah Bali di Denpasar), peraturan yang mengatur mengenai bantuan hukum belum dapat dilaksanakan, sehingga pengimplementasian hukum dalam hal ini belum dapat dilaksanakan dan proses terputus pada tahap ini.

Implementasi bantuan hukum bagi orang atau kelompok orang miskin dalam perkara pidana di Denpasar, jika dikaji dari prinsip-prinsip keadilan dalam teori keadilan dari John Rawls dapat diketahui bahwa, pada prinsip pertama yang menyatakan bahwa, prinsip keadilan harus memberi penilaian konkret tentang adil tidaknya institusi-institusi dan praktik-praktik institusional, menunjukkan bahwa dalam pelaksanaan bantuan hukum dalam perkara pidana di Denpasar belum memenuhi keadilan karena adanya penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaannya. Prinsip kedua telah terpenuhi. Bantuan hukum sebagai hak tersangka dan terdakwa telah diatur, diberikan, dijamin, dan dilindungi dalam Peraturan Perundang-undangan, sehingga telah ada upaya dalam penyelenggaraan proses hukum yang adil, namun keadilan belum tercapai. Pelaksanaan yang masih menunjukkan adanya penyimpangan-penyimpangan menunjukkan bahwa, pelaksanaan bantuan hukum dalam perkara pidana di Denpasar belum mencapai proses peradilan yang adil.

Bab IV membahas rumusan masalah kedua yang menguraikan tentang faktor-faktor penghambat pelaksanaan bantuan hukum bagi orang atau kelompok orang miskin dalam perkara pidana di Denpasar. Faktor-faktor penghambat pelaksanaan bantuan hukum bagi orang atau kelompok orang miskin dalam perkara pidana di Denpasar dapat diklasifikasi dan dibedakan menjadi 3 faktor yakni, faktor substansi hukum (legal substance), struktur hukum (legal structure),

(16)

dan budaya hukum (legal culture). Substansi hukum (legal substance) telah menjadi salah satu faktor penghambat yang mempengaruhi pelaksanaan bantuan hukum bagi orang atau kelompok orang miskin dalam perkara pidana di Denpasar, khususnya di Polresta Denpasar dan di YLBHI-LBH Bali dan PBHI Bali di Denpasar. Peraturan Perundang-perundangan yang mengatur mengenai bantuan hukum masih mengandung kelemahan-kelemahan yang kurang mengakomodir HAM dan menjunjung tinggi asas equality before the law dalam penegakan hak atas bantuan hukum yang seharusnya diberikan secara seluas-luasnya (access to legal counsel), salah satunya yang diatur dalam pasal 56 ayat (1) KUHAP. Tampak masih adanya tumpang tindih peraturan yang tentu menghambat pelaksanaan bantuan hukum dalam perkara pidana di Denpasar.

Faktor struktur hukum (legal structure) meliputi faktor penegak hukum dari segi internal dan eksternal dan sarana atau fasilitas. Faktor penegak hukum dari segi internal, yang menghambat dan mempengaruhi pelaksanaan bantuan hukum dalam perkara pidana di Denpasar adalah kurangnya integritas, moralitas, idealisme dan profesionalitas advokat, lemahnya kesadaran akan kewajiban profesi advokat dalam pemberian bantuan hukum, serta lemahnya kesadaran moril dan sosial advokat, kemampuan penegak hukum (pemahaman penegak hukum akan hukum/Peraturan Perundang-undangan) yang masih kurang, yang menunjukkan kurangnya profesionalitas, integritas, moralitas, dan idealisme penyidik. Faktor penegak hukum dari segi eksternal dan sarana atau fasilitas yang menghambat dan mempengaruhi pelaksanaan bantuan hukum dalam perkara pidana di Denpasar adalah kurangnya pendanaan atau anggaran, kurangnya kontrol dan pengawasan, mekanisme yang kurang efisien dalam hal permohonan bantuan hukum melalui surat permohonan bantuan hukum yang ditujukan kepada advokat, mekanisme administrasi yang tidak memberikan kemudahan-kemudahan akses untuk memperoleh bantuan hukum kepada terdakwa, mekanisme serta sistem untuk mendapatkan anggaran yang rumit yang harus melalui proses yang panjang yang harus dilalui oleh LBH, dan kurangnya koordinasi antara penyidik dengan advokat dan juga antara pengadilan dengan advokat dalam penunjukkan advokat sehingga penunjukkan advokat tidak merata.

Faktor budaya hukum (legal culture) dalam pembahasan ini meliputi faktor budaya hukum atau kebudayaan dan masyarakat. Faktor budaya hukum atau kebudayaan dalam hal ini meliputi faktor budaya hukum atau kebudayaan dari masyarakat dan penegak hukum (penyidik dan advokat). Faktor budaya hukum atau kebudayaan masyarakat, yang menghambat dan mempengaruhi pelaksanaan bantuan hukum dalam perkara pidana di Denpasar adalah nilai-nilai, opini-opini, cara bertindak dan berpikir masyarakat dengan kurangnya pemahaman masyarakat terhadap hak atas bantuan hukum mengacu pada ketidakpercayaan, sikap pesimisme, serta sikap skeptis terhadap pelaksanaan bantuan hukum, serta nilai-nilai, opini atau pandangan masyarakat yang mengganggap jasa hukum advokat sebagai “barang mewah” dan mahal yang dalam prakteknya dapat menimbulkan sikap penolakan menggunakan bantuan hukum, tentu menjadi penghambat yang mempengaruhi pelaksanaan bantuan hukum dalam perkara pidana di Denpasar. Faktor budaya hukum atau kebudayaan penegak hukum (advokat dan penyidik), yang menghambat dan mempengaruhi pelaksanaan

(17)

bantuan hukum dalam perkara pidana di Denpasar adalah elemen sikap, nilai-nilai, cara bertindak dan berpikir advokat dan penyidik, yang terjadi secara berulang-ulang sehingga mengarah pada sikap atau tindakan penyimpangan sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya tentu dapat menghambat pelaksanaan bantuan hukum dalam perkara pidana di Denpasar. Kurangnya kesadaran moral, profesionalitas, integritas, kesadaran dan ketaatan hukum dalam memenuhi tugas dan kewajibannya sebagai advokat, sehingga menimbulkan penyimpangan-penyimpangan berupa penolakan memberikan bantuan hukum dan tindakan advokat yang tidak profesional dan diskriminatif dalam pelaksanaan bantuan hukum tentu menghambat pelaksanaan bantuan hukum dalam perkara pidana di Denpasar. Kurangnya pemahaman, kesadaran hukum dan ketaatan hukum penyidik dalam pelaksanaan bantuan hukum juga dapat menghambat pelaksanaan bantuan hukum dalam perkara pidana di Denpasar. Faktor masyarakat yang menghambat dan mempengaruhi pelaksanaan bantuan hukum dalam perkara pidana di Denpasar adalah anggapan, pendapat, opini, atau pandangan masyarakat yang negatif tentang pelaksanaan bantuan hukum serta kekhawatiran dalam menggunakan bantuan hukum.

Bab V penutup menguraikan simpulan yang menyangkut pembahasan permasalahan yang diuraikan pada bab sebelumnya. Simpulan yang dapat ditarik bahwa, implementasi bantuan hukum bagi orang atau kelompok orang miskin dalam perkara pidana di Denpasar belum dapat diimplementasikan dengan baik karena adanya penyimpangan-penyimpangan dalam prakteknya, baik di tingkat penyidikan di Polresta Denpasar, di tingkat pemeriksaan di sidang Pengadilan Negeri Denpasar, dan di LBH (YLBHI-LBH Bali dan PBHI Wilayah Bali di Denpasar). Faktor-faktor penghambat pelaksanaan bantuan hukum bagi orang atau kelompok orang miskin dalam perkara pidana di Denpasar dapat diklasifikasi dan dibedakan menjadi 3 faktor yakni, faktor substansi hukum (legal substance), struktur hukum (legal structure), dan budaya hukum (legal culture). Faktor substansi hukum yang menghambat yakni, kekurangan atau kelemahan dalam substansi Pasal 56 ayat (1) KUHAP yang mengatur mengenai pembatasan penerima bantuan hukum berdasarkan kwalifikasi ancaman hukuman. Berlakunya 3 dasar hukum yakni, Undang-undang No. 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum, Peraturan Pemerintah No. 83 Tahun 2008 Tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma, dan Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2013 Tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum yang substansinya masih mengandung ketidakselarasan, kekaburan norma, dan tumpang tindih peraturan tentu menjadi faktor penghambat. Faktor struktur hukum yang menghambat yakni, faktor penegak hukum dari segi internal dan faktor penegak hukum dari segi eksternal yang juga meliputi sarana atau fasilitas. Faktor budaya hukum yang menghambat meliputi faktor budaya hukum atau faktor kebudayaan dan faktor masyarakat.

(18)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN SAMPUL DALAM ………. i

HALAMAN PERSYARATAN GELAR MAGISTER ... ii

HALAMAN PENGESAHAN TESIS ... iii

HALAMAN PENETAPAN PANITIA PENGUJI TESIS ... iv

HALAMAN PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ... v

UCAPAN TERIMA KASIH ... vi

HALAMAN ABSTRAK ... x

HALAMAN ABSTRACT ... xi

RINGKASAN ... xii

HALAMAN DAFTAR ISI ... xvii

HALAMAN DAFTAR GAMBAR ... xxii

HALAMAN DAFTAR TABEL ………. xxiv

HALAMAN DAFTAR LAMPIRAN ... xxv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 16

1.3 Ruang Lingkup Masalah ... 17

1.4 Tujuan Penelitian ... 18

1.4.1 Tujuan Umum ... 18

1.4.2 Tujuan Khusus ... 18

(19)

1.5 Manfaat Penelitian ... 18

1.5.1 Manfaat Teoritis ... 18

1.5.2 Manfaat Praktis ... 19

1.6 Orisinalitas Penelitan ... 20

1.7 Landasan Teoritis dan Kerangka Berpikir ... 28

1.7.1 Landasan Teoritis ... 28

1.7.2 Kerangka Berpikir ... 51

1.8 Metode Penelitian ... 53

1.8.1 Jenis Penelitian ... 53

1.8.2 Sifat Penelitian ... 53

1.8.3 Data dan Sumber Data ... 54

1.8.4 Teknik Pengumpulan Data ... 58

1.8.5 Teknik Penentuan Sampel Penelitian ... 60

1.8.6 Pengolahan dan Analisis Data ... 62

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG BANTUAN HUKUM, PEMBERI DAN PENERIMA BANTUAN HUKUM, DAN PROSES HUKUM YANG ADIL (DUE PROCESS OF LAW) ... 63

2.1 Bantuan Hukum ... 63

2.1.1 Pengertian Bantuan Hukum ... 63

2.1.2 Konsep Bantuan Hukum dan Perkembangannya ... 72

2.1.3 Sejarah Bantuan Hukum di Indonesia ... 85

2.1.3.1 Bantuan hukum di zaman penjajahan Belanda ... 85

(20)

2.1.3.2 Bantuan hukum di zaman penjajahan Jepang .... 87

2.1.3.3 Bantuan hukum pasca kemerdekaan ... 89

2.1.3.3 Bantuan hukum pada zaman kemerdekaan ... 94

2.2 Pemberi Bantuan Hukum dan Penerima Bantuan Hukum ... 102

2.2.1 Pemberi Bantuan Hukum ... 102

2.2.1.1 Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Atau Organisasi Kemasyarakatan ... 103

2.2.1.2 Advokat ... 106

2.2.2 Penerima Bantuan Hukum... 117

2.3. Proses Hukum yang Adil (Due Process of Law) ... 119

BAB III IMPLEMENTASI BANTUAN HUKUM BAGI ORANG ATAU KELOMPOK ORANG MISKIN DALAM PERKARA PIDANA DI DENPASAR ... 126

3.1 Pelaksanaan Bantuan Hukum Dalam Perkara Pidana di Denpasar ... 126

3.1.1 Pelaksanaan Bantuan Hukum Dalam Perkara Pidana Pada Tahap Pemeriksaan Tersangka di Tingkat Penyidikan di Polresta Denpasar ... 132

3.1.2 Pelaksanaan Bantuan Hukum Dalam Perkara Pidana Pada Tahap Pemeriksaan Terdakwa di Pengadilan Negeri Denpasar ... 162

(21)

3.1.3 Pelaksanaan Bantuan Hukum Dalam Perkara Pidana di

Lembaga Bantuan di Hukum Denpasar ... 172

3.2 Mekanisme Pemberian Bantuan Hukum Dalam Perkara Pidana di Denpasar ... 180

3.2.1 Mekanisme Pemberian Bantuan Hukum Dalam Perkara Pidana Pada Tingkat Penyidikan di Polresta Denpasar .... 182

3.2.2 Mekanisme Pemberian Bantuan Hukum Dalam Perkara Pidana Pada Tahap Pemeriksaan di Sidang Pengadilan Negeri Denpasar ... 189

3.2.3 Mekanisme Pemberian Bantuan Hukum Dalam Perkara Pidana di Lembaga Bantuan Hukum di Denpasar ... 202

BAB IV FAKTOR-FAKTOR PENGHAMBAT PELAKSANAAN BANTUAN HUKUM BAGI ORANG ATAU KELOMPOK ORANG MISKIN DALAM PERKARA PIDANA DI DENPASAR.. 242

4.1 Faktor Substansi Hukum (legal substance) ... 244

4.2 Faktor Struktur Hukum (legal structure) ... 251

4.3 Faktor Budaya Hukum (legal culture) ... 271

4.3.1 Faktor Budaya Hukum Atau Faktor Kebudayaan ... 271

4.3.2 Faktor Masyarakat ... 279

BAB V PENUTUP ... 283

6.1 Simpulan ... 283

(22)

6.2 Saran ... 285

DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR INFORMAN DAN RESPONDEN LAMPIRAN

(23)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1. Teori Bekerjanya Hukum Atau Berlakunya Hukum dari

Robert B. Seidman ... 37 Gambar 2. Diagram Perkembangan Jumlah Tersangka yang Menerima

Bantuan Hukum dan Jumlah Tersangka yang Menolak Menerima Bantuan Hukum dari Tahun 2009-2013

Berdasarkan Berkas Perkara di Polresta Denpasar ... 159 Gambar 3. Diagram Persentase (%) Jumlah Tersangka yang Menerima

Bantuan Hukum dari Tahun 2009-2013 Berdasarkan Berkas

Perkara di Polresta Denpasar ... 160 Gambar 4. Diagram Persentase (%) Jumlah Tersangka yang Menolak

Menerima Bantuan Hukum dari Tahun 2009-2013

Berdasarkan Berkas Perkara di Polresta Denpasar ... 160 Gambar 5. Mekanisme Secara Teknis Pelaksanaan Bantuan Hukum Pada

Pemeriksaan Tersangka di Tingkat Penyidikan Polresta

Denpasar ... 188 Gambar 6. Persyaratan Untuk Mendapatkan Bantuan Hukum di

Pengadilan Negeri ... 197 Gambar 7. Alur Pemberian Bantuan Hukum di Pengadilan Negeri ... 198 Gambar 8. Alur Pemberian Bantuan Hukum Dalam Perkara Pidana di

Pengadilan Negeri ... 199

(24)

Gambar 9. Mekanisme Secara Teknis Pemberian Bantuan Hukum Dalam Perkara Pidana Pada Tahap Pemeriksaan di Sidang

Pengadilan Negeri Denpasar ... 201 Gambar 10. Mekanisme Secara Teknis Pelaksanaan Bantuan Hukum di

YLBHI-LBH Bali dan PBHI Wilayah Bali di Denpasar ... 209

(25)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Data Jumlah Tersangka yang Menerima Bantuan Hukum dan

Jumlah Tersangka yang Menolak Menerima Bantuan Hukum dari Tahun 2009-2013 Berdasarkan Berkas Perkara di

Polresta Denpasar ... 156 Tabel 2. Lembaga Bantuan Hukum di Denpasar ……….. 173

(26)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Surat Pemberitahuan Hak Tersangka dan Penunjukkan Penasehat Hukum, di Tingkat Penyidikan di Polresta Denpasar.

2. Surat Berita Acara Penolakan Didampingi Penasehat Hukum, di Tingkat Penyidikan di Polresta Denpasar.

3. Surat Permohonan Bantuan Penasehat Hukum, di Tingkat Penyidikan di Polresta Denpasar.

4. Surat Penetapan Penunjukkan Penasehat Hukum, Pada Tahap Pemeriksaan Terdakwa di Pengadilan Negeri Denpasar.

5. Formulir Isian Klien, YLBHI-LBH Bali (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia-Lembaga Bantuan Hukum Bali) di Denpasar.

6. Formulir Isian Klien, PBHI (Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia) Wilayah Bali di Denpasar.

7. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 Tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.

8. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 10 Tahun 2010 tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum.

9. Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Nomor : 1/dju/ot 01.3/viii/2011 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2010 Tentang Pedoman Bantuan Hukum.

10. Pedoman Pelaksanaan Tugas Administrasi Pengadilan Buku II.

(27)

11. SOP yang berlaku di YLBHI-LBH Bali di Denpasar.

12. Data-Data dari Kantor Wilayah Kementrian Hukum dan HAM Bali Terkait Dengan Pelaksanaan Bantuan Hukum.

13. Surat Keterangan Penelitian. 14. Surat Izin Rekomendasi Penelitian.

(28)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Negara Republik Indonesia adalah negara hukum, yang secara tegas telah dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Berbicara mengenai negara hukum, tentu tidak terlepas dari pembicaraan mengenai Hak Asasi Manusia. Negara hukum dan Hak Asasi Manusia memiliki keterkaitan atau hubungan yang sangat erat dan tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya, hal ini bisa dilihat dari ciri-ciri suatu negara hukum yang mencerminkan esensi dari negara hukum itu sendiri.

Ciri-ciri suatu negara hukum adalah :

a. Pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi yang mengandung persamaan dalam bidang politik, hukum, sosial, ekonomi, dan kebudayaan.

b. Peradilan yang bebas dari suatu pengaruh kekuasaan atau kekuatan lain yang tidak memihak.

c. Jaminan kepastian hukum, yaitu jaminan bahwa ketentuan hukumnya dapat dipahami dapat dilaksanakan dan aman dalam melaksanakannya.1 Sebagai negara hukum, Indonesia juga telah memberikan pengakuan, jaminan, serta perlindungannya terhadap Hak Asasi Manusia yang mengandung persamaan dalam bidang politik, hukum, sosial, ekonomi, dan kebudayaan, yang tertuang dalam konstitusi dan berbagai Peraturan Perundang-undangan sebagai produk hukum bangsa Indonesia. Salah satunya yakni, tercantum di dalam Undang-undang RI No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut

1Kaelan dan Achmad Zubaidi, 2007, Pendidikan Kewarganegaraan, Paradigma, Yogyakarta, h. 92.

(29)

KUHAP). Dengan demikian, terdapat jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality before the law).

Sebelum dikeluarkan dan berlakunya KUHAP, peradilan pidana di Indonesia dilandaskan pada Het Herziene Inlandsch Reglement/HIR (Stbl. 1941 No. 44). Setelah diundangkannya KUHAP pada tanggal 31 Desember 1981, maka HIR sebagai satu-satunya landasan hukum bagi proses penyelesaian perkara pidana di Indonesia dicabut. Berlakunya KUHAP telah menimbulkan perubahan fundamental terhadap Hukum Acara Pidana yang berlaku. Perubahan tersebut diantaranya adalah perubahan sistem/pola pemeriksaan dari sistem inkuisitur (inquisitoir) yang dianut pada masa HIR ke sistem akusatur (accusatoir) yang dianut oleh KUHAP, serta perubahan ke arah pemberian bantuan hukum sebagai upaya penegakan Hak Asasi Manusia.

Pada saat berlakunya HIR, diterapkan asas inkuisitur (inquisitoir) yang menempatkan tersangka sebagai obyek pemeriksaan, dalam hal ini, tersangka kerap mendapat perlakuan yang tidak selayaknya atau dengan kata lain, tersangka sering mendapat perlakuan dengan kekerasan, penganiayaan, dan tekanan-tekanan hanya untuk memperoleh sebuah pengakuan yang dipandang menjadi alat bukti terpenting pada masa itu. Romli Atmasasmita menyatakan bahwa, “Satu-satunya tujuan pemeriksaan pada masa itu adalah memperoleh pengakuan (confession) dari tersangka”.2

Berbeda halnya pada masa setelah berlakunya KUHAP.

Setelah berlakunya KUHAP, sistem/pola pemeriksaan berubah menjadi sistem akusatur (accusatoir). Sistem/pola pemeriksaan dengan asas akusatur

2Romli Atmasasmita, 1996, Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) Perspektif

(30)

menempatkan tersangka sebagai subyek pemeriksaan. M. Yahya Harahap mengemukakan bahwa, “Tersangka harus ditempatkan pada kedudukan manusia yang memiliki harkat dan martabat. Dia harus dinilai sebagai subyek, bukan sebagai objek”.3

Pengakuan tersangka tidak lagi menjadi hal yang terpenting, selain pengakuan tersangka juga masih diperlukan alat bukti lainnya. Hal lain yang menjadi perhatian adalah mengenai pemberian bantuan hukum pada masa HIR dan setelah diberlakukannya KUHAP.

Terdapat pembatasan-pembatasan dalam pemberian bantuan hukum pada masa HIR, sehingga belum mampu memenuhi rasa keadilan serta memenuhi hak-hak tersangka dan terdakwa. M. Yahya Harahap menyatakan bahwa :

Namun HIR hanya memperkenankan bantuan hukum kepada terdakwa di hadapan proses pemeriksaan persidangan pengadilan. Sedang kepada tersangka pada proses tingkat pemeriksaan penyidikan, HIR belum memberi hak untuk mendapat bantuan hukum. Dengan demikian, HIR belum memberi hak untuk mendapatkan dan berhubungan dengan seorang penasehat hukum pada semua tingkat pemeriksaan. Hanya terbatas sesudah memasuki taraf pemeriksaan di sidang pengadilan.4

M. Yahya Harahap juga mengemukakan bahwa :

Demikian juga “kewajiban” bagi pejabat peradilan untuk menunjuk penasehat hukum, hanya terbatas pada tindak pidana yang diancam dengan hukuman mati. Di luar tindak pidana yang diancam dengan hukuman mati, tidak ada kewajiban bagi pengadilan untuk menunjuk penasihat hukum memberi bantuan hukum kepada terdakwa.5

Setelah berlakunya KUHAP, pembatasan-pembatasan tersebut tidak berlaku lagi. Pasal 54 KUHAP menyatakan bahwa, “Guna kepentingan

3M. Yahya Harahap, 2007, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP; Penyidikan

dan Penuntutan; Edisi ke dua, Sinar Grafika, Jakarta, h. 134.

4Ibid, h. 345.

(31)

pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan”. Bantuan hukum merupakan hak yang sangat penting yang dimiliki oleh tersangka dan terdakwa untuk kepentingan pembelaannya, dan sebagai penjaga agar terpenuhi hak-hak yang dimiliki tersangka dan terdakwa dalam peradilan pidana. Melalui pemberian bantuan hukum, sangat diharapkan tercapainya peradilan pidana yang mencerminkan peradilan yang adil dan tidak memihak (due process of law).

M. Yahya Harahap mengemukakan bahwa, bantuan hukum yang diberikan advokat dianggap merupakan komoditi atau barang mewah yang dapat dijangkau oleh orang kaya. Bagi orang miskin yang tidak memiliki uang, tidak mungkin didampingi advokat atau pengacara di dalam melindungi dan mempertahankan hak dan martabat kemanusiaannya.6 Bambang Sunggono dan Aries Harianto juga mengemukakan bahwa :

Kebutuhan akan keadilan adalah salah satu kebutuhan pokok manusia yang senantiasa didambakan oleh setiap orang, baik yang kaya atau yang miskin. Akan tetapi kadangkala dapat terjadi di mana si kaya dengan kekayaannya dapat lebih mudah memperoleh keadilan itu, sehingga ia dapat menguasai mekanisme berjalannya hukum itu, bahkan celakanya dengan cara yang demikian itu akan menindas si miskin, yang pada gilirannya hanya akan menimbulkan kesan bahwa hukum itu hanya untuk si kaya dan tidak untuk si miskin.7

Bambang Sunggono dan Aries Harianto juga mengemukakan bahwa, jika selama ini si kaya sudah cukup merasakan keadilan dan si miskin sudah cukup terjauh dari keadilan, maka sudah saatnya keadaan yang demikian tidak terjadi

6Ibid, h. 342.

7Bambang Sunggono dan Aries Harianto, 2009, Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia, CV. Mandar Maju, Bandung, h. 62.

(32)

lagi. Program bantuan hukum, khususnya bagi si miskin, pada dasarnya merupakan pemerataan keadilan.8 Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa, program bantuan hukum pada dasarnya adalah merupakan upaya pemerataan keadilan.

Frans Hendra Winarta menyatakan bahwa, sering kali orang yang tergolong miskin (the have not) diperlakukan tidak adil dan tidak dapat memperoleh jasa hukum dan pembelaan (access to legal councel) yang memadai dari advokat (penasihat hukum).9 Frans Hendra Winarta juga menegaskan bahwa, pada dasarnya bantuan hukum adalah hak dari orang miskin yang dapat diperoleh tanpa bayar (pro bono publico) sebagai penjabaran persamaan hak di hadapan hukum.10 Faktanya, dalam penggunaan jasa advokat tentu membutuhkan biaya dan bagaimana mungkin orang yang untuk mencukupi kebutuhan pokok hidupnya saja tidak mampu, apalagi membayar jasa advokat, untuk mengatasi permasalahan ini, maka diberikanlah bantuan hukum kepada orang atau kelompok orang miskin.

Pasal 1 angka 1 Undang-undang RI Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum menyatakan bahwa, “Bantuan Hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh Pemberi Bantuan Hukum secara cuma-cuma kepada Penerima Bantuan Hukum”. Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah RI No. 42 Tahun 2013 Tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana

8Ibid.

9Frans Hendra Winarta, 2000, Bantuan Hukum; Suatu Hak Asasi Manusia Bukan Belas

Kasihan, PT Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia, Jakarta (Selanjutnya disebut Frans

Hendra Winarta I), h. 50. 10Ibid, h. vii.

(33)

Bantuan Hukum juga memberikan definisi yang sama mengenai bantuan hukum. Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa, bantuan hukum adalah jasa hukum yang diberikan secara cuma-cuma. Pengertian bantuan hukum secara cuma-cuma juga telah diatur secara tegas dalam Pasal 1 angka 3 PP No. 83 Tahun 2008 Tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma yang menyatakan bahwa, “Bantuan hukum secara cuma-cuma adalah jasa hukum yang diberikan advokat tanpa menerima pembayaran honorarium meliputi pemberian konsultasi hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan pencari keadilan yang tidak mampu”.

Pemberian bantuan hukum kepada orang atau kelompok orang miskin merupakan upaya implementasi dari negara hukum yang mengakui, menjamin, dan melindungi Hak Asasi Manusia. Bantuan hukum juga diberikan sebagai upaya pemenuhan kebutuhan akses terhadap keadilan dan persamaan di hadapan hukum (equality before the law). Dalam pelaksanaan bantuan hukum, advokat sebagai orang yang memberi bantuan hukum tentu memiliki kewajiban dan peran yang sangat besar dalam hal ini.

Ropaun Rambe menyatakan bahwa, profesi advokat dikenal sebagai profesi yang mulia (officium nobile), karena mewajibkan pembelaan kepada semua orang tanpa membedakan latar belakang ras, warna kulit, agama, budaya, sosial

(34)

ekonomi, kaya miskin, keyakinan politik, gender, dan idiologi.11 Ropaun Rambe juga menyatakan bahwa :

Profesi advokat merupakan profesi yang terhormat karena adanya profesionalisme di dalamnya. Di samping itu, profesi advokat bukan semata-mata hanya mencari nafkah, namun di dalamnya terdapat adanya idealisme (seperti nilai keadilan dan kebenaran) dan moralitas yang sangat dijunjung tinggi.12

Sesuai dengan profesi yang mulia (officium nobile) tersebut, advokat wajib membela masyarakat dan kliennya tanpa diskriminasi dan pembedaan perlakuan sesuai dengan asas equality before the law.

Advokat memiliki kedudukan yang penting sebagai pilar dalam penegakan hukum, dalam penegakan Hak Asasi Manusia, serta memiliki fungsi kontrol untuk menjaga peradilan agar tetap bersih, jujur, dan adil. Advokat dalam sistem peradilan pidana juga merupakan bagian atau sub sistem peradilan pidana dan juga merupakan penegak hukum. Advokat memiliki peranan yang penting dalam peradilan pidana.

Ropaun Rambe menyatakan bahwa, profesi advokat merupakan profesi yang terhormat, namun, kondisi profesi advokat sekarang ini cukup memprihatinkan karena terjadinya penyimpangan. Advokat sekarang lebih banyak berperan sebagai calo perkara saja.13 Kondisi ini tentu merupakan permasalahan yang serius, yang kini dihadapi oleh sistem peradilan pidana di Indonesia.

11Ropaun Rambe, 2001, Teknik Praktek Advokat, PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, h. 25.

12Ibid, h. 27.

(35)

Amir Syamsuddin juga mengemukakan bahwa, berkaitan dengan dunia kepengacaraan, uang dan kekuasaan secara tidak sadar telah mengkatagorikan para pengacara di dalam beberapa kelompok sesuai dengan perilaku mereka di dalam menangani suatu perkara. Pertama, golongan pengacara idealis yang tidak pernah mau menggunakan uang dan kekuasaan di dalam penanganan suatu kasus/perkara. Artinya, mereka tidak mau melakukan pendekatan di dalam upaya memenangkan suatu perkara atau menguntungkan kliennya dengan cara suap-menyuap. Kedua, kelompok pengacara yang tidak mau melakukan pendekatan uang dan kekuasaan, tetapi membiarkan kliennya melakukan sendiri. Termasuk dalam hal ini kelompok pengacara yang melakukan secara pasif artinya, akan melakukan pendekatan uang dan kekuasaan hanya bila diminta klien. Kelompok ketiga adalah pengacara yang mencari nafkah dari pekerjaan menggunakan uang dan kekuasaan. Bagi kelompok ini, uang dan kekusaan lebih penting dari pada pledoi ataupun dalil-dalil hukum di atas kertas.14

Kini advokat telah mengalami penggeseran nilai. Saat ini, profesi advokat kerap dianggap tidak lagi profesi yang luhur yang menjungjung tinggi kebenaran dan keadilan. Oknum-oknum advokat yang membela kliennya dengan segala cara untuk mencapai kemenangan dengan penyuapan, penghilangan alat bukti, dan cara-cara negatif lainnya, tentu memunculkan berbagai asumsi menuju pesimisme serta sikap skeptis terhadap penegakan hukum di Indonesia. Bahkan, advokat sering dianggap sebagai mafia peradilan atau calo perkara, yang tentu saja merusak citra dari profesi luhur advokat itu sendiri.

14Amir Syamsuddin, 2008, Integritas Penegak Hukum; Hakim, Jaksa, Polisi, dan Pengacara, PT Kompas Media Nusantara, Jakarta, h. 30.

(36)

Penyimpangan serta pergeseran nilai advokat tersebut merupakan permasalahan yang serius, namun, di tengah pesimisme, serta sikap skeptis terhadap advokat, perlu diketahui bahwa advokat memiliki peranan yang sangat penting dalam mencapai due process of law. Tindakan-tindakan penyimpangan yang dilakukan oleh oknum-oknum advokat yang merusak citra profesi advokat saat ini, tidak boleh menjadi batu penghalang yang menghentikan pelaksanaan profesi luhur advokat itu sendiri. Perlu disadari bahwa, pemberian bantuan hukum bagi orang atau kelompok orang miskin adalah salah satu bentuk tindakan dari profesi advokat yang sangat mulia dan merupakan gerakan moral yang memperjuangkan Hak Asasi Manusia.

Faktanya, tidak semua advokat menyadari secara moral kewajibannya tersebut. Masih banyak ditemukan berbagai penyimpangan-penyimpangan dalam pemberian bantuan hukum bagi orang atau kelompok orang miskin. Kondisi ini tentu bertentangan dengan nilai-nilai luhur dari profesi advokat itu sendiri, dengan adanya hal ini, yang menunjukkan masih bisa ditemukan penyimpangan-penyimpangan dalam prakteknya, maka perlu ditinjau kembali perkembangan pelaksanaan bantuan hukum di Indonesia.

Bantuan hukum telah diatur dalam berbagai Peraturan Perundang-undangan. Bantuan hukum selain merupakan Hak Asasi Manusia juga merupakan gerakan konstitusional, dengan demikian, bantuan hukum adalah hak konstitusional Warga Negara Indonesia. Terdapat beberapa pasal dalam UUD 1945 yang menjadi landasan dalam pemberian bantuan hukum, dan juga terkandung didalamnya asas

(37)

equality before the law, diantaranya yakni Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 D ayat (1),

Pasal 28 I ayat (2) dan Pasal 34 ayat (1) UUD 1945.

Pemberian bantuan hukum bagi orang atau kelompok orang miskin, dalam KUHAP, dapat dilihat dalam Pasal 56 KUHAP :

(1) Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka.

(2) Setiap penasihat hukum yang ditunjuk untuk bertindak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), memberikan bantuannya dengan cuma-cuma. Pasal 22 ayat (1) Undang-undang No. 18 Tahun 2003 Tentang Advokat menyatakan bahwa, “Advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu”. Pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 83 Tahun 2008 Tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma juga menyatakan bahwa, “Advokat wajib memberikan Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma kepada Pencari Keadilan”. Pasal 12 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 83 Tahun 2008 Tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma selanjutnya juga menegaskan bahwa, “Advokat dilarang menolak permohonan Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma”.

Undang-undang No. 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum juga mengatur mengenai kewajiban advokat dalam memberikan bantuan hukum bagi orang atau kelompok orang miskin, sebagaimana diatur dalam pasal 10 huruf e yang menyatakan bahwa Pemberi Bantuan Hukum berkewajiban untuk :

(38)

memberikan Bantuan Hukum kepada Penerima Bantuan Hukum berdasarkan syarat dan tata cara yang ditentukan dalam Undang-Undang ini sampai perkaranya selesai, kecuali ada alasan yang sah secara hukum. Berdasarkan Peraturan Perhimpunan Advokat Indonesia No. 1 Tahun 2010 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma yang berlaku pada organisasi advokat menyatakan bahwa, Advokat PERADI dianjurkan melakukan pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma sebanyak 50 jam/tahun. Ketentuan-ketentuan ini telah menunjukkan secara tegas bahwa advokat wajib memberikan bantuan hukum bagi orang atau kelompok orang miskin.

Bantuan hukum merupakan hak bagi orang atau kelompok orang miskin yang telah diatur dalam berbagai instrumen internasional dan nasional. Sebagai hak yang diakui secara universal yang merupakan aktualisasi Hak Asasi Manusia dan equality before the law maka, hak atas bantuan hukum telah dikenal dan diberikan sejak lama. Secara historis, bantuan hukum sebenarnya sudah dilaksanakan pada masyarakat barat sejak zaman romawi. Bantuan hukum baru dikenal di Indonesia sejak masuknya hukum barat di Indonesia. Berkembangnya bantuan hukum di Indonesia diawali oleh gerakan para advokat dengan mendirikan beberapa biro atau lembaga bantuan hukum dalam bentuk konsultasi, antara lain biro bantuan hukum di Rechtshoge Scool Jakarta pada tahun 1940 oleh Prof. Zeylemaker, dengan tujuan untuk memberikan nasehat hukum kepada

(39)

mereka yang tidak mampu, namun, sayangnya biro yang terbentuk itu kurang berjalan dengan serius karena kurangnya pengalaman dalam praktek.15

Frans Hendra Winarta memberikan pendapatnya mengenai pelaksanaan bantuan hukum di Indonesia. Frans Hendra Winarta mengemukakan bahwa, dalam kurun waktu lebih kurang 5 tahun sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah No. 83 Tahun 2008 Tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma, sebagian besar advokat masih enggan memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma.16 Menurut Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), rakyat miskin masih sangat sulit mendapat akses bantuan hukum. Melalui hasil riset YLBHI, dari sekitar 170 orang narapidana hanya sekitar 10 persen yang baru mendapatkan bantuan hukum. Itu pun hanya orang-orang yang berduit saja.17 Kondisi ini menunjukkan bahwa bantuan hukum bagi orang atau kelompok orang miskin belum dapat dilaksanakan dengan baik di Indonesia. Kondisi ini tentu bertentangan dengan peraturan yang melegitimasi kewajiban advokat dalam pemberian bantuan hukum.

Sebelum tahun 2000, pemerintah Indonesia belum mengalokasikan dana bantuan hukum yang memadai dan masih ada persepsi yang salah tentang bantuan hukum. Sekitar 300 organisasi bantuan hukum di tahun 1980-an, yang tumbuh hanya tiga di tahun 1960-an. Bantuan hukum yang ada di Indonesia sebagian

15Yesmil Anwar dan Adang, 2009, Sistem Peradilan Pidana; Konsep, Komponen, &

Pelaksanaannya Dalam Penegakan Hukum di Indonesia, Widya Padjajaran, h. 248-249.

16Frans Hendra Winarta, 2011, Bantuan Hukum di Indonesia; Hak untuk Didampingi

Penasihat Hukum Bagi Semua Warga Negara, PT Elex Media Komputindo Kompas Gramedia,

Jakarta (Selanjutnya disebut Frans Hendra Winarta II), h. 148. 17Ibid, h. xiv.

(40)

besar berpraktik dan berfungsi seperti kantor advokat (penasihat hukum) serta menggalang dana dari klien atas jasa hukum yang diberikan, dengan tidak membedakan strata ekonomi mereka. Seharusnya, bantuan hukum itu sifatnya pro

deo (demi Tuhan) tidak dipungut bayaran (fee) karena disediakan untuk orang

miskin dan oleh karena itu bersifat non komersial, kecuali dipungut biaya untuk ongkos administratif.18 Frans Hendra Winarta juga menyatakan bahwa, di Indonesia telah terjadi distorsi konsep bantuan hukum. Terdapat banyak sekali organisasi yang menamakan diri lembaga bantuan hukum namun mengenakan fee kepada kliennya bahkan kepada fakir miskin.19

Sejak berlakunya Undang-undang RI Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat telah ditentukan bahwa, salah satu syarat untuk dapat diangkat menjadi advokat adalah tidak berstatus sebagai pegawai negeri atau pejabat Negara, oleh sebab itu, dosen yang tergabung dalam biro bantuan hukum di Fakultas-fakultas Hukum Perguruan Tinggi Negeri kini tidak lagi bisa menjadi advokat yang memberikan bantuan hukum. Seiring dengan ini, penyelenggaraan bantuan hukum tentu mengalami penurunan secara kuantitas advokat yang memberikan bantuan hukum. Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya bahwa dahulu pemerintah belum mengalokasikan dana bantuan hukum yang memadai, kini hal tersebut telah diatur secara tegas dalam Pasal 17 ayat (1) Undang-undang RI Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum, yang menyebutkan bahwa, “Pemerintah wajib mengalokasikan dana penyelenggaraan Bantuan Hukum dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara”.

18Frans Hendra Winarta I, op.cit, h. 132-133. 19Frans Hendra Winarta II, op.cit, h. ix.

(41)

Faktanya, masih dapat ditemukan advokat yang enggan memberikan bantuan hukum dan rakyat miskin masih sulit untuk mendapatkan bantuan hukum, sebagaimana yang telah oleh Frans Hendra Winarta. Masih banyak ditemukan penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaan bantuan hukum yang bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan, baik pada tahap pemeriksaan tersangka di tingkat penyidikan, pemeriksaan terdakwa di Pengadilan, dan di Lembaga Bantuan Hukum. Hal ini tentu merupakan permasalahan yang perlu dikaji dan dibenahi.

Pelaksanaan bantuan hukum di Indonesia, dengan mengacu pada uraian tersebut dapat diketahui bahwa, pelaksanaan bantuan hukum di Indonesia belum dapat dilaksanakan dengan baik, sama halnya dengan kondisi penyelenggaraan bantuan hukum di Denpasar yang nampaknya belum dapat dilaksanakan dengan baik. Adanya pembaharuan secara normatif tentang bantuan hukum, tentu membawa perubahan dalam implementasinya, hal inilah yang menjadikan penelitian ini menarik untuk diteliti. Maka, perlu diketahui lebih lanjut mengenai implementasi bantuan hukum, khususnya di wilayah Denpasar saat ini.

Masyarakat di Denpasar walaupun sudah maju dan semakin sejahtera, namun, berdasarkan data dari Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa Kota Denpasar menunjukkan bahwa masih ada penduduk miskin di Kota Denpasar. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Provinsi Bali, jumlah penduduk di Kota Denpasar pada tahun 2012 adalah berjumlah 532.860 jiwa.20 Berdasarkan data dari Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa

(42)

Kota Denpasar bahwa, jumlah penduduk miskin di Kota Denpasar pada tahun 2012 adalah berjumlah 3.501 jiwa. Dapat diketahui bahwa, dari 532.860 jumlah penduduk di Kota Denpasar, terdapat 3.501 penduduk miskin yang perlu mendapat perhatian disegala bidang kehidupan, termasuk di bidang hukum, ada juga orang miskin yang berperkara pidana dan berhak mendapat bantuan hukum.

Kota Denpasar yang terletak di tengah-tengah Pulau Bali, selain merupakan ibu kota Daerah Tingkat II, juga merupakan ibu kota Propinsi Bali sekaligus sebagai pusat pemerintahan, pendidikan, dan perekonomian. Letak Kota Denpasar sangat strategis dan merupakan titik sentral berbagai kegiatan sekaligus sebagai penghubung dengan kabupaten lainnya.21 Seiring dengan kegiatan atau aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat di Kota Denpasar juga kerap menimbulkan permasalahan hukum, dengan kata lain bahwa, keunggulan-keunggulan tersebut telah membawa dampak terjadinya kejahatan atau kriminalitas dalam jumlah yang besar di wilayah tersebut.

Data dari POLRESTA Denpasar menunjukkan bahwa jumlah perkara pidana yang masuk di POLRESTA Denpasar pada Tahun 2012 adalah berjumlah 1.202 kasus. Data ini menunjukkan bahwa, dari segi kuantitas, Kota Denpasar memiliki tingkat kejahatan atau tingkat kriminalitas yang cukup tinggi. Berdasarkan besarnya jumlah perkara pidana yang masuk di POLRESTA Denpasar, serta dengan adanya 3.501 penduduk miskin di Kota Denpasar, maka wilayah Kota Denpasar menarik untuk menjadi tempat penelitian mengenai

21http://www.denpasarkota.go.id/main.php?act=kon, dibuka pada tanggal 22 februari 2013,

(43)

bantuan hukum bagi orang atau kelompok orang miskin dalam perkara pidana demi terselenggaranya proses hukum yang adil.

Mengingat pentingnya bantuan hukum dalam menciptakan keadilan, menegakkan HAM, dan equality before the law, serta dalam mencapai due

process of law, tentu menjadikan kewajiban pemberian bantuan hukum menjadi

hal yang penting untuk dapat dilaksanakan secara efektif. Penelitian ini sangatlah penting, mengingat manfaat yang sangat besar yang akan didapatkan ketika pelaksanaan bantuan hukum dalam perkara pidana di Denpasar, dapat dilaksanakan secara efektif, selain itu, juga merupakan bentuk upaya reformasi hukum dalam aspek pemerataan keadilan. Berdasarkan hal-hal seperti yang telah diuraikan di atas, maka merupakan pendorong untuk menulis tesis dengan judul : “Bantuan Hukum Bagi Orang atau Kelompok Orang Miskin Dalam Perkara Pidana Demi Terselenggaranya Proses Hukum yang Adil di Denpasar.

1.2 Rumusan Masalah

Bertitik tolak dari latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka dapat dikemukakan dua permasalahan pokok yaitu :

1. Bagaimanakah implementasi bantuan hukum bagi orang atau kelompok orang miskin dalam perkara pidana di Denpasar ?

2. Apa saja faktor-faktor penghambat pelaksanaan bantuan hukum bagi orang atau kelompok orang miskin dalam perkara pidana di Denpasar ?

(44)

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Agar tidak terjadi pembahasan yang berlebihan dan terdapat kesesuaian antara pembahasan dengan permasalahan, maka perlu diberikan batasan sebagai berikut :

1. Permasalahan pertama dibahas mengenai implementasi bantuan hukum bagi orang atau kelompok orang miskin, dalam perkara pidana di Denpasar, dikaji melalui data primer yang ada, yang menunjukkan pelaksanaan secara praktek pemberian bantuan hukum dalam perkara pidana di Denpasar. Implementasi bantuan hukum bagi orang atau kelompok orang miskin, dalam perkara pidana di Denpasar, juga ditinjau dari mekanisme berupa prosedur dan tahapan-tahapan dalam pemberian bantuan hukum yang telah dilakukan dalam praktek peradilan pidana, yang dimaksudkan untuk mengetahui apakah dalam pelaksanaannya telah sesuai dengan tata cara yang berlaku atau tidak. Implementasi ini, dapat diketahui dari data-data dan hasil wawancara yang diperoleh dari penelitian di POLRESTA Denpasar, Pengadilan Negeri Denpasar, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) di Denpasar dan di kantor-kantor advokat di Denpasar.

2. Dalam permasalahan kedua, diidentifikasi dan diklasifikasi faktor-faktor penghambat pelaksanaan bantuan hukum bagi orang atau kelompok orang miskin dalam perkara pidana di Denpasar. Hal ini, dikaji dari hasil wawancara yang dilakukan di POLRESTA Denpasar, Pengadilan Negeri Denpasar, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) di Denpasar dan di kantor-kantor advokat di Denpasar.

(45)

1.4 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah : 1.4.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui dan memahami mengenai bantuan hukum bagi orang atau kelompok orang miskin dalam perkara pidana demi terselenggaranya proses hukum yang adil di Denpasar.

1.4.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui dan menganalisis implementasi bantuan hukum bagi orang atau kelompok orang miskin dalam perkara pidana di Denpasar.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis faktor-faktor penghambat pelaksanaan bantuan hukum bagi orang atau kelompok orang miskin dalam perkara pidana di Denpasar.

1.5 Manfaat Penelitian 1.5.1 Manfaat Teoritis

Penelitian mengenai bantuan hukum bagi orang atau kelompok orang miskin dalam perkara pidana demi terselenggaranya proses hukum yang adil di Denpasar, dapat memberikan manfaat pengembangan ilmu hukum, khususnya mengenai bantuan hukum. Penelitian ini dapat memberikan pemahaman dan pengetahuan mengenai implementasi bantuan hukum bagi orang atau kelompok orang miskin dalam perkara pidana di Denpasar, selain itu, juga dapat diketahui faktor-faktor penghambat pelaksanaan bantuan

(46)

hukum dalam perkara pidana di Denpasar. Penelitian ini, merupakan upaya reformasi hukum dalam aspek pemerataan keadilan dan diharapkan dapat memberikan inovasi baru dalam perbaikan sistem pemberian bantuan hukum untuk mewujudkan due process of law. Penelitian ini, juga bermanfaat untuk menambah khasanah keilmuan.

1.5.2 Manfaat Praktis

Manfaat praktis yang dapat diperoleh dari penelitian ini yakni, orang atau kelompok orang miskin dapat mengetahui haknya untuk mendapat bantuan hukum. Pengetahuan dan pemahaman mengenai mekanisme pemberian bantuan hukum juga dapat memberikan manfaat bagi masyarakat, sehingga masyarakat dapat mengetahui prosedur atau tahapan-tahapan apa saja yang harus dilalui untuk dapat memperoleh bantuan hukum. Penelitian mengenai implementasi bantuan hukum dalam perkara pidana di Denpasar dan juga faktor-faktor penghambat dalam pelaksanaannya, juga bermanfaat bagi advokat dan aparat penegak hukum lainnya, khususnya dalam upaya untuk memperbaiki serta meningkatkan pelaksanaan sistem pemberian bantuan hukum dalam perkara pidana di Denpasar. Penelitian ini juga bermanfaat dalam perbaikan serta peningkatan moralitas, profesionalitas, dan integritas advokat.

(47)

1.6 Orisinalitas Penelitian

Bantuan hukum sebagai salah satu hak yang dimiliki tersangka dan terdakwa tentu selalu menarik untuk menjadi obyek penelitian, baik dari segi pengaturan secara normatif maupun dalam pelaksanaannya. Pemberian bantuan hukum, juga merupakan obyek penelitian yang menarik, mengingat pentingnya pemberian bantuan hukum bagi orang atau kelompok orang miskin. Bantuan hukum tentu pernah dikaji sebelumnya oleh peneliti lainnya.

Tesis ini merupakan karya tulis asli, dengan tanpa adanya unsur plagiasi di dalam proses penulisan serta penelitian yang dilakukan, oleh sebab itu, tesis ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka atas saran dan kritik yang bersifat membangun. Orisinalitas penelitian dari tesis ini akan ditunjukkan dengan membandingkannya dengan tesis-tesis lainnya, dari lingkup Universitas Udayana maupun dari beberapa Universitas lainnya di Indonesia. Adapun tesis-tesis yang menyangkut bantuan hukum yakni :

1. Tesis yang ditulis pada tahun 2013 oleh Putu Sekarwangi Saraswati dari Universitas Udayana, dengan judul “Implementasi Hak Tersangka Untuk Memperoleh Bantuan Hukum di Wilayah Hukum Polda Bali”, dengan rumusan masalah dan kesimpulan sebagai berikut :

Rumusan Masalah :

1. Bagaimanakah implementasi hak tersangka untuk memperoleh bantuan hukum pada tingkat penyidikan di wilayah hukum Polda Bali ?

2. Usaha-usaha apakah yang dilakukan dalam memberikan bantuan hukum pada tingkat penyidikan di wilayah hukum Polda Bali ?

(48)

Kesimpulan :

1. Berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan, implementasi hak tersangka untuk memperoleh bantuan hukum pada tingkat penyidikan di wilayah hukum Polda Bali belum berjalan dengan baik, masih ada kasus tersangka yang tidak didampingi penasihat hukum dan haknya sebagai tersangka terabaikan. Karena koordinasi dari penyidik dan penasihat hukum kurang baik, hal ini dapat dilihat dari dilakukannya pemeriksaan tersangka sebelum dihadiri oleh penasihat hukum tersangka. Ini terjadi karena masyarakat banyak yang tidak mengetahui hak-haknya sebagai Warga Negara Indonesia khususnya hak untuk memperoleh bantuan hukum bagi yang tersangkut perkara atau kasus pidana dari sejak tahap penyidikan.

2. Usaha-usaha yang dilakukan dalam memberikan bantuan hukum pada tahap penyidikan dibedakan menjadi 2 metode yaitu, metode preventif dan metode represif, yang diwujudkan melalui penawaran dan pembinaan tersangka untuk memahami kedudukan penasihat hukum dalam pemeriksaan perkaranya serta mengajukan praperadilan apabila terbukti dalam proses penyidikan tersangka tidak di dampingi penasihat hukum tanpa alasan yang jelas.

2. Tesis yang ditulis pada tahun 2006 oleh I Made Sepud dari Universitas Udayana, dengan judul “Bantuan Hukum Dalam Proses Peradilan Pidana di Indonesia”, dengan rumusan masalah dan kesimpulan sebagai berikut :

(49)

Rumusan Masalah :

1. Apakah sistem bantuan hukum dengan berlakunya KUHAP sudah sesuai dengan konvensi internasional tentang Hak Asasi Manusia (HAM) ? 2. Apakah konsekuensi terhadap adanya pelanggaran terhadap hak atas

bantuan hukum dalam proses peradilan pidana ? Kesimpulan :

1. Sistem bantuan hukum dengan berlakunya KUHAP tidak sesuai dengan konvensi internasional tentang Hak Asasi Manusia (HAM), baik yang tertuang dalam Deklarasi Universal HAM maupun dalam Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik.

2. Pelanggaran atas bantuan hukum dalam proses peradilan pidana menurut KUHAP dapat berupa : tidak diberitahukan hak tersangka untuk mendapat bantuan hukum atau tidak dilaksanakannya kewajiban pemerintah untuk menyediakan penasihat hukum terhadap tersangka yang diancam pidana sesuai Pasal 56 ayat (1) KUHAP sehingga sebagai konsekuensi atas pelanggaran tersebut tidak bisa dilanjutkan karena secara hukum tidak diatur.

3. Tesis yang ditulis pada tahun 2005 oleh I Ketut Sulana dari Universitas Udayana, dengan judul “Perlindungan Hak-Hak Tersangka Dalam Kasus Penyidikan di Kabupaten Buleleng”, dengan rumusan masalah dan kesimpulan sebagai berikut :

Referensi

Dokumen terkait

In this report, 84 transgenic lines of oat were obtained using microprojectile bombardment of 327 pieces of highly regenerative, green tissue derived from embryogenic callus

Masyarakat dapat ikut berpartisipasi dalam menetapkan tujuan yang realistis untuk program pencegahan dan dapat ikut mengidentifikasi metode yang tepat untuk

bahwa sesuai ketentuan Pasal 2 ayat (1) huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 97 Tahun 2012 tentang Retribusi Pengendalian Lalu Lintas dan Retribusi Perpanjangan

b. Untuk memperoleh bentuk interaksi sosial siswa tunanetra dengan siswa awas, guru, staf sekolah, staf sekolah, dan kepala sekolah di lingkungan Madrasah Aliyah Negeri 1

[r]

There wasn´t a landscape scene your brushes didn´t like, and there wasn´t any portrait you couldn´t draw.. You can sketch anything

134 Dengan penggabungan beberapa aspek tersebut diharapkan bangunan Hotel Resort dan Spa ini dapat memunculkan citra arsitektural yang dapat menarik para wisatawan

Terlihat bahwa semakin tinggi konsentrasi KOH maka semakin rendah kadar air karaginan, hal ini diduga disebabkan oleh kemampuan KOH dalam mengekstrak dan