• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS DASAR PERTIMBANGAN HAKIM PENGADILAN NEGERI TANJUNG KARANG DALAM PUTUSAN PENGADILAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI PENGADAAN TANAH PLTU (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri No.22/PID.TPK/2012/PN.TK )

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS DASAR PERTIMBANGAN HAKIM PENGADILAN NEGERI TANJUNG KARANG DALAM PUTUSAN PENGADILAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI PENGADAAN TANAH PLTU (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri No.22/PID.TPK/2012/PN.TK )"

Copied!
49
0
0

Teks penuh

(1)

PENGADAAN TANAH PLTU

(Studi Putusan Pengadilan Negeri No.22/PID.TPK/2012 /PN.TK)

Oleh

Tomi Arafik

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(2)

ABSTRAK

ANALISIS DASAR PERTIMBANGAN HAKIM PENGADILAN NEGERI TANJUNG KARANG DALAM PUTUSAN PENGADILAN TERHADAP

PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI PENGADAAN TANAH PLTU (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri No.22/PID.TPK/2012/PN.TK )

Oleh Tomi Arafik

Tindak Pidana Korupsi adalah tindakan setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang menimbulkan kerugian terhadap keuangan negara atau perekonomian negara. penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana korupsi harus dilaksanakan secara tegas, lugas, dan tepat berdasarkan kepada nilai keadilan dan kebenaran, bukan berdasarkan kepada suatu kepentingan. Hal ini sangat berperan penting dalam mewujudkan ketertiban, kepastian hukum dan kedamaian dalam masyarakat.Berdasarkan latar belakang tersebut yang menjadi permasalahan dalam penelititn ini adalah Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana korupsi dan Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana kepada pelaku tindak pidana korupsi dalam perkara Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor : 22/PID.TPK/2012/PN.TK.

(3)

Hasil penelitian dan pembahasan dalam skripsi ini menunjukan bahwa pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana korupsi dalam kasus Nomor : 22/PID.TPK/2012/PN.TK. yaitu pelaku terbukti telah melanggar Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan disaat pelaku melakukan perbuatannya pelaku dalam keadaan sehat dan sadar serta tidak terganggu jiwanya oleh karena itu Majelis Hakim menjatuhkan pidana penjara selama 4 (epat) tahun serta pidana denda sebesar Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) terhadap terdakwa. Hal-hal yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana terhadap terdakwa yaitu melalui pertimbangan berdasarkan ; keterangan saksi-saksi, keterangan saksi ahli, surat dakwaan, petunjuk-petunjuk dan alat-alat bukti serta keterangan dari terdakwa. Disamping hal itu, dalam memutuskan perkara di persidangan hakim juga harus mempertimbangkan keadaan yang memberatkan maupun keadaan yang meringankan bagi terdakwa. Hal ini bertujuan untuk mencapai suatu kepastian hukum dan rasa keadilan agar tidak menimbulkan pandangan negative dari masyarakat.

Saran yang dapat diberikan dalam penelitian ini adalah diharapkan dalam penegakan hukum khususnya penanganan kasus Tindak Pidana Korupsi, agar Majelis Hakim sebagai pemberi putusan harus mampu adil dan benar dalam memberikan hukuman pidana kepada terdakwa. Karena itu kemampuan hakim dalam menggali peristiwa hukum harus dipertajam, hakim harus bersifat aktif dan kreatif dalam menemukannya, karena itu akan menjadi acuan seorang hakim dalam menjatuhkan suatu putusan selain dari ketentuan Undang-undang, sehingga dalam menjatuhkan suatu putusan dpat mencerminkan rasa keadilan dan tidak menimbulkan pandangan negative dari masyarakat.

(4)
(5)
(6)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ABSTRAK

RIWAYAT HIDUP MOTTO

PERSEMBAHAN KATA PENGANTAR DAFTAR ISI

Halaman

1. PENDAHULUAN

A.Latar Belakang... 1

B.Permasalahan dan Ruang Lingkup... 7

C.Tujuan dan Keguanaan Penelitian... 8

D.Kerangka Teoritis dan Konseptual... 9

E. Sistematika Penulisan... 14

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana Korupsi... 16

1. Pengertian Korupsi... 16

2. Pengertian Tindak Pidana Korupsi... 17

2. Jenis-jenis Tindak Pidana Korupsi... 21

B. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana... 23

C. Putusan Pengadilan... 26

1. Pengertian Putusan pengadilan ... 26

2. Pertimbangan Hakim tentang Berat Ringannya Pidana... 30

(7)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah... 33

B. Sumber dan Jenis Data... 34

C. Penentuan NaraSumber... 35

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data... 35

E. Analisis Data... 47

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Responden………... 38

B. Gambaran Umum Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang tentang Tindak Pidana Korupsi Pengadaan Tanah PLTU Nomor. 22/Pid.Tpk/2012/PN.TK... 40

C. Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Korupsi Pada Kasus Nomor : 22 / Pid.Tpk / 2012 / PN.TK………... 44

D. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Putusan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi Pada Kasus Nomor 22 / Pid.Tpk / 2012 / PN.TK………... 53

V. PENUTUP A. Simpulan……….………... 65

B. Saran………... 67

DAFTAR PUSTAKA

(8)

I. PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Korupsi merupakan salah satu persoalan terbesar yang sedang di hadapi bangsa

indonesia saat ini,banyak di antara Pakar Hukum mengatakan bahwa korupsi di

Indonesiasudah merupakan kejahatan yang membudaya (cultural

corruption),karena dalam peraktiknya telah begitu erat dengan perilaku dan

kebiasaan hidup sehari-hari para pejabat dan penyelenggaraan negara di

indonesia,hal ini kemudian di perkuat oleh data dari Pacific Economic and Risk

Consultancy yang mengtakan bahwaa pada tahun 2005 indonesia menduduki

peringkat pertama sebagai negara terkorup di asia,dan lahan korupsi yang tetbesar

terjadi pada sektor pengadaan barang dan jasa. Hal ini sangat memperihatinkan

pada saat indonesiasedang mengalami keterpurukan ekonomi dengan anjloknya

nilai tukar rupiah terhadap dolar dalam sistem perdagangan internasional,justru

sektor pengadaan barang dan jasa yang menjadi pilar dalam pembangunan

menjadi sarang para koruptor.

Tindak pidana korupsi terhadap keuangan negara yang dilakukan oleh seorang

pejabat daerah merupakan suatu tindak pidana seperti yang kita ketahui korupsi

(9)

masyarakat,dan nampak di mana saja. Apalagi dikaitkan dengan dana-dana

pembangunan atau proyek pengdaan barang. Karena itu apapun alasannya ,apakah

itu di sengaja ataupun tidak sengaja atau akibat adanya kesalahan prosedur atau

sistem tetapi askhirnya berakibat menimbulkan kerugian terhadap negara secara

finansial dapat dikatakan sebagai suatu tindakan korupsi. Bentuk-bentuk

penyelewengan terhadap keuangan negara itu pula dapat bermacam-macam

seperti : penambahan anggaran untuk keparluan untuk pengadaan barang dan jasa

tidak sesuai dengan kenyataan yang ada, ataupun penyalahgunaan kewenangan

kesempatan atau sarana yang ada padanya kareana jabatan atau kedudukan untuk

menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi sehingga menimbulkan

kerugian pada keuangan negara1.

Penerapan dan penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana korupsi harus

dilaksanakan secara tegas,lugas,dan tepat berdaarkan kepada nilai keadilan dan

kebenaran ,bukan berdasarkan pada suatu kepentingan. Hal tersebut sangat

berperan penting dalam mewujudkan ketertiban kepastian hukum dan kedamaian

dalam masyarakat. Jadi setiap pejabat atau aparatur negara di daerah mana

sajayang terbukti melakukan tindak pidana korupsi atau penyelewengan terhadap

anggaran keuangan negara sudah sepatutnya di berikan sanksi yang tegas berupa

pidana,baik yang berdasarkan pada ketentuan KUHP maupun berdasakan

peraturan atau ketentuan yang di tetapkan mengenai tindak pidana korupsi

sebagaimanayang telah di atur dalam Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999

jo Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang tindak pidana korupsi.

1

(10)

Zaman sekarang ini kegiatan pemberantasan korupsi belum berjalan baik,Hal ini

dapat dilihat dari banyaknya pengaduan masyarakat tentang kasus-kasus yang di

duga suatu tindakan korupsi tetapi penangananya masih lambat dan akhirnyapun

kasusnya menghilang begitu saja. Serta putusan hakim dalam tindak pidana

korupsi di nilai masih terlalu ringan,jauh dari rasa keadilan dan kebenaran yang

selama ini di harapkan masyarakat.

Posisi seorang hakim dalam sistem penegakan hukum berada pada titik yang sngat

sentral ,kondisi ini mengharuskan para hakim atupun calon hakim untuk

membekali dirinya dengan pengetahun yang luas dan ekstra. Mengingat Legal

Spirit Undang-Undang korupsi, sebagai usaha untuk memberantas korupsi

sebagai suatu kejahatan yang luyar biasa yang amat sulit pembuktiannya dan

melibatkan pelaku-pelakuyang memegang jabatan,kekuasaan dan wewenang.

Contoh Kasus Putusan Pengadilan Negeri Nomor : 22 / PID.TPK / 2012 / PN.TK.,

Sebagai berikut :2

Terdakwa Wendy Melfa, SH. MH. bin Ismail Afta (alm) selaku wakil Bupati

Lampung Selatan periode tahun 2005 sampai dengan tahun 2010 dan sebagai

Ketua Panitia Pengadaan Tanah Kabupaten Lampung Selatan berdasarkan Surat

Keputusan Bupati Lampung Selatan nomor : 72.A/TAPEM/HK-LS/2007 tanggal

30 Januari 2007, bersama-sama dengan Henry Anggakusuma bin Anggakusuma

selaku Direktur PT Naga Intan (yang berkas perkaranya dilakukan penuntutan

secara terpisah) dan Adi Lumakso selaku Koordinator Tim Pengadaan Tanah

untuk PT PLN Pikitring Sumbagsel tahun 2007, pada waktu antara tanggal 1

2

(11)

Pebruari 2007 sampai dengan tanggal 07 Nopember 2007 atau setidak-tidaknya

pada waktu antara bulan Januari - sampai dengan bulan Desember 2007,

bertempat di Kantor Bupati Kabupaten Lampung Selatan Jalan Indra Bangsawan

No 1 Kalianda Kabupaten Lampung Selatan, Hotel Sheraton Jalan Wolter

Monginsidi No 175 Bandar Lampung, telah melakukan atau turut serta melakukan

perbuatan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,

penyalahgunaan kewenangan kesempatan atau sarana yang ada padanya karena

jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan negara atau perekonomian negara.

Setidak-tidaknya pada suatu tempat yang berdasarkan Pasal 5 jo. Pasal 35 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 46 tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana

Korupsi jo. Pasal 1, Pasal 3 angka (5), jo Pasal 4 Keputusan Mahkamah Agung

Republik Indonesia Nomor : 022/KMA/SK/ II/2011 tanggal 07 Februari 2011

tentang Pengoperasian Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri

Tanjungkarang, masih termasuk dalam wilayah hukum Pengadilan Tindak Pidana

Korupsi pada Pengadilan Negeri Tanjungkarang yang berwenang memeriksa dan

mengadilinya, melakukan atau turut serta melakukan, telah melakukan beberapa

perbuatan yang ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang

sebagai suatu perbuatan berlanjut, secara melawan hukumyaitu tidak melakukan

Inventarisasi/pengukuran ulang terhadap luas tanah milik PT Naga Intan yang

haknya akan dilepaskan, tidak menggunakan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) tahun

(12)

tanah yang berada disekitar lokasi untuk menentukan harga besaran ganti rugi

serta memerintahkan anggota panitia pengadaan tanah membuat berita acara

pengadaan tanah, berita acara pembayaran dan berita acara pelepasan hak terlebih

dahulu sebelum pembayaran dilakukan, yang bertentangan dengan Keputusan

Presiden Nomor 65 tahun 2006 tentang pengadaan tanah untuk kepentingan

umum.

Akibat perbuatan terdakwa yang mengakibatkan kerugian negara sebesar kurang

lebih RP.16.830.000.000,- (enam belas milyar delapan ratus tiga puluh juta

rupiah) atau setidak-tidaknya sekitar Rp 2.480.000.000,- (dua milyar empat ratus

delapan puluh juta rupiah) sesuai dengan perhitungan kerugian negara dari Ahli

pada Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia dengan surat Nomor :

648/S/XVIII.BPL/12/2012 tanggal 16 Agustus 2012.

Perbuatan yang di lakukan terdakwa Wendy Melfa, SH. MH. Tersebut telah di

ajukan ke pengadilan dengan tuntutan telah melakukan tindak pidana korupsi

dengan melakukan penyalahgunaan wewenang dengan Nomor putusan 22 /

PID.TPK / 2012 / PN.TK sebagaimana di atur dan di ancam pidana Pasal 3 Jo

Pasal 18 Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak

pidana korupsi sebagaimana telah di rubah dengan Undang-undang No. 20 Tahun

2001 tentang perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

(13)

Pasal 55 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, di artikan penyertaan

dalam Tindak Pidana, Dipidan sebagai pelaku Tindak Pidana.Mereka yang

melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan

perbuatan.3

Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan 4 {empat} tahun penjara dan

denda sebesar Rp 200.000.000 {Dua ratus juta rupiah} terhadap Terdakwa Wendi

Melfa sesuai dengan perbuatan yang telah di lakukannya telah merugikan Negara

sebesar Rp 16.830.000.000 (Enam belas milyar delapan ratus tiga puluh juta

rupiah).

Tujuan panetapan putusan hakim berupa pidana terhadap pelaku tindak pidana

korupsi atau penyelewengan wewenang jabatan adalah agar dapat menjamin

terwujudnya penyelenggaraan keuangan Negara yang bersih dan berwibawa

sehingga azas efisien, efektifitas dan akuntabilitasdalam pengelolaan keuangan

Negara dapat terwujud secara nyata. Pemidanaan terhadap pejabat daerah yang

melakukan penyalahgunaan wewenang jabatan dan penyelewengan keuangan

negara juga sangat penting untuk menjamin adanya penegakan hukum yang sama

kepada semua pihak demi terwujudnya keadilan hukum di dalam masyarakat.

Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis tertarik untuk menganalisa dan

menuangkannya dalam tulisan yang berbentuk skripsi dengan Judul : “Analisis

Dasar Pertimbangan Hakim dalam Putusan Pengadilan Terhadap Pelaku Tindak

Pidana Korupsi ( Studi Kasus Putusan Pengdilan Negeri No. 22 / PID.TPK / 2012

/ PN.TK)”.

3

(14)

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Berdasarkan uraian yang telah di kemukakan di atas, maka yang menjadi

permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah :

a) Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana dari pelaku tindak pidana

korupsi No. 22 /PID.TPK / 2012/ PN.TK?

b. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan

terhadap pelaku tindak pidana korupsi Nomor No. 22 / PID.TPK / 2012 /

PN.TK?

2. Ruang Lingkup

Berdasarkan permasalahan di atas maka ruang lingkup penelitian penulisan skripsi

ini adalah:

a. Ruang lingkup dalam skripsi ini adalah kajian substansi hukum pelaksanaan

pidana,khususnya yang bekaitan dengan tindak pidana koropsi

b. Ruang lingkup penelitian iniadalah pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang

(15)

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penulisan

Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan penulisan skripsi ini adalah :

a. Untuk menetahui bagaimanakah pertanggungjawaban pidana dari pelaku

tindak pidana korupsi Nomor 22 /PID.TPK / 2012/ PN.TK.

b. Untuk mengetahui Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam

menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana korupsi Nomor 22 /

PID.TPK / 2012/ PN.TK.

2. Kegunaan Penelitian

a) Kegunaan Teoritis

Hasil dari penelitian skripsi ini di harapkan dapat menambah pengetahuan dalam

pengkajian Ilmu hukum ,khususnya mengenai Putusan Pengadilan Negeri

Tanjung Karang tentang pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak

pidana korupsi di kabupaten Lampung Selatandidasarkan Undang-undang Nomor

31 Tahun 1999 sebagaimana telah di rubah dengan Undang-undang Nomor 20

Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

b) Kegunaan Praktis

Kegunaan penulisan skripsi ini selain untuk meningkatkan pengetahuan dan

memperluas wawasan masyarakat dan penulis sendiri, serta di harapkan penelitian

ini di harapkan dapat memberikan sumbanganpemikiran kepada penegak hukum

(16)

D. Kerangka Teori dan Konseptual

1. Kerangka Teori

Setiap penelitian akan ada kerangka teoritis yang di maksud dengan kerangka

teori adalah konsep-konsep yang sebenarnya merupakan abstraksi dari hasil

pemikiran atau kerangka acuan yang di jadikan dasar untuk mengdakan

identifikasi terhadapdimensi-dimensi sosial yang di anggap relevan oleh peneliti

(soejono soekanto, 1986 :125).4

Kata teoritis adalah adjectiva dari kata “teori”. Teori adalah anggapan yang teruji

kebenaranmya, atau pendapat/cara/aturan untuk melakukan sesuatu,atau

asas/hukum umum yang menjadi dasar ilmu pengetahuan, atau keterangan

mengenai suatu peristiwa/kejadian .

Pertimbangan Hakim atau pengadilan adalah “gebonden vrijheid”, kebebasan

terikat/terbatas karena di beri batas oleh Undang-undang yang berlaku dalam

batas terntu. Hakim memiliki kebebasan dalam menetapkan dan menentukan batas

dan jenis pidana (strafsoort), ukuran pidana atau berat ringannya pidana

(srafmaat),cara pelaksanaan pidana (straf modus) dan kebebasan untuk

menentukan hukum (rechtvinding).

Secara asumtif peranan hakim sebagai pihak yang memberikan pemidanaan tidak

mengabaikan hukum atau norma serta peraturan yang hidup dalam masyarakat,

sebagaimana diatur dalam pasal 28 Undang-undang nomor 4 Tahun 2004 Jo.

Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan

4

(17)

Kehakiman yang menyatakan “Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib

menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam

masyarakat”.5

Pembahasan permasalahan dalam skripsiini di dasarkan padapertanggungjawaban

pidana pelaku tindak pidana korupsi dan proses pekerjaannya aparat penegak

hukum yang dalam hal ini adalah hakim dan jaksadalam melaksanakan putusan

pengadilan terhadapsuatu tindak pidana.

Pengertian pertanggungjawaban pidana, yaitu di teruskannya celaan yang objektif

pada tindak pidana berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku, secarasubjektif

kepada pembuat yang memenuhi syarat dalam Undang-undang untuk di kenai

pidana atas perbuatannya itu.

Pertanggungjawaban pidana menurut hukum pidana terdiri dari tiga (3) syarat,

yaitu:

a) Kemampuan bertanngungjawab atau dapat di pertanggungjawabkan dari si

pembuat pidana.

b) Tidak ada alasan pembenar atau alasan yang menghapuskan pertanggung

jawaban pidana bagi si pembuat pidana.

c) Adanya perbuatan melawan hukum yaitiu suatu sikap psikis si pelaku yang

berhubungan dengan kelakuannya, yaitu: Disengajadan sikap kurang hati-hati

atau lalai.

5

(18)

Pengertian dari putusan pengadilan, yaitu pernyataan hakim yang di ucapkan

dalasm sidang terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebes maupun lepas

dari segala tuntutan dalam hal serta menurut cara yang di atur oleh

perundang-undangan.6

Tindak pidana adalah tindakan atau perbuatan seseorang atau individu yang

menyebabkan terjadinya suatu tindak criminal yang menyebabkan orang

tersebutmenanggpidana atas perbuatannya, dimana prbuatan tersebut dinyatakan

bertentangan dengan nilai-nilai moral masyarakat, norma hukum dan

perundang-undangan yang berlaku.7

Tindak pidana korupsi adalah setiap orang yang secara melawan hukum

melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu

korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atu perekonomian negara, atau

setiap orang menguntungkan diri sendiri atu orang lain atau suatu korporasi,

menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena

jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau

perekonomian negara ( Pasal 2 dan 3 Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 Jo

Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi).

Hakim mempunyai kebebasan sepenuhnyauntuk menentukan jenis pidana dan

tinggi rendahnyasuatu pidana hakim mempunyai kebebasan untuk bergerak pada

batas minimum dan maksimum dan pidana yang di atur dalam Undang-undang

6

. Pasal 1 Butir 11 KUHAP.

7

(19)

untuk tiap-tiap pidana (Sudarto, 1986:78).8 Maka dengan berlakunya KUHAP

peranan hakim dalam menciptakan keputusan-keputusan yang tepat dipertanggung

jawabkan. Berarti masalah pemidanaan sepenuhnya merupakan kekuasaan dari

hakim.

Hakim dalam melaksanakan tugasnya menjatuhkan pidana kepada terdakwa harus

mempertimbangkan Pasal 183 dan Pasal 184 KUHAP sebagai berikut :

Pasal 183 menentukan:

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila

sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa

suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah

melakukannya”.

Pasal 184 menentukan:

(1) Alat bukti yang sah ialah:

a.Keterangan saksi;

b.Keterangan ahli;

c.Surat;

d.Petunjuk;

e.Keterangan terdakwa.

(2) Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.

8

(20)

2. Konseptual

Kerangka konseptual, merupakan kerangka yang menghubungkan atau

menggambarkan konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti yang

brkaitan dengan istilah (Soejono Soekanto, 1986 : 32).9

Dalam koseptual ini penilis menguaraikan pengertian-pengertian yang

berhubungan erat dengan penulisan skripsi ini. Uraian ini di tujukan untuk

memberikan kesatuan pahaman yaitu :

a. Analisis adalah suatu proses berfikir manusia tentang suatu kejadian atau

peristiwa untuk memberikan suatu jawaban atas kejadian atau pristiwa

tersebut.10

b. Pertanggungjawaban Pidana adalah penderitaan yang sengaja di bebankan

kepadaorang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat dalam

Undang-undang pidana untuk dapat dikenai pidana karena perbuatannya itu.11

c. Pelaku adalah Menurut Hukum Pidana pelaku dapat diartikan sebagai mereka

yang melakukan dan yang turut serta melakukan perbuatan.12

d. Subjek tindak pidana korupsi yaitu setiap orang adalah orang perorangan

atau termasuk korporasi (Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun

2001 sebagai perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999).13

9

. Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, universitas Indonesia Press, Jakarta, 1995, Hal 32,

10

. Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1991, Hal 37.

11

.Hamzah Hatrik, Asas Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia, Raja Grafindo, Jakarta, 1996, Hal 11.

12

(21)

e. Tindak pidana korupsi adalah setiap orang yang melakukan memperkaya diri

sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan

negara atau perekonomian Negara (Pasal 2 dan 3 Undang-undang Nomor 31

Tahun 1999 Jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001).14

f. Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang di ucapkan dalam sidang

pengadilan terbuka, yaitu dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari

segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur oleh

perundang-undangan.15

F. Sistematika Penaulisan

Untuk mempermudah dan memahami penulisan secara keseluruhan maka

sistematika penulisan di susun sebagai berikut:

1. PENDAHULUAN

Bab ini merupakan pendahuluan yang memuat tentang latar belakang masalah dari

penulisan skripsi , permasalahan dan ruang lingkup, tujuan dan kegunaan

penulisan, kerangka teoritis dan koseptualdan di akhiri dengan sistematika

penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Merupakan bab tinjauan pustaka sebagai pengantar dalam memahami pengertian

umum tentang pokok-pokok bahasan yang merupakan tinjauan yang bersifat

13

.Pasal ayat (3) UU Nomor 20 Tahun 2001 Sebagai Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999.

14

. Pasal 2 dan 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 Jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

15

(22)

teoritis yang nantinya akan di pergunakan sebagai penunjang pembahasan yang

akan di lakukan dan bahan studi bandingan teori dan praktek.

III. METODE PENELITIAN

Bab ini memuat metode penelitian yang meliputi langkah-langkah yang di ambil

dalam penelitian ini adalah pendekatan masalah, sumber dan jenis data, populasi

(23)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tindak Pidana Korupsi

1. Pengertian Korupsi

Kata korupsi berasal dari kaata latin corruption dari kata kerja corumpere yang

memiliki arti busuk, rusak, menyogok, menggoyahkan, memutarbalikkan. Secara

harafiah, korupsi berarti kebusukan, kebejatan, ketikjujuran, dapat di suap, tidakj

bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang memfitnah.

Pengertian korupsi dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (W.J.S

Poerwadarminta) adalah sebagai perbuatan curang, dapat di suap dan tidak

bermoral.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia 1, Korupsi adalah penyelewengan atau

penggelapan uang Negara atau perusahaan atau sebagainya uuntuk kepentingan

pribadi atau orang lain. Sedangkan di dunia Internasiional pengertian koruppsi

berdasarkan Black Law Dictionarry yang mempunyai arti bahwa suatu perbuatan

yang di lakukan dengan sebuah maksud untuk mendapatkan beberapa keuntungan

yang bertentangan dengan tugas resmi dan kebenaran-kebenaran lainnya.

1

(24)

Pasal 435 KUHP menjelaskan korupsi berarti busuk, buruk, bejat, dan dapat di

sogok, atau di suap pokoknya merupakan perbuuatan yang buruk.2 Perbuatabn

korupsi Dallam istilah kriminologi di golongkan kedalam kejahatan White Coller

Crime. Dalam praktek Undang-undang yang bersangkutan, Korupsi adalah tindak

pidana pemperkaya diri sendiriatau orang lain atau suatu badan yang secara

langsung ataupuun tidak secara langsung merugikan keuangan Negar dan

perekonomiiann Negara.

2. Pengetian Tindak Pidana Korupsi

Kata korupsi berasal dari kata latin corruption atau corrupt. Kemudian muncul

dalam bberbagai bahasa Eroapa seperti Prancis yaitu corruption. Bahasa Belanda

corruptie dan muncul pula dalam pembenahaan bahasa Indonesia dengan istilahh

korupsi.

Arti secara harafiah korupsi adalah kebusukan, keburukan, kejahatan,ketidak

jujuran,dapat di suap, penyimpangan dari kesucian, kata-kata yang bernuansa

menghina atau memfitnah, penyuapan, dalam bahasa Indonesia kata korupsi

adalah perbuatan buruk, seperti penggelapan uang penerimaan, uang sogok dan

sebagainya. Kemudian arti kata korupsi telah diterima dalam pembendaharaan

bahasa Indonesia dalam kamus besar Indonesia yaitu kecurangan dalam

melakukan kewajiban sebagai pejabat.3

Tindak pidana koropsi merupakan tindak pidana khusus karena dilakukan orang

yang khusus maksudnya subyek dan pelakunya khusus dan perbustsnnyys ysng

2

. Pasal 435 KUHAP.

3

(25)

khusus akibat yang ditimbulkan oleh adanya tindak piidana korupsi harus di

tangani serius dan khsusuntuk itu perlu di kembangkan

peraturan-peraturankhusus sehingga dapat menjangkauu semua perbuatan pidana yang

merupakan tindak pidana korupsi karena hukum pidana umumnya tidak sanggup

untuk menjangkaunya/.

Tindak pidana menurut Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 meliputi

perbuatan cukup luas cakupannya. Sumber perumusan tindak pidana korupsi

dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 dapat di golongkan dalam dua

golongan :

1) Perumusan yang di buat sendiri oleh pembuat Undang-undang Nomor 20

Tahun 2001

2) Pasal KUHP yang ditarik kedalam Undang-undang Nomor 20 ahun 2001

Adapun mengenai pengertian tindak pidana korupsi menurut Unadang-undang

Nomor 20 Tahun 2001, yaitu :

1) Setiap orang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri

sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan

Negara atau perekonomian Negara (Pasal 2 ayat (1)).

2) Setiap orang yang dengan tujuan mengunmtungkan diri sendiri atau orang lain

atau suatu korporasi menyalahgunakan wewenang, kesempatan atau sarana

yang ada padaaya karena jabatan, atau keduduksn yang dapat merugikan

keuangan Negara atau perekonomian Negara (Pasal 3).

3) Setiap orang yang member hadiah atau janji kepada peggawai negeri dengan

(26)

kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji di anggap melekat pada

jabatan atau kedudukan tersebut (Pasal 13).

4) Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau permufakatan

jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi (Pasal 15)..

5) Setiap orang di luar Wilayah Republik Indonesia yang memberikan bantua,

kesempatan, sarana atau keterangan untuk terjadinya tindak pidana korupsi

(Pasal 16).

Memperhatiakan Pasal 2 ayat (1) di atas maka akan di temukan unsure-unsur

sebagai berikut :

a. Melawan hukum.

b. Memperkaya diri sendiri atau orangg lain atau suatu korporasi.

c. Dapat merugikan keuangan Negara dan perekonomian Negara

Penjelasan umum Undang-undang Nomor 20 tahun 2001, unsure melawan hukum

di mencakup perbuatan tersebut di anggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa

keadilan dan norma-norma kehiduppan social dalam masyarakat maka perbuatan

tersebut dapat dipidana.

Adapun yang di maksud dengan perbuatan memperkaya diri sendiri adalah

perbuatan yang dilakukan untuk menjadi lebih kaya lagi dengan cara yang tidak

benar. Perbuatan ini ddappat dilakukan dengan bermacam-macam cara, perbuatan

yang di makasud dala Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 20 Tahuun 2001

disebutkan bahwa untuk memperkaya diri sendiri terseebut tiddak hanya di

(27)

Tindak pidana korupsi dalam undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 dibedakan menjadi :

a. Tindak pidana korupsi murni, yaitu perbuatan-perbuatan yang merupakan

murni perbuatan korupsi, perbuatan-perbuatan tersebut dalam Bab II Pasal 2

sampain Pasal 20 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999.

b. Tindak pidana korupsi tidak murni, yaitu perbuatan—perbuatan yang

berkaitan dengan setiap orang yyang mencegah, merintangi, atau

menggagalkan secara langsung atau tidak langsung, penyidik, penuntut,dan

pemeriksa di sidang pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa maupun

paara saksi ddalam perkara korupsi. Perbuatan tersebut di atur dalam Bab II

Pasal 21 sampaai dengan Pasal 2 dan 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun

1999.

Pasal 3 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 mempunyai unsur-unsur sebagai

berikut :

a. Dengan tujuan menguntunggkan diri sendiri atau orang lain atau suatu

korporsi.

b. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau ssarana yang ada padanya

karena jabatan atau kedudukannya

c. Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara.

Pengertian tindak pidana korupsi menurut Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999

apabila dilihat dari sumbernya dapat di bagi menjadi dua, yaitu ;

a. Bersumber dari perumusan peembuatan Undang-undang tindak pidana korupsi

(28)

b. Bersumber dari pasal-pasal KUHP yang di tari menjadi Undang-undang

tindak pidana klorupsi yaitu Pasal 209, Pasal 210, Pasal 387, Pasal 388, Pasal

415 sampai dengan Pasal 420, Pasal 423, Pasal 425, dan Pasal 435 KUHP.

3. Jenis-jenis Tindak Pidana Korupsi

Dalam Tool Kit Anti Korupsi yang di kembangkan oleh PPb di bawah naungan

Centre of Internatitional Crime Prevention(CICP) dari UN office Drug Control

And Creme Prevention(ON-ODCCP), dipublikasikan 10 bentuk tindakan Korupsi,

yaitu :

1. Pemberi suap/ Sogok (Bribery)

Pmberian dalam bentuk uang, barang, fasilitas dan janji untuk melakukan atau

tidak melakukan suatu perbuatan yang berakibat membawa untung terhadap diri

sendiriatau pihak lain yang berhubungan dengan jabatan yang di pegangnya pada

saat itu.

2. Penggelapan (Emmbezzlement)

Perbuatan mengambil tampa hak oleh seseorang yang telah di berikan

kewenangan untuk mengawasi dan bertanggungjawab penuh terhadap barang

milik Negara oleh pejabat public maupun swasta

3. Pemalsuan (Fraund)

Suatu tindakan atau perilaku untuk mengelabui orang lain atau organisasi dengan

(29)

4. Pemerasan (extortion)

Memaksa seseorang untuk membayar atau memberikan sejumlah uang atau

barang atau bentuk lainsebagai ganti dari seorang pejabat public untuk

berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Perbuatan tersebut dapat diikuti dengan

ancaman fisik atupun kekerasan.

5. Penyalahgunaan jabata/ wewenang (abus of Discretion)

Mempergunakan kewenangan yang di miliki untuk melakukan tindakan yang

memihakatau pilih kasih kepada kelompok atau perseorangansementara

bersikap diskriminatif terhadap kelompok atau perseorangan lainnya.

6. Pertentangan Kepentingan/Memiliki Usaha Sendiri (Internal Trading)

Melakukan transaksi public dengan menggunakan prusahaan milik pribadi

atau keluarga dengan mempergunakan kesempatan dan jabatan yang di

milikinya untuk memenangkan kontrak pemerintah.

7. Pilih Kasih (Favoritisme)

Memberikan pelayanan yang berbeda berdasarkan alasan hubungan keluarga,

apiliasi partai politik,. Suku, agama dan golonganyang bukan kepada alasan

obyektif seperti kemampuan, kualitas, rendahnya harga, profesionalisme

kerja.

8. Menerima Komisi (Commission)

Pejabat publik yang menerima sesuatu yang bernilai dalam bentuk

uang,saham, fasilitas, barang dllsebagai syarat untuk memperoleh pekerjaan

(30)

9. Nepotisme (Nepotisme)

Tindakan untuk mendahulukan sanak keluarga, kawan dekat, anggota partai

politik yang sepaham, dalam penunjukan atau pengangkatan staf, panitia

pelelangan atau pemilihan pemenang lelang.

10. Kontribusi atau Sunbangan Ilegal (Ilegal Contribution)

Hal initerjadi apabila partai politikatau pemerintah yang sedang berkuasa

pada waktu itu menerima sejumlah dana sebagai suatu kontribusi dari hasil

yang di bebankan kepada kontrak-kontrak pemerintah.

B. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban pidana (crimina responsibility) yang di maksudkan untuk

menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggungjawabkan

atas suatu tindak pidana yang erjadi atau tidak. Untuk dapat di pidananya si

pelaku, diisyaratkan bahwa tindak pidana yang di lakukannya itu memenuhi

unsur-unsur yang telah di tentukan dalam Undang-undang. Dilihat dari sudut

terjadinya tindakan yang di larang, seseorang akan dipertanggungjawabkan atas

tindakan-tindakan tersebut, apabila melawan hukum serta tidak ada alasan

pembenarana atau peniadaan sifat melawan hukum untuk pidana yang di

lakukannya.4 (Moeljatno : 1993: 6).

4

(31)

Pertanggungjawabann Pidana menurut hukum pidana terdiri dari tiga (3) syarat,

yaitu:

1) Kemampuan bertanggung jawab atau dapat di pertanggung jawabkan dari si

pembuat pidana.

2) Adanya perbuatan melawan hukum yaitu suatu sikap psikis si pelaku yang

berhubungan dengan kelakuannya,yaitu: Disengaja dan sikap kurang hati-hati

atau lalai.

3) Tidak ada alasan pembenar atau alasan yang menghapus pertanggung

jawaban pidana bagi si pembuat pidana.

Kemampuan bertanggung jawab merupakan unsur kesalahan, maka untuk

membuktikan adanya kesalahan, unsur tadi harus dibuktikan lagi. Mengingat hal

ini sukar untuk di buktikan dan waktu yang cukup lama, maka unsur kemempuan

bertanggung jawab di anggap diam-diam selalu ada karena pada umumnya setiap

orang normal batinnya dan mampu bertanngung jawab, kecuali kalau ada

tanda-tanda yang menunjukkan bahwa terdakwa mungkin jiwanyatidak normal. Dalam

hal ini hakim memerintahkan pemeriksaan yang khusus terhadap keadaan jiwa

terdakwa sekalipun tidak di minta oleh pihak terdakwa. Jika hasilnya masih

meragukan hakim, itu bahwa kemampuan bertanggung jawab tidak berhenti,

sehingga kesalahan tidak ada dan pidan tidak dapat di jatuhkan berdasarkan asas

tidak dapat di pidana jika tidak ada kesalahan.

Masalah kemampuan bertanggung jawab ini terdapdalam pasal 44 ayat (1) KUHP

yang berbunyi : “Barang siapa melakukan perbuatan yan g tidak dapat di

(32)

karena terganggu karena cacat, tidak di pidana”5. Bila tidak

dipertanggungjawabkan itu di sebabkan hal lain, misalnya jiwanya tidak normal

karena dia masih muda maka Pasal tersebut tidak berlaku. Apabila hakim akan

menjalakan Pasal 44 KUHP, maka sebelumnya harus memperhatikan apakah telah

terpenuhnya dua (2) syarat sebagai berikut :

1) Syarat psikiatris yaitu pada terdakwa harus kurang sempurna akalnya atau

sakit berubah akal, yaitu keadaan kegilaan (idiot), yaitu mungkin ada sejak

kelahiran atau karena suatu penyakit jiwa dan keadaan ini terus menerus.

2) Syarat psikologis adalah ganguan jiwa itu haru pada waktu terdakwa

melakukan perbuatan pidana, oleh sebab itu gangguan jiwa yang timbul

sesudah pristiwa tersebut, dengan sendirinya tidak dapat menjadi sebab

terdakwa tidak dapat di kenai pidana.

Dasar penghapusan pidana atau juga dapat di sebut sebagai alasan-alasan

menghilangkan sifat tindak pidana ini termuat dalam buku 1 KUHP, selain itu ada

juga dasar penghapusan di luar KUHP, yaitu:

1) Hak mendidik orang tua atau wali terhadap anaknya atau guru terhadap

muridnya.

2) Hak jabatan atau pekerjaan.

Hal yang termasuk pembenaran bela paksa pasal 49 ayat (1) KUHP, keadaan

darurat , pelaksanaan peraturan perundang-undangan Pasal 50, perintah karena

jabatan 51 ayat (1). Dalam dasar pemaaf ini semua unsur tindak pidana, termasuk

sifat melawan hukum dari suatu tindak pidana tetap ada, tetapi hal yang

menjadikan si pelakunya tidak dapat diminta pertanggungjawabkan pidananya.

5

(33)

Yang termasuk dalam dasarpemaf yaitu: kekurangan atau penyakit dalam daya

berpikir, daya paksa (evermacht), bela paksa, lampau batas (noodweerexes),

perintah jabatan.

C. Putusan Pengadilan

1. Pengertian Putusan Pengadilan

Putusan atau pernyataan hakim yang di ucapkan dalam siding pengadilan terbuika

disebut dengan putusan pengadilan, sebagaiimana yang telah di tenttukan dalam

Pasal 1 butir ke 11 KUHAP yang menyatakan bahwa:

“Putusan pengadilan merupakan pernyataan hakim yang di ucapkan dalam sidang

terbukayang dapat berupa pemiidanaan atau bebas atau lepas dari segalka tuntutan

hukm dalam hal serta menurut cara yang di atur dalam undang-undang ini”6

Pengambilan putusan oleh hakim pengadilan adalah di dasarkan pada surat

dakwaan dan segala buktidalam sidang pengadilan, sebagaimana dinyatakan

dalam pasal 191 KUHAP. Dengan demikian surat dakwaan dari penuntut umum

merupakan dasar hukum acara pidana, karena dengan berdasarkan pada dakwaan

itulah pemeriksaan di sidang pengadilan dilakukan. Dalam suatu persidangan pi

pengadilan seorang tidak dapat menjatuhkan pidana di luar batas-batas dakwaan.

Walaupun surat dakwaan merupakan dasar bagi hakim untuk menjatuhkan

hukuman, tetapi hakim tidak terikat pada surat dakwaan tersebut. Hal ini di

dasarkan pada Pasal 183 KUHAP, yang menyatakan :

6

(34)

“Hakim tiidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorangkecuali sekurang

-kurangnya dua alat bukti yang sah,ia mmemperoleh keyakinan bahwa

teerdakwalah yang bersalah melakukannya”.7

Dengan demikian yang menjadi syarat bagi hakim uuntuk menjatuhkan putusan

pidana terhada suatu perkara pidana adalah :

1) Adanya alat bukti yang cukup dan sah.

2) Adanya keyakinan hakim.

Mengenai alat bukti yang sah, ditentukan dalam pasal184 KUHAP bahwa :

Alat bukti yang sah adalah :

a) Keterangan saksi;

b) Keterangan ahli;

c) Surat;

d) Keterangan terdakwa.8

1. Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu di buktiikan.

Menurut Andi Hamzah9, ada 5 (lima) hal yang menjadi tanggungjawab dari

seorang hakim, yaitu:

a) Justisialis hukum

Yang di maksudd Justisialis adalah mengadilkan.Jadi putusan hakim yang

dalam prateknya memperhitungkan kemenfaatan (doel matigheld) perlu di

(35)

adilkan.Makna dari hukum {dezin van het recht) terletak dalam justisialisasi

dari pada hukum.

b) Penjiwaan hukum

Dalam berhukum (recht doen) tidak b oleh merosot menjadi sesuatu adat

yang hapa dan tidak berjiwa, melainkan harus senanttiasa si resapi oleh jiwa

untuk berhukum. Jadi hakim harus memperkuat hukum dan harus tampak

sebagai pembela hukum dalam memberi putusan.

c) Pengintegrasian hukum

Hakim perlu senantiasa sadar bahwa hukum dengan kasus tertentu merupakan

ungkapan hukuum pada umumnya.Oleh karena itu putusan hakim pada kasus

tertentu tidak ahnya perlu di adilkan dan di jiwakan melainkan perlu di

integrasikan dalam system hukum yang srdang berkembang oleh

perundang-undangan, peradilan dan kebiasaan.Perlu di jaga supaya putusan hakim dapat

di integrasikan dalam system hokum positif sehingga semua usaha berhukum

senantiasa menuju kepemulihan kepada posisi asli (restitution in integrum).

d) Totalitas hukum

Maksudnya menempatkan hukum keputusan hakim dalam keseluruhan

kenyataan. Hakim melihat dari segi hukum, di bawah ia melihat kenyataan

ekonomis dan social sebaliknya di atas hakim melihat dari segi moral dan

religi yang menuntut nilai-nilai kebaikan dan kesucian.

e) Personalisasi hukum

Personaliisasi hukum in menghususkan keputusan kepada personal

(kepribadian) dari pihak yang mnencari keadilan dalam proses.Perlu di iingan

(36)

yang mempunyai keluhuran. Dalamm personalisasi hukum ini memuncaklah

tanggungjawabhakim sebagi pengayom (pelindung) disini hakim di panggil

untuk bias memberikan pengayoman kepada manusia-manusiayang wajib di

pandangnya sebagai kepribadiian yang mencari keadilan.

Pasal 10 menentukan:

(3) Pengadilan dilarang menolak untuk memeriiksa, mengadili, dan memutuskan

suuatu perkara yang di ajukan dengan dalih bahwa hukum ada atau kurang

jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadili;

(4) Ketentuann sebagaimana di maksud pada ayat (1) tidak menutup usaha

penyelesaian perkara perdata secara perdamaian.

Dasar hukum putusan pelepasan terdakwa dari seggala tuntutan hukum adalah

Pasal 191 aya (2) KUHAP, yang menyatakan:

“ Jika pengadilan terdapat bahwa perbuatan yang di dakwakan kepada terdawa

terbukti, akan tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka

terdakwa di putus lepas dari segala tuntutan hukum”.10

Alasan tidak dapat di pidananyya terdakwa karena alasan pemaaf sebagaimana di

atur dalam Pasal 48 KUHP; “apabila terdakwa melakukan perbuatan karena

pengaruh daya paksa”, Pasal 49 KUHP; “apabila tyerdakkwa melakukan

perbuatan karena untuk pembelaan yang di sebabkan karena adanya serangan atau

ancaman “, Pasal 50 KUHP”, “apabila terdakwa melakukan perbuatan untuk

10

(37)

melaksanakan ketentuan Undang-undang”, dan Pasal 51 HUHP; “apabila

terdakwa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan”.

Dasar hukum keputusan tersebut adalah Pasal 193 ayat (1) KUHAP yang

menyatakan :

“Jika pengadilann terdapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana

yang di dakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkkan pidana”.11

2.Pertimbangan Hakim Tentang Berat Ringannya Pidana

Masalah berat ringannyan pidana yang akan di jjatuhkan kepada terdakwa atau

tersangka merupakan kewenangan dan kebebasan dari hakim dalam hal

menetapkan tinggi rendahnya pidana, dimana hakim dapat menjatuhkan putusan

pidana dalam batas maksimum dan minimum.

Menurut Oemar Seno Adji 12 mengatakan bahwa :

“dalam maksimum dan minimum tersebut, hakim pidana bebas dalam mencari

hukuman yang di jatuhkan terdapat terddakwa secara tepat. Kebebas tersebut

berarti kebebasan mutlak tetapi terbatas. Ia tidak mengandung arti dan maksud

untuk menyalurkan dangan sewenang-wenang subyektif untuk menetapkan berat

ringannya hukuman tersebut menurut eigen enzicht atupun eigen goeddunken

secara concrite”.

Hakim sebelum menjatuhkan hukuman berupa pemidanaan sudah seharusnyalah

untuk memperhitungkan hall-hal yang memberatkan dan hal-hal yang

meringankan perbuatan tindak pidana yang dilakukan terdakwa. Mengenai hal-hal

11

. Pasal 193 ayat (1) KUHAP.

12

(38)

yang memberatkkan dan yang meringankan yang dapat di jadikan pedomann oleh

hakim dalam menetapkan apa yang dapat memberatkan da yang meriingankan

pidanaa tidak di atur dalam KUHP Negara kita yang berlaku sekarang. Tetapi

tercantum dalam memori toelichting dari W.c.s. Belanda tahun 1986, dapat di

jadikan pedoman bagi hakim dalam menjatuhkan pidana. Adapun terjemahannya

adalah sebagai berikut :

“Dalam menentukan tinggi rendahnya pidana , hakim untuk tiap kejadian harus

memperhatikan keadaan obyektif dan subyektif dari tindak pidana yang di

lakukan, harus memperhatikan perbuatan dan perbuatannya. Hak-hak apa saja

yang di langgar dnggan adanya tindak pidana ini? Keerugian apakah yang di

timbulkan? Baggaimanakah terjang kehiduupan si pembuat dulu-dulu? Apkah

kejahatan yang di persalahkan kepadanyahh tamp itu langkah pertama kejalan

sesat ataukah perbuatann yang merupakan suatu pengulangan dari watak jahat

yang sebelumnya sudah tampak? Batas antara maksimum dan minimum harus di

tetapkan seluas-luasnya sehingga meskipun semua pernyaan di atas itu di jawab

dengan merugikan terdakwa, masimum pidana yang biasa itu sudahh memadai

(Soedarto, 1986 :47-48).13

D. Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Pidana

Dasar pertimbangan hakim atau pengadilan adalah “gobenden vrijheid”, yaitu

kebebasan terikat/terbatas karena di beri batas oleh undang-undang yang berlaku

dalam batas tertentu. Hakim memiliki kebebasan dalam menetapkan dan

menentukan jenis pidana (strafsoort), ukuran pidana atau barat ringannya pidana

13

(39)

(strafmaat), cara pelaksanaan pidana (straf modus) dan kebebasan untuk

(40)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah yang di gunakan dalam pembahasan penelitian ini penulis

melakukan dengan dua (2) Pendekatan, yaitu denan cara yuridis normatif dan

yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif dilakukan dengan mempelajari,

melihat dan menelaah mengenai beberapa hal yang bersifat teoritis yang

menyangkut asas hukum, konsepsi, pandangan, teori-teori, peraturan hukum dan

sistem hukum yang berkenaan dengan permasalahan yang akan di bahas yaitu

putusan Pengadilan Negeri dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi. Pendekatan

masalah dengan cara yuris normatif di meksudkan untuk memperoleh pemahaman

tentang pokok bahasan mengenai gejala dan obyek yang sedang ditaliti yang

bersifat teoritis berdasarkan atas kepustakaan dan literatur yang berkaitan dengan

permasalahan yang akan di bahas. Penelitian ini bukunlah memperoleh hasil yang

dapat di uji melalui statistik, tetapi penelitian ini merupakan penapsiran subjektif

yang merupakan pengembangan teori-teori dalam rangka penemuan-penemuan

ilmiah (Soejono Soekanto dan Sri Mamudji, 1986 : 15).

Sedangkan pendekatan yuridis empiris dilakukan untuk mempelejari hukum

(41)

baik berupa pendapat , sikap dan perilaku hukum yang di dasarkan pada

identifikasi hukum dan efektifitas hukum.

B.Sumber dan Jenis Data

Sumber data adalah tempat dari mana data tersebut di peroleh. Dalam penelitian

ini data yang di peroleh berdasarkan data lapangta dan data pustaka. Jenis data

penulisan ini menggunakan Dua (2) jenis data, yaitu:

1. Jenis Data Primer

Data primer adalah data yang di dapat secara langsung dari sumber pertama

(Soejono Soekanto, 1984: 12). Dengan demikian data primer merupakan data

yang di peroleh dari studi lapangan yang tentunya berkaitan dengan pokok

penulisan yaitu terkait mengenai Putusan Hakim Nomor : 22 / PID.TPK / 2012/

PN.TK.

2. Jenis Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang di peroleh dari bahan pustaka yang terdiri dari 3

macam bahan data,yaitu:

a) Bahan hukum primer, yaitu:

1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

2. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

3. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun

(42)

4. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi.

5. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman

b) Bahan Hukum Sekunder, yaitu:

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1983 tentang

Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Putusan Pengadilan

Negeri Nomor : 22 / PID.TPK / 2012/ PN.TK.

c) Bahan Hukum Tersier, yaitu:

Literatur-literatur dan dokumen-dokumen seperti ponis atau putusan Pengadilan

Negeri Tanjung Karang.

C. Penentuan Narasumber

Adapun responden dalam penelitian ini ialah:

1. Hakim pada Pengadilan Negeri Tanjung karang : 2 orang

2. Jaksa pada Kejaksaan Negeri tanjung Karang : 2 orang

3. Dosen pada Fakultas Hukum Universitas Lampung : 1 orang

(43)

D. Prosedur Pengumpulan Data dan Pengolahan Data

1. Prosedur Pengumpulan data

Pengumpulan data yang akan di gunakan penulisan dalam penyusunan skripsi ini

adalah melalui pengumpulan data primer dan data sekunder, yaitu sebagai

berikut:

a) Studi Lapangan

Untuk memperoleh data primer di tempuh dengan melekukan wawancara untuk

mendapatkan gambaran yabng jelas tentang permasalahan yang penulis kaji.

Wawancara di tujukan kepada Hakim dan jaksa pada Pengadilan Negeri Tanjung

Karang, Serta Dosen Fakultas Hukum Universitas lampung.

b) Studi Kepustakaan

Untuk memperoleh data sekunder penulis melakukan dengan cara membaca

menelaah, mencatat dan mengutip dari perundang-undangan yang berlaku serta

literatur-literatur dan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan Putusan

Pengadilan Negeri Tanjung Karang tentang Tindak Pidana Korupsi.

2. Prosedur Pengolahan Data

Dalam melaksanakan pengolahan data yang di peroleh, maka selanjutnya penulis

melakukan pengolahan terhadap data tersebut dengan langkah sebagai berikut:

1) Editing data, yaitu memeriksa data yang telah di peroleh, dan di teliti kembeli

(44)

2) Klasifikasi data, yaitu hasil identifikasi data yang selanjutnya

diklasifikasikan atau di kelompokkan sehingga memperoleh data yang

benar-benar objektif.

3) Sistematika data, yaitu penyusunan data menurut sistematika yang telah

ditetapkan dalam penelitian sehingga memudahkan peneliti dalam

menginterpretasikan data.

E. Analisis Data

Setelah keseluhan data baik data primer maupun data sekunder terkumpul

keseluruhan kemudian di analisis secara kualitatif yaitu dengan mendeskripsikan

data yang di hasilkan dalam bentuk penjelasan atau uraian kalimat yang di susun

secara sistematis dari analisis data tersebut dilanjutkan dengan menarik

kesimpulan secara induktif yaitu suatu cara berfikir yang berdasarkan fakta-fakta

yang bersifat umum kemudian ditarik kesimpulan secara khusus yang merupakan

(45)

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai pertanggungjawaban

pidana pelaku tindak pidana pada putusan No. 22/PID.TPK/2012/PN.TK dalam

penelitian skripsi ini, maka dalam bab V ini penulis dapat mengambil kesimpulan

sebagai berikut:

1. Pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana korupsi dalam perkara

Nomor : 22/PID.TPK/2012/PN.TK dikenakan pidana penjara selama 4 (empat)

tahun dan pidana denda sebesar Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah).

Hakim menyatakan bahwa terdakwa Wendy Melfa, S.H.,M.H telah terbukti

secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi yaitu

menyalahgunakan kewenangan memak up harga pembelian tanah untuk PLTU

Lampung Selatan sehingga i kemahhalan harga tanah, yang harga sebenarnya

sebesar Rp.25.000,- dibuat menjadi Rp.40.000, kesempatan atau sarana yang

ada padanya karena jabatan atau kedudukan untuk menguntungkan diri sendiri

atau orang lain atau suatu korporasi sehingga oleh hakim sebagai orang yang

cakap hukum dan dinilai mampu untuk mempertanggungjawabkan akibat dari

(46)

Tindak Pidana Korupsi Pada pengadaan Tanah PLTU Lampung Selatan dalam

Perkara Nomor 22/PID.TPK/2012/PN.TK yaitu:

a) Majelis Hakim menilai bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan yang

dituduhkan kepadanya.

b) Majelis Hakim menilai perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh

Terdakwa yaitu terbukti melanggar Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-undang

Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah dirubah dengan Undang-undang

Nomor 20 Tahun 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP karena

terdakwa melakukan Tindak Pidana “Bersama-sama Melakukan Korupsi”

Pengadaan tanah PLTU Lampung Selatan, bahwa terdakwa telah melakukan

tindakan penyalahgunaan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada

padanya karena jabatan atau kedudukan untuk menguntungkan diri sendiri

atau orang lain atau suatu korporasi.

c) Sifat melewan hukum yang dilakukan terdakwa pada Pasal 2 ayat (1) UU

PTPK meyebutkan, yang dimaksud “melawan hukum” mencakup perbuatan

melawan hukum dalam arati formil maupun materiil, yakni meski perbuatan

itu tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun jika perbuatan

itu dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma

(47)

Berdasarkan kesimpulan dan analisa atas permasalahan yang telah dibahas diatas,

maka saran penulis adalah :

1. Pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana korupsi, hakim dalam

menjatuhkan suatu putusan harus bersandar pada nilai yang hidup dalam

masyarakat, meletakkan mata dan hati dalam masyarakat sehingga tidak hanya

berpaku pada Undang-undang saja. Oleh karena itu kemampuan hakim dalam

menggali peristiwa hukum harus dipertajam, hakim harus bersifat aktif dan

kreatif dalam menemukannya, karena itu akan menjadi acuan seorang hakim

dalam menjatuhkan suatu putusan selain dari ketentuan Undang-undang,

sehingga dalam menjatuhkan suatu putusan dpat mencerminkan rasa keadilan

dan tidak menimbulkan pandangan negative dari masyarakat.

2. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap pelaku

tindak pidana korupsi harus mempertimbangkan berbagai keterangan saksi,

keterangan ahli, keterangan terdakwa dan alat-alat yang dapat dijadikan bukti

serta dakwaan yang diajukan oleh jaksa penuntut umum di pengadilan. Hal ini

dimaksudkan agar pelaksanaan putusan pengadilan yang menyangkut perkara

tindak pidana korupsi dapat berjalan secara efektif dan benar-benar dapat

(48)

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Hamzah dan Santoso Nanda, 1996, Kamus Pintar bahasa Indonesia.

Fajar Mulya. Surabaya.

Arif, Barda Nawawi. 2001. Teori-Teori Penanggulangan kejahatan.

Alumni.Bandung.

Hamzah Andi, 1986. Pengantar Hukum Acara Pidana. Liberty. Yogyakarta.

Hatrik, Hamzah, 1996. Asas Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum

Pidana Indonesia. Raja Grafindo. Jakarta.

Kartono, kartini, 2001, Potologo Sosial, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Moeljatno, 1993. Asa-Asas dan Hukum Pidana, Rineka Cipta. Jakarta.

Muladi dan Barda Nawawi Arif. 1992. Terori-Teori dan Kebijakan Pidana. Cet 3.

Alumni. Bandung.

Nawawi, Barda, 2002. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Citra Aditya

Bakti. Bandung.

Saleh, Ruslan. 1981. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana.

Angkasa. Jakarta.

Seno Aji, Oemar. 1984. Hukum-Hukum Pidana. Erlangga. Jakarta.

Soekanto, soejono. 1995, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia

Press. Jakarta.

Sudarto, 1986. Hukum dan Hukum Pidana, Cet 4. Alumni. Jakarta.

Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1991. Kamus Besar Bahasa Indonesia.

(49)

Kitab Undang-Undang hukum Pidana dan Kitab Undang-undang Hukum Acara

Pidana, Rineka Cipta. Jakarta.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan

Kehakiman.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang

Referensi

Dokumen terkait

Selanjutnya yang dimaksud dengan setiap orang atau termasuk korporasi di dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi adalah orang

Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ; “ Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain. atau suatu korporasi,

Pasal 3 UU PTPK: Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan dirinya sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana

Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau Korporasi yang menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau dapat merugikan keuangan Negara, atau

Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena

Sajawie, Hasbullah, Pertanggungjawaban Pidana Pada Tindak Pidana Korupsi, Kencana: Jakarta, 2015.. Gunawan, Yopi dk, Tindak Pidana Korupsi Kajian Terhadap

31 Tahun 1999, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, disebutkan bahwa: “setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau

Pasal 3 - Setiap orang - dengan tujuan - menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi - menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana - yang ada padanya karena