PENGADAAN TANAH PLTU
(Studi Putusan Pengadilan Negeri No.22/PID.TPK/2012 /PN.TK)
Oleh
Tomi Arafik
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar SARJANA HUKUM
Pada
Bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Lampung
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG
ABSTRAK
ANALISIS DASAR PERTIMBANGAN HAKIM PENGADILAN NEGERI TANJUNG KARANG DALAM PUTUSAN PENGADILAN TERHADAP
PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI PENGADAAN TANAH PLTU (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri No.22/PID.TPK/2012/PN.TK )
Oleh Tomi Arafik
Tindak Pidana Korupsi adalah tindakan setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang menimbulkan kerugian terhadap keuangan negara atau perekonomian negara. penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana korupsi harus dilaksanakan secara tegas, lugas, dan tepat berdasarkan kepada nilai keadilan dan kebenaran, bukan berdasarkan kepada suatu kepentingan. Hal ini sangat berperan penting dalam mewujudkan ketertiban, kepastian hukum dan kedamaian dalam masyarakat.Berdasarkan latar belakang tersebut yang menjadi permasalahan dalam penelititn ini adalah Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana korupsi dan Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana kepada pelaku tindak pidana korupsi dalam perkara Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor : 22/PID.TPK/2012/PN.TK.
Hasil penelitian dan pembahasan dalam skripsi ini menunjukan bahwa pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana korupsi dalam kasus Nomor : 22/PID.TPK/2012/PN.TK. yaitu pelaku terbukti telah melanggar Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan disaat pelaku melakukan perbuatannya pelaku dalam keadaan sehat dan sadar serta tidak terganggu jiwanya oleh karena itu Majelis Hakim menjatuhkan pidana penjara selama 4 (epat) tahun serta pidana denda sebesar Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) terhadap terdakwa. Hal-hal yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana terhadap terdakwa yaitu melalui pertimbangan berdasarkan ; keterangan saksi-saksi, keterangan saksi ahli, surat dakwaan, petunjuk-petunjuk dan alat-alat bukti serta keterangan dari terdakwa. Disamping hal itu, dalam memutuskan perkara di persidangan hakim juga harus mempertimbangkan keadaan yang memberatkan maupun keadaan yang meringankan bagi terdakwa. Hal ini bertujuan untuk mencapai suatu kepastian hukum dan rasa keadilan agar tidak menimbulkan pandangan negative dari masyarakat.
Saran yang dapat diberikan dalam penelitian ini adalah diharapkan dalam penegakan hukum khususnya penanganan kasus Tindak Pidana Korupsi, agar Majelis Hakim sebagai pemberi putusan harus mampu adil dan benar dalam memberikan hukuman pidana kepada terdakwa. Karena itu kemampuan hakim dalam menggali peristiwa hukum harus dipertajam, hakim harus bersifat aktif dan kreatif dalam menemukannya, karena itu akan menjadi acuan seorang hakim dalam menjatuhkan suatu putusan selain dari ketentuan Undang-undang, sehingga dalam menjatuhkan suatu putusan dpat mencerminkan rasa keadilan dan tidak menimbulkan pandangan negative dari masyarakat.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ABSTRAK
RIWAYAT HIDUP MOTTO
PERSEMBAHAN KATA PENGANTAR DAFTAR ISI
Halaman
1. PENDAHULUAN
A.Latar Belakang... 1
B.Permasalahan dan Ruang Lingkup... 7
C.Tujuan dan Keguanaan Penelitian... 8
D.Kerangka Teoritis dan Konseptual... 9
E. Sistematika Penulisan... 14
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana Korupsi... 16
1. Pengertian Korupsi... 16
2. Pengertian Tindak Pidana Korupsi... 17
2. Jenis-jenis Tindak Pidana Korupsi... 21
B. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana... 23
C. Putusan Pengadilan... 26
1. Pengertian Putusan pengadilan ... 26
2. Pertimbangan Hakim tentang Berat Ringannya Pidana... 30
III. METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Masalah... 33
B. Sumber dan Jenis Data... 34
C. Penentuan NaraSumber... 35
D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data... 35
E. Analisis Data... 47
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Responden………... 38
B. Gambaran Umum Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang tentang Tindak Pidana Korupsi Pengadaan Tanah PLTU Nomor. 22/Pid.Tpk/2012/PN.TK... 40
C. Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Korupsi Pada Kasus Nomor : 22 / Pid.Tpk / 2012 / PN.TK………... 44
D. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Putusan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi Pada Kasus Nomor 22 / Pid.Tpk / 2012 / PN.TK………... 53
V. PENUTUP A. Simpulan……….………... 65
B. Saran………... 67
DAFTAR PUSTAKA
I. PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Korupsi merupakan salah satu persoalan terbesar yang sedang di hadapi bangsa
indonesia saat ini,banyak di antara Pakar Hukum mengatakan bahwa korupsi di
Indonesiasudah merupakan kejahatan yang membudaya (cultural
corruption),karena dalam peraktiknya telah begitu erat dengan perilaku dan
kebiasaan hidup sehari-hari para pejabat dan penyelenggaraan negara di
indonesia,hal ini kemudian di perkuat oleh data dari Pacific Economic and Risk
Consultancy yang mengtakan bahwaa pada tahun 2005 indonesia menduduki
peringkat pertama sebagai negara terkorup di asia,dan lahan korupsi yang tetbesar
terjadi pada sektor pengadaan barang dan jasa. Hal ini sangat memperihatinkan
pada saat indonesiasedang mengalami keterpurukan ekonomi dengan anjloknya
nilai tukar rupiah terhadap dolar dalam sistem perdagangan internasional,justru
sektor pengadaan barang dan jasa yang menjadi pilar dalam pembangunan
menjadi sarang para koruptor.
Tindak pidana korupsi terhadap keuangan negara yang dilakukan oleh seorang
pejabat daerah merupakan suatu tindak pidana seperti yang kita ketahui korupsi
masyarakat,dan nampak di mana saja. Apalagi dikaitkan dengan dana-dana
pembangunan atau proyek pengdaan barang. Karena itu apapun alasannya ,apakah
itu di sengaja ataupun tidak sengaja atau akibat adanya kesalahan prosedur atau
sistem tetapi askhirnya berakibat menimbulkan kerugian terhadap negara secara
finansial dapat dikatakan sebagai suatu tindakan korupsi. Bentuk-bentuk
penyelewengan terhadap keuangan negara itu pula dapat bermacam-macam
seperti : penambahan anggaran untuk keparluan untuk pengadaan barang dan jasa
tidak sesuai dengan kenyataan yang ada, ataupun penyalahgunaan kewenangan
kesempatan atau sarana yang ada padanya kareana jabatan atau kedudukan untuk
menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi sehingga menimbulkan
kerugian pada keuangan negara1.
Penerapan dan penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana korupsi harus
dilaksanakan secara tegas,lugas,dan tepat berdaarkan kepada nilai keadilan dan
kebenaran ,bukan berdasarkan pada suatu kepentingan. Hal tersebut sangat
berperan penting dalam mewujudkan ketertiban kepastian hukum dan kedamaian
dalam masyarakat. Jadi setiap pejabat atau aparatur negara di daerah mana
sajayang terbukti melakukan tindak pidana korupsi atau penyelewengan terhadap
anggaran keuangan negara sudah sepatutnya di berikan sanksi yang tegas berupa
pidana,baik yang berdasarkan pada ketentuan KUHP maupun berdasakan
peraturan atau ketentuan yang di tetapkan mengenai tindak pidana korupsi
sebagaimanayang telah di atur dalam Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999
jo Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang tindak pidana korupsi.
1
Zaman sekarang ini kegiatan pemberantasan korupsi belum berjalan baik,Hal ini
dapat dilihat dari banyaknya pengaduan masyarakat tentang kasus-kasus yang di
duga suatu tindakan korupsi tetapi penangananya masih lambat dan akhirnyapun
kasusnya menghilang begitu saja. Serta putusan hakim dalam tindak pidana
korupsi di nilai masih terlalu ringan,jauh dari rasa keadilan dan kebenaran yang
selama ini di harapkan masyarakat.
Posisi seorang hakim dalam sistem penegakan hukum berada pada titik yang sngat
sentral ,kondisi ini mengharuskan para hakim atupun calon hakim untuk
membekali dirinya dengan pengetahun yang luas dan ekstra. Mengingat Legal
Spirit Undang-Undang korupsi, sebagai usaha untuk memberantas korupsi
sebagai suatu kejahatan yang luyar biasa yang amat sulit pembuktiannya dan
melibatkan pelaku-pelakuyang memegang jabatan,kekuasaan dan wewenang.
Contoh Kasus Putusan Pengadilan Negeri Nomor : 22 / PID.TPK / 2012 / PN.TK.,
Sebagai berikut :2
Terdakwa Wendy Melfa, SH. MH. bin Ismail Afta (alm) selaku wakil Bupati
Lampung Selatan periode tahun 2005 sampai dengan tahun 2010 dan sebagai
Ketua Panitia Pengadaan Tanah Kabupaten Lampung Selatan berdasarkan Surat
Keputusan Bupati Lampung Selatan nomor : 72.A/TAPEM/HK-LS/2007 tanggal
30 Januari 2007, bersama-sama dengan Henry Anggakusuma bin Anggakusuma
selaku Direktur PT Naga Intan (yang berkas perkaranya dilakukan penuntutan
secara terpisah) dan Adi Lumakso selaku Koordinator Tim Pengadaan Tanah
untuk PT PLN Pikitring Sumbagsel tahun 2007, pada waktu antara tanggal 1
2
Pebruari 2007 sampai dengan tanggal 07 Nopember 2007 atau setidak-tidaknya
pada waktu antara bulan Januari - sampai dengan bulan Desember 2007,
bertempat di Kantor Bupati Kabupaten Lampung Selatan Jalan Indra Bangsawan
No 1 Kalianda Kabupaten Lampung Selatan, Hotel Sheraton Jalan Wolter
Monginsidi No 175 Bandar Lampung, telah melakukan atau turut serta melakukan
perbuatan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,
penyalahgunaan kewenangan kesempatan atau sarana yang ada padanya karena
jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan negara atau perekonomian negara.
Setidak-tidaknya pada suatu tempat yang berdasarkan Pasal 5 jo. Pasal 35 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 46 tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi jo. Pasal 1, Pasal 3 angka (5), jo Pasal 4 Keputusan Mahkamah Agung
Republik Indonesia Nomor : 022/KMA/SK/ II/2011 tanggal 07 Februari 2011
tentang Pengoperasian Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri
Tanjungkarang, masih termasuk dalam wilayah hukum Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi pada Pengadilan Negeri Tanjungkarang yang berwenang memeriksa dan
mengadilinya, melakukan atau turut serta melakukan, telah melakukan beberapa
perbuatan yang ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang
sebagai suatu perbuatan berlanjut, secara melawan hukumyaitu tidak melakukan
Inventarisasi/pengukuran ulang terhadap luas tanah milik PT Naga Intan yang
haknya akan dilepaskan, tidak menggunakan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) tahun
tanah yang berada disekitar lokasi untuk menentukan harga besaran ganti rugi
serta memerintahkan anggota panitia pengadaan tanah membuat berita acara
pengadaan tanah, berita acara pembayaran dan berita acara pelepasan hak terlebih
dahulu sebelum pembayaran dilakukan, yang bertentangan dengan Keputusan
Presiden Nomor 65 tahun 2006 tentang pengadaan tanah untuk kepentingan
umum.
Akibat perbuatan terdakwa yang mengakibatkan kerugian negara sebesar kurang
lebih RP.16.830.000.000,- (enam belas milyar delapan ratus tiga puluh juta
rupiah) atau setidak-tidaknya sekitar Rp 2.480.000.000,- (dua milyar empat ratus
delapan puluh juta rupiah) sesuai dengan perhitungan kerugian negara dari Ahli
pada Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia dengan surat Nomor :
648/S/XVIII.BPL/12/2012 tanggal 16 Agustus 2012.
Perbuatan yang di lakukan terdakwa Wendy Melfa, SH. MH. Tersebut telah di
ajukan ke pengadilan dengan tuntutan telah melakukan tindak pidana korupsi
dengan melakukan penyalahgunaan wewenang dengan Nomor putusan 22 /
PID.TPK / 2012 / PN.TK sebagaimana di atur dan di ancam pidana Pasal 3 Jo
Pasal 18 Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak
pidana korupsi sebagaimana telah di rubah dengan Undang-undang No. 20 Tahun
2001 tentang perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Pasal 55 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, di artikan penyertaan
dalam Tindak Pidana, Dipidan sebagai pelaku Tindak Pidana.Mereka yang
melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan
perbuatan.3
Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan 4 {empat} tahun penjara dan
denda sebesar Rp 200.000.000 {Dua ratus juta rupiah} terhadap Terdakwa Wendi
Melfa sesuai dengan perbuatan yang telah di lakukannya telah merugikan Negara
sebesar Rp 16.830.000.000 (Enam belas milyar delapan ratus tiga puluh juta
rupiah).
Tujuan panetapan putusan hakim berupa pidana terhadap pelaku tindak pidana
korupsi atau penyelewengan wewenang jabatan adalah agar dapat menjamin
terwujudnya penyelenggaraan keuangan Negara yang bersih dan berwibawa
sehingga azas efisien, efektifitas dan akuntabilitasdalam pengelolaan keuangan
Negara dapat terwujud secara nyata. Pemidanaan terhadap pejabat daerah yang
melakukan penyalahgunaan wewenang jabatan dan penyelewengan keuangan
negara juga sangat penting untuk menjamin adanya penegakan hukum yang sama
kepada semua pihak demi terwujudnya keadilan hukum di dalam masyarakat.
Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis tertarik untuk menganalisa dan
menuangkannya dalam tulisan yang berbentuk skripsi dengan Judul : “Analisis
Dasar Pertimbangan Hakim dalam Putusan Pengadilan Terhadap Pelaku Tindak
Pidana Korupsi ( Studi Kasus Putusan Pengdilan Negeri No. 22 / PID.TPK / 2012
/ PN.TK)”.
3
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup
1. Permasalahan
Berdasarkan uraian yang telah di kemukakan di atas, maka yang menjadi
permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah :
a) Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana dari pelaku tindak pidana
korupsi No. 22 /PID.TPK / 2012/ PN.TK?
b. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan
terhadap pelaku tindak pidana korupsi Nomor No. 22 / PID.TPK / 2012 /
PN.TK?
2. Ruang Lingkup
Berdasarkan permasalahan di atas maka ruang lingkup penelitian penulisan skripsi
ini adalah:
a. Ruang lingkup dalam skripsi ini adalah kajian substansi hukum pelaksanaan
pidana,khususnya yang bekaitan dengan tindak pidana koropsi
b. Ruang lingkup penelitian iniadalah pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penulisan
Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan penulisan skripsi ini adalah :
a. Untuk menetahui bagaimanakah pertanggungjawaban pidana dari pelaku
tindak pidana korupsi Nomor 22 /PID.TPK / 2012/ PN.TK.
b. Untuk mengetahui Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam
menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana korupsi Nomor 22 /
PID.TPK / 2012/ PN.TK.
2. Kegunaan Penelitian
a) Kegunaan Teoritis
Hasil dari penelitian skripsi ini di harapkan dapat menambah pengetahuan dalam
pengkajian Ilmu hukum ,khususnya mengenai Putusan Pengadilan Negeri
Tanjung Karang tentang pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak
pidana korupsi di kabupaten Lampung Selatandidasarkan Undang-undang Nomor
31 Tahun 1999 sebagaimana telah di rubah dengan Undang-undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
b) Kegunaan Praktis
Kegunaan penulisan skripsi ini selain untuk meningkatkan pengetahuan dan
memperluas wawasan masyarakat dan penulis sendiri, serta di harapkan penelitian
ini di harapkan dapat memberikan sumbanganpemikiran kepada penegak hukum
D. Kerangka Teori dan Konseptual
1. Kerangka Teori
Setiap penelitian akan ada kerangka teoritis yang di maksud dengan kerangka
teori adalah konsep-konsep yang sebenarnya merupakan abstraksi dari hasil
pemikiran atau kerangka acuan yang di jadikan dasar untuk mengdakan
identifikasi terhadapdimensi-dimensi sosial yang di anggap relevan oleh peneliti
(soejono soekanto, 1986 :125).4
Kata teoritis adalah adjectiva dari kata “teori”. Teori adalah anggapan yang teruji
kebenaranmya, atau pendapat/cara/aturan untuk melakukan sesuatu,atau
asas/hukum umum yang menjadi dasar ilmu pengetahuan, atau keterangan
mengenai suatu peristiwa/kejadian .
Pertimbangan Hakim atau pengadilan adalah “gebonden vrijheid”, kebebasan
terikat/terbatas karena di beri batas oleh Undang-undang yang berlaku dalam
batas terntu. Hakim memiliki kebebasan dalam menetapkan dan menentukan batas
dan jenis pidana (strafsoort), ukuran pidana atau berat ringannya pidana
(srafmaat),cara pelaksanaan pidana (straf modus) dan kebebasan untuk
menentukan hukum (rechtvinding).
Secara asumtif peranan hakim sebagai pihak yang memberikan pemidanaan tidak
mengabaikan hukum atau norma serta peraturan yang hidup dalam masyarakat,
sebagaimana diatur dalam pasal 28 Undang-undang nomor 4 Tahun 2004 Jo.
Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan
4
Kehakiman yang menyatakan “Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib
menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam
masyarakat”.5
Pembahasan permasalahan dalam skripsiini di dasarkan padapertanggungjawaban
pidana pelaku tindak pidana korupsi dan proses pekerjaannya aparat penegak
hukum yang dalam hal ini adalah hakim dan jaksadalam melaksanakan putusan
pengadilan terhadapsuatu tindak pidana.
Pengertian pertanggungjawaban pidana, yaitu di teruskannya celaan yang objektif
pada tindak pidana berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku, secarasubjektif
kepada pembuat yang memenuhi syarat dalam Undang-undang untuk di kenai
pidana atas perbuatannya itu.
Pertanggungjawaban pidana menurut hukum pidana terdiri dari tiga (3) syarat,
yaitu:
a) Kemampuan bertanngungjawab atau dapat di pertanggungjawabkan dari si
pembuat pidana.
b) Tidak ada alasan pembenar atau alasan yang menghapuskan pertanggung
jawaban pidana bagi si pembuat pidana.
c) Adanya perbuatan melawan hukum yaitiu suatu sikap psikis si pelaku yang
berhubungan dengan kelakuannya, yaitu: Disengajadan sikap kurang hati-hati
atau lalai.
5
Pengertian dari putusan pengadilan, yaitu pernyataan hakim yang di ucapkan
dalasm sidang terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebes maupun lepas
dari segala tuntutan dalam hal serta menurut cara yang di atur oleh
perundang-undangan.6
Tindak pidana adalah tindakan atau perbuatan seseorang atau individu yang
menyebabkan terjadinya suatu tindak criminal yang menyebabkan orang
tersebutmenanggpidana atas perbuatannya, dimana prbuatan tersebut dinyatakan
bertentangan dengan nilai-nilai moral masyarakat, norma hukum dan
perundang-undangan yang berlaku.7
Tindak pidana korupsi adalah setiap orang yang secara melawan hukum
melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atu perekonomian negara, atau
setiap orang menguntungkan diri sendiri atu orang lain atau suatu korporasi,
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena
jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara ( Pasal 2 dan 3 Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 Jo
Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi).
Hakim mempunyai kebebasan sepenuhnyauntuk menentukan jenis pidana dan
tinggi rendahnyasuatu pidana hakim mempunyai kebebasan untuk bergerak pada
batas minimum dan maksimum dan pidana yang di atur dalam Undang-undang
6
. Pasal 1 Butir 11 KUHAP.
7
untuk tiap-tiap pidana (Sudarto, 1986:78).8 Maka dengan berlakunya KUHAP
peranan hakim dalam menciptakan keputusan-keputusan yang tepat dipertanggung
jawabkan. Berarti masalah pemidanaan sepenuhnya merupakan kekuasaan dari
hakim.
Hakim dalam melaksanakan tugasnya menjatuhkan pidana kepada terdakwa harus
mempertimbangkan Pasal 183 dan Pasal 184 KUHAP sebagai berikut :
Pasal 183 menentukan:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa
suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah
melakukannya”.
Pasal 184 menentukan:
(1) Alat bukti yang sah ialah:
a.Keterangan saksi;
b.Keterangan ahli;
c.Surat;
d.Petunjuk;
e.Keterangan terdakwa.
(2) Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.
8
2. Konseptual
Kerangka konseptual, merupakan kerangka yang menghubungkan atau
menggambarkan konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti yang
brkaitan dengan istilah (Soejono Soekanto, 1986 : 32).9
Dalam koseptual ini penilis menguaraikan pengertian-pengertian yang
berhubungan erat dengan penulisan skripsi ini. Uraian ini di tujukan untuk
memberikan kesatuan pahaman yaitu :
a. Analisis adalah suatu proses berfikir manusia tentang suatu kejadian atau
peristiwa untuk memberikan suatu jawaban atas kejadian atau pristiwa
tersebut.10
b. Pertanggungjawaban Pidana adalah penderitaan yang sengaja di bebankan
kepadaorang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat dalam
Undang-undang pidana untuk dapat dikenai pidana karena perbuatannya itu.11
c. Pelaku adalah Menurut Hukum Pidana pelaku dapat diartikan sebagai mereka
yang melakukan dan yang turut serta melakukan perbuatan.12
d. Subjek tindak pidana korupsi yaitu setiap orang adalah orang perorangan
atau termasuk korporasi (Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 sebagai perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999).13
9
. Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, universitas Indonesia Press, Jakarta, 1995, Hal 32,
10
. Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1991, Hal 37.
11
.Hamzah Hatrik, Asas Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia, Raja Grafindo, Jakarta, 1996, Hal 11.
12
e. Tindak pidana korupsi adalah setiap orang yang melakukan memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian Negara (Pasal 2 dan 3 Undang-undang Nomor 31
Tahun 1999 Jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001).14
f. Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang di ucapkan dalam sidang
pengadilan terbuka, yaitu dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari
segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur oleh
perundang-undangan.15
F. Sistematika Penaulisan
Untuk mempermudah dan memahami penulisan secara keseluruhan maka
sistematika penulisan di susun sebagai berikut:
1. PENDAHULUAN
Bab ini merupakan pendahuluan yang memuat tentang latar belakang masalah dari
penulisan skripsi , permasalahan dan ruang lingkup, tujuan dan kegunaan
penulisan, kerangka teoritis dan koseptualdan di akhiri dengan sistematika
penulisan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Merupakan bab tinjauan pustaka sebagai pengantar dalam memahami pengertian
umum tentang pokok-pokok bahasan yang merupakan tinjauan yang bersifat
13
.Pasal ayat (3) UU Nomor 20 Tahun 2001 Sebagai Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999.
14
. Pasal 2 dan 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 Jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
15
teoritis yang nantinya akan di pergunakan sebagai penunjang pembahasan yang
akan di lakukan dan bahan studi bandingan teori dan praktek.
III. METODE PENELITIAN
Bab ini memuat metode penelitian yang meliputi langkah-langkah yang di ambil
dalam penelitian ini adalah pendekatan masalah, sumber dan jenis data, populasi
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Tindak Pidana Korupsi
1. Pengertian Korupsi
Kata korupsi berasal dari kaata latin corruption dari kata kerja corumpere yang
memiliki arti busuk, rusak, menyogok, menggoyahkan, memutarbalikkan. Secara
harafiah, korupsi berarti kebusukan, kebejatan, ketikjujuran, dapat di suap, tidakj
bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang memfitnah.
Pengertian korupsi dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (W.J.S
Poerwadarminta) adalah sebagai perbuatan curang, dapat di suap dan tidak
bermoral.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia 1, Korupsi adalah penyelewengan atau
penggelapan uang Negara atau perusahaan atau sebagainya uuntuk kepentingan
pribadi atau orang lain. Sedangkan di dunia Internasiional pengertian koruppsi
berdasarkan Black Law Dictionarry yang mempunyai arti bahwa suatu perbuatan
yang di lakukan dengan sebuah maksud untuk mendapatkan beberapa keuntungan
yang bertentangan dengan tugas resmi dan kebenaran-kebenaran lainnya.
1
Pasal 435 KUHP menjelaskan korupsi berarti busuk, buruk, bejat, dan dapat di
sogok, atau di suap pokoknya merupakan perbuuatan yang buruk.2 Perbuatabn
korupsi Dallam istilah kriminologi di golongkan kedalam kejahatan White Coller
Crime. Dalam praktek Undang-undang yang bersangkutan, Korupsi adalah tindak
pidana pemperkaya diri sendiriatau orang lain atau suatu badan yang secara
langsung ataupuun tidak secara langsung merugikan keuangan Negar dan
perekonomiiann Negara.
2. Pengetian Tindak Pidana Korupsi
Kata korupsi berasal dari kata latin corruption atau corrupt. Kemudian muncul
dalam bberbagai bahasa Eroapa seperti Prancis yaitu corruption. Bahasa Belanda
corruptie dan muncul pula dalam pembenahaan bahasa Indonesia dengan istilahh
korupsi.
Arti secara harafiah korupsi adalah kebusukan, keburukan, kejahatan,ketidak
jujuran,dapat di suap, penyimpangan dari kesucian, kata-kata yang bernuansa
menghina atau memfitnah, penyuapan, dalam bahasa Indonesia kata korupsi
adalah perbuatan buruk, seperti penggelapan uang penerimaan, uang sogok dan
sebagainya. Kemudian arti kata korupsi telah diterima dalam pembendaharaan
bahasa Indonesia dalam kamus besar Indonesia yaitu kecurangan dalam
melakukan kewajiban sebagai pejabat.3
Tindak pidana koropsi merupakan tindak pidana khusus karena dilakukan orang
yang khusus maksudnya subyek dan pelakunya khusus dan perbustsnnyys ysng
2
. Pasal 435 KUHAP.
3
khusus akibat yang ditimbulkan oleh adanya tindak piidana korupsi harus di
tangani serius dan khsusuntuk itu perlu di kembangkan
peraturan-peraturankhusus sehingga dapat menjangkauu semua perbuatan pidana yang
merupakan tindak pidana korupsi karena hukum pidana umumnya tidak sanggup
untuk menjangkaunya/.
Tindak pidana menurut Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 meliputi
perbuatan cukup luas cakupannya. Sumber perumusan tindak pidana korupsi
dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 dapat di golongkan dalam dua
golongan :
1) Perumusan yang di buat sendiri oleh pembuat Undang-undang Nomor 20
Tahun 2001
2) Pasal KUHP yang ditarik kedalam Undang-undang Nomor 20 ahun 2001
Adapun mengenai pengertian tindak pidana korupsi menurut Unadang-undang
Nomor 20 Tahun 2001, yaitu :
1) Setiap orang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan
Negara atau perekonomian Negara (Pasal 2 ayat (1)).
2) Setiap orang yang dengan tujuan mengunmtungkan diri sendiri atau orang lain
atau suatu korporasi menyalahgunakan wewenang, kesempatan atau sarana
yang ada padaaya karena jabatan, atau keduduksn yang dapat merugikan
keuangan Negara atau perekonomian Negara (Pasal 3).
3) Setiap orang yang member hadiah atau janji kepada peggawai negeri dengan
kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji di anggap melekat pada
jabatan atau kedudukan tersebut (Pasal 13).
4) Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau permufakatan
jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi (Pasal 15)..
5) Setiap orang di luar Wilayah Republik Indonesia yang memberikan bantua,
kesempatan, sarana atau keterangan untuk terjadinya tindak pidana korupsi
(Pasal 16).
Memperhatiakan Pasal 2 ayat (1) di atas maka akan di temukan unsure-unsur
sebagai berikut :
a. Melawan hukum.
b. Memperkaya diri sendiri atau orangg lain atau suatu korporasi.
c. Dapat merugikan keuangan Negara dan perekonomian Negara
Penjelasan umum Undang-undang Nomor 20 tahun 2001, unsure melawan hukum
di mencakup perbuatan tersebut di anggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa
keadilan dan norma-norma kehiduppan social dalam masyarakat maka perbuatan
tersebut dapat dipidana.
Adapun yang di maksud dengan perbuatan memperkaya diri sendiri adalah
perbuatan yang dilakukan untuk menjadi lebih kaya lagi dengan cara yang tidak
benar. Perbuatan ini ddappat dilakukan dengan bermacam-macam cara, perbuatan
yang di makasud dala Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 20 Tahuun 2001
disebutkan bahwa untuk memperkaya diri sendiri terseebut tiddak hanya di
Tindak pidana korupsi dalam undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 dibedakan menjadi :
a. Tindak pidana korupsi murni, yaitu perbuatan-perbuatan yang merupakan
murni perbuatan korupsi, perbuatan-perbuatan tersebut dalam Bab II Pasal 2
sampain Pasal 20 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999.
b. Tindak pidana korupsi tidak murni, yaitu perbuatan—perbuatan yang
berkaitan dengan setiap orang yyang mencegah, merintangi, atau
menggagalkan secara langsung atau tidak langsung, penyidik, penuntut,dan
pemeriksa di sidang pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa maupun
paara saksi ddalam perkara korupsi. Perbuatan tersebut di atur dalam Bab II
Pasal 21 sampaai dengan Pasal 2 dan 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun
1999.
Pasal 3 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 mempunyai unsur-unsur sebagai
berikut :
a. Dengan tujuan menguntunggkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporsi.
b. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau ssarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukannya
c. Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara.
Pengertian tindak pidana korupsi menurut Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
apabila dilihat dari sumbernya dapat di bagi menjadi dua, yaitu ;
a. Bersumber dari perumusan peembuatan Undang-undang tindak pidana korupsi
b. Bersumber dari pasal-pasal KUHP yang di tari menjadi Undang-undang
tindak pidana klorupsi yaitu Pasal 209, Pasal 210, Pasal 387, Pasal 388, Pasal
415 sampai dengan Pasal 420, Pasal 423, Pasal 425, dan Pasal 435 KUHP.
3. Jenis-jenis Tindak Pidana Korupsi
Dalam Tool Kit Anti Korupsi yang di kembangkan oleh PPb di bawah naungan
Centre of Internatitional Crime Prevention(CICP) dari UN office Drug Control
And Creme Prevention(ON-ODCCP), dipublikasikan 10 bentuk tindakan Korupsi,
yaitu :
1. Pemberi suap/ Sogok (Bribery)
Pmberian dalam bentuk uang, barang, fasilitas dan janji untuk melakukan atau
tidak melakukan suatu perbuatan yang berakibat membawa untung terhadap diri
sendiriatau pihak lain yang berhubungan dengan jabatan yang di pegangnya pada
saat itu.
2. Penggelapan (Emmbezzlement)
Perbuatan mengambil tampa hak oleh seseorang yang telah di berikan
kewenangan untuk mengawasi dan bertanggungjawab penuh terhadap barang
milik Negara oleh pejabat public maupun swasta
3. Pemalsuan (Fraund)
Suatu tindakan atau perilaku untuk mengelabui orang lain atau organisasi dengan
4. Pemerasan (extortion)
Memaksa seseorang untuk membayar atau memberikan sejumlah uang atau
barang atau bentuk lainsebagai ganti dari seorang pejabat public untuk
berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Perbuatan tersebut dapat diikuti dengan
ancaman fisik atupun kekerasan.
5. Penyalahgunaan jabata/ wewenang (abus of Discretion)
Mempergunakan kewenangan yang di miliki untuk melakukan tindakan yang
memihakatau pilih kasih kepada kelompok atau perseorangansementara
bersikap diskriminatif terhadap kelompok atau perseorangan lainnya.
6. Pertentangan Kepentingan/Memiliki Usaha Sendiri (Internal Trading)
Melakukan transaksi public dengan menggunakan prusahaan milik pribadi
atau keluarga dengan mempergunakan kesempatan dan jabatan yang di
milikinya untuk memenangkan kontrak pemerintah.
7. Pilih Kasih (Favoritisme)
Memberikan pelayanan yang berbeda berdasarkan alasan hubungan keluarga,
apiliasi partai politik,. Suku, agama dan golonganyang bukan kepada alasan
obyektif seperti kemampuan, kualitas, rendahnya harga, profesionalisme
kerja.
8. Menerima Komisi (Commission)
Pejabat publik yang menerima sesuatu yang bernilai dalam bentuk
uang,saham, fasilitas, barang dllsebagai syarat untuk memperoleh pekerjaan
9. Nepotisme (Nepotisme)
Tindakan untuk mendahulukan sanak keluarga, kawan dekat, anggota partai
politik yang sepaham, dalam penunjukan atau pengangkatan staf, panitia
pelelangan atau pemilihan pemenang lelang.
10. Kontribusi atau Sunbangan Ilegal (Ilegal Contribution)
Hal initerjadi apabila partai politikatau pemerintah yang sedang berkuasa
pada waktu itu menerima sejumlah dana sebagai suatu kontribusi dari hasil
yang di bebankan kepada kontrak-kontrak pemerintah.
B. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana
Pertanggungjawaban pidana (crimina responsibility) yang di maksudkan untuk
menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggungjawabkan
atas suatu tindak pidana yang erjadi atau tidak. Untuk dapat di pidananya si
pelaku, diisyaratkan bahwa tindak pidana yang di lakukannya itu memenuhi
unsur-unsur yang telah di tentukan dalam Undang-undang. Dilihat dari sudut
terjadinya tindakan yang di larang, seseorang akan dipertanggungjawabkan atas
tindakan-tindakan tersebut, apabila melawan hukum serta tidak ada alasan
pembenarana atau peniadaan sifat melawan hukum untuk pidana yang di
lakukannya.4 (Moeljatno : 1993: 6).
4
Pertanggungjawabann Pidana menurut hukum pidana terdiri dari tiga (3) syarat,
yaitu:
1) Kemampuan bertanggung jawab atau dapat di pertanggung jawabkan dari si
pembuat pidana.
2) Adanya perbuatan melawan hukum yaitu suatu sikap psikis si pelaku yang
berhubungan dengan kelakuannya,yaitu: Disengaja dan sikap kurang hati-hati
atau lalai.
3) Tidak ada alasan pembenar atau alasan yang menghapus pertanggung
jawaban pidana bagi si pembuat pidana.
Kemampuan bertanggung jawab merupakan unsur kesalahan, maka untuk
membuktikan adanya kesalahan, unsur tadi harus dibuktikan lagi. Mengingat hal
ini sukar untuk di buktikan dan waktu yang cukup lama, maka unsur kemempuan
bertanggung jawab di anggap diam-diam selalu ada karena pada umumnya setiap
orang normal batinnya dan mampu bertanngung jawab, kecuali kalau ada
tanda-tanda yang menunjukkan bahwa terdakwa mungkin jiwanyatidak normal. Dalam
hal ini hakim memerintahkan pemeriksaan yang khusus terhadap keadaan jiwa
terdakwa sekalipun tidak di minta oleh pihak terdakwa. Jika hasilnya masih
meragukan hakim, itu bahwa kemampuan bertanggung jawab tidak berhenti,
sehingga kesalahan tidak ada dan pidan tidak dapat di jatuhkan berdasarkan asas
tidak dapat di pidana jika tidak ada kesalahan.
Masalah kemampuan bertanggung jawab ini terdapdalam pasal 44 ayat (1) KUHP
yang berbunyi : “Barang siapa melakukan perbuatan yan g tidak dapat di
karena terganggu karena cacat, tidak di pidana”5. Bila tidak
dipertanggungjawabkan itu di sebabkan hal lain, misalnya jiwanya tidak normal
karena dia masih muda maka Pasal tersebut tidak berlaku. Apabila hakim akan
menjalakan Pasal 44 KUHP, maka sebelumnya harus memperhatikan apakah telah
terpenuhnya dua (2) syarat sebagai berikut :
1) Syarat psikiatris yaitu pada terdakwa harus kurang sempurna akalnya atau
sakit berubah akal, yaitu keadaan kegilaan (idiot), yaitu mungkin ada sejak
kelahiran atau karena suatu penyakit jiwa dan keadaan ini terus menerus.
2) Syarat psikologis adalah ganguan jiwa itu haru pada waktu terdakwa
melakukan perbuatan pidana, oleh sebab itu gangguan jiwa yang timbul
sesudah pristiwa tersebut, dengan sendirinya tidak dapat menjadi sebab
terdakwa tidak dapat di kenai pidana.
Dasar penghapusan pidana atau juga dapat di sebut sebagai alasan-alasan
menghilangkan sifat tindak pidana ini termuat dalam buku 1 KUHP, selain itu ada
juga dasar penghapusan di luar KUHP, yaitu:
1) Hak mendidik orang tua atau wali terhadap anaknya atau guru terhadap
muridnya.
2) Hak jabatan atau pekerjaan.
Hal yang termasuk pembenaran bela paksa pasal 49 ayat (1) KUHP, keadaan
darurat , pelaksanaan peraturan perundang-undangan Pasal 50, perintah karena
jabatan 51 ayat (1). Dalam dasar pemaaf ini semua unsur tindak pidana, termasuk
sifat melawan hukum dari suatu tindak pidana tetap ada, tetapi hal yang
menjadikan si pelakunya tidak dapat diminta pertanggungjawabkan pidananya.
5
Yang termasuk dalam dasarpemaf yaitu: kekurangan atau penyakit dalam daya
berpikir, daya paksa (evermacht), bela paksa, lampau batas (noodweerexes),
perintah jabatan.
C. Putusan Pengadilan
1. Pengertian Putusan Pengadilan
Putusan atau pernyataan hakim yang di ucapkan dalam siding pengadilan terbuika
disebut dengan putusan pengadilan, sebagaiimana yang telah di tenttukan dalam
Pasal 1 butir ke 11 KUHAP yang menyatakan bahwa:
“Putusan pengadilan merupakan pernyataan hakim yang di ucapkan dalam sidang
terbukayang dapat berupa pemiidanaan atau bebas atau lepas dari segalka tuntutan
hukm dalam hal serta menurut cara yang di atur dalam undang-undang ini”6
Pengambilan putusan oleh hakim pengadilan adalah di dasarkan pada surat
dakwaan dan segala buktidalam sidang pengadilan, sebagaimana dinyatakan
dalam pasal 191 KUHAP. Dengan demikian surat dakwaan dari penuntut umum
merupakan dasar hukum acara pidana, karena dengan berdasarkan pada dakwaan
itulah pemeriksaan di sidang pengadilan dilakukan. Dalam suatu persidangan pi
pengadilan seorang tidak dapat menjatuhkan pidana di luar batas-batas dakwaan.
Walaupun surat dakwaan merupakan dasar bagi hakim untuk menjatuhkan
hukuman, tetapi hakim tidak terikat pada surat dakwaan tersebut. Hal ini di
dasarkan pada Pasal 183 KUHAP, yang menyatakan :
6
“Hakim tiidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorangkecuali sekurang
-kurangnya dua alat bukti yang sah,ia mmemperoleh keyakinan bahwa
teerdakwalah yang bersalah melakukannya”.7
Dengan demikian yang menjadi syarat bagi hakim uuntuk menjatuhkan putusan
pidana terhada suatu perkara pidana adalah :
1) Adanya alat bukti yang cukup dan sah.
2) Adanya keyakinan hakim.
Mengenai alat bukti yang sah, ditentukan dalam pasal184 KUHAP bahwa :
Alat bukti yang sah adalah :
a) Keterangan saksi;
b) Keterangan ahli;
c) Surat;
d) Keterangan terdakwa.8
1. Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu di buktiikan.
Menurut Andi Hamzah9, ada 5 (lima) hal yang menjadi tanggungjawab dari
seorang hakim, yaitu:
a) Justisialis hukum
Yang di maksudd Justisialis adalah mengadilkan.Jadi putusan hakim yang
dalam prateknya memperhitungkan kemenfaatan (doel matigheld) perlu di
adilkan.Makna dari hukum {dezin van het recht) terletak dalam justisialisasi
dari pada hukum.
b) Penjiwaan hukum
Dalam berhukum (recht doen) tidak b oleh merosot menjadi sesuatu adat
yang hapa dan tidak berjiwa, melainkan harus senanttiasa si resapi oleh jiwa
untuk berhukum. Jadi hakim harus memperkuat hukum dan harus tampak
sebagai pembela hukum dalam memberi putusan.
c) Pengintegrasian hukum
Hakim perlu senantiasa sadar bahwa hukum dengan kasus tertentu merupakan
ungkapan hukuum pada umumnya.Oleh karena itu putusan hakim pada kasus
tertentu tidak ahnya perlu di adilkan dan di jiwakan melainkan perlu di
integrasikan dalam system hukum yang srdang berkembang oleh
perundang-undangan, peradilan dan kebiasaan.Perlu di jaga supaya putusan hakim dapat
di integrasikan dalam system hokum positif sehingga semua usaha berhukum
senantiasa menuju kepemulihan kepada posisi asli (restitution in integrum).
d) Totalitas hukum
Maksudnya menempatkan hukum keputusan hakim dalam keseluruhan
kenyataan. Hakim melihat dari segi hukum, di bawah ia melihat kenyataan
ekonomis dan social sebaliknya di atas hakim melihat dari segi moral dan
religi yang menuntut nilai-nilai kebaikan dan kesucian.
e) Personalisasi hukum
Personaliisasi hukum in menghususkan keputusan kepada personal
(kepribadian) dari pihak yang mnencari keadilan dalam proses.Perlu di iingan
yang mempunyai keluhuran. Dalamm personalisasi hukum ini memuncaklah
tanggungjawabhakim sebagi pengayom (pelindung) disini hakim di panggil
untuk bias memberikan pengayoman kepada manusia-manusiayang wajib di
pandangnya sebagai kepribadiian yang mencari keadilan.
Pasal 10 menentukan:
(3) Pengadilan dilarang menolak untuk memeriiksa, mengadili, dan memutuskan
suuatu perkara yang di ajukan dengan dalih bahwa hukum ada atau kurang
jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadili;
(4) Ketentuann sebagaimana di maksud pada ayat (1) tidak menutup usaha
penyelesaian perkara perdata secara perdamaian.
Dasar hukum putusan pelepasan terdakwa dari seggala tuntutan hukum adalah
Pasal 191 aya (2) KUHAP, yang menyatakan:
“ Jika pengadilan terdapat bahwa perbuatan yang di dakwakan kepada terdawa
terbukti, akan tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka
terdakwa di putus lepas dari segala tuntutan hukum”.10
Alasan tidak dapat di pidananyya terdakwa karena alasan pemaaf sebagaimana di
atur dalam Pasal 48 KUHP; “apabila terdakwa melakukan perbuatan karena
pengaruh daya paksa”, Pasal 49 KUHP; “apabila tyerdakkwa melakukan
perbuatan karena untuk pembelaan yang di sebabkan karena adanya serangan atau
ancaman “, Pasal 50 KUHP”, “apabila terdakwa melakukan perbuatan untuk
10
melaksanakan ketentuan Undang-undang”, dan Pasal 51 HUHP; “apabila
terdakwa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan”.
Dasar hukum keputusan tersebut adalah Pasal 193 ayat (1) KUHAP yang
menyatakan :
“Jika pengadilann terdapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana
yang di dakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkkan pidana”.11
2.Pertimbangan Hakim Tentang Berat Ringannya Pidana
Masalah berat ringannyan pidana yang akan di jjatuhkan kepada terdakwa atau
tersangka merupakan kewenangan dan kebebasan dari hakim dalam hal
menetapkan tinggi rendahnya pidana, dimana hakim dapat menjatuhkan putusan
pidana dalam batas maksimum dan minimum.
Menurut Oemar Seno Adji 12 mengatakan bahwa :
“dalam maksimum dan minimum tersebut, hakim pidana bebas dalam mencari
hukuman yang di jatuhkan terdapat terddakwa secara tepat. Kebebas tersebut
berarti kebebasan mutlak tetapi terbatas. Ia tidak mengandung arti dan maksud
untuk menyalurkan dangan sewenang-wenang subyektif untuk menetapkan berat
ringannya hukuman tersebut menurut eigen enzicht atupun eigen goeddunken
secara concrite”.
Hakim sebelum menjatuhkan hukuman berupa pemidanaan sudah seharusnyalah
untuk memperhitungkan hall-hal yang memberatkan dan hal-hal yang
meringankan perbuatan tindak pidana yang dilakukan terdakwa. Mengenai hal-hal
11
. Pasal 193 ayat (1) KUHAP.
12
yang memberatkkan dan yang meringankan yang dapat di jadikan pedomann oleh
hakim dalam menetapkan apa yang dapat memberatkan da yang meriingankan
pidanaa tidak di atur dalam KUHP Negara kita yang berlaku sekarang. Tetapi
tercantum dalam memori toelichting dari W.c.s. Belanda tahun 1986, dapat di
jadikan pedoman bagi hakim dalam menjatuhkan pidana. Adapun terjemahannya
adalah sebagai berikut :
“Dalam menentukan tinggi rendahnya pidana , hakim untuk tiap kejadian harus
memperhatikan keadaan obyektif dan subyektif dari tindak pidana yang di
lakukan, harus memperhatikan perbuatan dan perbuatannya. Hak-hak apa saja
yang di langgar dnggan adanya tindak pidana ini? Keerugian apakah yang di
timbulkan? Baggaimanakah terjang kehiduupan si pembuat dulu-dulu? Apkah
kejahatan yang di persalahkan kepadanyahh tamp itu langkah pertama kejalan
sesat ataukah perbuatann yang merupakan suatu pengulangan dari watak jahat
yang sebelumnya sudah tampak? Batas antara maksimum dan minimum harus di
tetapkan seluas-luasnya sehingga meskipun semua pernyaan di atas itu di jawab
dengan merugikan terdakwa, masimum pidana yang biasa itu sudahh memadai
(Soedarto, 1986 :47-48).13
D. Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Pidana
Dasar pertimbangan hakim atau pengadilan adalah “gobenden vrijheid”, yaitu
kebebasan terikat/terbatas karena di beri batas oleh undang-undang yang berlaku
dalam batas tertentu. Hakim memiliki kebebasan dalam menetapkan dan
menentukan jenis pidana (strafsoort), ukuran pidana atau barat ringannya pidana
13
(strafmaat), cara pelaksanaan pidana (straf modus) dan kebebasan untuk
III. METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Masalah
Pendekatan masalah yang di gunakan dalam pembahasan penelitian ini penulis
melakukan dengan dua (2) Pendekatan, yaitu denan cara yuridis normatif dan
yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif dilakukan dengan mempelajari,
melihat dan menelaah mengenai beberapa hal yang bersifat teoritis yang
menyangkut asas hukum, konsepsi, pandangan, teori-teori, peraturan hukum dan
sistem hukum yang berkenaan dengan permasalahan yang akan di bahas yaitu
putusan Pengadilan Negeri dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi. Pendekatan
masalah dengan cara yuris normatif di meksudkan untuk memperoleh pemahaman
tentang pokok bahasan mengenai gejala dan obyek yang sedang ditaliti yang
bersifat teoritis berdasarkan atas kepustakaan dan literatur yang berkaitan dengan
permasalahan yang akan di bahas. Penelitian ini bukunlah memperoleh hasil yang
dapat di uji melalui statistik, tetapi penelitian ini merupakan penapsiran subjektif
yang merupakan pengembangan teori-teori dalam rangka penemuan-penemuan
ilmiah (Soejono Soekanto dan Sri Mamudji, 1986 : 15).
Sedangkan pendekatan yuridis empiris dilakukan untuk mempelejari hukum
baik berupa pendapat , sikap dan perilaku hukum yang di dasarkan pada
identifikasi hukum dan efektifitas hukum.
B.Sumber dan Jenis Data
Sumber data adalah tempat dari mana data tersebut di peroleh. Dalam penelitian
ini data yang di peroleh berdasarkan data lapangta dan data pustaka. Jenis data
penulisan ini menggunakan Dua (2) jenis data, yaitu:
1. Jenis Data Primer
Data primer adalah data yang di dapat secara langsung dari sumber pertama
(Soejono Soekanto, 1984: 12). Dengan demikian data primer merupakan data
yang di peroleh dari studi lapangan yang tentunya berkaitan dengan pokok
penulisan yaitu terkait mengenai Putusan Hakim Nomor : 22 / PID.TPK / 2012/
PN.TK.
2. Jenis Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang di peroleh dari bahan pustaka yang terdiri dari 3
macam bahan data,yaitu:
a) Bahan hukum primer, yaitu:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
2. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
3. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun
4. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
5. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
b) Bahan Hukum Sekunder, yaitu:
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1983 tentang
Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Putusan Pengadilan
Negeri Nomor : 22 / PID.TPK / 2012/ PN.TK.
c) Bahan Hukum Tersier, yaitu:
Literatur-literatur dan dokumen-dokumen seperti ponis atau putusan Pengadilan
Negeri Tanjung Karang.
C. Penentuan Narasumber
Adapun responden dalam penelitian ini ialah:
1. Hakim pada Pengadilan Negeri Tanjung karang : 2 orang
2. Jaksa pada Kejaksaan Negeri tanjung Karang : 2 orang
3. Dosen pada Fakultas Hukum Universitas Lampung : 1 orang
D. Prosedur Pengumpulan Data dan Pengolahan Data
1. Prosedur Pengumpulan data
Pengumpulan data yang akan di gunakan penulisan dalam penyusunan skripsi ini
adalah melalui pengumpulan data primer dan data sekunder, yaitu sebagai
berikut:
a) Studi Lapangan
Untuk memperoleh data primer di tempuh dengan melekukan wawancara untuk
mendapatkan gambaran yabng jelas tentang permasalahan yang penulis kaji.
Wawancara di tujukan kepada Hakim dan jaksa pada Pengadilan Negeri Tanjung
Karang, Serta Dosen Fakultas Hukum Universitas lampung.
b) Studi Kepustakaan
Untuk memperoleh data sekunder penulis melakukan dengan cara membaca
menelaah, mencatat dan mengutip dari perundang-undangan yang berlaku serta
literatur-literatur dan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan Putusan
Pengadilan Negeri Tanjung Karang tentang Tindak Pidana Korupsi.
2. Prosedur Pengolahan Data
Dalam melaksanakan pengolahan data yang di peroleh, maka selanjutnya penulis
melakukan pengolahan terhadap data tersebut dengan langkah sebagai berikut:
1) Editing data, yaitu memeriksa data yang telah di peroleh, dan di teliti kembeli
2) Klasifikasi data, yaitu hasil identifikasi data yang selanjutnya
diklasifikasikan atau di kelompokkan sehingga memperoleh data yang
benar-benar objektif.
3) Sistematika data, yaitu penyusunan data menurut sistematika yang telah
ditetapkan dalam penelitian sehingga memudahkan peneliti dalam
menginterpretasikan data.
E. Analisis Data
Setelah keseluhan data baik data primer maupun data sekunder terkumpul
keseluruhan kemudian di analisis secara kualitatif yaitu dengan mendeskripsikan
data yang di hasilkan dalam bentuk penjelasan atau uraian kalimat yang di susun
secara sistematis dari analisis data tersebut dilanjutkan dengan menarik
kesimpulan secara induktif yaitu suatu cara berfikir yang berdasarkan fakta-fakta
yang bersifat umum kemudian ditarik kesimpulan secara khusus yang merupakan
V. PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai pertanggungjawaban
pidana pelaku tindak pidana pada putusan No. 22/PID.TPK/2012/PN.TK dalam
penelitian skripsi ini, maka dalam bab V ini penulis dapat mengambil kesimpulan
sebagai berikut:
1. Pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana korupsi dalam perkara
Nomor : 22/PID.TPK/2012/PN.TK dikenakan pidana penjara selama 4 (empat)
tahun dan pidana denda sebesar Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah).
Hakim menyatakan bahwa terdakwa Wendy Melfa, S.H.,M.H telah terbukti
secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi yaitu
menyalahgunakan kewenangan memak up harga pembelian tanah untuk PLTU
Lampung Selatan sehingga i kemahhalan harga tanah, yang harga sebenarnya
sebesar Rp.25.000,- dibuat menjadi Rp.40.000, kesempatan atau sarana yang
ada padanya karena jabatan atau kedudukan untuk menguntungkan diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi sehingga oleh hakim sebagai orang yang
cakap hukum dan dinilai mampu untuk mempertanggungjawabkan akibat dari
Tindak Pidana Korupsi Pada pengadaan Tanah PLTU Lampung Selatan dalam
Perkara Nomor 22/PID.TPK/2012/PN.TK yaitu:
a) Majelis Hakim menilai bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan yang
dituduhkan kepadanya.
b) Majelis Hakim menilai perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh
Terdakwa yaitu terbukti melanggar Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-undang
Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah dirubah dengan Undang-undang
Nomor 20 Tahun 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP karena
terdakwa melakukan Tindak Pidana “Bersama-sama Melakukan Korupsi”
Pengadaan tanah PLTU Lampung Selatan, bahwa terdakwa telah melakukan
tindakan penyalahgunaan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan untuk menguntungkan diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi.
c) Sifat melewan hukum yang dilakukan terdakwa pada Pasal 2 ayat (1) UU
PTPK meyebutkan, yang dimaksud “melawan hukum” mencakup perbuatan
melawan hukum dalam arati formil maupun materiil, yakni meski perbuatan
itu tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun jika perbuatan
itu dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma
Berdasarkan kesimpulan dan analisa atas permasalahan yang telah dibahas diatas,
maka saran penulis adalah :
1. Pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana korupsi, hakim dalam
menjatuhkan suatu putusan harus bersandar pada nilai yang hidup dalam
masyarakat, meletakkan mata dan hati dalam masyarakat sehingga tidak hanya
berpaku pada Undang-undang saja. Oleh karena itu kemampuan hakim dalam
menggali peristiwa hukum harus dipertajam, hakim harus bersifat aktif dan
kreatif dalam menemukannya, karena itu akan menjadi acuan seorang hakim
dalam menjatuhkan suatu putusan selain dari ketentuan Undang-undang,
sehingga dalam menjatuhkan suatu putusan dpat mencerminkan rasa keadilan
dan tidak menimbulkan pandangan negative dari masyarakat.
2. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap pelaku
tindak pidana korupsi harus mempertimbangkan berbagai keterangan saksi,
keterangan ahli, keterangan terdakwa dan alat-alat yang dapat dijadikan bukti
serta dakwaan yang diajukan oleh jaksa penuntut umum di pengadilan. Hal ini
dimaksudkan agar pelaksanaan putusan pengadilan yang menyangkut perkara
tindak pidana korupsi dapat berjalan secara efektif dan benar-benar dapat
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Hamzah dan Santoso Nanda, 1996, Kamus Pintar bahasa Indonesia.
Fajar Mulya. Surabaya.
Arif, Barda Nawawi. 2001. Teori-Teori Penanggulangan kejahatan.
Alumni.Bandung.
Hamzah Andi, 1986. Pengantar Hukum Acara Pidana. Liberty. Yogyakarta.
Hatrik, Hamzah, 1996. Asas Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum
Pidana Indonesia. Raja Grafindo. Jakarta.
Kartono, kartini, 2001, Potologo Sosial, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Moeljatno, 1993. Asa-Asas dan Hukum Pidana, Rineka Cipta. Jakarta.
Muladi dan Barda Nawawi Arif. 1992. Terori-Teori dan Kebijakan Pidana. Cet 3.
Alumni. Bandung.
Nawawi, Barda, 2002. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Citra Aditya
Bakti. Bandung.
Saleh, Ruslan. 1981. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana.
Angkasa. Jakarta.
Seno Aji, Oemar. 1984. Hukum-Hukum Pidana. Erlangga. Jakarta.
Soekanto, soejono. 1995, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia
Press. Jakarta.
Sudarto, 1986. Hukum dan Hukum Pidana, Cet 4. Alumni. Jakarta.
Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1991. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Kitab Undang-Undang hukum Pidana dan Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana, Rineka Cipta. Jakarta.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang