• Tidak ada hasil yang ditemukan

SURAT PENCATATAN CIPTAAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SURAT PENCATATAN CIPTAAN"

Copied!
122
0
0

Teks penuh

(1)

REPUBLIK INDONESIA

KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

SURAT PENCATATAN

CIPTAAN

Dalam rangka pelindungan ciptaan di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, dengan ini menerangkan:

Nomor dan tanggal permohonan : EC00201901805, 21 Januari 2019

Pencipta

Nama : Dr. Siti Kotijah, S.H., M.H

Alamat : Jl. Pramuka No.107 Kelurahan Sempaja Selatan, Kecamatan

Samarinda Utara, Samarinda, Kalimantan Timur, 75117

Kewarganegaraan : Indonesia

Pemegang Hak Cipta

Nama : Dr. Siti Kotijah, S.H., M.H

Alamat : Jl. Pramuka No.107 Kelurahan Sempaja Selatan, Kecamatan

Samarinda Utara, Samarinda, Kalimantan Timur, 75117

Kewarganegaraan : Indonesia

Jenis Ciptaan : Buku

Judul Ciptaan : Pengantar Kekuasaan Diskresi Pemerintahan

Tanggal dan tempat diumumkan untuk pertama kali di wilayah Indonesia atau di luar wilayah Indonesia

: 1 Agustus 2018, di Samarinda

Jangka waktu pelindungan : Berlaku selama hidup Pencipta dan terus berlangsung selama 70

(tujuh puluh) tahun setelah Pencipta meninggal dunia, terhitung mulai tanggal 1 Januari tahun berikutnya.

Nomor pencatatan : 000133561

adalah benar berdasarkan keterangan yang diberikan oleh Pemohon.

Surat Pencatatan Hak Cipta atau produk Hak terkait ini sesuai dengan Pasal 72 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

a.n. MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA DIREKTUR JENDERAL KEKAYAAN INTELEKTUAL

Dr. Freddy Harris, S.H., LL.M., ACCS. NIP. 196611181994031001

(2)
(3)

ii

PENGANTAR

KEKUASAAN DISKRESI

PEMERINTAHAN

Disusun oleh:

Agustina Wati, S.H., M.H.

Bayu Prasetyo, S.H., M.H.

Dr. Siti Kotijah, S.H., M.H.

(4)

iii

PENGANTAR KEKUASAAN DISKRESI PEMERINTAHAN

© Hak cipta dilindungi undang-undang

Penulis : Agustina Wati, S.H., M.H. Bayu Prasetyo, S.H, M.H

Dr. Siti Kotijah, S.H., M.H. Editor : Dr. Siti Kotijah, S.H., M.H. Desain Cover : Linkmed

Layout : Linkmed

Diterbitkan (Cetakan 2) Tahun 2019 oleh: RV Pustaka Horizon

Jl. Alam Segar 4 Samarinda, Kalimantan Timur viii + 112 hlm; 14,5 x 20,5 cm

ISBN : 978-602-5431-41-8

Wati, Agustina, Prasetyo, Bayu,, Kotijah, Siti. 2018. Pengantar Kekuasaaan Diskresi Pemerintahan.

Pencetak: Lingkar Media

Perum. Gunung Sempu RT. 06 Jl. Menur No. 187 Bantul, Yk Telp. /WA: 0857 1215 8655

Email: lingkarmedia17@yahoo.com / hamasafan7@gmail.com

Dilarang keras memfotokopi atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku tanpa seizin tertulis dari penulis/penerbit

(5)

iv

KATA PENGANTAR

Berbagi sedikit ilmu, itulah motivasi utama kami, untuk menulis buku Pengantar Kekuasaan Diskresi Pemerintahan. Ini ditandai atas minimnya buku-buku text yang terkait dengan diskresi. Perkembangan hukum administrasi menjadi minat studi di Fakultas Hukum Universitas Mulawaman, tidak didukung dengan perkembangan buku text sebagai literatur yang menunjang keilmuan Hukum administrasi.

Lahirnya Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, menjadi dasar berpijak badan/pejabat pemerintah dalam melakukan tindakan diskresi. Diskresi mempunyai unsur-unsur yaitu diskresi adalah keputusan dna/atau tindakan, keputusan dan/atau tindakan itu ditetapkan dan/atau dilakukan oleh pejabat pemerintahan, tujuannya untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan, diskresi dilakukan dalam hal peraturan perundang-undangan memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap, atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan.

Selain itu, diskresi bertujuan untuk melancarkan penyelenggaran pemerintahan, mengisi kekosongan hukum, memberikan kepastian hukum, dan mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum, semua itu dalam proses meningkatkan pelayanan bagi masyarakat serta dalam rangka untuk penyelenggaraan pemerintahan.

Buku ini tentu, masih jauh dari kesempurnaan, karena keterbatasan pengetahuan dan kelimuan kami, akan tetapi inilah sumbangsih yang dapat berikan sebagai akademisi. Berbagi ilmu, dan berbuat baik, walaupun itu sedikit, dari pada tidak sama sekali. Semoga buku ini bermanfaat bagi semua orang dan bagi kami sendiri untuk pengembangan hukum administrasi.

(6)

v Kepada keluarga kami, terima kasih atas segala motivasi, doa, dan semangat untuk menyelesaian buku ini. Ucapan terima kasih bagi semua pihak yang telah membantu dalam penerbit buku, kami ucapakan terimakasih. Sesuatu yang indah, jika kita bisa menorehkan karya dalam tulisan yang mengispirasi sesama.

Samarinda, 1 Agustus 2018

Penulis

(7)

vi

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……….……….. iv DAFTAR ISI ………. vi BAB I PENDAHULUAN ………. 1 1.1. Pengertian kekuasaan diskresi pemerintahan …………. 1 1.2. Prasyarat dalam menggunakan Kekuasaan Diskresi

Pemerintah ………. 19 1.3. Pembatasan dalam Kekuasaan Diskresi Pemerintahan... 28 1.4. Sejarah Kekuasaan Diskresi Pemerintahan ……… 34 BAB II

KONSEP KEKUASAAN DISKRESI PEMERINTAH …… 50 2.1. Hakikat Kekuasaan Diskresi Pemerintahan ………….. 50 2.2 Asas Hukum Umum dalam Kekuasaan Diskresi

Pemerintahan ……….. 57 2.3 Asas-asas Hukum yang Membatasi Penerapan

Kekuasaan Diskresi Pemerintah ………. 64 2.4. Dasar pengujian terhadap pelaksanaan kekuasaan

diskresi pemerintah ……… 65 2.5 Konsep Kekuasaan Diskresi Pemerintahan berdasarkan

Undang-Undang Administrasi Pemerintahan …... 71 BAB III

PENGATURAN KEKUASAAN DISKRSI

PEMERINTAHAN ………... 73 3.1. Pengaturan di UUD NRI Tahun 1945 ……… 73 3.2. Pengaturan Perundang-Undangan yang Terkait dengan

(8)

vii 3.3. Peraturan Pemerintah yang Terkait dengan Kekuasaan

Diskresi Pemerintahan ………... 90

DAFTAR PUSTAKA ………... 96

GLOSARIUM ……….. 102

INDEXS ……… 106

(9)
(10)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Pengertian Kekuasaan Diskresi Pemerintahan

ukum administrasi negara sebagai hukum publik berisi seperangkat aturan tentang individu yang menjalankan lembaga pemerintahan. Lembaga pemerintahan itu melekat jabatan1 yang dipimpin oleh seorang pejabat. Dalam jabatan itu melekat suatu kewenangan. Wewenang pemerintahan ber-dasarkan sifatnya dapat dibagi sebagai berikut:2

1. Wewenang yang bersifat terikat, yakni kewenangan yang harus sesuai dengan aturan dasar yang menentukan waktu dan keadaaan wewenang tersebut dapat dilaksanakan, termasuk rumusan dasar isi dan keputusan yang harus diambil. Ini mengatur syarat-syarat digunakan wewenang. Syarat ini mengikatkan bagi organ pemerintahan ketika akan menjalan-kan wewenangnya dan mewajibmenjalan-kan sesuai dengan aturan dasar dimaksud ketika wewenang dijalankan.3 Contoh penyelidik

1

Jabatan istlah badan/organ, atau badan administratif, subyek hukum menurut badan hukum atau badan menurut hukum publik, menurut hukum tata negara, badan atau organ administatif adalah setiap orang dan setiap dewan/college yang memegang suatu kekuasaan umum. Utrecht menyatakan jabatan adalah suatu lingkungan pekerjaan tetap (kring van vaste werkzaamheden) yang diadakan dan dilakukan guna kepentingan negara (kepentingan umum), lihat Sadjijono, 2011, Bab-Bab Pokok Hukum

Adminsitrasi, Laksbang press; Yogjakarta, hlm 59-60.

2

Ibid, hlm. 92.

3 Wewenang terikat, adalah pemberian oleh peraturan perundang-undangan kepada

badan atau pejabat pemerintahan dapat menggunakan rumusan dengan mandatory

terms, yaitu terminologi yang bersifat memerintah, misalnya harus atau wajib (shall atau must) atau permissive terms, yaitu terminologi yang memperbolehkan, seperti

dapat (may) atau dimana membuat keputusan harus mempertimbangkan secara layak. Lihat Peter Leyland and Gordong Anthony, hlm 180. Pada hukum administrasi

(11)

2

menghentikan penyidikan. Penghentian penyelidikan merupa-kan wewenang penyidik yang bersifat terikat, karena penyidik dapat melakukan penghentian penyelidikan dengan syarat: a) perkara hukum merupakan perbuatan hukum; b) tidak cukup bukti unsur pidananya; dan c) tersangka meninggal dunia; 2. Wewenang bersifat fakultatif yaiu wewenang yang dimiliki

badan atau pejabat administrasi, namun demikian tidak ada kewajiban atau keharusan untuk menggunakan wewenang tersebut dan sedikit banyak masih ada pilihan lain. Walaupun pilihan tersebut hanya dapat dilakukan dalam hal dan keadaan tertentu berdasarkan aturan dasarnya. Contoh polisi tidak menjatuhkan tilang kepada pelanggar di jalan. Dalam hal ini tidak melakukan tilang ini adalah pilihan lain di dasari alasan-alasan yang masih dalam lingkup kewenangan; dan

3. Wewenang bersifat bebas yakni wewenang badan atau pejabat pemerintahan (administrasi) dapat menggunakan wewenang-nya secara bebas untuk menentukan sendiri mengenai isi dari keputusan yang akan dikeluarkan, karena peraturan dasarnya memberikan kebebasan kepada penerima wewenang tersebut. Contoh polisi menentukan ditembak dan tidaknya tersangka ketika ditangkap. Tindakan ditembak atau tidaknya tersebut

Perancis, wewenang terikat disebut competence lie‟e, yang secara harfiah berarti bound

authority, yaitu wewenang yang di dalamnya tidak ada ruang untuk memilih sama

sekali (that is has no discretion at all), wewenang terikat adalah wewenang yang di dalamnya tidak untuk memilih sama sekali. Menurut Timothy Endicott, wewenang terikat berarti badan atau pejabat pemerintahan terikat kewajiban untuk menggunakan wewenangnya dengan cara-cara tertentu. Jika undang-undang mewajibkan badan atau pejabat pemerintahan untuk melaksanakan wewenangnya dengan cara tertentu, kemudian membebankan kewajiban hukum, maka itu wewenang terikat dan tidak ada diskresi di dalamnya. Seperti UU 37 ayat (1) UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Lihat Aan, Freddy Poernomo, Sinar Grafika, Jakarta, hlm 119.

(12)

3 didasari penilian bebas dan anggota polisi yang bertugas melakukan penangkapan.

Menurut N.M.Spelt dan J.B.J.M. ten Berge, sebagaimana dikutip Philipus M.Hadjon, kewenangan bebas dibagi 2 (dua) yaitu:4

a) Kewenangan kebijaksanan (beledsvrijheid)/ wewenang diskresi dalam arti sempit, yaitu bila peraturan perundang-undangan memberikan wewenang tertentu kepada organ pemerintahan. Sedang organ tersebut bebas untuk (tidak) menggunakan meskipun syarat-syarat bagi penggunannya secara sah dipenuhi; dan

b) Kebebasan penilian (beoondelingsvrijheid)/wewenang diskresi dalam arti tidak sesungguhnya ada, yakni wewenang menurut hukum diserahkan kepada organ pemerintahan untuk menilai secara mandiri dan ekskultif apakah syarat-syarat bagi pelaksanaan suatu wewenang secara sah telah dipenuhi.

Pemberian wewenang5 kepada pemerintah untuk bertindak bebas tersebut didasari pertimbangan, bahwa wewenang pemerintahan yang berdasarkan pada peraturan perundang-undangan tidak cukup maksimal dalam melayani kepentingan

4

Philipus M. Hadjon, 2004, Pemerintahan menurut hukum (weten rechtmatigheid

van bestuur, makalah tidak dipublikasikan. Selanjutnya beliau menyimpulkan adanya 2

(dua) jenis kekuasaan bebas atau kekuasaan diskresi yakni: 1) wewenang untuk memutus secara mandiri; dan 2) kewenangan interpretasi terhadap norma yang kabur (voge norm).

5

Merujuk pada UU No.30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, membedakan wewenang dengan kewenangan. Wewenang adalah hak yang dimiliki oleh badan dan/atau pejabat pemerintah dan/atau tindakan dalam penyelenggaraan pemerintahan (Pasal 1 angka 5). Kewenangan pemerintahan yang selanjutnya disebut kewenangan adalah kekuasaan badan dan/atau pejabat pemerintahan atau penyelenggaraan negara lainnya untuk bertindak dalam ranah hukum pidana (Pasal1 angka 6),

(13)

4

masyarakat yang berkembang terus, dan dalam konsep negara sejahteraan (welfarestate),6 pemerintah lebih banyak meng-gunakan diskresi dalam mewujudkan kesejahteraan umum.

Di dalam negara kesejahteraan pemerintah mempunyai tujuan yang ingin dicapai yaitu wujudnya kesejahteraan umum, karena itu fungsi pemerintahan dapat dipetakan, meliputi;

a) Fungsi perancangan (planning); b) Fungsi pengaturan (regeling); c) Fungsi Tata Pemerintahan (bestuur); d) Fungsi Kepolisian (police);

e) Fungsi penyelesaian perselisihan secara adminsitrasi (administratieve rechspleging);

f) Fungsi pelayanan (public service); g) Fungsi perberdayaan dan pembangunan;

h) Fungsi penyelenggaraan usaha-usaha negara yang dilakukan oleh dinas-dinas, lembaga-lembaga dan perusahaan-perusahaan negara;

i) Fungsi keuangan;

j) Fungsi hubungan luar negeri; k) Fungsi pertahanan dan keamanan;

l) Fungsi penyelenggaraakan kesejahteraan umum; dan m) Fungsi kewarganegaraan (bergers).

6

Di dalam sejarah hukum Eropa Kontinental dengan konsep negara hukum

(rechstaat), hukum administrasi lahir sebagai konsekwensi konsep negara hukum

liberal (de liberale rechstaatsidee) pada abad XIX. Konsep dasar hukum liberar adalah keterikatan kekuasaan pemerintah pada undang-undang (asas legalitas dan jaminan perlindungan hak asasi manusia. Hukum administrasi salah satu instrumen dari negara hukum, seperti J. Sthal. Salah satu unsur negara hukum yakni adanya peradilan adminsitrasi.

(14)

5 Fungsi pemerintahan tersebut, wewenang merupakan bagian yang penting. Wewenang hanya berlaku dalam konsep hukum publik. Di dalam hukum publik konsep wewenang berkaitan erat dengan kekuasaan, namun tidak dapat diartikan sama.7 Konsep wewenang pemerintahan ini, tidak hanya wewenang membuat keputusan (besluit), tetapi semua wewenang dalam penyelenggaraan tugas pemerintahan.

Pemerintahan dijalankan oleh seorang pejabat pemerintah, pejabat tersebut memiliki sebuah kewenangan yang disebut diskresi. Diskresi dalam Bahasa Inggris dikenal dengan istilah

“discretion” atau “discretion power,” di Indonesia lebih populer

dikenal dengan istilah diskresi yang diterjemahkan “kebebasan bertindak” atau keputusan yang diambil atas dasar penilaian sendiri.

Menurut kamus hukum diskresi berarti kebebasan mengambil keputusan dalam setiap situasi yang dihadapi menurut pendapatnya sendiri. Sedang dalam Black Law Dictionary, istilah

“discretion” berarti (A public official‟s power or right to act in certain circumstances according to personal judgment and

7

Di dalam hukum wewenang tidak sama dengan kekuasaan terikat (maacht). Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat atau tidak berbuat. Sedang wewenang sekaligus berarti hak dan kewajiban (Bagir Manan: 78), hak berisi kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu atau menuntut pihak lain untuk melakukan tindakan tertentu. Sedang kewajiban memuat keharusan untuk melakukan atau tidak melakukan tindak. Menurut Hern van Maarseven, dalam hukum publik wewenang sekurang-kurangnya terdiri ada 3 (tiga) komponen yaitu: a) komponen pengaruh, ialah bahwa penggunaan wewenang dimaksudkan untuk mengendalikan perilaku subyek hukum; b) komponen dasar hukum, bahwa wewenang itu selalu harus dapat ditunjuk dasar hukumnya; dan c) komponen konformitas hukum, mengandung makna adanya standar wewenang, baik standar umum (semua jenis wewenang) maupun standar khusus (untuk jenis wewenang tertentu (Phlipus M. Hadjon: 5)

(15)

6

conscience).8 Dalam Webster‟s New World College Dictionary

(1988:392), diskresi berati kebebasan atau kekuasaan untuk membuat keputusan dan pilihan-pilihan; kekuasaan untuk menghakimi atau bertindak. Sementara menurut Lehman (2004:449), dalam West‟s Encyclopedia of American Law mendefinisi discretion dengan, “the power or right to make

official decide using reason and judgment to choose from among acceptable alternatives.”

Istilah diskresi memiliki perbedaan penyebutan dalam beberapa negara, “vrij bevoegdheid” (Belanda), „‟discretion‟‟ (Inggris), „‟discretionair‟‟ (Perancis), “freies ermessen” (Jer-man),9 sebagai kebebasan bertindak atau mengambil keputusan dari para pejabat administrasi negara yang berwenang dan berwajib menurut pendapat sendiri.10

Secara etimologi, istilah freies ermerssen berasal dari bahasa Jerman. Adapun freies berarti seseorang yang bersifat bebas, tidak terikat, dan bebas merdeka. Istilah Ermessen mempunyai arti yaitu mempertimbangkan, menilai, menduga, memperkirakan. Sehingga pada akhirnya Freies ermessen berarti orang yang memiliki kebebasan untuk menilai, menduga, dan mempertimbangkan sesuatu.

Menurut KBBI diskresi ialah kebebasan mengambil keputusan sendiri dalam setiap situasi yang dihadapi.11 Adapun

8

Bryam A. Garner, 1979, Black‟s Law Dictionary, Eight Edition, West Group,

USA, hlm . 479.

9

Ibid. hlm. 479.

10

Julia Mustamu. 2011. Diskresi dan Tanggung Jawab Administrasi Pemerintahan. Maluku. Vol. 17 No. 2, April-Juni.

11

KBBI, Diakses dari http://kbbi.web.id/diskresi pada tanggal 15 Maret 2018 pukul 20.19.

(16)

7 beberapa pendapat para ahli mendefinisikan diskresi sebagai berikut:

1. S.F.Marbun mengemukakan, setiap persoalan-persoalan penting yang mendesak, sekurang-kurangnya mengandung unsur-unsur sebagai berikut:12

a) Persoalan-persoalan yang muncul harus menyangkut kepentingan umum, yaitu kepentingan bangsa dan negara, kepentingan masyarakat luas, kepentingan rakyat banyak/ bersama, serta kepentingan pembangunan;

b) Munculnya persoalan tersebut secara tiba-tiba, berada diluar rencana yang telah ditentukan; dan

c) Untuk menyelesaikan persoalan tersebut, peraturan perundang-undangan belum mengaturnya atau hanya mengatur secara umum, sehingga administrasi Negara mempunyai kebebasan untuk menyelesaikan atas inisiatif sendiri.

2. Siti Soetami, mengemukakan adalah kewenangan diskresi ini berarti bahwa sebagian kekuasaan yang dipegang oleh badan pembentuk undang-undang dipindahkan kedalam tangan pemerintah/administrasi Negara sebagai badan eksekutif.13 3. Diana Halim Koentjoro, mengemukakan Supremasi badan

legislatif diganti oleh supremasi badan eksekutif karena administrasi negara melakukan penyelesaian masalah tanpa harus menunggu perubahan undang-undang dari bidang legislatif. Hal tersebut karena pada prinsipnya badan/pejabat administrasi pemerintahan tidak boleh menolak untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan alasan

12

Ibid.

13

(17)

8

hukumnya tidak ada ataupun hukumnya ada tetapi tidak jelas, sepanjang hal tersebut masih menjadi kewenangannya. Seba-gai bagian dalam penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat, kewenangan pembuatan kebijakan melekat pada jabatan pemerintahan (inherent aan

het bestuur) yang dijalankan oleh pejabat pemerintahan, dan

ternyata telah menyebabkan banyak pejabat yang menjadi tersangka bahkan terpidana. Di sisi lain, dianut suatu pendapat bahwa kebijakan pemerintah itu tidak dapat dipersoalkan secara hukum.14

4. Arifin P Soeria Atmadja mengemukakan,15 suatu kebijakan tidak mungkin diajukan kepengadilan apalagi dikenakan hukum pidana karena dasar hukum kebijakan yang akan menjadi dasar hukum penuntutannya tidak ada. Hal ini disebabkan suatu kebijakan pada umumnya berjalan tidak seiring atau belum diatur dalam peraturan perundang-undangan.”

5. Philipus M Hadjon,16“Kebijakan penguasa tidak dapat digugat didasarkan pada prinsip “beleidsvrijheid” yang ada pada penguasa. Beleidsvrijhneid penguasa meliputi; tugas-tugas militer, politik, hubungan luar negeri, pekerjaan untuk kepentingan umum, keadaan yang tidak dapat diduga terlebih dahulu atau dalam mengambil tindakan darurat.

6. Amarullah Salim17 “Perbuatan kebijakan penguasa tidak termasuk kompetensi pengadilan untuk menilai sesuai dengan yurisprudensi dan ilmu hukum. Jika dikatakan bahwa 14 Ibid hlm.11 15 Ibid hlm. 12 16 Ibid hlm 13 17 Ibid hlm 14

(18)

9 kebijakan pemerintah tidak dapat dipersoalkan secara hukum, namun ternyata dalam praktek yang selama ini terjadi pembuat kebijakan diproses secara hukum dan ditetapkan sebagi tersangka bahkan terpidana.

7. S. Prajudi Atmosudirjo18Mendefinisikan diskresi, discretion (Inggris), discretionair (Perancis), freies ermessen (Jerman) sebagai kebebasan bertindak atau mengambil keputusan dari para pejabat administrasi negara yang berwenang dan berwajib menurut pendapat sendiri. Selanjutnya dijelaskan bahwa diskresi diperlukan sebagai pelengkap dari asas legalitas, yaitu asas hukum yang menyatakan bahwa setiap tindakan hukum atau perbuatan administrasi negara harus berdasarkan ketentuan undang-undang. Perbuatan administrasi memang harus berdasarkan ketentuan undang-undang untuk mengatur segala macam kasus posisi dalam praktek kehidupan sehari-hari yang terjadi di lapangan. Maka dari itu perlu adanya kebebasan atau diskresi administrasi negara yang terdiri atas diskresi bebas dan diskresi terikat. Pada diskresi bebas undang-undang hanya menetapkan batas-batas dan administrasi negara bebas mengambil keputusan apa saja asalkan tidak melampaui / melanggar batas-batas tersebut, sedang pada diskresi terikat, undang-undang menetapkan bebarapa alternatif keputusan dan administrasi negara bebas memilih salah satu alternatif keputusan yang disediakan oleh undang-undang.

8. Benyamin,19 Diskresi didefinisikan sebagai kebebasan pejabat mengambil keputusan menurut pertimbangannya sendiri.

18

Ibid hlm 16.

19

(19)

10

Dengan demikian, menurutnya setiap pejabat memiliki kewenangan diskresi.

9. Gayus T. Lumbun20Diskresi adalah kebijakan dari pejabat negara dari pusat sampai daerah yang intinya membolehkan pejabat publik melakukan sebuah kebijakan yang melanggar dengan undang-undang, dengan tiga syarat. Yakni, demi kepentingan umum, masih dalam batas wilayah kewenangan-nya, dan tidak melanggar Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB).

Pendapat lain Thomas J. Aaron mengungkapkan, diskresi adalah suatu kekuasaan atau wewenang yang dilakukan berdasarkan hukum atau pertimbangan dan keyakinannya dan lebih menekankan pertimbangan moral daripada pertimbangan hukum (Thomas, 1964). S.A. de Smith mengatakan kekuasaan diskresi mengimplikasikan kebebasan memilih, pejabat yang berwenang dapat memutuskan apakah melakukan atau tidak melakukan tindakan dan jika melakukan tindakan, bagaimana melakukannya (Smith, 1973).

Senada dengan hal itu, Sjachran Basah mengatakan bahwa diskresi dimungkinkan oleh hukum agar bertindak atas inisiatif sendiri terutama dalam penyelesaian persoalan-persoalan penting yang timbul tiba-tiba, dengan catatan keputusan yang diambil dapat dipertanggungjawabkan (Sjahran, 1986).

Di sisi lain, Hans J. Wolf mengatakan, diskresi tidak boleh diartikan secara berlebihan seakan-akan badan atau pejabat administrasi negara boleh bertindak sewenang-wenang. Ia lebih menekankan bahwa sebaiknya diskresi diartikan sebagai

20

(20)

11

“…power to choose between alternative courses of action” (Markus, 1989). Berkaitan dengan pemberian wewenang diskresi pada pemerintah, menurut Liaca Marzuki, mengemukakan

bahwa: 21 “Freies emessen merupakan kebebasan yang

diberi-kan kepada tata usaha negara dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan sejalan dengan meningkatkan tuntutan pelayanan publik yang harus diberikan tata usaha negara terhadap kehidupan sosial ekonomi para warga yang kian komplek.”

Wewenang diskresi merupakan pemberian wewenang oleh undang-undang yang dirumuskan dengan permissive terms, yaitu menggunakan kata dapat atau pembuat keputusan harus mempertimbangkan secara layak misalnya:22 a) the duty to

consider whether to exercise the power; b) the duty to act reasonably; c) the duty to act in good faith; d) the duty to act fairly; e) the duty to act in the public interest; f) the duty to avoid undue delay in decision making; g) the duty communicate a decision; h) the duty the give reasons; and f) the duty to act in a manner that is consistent with the purpose of the legislation.

Dalam wewenang diskresi ada pilihan bagi badan atau pejabat pemerintahan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu atau badan atau pejabat pemerintahan tertentu harus mempertimbangkan sendiri atau suatu konsep tertentu dalam undang-undang, misalnya menetapkan apa yang termasuk pengertian kepentingan publik, dan lain sebagainya.

21 Laica Marzuki, Makalah dengan judul, Peraturan Kebijaksaan (beleidsregel),

Hakekat serta Fungsinya selaku Sarana Hukum Pemerintahan, disampaikan dalam

rangka Penataran Nasional Hukum Acara dan Hukum Adminsitrasi Negara, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Ujung Padang, tanggal 26-31 Agustus, 1996, hlm.7

22

Peter layland dan Gordon Anthony, Op. Cit, hlm.188. Dasar wewenang dalam undang-undang yang wujudkan dengan menggunakan kata “dapat” atau menetapkan pembuat keputusan harus mempertimbangkan sendiri atas suatu kondisi tertentu, ini disebut dengan kewenangan diskresi.

(21)

12

Terkait dengan itu Frydman, mengemukakan, wewenang diskresi (pouvior discre‟tionnaire or discretionary power) berarti

that it has an absolutely discretion to make such or such

decision.23 Intinya dalam diskresi pada dasarnya ada

pilihan-pilihan. Kwado B Mensah menyatakan bahwa, the core concept

in discretion is choice.24

Hal berbeda dikemukakan oleh Lord Diplock, yang mengemukakan, diskresi berarti melibatkan hak untuk memilih lebih dari satu kemungkinan tindakan, dimana dari situ ada ruang bagi orang yang mampun berpikir normal untuk memiliki pendapat yang berbeda yang lebih disukainya.25 Diskresi badan pemerintahan ada, ketika terdapat persyaratan-persyaratan yang tersusun dalam aturan hukum membolehkan, tetapi tidak memaksa badan pemerintahan untuk mengambil suatu tindakan tertentu jika persyaratan itu telah terpenuhi.26

Menurut Timothy Endicott,27 diskresi memilih ada 2 (dua) pengertian, pertama diskresi adalah kebebasan memilih pada pihak pembuat keputusan. Kedua diskresi berarti memiliki makna yang sama dengan kepatutan dan kesusilaan. Dari berbagai pendapat yang dikemukakan ahli di atas, diskresi merupakan

23

M. Patrick Frydman, 2008, 11, Annual AIJA Tribunals Conference in

Association with the Council of Australasian Tribunal, Watermark Hotel and SPA,

Surfers Paradise, Queensland, 6 juni, 2008, hlm 13. Misalnya kebebasan memilih Presiden Perancis untuk memutuskan memberikan tanda jasa sebagai The Legion of

Honour bagi warga negara. Hakim tidak akan melakukan pengujian jika presiden

melakukan kesalahan dalam melakukan penilian bagi warga negara yang memperoleh tanda jasa.

24 Kwando B. Mensah, legal Control of Discretionary Powers in Ghana, Lessons

From English Administrative Law Theory, Africa Focus, Vol.14, No.2. 1998, hlm. 122.

25

A. w, Bradley dan K.D. Ewing, Loc. Cit,

26

Jan. S Oster, 2008, The Scope of Judicial Review in the German and US.

Administrative Legal System,” German Law Journal, Vol.9 No.10, hlm. 1269

27

(22)

13 kewenangan untuk mengambil keputusan untuk menyelesaikan persoalan yang belum diatur oleh peraturan perundangan dengan penuh pertanggungjawaban. Secara praktis kekuasaan diskresi pemerintahan ini, melahirkan bentuk-bentuk kebijaksanaan yang memiliki 2 (dua) aspek penting, seperti dikemukakan oleh Sadjijono yaitu:28

1. Kebebasan untuk menafsirkan yang berkaitan dengan ruang lingkup dan batas-batas wewenang yang dirumuskan dalam peraturan dasar pemberian wewenang, dimana kebebasan tersebut dengan kebebasan untuk menilai berdasarkan sifat obyektif, jujur, benar, dan adil; dan

2. Kebebasan untuk menentukan sikap tindak, artinya bertindak atau tidak berdasarkan penilian sendiri dengan cara bagaimana dan kapan wewenang yang dimiliki tersebut dilaksanakan, penilian ini memiliki sifat subyektif, yakni berdasarkan nuraninya sendiri dalam mengambil keputusan.

Timbulnya penilian yang diyakini untuk bertindak bagi setiap pejabat pemerintahan dipengaruhi oleh situasi dan kondisi yang konkrit yang mengharuskan untuk bertindak. Terkait hal itu, menurut Erlyn sebagimana dikutif Jauhari (2007:34), diskresi atau Freies Ermessen muncul dilatarbelakangi oleh beberapa faktor yang dapat digolongkan menjadi (3) kategori sebagai berikut:

a. Faktor dasar utama yang terdiri dari: ketidakmungkinan dilakukan penegakan setiap hukum yang ada; dan perlunya penerjemahan atau penfsiran terhadap hukum tersebut;

28

(23)

14

b. Faktor dasar pendukung, yaitu: terbatasnya sumber daya yang ada pada aparatur negara, terutama sumber daya manusia atau personil, baik dari segi kualitas maupun kuantitas; dan

c. Faktor dasar tambahan, yang meliputi; adanya keberatan dari pihak masyarakat, bila penegakan hukum diberlakukan terhadap seluruh hukum yang ada, diberlakukan secara total atau sepenuhnya, dilaksanakan sepanjang waktu, kesadaran bahwa aparatur negara bukan “superman” yang dapat melaksanakan semua peran dan tugas, serta memenuhi tuntutan dan kebutuhan masyarakat.

Senada menurut Elyn, Raharjo (2002:74), mengemukakan alasan yang melatar belakangi diksresi yaitu;

a. Tidak ada perundang-undangan yang sedemikian lengkapnya, sehingga dapat mengatur semua prilaku manusia;

b. Adanya keterlambatan-keterlambatan untuk menyesuaikan perundang-undangan terhadap perkembangan masyarakat, sehingga tidak menimbulkan kepastian hukum;

c. Kurangnya biaya untuk menetapkan perundang-undangann sebagimana yang dikehendaki oleh pembentuk perundang-undangan; dan

d. Adanya kasus-kasus individual yang memperlukan penangan-an secara khusus.

Pada perkembangan adanya kekuasaan diskresi peme-rintahan ini mendapat argumentasi perlawanan dari kaum positivisme, yang mengatakan, penggunaan diskresi akan bertentangan dengan prinsip dasar bahwa perbuatan dalam pemerintahan harus berdasarkan pada wewenang yang diberikan oleh hukum (wetmatigeheid van bestuur).

(24)

15 Pandangan kaum positivisme di atas secara dapat dibenarnya, namun dalam negara kesejahteraan (welfare state) prinsip tersebut tidak dapat diartikan secara kaku. Jika demikian, maka administrasi akan sulit dijalankan. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari adagium bahwa “hukum selalu tertinggal selangkah dari suatu kejadian.”

Pemilihan Indonesia sebagai Negara kesejahteraan, negara hukum yang dinamis dengan freies ermessen/diskresi, menurut E.Utrecht memberi konsekuensi hukum dalam bidang perundang-undangan, yakni diberikannya kewenangan bagi pemerintahan membuat peraturan perundangan baik atas inisiatif sendiri maupun atas delegasi yang diterima dari UUDNRI serta menafsirkannya sendiri.

Ini berarti meskipun pemberian wewenang kekuasaan diskresi pemerintahan kepada pemerintah merupakan kon-sekuensi logis dari konsepsi negara hukum kesejahteraan (welfare

state). Namun harus diingat negara hukum wewenang bebas

bertindak (freies ermessen) ini tidak dapat digunakan tanpa batas dan tidak bisa hanya pendekatan kekuasaan saja, harus ada batasan-batasan yang jelas.

Dalam hukum tata pemerintahan penggunaan asas diskresi atau freies ermessen sering dilakukan oleh aparat pemerintah karena beberapa faktor-faktor yang mendukung dilakukannya diskresi. Contohnya ialah Peraturan Gubernur Jawa Timur yang melarang karapan sapi di Madura dengan kekerasan atau alat yang membahayakan sapi tersebut. Kemudian keputusan walikota Solo yang menolak dibangunnya pasar modern dikawasan budaya.

Lahirnya Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, kemudian disingkat

(25)

(Undang-16

Undang Administrasi Pemerintahan) yang terdiri dari 89 Pasal, menjadi dasar berpijak badan/pejabat pemerintah dalam melakukan tindakan diskresi.

Undang-Undang Administrasi Pemerintahan untuk men-ciptakan kepastian hukum, mencegah terjadinya penyalagunaan wewenang, menjamin akuntabilitas badan dan/atau pemerintah, memberikan perlindungan hukum bagi warga masyarakat dan aparatur pemerintah melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan dan menerapkan Asas-Asas Pemerintahan Yang Baik (AUPB), serta memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada warga masyarakat.

Undang-undang Administrasi Pemerintahan mengatur, diskresi sebagai keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh pejabat pemerintah untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan, namun penggunaanya harus oleh pejabat yang berwenang dan sesuai dengan tujuannya.

Tujuan kekuasaan diskresi pemerintah antara lain: a. Melancarkan penyelenggaraan pemerintah;

b. Mengisi kekosongan hukum; dan

c. Mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum. Secara lebih luas, untuk ruang lingkupnya diskresi meliputi:

(1) Pengambilan keputusan dan/atau tindakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang memberi-kan suatu pilihan keputusan dan/atau tindamemberi-kan;

(26)

17 (2) Pengambilan keputusan dan/atau tindakan karena

peraturan perundang-undangan tidak mengatur;

(3) Pengambil keputusan dan/atua tindakan karena perundang-undangan tidak lengkap atau tidak jelas; dan (4) Pengambilan keputusan dan/atau tindakan karena adanya

stagnasi pemerintahan guna kepentingan yang lebih luas.

Menurut Martina Kunnecke, terdapat 2 (dua) sumber kekuasaan diskresi yaitu:29 kekuasaan diskresi dapat ditemukan di rumusan dalam pasal-pasal undang. Misal undang-undang mengenai pendidikan, kesejahteraan sosial, perencanaan, dan hukum keimigrasian memberikan kekuasaan diskresi kepada pejabat yang berwenang. Dalam berbagai pasal undang-undang itu terdapat rumusan, “ if the minister has reasonable ground to

believe that,,,, if there it evidence that….” atau” if he thinks that…..”; dan kekuasaan diskresi sifatnya tersirat. Kekuasaan

diskresi misalnya dapat ditemukan dalam konsep publik interest. Konsep tersebut mensyaratkan pemerintah untuk membuat pilihan apa pengertian dari konsep itu.

Penafsiran makna konsep publik interest oleh pemerintah adalah kekuasaan diskresi pemerintahan. Dalam diskresi ada 2 (dua) aspek, yaitu pembuat keputusan memiliki pilihan untuk membuat keputusan dan pengambil keputusan bertindak secara bertanggungjawab dan tidak sewenang-wenang. Menurut Timothy Endicott, membedakan macam-macam diskresi sebagai berikut:30

1. Diskresi yang tegas/jelas (express discretion). diskresi yang jelas adalah ketika pembuat undang-undang menetapkan

29

Martina Kunnecke, Op. Cit, hlm.74.

30

(27)

18

secara jelas bahwa, pembuat keputusan memiliki diskresi. Misalnya, The Quebec Alcoholoc Liquor Act 1941 menetapkan bahwa, komisi dapat membatalkan izin berdasarkan diskresi yang dimilikinya.

2. Diskresi yang tersirat (implied discretion). diskresi yang tersirat berarti pembuat keputusan dapat melakukan sesuatu atau bahwa pembuat keputusan itu memiliki wewenang untuk melakukannya, tanpa menyatakan dengan jelas bagaimana atau kapan wewenangnya itu harus digunakan. Misalnya berdasarkan Metropolis Local Management Act 1855s, 76, the

Board memiliki pilihan untuk membongkar atau tidak

membongkar bangunan karena tidak dinyatakan bahwa the

Board harus membongkar bangunan;

a. Memberikan wewenang berdasarkan pendapat pemberi keputusan, yaitu ketidak pembuat undang-undang menetapkan bahwa pembuat keputusan melakukan penilian sendiri ketika akan melakukan suatu tindakan;

b. Memberikan wewenang berdasarkan pendapat pemberian keputusan, yaitu ketika pembuat undang-undang menetapkan bahwa pembuat keputusan melakukan penilain sendiri ketika akan melakukan suatu tindakan;

c. Diskresi yang melekat (inherent discretion). wewenang melekat pada suatu badan karena wewenang menjadi bagian penting jika badan tersebut harus melaksanakan perannya. Wewenang yang melekat pada suatu badan biasanya di dalamnya melibatkan beberapa wewenang diskresi; dan

d. Resultant discretion, yaitu ketika ada ketidakjelasaan atas suatu permohonan yang meninggalkan anda pada pilihan

(28)

19 bagaimana memenuhinya, meskipun anda bertindak berdasarkan standar yang mengatur perilaku anda.

e. Berdasarkan Pasal 1 angka 9 Undang-undang Administasi Pemerintahan, dari pengertian, maka secara umum diskresi itu mempunyai unsur-unsur, antara lain:

(1) Diskresi adalah keputusan dan/atau tindakan;

(2) Keputusan dan/atau tindakan itu ditetapkan dan/atau dilakukan oleh pejabat pemerintahan;

(3) Tujuannya untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaran pemerintahan;

(4) Diskresi dilakukan dalam hal peraturan perundang-undangan memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap, atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan.

Dari pengertian di atas, unsur diskresi itu suatu keputusan atau tindakan, telah ditetapkan oleh pejabat pemerintah, konkrit bentuknya, yang tidak atur, tidak lengkap, atau tidak jelas dan stagnasi pemerintahan tidak dapat dilaksanakan aktivitas pemerintahan sebagai akibat kebuntuhan atau disfungsi dalam penyelenggaraan pemerintahan.

1.2. Prasyarat dalam Menggunakan Kekuasaan Diskresi Pemerintah

Kekuasaan diskresi pemerintah dapat terjadi penyalagunaan diskresi oleh badan/pejabat pemerintah. Untuk itu paremeter harus jelas dalam pengambilan suatu keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh pejabat pemerintah. Undang-Undang Administrasi Pemerintahan, syarat-syarat yang harus dipenuhi sebagai berikut:

(29)

20

1. Sesuai dengan tujuan diskresi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2);

2. Tidakbertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

3. Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB); 4. Berdasarkan alasan-alasan yang objektif;

5. Tidak menimbulkan konflik kepentingan; dan 6. Dilakukan dengan itikad baik.

Undang-Undang Administrasi Pemerintahan, menempatkan pejabat pemerintahan yang menggunakan diskresi harus memenuhi syarat-syarat yang sesuai dengan undang-undang, agar tidak terjadinya penyalahgunaan kekuasaan. Diskresi dalam kontruksi Undang-undang Administrasi Pemerintahan adalah keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh pejabat pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkrit yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan. Pelaksanaan kekuasaaan diskresi pemerintah sesuai dengan tujuannya.

Salah satu hak yang dimiliki oleh pejabat pemerintahan dalam mengambil keputusan dan/atau tindakan itu diatur dalam Pasal 6 ayat (2) huruf e jo ayat (1) Undang-undang Administasi Pemerintahan. Badan dan/atau pejabat pemerintahan adalah unsur yang melaksanakan fungsi pemerintahan, baik di lingkungan pemerintah maupun penyelenggara negara lainnya.

Pada dasarnya pelaksanan kekuasaan diskresi pemerintahan berpotensi mengubah alokasi anggaran, sehingga wajib memperoleh persetujuan dari atasan pejabat sesuai dengan

(30)

21 ketentuan peraturan perundang-undangan. Persetujuan dimaksud dilakukan apabila penggunaan diskresi menimbulkan akibat hukum yang berpotensi membebani keuangan negara.

Secara umum kekuasaan diskresi pemerintah ini, harus dilihat pada tujuan kehidupan berbangsa dan bernegara untuk kesejahteraan rakyat. Dalam pelaksanannya melibatkan administrasi negara di dalam melaksanakan tugas-tugas pelayanan masyarakatnya. Administrasi pemerintahan memiliki keleluasaan dalam menentukan kebijakan-kebijakan, namun harus dapat dipertanggungjawabkan baik secara moral maupun secara hukum. Menurut Sjachan Basah, diskresi dipenuhi oleh suatu unsur-unsur, yaitu:31

1. Karena adanya tugas-tugas public service yang diemban oleh administratur negara;

2. Dalam menajalankan tugas tersebut, para administrator negara diberikan keleluasaan dalam menentukan kebijakan-kebijakan; dan

3. Kebijakan-kebijakan tersebut dapat dipertanggungjawabkan baik secara moral maupun hukum.

Sedang menurut Sadjijono, syarat-syarat freies ermessen antara lain:32

1. Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;

2. Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan;

3. Harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya;

31

Gayus T. Lumbun, Pro Kontra Rencana Pembuatan Peraturan untuk Melindungi

Pejabat Publik, http://www.hukumonline.com, diakses tanggal 16 Maret 2008.

32

(31)

22

4. Pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa; dan

5. Menghormati hak asasi manusia.

Undang-Undang Adminsitrasi Negara, memberi batasan setiap pejabat dalam penggunaan kekuasaan diskresi pemerintahan bertujuan untuk sebagai berikut:

1. Melancarkan penyelenggaran pemerintahan ini berarti dalam rangka mencari solusi penyelesaian dalam penyelenggaran pemerintahan cepat, akurat dan transparansi,

2. Mengisi kekosongan hukum yakni apabila pejabat dalam melakukan tindakan bahwa peraturan perundang-undangan yang ada tidak jelas, bahkan tidak lengkap yang berakibat adanya kekosongan hukum di masyarakat.

3. Memberikan kepastian hukum yakni dalam keteraturan masyarakat berkaitan dengan kepastian hukum untuk menjamin bahwa hukum harus dijalankan dengan cara yang baik, termasuk dalam penggunaan diskresi, dan

4. Mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum. Pada penjelasan stagnasi pemerintahan adalah tidak dapat dilaksanakan aktivitas pemerintahan sebagai akibat kebuntuhan atau disfungsi dalam penyelenggaran pemerintahan, contohnya: keadaan bencana alam atau gejolak politik.

5. Sedang dalam penggunaan kekuasaan diskresi ada persyaratan diskresi yang harus dipenuhi, dalam Undang-undang Adminsitrasi sebagai berikut:

a. Sesuai dengan tujuan diskresi Pasal 22 ayat (2), yaitu mengisi kekosongan hukum, dalam hal ini kekuasaan diskresi dilakukan karena peraturan perundang-undangan

(32)

23 yang ada tidak jelas, bahkan tidak lengkap, sehingga ada aturan baru atau penafsiran terhadap peraturan perundang-undang yang ada oleh pejabat;

b. Tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, ini dapat dikontruksi bahwa pemegang kekuasaan diskresi pemerintahan, dalam menjalankan tindakan berupa putusan/kebijakan, harus sesuai dengan kaidah peraturan perundang-undangan, ini merujuk pada tata aturan perundang-undangan dalam Pasal 7 UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-udangan.33

c. Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB),34 pemegang kekuasaan diskresi pemerintah harus mematuhi dan taat pada AUPB. AUPB menurut Koentjoro Purbopranoto dan SF. Marbun, ada beberapa sebagai berikut:

(1) Asas kepastian hukum (principle of legal security); (2) Asas keseimbangan (principle of proportionality); (3) Asas kesamaan dalam mengambil keputusan (principle

of equality);

(4) Asas bertindak cermat (principle of carefulness); (5) Asas motivasi untuk setiap keputusan (principle of

motivation);

33

Jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan terdiri atas: a) UUD NRI Tahun 1945; b) Ketetapan MPR; c) undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang; d) Peraturan Pemerintah; e) Peraturan Presiden; f) Peraturan Daerah Propinsi, dan g) Peraturan daerah kabupaten/kota.

34

AAUP H.D, van Wijk. Willem Konijnenbelt, mengumukakan, orang-organ pemerintahan yang menerima wewenang untuk melakukan tindak tertentu menjalankan tindakannya tidak hanya terikat pada peraturan perundang-undangan; hukum tertulis, di samping itu organ-organ pemerintahan harus memperhatikan hukum tidak tertulis, yaitu asas-asas umum pemerintahan yang baik (H.D, van Wijk. Willem Konijnenbelt: 69-70).

(33)

24

(6) Asas tidak mencampuradukan kewenangan (principle

of non misuse of competence);

(7) Asas permainan yang layak (principle of fair play); (8) Asas keadilan dan kewajiban (principle of reasonable

or prohibition of arbitrariness);

(9) Asas kepercayaan dan menanggapi pengharapan yang wajar (principle of meeting rained expectation); (10) Asas meniadakan akibat suatu keputusan yang batal

(principle of undoing xthe concequences of an annuled decision);

(11) Asas perlindungan atas pandangan atau cara hidup pribadi (principle of protection the personal may of

life);

(12) Asas kebijaksanaan (sapientia); dan

(13) Asas penyelenggaraan kepentingan umum (principle

of public service.

Sedang berdasarkan Pasal 10 Undang-undang Administrasi Pemerintahan, Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB), yaitu:

1. Kepastian hukum yaitu asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan tertentu peraturan perundang-undangan, kepatutan, keajegan, dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan pemerintahan.

2. Kemanfaatan yaitu manfaat yang harus memperhatikan secara seimbang antara (1) kepentingan individu yang satu dengan kepentingan individu yang lain; (2) kepentingan individu dengan masyarakat; (3) kepentingan warga masyarakat dan masyarakat asing; (4) kepentingan kelompok masyarakat yang satu dan kepentingan kelompok masyarakat lain; (5)

(34)

25 kepentingan pemerintah dengan warga masyarakat; (6) kepentingan generasi yang sekarang dan kepentingan generasi mendatang; (7) kepentingan manusia dan ekosistemnya; dan (8) kepentingan pria dan wanita.

3. Ketidakberpihakan yaitu asas yang mewajibkan badan dan/atau pejabat pemerintahan dalam menetapkan dan/atau melakukan keputusan dan/atau tindakan dengan mem-pertimbangkan kepentingan para pihak secara keseluruhan dan tidak diskrimunatif.

4. Kecermatan yaitu asas yang mengandung arti bahwa suatu keputusan dan/atau tindakan harus didasarkan pada informasi dan dokumen yang lengkap untuk mendukung legalitas penetapan dan/atau pelaksanaan keputusan dan/atau tindakan yang bersangkutan dipersiapkan dengan cermat sebelum keputusan dan/atau tindakan tersebut ditetapkan dan/atau dilakukan.

5. Tidak menyalagunakan kewenangan yaitu asas yang mewajibkan setiap badan/atau pejabat pemerintahan tidak menggunakan kewenangannya untuk kepentingan pribadi atau kepentingan yang lain dan tidak sesuai dengan tujuan pemberian kewenangan tersebut, tidak melampaui, tidak menyalahgunakan, dan/atau tidak mencampuradukan kewenangan.

6. Keterbukaan yaitu asas yang melayani masyarakat untuk mendapatkan akses dan memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminasi dalam menyelenggarakan pemerintahan dengan tetap memperhatikan perlindungan dan hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara.

(35)

26

7. Kepentingan Umum yaitu asas yang mendahulukan kesejahteraaan dan kemanfaatan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, selektif, dan tidak diskriminasi; dan 8. Pelayanan yang baik yaitu asas yang memberikan pelayanan

yang tepat waktu, prosedur, dan biaya yang jelas, sesuai dengan standar pelayanan, dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

9. Berdasarkan alasan-alasan yang objektif, yaitu Pemegang kekuasaan diskresi pemerintahan dalam bertindak membuat keputusan/kebijakan harus rasional, dapat dilogikan dalam bertindak sesuai aturan dan fakta. Bukan mengada-mengada atau membuat sesuatu yang tidak rasional dalam bertindak membuat keputusan.

10. Tidak menimbulkan konflik kepentingan, ini berarti pemegang kekuasaan diskresi pemerintahan dalam membuat tindakan atas keputusan/kebijakan harus mempertimbangkan kepentingan publik atau banyak orang, supaya tindakan atas keputusan yang diambil tidak menjadi masalah baru, konflik baru bagi pihak lain; dan

11. Dilakukan dengan itikad baik, ini intinya pemegang kekuasaan diskresi pemerintahan, semua tindakan atas keputusan atau kebijakan yang dibuat, harus dibuat dengan niat baik, dasar hukum yang jelas, dan implementasi juga baik, antara perbuatan dan niat itu berbanding lurus, bukan karena konflik kepentingan pribadinya.

Kekuasaan diskresi pemerintahan masuk dalam pengaturan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan yang memberi konstruksi hukum yang berbeda. Undang-Undang Administrasi Pemerintahan memberi ruang kekuasaan diskresi pemerintah

(36)

27 dalam pembatasan asas legalitas. Ini memberi prespektif lain pada filosofi lahirnya Undang-Undang Administrasi Pemerintah-an yPemerintah-ang mencoba memadukPemerintah-an 2 (dua) konsep yPemerintah-ang berbeda antara administrasi negara dengan hukum administrasi.

Makna Undang-Undang Administrasi Pemerintahan narasi yang dibangun dalam rangka untuk memberikan jaminan kepada warga masyarakat yang semula sebagai objek menjadi subjek dalam sebuah negara hukum yang merupakan bagian dari perwujudan kedaulatan rakyat. Kedaulatan warga masyarakat dalam sebuah negara tidak dengan sendirinya baik secara keseluruhan maupun sebagian dapat terwujud.

Undang-Undang Adminsitrasi Pemerintahan ini menjamin bahwa keputusan dan/atau tindakan badan dan/atau pejabat pemerintahan terhadap warga masyarakat tidak dapat dilakukan dengan semena-mena. Dengan undang-undang ini, warga masyarakat tidak akan mudah menjadi objek kekuasaan negara. Undang-Undang Administrasi Pemerintahan merupakan transformasi AUPB yang telah dipraktikkan penyelenggaraan pemerintahan, dan dikonkritkan ke dalam norma hukum yang mengikat. Dalam beberapa studi literatur ada perbedaan pendapat pro dan kontrak dalam mengkonkritkan AUPB. Pada sudut pandang administrasi negara dengan dikonkritkan dalam bentuk norma, sudah selesai masalah AUPB itu. Pada kajian hukum menormakan AUPB dalam suatu norma hukum tentu terjadi pro dan kontra, AUPB paremeter sangat subyektif tergantung pada badan/pejabatnya.

AUPB dalam Undang-undang Adminsitrasi Pemerintahan kontruksi hukumnya sesuaikan dengan perkembangan dan dinamika masyarakat dalam sebuah negara hukum. Konsep penormaan asas ke dalam Undang-Undang Adminsitrasi

(37)

28

Pemerintahan ini berpijak pada asas-asas yang berkembang dan telah menjadi dasar dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia selama ini. Ini tentu berbeda, tidak semua asas-asas hukum harus dinormakan, dan dibuat legalitasnya.

1.3. Pembatasan dalam Kekuasaan Diskresi Pemerintahan

Kekuasaan diskresi pemerintahan dibenarkan secara hukum, namun dalam pelaksanaannya ada batasan-batasan yang harus dipenuhi oleh badan/pejabat yang melakukan tindakan diskresi. Menurut Sjahran Basah terkait batasan kekuasaan diskresi pemerintahan, yaitu adanya kebebasan atau keleluasaan administrasi negara untuk bertindak atas inisiatif sendiri; untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang mendesak yang belum ada aturannya untuk itu; tidak boleh mengakibatkan kerugian kepada masyarakat, harus dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan juga secara moral.

Sehubungan batasan kekuasaan diskresi pemerintahan, maka subyeknya memiliki kewenangan untuk membuat suatu diskresi adalah administrasi negara dalam pengertian sempit, yaitu eksekutif. Pelaksanaan diskresi oleh aparat pemerintah (eksekutif) dibatasi oleh 4 (empat) hal, yaitu:

1. Apabila terjadi kekosongan hukum; 2. Adanya kebebasan interprestasi;

3. Adanya delegasi perundang-undangan; dan 4. Demi pemenuhan kepentingan umum.

Selain itu terdapat beberapa alasan terjadinya kekuasaan diskresi pemerintahan yaitu:

(a) Mendesak dan alasannya mendasar serta dibenarkan motif perbuatannya;

(38)

29 (b) Peraturan perundang-undangan yang dilanggar dalam menetapkan kebijaksanaan diskresi, khusus untuk kepentingan umum, bencana alam dan keadaan darurat, yang penetapannya dapat dipertanggung jawabkan secara hukum; dan

(c) Untuk lebih cepat, efisien, dan efektif dalam mencapai tujuan yang diamanatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dan Undang-undang, penyelenggaraan pemerintah-an Negara, dpemerintah-an untuk keadilpemerintah-an serta kesejahterapemerintah-an masyarakat.

Pada dasarnya pembatasan-pembatasan yang diperlukan, menurut Muchhasn, sebagai berikut:35

a) Tidak boleh bertentangan dengan sistem hukum yang berlaku (kaidah hukum positif); dan

b) Hanya ditunjukan demi kepentingan umum. Di sisi lain Shachran Basah merumuskan dengan lebih khusus unsur-unsur

freies Ermessen dalam negara hukum, antara lain:36

1. Ditujuhkan untuk menjalankan tugas-tugas servis public; 2. Merupakan sikap tindak yang aktif dari administrasi negara; 3. Sikap tindak itu dimungkinkan oleh hukum;

4. Sikap tindak itu diambil atas inisiatif sendiri;

5. Sikap tindak itu dimaksudkan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan penting yang timbul secara tiba-tiba; 6. Sikap tindak itu dimaksudkan untuk menyelesaikan

persoalan-persoalan pentiang yang timbul secara tiba-tiba; dan

35

Muchsan, 1981, Beberapa Catatan tentang Hukum Administrasi Negara dan

Peradilan Administrasi di Indonesaia, Liberarty, Yogjakarta, hlm.27-28.

36

(39)

30

7. Sikap tindak itu dapat dipertanggungjawabkan, baik secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa maupun secara hukum.

Pembatasan kekuasaan diskresi pemerintahan dalam konsepsi negara kesejahteraan (welfare state). Hal ini merujuk konsepsi negara ini menempatkan pemerintah selaku pihak yang berkewajiban mewujudkan kesejahteraan sosial, yang dalam rangka itu pemerintah banyak terlibat dengan kehidupan ekonomi dan sosial warga negara. Meskipun pemberian kekuasaan diskresi pemerintah itu merupakan kemestian dalam suatu negara hukum, namun pelaksanaan kekuasaan diskresi pemerintah itu bukan tanpa batas.

Intinya pelaksanan kekuasaan diskresi pemerintahan diskresi harus sejalan dengan tujuan hukum itu sendiri. Kekuasaan diskresi pemerintahan harus dibatasi agar tidak terjadi kesewenang-wenangan. Hal ini sejalan dengan pemikiran J.B.J.M. ten Berge yang berpendapat bahwa wewenang bebas harus dibatasi oleh isi ketentuan undang-undang yang menjadi dasar wewenang diskresi itu sendiri, asas-asas umum pemerintahan yang baik, dan juga tidak boleh menyimpang dari peraturan kebijakan yang berlaku (Berge, 1992).

Sedang H.D. van Wijk/Willemkonijnenbelt berpendapat bahwa hal yang membatasi wewenang bebas adalah norma hukum umum yang berasal dari undang-undang hukum administrasi dan norma hukum tidak tertulis (asas-asas pemerintahan yang baik yang tidak tertulis) (Wijk, 1995). Menurut J.H Grey, diskresi harus dibatasi oleh prinsip-prinsip

(40)

31

reasonably, and within the statutory bounds of the discretion.

(Grey, 1979).

Pelaksanaan kekuasaan diskresi pemerintahan berdasarkan hukum administrasi negara adalah Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AUPB), khususnya asas larangan penyalahgunaan-wewenang (detournement de pouvoir) dan asas larangan sewenang-wenang (willekeur). Dengan kata lain, keputusan/tindakan pemerintah dikategorikan sebagai hal yang menyimpang jika di dalamnya ada unsur sewenang-wenang.

Selain keputusan/tindakan pemerintah itu bertentangan dengan kepentingan umum. Untuk membuktikan ada unsur di atas, penyalahgunaan wewenang diuji dengan asas spesialitas

(specialiteitsbeginsel) yakni asas yang menentukan bahwa

wewenang itu diberikan kepada organ pemerintahan dengan tujuan tertentu.37

Apabila dari tujuan diberikannya wewenang ini dianggap sebagai penyalahgunaan wewenang. Unsur sewenang-wenang diuji dengan asas rasionalitas atau kepantasan (redelijk). Suatu keputusan/tindakan pemerintah dikategorikan mengandung unsur

willekeur apabila keputusan/tindakan pemerintah itu itu

nyata-nyata tidak masuk akal atau tidak beralasan (kennelijk

onredelijk).

Undang-Undang Administrasi Pemerintahan, memberi batasan tegas terhadap kekuasaan diskresi pemerintahan dengan menyebutkan, pejabat pemerintahan dan/atau badan hukum lainnya yang menggunakan diskresi dalam mengambil keputusan wajib mempertimbangkan tujuan diskresi itu sendiri, peraturan

37

L.J.A.Damen. 2005. Bestuursrecht 1. (Den Haag: Boom Juridische Uitgevers). hlm. 57.

(41)

32

perundang-undangan yang menjadi dasar diskresi dan asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Selanjutnya pelaksanaan kekuasaan diskresi pemerintahan wajib dipertanggungjawabkan kepada pejabat atasannya dan masyarakat yang dirugikan akibat keputusan diskresi yang telah diambil serta dapat diuji melalui upaya administrative atau gugatan di Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Undang-Undang Administrasi Pemerintahan telah memberi batas-batas penggunaan diskresi oleh badan/pejabat administrasi pemerintah. Namum dalam hal mengatur mengenai pertang-gungjawaban badan/pejabat administrasi pemerintahan terhadap penggunaan diskresi tidak hanya bersifat pasif. Maksunya badan/pejabat yang membuat keputusan/tindakan dalam arti tidak hanya menunggu adanya gugatan dari masyarakat melalui PTUN.

Pada dasarnya badan/pejabat itu bersifat aktif dengan adanya kewajiban mempertanggungjawabkan pelaksanaan kekuasaan diskresi pemerintahan kepada pejabat atasannya. Adanya pertanggungjawaban pada atas ini, mengingatkan hal tersebut merupakan suatu kewajiban yang sifatnya melekat pada kewenangan yang menjadi dasar adanya diskresi itu sendiri. Hal lain yang harus dilakukan badan/pejabat yang melaksanakan kekuasaan diskresi pemerintahan kewajiban melaporkan tindakan diskresi kepada atasan dalam bentuk tertulis dengan memberikan alasan-alasan pengambilan keputusan diskresi.

Laporan kepada atasnya sifatnya hanya sekedar mengetahui atasan atas adanya diskresi yang dilakukan. Namun apabila tidak laporan pada atasan, tidak ada masalah dan tidak ada sanksinya. Pada saat ini, ketentuan di atas menjadi argumentasi hukum bagi badan/pejabat administrasi pemerintahan yang menerbitkan keputusan diskresi, bahwa keputusan yang diambilnya bukan

(42)

33 keputusan diskresi ataupun berdalih ia tidak tahu bahwa keputusan yang diambilnya adalah keputusan diskresi.

Essensinya kekuasaan diskresi pemerintahan dalam pelak-sanaan tidak boleh ada penyalahgunaan wewenang (detournement

de pouvoir) dan perbuatan sewenang-wenang (willekeur) oleh

badan/pejabat administrasi pemerintahan. Dengan memasukan norma AUPB dalam kontruksi norma hukum, argumentasi hukum yang dibangun untuk menciptakan dan menjadikan hukum administrasi negara menunjang kepastian hukum yang memberi jaminan dan perlindungan hukum baik bagi warga negara maupun administrasi negara.38

Menurut Anna Erliyana, penggunaan freies ermessen oleh badan/pejabat administrasi negara dimaksudkan untuk menye-lesaikan tidak mendesak untuk segera disemenye-lesaikan. Ada pula kemungkinan muncul persoalan mendesak, tetapi tidak terlalu penting untuk diselesaikan. Suatu persoalan baru dapat dikualifikasi sebagai persoalan penting apabila persoalan tersebut menyangkut kepentingan umum, sedang kriteria kepentingan umum harus ditetapkan oleh suatu peraturan perundang-undangan.39

Pelaksanan kekuasaan diskresi pemerintahan oleh badan/ pejabat administrasi pemerintahan hanya dapat dilakukan dalam hal tertentu. Secara umum peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak mengaturnya dalam hal tertentu. Ini dapat dimaknai hal tertentu, dalam kontruksi hukum itu, pasti sesuatu yang urgen, penting, segera diselesaikan untuk sebuah proses penyelesaian

38

Marbun SF et. All. 2001. Dimensi-dimensi pemikiran hukum Administrasi

Negara. (Yogyakarta: Uii pres), hlm. 87.

39

Anna Erliyana. 2005. Keputusan Presiden Analisis Keppres R.I 1987-1988. (Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia), hlm. 138.

(43)

34

masalah, menjaga ketertiban suatu masalah yang tidak pasti menjadi pasti. Semuanya itu merujuk pada pengaturan perundang-undangan yang tidak jelas, belum diatur, dan menimbulkan kontruksi dalam pengaturan.

Hal yang tidak jelas dan hal tersebut dilakukan dalam keadaan darurat/mendesak demi kepentingan umum yang telah ditetapkan dalam suatu peraturan perundang-undangan. Kontruksi ini, menjadi dualisme pemikiran dalam kekuaasan diskresi pemerintahan. Diskresi diperbolehkan, belum diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan, namun pada bagin lain aturan, diskresi itu batasan itu diatur dalam peraturan perundang-undangan. Konsep diskresi dan implementasi dalam peraturan perundang-undangan administrasi negara tidak sinkron. Ini persoalan pemahaman dan perbedaan mendasar hukum administasi negara dan administrasi negara.

1.4. Sejarah Kekuasaan Diskresi Pemerintahan

Sejarah kekuasan diskresi pemerintahan, dimulai pada peralihan abad ke-19 ke abad 20, ini ditandai dengan perubahan dari peran pengadilan sebagai institusi hukum yang sempit dan terisolasi menjadi pengadilan (untuk) rakyat. Pengadilan yang terisolasi ini disebut sebagai pengadilan sebagai corong undang-undang. Perubahan dari kaum liberal dan legisme-positivistik memberikan landasan teori bagi peradilan yang terisolasi dari masyarakat di mana pengadilan berada, dan mengarah kediktatoran pengadilan (judicial dictatorship). Karena ia memutus semata-mata menurut tafsiran hukum terlepas dari dinamika masyarakat.

(44)

35 Sehingga secara sosiologis pengadilan itu menjadi benda asing di tubuh masyarakat.40 Ini berkembang sesuai dengan dinamika masyarakat sampai era baru seperti perkembangan demokrasi, bangkitnya kekuatan baru seperti buruh yang kemudian mengubah peta sosial politik secara mendalam. Dan berlalunya era kaum borjuis yang banyak dikaitkan dengan hukum liberal, menjadi hukum (untuk) rakyat.

Pada masa peralihan dari orde hukum liberal ke orde dinamika masyarakat, terjadi “pembangkangan-pembangkangan” oleh pengadilan. Lebih mendengarkan gejolak dalam masyarakat alih-alih mengikuti bunyi peraturan. Aliran legalistik-positivistik digantikan realisme hukum—realisme Skandinavia dan realisme Amerika, dengan tokohnya Benjamin Cardozo dan Oliver Wendell Holmes. Misalnya hakim membuat putusan yang sebetulnya melampaui peran pengadilan yang hanya mengkongkritkan undang-undang.41

Pada prakteknyakekuasaan diskresi pemerintah ini berkembang pada sistem hukum Common Law yang menganut aliran Realisme hukum. Aliran Realisme hukum dikenal dengan konsep yang radikal tentang proses peradilan. Mereka menyatakan bahwa hakim tidak hanya menentukan hukum, akan tetapi membentuk hukum. Hakim harus memilih, menentukan prinsip-prinsip mana yang akan dipakai dan pihak mana yang dimenangkan.42

40

Rahardjo, Satjipto, 2008, Membedah Hukum Progresif, Jakarta: Kompas Media Nusantara, cet.ke-3, hlm. 38

41

Ibid, hlm,39.

42

Soekanto, Soerjono, 2006, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Jakarta: RajaGrafindo Persada, hlm 44.

(45)

36

Keputusan hakim sering kali mendahului penggunaan prinsip-prinsip hukum yang formal. Keputusan pengadilan dan doktrin hukum selalu dapat dikembangkan untuk menunjang perkembangan atau hasil-hasil proses hukum. Keputusan pengadilan dibuat berdasarkan konsepsi-konsepsi hakim yang bersangkutan tentang keadilan dan dirasionalisasikan dalam pendapat tertulis. Ahli-ahli hukum dari aliran ini menaruh perhatian yang sangat besar tentang keadilan walaupun mereka berpendapat secara ilmiah tidak dapat ditentukan apa yang dinamakan hukum yang adil.43.

Adapun dalam sistem hukum Civil Law, diskresi ini muncul sebagai alternatif untuk mengisi kekurangan dan kelemahan dalam penerapan azas legalitas. Bagi negara yang bersifat welfare

state, azas legalitas saja tidak cukup untuk dapat berperan secara

maksimal dalam melayani kepentingan masyarakat, yang berkembang pesat sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pertimbangan lainnya adalah adanya realitas bahwa suatu kebijakan atau peraturan tidak mungkin mampu merespons banyak aspek dan kepentingan semua pihak sebagai akibat adanya keterbatasan prediksi para aktor atau stakeholders dalam proses perumusan suatu kebijakan atau peraturan .44

Dalam konteks Indonesia, secara historis sebagai jajahan Belanda dan mewarisi sistem hukum mereka dengan sistem civil

law. Kelaziman di Indonesia, hakim yang satu memakai

undang-undang sebagai dasar keputusannya, hakim yang lain memakai “rasa” sebagai dasar keputusannya, yang lain memakai hukum

43

Ibid, hlm,. 45.

44

Dwiyanto, Agus, dkk, 2002, Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia, Yogjakartaa; Galang Pritika, hlm 15.

(46)

37 Adat sebagai dasar keputusannya, dan ada lagi yang mendasarkannya kepada yurisprudensi. Hal tersebut di atas mengingat Undang-Undang No.35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehuakiman jo UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, secara jelas menyatakan bahwa hakim dan juga semua penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai yang hidup dalam masyarakat. Ini memberi peluang kepada hakim di Indonesia untuk memperbaiki citra miring terhadap hukumnya bagi sistem yang berkembang di Indonesia.45

Menurut Sabian Utsman, sistem hukum Indonesia sekarang lebih didominasi oleh aliran Legal Realism dengan cara dan karakteristik budaya bangsa Indonesia. Dengan tidak mengabaikan kenyataan saat ini dengan beberapa perundang-undangan, maka Indonesia sesungguhnya lebih dekat dengan sistem hukum Common Law. Alasannya, karena masyarakat Indonesia dan hukum Kebiasaan (Customary Law) tumbuh dan mengakar di masyarakat sehingga menjadi Living Law yang ada bersama-sama dengan budaya dan agama (terlebih agama Islam). Ini membuat semakin dekatnya kita dengan sistem Common Law ketimbang sistem hukum Roman Law.46

UUD NRI Tahun 1945 pada pembukaan alenia 4 (empat) memuat tentang tujuan negara, yaitu: melindungi segenap bangsa, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan melaksanakan ketertiban dunia. Artinya, pemerintah

45

Ibid,

46

Referensi

Dokumen terkait

Jika  tabel  telah  mengandung  subtotal,  untuk  menggantikan  subtotal  yang  telah  ada  dengan  yang  baru,  beri  tanda  di  list  box  Replace 

(4) Rawat inap sehari (one day care) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b merupakan pelayanan kepada pasien untuk observasi, perawatan, diagnosis,

Salah satu lagi faktor penyebab tingginya angka kebakaran di kota Bandung yaitu kurangnya sosialisasi dari dinas Pencegahan dan Penaggulangan Kebakaran Kota

Standar kualifikasi akademik dan kompetensi Sekolah Tinggi Teknologi Ronggolawe (STTR) Cepu (2008) menjelaskan pada umumnya kinerja dosen terlihat dari dalam dan luar proses

Kecamatan Medang Deras Kabupaten Batubara). Penelitian ini berlangsung di bawah bimbingan Bapak Prof. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Lalang Kecamatan Medang Deras

Tingkat kehilangan air PALYJA mengalami penurunan dibandingkan dengan triwulan I namun masih lebih tinggi dari realisasi tingkat kehilangan air di tahun 2015 dan

Metode yang digunakan yaitu Evolutionary Prototype dalam pengembangan sistem informasi pengolahan data ekspor-impor menggunakan beberapa alat bantu seperti Diagram Use

Proses pembuatan stored procedures KeyphraseDetail di lakukan dengan mengambil frase kunci dari dokumen yang di tentukan oleh variabel @bibliografiid di kolom judul