• Tidak ada hasil yang ditemukan

Abstract. Keywords: reform, amendment of 1945 Constitution, the Constitutional Reform Results

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Abstract. Keywords: reform, amendment of 1945 Constitution, the Constitutional Reform Results"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

Oleh: Didik Sukriono2

(E-Mail: didik_sukriono@yahoo.co.id) Abstract

Changes in the 1945 Constitution which done by the Assembly, can not be separated from the demands of reform of 1988. The spirit of reform calls the country to respect and protect human rights, rules of law fairly and indiscriminately, the country prosper the people and does not deceive the interests of power groups, and hold the democratic government.. The spirit of reform that is manifested in total demand reform, which includes cessation of President Soeharto, the removal of the military dual function, the rule of law and human rights, and the amendment of 1945 Constitution.

The amendment of the constitution (UUD 1945) as one of the demands for reform is a necessity, given the experience of history shows that throughout the enactment of the 1945 Constitution (Before Amendment) cause either of authoritarian rule in the Old Order and New Order. The practice of authoritarian rule, among others, caused by certain articles in the 1945 Constitution (Before Amendment) which does not provide certainty on which to base normative constitutional organizers. Each person (group) interpret the articles of the constitution in accordance with the political course adopted. On the other hand, the articles of the 1945 Constitution also gives enormous power to the President (Executive Heavy) so that the President abused his power easily.

Amendment of 1945 Constitution which began in 1999, 2000, 2001, and 2002, has been 10 years, and the controversy over the process and the choice of the substances changes also re-emerging. The controversies are: society began to question the constitutional amendments and in fact some people who want to return to the 1945 Constitution before the amendment. Controversy is something that really fair as a democracy and the constitution itself is resultant of political agreement by nationalists according to the situation at a certain place and time.

Keywords: reform, amendment of 1945 Constitution, the Constitutional Reform Results

A. Nilai, Sifat dan Tujuan Konstitusi 1. Nilai Konstitusi

Pengertian nilai konstitusi di sini adalah nilai (values) sebagai hasil penilaian atas pelaksanaan norma-norma dalam suatu konstitusi dalam kenyataan praktik. Karl Loewenstein dalam bukunya Reflection on the Value

1

Disampaikan pada acara “Obrolan Konstitusi”, hasil kerjasama antara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dengan Pusat Kajian Konstitusi (PKK) Fakultas Hukum Universitas Kanjuruhan Malang dan RRI Malang, tanggal 24 Agustus 2010.

2

Ketua Pusat Kajian Konstitusi (PKK) Fakultas Hukum Universitas Kanjuruhan Malang, Jl. S. Supriadi No. 48 Malang, Tlp. (0341) 801488

(2)

of Constitutions membedakan tiga macam nilai atau the values of the constitution, yaitu: (1) normative value; (2) nominal value; dan (3) semantical value. Karl Loewenstein, yang dikutip Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa dalam setiap konstitusi selalu terdapat dua aspek penting, yaitu sifat idealnya sebagai teori dan sifat nyatanya sebagai praktek. Artinya, sebagai hukum tertinggi di dalam konstitusi itu selalu terkandung nilai-nilai ideal sebagai das solen yang tidak selalu identik dengan das sein atau keadaan nyatanya di lapangan.3

Konstitusi dapat dikatakan memiliki nilai normatif, jika antara norma yang terdapat dalam konstitusi yang bersifat mengikat itu dipahami, diakui, diterima, dan dipatuhi oleh subjek hukum yang terikat padanya. Tetapi jika tidak seluruh isi konstitusi itu demikian, atau setidak-tidaknya norma-norma tertentu yang terdapat di dalam konstitusi itu apabila memang sungguh-sungguh ditaati dan berjalan sebagaimana mestinya dalam kenyataan, norma-norma konstitusi dimaksud dapat juga dikatakan berlaku sebagai konstitusi dalam arti normatif.

Akan tetapi, apabila suatu undang-undang dasar, sebagian atau seluruh materi muatannya, dalam kenyatannya tidak dipakai sama sekali sebagai referensi atau rujukan dalam pengambilan keputusan dalam penyelenggaraan kegiatan bernegara, konstitusi tersebut dapat dikatakan sebagai konstitusi yang bernilai nominal. Manakala dalam kenyataannya keseluruhan bagian atau isi undang-undang dasar itu memang tidak dipakai dalam praktik, keseluruhan undang-undang dasar itu dapat disebut bernilai nominal. Misalnya, norma dasar yang terdapat dalam konstitusi yang tertulis (geschreven constitutie) menentukan A, tetapi konstitusi yang dipraktikkan justru sebaliknya yaitu B sehingga apa yang tertulis secara expresses verbis dalam konstitusi sama sekali hanya bernilai nominal saja. Dapat pula terjadi bahwa yang dipraktikkan itu hanya sebagian saja dari ketentuan undang-undang dasar, sedangkan sebagian lainnya tidak dilaksanakan dalam praktik sehingga dapat dikatakan

3

Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, PT Raja Grafindo, Jakarta, 2009, Hlm. 108., Lihat juga Kusnardi dan Ibrahim, Op. Cit., hlm.4; Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih,

Ilmu Negara, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1994), hlm. 156-157; I. Nyoman Dekker, Hukum Tata Negara Republik Indonesia, Suatu Pengantar, (Malang: IKIP Malang, 1993), hlm. 12; R.G.

Kartasapoetra, Sistematika Hukum Tata Negara, (Jakarta: Bina Aksara, 1987), hlm. 21-22; Demikian pula hal ini dapat dibaca dalam tulisan-tulisan Prof. Isma'il Suny, Prof. Sri Soemantri, Prof. Padmo Wahyono, Prof. Abu Daud Busroh, Prof. Solly Lubis, dan sebagainya.

(3)

bahwa yang berlaku normatif hanya sebagian. Sementara itu, sebagian lainnya hanya bernilai nominal sebagai norma-norma hukum di atas kertas "mati".4

Sedang konstitusi yang bernilai semantik adalah konstitusi yang norma-norma yang terkandung di dalamnya hanya dihargai di atas kertas yang indah dan dijadikan jargon, semboyan, ataupun "gincu-gincu ketatanegaraan" yang berfungsi sebagai pemanis dan sekaligus sebagai alat pembenaran belaka. Dalam setiap pidato, norma-norma, konstitusi itu selalu dikutip dan dijadikan dasar pembenaran suatu kebijakan, tetapi isi kebijakan itu sama sekali tidak sungguh-sungguh melaksanakan isi amanat norma yang dikutip itu. Kebiasaan seperti ini lazim terjadi di banyak negara, terutama jika di negara yang yang bersangkutan tersebut tidak tersedia mekanisme untuk menilai konstitusionalitas kebijakan-kebijakan kenegaraan (state's policies) yang mungkin menyimpang dari amanat undang-undang dasar. Dengan demikian dalam praktik ketatanegaraan, baik bagian-bagian tertentu ataupun keseluruhan isi undang-undang dasar itu, dapat bernilai semantik saja.5

2. Sifat Konstitusi

Konstitusi atau Undang-Undang Dasar dapat bersifat luwes (fleksibel) atau kaku (rigid). Untuk menentukan apakah undang-undang dasar itu bersifat luwes atau kaku adalah: (1) apakah terhadap naskah konstitusi itu dimungkinkan dilakukan perubahan dan apakah cara mengubahnya cukup mudah atau sulit, dan (2) apakah naskah konstitusi itu mudah atau tidak mudah mengikuti perkembangan kebutuhan zaman.6

Untuk menentukan apakah suatu naskah konstitusi bersifat luwes atau tidak, pertama-tama kita dapat mempelajari mengenai kemungkinannya berubah atau tidak, dan bagaimana pula perubahan itu dilakukan. Pada umumnya, dalam setiap naskah undang-undang dasar, selalu diatur tata cara perubahan konstitusi itu sendiri dalam pasal-pasal atau bab yang tersendiri. Perubahan-perubahan yang dilakukan menurut tata cara yang ditentukan sendiri oleh undang-undang dasar itu dinamakan verfassungs-anderung. Ketentuan mengenai perubahan tersebut selalu ditentukan dalam undang-undang dasar itu sendiri, karena walaupun dimaksudkan untuk jangka waktu

4

Ibid, Jimly Asshiddiqie, Hlm. 109. 5

Ibid, Jimly Asshiddiqie, Hlm. 109. 6

K.C. Wheare, Modern Constitution, Oxford University Press, London-New York, 1975, Hlm.14.

(4)

yang lama, tetapi teks suatu undang-undang dasar selalu cenderung untuk tertinggal dari perkembangan masyarakat. Pada saat perubahan masyarakat sudah sedemikian rupa, selalu muncul kebutuhan objektif untuk mengadakan perubahan pula atas teks undang-undang dasar.

Namun demikian, karena konstitusi itu pada hakikatnya merupakan hukum dasar yang tertinggi dan menjadi dasar bagi berlakunya peraturan perundang-undangan lainnya yang lebih rendah, para penyusun atau perumus undang-undang dasar selalu menganggap perlu menentukan tata cara perubahan yang tidak mudah. Dengan prosedur yang tidak mudah, menjadi tidak mudah pula orang untuk mengubah hukum dasar negaranya, kecuali apabila hal itu memang sungguh-sungguh dibutuhkan karena pertimbangan yang objektif dan untuk kepentingan seluruh rakyat, serta bukan untuk sekedar memenuhi keinginan atau kepentingan segolongan orang yang berkuasa saja. Oleh karena itu, biasanya prosedur perubahan undang-undang dasar diatur sedemikian berat dan rumit syarat-syaratnya sehingga undang-undang dasar yang bersangkutan menjadi sangat rigid atau kaku.7

Akan tetapi sebaliknya, ada pula undang-undang dasar yang mensyaratkan tata cara perubahan yang tidak terlalu berat dengan pertimbangan untuk tidak mempersulit perubahan sehingga undang-undang dasar dapat disesuaikan dengan tuntutan perubahan zaman. Konstitusi yang demikian dapat dikatakan sebagai konstitusi yang fleksibel atau luwes. Misalnya, ada undang-undang dasar yang perubahannya tidak memerlukan cara yang istimewa, melainkan cukup dilakukan oleh lembaga pembuat undang-undang biasa. Sebaliknya, ada pula Konstitusi yang menetapkan syarat perubahan dengan cara yang istimewa, misalnya dalam sistem parlemen bikameral, harus disetujui lebih dulu oleh kedua kamar parlemennya. Konstitusi yang demikian dapat disebut bersifat rigid.8

Memang harus diakui bahwa untuk menentukan sifat flexible atau rigid suatu undang-undang dasar sebenarnya tidaklah cukup hanya dengan melihat dari segi cara mengubahnya. Dapat saja terjadi suatu undang-undang dasar dikatakan bersifat rigid, tetapi dalam kenyataannya dapat diubah tanpa melalui

7

Ibid, K.C. Wheare, Hlm. 16. 8

C.F. Strong, Modern Political Constitution: An Introduction to the Comparative Study of

(5)

prosedur yang ditentukan sendiri oleh undang-undang dasarnya (verfassungs-anderung), melainkan diubah melalui prosedur di luar ketentuan konstitusi (verfassungs-wandlung), seperti melalui revolusi atau dengan “constitutional convention." 9

Untuk undang-undang dasar yang tergolong fleksibel perubahannya kadang-kadang cukup dilakukan hanya dengan the ordinary legislative process seperti di New Zealand. Sementara itu, untuk undang-undang dasar yang dikenal kaku atau rigid, prosedur perubahannya dapat dilakukan: (1) Oleh lembaga legislatif, tetapi dengan pembatasan-pembatasan tertentu; (2) Oleh rakyat secara langsung melalui suatu referendum; (3) Oleh utusan negara-negara bagian, khusus di negara-negara Serikat; atau (4) Dengan kebiasaan ketatanegaraan, atau oleh suatu lembaga negara yang khusus yang dibentuk hanya untuk keperluan perubahan.10

Menurut K.C. Wheare, ada tiga cara untuk mengubah Undang-Undang Dasar, yaitu: (1) formal amendment atau perubahan resmi, (2) constitutional convention atau konvensi ketatanegaraan; dan (3) judicial interpretation atau penafsiran pengadilan. Oleh karena itu, perubahan dalam arti penyempurnaan terhadap undang-undang dasar tidak selalu harus dilakukan dengan cara formal amendment, tetapi dapat pula dilakukan dengan konvensi ketatanegaraan.

Pada akhirnya yang menentukan perlu atau tidaknya undang-undang dasar diubah adalah faktor konfigurasi kekuatan politik yang berkuasa pada suatu waktu. Betapapun kakunya atau sulitnya suatu naskah undang-undang dasar diubah, apabila konfigurasi kekuatan politik yang berkuasa berpendapat, menghendaki, atau menentukan bahwa undang-undang dasar itu harus diubah, konstitusi itu tentu akan diubah. Sebaliknya, walaupun undang-undang dasar itu sangat mudah untuk diubah, jika kekuatan politik yang berkuasa itu berpendapat tidak perlu diubah atau tidak menghendaki adanya perubahan, tentu konstitusi itu tetap tidak akan mengalami perubahan. Artinya, tolok ukurnya fleksibilitas atau rigiditas, tidaklah dapat ditentukan dengan pasti hanya karena mudah tidaknya prosedur perubahan itu dilakukan. Karena, pada

9

Georg Jellinek, tentang Verfassungswandlung dan Vergassungsanderung, dalam Jimlly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, PT Raja Grafindo, Jakarta, 2009, Hlm. 115.

10

(6)

pokoknya, konstitusi itu merupakan produk politik, faktor kekuatan politiklah yang justru sangat determinan pengaruhnya dalam menentukan apakah konstitusi harus berubah atau tidak berubah. Konsep yang demikian itu pula yang dipakai oleh Mahfud M.D. dan Carl Schmitt sebagai faktor kekuasaan yang nyata atau de riele machtsfactoren.11

3. Tujuan Konstitusi

Di kalangan para ahli hukum, pada umumnya dipahami bahwa hukum mempunyai tiga tujuan pokok, yaitu: (1) keadilan (justice); (2) kepastian (certainty atau zekerheid); dan (3) kegunaan (utility). Keadilan itu sepadan dengan keseimbangan (balance, mizan) dan kepatutan (equity), Serta kewajaran (proportionality). Sedangkan, kepastian hukum terkait dengan ketertiban (order) dan ketenteraman. Sementara itu, kegunaan diharapkan dapat menjamin bahwa semua nilai-nilai tersebut akan mewujudkan kedamaian hidup bersama.12

Karena konstitusi itu sendiri merupakan hukum yang dianggap paling tinggi tingkatannya, tujuan konstitusi sebagai hukum tertinggi itu juga untuk mencapai dan mewujudkan tujuan yang tertinggi. Tujuan yang dianggap tertinggi itu adalah: (a) keadilan; (b) ketertiban; dan (c) perwujudan nilai-nilai ideal seperti kemerdekaan atau kebebasan dan kesejahteraan atau kemakmuran bersama, sebagaimana dirumuskan sebagai tujuan bernegara oleh para pendiri negara (the founding fathers and mothers). Misalnya, empat tujuan bernegara Indonesia adalah seperti yang termaktub dalam alinea IV Pembukaan UUD 1945. Keempat tujuan itu adalah: (1) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; (2) memajukan kesejahteraan umum; (3) mencerdaskan kehidupan bangsa; dan (4) ikut melaksanakan ketertiban dunia (berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Sehubungan dengan itulah, beberapa sarjana merumuskan tujuan konstitusi itu seperti merumuskan tujuan negara, yaitu negara konstitusional, atau negara berkonstitusi. Menurut J. Barents, ada tiga tujuan negara, yaitu: (1) untuk memelihara ketertiban dan ketenteraman; (2) mempertahankan kekuasaan; dan (3) mengurus hal-hal yang berkenaan dengan

11

Ibid, Jimlly Asshiddiqie, Hlm. 116. 12

(7)

kepentingan umum. 13 Sementara itu, Maurice Hauriou menyatakan bahwa tujuan konstitusi adalah untuk menjaga keseimbangan antara: (1) ketertiban (orde); (2) kekuasaan (gezag); dan (3) kebebasan (vrijheid).14 Kebebasan individu warga negara harus dijamin, tetapi kekuasaan negara juga harus berdiri tegak sehingga tercipta tertib bermasyarakat dan bernegara. Ketertiban itu sendiri terwujud apabila dipertahankan oleh kekuasaan yang efektif dan kebebasan warga negara tetap tidak terganggu. Sementara itu, G.S. Diponolo merumuskan tujuan konstitusi ke dalam lima kategori, yaitu: (i) kekuasaan, (ii) perdamaian, keamanan, dan ketertiban, (iii) kemerdekaan, (iv) keadilan, Berta (v) kesejahteraan dan kebahagiaan.15

B. Validitas Perubahan UUD 1945

UUD 1945 telah 4 kali mengalami perubahan, yakni tahun 1999, 2000, 2001 dan 2002. Terhadap Perubahan UUD 1945 tersebut, ada pendapat yang menganggapnya tidak sah dan tidak konstitusional dengan berbagai alasan, satu di antaranya adalah bahwa perubahan tersebut tidak dimasukkan dalam Lembaran Negara. Dilihat dari perspektif yuridis konstitusional, pandangan bahwa UUD 1945 hasil perubahan itu tidak sah tidaklah tepat. Perubahan UUD 1945 itu sudah sah kalau dilakukan dalam Sidang MPR yang memenuhi syarat prosedur dan kuorum sebagaimana diatur Pasal 37 UUD 1945.16

Penempatan UUD di dalam Lembaran Negara hanyalah administratif, bukan imperatif. Di dalam UU Nomor 2 Tahun 1950 yang harus ditempatkan di dalam Lembaran Negara sebagai tanda pemberlakuan hanyalah undang-undang, undang-undang darurat, dan peraturan pemerintah. Sedangkan berdasarkan UU Nomor 10 Tahun 2004 ditegaskan bahwa penempatan UUD dalam Lembaran Negara bukan menjadi syarat berlaku, sehingga sifatnya tidak promulgation melainkan hanya publication.17

Perspektif sejarah dapat dilihat bahwa UUD 1945 yang disahkan oleh

13

J. Barents, De Wetenschap de Politiek, Een Tereiverkenning, 1952, diterjemahkan L.M. Sitorus, Ilmu Politik: Suatu Perkenalan Lapangan, PT Pembangunan, Jakarta, 1958, Hlm. 38.

14

Maurice Hauriou, Precis de Droit Constitutionnel, dalam Abu Daud Busro, Ilmu Negara, Bumi Aksara, Jakarta, 1990, Hlm. 99.

15

G.S. Diponolo, Ilmu Negara, Balai Pustaka, Jakarta, 1951, Hlm. 23. 16

M. Mahfud MD, Evaluasi Pelaksanaan Hasil Reformasi Konstitusi, Makalh disampaikan pada Seminar Nasional ”Evaluasi Pelaksanaan Hasil Reformasi Konstitusi” diselenggarakan oleh MPR RI bekerja sama dengan MKRI, Jakarta, 18 Agustus 2010, Hlm. 11.

17

(8)

PPKI pada 18 Agustus 1945 dan berlaku sejak saat itu tidak secara langsung ditempatkan dalam Lembaran Negara. Naskah UUD 1945 sebelum perubahan tersebut baru dimasukkan datam Lembaran Negara setelah adanya Peraturan Nomor 1 Tahun 1945 tanggal 16 Oktober 1945. UUD 1945 tersebut baru dimasukkan dalam Berita Negara Nomor 7 Tahun 11 /45.

Sedang dari perspektif filosofis, dimasukkannya peraturan perundang-undangan ke dalam Lembaran Negara berlaku bagi peraturan perundangperundang-undangan tertentu yang sudah menjadi norma atau UU, yakni peraturan yang sudah memuat secara tegas tentang kewajiban dan larangan yang disertai dengan sanksi hukum dan ditentukan keharusan penempatannya di dalam Lembaran Negara. Pandangan ini tumbuh dan berkembang di negara-negara Eropa Kontinental yang pembangunan hukumnya bertumpu pada legisme dengan sistem hukum sipil (civil law). Dasarnya adalah asas fictie atau fiksi hukum bahwa setiap orang dianggap mengetahui hukum dan dapat dijatuhi sanksi hukum sesuai dengan yang diancamkan apabila melanggar hukum yang telah dibertakukan secara resmi. Untuk dapat dianggap tahu hukum sesuai dengan asas fictie itu maka setiap peraturan yang sudah menjadi norma dan disertai ancaman sanksi hukum tersebut haruslah ditempatkan di dalam Lembaran Negara sebagai tanda pemberlakuan yang secara fictie diketahui oleh setiap orang.

UUD merupakan peraturan perundang-undangan yang masih merupakan himpunan asas-asas yang tidak memuat ancaman sanksi hukum bagi pelanggarnya, melainkan hanya dapat ditegakkan dengan sanksi potitik. Oleh karena itu UUD tidak harus dimasukkan dalam Lembaran Negara. Keabsahan UUD bergantung pada prosedur penetapan atau perubahan yang diatur datam UUD itu sendiri. Berdasarkan uraian tersebut, baik secara yuridis, historis, maupun filosofis tidak ada keharusan untuk memasukkan UUD 1945 ke dalam Lembaran Negara sebagai tanda pemberlakuannya.18

C. Hasil Perubahan Konstitusi

The Founding Fathers telah menetapkan UUD 1945 sebagai Konstitusi Negara pada tanggal 18 Agustus 1945. Sangat dipahami bahwa UUD tersebut banyak mengadung kelemahan karena dibuat dengan terburu-buru di masa

18

(9)

peperangan. Bahkan Soekarno menyebut UUD 1945 ini bersifat darurat atau sementara, yang berikutnya akan dibuat UUD yang lebih lengkap dan sempurna.

Terdapat beberapa kelemahan mendasar dari UUD 1945 sebelum perubahan, yaitu: (1). UUD 1945 Sebelum Perubahan melahirkan sistem politik yang executive heavy, menghimpun kekuasaan terlalu besar pada lembaga eksekutif terutama lembaga kepresidenan, dan tidak memuat mekanisme checks and balances; (2). UUD 1945 Sebelum Perubahan memuat pasal-pasal yang multi-interpretable, artinya dalam real politiknya interprestasi penguasalah yang harus diterima sebagai interpretasi yang benar; (3). UUD 1945 Sebelum Perubahan terlalu banyak memberi atribusi kewenangan kepada lembaga legislatif untuk mengatur hal-hal penting dengan UU, padahal dengan sistem executive heavy pembuatan UU didominasi oleh Presiden sehingga UU menjadi sarana bagi Presiden untuk mengakumulasi kekuasaan; (4). UUD 1945 Sebelum Perubahan terlalu percaya kepada semangat dan etikad baik orang yang berkuasa sehingga lebih menggantungkan pada semangat penyelenggara negara daripada mengatur pembatasan kekuasaan secara tegas.19

Terkait dengan perubahan UUD 1945, segenap fraksi MPR mencapai kesepakatan tentang arah perubahan UUD 1945, yaitu: (1). Tidak mengubah Pembukaan UUD 1945; (2). Mempertahankan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia; (3). Mempertahankan sistem presidensiil (dalam pengertian sekaligus menyempurnakan agar betul-betul memenuhi ciri-ciri umum sistem presidensiil); (4). Memindahkan hal-hal normatif yang ada dalam Penjelasan UUD 1945 ke dalam pasal-pasal UUD 1945; dan (5). Menempuh cara adendum dalam melakukan amandemen terhadap UUD 1945.

Empat rangkaian perubahan UUD 1945 yang dilakukan, mulai tahun 1999 sampai 2002, MPR berhasil mengubah atau menambah pasal dan ayat mencapai 300 persen dari naskah UUD 1945 sebelum perubahan. UUD 1945 sebelum perubahan hanya terdiri dari 16 bab, 37 pasal dan 47 ayat ditambah 4 pasal Aturan Peralihan dan 2 ayat Aturan Tambahan. Setetah 4 kali perubahan, UUD 1945 menjadi 20 bab, 73 pasal, 171 ayat ditambah 3 pasal Aturan Peralihan dan 2 pasal

19

Didik Sukriono, Pembaharuan Hukum Pemerintah Desa, Politik Hukum Pemerintahan

Desa di Indonesia, In-Trans Publishing, Malang, 2010, Hlm. 146-152. Lihat juga Adnan Buyung

Nasution, Hubungan Eksekutif- Legislatif Pasca Amandemen UUD 1945 Permasalahan dan Arah

Perubahan, Makalah disampaikan pada Seminar Nasional ”Evaluasi Pelaksanaan Hasil Reformasi

Konstitusi” diselenggarakan oleh MPR RI bekerja sama dengan MKRI, Jakarta, 18 Agustus 2010, Hlm. 1.

(10)

Aturan Tambahan.20

Secara umum, pada perubahan tahap pertama, tahun 1999, terjadi perubahan sembilan pasal. Hal-hal substantif yang mengalami perubahan adalah sebagai berikut: Pertama, terjadi pembatasan masa jabatan Presiden; Kedua, adanya pembatasan kekuasaan Presiden dalam bidang legistasi; dan Ketiga, adanya usaha membangun mekanisme cheks and balances.

Pada 2000, MPR kembali melakukan perubahan tahap kedua dan berhasil mengubah 25 pasal dengan enam materi pokok, yaitu menyangkut pemerintahan daerah atau desentratisasi, wilayah negara, kedudukan warga negara dan penduduk, hak asasi manusia, pertahanan dan keamanan negara, dan menyangkut bendera, bahasa dan lambang negara serta lagu kebangsaan.

Pada 2001, MPR kembali menyempurnakan UUD 1945 dengan melakukan perubahan tahap ketiga. Pada tahap ini terjadi perubahan yang sangat mendasar terhadap UUD 1945 terkait dengan kedaulatan, perombakan parlemen, pemilihan Presiden secara langsung, membentuk lembaga baru yang bernama Mahkamah Konstitusi dan mengatur prosedur perubahan terhadap UUD.

Pada 2002, MPR kembali melakukan perubahan tahap keempat. Perubahan tersebut memfokuskan pada persoalan susunan MPR, cara pemilihan Presiden, penyelesaian jika Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan atau tidak bisa menjalankan kewajibannya, pemberian hak kepada Presiden untuk membentuk suatu Dewan Pertimbangan Presiden, penghapusan Dewan Pertimbangan Agung, serta ketentuan mengenai independensi Bank Indonesia, tidak lagi menjadi organ eksekutif. Selain itu, pada perubahan tersebut juga menetapkan batas minimal anggaran untuk biaya pendidikan yaitu sebanyak 20% dari APBN serta adanya ketentuan yang melarang perubahan pada bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.21

Selanjutnya jika dilihat dari materi muatan hasil Perubahan UUD 1945 tersebut, terdapat beberapa substansi utama yang menjadi orientasi, antara lain: 1. Penegasan dan penguatan prinsip negara hukum. Hal ini ditandai

dengan penegasan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum pada Pasal 1

20

Harjono, Konstitusi Dan Pembangunan Daerah, Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Asosiasi Pengajar HTN/HAN se Jawa Timur, Kerjasama Pusat Kajian Konstitusi Universitas Dr. Soetomo dengan Pemprov. Jatim dan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Surabaya, 2 Nopember 2009, Hlm. 3.

21

(11)

ayat (3). Penegasan dan penguatan prinsip negara hukum ini tentu diikuti dengan perubahan ketentuan-ketentuan agar Indonesia memenuhi unsur-unsur atau syarat-syarat sebagai negara hukum. Hal ini diwujudkan dengan dianutnya prinsip supremasi konstitusi (Pasal 1 ayat (2)), jaminan kekuasaan kehakiman yang merdeka dengan pengaturan yang lebih lengkap disertai dengan mekanisme pengawasan oleh KY, dan adanya jaminan terhadap perlindungan dan penghormatan HAM.

2. Hak asasi manusia dan hak konstitusional warga negara harus dihormati, dilindungi, dan dimajukan. Penghormatan, perlindungan, dan pemajuan HAM merupakan tanggungjawab negara, terutama pemerintah. Oleh karena itu tujuan penyelenggaraan negara dan pemerintahan pada hakikatnya adalah untuk menghormati, melindungi, dan memajukan HAM.

3. Prinsip Bhinneka Tunggal Ika ditegaskan dengan jaminan pengakuan terhadap keragaman bangsa Indonesia. Hal ini dituangkan dalam bentuk pengakuan terhadap daerah yang memiliki keistimewaan atau kekhususan, pengakuan terhadap masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya, pengakuan terhadap bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional, serta pemberian otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah.

4. Perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial harus diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan seturuh rakyat. Oleh karena itu yang diperlukan tidak hanya pengaturan tentang cabang-cabang produksi yang penting serta penguasaan negara atas bumi, air, dan kekayaan yang ada di dalamnya, tetapi juga ditegaskan prinsip-prinsip yang harus dipedomani dalam mengembangkan demokrasi ekonomi nasional secara makro.

5. Demokrasi politik dikembangkan untuk memperluas dan memperaktif partisipasi rakyat dalam penyelenggaraan negara serta untuk mencegah terjadinya pemusatan kekuasaan yang berpotensi menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan. Oleh karena itu terdapat jaminan pelaksanaan Pemilu, bahkan Pemilu langsung untuk Presiden dan Wakil Presiden, pembatasan masa jabatan Presiden, serta penataan hubungan kelembagaan negara agar dapat diterapkan prinsip saling mengawasi dan mengimbangi (checks and balances) antara satu lembaga negara dengan lembaga negara

(12)

yang lain.22

D. Gagasan Perubahan Konstitusi Ke Depan

Berangkat dari pengertian konstitusi oleh K.C. Wheare, bahwa konstitusi resultante alias kesepakatan politik bangsa melalui para pembuatnya sesuai dengan situasi tempat dan waktu tertentu, bisa dipastikan setelah berjalan 10 tahun perubahan banyak kelemahan dan kekuarangan dengan kondisi saat ini. Berbagai problem ketatanegaraan Sesudah Perubahan UUD 1945, diantaranya: (1). State Weakness, yang ditandai dengan adanya disharmoni penggunaan kekuasaan baik secara vertikal maupun horizontal, lemahnya kelembagaan pemerintahan (birokrasi) dalam memenuhi kebutuhan dan harapan masyarakat, dan lemahnya kapabilitas kepemimpinan nasional; (2). Accountability Weakness, ditandai dengan adanya penggunaan kekuasaan yang seringkali tidak sesuai dengan tujuan negara, dan penggunaan sumber daya negara yang tidak dapat dipertanggungjawabkan; (3). Representation Weakness, ditandai dengan kegagalan lembaga-lembaga negara mencapai konsensus, dan ketidakmampuan parpol dan politisi mewakili rakyat, serta ketidakmampuan civic self organization.23

Adanya kekurangan dan kelemahan UUD 1945 hasil Perubahan, menjadi alasan kuat untuk melakukan pembenahan secara menyeluruh dan komprehensip lewat Amandemen Kelima untuk menjadikan UUD 1945 sebagai konstitusi yang progresif dan visioner, dan mampu menjadi landasan yang kokoh bagi bangsa dan negara. Oleh karena itu, kalau masih ada sekelompok masyarakat yang berkeinginan kembali ke UUD 1945 sebelum perubahan, berarti sama halnya dengan memutar jarum jam mundur ke belakang dan akan mengulang konsep ketatanegaraan yang tidak sesuai dengan perkembangan global yang menghargai dan menjunjung tinggi prinsip negara hukum, perlindungan HAM dan demokrasi. Namun perlu dipahami, bahwa untuk merubah konstitusi yang lebih baik dan sempurna tidak harus melalui formal amandemen atau perubahan resmi, tetapi juga dapat dilakukan lewat constitutional convention atau konvensi

22

Op. Cit., M. Mahfud MD., Hlm. 9-10. 23

Eko Prasojo, Perkembangan Kelembagaan Eksekutif dan Legislatif Pasca Perubahan UUD

1945, Makalah disampaikan pada Seminar Nasional ”Evaluasi Pelaksanaan Hasil Reformasi

Konstitusi” diselenggarakan oleh MPR RI bekerja sama dengan MKRI, Jakarta, 18 Agustus 2010, Hlm. 2-3.

(13)

ketatanegaraan, atau memberi kesempatan pemerintah melakukan aksi dan aktualisasi pasal-pasal konstitusi (UUD) ke dalam UU, serta pembaruan kaidah-kaidah konstitusi yang belum tepat pengaturan dan penempatannya.

Tetapi jika formal amandemen atau perubahan resmi menjadi sebuah pilihan, satu hal yang harus diperhatikan oleh MPR, yakni perubahan konstitusi yang memperhatikan perkembangan budaya dan aspirasi masyarakat yang berkembang secara dinamis dengan segala keanekaragamannya. Hal ini sesuai dengan pendapat H. Rahman, yang dikutip Abdul Bari Azed, bahwa konstitusi yang baik dan ideal haruslan sesuai dengan keadaan yang berkembang dalam negara.24

Adapun gagasan perubahan konstitusi ke depan, secara umum dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Konsolidasi kekuasaan lembaga eksekutif dan legislatif untuk memperkuat fungsi negara. DPD harus diberi kekuasaan-kekuasaan yang lebih besar, yaitu diberi beberapa hak untuk menjalankan fungsi legislatif dan hak imunitas bagi anggota DPD. Dan MPR harus menjadi sidang bersama antara dua kamar dan bukan menjadi lembaga terpisah. Memperkuat DPD akan memperkuat sistem checks and balances karena mampu mencegah DPR menjadi sebuah lembaga legislatif yang tidak terkendali.

2. Perlunya peninjauan kembali sistem multipartai yang sebenarnya tidak kompatibel dengan pilihan model sistem Presidensial. Sistem pemerintahan presidensiil dengan sistem kepartaian multiparty hanya akan menghasilkan minority government. Saldi Isra mengutip Jose A. Cheibub, mengatakan minority government terjadi karena pemerintah tidak mengontrol suara mayoritas di lembaga legislatif, atau dalam sistem bikameral pemerintah tidak mengontrol suara mayoritas di salah satu kamar lembaga legislatif.25

3. Pemilihan Presiden secara langsung sebaiknya tidak perlu dibatasi dari partai politik saja, tetapi perlu juga dari calon independen.

4. Fungsi pengawasan DPR harus diperkuat, agar hak angket, hak interpelasi dan hak menyatakan pendapat dapat berujung pada Impeachment. Selanjutnya

24

Abdul Bari Azed, Sambutan Ketua Umum Asosiasi Pengajar HTN Dan HAN Se Indonesia, Di Hotel Panorama Jember Jawa Timur, 2009, Hlm.3.

25

Saldi Isra, Problematika Koalisi Dalam Sistem Presidensial, Makalah disampaikan pada Seminar Nasional “Evaluasi Hasil Pelaksanaan Reformasi Konstitusi” , 18-20 Agustus 2010, Jakarta, Hlm. 2.

(14)

demi memperkuat sistem checks and balances, sangat penting untuk memberi DPR dan DPD sebuah hak seperti Amerika untuk memveto balik penolakan Rancangan Undang-Undang (RUU) Presiden pada tahap pembahasan.

5. Perlunya ketegasan kedudukan desa atau nama lainnya di dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.

6. Perubahan Komisi Yudisial (KY) menjadi Mahkamah Yudisial (MY) dengan wewenang pengawasan terhadap polisi, jaksa dan hakim (termasuk hakim konstitusi).

E. Penutup

Sebagai penutup, ada beberpa hal yang dapat disimpulkan dari uraian di atas, yaitu:

1. Empat kali Perubahan UUD 1945, dilihat perspektif yuridis, historis dan filosofis sah dan konstitusional. Penempatan UUD dalam Lembaran Negara bukan menjadi syarat berlaku UUD, tetapi hanya publication dan bukan promulgation.

2. Empat rangkaian perubahan UUD 1945 mulai tahun 1999 sampai 2002, MPR berhasil mengubah atau menambah pasal dan ayat mencapai 300 persen dari naskah UUD 1945 sebelum perubahan. Setetah 4 kali perubahan, UUD 1945 menjadi 20 bab, 73 pasal, 171 ayat ditambah 3 pasal Aturan Peralihan dan 2 pasal Aturan Tambahan. Secara substansial perubahan UUD ini telah menghasilan beberapa prinsip, yaitu: Penegasan dan penguatan prinsip negara hukum; Hak asasi manusia dan hak konstitusional warga negara harus dihormati, dilindungi, dan dimajukan; Prinsip Bhinneka Tunggal Ika ditegaskan dengan jaminan pengakuan terhadap keragaman bangsa Indonesia; Perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial harus diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh rakyat; dan Demokrasi politik dikembangkan untuk memperluas dan memperaktif partisipasi rakyat dalam penyelenggaraan negara serta untuk mencegah terjadinya pemusatan kekuasaan yang berpotensi menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan.

3. Beberapa kelemahan dan kekurangan UUD 1945 sesudah perubahan diantaranya adalah: State Weakness, Accountability Weakness dan Representation Weakness, pada lembaga eksekutif ,legislatif dan yudikatif.

(15)

4. Gagasan perubahan konstitusi ke depan adalah: perlunya penataan kembali kekuasaan lembaga eksekutif (Presiden), legislatif (MPR, DPRdan DPD) dan yudikatif untuk memperkuat fungsi negara.

Daftar Bacaan

Abdul Bari Azed, Sambutan Ketua Umum Asosiasi Pengajar HTN Dan HAN Se Indonesia, Di Hotel Panorama Jember Jawa Timur, 2009.

Adnan Buyung Nasution, Hubungan Eksekutif- Legislatif Pasca Amandemen UUD 1945 Permasalahan dan Arah Perubahan, Makalah disampaikan pada Seminar Nasional ”Evaluasi Pelaksanaan Hasil Reformasi Konstitusi” diselenggarakan oleh MPR RI bekerja sama dengan MKRI, Jakarta, 18 Agustus 2010.

C.F. Strong, Modern Political Constitution: An Introduction to the Comparative Study of Their History and Existing Forms, London: Sidgwick & Jackson, 1973. Didik Sukriono, Pembaharuan Hukum Pemerintah Desa, Politik Hukum

Pemerintahan Desa di Indonesia, In-Trans Publishing, Malang, 2010.

Eko Prasojo, Perkembangan Kelembagaan Eksekutif dan Legislatif Pasca Perubahan UUD 1945, Makalah disampaikan pada Seminar Nasional ”Evaluasi Pelaksanaan Hasil Reformasi Konstitusi” diselenggarakan oleh MPR RI bekerja sama dengan MKRI, Jakarta, 18 Agustus 2010.

G.S. Diponolo, Ilmu Negara, Balai Pustaka, Jakarta, 1951.

Harjono, Konstitusi Dan Pembangunan Daerah, Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Asosiasi Pengajar HTN/HAN se Jawa Timur, Kerjasama Pusat Kajian Konstitusi Universitas Dr. Soetomo dengan Pemprov. Jatim dan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Surabaya, 2 Nopember 2009. J. Barents, De Wetenschap de Politiek, Een Tereiverkenning, 1952, diterjemahkan

L.M. Sitorus, Ilmu Politik: Suatu Perkenalan Lapangan, PT Pembangunan, Jakarta, 1958.

K.C. Wheare, Modern Constitution, Oxford University Press, London-New York, 1975. Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, PT Raja Grafindo, Jakarta, 2009.

Maurice Hauriou, Precis de Droit Constitutionnel, dalam Abu Daud Busro, Ilmu Negara, Bumi Aksara, Jakarta, 1990, Hlm. 99.

M. Mahfud MD, Evaluasi Pelaksanaan Hasil Reformasi Konstitusi, Makalah disampaikan pada Seminar Nasional ”Evaluasi Pelaksanaan Hasil Reformasi Konstitusi” diselenggarakan oleh MPR RI bekerja sama dengan MKRI, Jakarta, 18 Agustus 2010.

Saldi Isra, Problematika Koalisi Dalam Sistem Presidensial, Makalah disampaikan pada Seminar Nasional “Evaluasi Hasil Pelaksanaan Reformasi Konstitusi” , 18-20 Agustus 2010, Jakarta.

Referensi

Dokumen terkait

Kesadaran untuk mensistematisasi berbagai model layanan konseling sangat penting untuk mengingkatkan keberhasilan bimbingan, untuk memajukan layanan, dan memberikan

Susubukang ilarawan at suriin ng mga mananaliksik sa pag-aaral na ito ang kaalaman at pananaw ng mga mag-aaral sa kursong BS ETM at BS IT sa unang taon ng Mindanao University

Variabel pada penelitian ini adalah usia, tingkat pendidikan, tingkat pengetahuan, status perokok, pemakaian APD, lama kerja, terakhir melakukan penyemprotan, arah, waktu, dan

Pada umumnya proses yang terjadi antara ion logam dan kompleks organik dalam berinteraksi terdiri atas tiga kejadian yaitu : Proton H + berkompetisi dengan

Atas dasar harga berlaku, sektor ekonomi yang menunjukkan nilai tambah bruto yang terbesar pada Triwulan I-2011 adalah Sektor Industri Pengolahan sebesar Rp417,6 triliun,

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

Menelaah makna, kedudukan dan fungsi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta peraturan perundang-undangan lainnya dalam system hukum

Uraian ini menjadi suatu penilaian bagi suatu organisasi dalam menunjukkan kualitas layanan kepada setiap orang yang diberi pelayanan sesuai dengan bentuk-bentuk kepuasan