• Tidak ada hasil yang ditemukan

KARAKTERISTIK HABITAT BADAK JAWA (Rhinoceros sondaicus sondaicus, Desmarest 1822) DI KAWASAN JRSCA TAMAN NASONAL UJUNG KULON, BANTEN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KARAKTERISTIK HABITAT BADAK JAWA (Rhinoceros sondaicus sondaicus, Desmarest 1822) DI KAWASAN JRSCA TAMAN NASONAL UJUNG KULON, BANTEN"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

KARAKTERISTIK HABITAT BADAK JAWA (Rhinoceros sondaicus

sondaicus, Desmarest 1822) DI KAWASAN JRSCA TAMAN NASONAL

UJUNG KULON, BANTEN

1Tim Ekspedisi Terestrial Himabio Nymphaea 2017

Departemen Biologi, Sekolah Ilmu Dan Teknologi Hayati Program Sains, Institut Teknologi Bandung (ITB) Jalan Ganesha No. 10, Bandung 40132, Indonesia

Email: ahmadardiansy@gmail.com ; arkairfani@gmail.com

1. Pendahuluan

Badak jawa (Rhinoceros sondaicus) merupakan spesies paling langka diantara 5 spesies badak yang ada di dunia (JKSH FAHUTAN IPB, 1997). Berdasarkan data yang diperoleh dari perangkat kamera jebak di Taman Nasional Ujung Kulon, diestimasi bahwa populasi badak sebanyak 63 ekor. Jumlah tersebut relatif stagnan sejak 1980, terkait dengan daya dukung Taman Nasional Ujung Kulon yang telah mencapai batasnya untuk populasi badak jawa.

Keberadaan badak jawa yang terisolasi di kawasan Taman Nasional Ujung Kulon merupakan ancaman bagi kelangsungan hidup populasi spesies ini. Secara alami badak jawa tidak mampu mempertahankan eksistensinya dalam jangka panjang, karena populasi tersebut terancam oleh banyak hal, seperti penyakit, bencana alam, dan keterbatasan pakan (Haryadi, 2012). Hal ini diperparah dengan adanya invasi langkap (Arenga obtusifolia) yang berpotensi untuk semakin mengurangi pakan badak, kompetisi dengan banteng yang juga terdapat di Ujung Kulon, dan perbukaan lahan oleh manusia yang dapat semakin mengurangi habitat dari badak jawa (Evnike, 2013). Ukuran populasi yang kecil di daerah yang terisolasi meningkatkan potensi terjadinya sehingga dibutuhkan solusi-solusi lain guna meningkatkan populasi dari badak jawa.

Second habitat adalah salah satu solusi yang diajukan oleh para pengurus Taman Nasional Ujung Kulon untuk kegiatan ini. Pada kegiatan ini perlu dilakukan peningkatan populasi badak jawa, langkah selanjutnya berdasarkan Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Badak Indonesia pada Tahun 2007-2017, dimunculkan tahap berikutnya yaitu pembangunan Javan Rhino Study and Conservation Area (JRSCA) di Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK, 2016).

JRSCA ditujukan sebagai wilayah baru jelajah badak untuk meningkatkan populasi spesies ini di TNUK, mempersiapkan individu badak jawa untuk ditranslokasikan ke habitat kedua yang telah disiapkan mengembangkan teknik konservasi eksitu badak jawa, mengembangkan ekoturisme berbasis kemitraan masyarakat, pemerintah, dan dunia. JRSCA merupakan areal tertutup bagi warga dan dimanfaatkan untuk studi/riset untuk pengelolaan badak jawa.

Dalam hal pencarian habitat baru tersebut, diperlukan informasi ilmiah mengenai karakteristik habitat yang cocok untuk badak serta potensi ancaman yang mungkin muncul. Oleh karena itu dilakukan

(2)

penelitian mengenai hal tersebut di Blok Karangranjang dan Kalejetan (kawasan JRSCA). Analisis vegetasi serta pengamatan mamalia dan burung dilakukan untuk menggambarkan kedua hal tersebut.

2. Metode

2.1 Deskripsi Area Penelitian

Taman Nasional Ujung Kulon secara geografis terletak pada 102º02’32” - 105º37’37” BT dan 06º30’43” - 06º52’17” LS, tepatnya di Kabupaten Pandeglang, provinsi Banten. Berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 284/Kpts-II/1992 tanggal 26 Februari 1992 tentang Perubahan Fungsi Cagar Alam Gunung Honje, Cagar Alam Pulau Panaitan, Cagar Alam Pulau Peucang, dan Cagar alam Ujung Kulon seluas 78.619 Ha dan penunjukan perairan laut di sekitarnya seluas 44.337 Ha . Luas total kawasan Taman Nasional Ujung Kulon adalah 122.956 Ha. Letak taman nasional ini di ujung barat daya Pulau Jawa dan terbagi atas Semenanjung Ujung Kulon 38.543 ha, Kepulauan Handeuleum 220 ha, Pulau Panaitan 17.000 ha dan perairan laut di sekelilingnya 44.337 ha (tnuk.org, 2012).

Lokasi penelitian berpusat di JRSCA (Javan Rhino Study & Conservation Area) yang merupakan perluasan habitat badak Jawa ke bagian Gunung Honje yang berlokasi di Taman Nasional Ujung Kulon. JRSCA berada di sebelah timur semenanjung Ujung Kulon yang merupakan habitat utama badak Jawa dan dibagian selatan Gunung Honje TNUK dengan luas sekitar 5.100 Ha, mencakup areal seluas 3748 Ha (awal JRSCA) untuk pengelolaan Badak Jawa secara intensif. Peta lokasi JRSCA dapat dilihat pada Gambar 1 (tnuk.org, 2012).

(3)

Penelitian dilakukan di 7 kubangan yang berada di dua blok area dalam kawasan JRSCA yaitu blok Karang Ranjang yang berada di sebelah barat kawasan JRSCA dan blok Kalejetan di sebelah tenggara kawasan JRSCA. Kedua lokasi tersebut dapat dilihat pada Gambar 2. Kondisi lingkungan dikedua daerah tersebut merupakan hutan hujan tropis di dataran rendah dengan ekosistem pesisir pantai terdiri dari hutan pantai dan hutan mangrove yang terdapat pada sepanjang pesisir pantai dan daerah mangrove di bagian timur laut Semenanjung Ujung Kulon dan pulau di sekitarnya. Ekosistem daratan umumnya berupa hutan hujan tropika yang masih murni (tnuk.org, 2012)

Gambar 2. Lokasi Penelitian (Blok Karang Ranjang dan Kalejetan) (Google Earth, 2017) 2.2. Metode Penelitian

2.2.1 Analisis Vegetasi dan Morfometri Kubangan

Menurut Cox (1990), pembuatan plot dengan ukuran standar merupakan salah satu cara untuk mengambil sampel dari komunitas tumbuhan untuk memperkirakan tutupan vegetasi dan keanekaragman spesies vegetasi tingkat pohon, herba, dan perdu. Di setiap kubangan dibuat 4 plot dengan area berbeda dimana setiap plot terdiri dari plot (20m x 20m) untuk tingkat pohon dan tiang. Kemudian didalamnya terdapat 2 plot (5m x 5m) di bagian sisi kiri atas dan kanan bawah (posisi tersebut diambil dari lokasi pusat pengamatan dengan menghadap ke sebalah utara) untuk meneliti keragaman perdu dan pancang dan pembuatan plot di dalam plot perdu, yang digunakan untuk meneliti keragaman vegetasi herba, dengan ukuran 2m x 2m.

(4)

Gambar 3. Plot analisis vegetasi disekitar kubangan

Setelah itu dilakukan beberapa pengukuran seperti luas kubangan, kedalaman air kubangan, kedalaman lumpur kubangan, keberadaan jejak, cula, ataupun gesekan tubuh badak disekitar kubangan, serta rona lingkungan disekitarnya. Dibawah ini merupakan dokumentasi rona lingkungan dan kubangan badak jawa yang diobservasi pada penelitian ini (Gambar 4)

(5)

2.2.2 Pengukuran Mikroklimat dan Edafik

Pengukuran mikroklimat dilakukan disekitar kubangan berupa kelembaban udara dengan menggunakan sling psychometer serta pH dan kelembaban tanah menggunakan soil tester disekitar kubangan dengan pengulangan sebanyak tiga kali.

2.2.3 Pengukuran dan Pencetakan Jejak Badak Jawa

Lekagul & McNelly (1977) menyatakan bahwa lebar telapak kaki diukur dari sisi terluar antara 250-300 mm dan mempunyai tiga kuku. Pengukuran jejak badak jawa dilakukan cara mengukur lebar antara kuku paling kanan dan paling kiri di dua bagian terluar yaitu bagian paling atas dan bawah dari kedua kuku tersebut. Menurut Schenkel & Schenkel-Hulliger (1969) ukuran telapak kaki mempunyai korelasi positif dengan umur badak jawa. Setelah itu dilakukan pula pencetakan jejak badak jawa di suatu titik menggunakan plaster cast sebagai sampel dari jejak badak jawa.

2.2.4 Pengamatan Burung dan Mamalia 2.2.5 Point count

Teknik pengamatan burung dengan metode titik hitung (point count) dilakukan untuk mengetahui keanekaragaman dan kelimpahan burung. Teknik tersebut merupakan studi komunitas burung yang paling sering digunakan Metode ini dilakukan dengan berjalan menentukan titik untuk melakukan pengamatan burung dengan durasi waktu tertentu dan mencatat semua spesies burung yang ditemukan. Pengamatan burung ini dilakukan dengan menggunakan alat bantu menggunakan kamera prosumer dan binokular. Setelah posisi burung tersebut ditemukan, burung kemudian diamati ciri-cirinya dan dibuatkan sketsa kasarnya, serta dicatat pula kondisi sekitar, seperti tempat dan waktu pengamatan agar dapat diidentifikasi. 2.2.6 Rapid assesment

Metode rapid assesment digunakan untuk mengetahui jenis-jenis mamalia yang terdapat di lokasi pengamatan. Pengamatan dilakukan dengan berjalan ke segala arah penjuru hutan dengan pengaturan langkah kaki serta keadaan senyap untuk memudahkan pengamatan. Pada metode ini dilakukan pencatatan jenis-jenis mamalia yang ditemukan, misalnya pada saat melakukan pengamatan, berjalan diluar waktu pengamatan, atau saat berada di camp. Metode ini dapat digunakan untuk mengetahui jenis-jenis mamalia yang berada di lokasi pengamatan, tetapi tidak dapat digunakan untuk menghitung pendugaan populasi. 2.2.7 Line Transect

Untuk pengamatan burung dan mamalia digunakan juga metode line transect. Metode transek ini digunakan untuk mencatat data dari beberapa jenis satwa secara bersamaan (Umar, 2014). Pada metode ini

(6)

pengamatan dilakukan pada jalur lurus yang tidak ditentukan batas-batasnya.. Pada metode ini jarak diukur tegak lurus antara posisi satwa dengan garis transek. Satwa yang berada pada jalur atau dekat jalur harus terdeteksi, posisi satwa yang diukur adalah posisi ketika pertama kali terlihat oleh pengamat, jarak dan sudut pandang satwa terhadap jalur diukur, serta perjumpaan dengan satwa mewakili kejadian yang bebas satu dengan lainnya (Napitu, 2007).

2.3 Pengolahan data

2.3.1 Karakteristik Kubangan

Nilai rataan (X) sampel dihitung dengan menggunakan persamaan (Walpole 1988) sebagai berikut :

Nilai ragam (S) sampel dihitung dengan menggunakan persamaan:

Untuk nilai koefisien variasi (CV) dihitung dengan persamaan:

2.3.2 Analisis Vegetasi

Setelah pengambilan sampel dilakukan identifikasi. Kemudian dilakukan pengolahan data untuk mendapatkan nilai kerapatan relatif (Krr), kerimbunan relatif (Kbr), frekuensi relatif (Frr) untuk bentuk hidup pohon, tiang, pancang, perdu. Nilai kerimbunan relatif dan frekuensi relatif untuk herba dan semai. Untuk mendapatkan nilai kerimbunan dari pohon dan tiang digunakan LAB (Luas Area Basal) yang didapat dari nilai DBH dengan persamaan :

LAB = ¼ π D2

Struktur vegetasi dari suatu komunitas dapat ditentukan dengan melihat Indeks Nilai Penting (INP). Indeks Nilai Penting suatu komunitas dapat ditentukan dengan persamaan berikut

INP = Krr+Kbr+Frr INP = Kbr+Frr

Dilakukan pula perhitungan indeks keanekaragaman dengan menggunakan Indeks Keanekaragama Shannon-Wiener untuk setiap bentuk hidup dengan persamaan

(7)

3. Pembahasan

3.1.1 Analisis Kubangan badak jawa

Pada penelitian ini berhasil diamati 7 kubangan, 5 kubangan di Karangranjang dan 2 kubangan di Kalejetan. Pada setiap kubangan ditemukan bekas jejak badak jawa yang menandakan keberadaan badak jawa pada sekitaran lokasi JRSCA. Berikut adalah data kubangan yang didapatkan.

3.1.1 Panjang Kubangan

Berdasarkan hasil penelitian ini teramati bahwa panjang kubangan berkisar 3 – 6 m, dengan rata- rata sebesar 4,86 m seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1

Tabel 1. Selang ukuran panjang kubangan

Panjang (m) Frekuensi (F) Presentase

(%)

3-4 2 28

5-6 5 72

X = 4,86 ; s = 1,07; CV = 22%

Pada Tabel 1, menunjukkan bahwa kubangan dengan ukuran 5-6 meter teramati paling banyak yaitu pada kubangan 1,3,5,6, dan 7. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hoogerwerf (1970) bahwa ukuran panjang kubangan badak jawa berisar pada ukuran 6-7 meter. Sedangkan pada kubangan 2 dan 4 ditemukan bahwa panjang kubangan berikas antara 3-4 meter. Pada kubangan yang panjangnya berukuran 3-4 meter menunjukkan bahwa kubangan rata-rata digunakan oleh satu individu badak jawa, bisa digunakan oleh individu yang sama maupun berbeda dalam waktu yang tidak bersamaan (Santosa dkk, 2010), sedangkan pada penelitian ini ditemukan bahwa panjang kubangan badak mayoritas adalah 5-6 meter, hasil ini sesuai dengan pernyataan Hoogerwerf (1970) bahwa ukuran panjang kubangan badak jawa berkisar 6-7 meter dan hasil penelitian Rahmat (2007) menunjukkan bahwa lokasi kubangan berada di daerah Semenanjung Ujung Kulon yaitu Cikeusik, Citelang dan Citadahan, panjang kubangan yang teramati pada kisaran 5-7 meter.

(8)

3.1.2 Lebar Kubangan

Berdasarkan hasil penelitian ini teramati bahwa lebar kubangan berkisar 2 – 12 m, dengan rata- rata sebesar 4,86 m seperti yang ditunjukkan pada Data lebar kubangan disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Selang ukuran lebar kubangan

Lebar (m)

Frekuensi

(F)

Presentase

(%)

2-3

2

25

4-5

4

57

11-12

1

18

X=4,86; s=3.29;CV=68%

Pada Tabel 2, menunjukkan bahwa lebar kubangan yang paling sering dijumpai adalah sebesar 4-5 meter dengan presentase sebesar 4-57% yaitu kubangan 1,3,4-5 dan 6. Kemudian kubangan dengan ukuran 2-3 meter dengan presentase 25% (kubangan 2 dan 4) dan terakhir kubangan dengan lebar 12 m pada blok Kalejetan (kubangan 7). Hasil pengukuran di lapangan sesuai dengan Hoogewerf (1970) bahwa ukuran lebar kubangan badak jawa berkisar 3-5 meter dan sementara yang lebih kecil jarang ditemukan dan lebar kubangan paling besar pada penelitian ini ditemukan hingga ukuran 12 meter di blok Karang Ranjang. Hasil perhitungan koefisien variasi adalah 67 % untuk lebar kubangan yang berarti menunjukkan variasi dari data yang didapatkan cukup besar, hal ini terjadi karena perbedaan ukuran panjang dan lebar ini karena jumlah individu badak jawa yang menggunakan kubangan tidak selalu sama dalam lokasi pengamatan, diduga digunakan oleh kawanan induk dan anak badak jawa maupun spesies lain seperti banteng jawa (Bos sondaicus) yang membuat ukuran kubangan jauh lebih lebar dibandingkan dengan lokasi kubangan lain yang hanya digunakan rata-rata oleh satu individu badak jawa.

3.1.3 Kedalaman Lumpur

Data kedalaman lumpur kubangan disajikan pada Tabel 3 Tabel 3. Selang ukuran kedalaman lumpur Kedalaman lumpur (cm) Frekuensi (F) Persentase (%) 11-15 1 14 25-30 3 43 25-40 3 43 X=29,43;s=7,7;CV=26%

Pada Tabel 3 menunjukkan bahwa kedalaman lumpur yang paling sering ditemukan berada pada nilai 25-40 cm (86%) yaitu pada kubangan 2,3,4,5,6, dan 7. Sedangkan lumpur dengan kedalaman

(9)

11-15cm (14%) hanya ditemukan pada kubangan 1 yang terletak di blok Karangranjang. Hal ini sejalan dengan penelitian Santosa dkk (2010) bahwa 13 dari 25 kubangan yang ditemukan memiliki kedalaman lumpur 11-40 cm. Kedalaman lumpur juga dipengaruhi oleh keberadaan sumber air di sekitarnya dan musim pada saat penelitian.

3.1.4 Kedalaman Air

Data kedalaman air dalam kubangan disajikan pada Tabel 4

Tabel 4. Selang ukuran kedalaman air dalam kubangan Selang Kelas (cm) Frekuensi (F) Persentase (%) 15-25 4 57 26-36 1 14 37-48 2 29 X=28,43;s=12,43;CV=43,74%

Pada Tabel 4 menunjukkan bahwa kebanyakan kubangan memiliki kedalaman 15-25 cm pada 4 lokasi kubangan yaitu kubangan 2,3,4 dan 5 pada blok Karangranjang, diikuti dengan kedalaman 37-48 cm pada blok Kalajetan. Hanya ditemukan satu kubangan dengan selang kedalaman air 26-36cm yaitu pada kubangan 1 di Karangranjang. Menurut Hommel (1987) kubangan pada Ujung Kulon bisa banyak terbentuk dikarenakan tipe tanah litosol yang memang bisa menampung air sehingga membentuk kubangan. Dari hasil perhitungan juga terlihat bahwa koefisien variasi untuk kedalaman air memiliki nilai yang cukup beragam yaitu 43,74 % artinya bahwa data memiliki variasi yang cukup tinggi. Hal ini disebabkan karena kedalaman air kubangan dipengaruhi oleh musim pada saat pengamatan berlangsung. Pada saat penelitian berlangsung, sebagian besar kawasan Taman Nasional Ujung Kulon memasuki musim transisi sehingga debit air yang didapatkan di kubangan yang teramati juga cukup beragam.

3.1.5 pH dan Kelembaban Tanah di Sekitar Kubangan

Untuk pengukuran pH tidak terlihat adanya variasi data yang tinggi, pH tanah di sekitar kubangan sebagian besar berada pada skala 6 (X = 6,21; s = 0,657; CV = 10,6%) dan dapat disimpulkan cukup asam. Sedangkan kelembaban tanah pada skala 80-100 % yang dapat disimpulkan tanah di sekitar kubangan adalah basah (X = 88,33; s = 9,83; CV = 11,11%). Badak jawa cenderung mendatangi daerah-daerah yang memiliki pH tanah yang rendah karena banyak ditumbuhi dengan tumbuhan bawah, semak belukar dan areal cenderung terbuka. Daerah yang relatif terbuka akan mendapat peluang terjadinya pencucian tanah akibat hujan yang lebih tinggi sehingga mengandung pH tanah yang lebih rendah (Soepardi, 1983).

3.1.6 Lokasi Ketinggian dan Kelerengan Kubangan Badak

Untuk ketinggian dan kelerengan dari semua kubangan badak yang diteukan, ketinggian berada pada kisaran 10-20 mdpl untuk blok Karangranjang dan 25-30mdpl untuk blok Kalejetan. Kelerengan pada

(10)

kedua blok berkisar 0-8%. Ketinggian dan kelerengan akan sangat mempengaruhi keberadaan badak dimana badak jawa lebih menyukai habitat yang relatif datar (Muntasib, 2002). Hal ini mendukung penemuan kubangan beserta jejak badak dimana keduanya ditemukan pada wilayah yang relatif landai. 3.1.7 Mikroklimat dan edafik sekitar kubangan

Keadaan mikroklimat dan juga edafik diduga akan mempengaruhi keberadaan badak, hal ini dikarenakan badak memiliki kulit yang sensitif terhadap suhu dan juga kelembaban (). Selain itu faktor mikroklimat dan edafik pula akan mempengaruhi tipe vegetasi yang ada pada area tersebut. Pada Gambar 5 teramati grafik mikroklimat dan juga edafik pada setiap kubangan. Berdasarkan uji statistik ANOVA dengan menggunakan program R Statistic dapat ditentukan bahwa untuk suhu udara, kelembapan udara, kelembapan tanah tidak memiliki perbedaan. Sedangkan untuk suhu tanah ditemukan melalui analisis ANOVA bahwa nilai p<0,05, sehingga dapat ditentukan bahwa terdapat perbedaan signifikan pada suhu tanah dari tiap kubangan.

3.2 Analisis Vegetasi sekitar kubangan 3.2.1 Kubangan 1 Blok Karangranjang

Pada kubangan 1 tercatat pada bentuk hidup pohon, INP tertinggi dimiliki oleh Alstonia angustiloba. Teramati bahwa tumbuhan langkap menempati INP ketiga terbesar pada plot sekitar kubangan 1. Hal tersebut dapat teramati pada Gambar 5a. Kemudian teramati pada Gambar 5b bentuk hidup tiang Arenga obtusifolia memiliki INP paling tinggi, disusul oleh Chordia dicotoma. Bentuk hidup pancang yang paling dominan adalah Leea indica (Gambar 5c) sedangkan bentuk hidup perdu dan semai paling dominan adalah Ophiorrhiza cinescens yang ditunjukkan pada Gambar 5d dan Gambar 5e. Berdasarkan literatur badak jawa mengkonsumsi sekitar 252 jenis tumbuhan dari 73 famili (Muntasib, 2002). Perlu diketahui sebelumnya bahwa terdapat beberapa jenis perilaku makan badak yaitu pertama dengan memangkas, yakni mengambil makanan dengan mulutnya hal ini dilakukan untuk mengambil makanan yang masih dalam jangkauan dari badak jawa. Dari 11 spesies yang ditemukan pada kubangan 1 terdapat tiga spesies yang merupakan pakan badak yang ditunjukkan pada Tabel 5.

Tabel 5 Daftar pakan badak beserta klasifikasi pakan pada sekitar kubangan 1 Blok Karangranjang Po=pohon,Ti=tiang,Pa=Pancang,Pe=perdu,Se=semai (Haryono, 1996)

Nama spesies Bentuk

Hidup Nama lokal

Klasifikasi pakan

Alstonia

angustifolia Po, Ti Lame Kurang penting

Baccaurea javanica Po, Pa Heucit Kurang penting

Calamus sp. Pe Rotan Kurang penting

(11)

spesies sebagai pakan badak yaitu Baccaurea javanica atau dikenal dengan nama hecit pada penduduk setempat dan Alstonia angustifolia atau lame. (TNUK, 2017). Berdasarkan World Agroforestry (2017) spesies Alstonia angustifolia merupakan tumbuhan dengan orthodox seed storage behaviour atau tumbuhan dengan biji yang tahan dengan kondisi kekeringan atau dingin, namun dalam pertumbuhannya tumbuhan ini cenderung membutuhkan bukaan kanopi yang cukup agar dapat tumbuh. Sedangkan Baccaurea javanica merupakan tumbuhan desidua yang dapat berbuah sepanjang tahun (Haegens, 2000). Keberadaan kedua spesies pohon tersebut menandakan ketersediaan pakan dan juga kemungkinan regenerasi dari pakan badak jawa. Namun pada bentuk hidup tiang teramati INP tertinggi dimiliki oleh Arenga obtusifolia spesies yang cenderung menutup kanopi hutan sehingga menyebabkan tumbuhan lain tidak dapat tumbuh dengan baik.Pada bentuk pancang teramati Alstonia angustifolia (Lame peucang) yang daun dan tangkainya merupakan pakan badak. Pada bentuk perdu teramati Calamus sp. atau dikenal dengan nama rotan sebagai pakan badak. Pada bentuk hidup semai tidak teramati adanya pakan badak. Pada kubangan satu belum teramati keberadaan dari pakan –pakan yang dikategorikan sebagai penting atau sangat penting (Haryono, 1996) (a) (b) (c) (c) 0 50 100 150 A lst o n ia a n g u st ilo b a Pte ro sp er m u m d iv er si fo liu m A ren g a o b st u si fo lia Ba cca u re a ja va n ica Le ea in d ica Co rd ia d ich o to m a INP ( % ) Spesies LABr Frr Krr 0 50 100 150 200 250 300 A ren g a o b st u si fo lia Co rd ia d ich o to m a INP (% ) Spesies LABr Frr Krr 0 20 40 60 80 100 120 140 Le ea in d ica Sy zy g iu m d en si flo ru m A lst o n ia a n g u st ilo b a INP ( % ) Spesies Kbr Krr Frr

(12)

(d) (e)

Gambar 5. (a) INP pada tingkat hidup pohon (b) INP tingkat hidup tiang (c) INP tingkat hidup pancang, (d) INP tingkat hidup perdu, (e) INP tingkat hidup semai

Efek dari keberadaan Arenga obtusifolia dapat teramati dimana pada plot 4 di kubangan satu terdominasi oleh Arenga obtusifolia. Pada plot 4 tersebut tidak teramati adanya bentuk hidup semai dan pancang. Spesies yang teramati pada plot 4 hanya berupa Arenga obtusifolia dalam bentuk tiang. Hal ini dikarenakan kanopi pada plot tersebut tertutup rapat oleh Arenga obtusifolia atau langkap. Berdasarkan Evnike (2013), dengan melakukan pengebangan langkap maka lahan yang pada mulanya tidak dapat ditumbuhi tanaman lain akan menjadi lahan yang dipenuhi oleh pakan badak. Kemungkinan dikarenakan walaupun lahan tersebut cenderung kosong, pada tanahnya terdapat biji-biji dari tanaman yang sedang dalam kondisi dorman. Penebangan langkap akan menyebabkan cahaya matahari dapat kembali mencapai lantai hutan, menciptakan kondisi yang tepat bagi biji-biji tersebut untuk bergerminasi.

3.2.2 Kubangan 2 Blok Karangranjang

Pada kubangan 2 teramati bahwa vegetasi bentuk hidup pohon yang memiliki INP tertinggi adalah Syzygium polyanthum (Gambar 6a). Kemudian bentuk hidup tiang dan pancang yang paling dominan adalah Dillenia-excelsa (Gambar 6b; Gambar 6c) sedangkan untuk bentuk hidup perdu adalah Calamus sp (Gambar 6d) dan bentuk hidup semai, vegetasi paling dominan adalah dengan nama Syzigium polyanthum (Gambar 6e). Pada kubangan 2, dari 25 spesies vegetasi yang ditemukan, 9 spesies diantaranya merupakan pakan badak, hal tersebut teramati pada Tabel 6.

0 50 100 150 200 250 300 Op h io rr h iz a ca n esc en s Ca la m u s sp . INP ( % ) Spesies Kbr Frr Krr 0 50 100 150 200 Op h io rr h iz a ca n esc en s Pe p tu ru s rep u n d u s INP ( % ) Spesies Kbr Frr

(13)

Tabel 6 Daftar pakan badak beserta klasifikasi pakan pada sekitar kubangan 3 Karangranjang Po=pohon,Ti=tiang,Pa=Pancang,Pe=perdu,Se=semai (Haryono, 1996)

Nama spesies Bentuk

Hidup Nama lokal

Klasifikasi pakan

Alstonia angustifolia Po, T Lame peucang Kurang Penting

Spondias pinnata Po, T Kedodong

hutan Sangat Penting

Dillenia excelsa

T,Pa,Se Ki segel Penting

Saccopetalum heterophylla

T, Pa,

Se Cililin Kurang Penting

Alstonia scholaris T Lame Kurang Penting

Ardisia humilis Pa Lempehi Kurang Penting

Calamus sp. Pe Rotan Kurang Penting

Antidesma bunius Se Wuni hutan Kurang Pneting

Pterospermum

divesifolium Se Cerelang Kurang Penting

Klasifikasi pakan berdasarkan kategori yang digunakan Haryono (1996) yang membagi akan menjadi tiga kategori yaitu kurang penting, penting, dan sangat penting. Pembagian tersebut didasari jumlah dan frekuensi tumbuhan tersebut dimakan oleh badak jawa (Hommel, 1987). Dillenia excelsa atau dikenal dengan kisegel oleh masyarakat sekitar TNUK adalah tumbuhan yang dapat tumbuh pada daerah berkanopi. Hal ini sesuai dengan penelitian dimana bukan hanya bentuk hidup dalam tahapan pohon atau tiang saja yang ditemukan namun juga bentuk semai dan pancang. Spondias pinnata atau kedondong hutan adalah pakan yang memiliki palatabilitas tinggi bagi badak jawa, oleh karena itu spesies ini termasuk dalam kategori pakan yang sangat penting (Hommel, 1987). Seperti yang pernah disebutkan sebelumnya spesies Spondias pinnata juga merupakan tanaman yang dapat tumbuh dengan cahaya matahari parsial dan penuh, menandakan bahwa apabila kanopi hutan rapat maka pertumbuhan akan terhambat atau germinasi tidak terjadi. Hal ini terlihat pada grafik (Gambar 6) dimana tidak teramati adanya Spondias pinnata dalam bentuk semai atau pancang yang menandakan karakteristik dari kubangan badak yaitu di tempat terbuka. Pada plot-plot disekitar kubangan 2 ditemukan pula Arenga obtusifolia dalam bentuk tiang.

(14)

(a)

(a) (b)

(c) (d)

(e)

Gambar 6.(a) INP pada tingkat hidup pohon (b) INP tingkat hidup tiang (c) INP tingkat hidup pancang, (d) INP tingkat hidup perdu, (e) INP tingkat hidup semai

0 20 40 60 80 100 120 Di llen ia ex cel sa A ren g a o b st u si fo lia Sa cco p eta lu m h et er o p h yl la A lst o n ia sc h o la ri s Deca sp er u m fr u ti co su m Sp o n d ia s p in n a ta Sy zy g iu m p o ly a n th u m INP ( % ) Spesies LABr Frr Krr 0 20 40 60 80 100 Sy zy g iu m p o ly a n th u m Su m b a vi o p si s a lb icc a n s A lst o n ia a n g u st ilo b a Fi cu s g ib b o sa Ch iso ch eto n sp . Sp o n d ia s p in n a ta Br id eli a g la u ca INP ( % ) Spesies LABr Frr Krr 0 20 40 60 80 100 120 140 160 Dil le n ia exc el sa Ar dis ia hu milis C elti s cinn a m o m ea Syzyg ium a n tisep tic u m Xa n th o xylum rh ets a e Sa cc o p eta lum h ete ro p h ylla INP ( % ) Spesies Kbr Frr Krr 0 20 40 60 80 100 120 140 Licualia spinosa Calamus sp. Caryota mitis INP ( % ) Spesies Kbr Frr Krr 0 20 40 60 80 100 Syzyg ium p o lyc ep h a lum O p h io rr h iza ca n es ce n s Sa cc o p eta lum h ete ro p h ylla An tid es m a b u n iu s Pt er o sp er m u m d iver sif o lium Ki P eu ca n g Dil le n ia exc el sa Syzyg ium d en sif lo ru m INP (% ) Spesies Kbr Frr

(15)

3.2.3 Kubangan 3 Blok Karangranjang

Pada kubangan 3 yang terletak pada blok Karangranjang teramati bentuk hidup pohon dan pancang paling dominan adalah Lagerstroemia speciosa (Gambar 7a; Gambar 7c). Bentuk hidup tiang paling dominan adalah Arenga obstusifolia (Gambar 7b), sedangkan bentuk hidup perdu paling dominan adalah Calamus sp (Gambar 7d) dan bentuk hidup semai adalah Ophiorriza cinescens (Gambar 7e). Pada sekitar kubangan 3 juga teramati 9 spesies merupakan pakan dari badak jawa pada Tabel 7

Tabel 7 Daftar pakan badak beserta klasifikasi pakan pada sekitar kubangan 3 Karangranjang Po=pohon,Ti=tiang,Pa=Pancang,Pe=perdu,Se=semai

Teramati bahwa pada sekitar kubangan 3 terdapat dua jenis pakan penting yaitu Hibiscus tiliaceus dan Dilenia excelsa. Dilenia excelsa seperti yang pernah disebutkan sebelumnya merupakan tumbuhan yang dapat tumbuh pada daerah yang tutupan kanopinya padat. Hibiscus tiliaceus juga merupakan tumbuhan yang dapat hidup pada daerah dengan tutupan kanopi padat. Teramati pula bahwa pada plot ini Arenga obtusifolia mendominasi pada bentuk tiang. Calamus sp atau rotan ditemukan mendominasi pada bentuk semai.

Nama spesies Bentuk

hidup Nama lokal

Klasifikasi pakan

Lagerstoemia

speciosa Po, Ti, Pa Bungur Kurang penting

Artocarpus

elastica Po Teureup Kurang penting

Hibiscus tiliaceus Po Waru Penting

Dilenia excelsa Ti, Pa Ki segel Penting

Laportea

stimulans Ti Pulus Kurang penting

Calamus sp. Pe Rotan Kurang penting

Diospyros

macrophylla Se Ki calung Kurang penting

Croton argiratus Se Ki jaha Kurang penting

(16)

(a) (b)

(c) (d)

(c)

(e)

Gambar 7.(a) INP pada tingkat hidup pohon (b) INP tingkat hidup tiang (c) INP tingkat hidup pancang, (d) INP tingkat hidup perdu, (e) INP tingkat hidup semai

0,00 50,00 100,00 150,00 La g er st ro emi a sp eci o sa A ren g a o b st u si fo lia A rto ca rp u s ela st ica H ib isc u s ti lia ce u s Or o p h ea h ex a n d ra Sy zy g iu m p o ly a n th u m INP ( % ) Spesies LABr Frr Krr 0 50 100 150 200 La g er st ro emi a sp eci o sa Di llen ia ex cel sa INP ( % ) Spesies Kbr Frr Krr 0 50 100 150 200 250 A ren g a o b st u si fo lia Di llen ia ex cel sa La p o rtea st im u la n s La g er st ro emi a sp eci o sa INP ( % ) Spesies LABr Frr Krr 0 20 40 60 80 100 120 140 Ca la m u s sp . Ca ry o ta m iti s Li cu a lia sp in o sa Pte ro sp er m u m d iv er si fo liu m INP ( % ) Spesies Kbr Frr Krr 0 10 20 30 40 50 Op h io rr h iz a ca n esc en s D io sp yro s m a cro p h yl la Cro to n a rg ir a tu s A n ti d esm a b u n iu s Ca la m u s sp . INP ( % ) Spesies Kbr Frr

(17)

3.2.4 Kubangan 4 Blok Karangranjang

Pada sekitar kubangan 4 teramati bahwa bentuk hidup paling dominan adalah Vitex pubesccens (Gambar 8a). Bentuk hidup tiang dan pancang yang paling dominan adalah Arenga obstusifolia (Gambar 8b; Gambar 8c) sedangkan bentuk hidup perdu yang paling dominan adalah Licualia spinosa (Gambar 8d). Komunitas semai dengan nama Alstonia sp (Gambar 8e). Jenis-jenis pakan yang teramati pada sekitar kubangan dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8 Daftar pakan badak beserta klasifikasi pakan pada sekitar kubangan 4 Karangranjang Po=pohon,Ti=tiang,Pa=Pancang,Pe=perdu,Se=semai (Haryono, 1996)

Nama spesies Bentuk

hidup Nama lokal

Klasifikasi pakan

Vitex pubescens Po Laban Kurang penting

Spondias pinnata Po, Ti, Pa, Kedondong

hutan Sangat penting

Hibiscus tiliaceus Po, Ti Waru Penting

Aporosa aurita Po, Ti Peuris Kurang penting

Alstonia scholaris Po Lame Kurang penting

Dillenia excelsa Po, Se Ki segel Penting

Drocontomelon

puberulum Po Dahu Penting

Lepisanthus

tetraphylla Ti Ki lalayu Kurang penting

Calamus sp Pe Rotan Kurang penting

Alstonia sp Se - Kurang penting

Alstonia

angustifolia Se Lame peucang Kurang penting

Croton argiratus Se Ki jaha Kurang penting

Teramati pada grafik bahwa INP dari pakan badak pada bentuk pohon masih cenderung tinggi, terlihat dari nama komunitas pohon dimana keduanya merupakan pakan badak yaitu Vitex pubescens dan Spondias pinnata. Arenga obtusifolia memiliki nilai INP tingkat pohon tertinggi kelima. Drocontomelon puberulum atau dahu merupakan pakan penting badak yang baru teramati pada sekitar kubangan 4 pada daerah karangranjang. Drocontomelon puberulum merupakan tumbuhan yang memiliki toleransi terhadap cahaya matahari yang rendah sehingga tetap memungkinkan walaupun berada dalam naungan yang cukup rapat (Agroforestry, 2009).

(18)

(a)

(d)

(e)

(b) (c)

(d) (e)

Gambar 8.(a) INP pada tingkat hidup pohon (b) INP tingkat hidup tiang (c) INP tingkat hidup pancang, (d) INP tingkat hidup perdu, (e) INP tingkat hidup semai

0 20 40 60 80 100 120 V itex p u b esc en s Sp o n d ia s p in n a ta Ex o ec a ri a vi rg a ta A re n g a o b st u si fo lia Sy zy g iu m p o ly a n th u m H ib isc u s ti lia ce u s A p o ro sa a u ri ta Sa cco p eta lu m h o rsfi eld ii A lst o n ia sc h o la ri s Di llen ia ex cel sa Dra co n to m el o n d a o INP (% ) Spesies LABr Frr Krr 0 50 100 150 200 250 A ren g a o b st u si fo lia Di llen ia ex ce lsa La p o rtea st im u la n s La g er st ro emi a sp eci o sa INP ( % ) Spesies LABr Frr Krr 0 50 100 150 200 A ren g a o b tu si fo lia Sp o n d ia s p in n a ta INP ( % ) Spesies Kbr Frr Krr 0 50 100 150 200 Li cu a lia sp in o sa A lst o n ia sc h o la ri s Ca la m u s sp . INP ( % ) Spesies Kbr Fr rf Kr rf 0 10 20 30 40 50 60 A lst o n ia sp . A lst o n ia a n g u st ilo b a Deca sp er u m fr u ti co su m Cro to n a rg ir a tu s Li cu a lia sp in o sa Di llen ia ex ce ls a INP ( % ) Spesies Kbr Frr

(19)

3.2.5 Kubangan 5 Blok Karangranjang

Pada sekitar kubangan 5 teramati bentuk hidup pohon dan pancang paling dominan adalah Vitex pubescens (Gambar 9a; Gambar 9c) sedangkan untuk bentuk hidup tiang adalah Arenga obstusifolia (Gambar 9b). Bentuk hidup perdu dan semai berturut-turut adalah Licualia spinosa (Gambar 9d). dan Alstonia angustiloba (Gambar 9e). Spesies-spesies yang merupakan pakan badak dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9 Daftar pakan badak beserta klasifikasi pakan pada sekitar kubangan 5 Karangranjang Po=pohon,Ti=tiang,Pa=Pancang,Pe=perdu,Se=semai

Nama spesies Bentuk hidup Nama lokal Klasifikasi pakan

Vitex

pubescens Po, Pa Laban Kurang penting

Croton

argyratus Po, Ti, Se Ki jaha Kurang penting

Lagerstroemia

speciosa Po Bungur Kurang penting

Nauclea

orientalis Po Gempol Kurang penting

Drocontomelon

puberulum Po, Pa Dahu Penting

Spondias

pinnata Po, Ti

Kedondong

hutan Sangat penting

Baccaurea

javanica Ti Heucit Kurang penting

Aporosa aurita Ti Peuris Kurang penting

Dilenia excelsa Pa Ki segel Penting

Calamus sp Pe Rotan Kurang penting

Alstonia

angustifolia Se Lame peucang Kurang penting

Alstonia sp Se - Kurang penting

Pada Gambar 9a bahwa Arenga obtusifolia memiliki INP paling rendah pada bentuk hidup pohon dan memiliki nilai INP bentuk tiang paling tinggi (Gambar 9b). Pada bentuk hidup pancang, Arenga obtusifolia menempati INP kedua paling rendah (Gambar 9c), namun tidak teramati adanya semai dari Arenga obtusifolia. Calamus sp atau rotan termasuk dalam pakan kurang penting bagi badak, namun ketersediaannya yang tinggi dapat diamati dimana pada hampir setiap kubangan tumbuhan tersebut

(20)

(a)

(b) (c)

(d) (e)

Gambar 9.(a) INP pada tingkat hidup pohon (b) INP tingkat hidup tiang (c) INP tingkat hidup pancang, (d) INP tingkat hidup perdu, (e) INP tingkat hidup semai

0 10 20 30 40 50 60 70 Vi tex p u b escen s Syz yg iu m p o lya n th u m Sa cc o p et a lu m h o rsf iel d ii Cro to n a rg ir a tu s La g erst ro emi a sp eci o sa M icro a n el u m p u b esc en s N a u cl ea o ri en ta lis D ra co n to mel o n d a o Sp o n d ia s p in n a ta R h o d a mn ia ci n erea A ren g a o b st u si fo lia INP (% ) Spesies 0 50 100 150 200 250 A ren g a o b st u si fo lia B a cca u rea ja va n ica A p o ro sa a u ri ta Cro to n a rg ir a tu s Sp o n d ia s p in n a ta INP ( % ) Spesies LABr Frr Krr 0 20 40 60 80 Vi tex p u b escen s D eca sp eru m fru ti co su m D ra co n to mel o n d a o A ren g a o b st u si fo lia D ill en ia ex cel sa INP ( % ) Spesies Kbr Frr Krr 0 50 100 150 200 Ca la m u s sp . Li cu a lia s p in o sa INP ( % ) Spesies Kbr Frr Krr 0 10 20 30 40 50 60 A ls to n ia an g u st ilo b a Sa ccop et a lu m h o rs fi el d ii A ls to n ia s p . C a ry o ta mi ti s Li cua lia s p in o sa Le ea in d ic a C ro to n ar g ira tu s INP ( % ) Spesies Kbr Frr

(21)

3.2.6 Kubangan 6 Blok Kalejetan

Pada sekitar kubangan 6 kalejetan teramati bentuk hidup pohon paling dominan adalah nama Lagerstroemia speciosa (Gambar 10a). Untuk komunitas tiang dan pancang paling dominan adalah Arenga obstusifolia (Gambar 10b; Gambar 10c). Bentuk hidup perdu dan semai adalah Alstonia scholaris (Gambar 10d; Gambar 10e). Pakan badak yang terletak pada sekitar kubangan 6 di kalejetan teramati pada Tabel 10 . Berdasarkan Hommel (1990) pada kisaran areal kalejetan merupakan hutan yang didominasi oleh langkap (Arenga obtusifolia), hal ini teramati pada bentuk tiang, dimana INP dari langkap benar-benar jauh bila dibandingkan dengan spesies lainnya

Tabel 10 Daftar pakan badak beserta klasifikasi pakan pada sekitar kubangan 6 Kalejetan Po=pohon,Ti=tiang,Pa=Pancang,Pe=perdu,Se=semai

Nama spesies Bentuk

hidup Nama lokal

Klasifikasi pakan

Lagerstroema

speciosa Po Bungur Kurang penting

Bischofia javanica Po - Kurang penting

Diospyros

macrophyla Po, Ti, Pa Ki calung Kurang penting

Spondias pinnata Ti Kedondong

hutan Sangat penting

Drocontomelon

puberulum Ti Dahu Penting

Alstonia scholaris Pe Lame Kurang penting

Croton argyratus Se Jaha Kurang penting

Dillenia excelsa Se Ki segel Kurang penting

Ardisia humilis Se Lempehi Kurang penting

Pada sekitar kubangan 6 di kalejetan ditemukan 1 spesies penting bagi badak yaitu kedondong hutan (Spondias pinnata) dalam bentuk tiang. Kemudian spesies penting lain yaitu Dahu (Drocontomelon puberulum) dalam bentuk tiang. Namun bila dilihat pada grafik, terdapat dominasi pada tingkat tiang oleh tumbuhan langkap (Arenga obtusifolia).

(22)

(a) (b) (b) (c) (b) (c) (d) (e)

Gambar 10.(a) INP pada tingkat hidup pohon (b) INP tingkat hidup tiang (c) INP tingkat hidup pancang, (d) INP tingkat hidup perdu, (e) INP tingkat hidup semai

0 20 40 60 80 100 120 140 La g er st ro emi a sp eci o sa Sy zy g iu m p o ly a n th u m Bis ch o fi a ja va n ica Er io g lo b o su m ru b ig in o su m Di o sp yr o s m a cro p h yl la INP ( % ) Spesies LABr Frr Krr 0 20 40 60 80 100 120 140 160 A ren g a o b st u si fo lia Di o sp yr o s ja va n ica Sp o n d ia s p in n a ta Op h io rr h iz a ca n esc en s Dra co n to m el o n m a n g ife ru m Deca sp er m u m fr u ti co su m Er io g lo b o su m ru b ig in o su m La g er st ro emi a sp eci o sa INP ( % ) Spesies LABr Frr Krr 0 50 100 150 200 A ren g a o b st u si fo lia Di o sp yr o s ja va n ica INP ( % ) Spesies Kbr Krr Frr 0 50 100 150 200 250 A ls to n ia s ch o la ris Da emo n o ro p s ru b ra INP ( % ) Spesies Kbr Frr Krr 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 A lst o n ia s ch o la ri s D ill en ia ex cel sa A rd isi a h u mi lis Co ryp h a el a ta Ja h a Te rmi n a lia b el liri ca Ca ryo ta m it is D eca sp ermu m fru ti co su m INP ( % ) Spesies Kbr Frr

(23)

3.2.7 Kubangan 7 Blok Kalajetan

Vegetasi pohon paling dominan di sekitar kubangan 7 di blok Kalejetan adalah Dillenia excelsa (Gambar 11a; Gambar 11c). Bentuk hidup tiang paling dominan adalah Chisocheton sp (Gambar 11b). Bentuk hidup perdu paling dominan adalah Calamus sp (Gambar 11d) dan bentuk hidup semai paling dominan adalah Alstonia scholaris (Gambar 11e). Daftar pakan badak yang terdapat pada sekitar kubangan 7 Kalejetan terdapat pada Tabel 11.

Tabel 11 Daftar pakan badak beserta klasifikasi pakan pada sekitar kubangan 4 Karangranjang Po=pohon,Ti=tiang,Pa=Pancang,Pe=perdu,Se=semai (Haryono, 1996)

Nama spesies Bentuk

Hidup Nama lokal

Klasifikasi pakan

Dillenia excelsa Po, Pa, Pe Ki segel Kurang penting

Lagerstroemia

speciosa Po

Bungur

Kurang penting

Pterospermum

javanicum Po, Ti, Pa

-

Kurang penting

Vitex pubescens Po Laban Kurang penting

Dracontomelon

puberulum Po

Dahu

Penting

Spondias pinnata Po Kedondong

hutan Sangat penting

Bischofia javanica Ti - Kurang penting Baccaurea javanica Ti, Pa Heucit Kurang penting

Calamus sp Pe Rotan Kurang penting

Alstonia scholaris Pe, Se Lame peucang Kurang penting

Croton argyratus Se Jaha Kurang penting

Diospyros

javanica Se

-

Kurang penting

Ardisia humilis Se Lempehi Kurang penting

Ficus montana Se - Kurang penting

Teramati pada sekitar kubangan 7 jumlah spesies pakan badak paling banyak bila dibandingkan dengan kubangan lainnya yaitu sebanyak 14 spesies. Spesies yang selalu teramati pada setiap kubangan adalah Calamus sp. Walaupun begitu palatabilitas dari Calamus sp. sendiri cenderung rendah, hal tersebut teramati bahwa berdasarkan klasifikasi oleh Haryono (1996).

(24)

(a)

(b)

(a)

Gambar 11.(a) INP pada tingkat hidup pohon (b) INP tingkat hidup tiang (c) INP tingkat hidup pancang, (d) INP tingkat hidup perdu, (e) INP tingkat hidup semai

0 20 40 60 80 100 Di llen ia ex cel sa La g er st ro emi a sp eci o sa Ca n a n g a o d o ra ta Pte ro sp er m u m ja va n icu m V itex p u b esc en s Dra co n to m el o n d a o Sp o n d ia s p in n a ta INP ( % ) Spesies LABr Frr Krr 0 20 40 60 80 100 Ch iso ch et o n s p . A ren g a o b st u si fo lia D ill en ia ex cel sa P ter o sp erm u m ja va n icu m D eca sp eru m fru ti co su m B isc h o fi a ja va n ica B a cca u rea ja va n ica INP ( % ) Spesies LABr Frr Krr 0 50 100 150 200 Di llen ia ex ce lsa Ba cca u re a ja va n ica Pte ro sp er m u m ja va n icu m INP ( % ) Spesies Kbr Frr Krr 0 10 20 30 40 50 60 Al sto n ia sch o la ri s Cr o to n a rg ir a tu s Sa cc o p eta lu m Ca ry o ta m iti s Sy zy g iu m d en si fl o ru m D io sp yr o s ja va n ica D ill en ia e xce lsa Ar en g a o b stu sif o lia Ar d isil ia h u m ili s Po re ke t Fi cu s M o n ta n a Ps ych o tr ia v a le n to n ic Al sto n ia sp . Pa le m INP ( % ) Spesies Kb rf Fr rf 0 50 100 150 200 Ca la m u s sp . Di llen ia ex cel sa A lst o n ia sc h o la ri s INP ( % ) Spesies Kbr Frr Krr (b) (c) (d) (e)

(25)

3.3 Penemuan jejak badak

Pada setiap kubangan ditemukan jejak badak, menunjukkan keberadaannya. Namun pada setiap kubangan hanya teramati satu jejak badak. Data tersebut dapat diamati pada Tabel 12.

Tabel 12 Jejak badak pada setiap kubangan

Kubangan Ukuran Jejak

1 24-25 cm 2 24-25 cm 3 24-25 cm 4 24-25 cm 5 25-27 cm 6 25-27 cm 7 25-27 cm

Berdasarkan Schenkel dan Schenkel-Hullinger (1969), ukuran tapak badak jawa kisaran 24-25cm merupakan individu berumur 1-2 tahun sedangkan badak jawa dengan tapak berukuran 26-28 merupakan individu dewasa remaja. Hal ini menandakan pada penelitian ini teramati individu berumur 1-2 tahun dan dewasa remaja. Menurut Lekagul dan McNeely (1977) dan Hoogerwerf (1970) pergerakan badak jawa dalam satu hari berkisar antara 15 hingga 20 km. Dinerstein (2003) mencatat bahwa pada spesies badak india (Rhinocerus unicornsis) ruang jelajahnya untuk badak jantan tidak tumpah tindih dengan individu pejantan lain. Namun dikarenakan badak jawa cenderung mempertahankan ruang jelajahnya, ketika populasi padat badak berada pada area jelajah akan semakin kecil walaupun begitu tumpang tindih ruang jelajah antara dua ekor badak adalah hal yang sangat mungkin terjadi. Hal ini menandakan bahwa penemuan jejak yang berasal dari dua individu yang berbeda dalam jarak yang berdekatan memungkinkan. Selain itu ada beberapa hal lain yang dapat mempengaruhi ruang jelajah dari badak jawa itu sendiri, yaitu ketersediaan pakan. Teramati pada beberapa poin sebelumnya bahwa pada setiap plot terdapat pakan dari badak jawa itu sendiri, sehingga badak tidak perlu menjelajahi ruang yang lebih jauh untuk memenuhi kebutuhannya. Berdasarkan hasil wawancara dengan anggota RMU (Rhino Monitoring Unit), pada kawasan JRSCA sendiri tengah ditemukan bahwa terdapat 3 individu badak jawa yang menetap di kawasan tersebut. Pada penelitian ini berhasil ditemukan beberapa jejak dengan lokasi penemuan terlihat pada Gambar 12.

(26)

Gambar 12. Lokasi penemuan jejak (Google Earth, 2017)

Penemuan jejak tersebut sesuai dengan dugaan awal dimana badak jawa lebih menyukai daerah yang cukup dekat dengan pantai dan memiliki pakan yang cukup (Dinerstein, 2003). Selain itu daerah-daerah tersebut merupakan daerah-daerah yang tergolong landai. Ukuran dari tiap jejak yang ditemukan terdapat Tabel 12. Berdasarkan tabel tersebut tim peneliti menduga bahwa jejak tersebut terdapat dari 2 individu yang berbeda. Namun perlu dilakukan penelitian lebih jauh untuk menentukan individu tersebut. Jejak badak jawa yang ditemukan selain di sekitar kubangan tersebut memiliki ukuran yang serupa dengan ukuran jejak badak pada sekitar kubangan, menandakan bahwa jejak tersebut berasal dari dua individu yang sama. Berdasarkan Haryadi (2012), badak jawa memiliki jarak tempuh antara 26,4 km – 45,93 km. Berikut Gambar 13 merupakan dokumentasi bekas keberadaan badak di sekitar kubangan.

(27)

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 13.(a) Bekas tusukan cula badak jawa (b) Bekas sapuan tubuh badak jawa (c) Bekas kotoran badak jawa (d) Jejak badak jawa (Dokumentasi pribadi, 2017)

3.4 Keanekaragaman Burung dan Mamalia

Hasil pengamatan untuk taksa burung selama 5 hari yang dilakukan dengan metode IPA (Index

Point Abundance) maupun line-transect serta identifikasi menggunakan buku Mackinnon. Pengamatan dilakukan di dua blok yaitu blok Karang Ranjang dan blok Kalejetan di kawasan JRSCA, Taman Nasional Ujung Kulon tercatat total kekayaan jenis burung sebanyak 58 spesies dari 30 famili. Pada blok Karang Ranjang tercatat 26 spesies burung dari 21 famili sedangkan blok Kalejetan tercatat 37 spesies burung dari 27 famili. Dari semua spesies burung yang ditemukan 12 spesies dari total spesies yang ditemukan merupakan burung endemik jawa (hanya ditemukan di Pulau Jawa), 21 spesies termasuk satwa dilindungi oleh UU No.5 tahun 1990 dan PP No. 7 tahun 1999 dan 4 spesies terdaftar sebagai satwa terancam punah menurut IUCN. Sebanyak 28 spesies burung teridentifikasi merupakan burung pemakan serangga (insektivor), 13 spesies burung merupakan burung pemakan segala (omnivor), 8 spesies merupakan burung pemakan ikan (piscivor) dan 12 spesies lainnya digolongkan sebagai burung pemakan biji-bijian (granivor), burung pemakan nektar (nektarivor), burung pemakan buah (frugivor) dan burung pemangsa (karnivor).Sedangkan untuk taksa mamalia, ditemukan total 12 jenis mamalia dari 9 famili baik secara langsung yaitu menggunakan metode rapid assessment dan line transect maupun tidak langsung (jejak, suara, feses dan cakaran). 10 jenis mamalia ditemukan dengan metode pengamatan langsung yaitu macan

(28)

tutul jawa (Panthera pardus melas), jelarang (Ratufa bicolor), luwak (Paradoxurus hermaphroditus), tupai kekes (Tupaia javanica), kukang jawa (Nycticebus javanicus), monyet ekor-panjang (Macaca fascicularis), lutung budeng (Trachypithecus auratus), bajing terbang jawa (Petinomys spp), babi hutan (Sus scrofa) dan kerbau (Bubalis sp). 2 jenis mamalia ditemukan secara tidak langsung dengan jejak yaitu badak jawa (Rhinoceros sondaicus) dan banteng jawa (Bos javanicus).Pemanfaatan jenis mamalia untuk tujuan konsumsi adalah babi hutan, sedangkan untuk tujuan pengobatan antara lain lutung budeng untuk obat sakit kulit, tupai untuk obat kencing manis, bajing untuk obat darah tinggi dan monyet ekor panjang obat penyakit kulit dan asma. Berdasarkan IUCN, 2 jenis mamalia memiliki status adalah kritis (Critically Endangered) yaitu macan tutul jawa (Panthera pardus melas) yang ditemukan di belakang resort Karang Ranjang, badak jawa (Rhinoceros sondaicus) dan kukang jawa (Nycticebus javanicus), 1 jenis mamalia memiliki status rentan (Vulnerable) yaitu lutung budeng (Trachypithecus auratus) dan 1 jenis mamalia memiliki status mendekati terancam (Near Threatened) yaitu jelarang (Ratufa bicolor). Semua jenis mamalia yang ditemukan dalam pengamatan dilindungi berdasarkan PP No. 7 tahun 1999 kecuali 2 jenis mamalia yaitu babi hutan (Sus scrofa) dan luwak (Paradoxurus hermaphroditus) dan berstatus kurang menghawatirkan (Least Concern) menurut daftar IUCN. Badak jawa (Rhinoceros sondaicus) dan macan tutul jawa (Panthera pardus melas) termasuk dalam daftar CITES Appendiks I yang berarti dilarang untuk diperdagangkan. Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), tupai kekes (Tupaia javanica) dan jelarang (Ratufa bicolor) termasuk dalam daftar CITES Appendiks II yang berarti tidak terancam kepunahan, namun bila perdagangan terus berlanjut tanpa adanya pengaturan akan terancam punah.

(a) (b) (c) (d) Gambar 14.(a) Jejak banteng jawa (Bos sondaicus) (b) Luwak (Paradoxurus hermaphroditus) (c) Kukang jawa

(29)

3.5 Potensi dan ancaman populasi badak jawa pada kawasan JRSCA

Penemuan badak jawa pada lokasi ini sesuai dengan survei yang dilakukan oleh YABI-RPU-TNUK (Gambar 15), dimana pada kisaran JRSCA telah ditemukan jejak yang cukup tersebar. Bila dibandingkan oleh data yang didapatkan dari survey tahun 2005-2010, dimana pada awalnya tapak badak jawa hanya ditemukan pada semenanjung dari TNUK hal ini menandakan habitat dari badak jawa sendiri perlahan bertambah. Sebaran tapak badak pada tahun 2015-2016 dapat diamati pada gambar 13.

Pada data-data sebelumnya telah teramati pada bahwa pada setiap plot terdapat pakan badak, namun perlu diketauhi bahwa terdapat pakan-pakan yang memiliki kandungan racun didalamnya. Tumbuhan yang dapat tumbuh di bawah naungan cenderung memiliki kandungan racun yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan tumbuhan yang tumbuh pada tempat terbuka. Pada penelitian ini teramati beberapa pakan badak yang memiliki kandungan racun.

Bischofia javanica diketahui mengandung racun pada setiap bagian tubuhnya (Everist, 1974). Lagerstoemia speciosa diketahui mengandung hydrocyanic acid pada bagian akar, batang, dan juga daunnya (Orwa et al, 2009). Laportoea stimulans menurut Mulyati (2007) memiliki getah yang beracun. Apabila konsumsi pada tanaman-tanaman tersebut meningkat maka kemungkinan badak jawa mengalami

(30)

keracunan akan meningkat pula. Kemungkinan konsumsi pada pakan-pakan yang mengandung racun dapat meningkat dikarenakan kompetisi dengan banteng (Soemandoyo, 1984).

Selain itu penemuan langkap pada setiap plot juga merupakan ancaman bagi populasi badak pada kawasan tersebut. Langkap (Arenga obtusifolia) diketahui akan menyebabkan kurangnya sinar matahari yang mencapai lantai hutan, sehingga menyebabkan pakan badak tidak dapat tumbuh dengan baik. Walaupun pada tiap-tiap plot ditemukan pula tumbuhan pakan badak dalam bentuk semai, dalam keadaan sebenarnya semai tersebut hanya ditemukan pada lokasi yang tidak terdapat langkap disekitarnya, hal ini dikarenakan bentuk plot dimana pendataan semai dilakukan pada bagian ujung dari plot sedangkan umumnya langkap ditemukan pada bagian tengah plot. Selain itu walaupun terdapat semai, tidak semuanya dapat tumbuh hingga ke bentuk hidup selanjutnya, hal tersebut teramati dari jumlah pancang yang selalu lebih sedikit dibandingkan jumlah semai. Keberadaan langkap akan menambah kemungkinan tumbuhan pakan badak kalah dalam berkompetisi. Langkap memiliki kemampuan untuk memproduksi banyak biji dan juga kemampuan regenerasi secara vegetatif (Haryanto, 1997).

Diketahui pula bahwa buah langkap memiliki kadar sodium/natrium oksalat yang tinggi, zat tersebut apabila terjadi kontak dengan selaput lendir seperti bibir, mulut, dan kerongkonan dari hewan akan membentuk kristal tajam kalsium oksalat yang tak terlarut dalam air dan dapat membunuh satwa yang memakannya. Kadar sodium/natrium oksalat tersebut menjadi rendah ketika buah dari langkap masak, sehingga hewan-hewan cenderung mengkonsumsi buah langkap yang sudah masak dimana biji dari langkap tersebut sudah siap untuk berkecambah (Haryanto, 1997).

Diketahui bahwa hewan yang menjadi penyebar dari biji langkap ini sendiri adalah luwak (Paradoxurus hermaphroditus), badak jawa (Rhinoceros sondaicus), dan banteng (Bos javanicus). Tiga hewan tersebut teramati pada penelitian ini, menandakan adanya agen penyebar biji pada kawasan tersebut. 4. Kesimpulan

Pada penelitian ini ditemukan 2 individu yang berbeda berdasarkan temuan tapak badak. Ditemukan pakan badak total pada tujuh kubangan yang merupakan plot penelitian dengan jumlah 56 spesies dan 24 diantaranya merupakan pakan badak. Teramati pula 58 spesies burung dan 10 spesies mamalia. Tumbuhan langkap ditemukan pada tiap plot pengamatan dan cenderung mendominasi pada tingkat hidup tiang.

(31)

5. Saran

Berdasarkan penelitian kami, distribusi pakan badak jawa yang paling tinggi berada pada kubangan

terakhir yaitu kubangan tujuh di Blok Kalejetan dengan total 14 spesies pakan badak jawa dan kelimpahan dari spesies langkap (Arenga obstusifolia) di kubangan tersebut masih sangat kecil. Selain itu berdasarkan pengamatan dari beberapa parameter morfometri kubangan, kami dapatkan bahwa panjang, lebar serta kedalaman lumpur dan airnya paling tinggi diantara kubangan lain dan hal tersebut menunjukkan sangat ideal untuk habitat badak jawa, sehingga kami menyarankan di kubangan 7 blok Kalejetan dapat menjadi salah satu plot pengamatan untuk peletakkan kamera jebak (cameratrap) untuk pengamatan badak jawa maupun perawatan secara intensif kondisi lingkungan sekitar.

6. Ucapan Terimakasih

Kami selaku Tim Ekspedisi HIMABIO Nymphaea ITB mengucapkan terimakasih kepada

Departemen Biologi SITH-ITB, balai TNUK, dan YABI yang telah mensukseksan ekspedisi ilmiah ini, Ibu Dr. Endah Sulistyawati dan Ibu Dr. Dian Rosleine selaku pembimbing dari kegiatan kami, teman-teman dari Himpunan Mahasiswa Biologi Nymphaea ITB telah memberikan dukungan berupa doa dan dana, tim dokumenter Rana Kamera yang telah mendokumentasikan kegiatan penelitian kami.

5. Referensi

Everist, S.L. 1974. Nitrogenous Organic Compounds. Poisonous plants of Australia. p. 26-30. Angus & Robertson Publishers. London.

Mulyati Rahayu, Siti Susiarti, Y. Purwanto. 2007. Kajian Pemanfaatan Tumbuhan Hutan Non Kayu oleh Masyarakat Lokal di Kawasan Konservasi PT. Wira Karya Sakti Sungai Tapa – Jambi. Bidang Botani, Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Bogor.Volume 8, Nomor 1.

AK Azad, MK Rahman, NK Sunzida. Acute oral toxicity Study on Malaysian traditional herb: Lagerstroemia speciosa L. (Banaba). Journal of Pharmacognosy and Phytochemistry 2015; 4(4): 228-232.

Hoogerwerf. 1970. Udjung Kulon The Land of The Last Javan Rhinoceros. Leiden. E.J. Brill.

Muntasib, H. 2002. Penggunaan Ruang Habitat olehBadak Jawa (Rhinoceros sondaicus Desm. 1822) di Taman Nasional Ujung Kulon

Rahmat UM. 2007. Analisis Tipologi Habitat Preferensial Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus Desmarest 1822) di Taman Nasional Ujung Kulon [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Santosa, Yanto., Wulan, Cory dan Hikmat, Agus. 2010. Studi Karakteristik Kubangan Badak Jawa (Rhinoceros

sondaicus, Desmarest 1822) di Taman Nasional Ujung Kulon. Media Konservasi 15(1) : 31- 35

Soerianegara dan Indrawan. 2005. Ekologi Hutan Indonesia. Bogor: Laboratorium Ekologi Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Taman Nasional Ujung Kulon. 2009. Penyempurnaan Manajemen dan Rencana Tapak Pembangunan Javan Rhino Study & Conservation Area.[Online] http://www.ujungkulon.org/jrsca/mengenal-jrsca Diakses pada Sabtu, 28 Januari 2017 pukul 22.30 WIB

(32)

Umar, M. R., 2014, Penuntun Praktikum Ekologi Umum,Jurusan Biologi Universitas Hasanuddin, Makassar. Napitu JP, Rahayungtyas, Ekasari I, Basuki T, Basori AF, Amri U dan Kurnia D. 2007. Konservasi Satwa Langka,

Universitas Yogyakata, Yogyakarta.

Cox, G. (1990). Laboratory Manual of Genenral Ecology 6th Ed. Dubuque:Iowa

Schenkel R and L Schenkel –Hulliger. 1969. The javan rhinoceros (Rhinoceros sondaicus Desm., 1822) in Udjung Kulon Nature Reserve, its Ecology and Bahavior. Field Study 1967 and 1968. Acta Tropica Separatum vol. 26,2. Lekagul B and J McNeely. 1977. Mammals of Thailand. The Association for the Conservation of Wildlife. Bangkok

Gambar

Gambar 1. Peta JRSCA (Javan Rhino Study &amp; Conservation Area) (tnuk.org, 2012)
Gambar 2. Lokasi Penelitian (Blok Karang Ranjang dan Kalejetan) (Google Earth, 2017)
Gambar 3. Plot analisis vegetasi disekitar kubangan
Tabel 3. Selang ukuran kedalaman lumpur
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan tentang Penerapan SSK (Strategi Sanitasi Kota) Blitar dalam perspektif pembangunan berwawasan lingkungan pada

Dari Tabel 1A di atas, dapat diketahui bahwa bentuk-bentuk penerapan simbolisasi yang paling banyak mengandung kontradiksi dengan nilai-nilai Islam adalah monumentalitas

Implementasi kebijakan pelayanan e-Ktp di Kecamatan Singkil Kota Manado pada umumnya sudah efektif dilihat dari empat aspek penting dari proses implementasi kebijakan

Saran yang dapat diberikan dari penelitian ini: (1) Dalam penyusunan anggaran harus menyiapkan rencana kegiatan, kemudian mengalokasikan anggaran untuk setiap

Oleh sebab itu, dengan adanya hasil penelitian di Pondok Pesantren Anwarul Huda Malang tentang nilai-nilai pendidikan akidah akhlak dalam menangkal paham radikalisme ini semoga

Menurut Ostrom (2005), dalam teori analisis kelembagaan, penyederhanaan asumsi sering dilakukan bahwa Para Partisipan Otoritas tindakan Posisi tertentu Informasi

(e) in respect of employment in maritime fishing, by a Member which is a party to the Minimum Age (Fishermen) Convention, 1959, and a minimum age of not less than 15 years

kearnaian lingkungan mendorong dikem- bangkannya jasad hayati. Jasad hayati Bacillus thuringiensis israelensis dapat digunakan sebagai sarana alternatif dalam