DAFTAR ISI
Cover: Mekanisme Antibiotik
SUMBANGAN TULISAN
Redaksi menerima partisipasi berupa tulisan, foto, dan materi lainnya sesuai dengan misi majalah ini. Tulisan yang tidak dimuat akan dikembalikan. Redaksi berhak mengedit atau mengubah tulisan/susunan bahasa tanpa mengubah isi yang dimuat apabila dipandang perlu.
Pengantar Redaksi 5 7
Petunjuk untuk Penulisan Dexa Media 5 8
Artikel Utama
The Role of Cefepime: Empirical Treatment in Critical Illness 59 Pemakaian Cetirizin dan Kortikosteroid pada Penyakit Alergi Anak 68Laporan Kasus:
Light Chain Myeloma 74
Tinjauan Pustaka:
Efek Kortikosteroid Terhadap Metabolisme Sel; Dasar Pertimbangan Sebagai Tujuan Terapi Pada Kondisi Akut Maupun Kronik 77 Infeksi Gonore Pada Anak 8 1 Terapi Antibiotika Empiris Pada Sepsis Berdasarkan Organ Terinfeksi 85 Terapi Hemorheologi 91 Terapi Bedah Pada Varises 96Profil:
Prof. Dr. dr. H. Achmad Guntur Hermawan, Sp.PD-KPTI 99
Sekilas Dexa Medica Group
Membangun Brand, OTC Dexa Ikuti Fun BikeHari TB Internasional 1 0 1
Branding OGBdexa Saat Munas PAFI 1 0 1 Dua Tahun Berturut-Turut: Dexa Medica RaihEmployer of Choice 1 0 2
Kalender Peristiwa 1 0 3
Penelusuran Jurnal 1 0 4
Daftar Iklan: Exepime, Ketricine, Stimuno, Toxilite
Penasehat
Ir. Ferry Soetikno, M.Sc., M.B.A.
Ketua Pengarah/Penanggung Jawab
Dr. Raymond R. Tjandrawinata, M.S., M.B.A.
Pemimpin Redaksi
Dwi Nofiarny, Pharm., Msc.
Redaktur Pelaksana
Tri Galih Arviyani, S.Kom.
Staf Redaksi
Drs. Karyanto, MM dr. Prihatini Hendri
dr. Della Manik Worowerdi Cintakaweni dr. Lydia Fransisca Hermina Tiurmauli Tambunan Gunawan Raharja, S.Si., Apt.
Liana W. Susanto, Mbiomed dr. Ratna Kumalasari
Yohannes Wijaya, S.Si., Apt.
Peer Review
Prof. dr. Arjatmo Tjokronegoro, Ph.D., Sp.And. Prof. Dr. dr. Darmono, Sp.PD-KEMD
Prof. Dr. dr. Djokomoeljanto, Sp.PD-KEMD Jan Sudir Purba, M.D., Ph.D.
Prof. Dr. Med. Puruhito, M.D., F.I.C.S., F.C.T.S. Prof. dr. Sudradji Soemapraja, Sp.OG.
Prof. Dr. dr. H. Sidartawan Soegondo, Sp.PD-KEMD, FACE Prof. dr. Wiguno Prodjosudjadi, Ph.D., Sp.PD-KGH
Redaksi/Tata Usaha
Jl. R.S. Fatmawati Kav. 33 Telp. (021) 7509575 Fax. (021) 75816588 Email: tri.galih@dexa-medica.comRekomendasi Depkes RI
0358/AA/III/88Ijin Terbit
1289/SK/Ditjen PPG/STT/1988Sidang Pembaca yang terhormat,
Dexa Media di edisi ini menampilkan dua artikel utama yang berjudul “The Role of
Cefepime: Empirical Treatment in Critical Illness” . Cefepime merupakan
antibiotika dari kelas beta-lactam yang mana Cefepime dapat digunakan sebagai terapi empiris pada infeksi Nosokomial, khususnya dalam artikel ini dibahas penggunaan Cefepime di RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Sedangkan artikel utama lainnya yang berjudul “Pemakaian Cetirizine dan Kortikosteroid pada Penyakit
Alergi Anak”. Di mana Cetirizine merupakan antihistamin yang sangat kuat dan
spesifik. Cetirizine juga merupakan antagonis reseptor histamin-1 (H1) generasi kedua yang aman digunakan pada terapi alergi.
Laporan Kasus yang kami tampilkan membahas mengenai Light Chain
Myeloma. Kasus ini melaporkan seorang penderita laki-laki berusia 66 tahun
dengan tanda-tanda dan gejala klasik multiple myeloma disertai lytic bone le-sions, tetapi gambaran elektroforesa protein serum normal, sedangkan elektroforesa protein urine menunjukkan adanya light chain proteinuria. Dari pemeriksaan aspirasi sumsum tulang didapatkan infiltrasi sel plasma sebanyak 95%. Kasus ini memenuhi kriteria multiple myeloma menurut Durie & Salmon. Untuk membuktikan tipe light chain myeloma lebih lanjut dapat dilakukan urine immunofixation test. Untuk lebih jelasnya lagi silahkan membaca artikel ini.
Kami juga menampilkan beberapa artikel menarik lainnya dari rubrik Tinjauan Pustaka.
Kami terus mengundang para dokter dan apoteker untuk memberikan hasil karya tulisannya dalam bentuk Tinjauan Pustaka, Laporan Kasus dan Artikel Penelitian.
Salam!!!!!!!
DEXA MEDIA
jurnal kedokteran dan farmasi
Redaksi menerima tulisan asli/tinjauan pustaka, penelitian atau laporan kasus dengan foto-foto asli dalam bidang Kedokteran dan Farmasi.
1. Tulisan yang dikirimkan kepada Redaksi adalah tulisan yang belum pernah dipublikasikan di tempat lain dalam bentuk cetakan.
2. Tulisan berupa ketikan dan diserahkan dalam bentuk disket, diketik di program MS Word dan print-out dan dikirimkan ke alamat redaksi atau melalui e-mail kami.
3. Pengetikan dengan point 12 spasi ganda pada kertas ukuran kuarto (A4) dan tidak timbal balik.
4. Semua tulisan disertai abstrak dan kata kunci (key words). Abstrak hendaknya tidak melebihi 200 kata.
5. Judul tulisan tidak melebihi 16 kata, bila panjang harap di pecah menjadi anak judul.
6. Nama penulis harap di sertai alamat kerja yang jelas. 7. Harap menghindari penggunaan singkatan-singkatan 8. Penulisan rujukan memakai sistem nomor (Vancouver style),
lihat contoh penulisan daftar pustaka.
9. Bila ada tabel atau gambar harap diberi judul dan keterangan yang cukup.
10. Untuk foto, harap jangan ditempel atau di jepit di kertas tetapi dimasukkan ke dalam sampul khusus. Beri judul dan keterangan yang lengkap pada tulisan.
11. Tulisan yang sudah diedit apabila perlu akan kami konsultasikan kepada peer reviewer.
12. Tulisan disertai data penulis/curriculum vitae, juga alamat email (jika ada), no. telp/fax yang dapat dihubungi dengan cepat.
Contoh Penulisan Daftar Pustaka
Daftar pustaka di tulis sesuai aturan Vancouver, diberi nomor sesuai urutan pemunculan dalam keseluruhan tulisan, bukan menurut abjad. Bila nama penulis lebih dari 6 orang, tulis nama 6 orang pertama diikuti et al. Jumlah daftar pustaka dibatasi tidak lebih dari 25 buah dan terbitan satu dekade terakhir.
Artikel dalam jurnal 1. Artikel standar
Vega KJ,Pina I, Krevsky B. Heart transplantation is associated with an increased risk for pancreatobiliary disease. Ann Intern Med 1996; 124(11):980-3. Lebih dari 6 penulis: Parkin DM, Clayton D, Black RJ, Masuyer E, Freidl HP, Ivanov E, et al. Childhood leu-kaemia in Europe after Chernobyl: 5 years follow-up. Br J Cancer 1996; 73:1006-12
2. Suatu organisasi sebagai penulis
The Cardiac Society of Australia and New Zealand. Clinical Exercise Stress Testing. Safety and performance guidelines. Med J Aust 1996; 164:282-4
3. Tanpa nama penulis
Cancer in South Africa (editorial). S Afr Med J 1994; 84:15 4. Artikel tidak dalam bahasa Inggris
Ryder TE, Haukeland EA, Solhaug JH. Bilateral infrapatellar seneruptur hos tidligere frisk kvinne. Tidsskr Nor Laegeforen 1996; 116:41-2
5. Volum dengan suplemen
Shen HM, Zhang QE. Risk assessment of nickel carcinogenicity and occupational lung cancer. Environ Health Perspect 1994; 102 Suppl 1:275-82
6. Edisi dengan suplemen
Payne DK, Sullivan MD, Massie MJ. Women’s psychological reactions to breast cancer. Semin Oncol 1996; 23(1 Suppl 2):89-97
7. Volum dengan bagian
Ozben T, Nacitarhan S, Tuncer N. Plasma and urine sialic acid in non-insulin dependent diabetes mellitus. Ann Clin Biochem 1995;32(Pt 3):303-6
8. Edisi dengan bagian
Poole GH, Mills SM. One hundred consecutive cases of flap lacerations of the leg in ageing patients. N Z Med J 1990; 107(986 Pt 1):377-8
9. Edisi tanpa volum
Turan I, Wredmark T, Fellander-Tsai L. Arthroscopic ankle arthrodesis in rheumatoid arthritis. Clin Orthop 1995; (320):110-4
10.Tanpa edisi atau volum
Browell DA, Lennard TW. Immunologic status of the
cancer patient and the effects of blood transfusion on an-titumor responses. Curr Opin Gen Surg 1993;325-33 11. Nomor halaman dalam angka romawi
Fischer GA, Sikic BI. Drug resistance in clinical oncology and hematology. Introduction Hematol Oncol Clin North Am 1995; Apr; 9(2):xi-xii
Buku dan monograf lain 12.Penulis perseorangan
Ringsven MK, Bond D. Gerontology and leadership skills for nurses. 2nd ed. Albany (NY):Delmar Publishers; 1996
13.Editor sebagai penulis
Norman IJ, Redfern SJ, editors. Mental health care for eldery people. New York:Churchill Livingstone; 1996
14.Organisasi sebagai penulis
Institute of Medicine (US). Looking at the future of the medicaid program. Washington:The Institute; 1992 15.Bab dalam buku
Catatan: menurut pola Vancouver ini untuk halaman diberi tanda p, bukan tanda baca titik dua seperti pola sebelumnya).
Phillips SJ, Whisnant JP. Hypertension and stroke. In: Laragh JH, Brenner BM, editors. Hypertension: Patophysiology,
Diagnosis and Management. 2nded. New York:Raven Press;
1995.p.465-78 16.Prosiding konferensi
Kimura J, Shibasaki H, editors. Recent Advances in clinical
neurophysiology. Proceedings of the 10t h International
Congress of EMG and Clinical Neurophysiology; 1995 Oct 15-19; Kyoto, Japan. Amsterdam:Elsevier; 1996
17.Makalah dalam konferensi
Bengstsson S, Solheim BG. Enforcement of data protection, privacy and security in medical information. In: Lun KC, Degoulet P, Piemme TE, editors. MEDINFO 92. Proceedings of the 7th World Congress on Medical Informatics; 1992 Sep
6-1 0 ; G e n e va , S w i t z e r l a n d . A m s t e r d a m : N o r t h - H o l l a n ; 1992.p.1561-5
18.Laporan ilmiah atau laporan teknis
Diterbitkan oleh badan penyandang dana/sponsor: Smith P, Golladay K. Payment for durable medi-cal equipment billed during skilled nursing facility stays. Final report. Dallas(TX):Dept.of Health and Human Services (US), Office of Evaluation and Inspections; 1994 Oct. Report No.: HHSIGOEI69200860
Diterbitkan oleh unit pelaksana:
Field MJ, Tranquada RE, Feasley JC, editors. Health Services R e s e a r c h : W o r k F o r c e a n d E d u c a t i o n I s s u e s . Washington:National Academy Press; 1995. Contract No.: AHCPR282942008. Sponsored by the Agency for Health Care Policy and Research
19. Disertasi
Kaplan SJ. Post-hospital home health care: The eldery’s access and utilization [dissertation]. St. Louis (MO): Washington Univ.; 1995
20.Artikel dalam koran
Lee G. Hospitalizations tied to ozone pollution: study estimates 50,000 admissions annually. The Washington Post 1996 Jun 21; Sept A:3 (col.5)
21.Materi audio visual
HIV + AIDS: The facts and the future [videocassette]. St. Louis (MO): Mosby-Year Book; 1995
Materi elektronik
22.Artikel jurnal dalam format elektronik
Morse SS. Factors in the emergence of infection diseases. Emerg Infect Dis [serial online] 1995 jan-Mar [cited 1996 Jun 5];1(1):[24 screens]. Available from: URL:HYPERLINK 23.Monograf dalam format elektronik
CDI, Clinical dermatology illustrated [monograph on CD-ROM]. Reeves JRT, maibach H. CMEA Multimedia Group, producers. 2nd ed. Version 2.0. San Diego: CMEA; 1995
24.Arsip komputer
Hemodynamics III: The ups and downs of hemodynamics [computer program]. Version 2.2. Orlando [FL]: Computerized Educational Systems
The Role of Cefepime:
Empirical Treatment in Critical
Illness
A Guntur H
Bagian Penyakit Dalam Rumah Sakit Dr. Moewardi - Fakultas Kedokteran UNS Surakarta
Abstrak. Terapi secara empiris pada suatu daerah, dilakukan berdasarkan pada pola kuman yang didapatkan pada rumah sakit setempat berdasarkan pola kuman dan uji kepekaan. Penelitian yang dilakukan pada infeksi nosokomial di RSUD Dr Moewardi menunjukkan bahwa cefepime dapat digunakan sebagai terapi secara empiris.
Pendahuluan
Cefepime merupakan antibiotik dari kelas beta-lactam. Cefepime merupakan generasi keempat dari cephalosporin. Kebanyakan turunan semisintetik dan strukturnya berhubungan dengan analog rumus bangunnya yang telah diidentifikasi sebagai dasar molekul cephalosporin (7-amino-cephalosporanic acid), yang terdiri dari suatu cincin hexagonal (dihydrothiaziolidine) yang dipadukan ke dalam cincin beta-lactam. Molekul dasar ini adalah sebagai inti cephem. Penggantian pada posisi 3 dan 7 telah dibuat untuk meningkatkan spektrum antimikrobial dan sifat farmakokinetik dari cephalosporins.
Cefepime mirip generasi ketiga aminothiazole cephalosporins di mana di dalamnya mempunyai suatu gugus aminothiazolyl-methoxyimino pada posisi 7 inti cephem. Gugus ini akan mempengaruhi stabilitas dari beta-lactamase dan peningkatan aktivitas terhadap gram-negatif.
Cefepime adalah suatu zwitter ion, artinya merupakan suatu ion dipolar yang tidak mempunyai muatan. Cefepime adalah zwitter ion sebab mempunyai suatu muatan negatif pada posisi 4 pada inti cephalosporin dan suatu substituen yang mengandung nitrogen kuartener (muatan positif) pada posisi 3 dari inti. Hal ini sebagai bullet-shaped. Konfigurasi tertentu
ini bertanggung jawab untuk penetrasi yang cepat dari cefepime melalui membran luar dari bakteri gram-negatif dan sebagai salah satu kunci dari potensi antibakterialnya.
Hal ini dibuktikan dari terjadinya penetrasi sel yang cepat, disebabkan dari efek penolakan dari anion tertentu pada periplasma tidak terjadi pada campuran ion dipolar ini.
Modifikasi struktur inti cephem untuk menghasilkan cefepime menciptakan suatu antibiotik dengan suatu spektrum antimikrobial yang seimbang dan lebar dan suatu potensi yang berharga untuk perawatan infeksi, baik gram positif maupun gram negatif.1
Infeksi Nosokomial
Infeksi nosokomial adalah infeksi yang didapatkan setelah penderita dirawat di rumah sakit baik tumbuh pada saat dirawat di rumah sakit juga pada penderita yang pulang dari rumah sakit.2,3
Infeksi Nosokomial sangat nyata merupakan penyebab kesakitan dan kematian. Infeksi nosokomial dapat terjadi oleh karena tindakan iatrogenik terutama yang mengalami tindakan-tindakan instrumenisasi ataupun intervensi pada saat dirawat di rumah sakit, misalnya pemasangan kateter, infus, tindakan-tindakan operatif lainnya.4
Infeksi Oportunistik terjadi pada penderita yang mengalami immunocompromised yang dirawat di rumah sakit, infeksi bisa berasal dari luar dan dari dalam penderita sendiri yang (AUTOCHTHOUS INFECTION) yang disebabkan oleh karena kerusakan barier mukosa.
Infeksi nosokomial transmisi berasal dari dokter, perawat dan pelayan medik yang lain bisa berasal dari tangan yang tidak steril, infeksi dari makanan, minuman atau ventilasi, kateter dan alat endoscopi ataupun tindakan invasif yang lain.5-7
Epidemiologi
Infeksi nosokomial mempunyai angka kejadian 2-12% (rata-rata 5%) dari semua penderita yang dirawat di rumah sakit. Angka kematian 1-3% dari semua kasus yang dirawat di rumah sakit di USA 1,5 juta per tahun dan meninggal 15.000 orang.
Kennedy menyebut ICU sebagai ”hutan epidemiologis” karena begitu banyaknya organisme yang berkembang di unit tersebut. Organisme utama yang menyebabkan infeksi nosokomial meliputi P. aeruginosa (13%), S. aureus (12%), Staphyloccoccus koagulase-negatif (10%), Candida (10%), Enterococci (9%) dan Enterobacter (8%). Di negara berkembang angka kejadian infeksi nosokomial belum banyak diketahui dengan pasti.8
Faktor Kuman Penyebab Infeksi Nosokomial
Paling banyak adalah bakteri gram (-) sebab makin banyaknya kuman bakteri gram (-) yang resisten terhadap beberapa macam antibiotika.Bakteri gram (+) misalnya: Streptococus, Staphilococcus aurius. Dan juga bakteri anaerob.
Pada Rumah Sakit yang kapasitasnya besar, di mana mempunyai tempat tidur >200 s/d 500 banyak di temukan infeksi nosokomial yang berasal dari gram positif. Misalnya: Methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA).9-10
Faktor Penjamu
Pada penderita dengan immunocompromised sangat rentan terhadap infeksi nosokomial, yang termasuk dalam immunocompromised adalah:
- Defek sistem imun humoral yang menyebabkan defisiensi
komplemen dan antibodi yang mengakibatkan gangguan opsonisasi dan bakterisidal.
- Defek sistem imun seluler yaitu sistem fagositosit
(neutrofil, makrofag) dan sistem imun seluler spesifik.
- Penggunaan obat-obatan imunosupresan dan sitostatika.
- Penyakit-penyakit kanker, autoimun, diabetes mellitus,
sirosis hati, gagal ginjal kronik, luka bakar.
Menurut Dale DC penderita immunocompromised yang termasuk juga manusia usia lanjut bila terkena infeksi nosokomial mudah terjadi sepsis dan sering mengalami komplikasi yang mematikan yaitu syok septik.7,11,12
Infeksi nosokomial yang sering dijumpai adalah infeksi luka, infeksi saluran pernapasan, infeksi saluran kencing dan infeksi saluran cerna.13
Penyakit infeksi yang masih merupakan penyebab kesakitan dan kematian yang tinggi di seluruh dunia, khususnya di negara sedang berkembang seperti Indonesia sangat berkaitan dengan timbulnya mikroorganisme yang resisten atau malah resisten terhadap banyak antibiotika yang sebelumnya masih sensitif.
Pada umumnya infeksi dibedakan secara garis besar menjadi 2 golongan menurut asal kuman penyebab, yaitu infeksi komunitas bila sumber infeksi didapatkan di masyarakat dan infeksi nosokomial bila sumber infeksinya didapatkan di rumah sakit. Terapi antibiotika dapat dilakukan secara empiris atau definitif. Terapi secara empiris pada suatu daerah, di mana antibiotika diberikan atas dugaan kuman penyebab dari keadaan infeksi tersebut. Maka dugaan tersebut harus berdasarkan pada pola kuman yang ada di daerah atau Rumah Sakit yang bersangkutan. Bila identifikasi kuman dan uji kepekaan telah diketahui, maka dilakukan terapi definitif sesuai kuman yang didapat. Untuk itu penulis melakukan penelitian dari bulan Januari s/d Desember 2004 di Rumah Sakit Dr. Moewardi Surakarta.
Pola Kuman dan Uji Kepekaan di RSUD Dr.
Moewardi
Dilakukan penelitian pola kuman dan uji kepekaan di RSUD Dr. Moewardi, dengan besarnya sampel dalam penelitian pola kuman yang berasal dari spesimen darah (n=78) kuman yang tumbuh 58%, sedangkan dari spesimen sputum (n=133) kuman yang tumbuh 45% dan dari spesimen urin (n=73) yang tumbuh 44% (Tabel 1).
Tabel 1. Pola Kuman Darah, Sputum dan Urin di RSUD Dr. Moewardi Surakarta Tahun 2004
JENIS KUMAN PUS THT LCS
Gram -Citrobacter sp 59 12 4 E. coli sp 4 1 Enterobacter sp 25 2 Klebsiella sp 5 Proteus sp 9 2 Pseudomonas sp 16 8 3 Salmonella sp Serratia sp Gram + Staphylococcus sp 16 20 2 9 1 2 Streptococcus sp 4 7 1 JUMLAH TUMBUH 79 21 6
Infeksi nosokomial
dapat
terjadi oleh karena tindakan
iatrogenik terutama yang
mengalami tindakan-tindakan
instrumenisasi ataupun intervensi
pada saat dirawat di rumah sakit,
misalnya pemasangan kateter,
infus, tindakan-tindakan operatif
Dari hasil kultur kuman yang tumbuh yang didapat dari spesimen darah, kuman gram negatif: Enterobacter sp (12%), Citobacter sp (8%), Pseudomonas sp (5%) dan Salmonella sp (5%). Sedangkan kuman gram positif: Streptococcus sp (17%). Untuk spesimen yang berasal dari sputum, kuman gram negatif: Klebsiella sp (11%) dan Enterobacter sp (8%); kuman gram positif: Streptococcus sp (17%). Dan dari hasil kultur kuman yang tumbuh yang didapat dari spesimen urin, kuman gram negatif: Enterobacter sp (11%), Klebsiella sp (10%) dan E. coli sp (5%); kuman gram positif: Staphylococcus sp (11%).14
Besar sampel dari spesimen pus (n=103) kuman yang tumbuh 77%, sedangkan dari spesimen THT (n=32) kuman yang tumbuh 65% dan dari spesimen LCS (n=36) yang tumbuh 17% (Tabel 2).
Tabel 2. Pola Kuman Pus, THT dan LCS di RSUD Dr. Moewardi Surakarta Tahun 2004
Dari hasil kultur kuman yang tumbuh yang didapat dari spesimen pus, kuman gram negatif: Enterobacter sp (23%),
Pseudomonas sp (16%) dan Proteus sp (9%). Sedangkan kuman gram positif: Staphylococcus sp (16%). Untuk spesimen yang berasal dari THT, kuman gram negatif: Pseudomonas sp (25%), Enterobacter sp (6%) dan Proteus sp (6%); kuman gram positif: Streptococcus sp (22%). Dan dari hasil kultur kuman yang tumbuh yang didapat dari spesimen LCS, kuman gram negatif: Pseudomonas sp (8%) dan E. coli sp (3%); kuman gram positif: Streptococcus sp (3%) dan Staphylococcus sp (3%).14
Kuman yang resisten terhadap antibiotika merupakan masalah global, oleh karena itu penggunaan antibiotika yang sangat tepat merupakan bagian dari pencegahan resistensi antibiotika. Untuk itu penulis melakukan uji kepekaan kuman di RSUD Dr. Moewardi Surakarta dari kuman-kuman yang tumbuh pada kultur kuman yang berasal dari berbagai spesimen terhadap berbagai jenis antibiotika (Tabel 3 dan 4).
Tabel 3. Hasil Uji Kepekaan Kuman (Darah, sputum dan urin) di RSUD Dr. Moewardi Surakarta Tahun 2004
Tabel 4. Hasil Uji Kepekaan Kuman (Pus, THT dan LCS) di RSUD Dr. Moewardi Surakarta Tahun 2004
JENIS ANTIBIOTIK DARAH SPUTUM URIN Gram - Gram + Gram - Gram + Gram - Gram +
Amikacin 2 2 2 1 Augmentin 1 2 1 Cefepime 4 3 8 5 12 Cefotaxime 2 2 Ceftriazone Ceftazidime 1 Cefuroxime 1 Chloramphenicol Ciprofloxacin 4 1 1 1 1 Co-Trimoxazole 1 Debikacin Erytromycin Fosfomycin 3 6 3 3 2 Gatifloxacin 6 5 4 2 Gentamicin 1 Meropenem 3 1 6 3 3 Nitrofurantoin 2 Norfloxacin 1 Sam 2 1 1 1 Tetracyclin 1 Resisten semua 1 13 6 JUMLAH 25 20 31 30 22 10
JENIS KUMAN DARAH SPUTUM URIN
Gram -Citrobacter sp 6 25 31 22 E. coli sp 4 Enterobacter sp 9 10 8 Klebsiella sp 1 15 7 Proteus sp 3 1 4 3 2 Salmonella sp 4 Serratia sp 1 Gram + 7 20 7 30 8 10 13 23 2 JUMLAH TUMBUH 45 61 32 JUMLAH PASIEN 78 133 73 Pseudomonas sp Staphylococcus sp Streptococcus sp
JENIS ANTIBIOTIK PUS THT LCS Gram - Gram + Gram - Gram + Gram - Gram +
Amikacin 2 1 1 Augmentin Cefepime 20 5 6 2 1 Cefotaxime 1 Ceftriaxone 1 Ceftazidime 1 Cefuroxime Chloramphenicol 1 Ciprofloxacin 1 2 1 Co-Trimoxazole Debikacin Erythromycin Fosfomycin 7 2 1 1 Gatifloxacin 10 2 1 1 Gentamicin Meropenem 19 5 1 1 Nitrofurantoin Norfloxacin Sam 1 2 1 Tetracyclin 1 Resisten semua 1 3 JUMLAH 59 20 12 9 4 2
Kuman yang resisten
terhadap antibiotika
merupakan masalah global,
oleh karena itu penggunaan
antibiotika yang sangat tepat
merupakan bagian dari pencegahan
resistensi antibiotika. Untuk itu
penulis melakukan uji kepekaan
kuman di RSUD Dr. Moewardi
Surakarta dari kuman-kuman yang
tumbuh pada kultur kuman yang
berasal dari berbagai spesimen
terhadap berbagai jenis antibiotika
Dari hasil penelitian tersebut dapat kita lihat bahwa penyebaran dan hasil uji kepekaan, yang paling tinggi adalah: 1. Cefepime; 2. Meropenem; 3. Fosfomycin; 4. Gatifloxacin.
Berdasarkan hasil penelitian ini, maka dasar pemberian empirical treatment pada awal pengobatan di RSUD Dr. Moewardi kita gunakan Cefepime.14
Penggunaan antibiotika pada keadaan sepsis:
1. Antibiotika segera diberikan seawal mungkin saat diagnosis ditegakkan.
2. Sebelum didapatkan hasil kultur bakteri segera diberikan antibiotika yang sesuai berdasarkan pada pola kuman yang ada di daerah sakit setempat sampai dengan terdapat hasil kultur yang sesuai/definitif.
3. Kalau perlu diberikan antibiotika kombinasi yang bermanfaat untuk: gram (+) dan gram (-).
4. Antibiotika diberikan secara intravena dengan dosis maksimal.
5. Pemberian antibiotika yang adekuat menurunkan angka kematian 10-15% bila dibandingkan pemberian yang tidak adekuat.
Pada 59 penderita diabetes melitus dengan ulkus pedis, laki–laki 22 penderita (37,3%) dan wanita 37 penderita (62,7%). Penderita yang mengalami sepsis 27 penderita (45,8%) dan tidak sepsis 32 penderita (54,2%).
Hasil kultur kuman ditempat ulkus pedis
Sensitivitas kuman terhadap antibiotik
Kesimpulan
Infeksi nosokomial merupakan infeksi banyak terjadi pada penderita yang di rawat di rumah sakit dan merupakan penyebab kesakitan dan kematian terutama pada penderita dengan immunocompromised.
Infeksi nosokomial banyak dijumpai pada infeksi traktus urinarius, dari luka post positif, infeksi saluran nafas dan infeksi sistem saluran cerna dan tidak menutup kemungkinan jenis infeksi-infeksi lain yang didapatkan selama penderita di rawat di rumah sakit.
Sepsis sering terjadi pada infeksi nosokomial terutama pada penderita immunocompromised dan penderita yang lama di rawat di RS.
Terapi secara empiris pada suatu daerah, dilakukan berdasarkan pada pola kuman yang didapatkan pada rumah sakit setempat. Berdasarkan pola kuman dan uji kepekaan yang dilakukan di RSUD Dr. Moewardi Surakarta, didapatkan bahwa cefepime mempunyai penyebaran paling luas dan mempunyai hasil uji kepekaan yang cukup tinggi, serta merata pada semua media (urin, darah, sputum, pus, LCS dan THT).
Maka dapat disimpulkan bahwa Cefepime dapat digunakan sebagai empirical treatment pada infeksi Nosokomial, khususnya di RSUD Dr. Moewardi Surakarta.
Daftar Pustaka
1. Anonim. The chemistry, microbiology, pharmacokinetics and clinical experience of a new fourth-generation cephalosporin. Italia:Bristol-Myers Squibb Company; 1996
2. Heratige J. Tutorial on nosocomial infections. 2001. Available from: URL: http://www.bmb.leeds.ac.uk-/mbiology
3. Anonim. Nosocomial infection. 2005. Available from: URL: http:// www.waterionisation.com
4. Duffi JR. Nosocomial infection important acute care nursing-sensitive outcomes indicators. AACN-CLIN 2002; 13(3):358-66
5. Liu H. Nosocomial infections: a multidisciplinary approach to management. 2001. Available from: URL: http://www.powerpak.com 6. Center for Disease Control and Prevention (CDC). Sterilization or
disinfection of medical devices: general principles. 2002. Available from: URL: http://www.cdc.gov/-ncidod/hip/sterile/sterilgp.htm
7. Anonim. Nosocomial infection. 2002. Available from: URL: http:// www.person@calfmc.flinders.edu.au
8. Gardner P and Causey WA. Acquired hospital infection. Horrison’s Principles of Internal Medicine. 13th edition. 1994.p.855-9
9. Johnson A. Methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) infection. 2000. Available from: URL: http://www.netdoctor.co.uk
10. Jones BN. Resistance pattern among nosocomial pathogens. Chest 2001; 119:397s-404s
11. Cowley R. Persistent SIRS is predictive of nosocomial infection in trauma. J Trauma 2002; 53(2):24550
12. Sneller MC and Lane HC. Immunocompromised host. Clinical Immunology Principles and Practise 1996:579-93
13. BUPA’s Health Information Team. Health news - MRSA - the facts. 2005 14. Guntur. Pola kuman dan sensitivitas tes RSUD Dr. Moewardi Surakarta
tahun 2004. 2005 (unpublished)
15. Sugiarto, Diding HP, Guntur H. Role albumin and sensitivitas nicobacterium in ulcus diabiticum. 13th International Symposium on Shock and Critical Care 2006 Bali Indonesia, 2006.p.163-4
Kuman Jumlah kuman %
Enterobacter 10 55,6 Staphylococcus sp 3 16,7 Pseudomonas 2 11 E. coli 1 5,6 Klebsiella 1 5,6 Proteus 1 5,6
Jenis antibiotik Jumlah antibiotik %
Cefepime 12 66,7 Meropenem 9 50 Fosfomycin 7 38,9 Gatifloxacin 5 27,8 Amikacin 5 27,8 Augmentin 3 16,7 Sulbactam – Cefoperazone 2 11,1 Chloramfenicol 2 11,1 Ceftazidime 2 11,1 Cefoperazone 2 11,1 Ciprofloxacin 2 11,1 Norfloxacin 2 11,1 Ceftriaxone 1 5,6
Infeksi nosokomial
merupakan infeksi yang
banyak terjadi pada penderita
yang di rawat di rumah sakit
dan merupakan penyebab
kesakitan dan kematian
terutama pada penderita
dengan immunocompromised.
Cefepime adalah antibiotik injeksi sefalosporin generasi
IV & merupakan suatu molekul zwitter ion. Zwitter ion
merupakan suatu ion dipolar yang tidak mempunyai
muatan. Sebagai zwitter ion, cefepime mempunyai suatu
muatan negatif pada posisi 4 pada inti cephalosporin dan
suatu substituen yang mengandung nitrogen kuartener
(muatan positif) pada posisi 3 dari inti cephem. Hal ini
dikenal sebagai bullet-shaped. Konfigurasi tertentu zwitter
ion ini bertanggung jawab untuk penetrasi yang cepat
dari cefepime melalui membran luar bakteri
gram-negatif dan sebagai salah satu kunci dari potensi
antibakterialnya. Hal ini dibuktikan dari terjadinya
penetrasi sel yang cepat, disebabkan dari efek penolakan
anion tertentu pada periplasma namun tidak terjadi pada
campuran ion dipolar ini.
Modifikasi pada struktur inti cephem untuk
menghasilkan cefepime menciptakan suatu antibiotik
dengan suatu spektrum antimikrobial yang seimbang dan
luas serta merupakan suatu potensi yang berharga untuk
perawatan infeksi, baik oleh bakteri gram positif maupun
gram negatif.
1Untuk memenuhi kebutuhan akan antibiotik tersebut
di atas maka PT Ferron Par Pharmaceuticals dengan
bangga telah memasarkan preparat cefepime 1 g dengan
nama dagang EXEPIME 1 g.
Farmakodinamik
Cefepime telah terbukti kemampuan bakterisidalnya
melalui analisis time-kill (killing-curves) dan penentuan
minimum bactericidal concentrations (MBC) pada berbagai
jenis bakteri. Rasio MBC/MIC cefepime adalah < 2 untuk
lebih dari 80% dari seluruh isolat spesies gram positif
dan gram negatif yang diuji. Cefepime juga sinergis dengan
aminoglikosida secara in vitro, terutama pada isolat
Pseudomonas aeruginosa. Berikut ini beberapa strain
organisme yang sensitif terhadap cefepime:
Aerob Gram-positif:
•
Staphylococcus aureus (termasuk strain penghasil
beta-laktamase)
•
Staphylococcus epidermidis (termasuk strain penghasil
beta-laktamase)
•
Staphylococci yang lain termasuk S. hominis, S.
saprophyticus
•
Streptococcus pyogenes (Group A streptococci)
•
Streptococcus agalactiae (Group B streptococci)
•
Streptococcus pneumoniae (termasuk intermediate
penicillin resistant strains dengan MIC penicillin 0,1
sampai 1 mcg/ml)
•
b-hemolytic streptococci lain (Group C. G, F), S. bovis
(Group D), Viridans streptococci.
Aerob Gram-negatif:
•
Acinetobacter calcoaceticus (subsp. anitratus. Iwoffi)
•
Citrobacter spp. termasuk C. diversus, C. treundii
•
Enterobacter spp. termasuk E. cloacae, E. aerogenes
•
Escherichia coli
•
Haemophilus influenzae (termasuk strain penghasil
beta-laktamase)
•
Klebsiella spp. termasuk K. pneumoniae, K oxytoca,
K. ozaenae
•
Morganella morganii
•
Moraxella catarrhalis (Branhamella catarrhalis)
termasuk strain penghasil beta-laktamase
•
Neisseria meningitidis
•
Providencia spp., termasuk P. rettgeri. P. stuartii
•
Pseudomonas spp., termasuk P. aeruginosa, P. putida,
P. stutzeri
•
Salmonella spp.
•
Serratia termasuk S marcescens
•
Shigella spp.
2Farmakokinetik
Dari sisi farmakokinetik, konsentrasi cefepime terdistribusi
luas pada berbagai jaringan & cairan tubuh yang spesifik
sehingga ideal sebagai pilihan terapi empiris berbagai
kasus infeksi seperti terlihat pada tabel berikut.
Tabel konsentrasi rata-rata cefepime di dalam berbagai
jaringan (mcg/g) dan cairan tubuh (mcg/ml) pada
laki-laki dewasa normal
Berdasarkan luasnya spektrum bakteri dan distribusi
cefepime pada berbagai jaringan dan cairan tubuh maka
cefepime dapat diindikasikan pada kasus:
•
Septikemia
•
Pengobatan empiris pada pasien febrile neutropenia
•
Infeksi saluran pernapasan bawah: pneumonia dan
bronkopneumonia
•
Infeksi saluran kemih bagian atas (pyelonephritis) dan
bawah dengan komplikasi
•
Infeksi intraabdominal: peritonitis dan infeksi saluran
empedu
2 Dosis (IV) Urin 500 mg 0-4 292 1 g 0-4 926 2 g 0-4 3.120 Empedu 2 g 9,4 17,8 Cairan peritoneal 2 g 4,4 18,3 Cairan lepuh 2 g 1,5 81,4 Mukosa bronkus 2 g 4,8 24,1 Sputum 2 g 4,0 7,4 Prostat 2 g 1,0 31,5 Apendiks 2 g 5,7 5,2 Kandung empedu 2 g 8,9 11,9 Jaringan atau cairan tubuhWaktu rata-rata dari
sample post-dose (jam)
Konsentrasi rata-rata
SEKILAS PRODUK
Sekilas Produk Exepime Injeksi
Fast and Strong
SEKILAS PRODUK KETRICIN TABLET
Salah satu pertimbangan dokter dalam pemilihan preparat
obat terutama untuk pasien anak-anak adalah RASANYA.
Sebaik apapun efek suatu obat, tetapi bila tidak bisa
diterima dengan baik oleh pasien anak, maka obat tersebut
tidak akan berguna.
Khusus untuk golongan kortikosteroid oral, hampir
semua preparat kortikosteroid oral berasa pahit bahkan
sangat pahit, sehingga sulit diterima oleh anak-anak.
Namun saat ini PT Ferron Par Pharmaceutical telah
meluncurkan satu preparat kortikosteroid oral YANG
TIDAK PAHIT, dengan nama dagang KETRICIN.
Ketricin tablet mengandung triamcinolon 4 mg,
preparat ini terutama bekerja sebagai glukokortikoid dan
mempunyai daya antiinflamasi yang kuat, mempunyai efek
hormonal dan metabolik seperti kortison. Ketricin berbeda
dengan glukokortikoid alami, yaitu: dalam hal efek
antiinflamasi dan glukoneogenesis yang lebih besar dan
sifat retensi garamnya yang lebih sedikit.
1-3Dibandingkan dengan kortikosteroid lain, Ketricin yang
termasuk dalam golongan intermediate acting, yang
mempunyai beberapa kelebihan, antara lain:
1-3•
RASA TIDAK PAHIT.
Hal ini sangat menguntungkan
terutama untuk pasien anak-anak yang sangat sensitif
terhadap rasa.
•
Dibandingkan dengan sediaan intermediate acting yang
lain (prednisolon), Ketricin memiliki efek samping
mineralokortikoid (efek peningkatan tekanan darah dan
moon face) dan memiliki efek samping gastrointestinal
yang lebih minimal.
•
Dibandingkan dengan sediaan long acting (dexametason
dan betametason), Ketricin memiliki efek supresi HPA
axis dan efek samping gastrointestinal yang lebih
minimal.
•
Dibandingkan dengan sediaan short acting (kortison
dan hidrokortison) efek mineralokortikoid (peningkatan
tekanan darah dan moon face) serta efek samping
gastrointestinal Ketricin lebih minimal
Tabel konversi dosis dari molekul kortikosteroid lain:
3Indikasi:
Penyakit saluran pernapasan:
a. Symptomatic sarcoidosis
b. Tuberkulosis yang memburuk & mendapat kemoterapi
c. Pulmonary emphysema
d. Asma
2Gangguan hematologi:
a. Idiopatik & trombositopenia
b. Anemia hemolitika
AGEN Potensi relatif Antiinflamasi Mineralokortikoid Prednison 5 4 0.8 3.5 18-36 Triamsinolon 4 5 0.0 3.0 18-36 Metilprednisolon 4 5 0.5 2-3 18-36 Deksametason 0,75 20-50 0.0 3.5 18-36 Dosis glukokortikoid yang ekuivalen (mg) Waktu paruh eliminasi (jam) Masa kerja (jam)c. Eritroblastopenia (RBC anemia) &
d. Anemia hipoplastik kongenital (erythroid)
Penyakit neoplastik: leukemia akut
Penyakit dermatologi:
a. Erythema multiforme berat (Stevens-Johnson
Syndrome)
b. Exfoliative dermatitis
c. Psoriasis berat
Penyakit kolagen:
a. Acute rheumatic carditis
b. Systemic lupus erythematosus
Keadaan alergi:
a. Seasonal atau perinneal allergic rhinitis
b. Asma bronkial
c. Dermatitis kontak
d. Dermatitis atopik
e. Serum sickness
f. Angioedema
g. Urtikaria
Dosis:
Dosis triamsinolon pada awalnya bervariasi 4-48 mg/hari
dan tergantung pada kondisi penyakit & respon pasien.
Penghentian steroid setelah terapi jangka panjang dianjurkan
untuk dilakukan secara perlahan-lahan atau tapering off.
1,2Pengaturan dosis pada bayi dan anak-anak mengacu
pertimbangan kondisi penyakit pasien dan disesuaikan usia
atau berat badan, yaitu:
•
Berat badan: 0,117-1,66 mg/kgBB/hari terbagi 4 kali
pemberian
2•
Luas permukaan tubuh: 3,3-50 mg/m
2/hari terbagi 4
kali pemberian
2Kemasan:
Kotak, 10 strip @ 10 tablet
Kesimpulan:
Ketricin tablet merupakan kortikosteroid oral TANPA RASA
PAHIT
(bermanfaat untuk meningkatkan penerimaan pasien
anak-anak), masa kerja menengah (efek supresi HPA axis
minimal), efek antiinflamasi kuat (setara dengan
methylprednisolone), efek mineralokortikoid minimal, indikasi
luas dan kualitas terjamin.
Referensi:
1. Ketricin, PT Dexa Medica. Package Insert.
2. McEvoy GK, et al. Triamcinolone. In: McEvoy GK, et
al (editors). AHFS drugs Information 2005. Bethesda:
American Society of Healthy System Pharmacist, Inc.
2005.p.2941-3.
3. Millier JW. Drugs and the endocrine & metabolic
systems. In: Page C, et al (editors). Chapter 15
Integrated pharmacology, 2nd ed. Philadelphia: Mosby
International Ltd; 2002.p.281-326.
Pemakaian Cetirizine dan
Kortikosteroid pada Penyakit
Alergi Anak
Mazdar Helmy, Zakiudin Munasir
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Jakarta
Abstrak. Penyakit atopi seperti asma dan eksim merupakan kondisi alergi yang cenderung diturunkan dalam keluarga dan dikaitkan dengan pembentukan antibodi IgE spesifik terhadap alergen lingkungan. Tatalaksana medikamentosa yang diberikan berdasarkan pada reaksi inflamasi alergi yang mendasari penyakit. Pada individu yang rentan terhadap alergi, paparan dengan alergen menghasilkan aktivasi sel Th2 dan produksi
antibodi IgE. Reaksi kerusakan jaringan yang disebabkan oleh respons imun tersebut merupakan reaksi hipersensitivitas dan istilah alergi sering disamakan dengan hipersensitivitas segera (tipe I). Pada reaksi alergi juga terjadi proses inflamasi yang terjadi pada fase lambat. Histamin merupakan mediator utama dalam reaksi alergi. Oleh karena itu, salah satu terapi utama dalam alergi adalah pemberian antihistamin. Cetirizine merupakan antihistamin yang sangat kuat dan spesifik. Cetirizine merupakan antagonis reseptor histamin-1(H1) generasi kedua yang aman digunakan pada terapi alergi. Selain mempunyai efek antihistamin, cetirizine juga mempunyai efek antiinflamasi. Efek antiinflamasi cetirizine terutama ditunjukkan melalui penghambatan kemotaksis sel inflamasi. Efek antiinflamasi cetirizine juga tercapai melalui penghambatan ekspresi molekul adhesi yang berperan dalam proses penarikan sel inflamasi.
Kortikosteroid juga mengurangi jumlah sel inflamasi dengan menghambat penarikan sel inflamasi ke jaringan inflamasi melalui penekanan produksi mediator kemotaktik dan molekul adesi, serta juga menghambat keberadaan (survival) sel inflamasi tersebut. Penggunaan kortikosteroid oral pada keadaan alergi fase cepat/ akut membutuhkan potensi glukokortikoid yang lebih tinggi dibandingkan potensi mineralkortikoid untuk menghindari efek samping retensi natrium. Selain itu pemilihan bentuk formula dan rasa juga berperan dalam kepatuhan anak dalam berobat dengan kortikosteroid. Pemberian kortikosteroid pada inflamasi alergi tergantung pada beberapa faktor yang menentukan manfaat dan risiko pada tiap anak.
Pendahuluan
Penyakit atopi seperti hayfever, asma dan eksim merupakan kondisi alergi yang cenderung diturunkan dalam keluarga dan dikaitkan dengan pembentukan antibodi IgE spesifik terhadap alergen lingkungan. Peningkatan prevalensi penyakit atopi ini telah menjadi masalah kesehatan di berbagai negara.1 Menurut
studi The International Study of Asthma and Allergy in Childhood (ISAAC) yang dilakukan pada anak usia 6-14 tahun di 155 pusat di 58 negara, didapatkan prevalensi asma usia 6-7 tahun berkisar antara 1,6-27,2% dan usia 13-14 tahun sekitar 35,3%. Sedangkan prevalensi dermatitis atopi pada anak usia 6-7 tahun berkisar 0,7-18,4%, dan anak 13-14 tahun berkisar antara 0,6-20,5%. Berdasarkan hasil studi ISAAC tersebut daerah dengan prevalensi alergi tinggi antara lain Inggris,
Australia, New Zealand, Amerika Utara dan Selatan, sedangkan daerah dengan prevalensi asma rendah antara lain Eropa Timur, Indonesia, Yunani, Cina, Taiwan dan India. Studi ISAAC tersebut menunjukkan Cina, Indonesia dan India mempunyai prevalensi asma terendah (< 5%).2 Berdasarkan pada penelitian epidemiologi asma dan alergi di Jakarta (2006), didapatkan
prevalensi asma adalah 13,9%.3 Angka ini meningkat
dibandingkan beberapa studi sebelumnya di Jakarta yang
menunjukkan prevalensi asma berkisar antara 7-9%.4-6
Demikian pula halnya dengan prevalensi rinitis alergi yang meningkat dari 9% menjadi 12,3%, dan peningkatan prevalensi dermatitis atopi dari 4% menjadi 24,6%.3-6
Peningkatan prevalensi penyakit alergi ini membutuhkan perhatian khusus karena perkembangan penyakit alergi sangat
mempengaruhi kualiatas perkembangan dan pertumbuhan anak. Tatalaksana yang komprehensif dibutuhkan dalam penanganan penyakit alergi, terutama dalam pemahaman pentingnya pencegahan yang sangat efektif bila dilakukan dalam masa awal kehidupan dan pemahaman bahwa respons inflamasi mendasari reaksi alergi. Oleh karena itu, tatalaksana medikamentosa yang diberikan juga harus berdasarkan pada reaksi inflamasi alergi yang mendasari penyakit.
Inflamasi Alergi
Pada individu yang rentan terhadap alergi, paparan dengan alergen (antigen) menghasilkan aktivasi sel Th2 dan produksi antibodi IgE. Reaksi kerusakan jaringan yang disebabkan oleh respons imun tersebut merupakan reaksi hipersensitivitas dan istilah alergi sering disamakan dengan hipersensitivitas segera (tipe I).7
Antibodi IgE terikat dengan afinitas tinggi melalui bagian Fc dengan reseptor FcεRI di sel mast. Proses pelapisan (coating) sel mast oleh IgE ini disebut sensitisasi, karena pelapisan ini menyebabkan sel mast sensitif terhadap aktivasi bila terjadi paparan ulang antigen. Selama fase sensitisasi awal, tidak terdapat reaksi kerusakan pada pejamu yang berlebihan. Apabila sel mast yang tersensitisasi oleh IgE terpapar kembali dengan antigen, sel akan teraktivasi untuk mengeluarkan mediator. Aktivasi sel mast terjadi sebagai hasil ikatan alergen dengan 2 atau lebih antibodi IgE di sel mast. Setelah adanya ikatan silang, maka akan memicu signal biokimia yang menyebabkan degranulasi cepat, sintesis dan sekresi mediator lipid dan sintesis dan sekresi sitokin.8,9
Mediator penting pada sel mast adalah amin vasoaktif dan protease yang berasal dari granul, produk metabolisme asam arakidonat dan sitokin (TNF-α, IL-1, IL-4, IL-5 dan IL-6 dan kemokin termasuk IL-8). Mediator amin utama, yaitu histamin
menyebabkan dilatasi pembuluh darah kecil, meningkatkan permeabilitas vaskular dan menstimulasi kontraksi otot polos transient (bronkokonstriksi). Produk sel mast, terutama histamin, berperan penting dalam respon alergi fase cepat. Protease akan menyebabkan kerusakan jaringan lokal. Metabolit asam arakidonat termasuk prostaglandin (jalur siklooksigenase), menyebabkan dilatasi vaskular, dan leukotrien (jalur lipooksigenase), menyebabkan kontraksi otot polos yang memanjang. Sitokin akan menginduksi inflamasi lokal (reaksi fase lambat).7,9,10
Sitokin TNF dan IL-4 akan menyebabkan inflamasi melalui
peran neutrofil dan eosinofil.9 Selama paparan alergen
persisten, terjadi akumulasi neutrofil dan eosinofil di jaringan.7,8 Aktivasi eosinofil akan menyebabkan pelepasan protein granul sekunder toksik. Protein tersebut berpotensi efek sitotoksik pada jaringan pejamu. Kerusakan proinflamasi lebih lanjut disebabkan oleh pembentukan radikal oksigen tidak stabil yang dibentuk oleh respiratory burst oxidase apparatus. Neutrofil teraktivasi dapat melepaskan berbagai produk inflamasi, yang juga dapat menyebabkan kerusakan jaringan.10
Migrasi leukosit (sel inflamasi) ke tempat inflamasi tergantung pada tiga langkah yang diperantarai oleh molekul adhesi, yaitu 1) leucocyte rolling di endotel yang teraktivasi, merupakan selectin-dependent, 2) adhesi ketat leukosit pada endotel, merupakan integrin-dependent dan 3) migrasi transendotelial yang terjadi di bawah pengaruh sitokin (kemokin).7 Beberapa interaksi molekul adhesi terlibat dalam fase adhesi ini, termasuk LFA-1(CD11a/CD18) dengan intracellular adhesion molecule-1 (1, CD54) dan ICAM-2, CR-3(CD11b/CD18) dengan ICAM-1 dan VLA-4(CD41d/ CD29), kelompok integrin, dengan vascular cell adhesion molecular-1 (VCAM-1). Setelah sel inflamasi meninggalkan kompartemen vaskular, sel tersebut akan menuju ke lokasi reaksi inflamasi melalui matriks ekstraseluler.11
Tatalaksana
Secara garis besar, tatalaksana penyakit alergi pada anak terbagi dalam 3 langkah, yaitu penghindaran alergen pencetus dan kontrol lingkungan, farmakoterapi dan imunoterapi. Penghindaran alergen dan kontrol lingkungan merupakan upaya lini terdepan dalam mengatasi penyakit alergi pada anak dan sangat berkaitan dengan pencegahan. Strategi pencegahan dapat dibagi dalam tiga tahap, yaitu primer, sekunder dan tersier. Pencegahan primer ditujukan pada individu yang masih sehat, belum terbukti adanya sensitisasi terhadap alergen yang dapat menimbulkan penyakit, namun mempunyai risiko untuk timbul alergi. Pencegahan ini bertujuan menghambat sensitisasi imunologi oleh alergen terutama mencegah terbentuknya IgE. Saat penghindaran dilakukan sejak pranatal pada janin yang dari keluarga yang mempunyai bakat atopik.1,12
Pencegahan sekunder ditujukan pada anak yang belum memilik fenotip alergi atau manifestasi alergi, namun mempunyai petanda (sensitisasi alergi) yang menunjukkan adanya risiko tinggi untuk timbul manifestasi alergi. Pencegahan ini bertujuan untuk menekan timbulnya penyakit setelah sensitisasi. Keadaan sensitisasi diketahui dengan cara pemeriksaan IgE spesifik dalam serum darah, darah tali pusat
Secara garis besar,
tatalaksana
penyakit alergi pada anak
terbagi dalam 3 langkah, yaitu
penghindaran alergen
pencetus
dan
kontrol
lingkungan, farmakoterapi
dan
imunoterapi.
Penghindaran
alergen dan kontrol lingkungan
merupakan upaya lini terdepan
dalam mengatasi penyakit alergi
pada anak dan sangat berkaitan
dengan pencegahan.
Strategi
pencegahan
dapat dibagi dalam
tiga tahap, yaitu
primer,
atau uji kulit. Pencegahan ini difokuskan pada bayi baru lahir sampai anak usia 2-3 tahun.1,12
Pencegahan tersier dilakukan setelah terjadi penyakit alergi namun belum timbul gejala asma, yang biasa terjadi 6 bulan sampai 3-4 tahun. Pencegahan ini bertujuan untuk mencegah dampak lanjutan setelah timbulnya alergi atau timbulnya allergic march. Allergic march merupakan perjalanan penyakit alergi yang alamiah yang akan berubah sesuai dengan usia. Pencegahan ini dilakukan pada anak yang sudah mengalami sensitisasi dan menunjukkan manifestasi penyakit yang masih dini. Sasarannya adalah bayi dan anak yang telah menunjukan gejala klinis dari alergi atau mereka yang positif terhadap skin prick test atau peningkatan antibodi IgE terhadap aeroalergen.12 Antihistamin
Terapi reaksi hipersensitivitas segera bertujuan untuk menghambat degranulasi sel mast, melawan efek mediator sel mast dan mengurangi inflamasi. Histamin merupakan mediator utama dalam reaksi hipersensitivitas atau reaksi alergi. Oleh karena itu, salah satu terapi utama dalam alergi adalah pemberian antihistamin. Antihistamin merupakan antagonis reseptor histamin yang mempunyai sifat menghambat efek histamin. Antihistamin mempunyai struktur yang menyerupai
histamin sehingga dapat menempati reseptor histamin.13
(Gambar 1)
Gambar 1. Mekanisme kerja antihistamin (Dikutip dengan modifikasi dari Church MK, 2004)
Menurut jenis reseptornya, golongan antihistamin dapat dibagi 2 kelompok yaitu yang menghambat reseptor histamin-1 (Hhistamin-1) dan yang menghambat reseptor histamin-2 (H2). Antagonis reseptor H1 (AH1) telah digunakan secara luas untuk
terapi kelainan alergi.14 Kelompok antihistamin-1 (AH1)
mempunyai tiga generasi, yaitu generasi pertama, kedua, dan ketiga. Generasi pertama AH1 juga dikenal sebagai AH1 klasik bersifat lipofilik yang mampu menembus sawar darah otak, sehingga menimbulkan efek sedasi. Selain itu, AH1 generasi pertama bersifat menghambat reseptor muskarinik sehingga menimbulkan efek antikolinergik. Pada orang yang sensitif atau orang tua dapat tampak pada gangguan penglihatan, retensi urin, pusing, takikardi dan gangguan kesadaran.15
Antagonis reseptor H1 generasi kedua mempunyai indeks terapetik yang lebih disukai dibandingkan generasi pertama, karena tidak melintasi sawar darah-otak (kelarutan dalam
lemak rendah), sehingga efek sedasi menjadi berkurang, dan selektif terhadap reseptor H1, sehingga menghasilkan efek samping yang sedikit karena aktivasi reseptor muskarinik, adrenergik alfa maupun reseptor-reseptor fisiologik yang lain juga berkurang.14,15
Generasi ketiga merupakan perkembangan dari antihistamin generasi pendahulunya. Levocetirizine merupakan suatu antihistamin baru dari suatu evolusi antihistamin, dari buklizin ke hidroksizin dan dari cetirizine ke levocetirizine dalam kelompok piperazin.13
Cetirizine
Cetirizine merupakan antihistamin yang sangat kuat dan spesifik. Cetirizine merupakan antagonis reseptor H1 generasi kedua, yang merupakan metabolit aktif asam karboksilat dari antagonis reseptor H1 generasi pertama yaitu hidroksizin.13
Efek samping yang dapat muncul yaitu somnolen yang bersifat dose-dependent, sakit kepala dan masalah saluran cerna. Efek sistem saraf pusat (SSP) dari antihistamin generasi kedua jarang terjadi, dibandingkan dengan generasi pertama dan tidak berinteraksi dengan agen aktif lain di SSP seperti diazepam. Cetirizine juga tidak mempunyai efek samping terhadap hepar dan jantung. Metabolit cetirizine tidak diolah di hepar dan diekskresi ke urin dan feses dalam bentuk yang tidak berubah. Penggunaan cetirizine selama 7 hari tidak memperpanjang interval QTc dibandingkan plasebo.14
Reseptor H1 tersebar luas di berbagai sel, seperti sel otot polos, sel endotel, sel mast, basofil dan eosinofil. Semua reseptor tersebut mudah dicapai dari sirkulasi darah. Oleh karena itu, antagonis reseptor H1 tidak memerlukan distribusi jaringan yang luas untuk aksi kerjanya. Pada sel mast dan basofil, hasil akhirnya adalah pelepasan mediator. Target antagonis H1 adalah reseptor eksternal, sehingga efek farmakologik dicapai tanpa penetrasi sel dan tidak memerlukan penembusan membran sel atau sitosol. Sebagian besar antagonis H1 tidak dapat melewati sawar darah otak, namun beberapa obat dengan liposolubilitas yang tinggi dapat melewati sawar tersebut. Dengan adanya volume distribusi yang rendah dari antagonis H1, maka penembusan sawar darah otak dapat diminimalisasi.16 Selain mempunyai efek antagonis terhadap reseptor H1, cetirizine juga mempunyai efek antiinflamasi. Efek antiinflamasi cetirizine terutama ditunjukkan melalui penghambatan migrasi eosinofil (in vivo) ke lokasi kulit yang terstimulasi oleh alergen dan secara in vitro menghambat kemotaksis eosinofil dan adhesi ke sel endotel kultur serta aktivasi platelet, juga mempengaruhi platelet dan neutrofil.11,14,15 Efek antiinflamasi cetirizine juga tercapai melalui penghambatan ekspresi ICAM-1 in vivo di nasal dan epitel konjungtiva selama inflamasi alergi dan penarikan eosinofil di kulit, hidung, mata dan paru.17 Efek tersebut bukan disebabkan oleh kemampuan cetirizine menghambat efek histamin, karena histamin tidak menyebabkan ekspresi ICAM-1. Oleh karena itu, dalam hal ini efek cetirizine bukan merupakan efek antihistamin
“klasik”, namun lebih menunjukkan efek antiinflamasi.11
Cetirizine dibuktikan dapat mengontrol inflamasi minimal
persisten.13 Antihistamin tidak berperan dalam asma,
sedangkan cetirizine, yang dapat menghambat pengumpulan eosinofil, mempunyai potensi untuk mencegah perkembangan
penyakit tersebut. Berdasarkan studi Early Treatment of the Atopic Child (ETAC) didapatkan hasil bahwa timbulnya asma dapat dicegah melalui penggunaan cetirizine pada bayi dengan dermatitis atopi dan terbukti tersensitisasi dengan polen rumput atau tungau debu rumah. Beberapa studi menunjukkan sensitisasi terhadap polen rumput pada bayi merupakan prediktor kuat terhadap onset asma.17
Pada suatu studi, didapatkan potensi loratadin dalam menghambat reaksi “wheal and flare” dan lama kerja merupakan dose-dependent. Namun, bila dibandingkan dengan cetirizine, loratadin membutuhkan dosis yang lebih besar dibandingkan cetirizine untuk memberikan efek yang sama, sehingga cetirizine mempunyai potensi sampai 6 kali lebih kuat dibandingkan loratadin. Hal ini juga berlaku apabila cetirizine dibandingkan dengan antihistamin generasi kedua lainnya. Perbedaan ini disebabkan oleh proses metabolisme. Komponen cetirizine tidak dimetabolisme di hati, sehingga efek terapetiknya tidak tergantung pada biotransformasi. Obat lain seperti terfenadine, secara cepat dimetabolisme di hati, dan hasil metabolit tersebut yang memberikan efek H1. Oleh karena itu, kemampuan metabolisme obat-obat tersebut sangat bervariasi di antara setiap orang.18
Studi lain juga membandingkan efek kerja klorfeniramin, terfenadine, cetirizine, siproheptadin dan astemizol dengan plasebo dalam bronkonstriksi yang diinduksi histamin dan skin wheal pada pasien asma. Semua antihistamin menunjukkan proteksi yang bermakna terhadap bronkokonstriksi. Namun proteksi terhadap skin wheal yang diinduksi histamin hanya diberikan oleh cetirizine dan terfenadine. Selain itu, efikasi protektif terhadap respons saluran nafas paling tinggi dimiliki oleh cetirizine, diikuti oleh terfenadine. Apabila dibandingkan dengan plasebo, cetirizine dan terfenadine tidak memberikan efek samping mengantuk dan mulut kering.18
Studi dengan menggunakan stimulasi alergen kutaneus pada subjek alergi menunjukkan cetirizine tidak hanya menghambat respon awal yang tergantung pada mediator oleh sel mast, namun juga infiltrasi eosinofil selama respons fase lambat. Cetirizine merupakan obat yang paling baik
Studi dengan menggunakan stimulasi
alergen kutaneus pada subjek alergi
menunjukkan cetirizine tidak hanya
menghambat respons awal yang
tergantung pada mediator oleh sel mast,
namun juga infiltrasi eosinofil selama
respons fase lambat. Cetirizine
merupakan obat yang paling baik dalam
efek antiinflamasi karena adanya
penghambatan influks eosinofil selama
reaksi fase lambat.
18dalam efek antiinflamasi karena adanya penghambatan influks eosinofil selama reaksi fase lambat.18
Kortikosteroid
Mediator inflamasi yang diproduksi pada penyakit alergi antara lain mediator lipid, peptida inflamasi, kemokin, sitokin dan faktor pertumbuhan. Selain itu, juga terdapat bukti bahwa sel struktural dari saluran nafas, seperti sel epitel, sel otot polos, sel endotel dan fibroblas merupakan sumber utama mediator inflamasi pada asma.
Pada tingkat selular, kortikosteroid mengurangi jumlah sel inflamasi di saluran nafas, termasuk eosinofil, limfosit T, sel mast dan sel dendritik. Efek ini dicapai dengan menghambat rekrutmen atau penarikan sel inflamasi tersebut ke saluran nafas melalui penekanan produksi mediator kemotaktik dan molekul adhesi, serta juga menghambat keberadaan (survival) sel inflamasi di saluran nafas, seperti eosinofil, limfosit T dan sel mast. Oleh karena itu, kortikosteroid mempunyai efek antiinflamasi spektrum luas, melalui inhibisi mediator inflamasi dan sel inflamasi serta sel struktural (sel epitel, endotel, otot polos saluran nafas dan kelenjar mukus), sehingga berdampak pada berkurangnya infiltrat atau aktivasi inflamasi, stabilisasi kebocoran vaskular, penurunan produksi mukus dan peningkatan respons β-adrenergik.19,20 (Gambar 2)
Gambar 2. Peran kortikosteroid sebagai antiinflamasi19
Pada tingkat molekular, kortikosteroid secara difus menembus membran sel target dan terikat dengan reseptor glukokortikoid di sitoplasma. Reseptor tersebut secara normal terikat dengan protein pengantar, seperti heat shock
protein-90 (HSP90) dan Fκ-binding protein, yang
melindungi reseptor dan mencegah lokalisasi nuklearnya dengan cara menutupi lokasi reseptor yang diperlukan untuk transpor dari membran nuklear ke nukleus. Setelah kortikosteroid terikat dengan glukokortikoid, terjadi perubahan struktur reseptor yang menghasilkan disosiasi molekular protein pengantar, sehingga memaparkan signal lokalisasi nuklear ke glukokortikoid. Pemaparan ini menghasilkan transpor cepat kompleks
kortikosteroid-glukokortikoid teraktivasi ke nukleus, yang akan terikat dengan DNA dan menyebabkan perubahan pada transkripsi gen.19
Sebagian besar protein inflamasi diregulasi oleh transkripsi gen, yang diatur oleh faktor transkripsi
proinflamasi, seperti nuclear factor-κB (NF-κB) dan
activator protein-1 (AP-1), yang biasanya teraktivasi di saluran nafas yang mengalami asma. Dalam mengatur inflamasi, efek utama glukokortikoid terutama berasal d a r i i n t e r a k s i g l u k o k o r t i k o i d t e r a k t i v a s i d e n g a n t r a n s k r i p s i f a k t o r n u k l e a r N F -κB d a n A P - 1 , y a n g menyebabkan inhibisi ekspresi molekul proinflamasi ( t r a n s - r e p p r e s i v e ) , s e h i n g g a m e n e k a n g e n y a n g mengkode protein inflamasi tersebut, antara lain gen yang mengkode sitokin (IL-1, IL-2, IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, IL-9, IL-11, IL-12, IL-13, IL-16, IL-17, IL-18, TNF-α, GM-CSF), k e m o k i n , m o l e k u l a d e s i ( I C A M - 1 , V C A M - 1 ) , e n z i m
inflamasi, reseptor inflamasi dan peptida.1 9 Beberapa
studi juga menunjukkan bahwa glukokortikoid juga dapat
menghambat ekspresi ICAM-1 yang diinduksi oleh IL-1.11
Dengan adanya efek penekanan produksi sitokin dan p e l e p a s a n m e d i a t o r m a k a d a p a t m e n g u r a n g i r e a k s i inflamasi alergi. Efek trans-activation di sisi lain akan menginduksi transkripsi gen yang terlibat dalam efek yang tidak diinginkan dalam terapi kortikosteroid.19
Pemakaian kortikosteroid pada inflamasi alergi dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik dari segi obat maupun individu. Faktor yang berhubungan dengan obat, antara lain: 1) jenis pemakaian obat, oral atau topikal,
2) besarnya absorpsi sistemik yang dikaitkan dengan rute pemberian dan efek samping klinis,
3) dosis, durasi dan jadwal pemberian,
4) perbedaan farmakokinetik dan farmakodinamik.
Sedangkan faktor yang berhubungan dengan individu, antara lain:
1) respons penyakit terhadap kortikosteroid, 2) perubahan derajat keparahan penyakit, 3) risiko terapi yang tidak optimal, 4) kerentanan terhadap efek samping.21
Pemakaian kortikosteroid topikal memberikan target yang selektif pada saluran nafas, sehingga konsentrasi tinggi lokal tidak disertai dengan paparan sistemik yang tinggi. Namun efek samping yang muncul dapat berupa mulut kering, kandidiasis oral, perdarahan pada penggunaan intranasal dan disfonia pada penggunaan inhalasi. Penggunaan obat topikal juga membutuhkan saluran nafas proksimal yang paten agar obat dapat mencapai jaringan target. Pemberian topikal lebih dipilih pada keadaan yang kronik karena tidak memberikan efek samping sistemik.21
Pemberian topikal juga dapat diserap ke sirkulasi sistemik melalui saluran cerna dan memberikan efek samping sistemik, meskipun jarang. Hal ini tergantung pada bioavailabilitas oral (penyerapan usus dan jalur pertama metabolisme hepatik). Kortikosteroid inhalasi meliputi beklometason dipropionat, budesonid, siklesonid, flunisonid, flutikason propionat, mometason furoat dan triamsinolon
asetat.2 1 Sebagian besar agen, seperti beklometason
dipropionat, budesonid, flunisonid dan triamsinolon asetat
dapat diabsorbsi di saluran cerna ke sirkulasi sistemik dan mengalami jalur pertama metabolisme hepatik. Hasil bioavaiabilitas dapat mencapai 50%. Agen flutikason propionat dan mometason furoat juga diserap dengan baik di saluran cerna, namun hanya sebagian kecil yang mencapai sirkulasi portal dan dimetabolisme. Availabiltas sistemik yang rendah tersebut penting pada anak yang sedang tumbuh dan pasien yang sudah menggunakan kortikosteroid inhalan untuk asma.22 Efek samping kortikosteroid intranasal atau inhalasi dosis rekomendasi terhadap aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal atau gangguan metabolisme tulang relatif rendah. Selain itu, dari hasil beberapa penelitian juga tidak didapatkan adanya retardasi pertumbuhan ataupun glaukoma akibat penggunaan kortikosteroid tersebut. Efek samping lokal dapat berupa iritasi nasal, kekeringan dan epistaksis. Di sisi lain, kortikosteroid sistemik mempunyai efek hipotensi, hiperglikemia, kenaikan berat badan, purpura, atrofi otot dan gangguan pertumbuhan, sehingga sedapat mungkin dihindari pada terapi inflamasi saluran nafas atas, namun risiko ini juga tergantung pada durasi penggunaan.23
Pada pemberian kortikosteroid oral, obat mencapai target saluran nafas setelah absorpsi di saluran cerna dan distribusi
melalui sirkulasi sistemik. Distribusi ini tidak mencapai jaringan target dengan selektif, sehingga memerlukan dosis yang lebih besar dan risiko efek samping yang besar. Namun pemberian oral dapat digunakan pada keadaan akut. Untuk memperoleh manfaat yang baik pada sirkulasi sistemik, obat harus diserap di usus dan mempunyai jalur pertama metabolisme hepatik (hepatic first-pass metabolism) yang rendah.21
Perbedaan golongan kortikosteroid oral terletak pada
Golongan triamsinolon merupakan
kortikosteroid oral yang mempunyai
rasa tidak pahit, sehingga dapat
berguna dalam kepatuhan anak
dalam berobat. Selain itu,
kepatuhan yang baik akan
menghasilkan pengobatan
yang efisien, terutama dari segi
biaya pengobatan
(cost-efficient).
25
Secara garis besar,
pemberian kortikosteroid pada
inflamasi alergi tergantung pada
beberapa faktor yang menentukan
manfaat dan risiko pada tiap anak.
aktivitas mineralokortikoid dan glukokortikoid. Aktivitas mineralkortikoid tidak mempunyai efek dalam inflamasi alergi dan dapat menyebabkan efek samping, antara lain retensi air dan natrium yang menyebabkan edema dan hipertensi, serta peningkatan ekskresi kalium dengan risiko alkalosis hipokalemik. Hidrokortison mempunyai efek mineralokortikoid terbesar dan lebih banyak efek samping dibandingkan kortikosteroid sintetik, seperti prednisolon.21 Golongan triamsinolon dan deksametason mempunyai aktivitas mineralokortikoid yang paling rendah, sehingga berpotensi rendah dalam menyebabkan retensi natrium dan efek samping yang lain. Golongan triamsinolon juga mempunyai durasi kerja sedang (intermediate) dan potensi antiinflamasi yang sesuai untuk mengatasi gejala alergi akut.24 Hal menarik yang perlu diperhatikan pada pemberian kortikosteroid oral pada anak, khususnya pada penyakit alergi, adalah pemilihan bentuk formula dan rasa. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa rasa obat (palatibility) yang diikuti dengan persepsi rasa yang baik akan meningkatkan kepatuhan (compliance) anak dalam pengobatan dengan
kortikosteroid.25,26 Golongan triamsinolon merupakan
kortikosteroid oral yang mempunyai rasa tidak pahit, sehingga dapat berguna dalam kepatuhan anak dalam berobat. Selain itu, kepatuhan yang baik akan menghasilkan pengobatan yang efisien, terutama dari segi biaya pengobatan
(cost-efficient).25 Secara garis besar, pemberian
kortikosteroid pada inflamasi alergi tergantung pada beberapa faktor yang menentukan manfaat dan risiko pada tiap anak.
Penutup
Penyakit alergi pada anak membutuhkan perhatian khusus karena dapat mempengaruhi kualitas pertumbuhan dan perkembangan anak. Pencegahan dini, penghindaran alergen, dan kontrol lingkungan merupakan lini terdepan dalam tatalaksana penyakit alergi. Adanya reaksi hipersensitivitas dan inflamasi yang mendasari reaksi alergi menunjukkan bahwa penyakit alergi membutuhkan tatalaksana farmakoterapi yang mengatasi reaksi inflamasi alergi terebut. Cetirizine mempunyai keunggulan dibandingkan antihistamin klasik lain karena mempunyai efek antiinflamasi, terutama melalui penghambatan proses kemotaksis sel inflamasi. Hasil studi ETAC juga menunjukkan cetirizine mempunyai efektivitas yang tinggi dengan efek samping yang minimal. Proses kemotaksis sel inflamasi juga dihambat oleh kortikosteroid. Efek antiinflamasi kortikosteroid juga dicapai melalui penghambatan mediator atau sitokin proinflamasi yang mencegah reaksi inflamasi alergi berlanjut. Triamsinolon merupakan kortikosteroid oral yang dapat digunakan pada anak karena mempunyai efek antiinflamasi, efek samping retensi natrium yang rendah dan rasa yang tidak pahit.
Daftar Pustaka
1. Wahn U, von Mutius E. Childhood risk factors for atopy and the importance of early intervention. J Allergy Clin Immunol 2001;107:567-74
2. Steering Committee. Worldwide variation in prevalence of symptoms of
asthma, allergic rhinoconjunctivitis, and atopic eczema: ISAAC. The International Study of Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC) Steering Committee. Lancet 1998;351:1225-32
3. Munasir Z, Akib AAP, Siregar SP, et al. Epidemiology of asthma and allergy in early life 2006 (unpublished)
4. Siregar PS, Suyoko D, Akib A, et al. Prevalensi penyakit atopi pada anak di Kelurahan Utan Kayu. Disampaikan pada Simposium Kualitas Hidup di Perkotaan, Aspek Penyakit Alergi, Pokja Imunologi FKUI di Jakarta, 8 Maret 1990
5. Djayanto B. Prevalensi asma pada anak di sekolah dasar Yayasan Pendidikan Islam Al-Azhar, Jl. Sisingamangaraja Jakarta Selatan. Tesis, 1991 6. Yunus F, Antaria R, Rasmin M, et al. Asthma prevalence among high school
students in East Jakarta, 2001, based on ISAAC questionnaire. Med J Indonesia 2003:12:178-86
7. Chapel H, Haeney M, Misbah S, et al. Basic components: structure and function. In: Essentials of Clinical Immunology. Edisi ke-4. London: Blackwell Science Ltd, 1999.p.11-17
8. Fireman P. Immunology of allergic disorders. In: Fireman P, Slavin RG, editor. Atlas of allergies. Philadelphia: J.B. Lippincott Company, 1991.p.2-23 9. Abbas AK, Lichtman AH. Hypersensitivity diseases. In: Basic
Immunology. Edisi ke-2. Philadelphia: Saunders, 2004.p.193-200 10. Rothenberg ME. Inflammatory effector cells/cell migration. In: Leung
DYM, Sampson HA, Geha RS, Szefler SJ, editors. Pediatric Allergy Principles and Practice. St. Louis: Mosby, 2003.p.51-9
11. Bagnasco M, Canonica GW. Influence of H1-receptor antagonists on adhesion molecules and cellular traffic. Allergy 1995; 50:17-23 12. Munasir Z. The importance of early prevention of allergy disease.
Disampaikan pada KONIKA XIII di Bandung, 4-7 Juli 2005
13. Munasir Z. Keamanan dan efikasi pemakaian setirizin pada anak. 2005. 14. Simons FER. A new classification of H1-receptor antagonists. Allergy
1995; 50:7-11
15. Sundaru H. Antihistamin generasi kedua, apa yang ingin kita ketahui ?. Disampaikan pada Symposium Current Opinion in Allergy & Clinical Immunology, Divisi Alergi-Imunologi Klinik Departemen Ilmu Peyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM di Jakarta, 24-25 Juli 2003
16. Tillement J-P. A low distribution volume as a determinant of efficacy and safety for histamine (H1) antagonists. Allergy 1995; 50:12-6 17. ETAC® Study Group. Allergic factors associated with the development
of asthma and the influence of cetirizine in a double-blind, randomised, placebo-controlled trial : First results of ETAC®. Pediatric Allergy Immunol 1998; 9:116-24
18. Juhlin LA. A comparison of the pharmacodynamics of H1-receptor antagonists as assessed by the induced wheal-and-flare model. Allergy 1995; 50:24-30
19. Barnes PJ. Molecular mechanisms and cellular effects of glucocorticosteroids. Immunol Allergy Clin N Am 2005; 25:451-68 20. Lemanske RF, Busse WW, Wis M. Asthma. J Allergy Clin Immunol 2003;
111:511-3
21. Mortimer KJ, Tattersfield AE. Benefit versus risk for oral, inhaled, and nasal glucocorticosteroids. Immunol Allergy Clin N Am 2005; 25:523-39 22. Gentile DA, Shapiro G. Allergic rhinitis. In: Leung DYM, Sampson HA, Geha
RS, Szefler SJ, editors. In: Pediatric Allergy Principles and Practice. St. Louis: Mosby, 2003.p.293-6
23. van Cauwenberge P, van Hoecke H, Vamdenbulcke L, et al. Glucocorticosteroids in allergic inflammation: Clinical benefits in allergic rhinitis, rhinosinusitis, and otitis media. Immunol Allergy Clin N Am 2005; 25:489-509
24. Schimmer BP, Parker KL. Adrenocorticotropic hormone, adrenocortical steroids and their synthetic analogs, inhibitor of the synthesis and actions of adrenocortical hormones. In: Goodman LS, Gilman A, editor. Goodman and Gilman’s The Pharmacological Basis of Theurapeutics. Edisi ke-10. New York: Macmillan Publishing Company, 2001.p.1657
25. Hutto CJ, Bratton TH. Palatability and cost comparison of five liquid corticosteroid formulations. J Pediatr Oncol Nurs 1999; 16:74-7 26. Norton SA. Taste comparison of corticosteroid suspensions. Journal
of Drugs in Dermatology 2006. Available at http://www.encyclopedia.com Diakses tanggal 10 Maret 2007