• Tidak ada hasil yang ditemukan

MENGGAPAI KEHIDUPAN ( Resistensi Pedagang Kaki Lima Di Jalan Lingkar Salatiga Terhadap Peraturan Daerah Kota Salatiga) Oleh : WINANTI ANGGAR SIWI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MENGGAPAI KEHIDUPAN ( Resistensi Pedagang Kaki Lima Di Jalan Lingkar Salatiga Terhadap Peraturan Daerah Kota Salatiga) Oleh : WINANTI ANGGAR SIWI"

Copied!
56
0
0

Teks penuh

(1)

MENGGAPAI KEHIDUPAN

( Resistensi Pedagang Kaki Lima Di Jalan Lingkar Salatiga Terhadap Peraturan Daerah Kota Salatiga)

Oleh :

WINANTI ANGGAR SIWI NIM : 222010022

KERTAS KERJA

Diajukan Kepada Fakultas Ekonomika dan Bisnis Guna Memenuhi Salah Satu Syarat

Guna Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi

FAKULTAS : EKONOMIKA DAN BISNIS

PROGRAM STUDI : ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS PROGRAM ILMU EKONOMI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA

(2)
(3)
(4)

iv SALATIGA

2015

MOTTO

Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa

yang ada padaKu mengenai kamu, yaitu rancangan

damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan,

untuk memberikan kepadamu hari depan yang

penuh harapan

(Yeremia 29 : 11)

" Pekerjaan besar tidak dihasilkan dari kekuatan,

melainkan oleh ketekunan "

(Samuel Johnson)

“Cobalah tidak untuk menjadi seseorang yang sukses, tetapi

menjadi seseorang yang bernilai”

(5)

ABSTRACT

Salatiga is a small city between Solo and Semarang, beautiful city that still far feom the crowded such as Semarang.The ringroad has been built since 2001, but it started to be used for connection Solo and Semarang since 2011. The goverment build this road to reduce the traffic inside the city. Based on Perda No. 4 Th. 2011 the area around roads and roadsides was reserved for green areas. Latter known as RTH, but nowadays it transformed into trade places, especially on Sunday. The street vendors ilegally built temporary stalls, some vendors have been built permanent stalls. This study use qualitative method with case study. The data analysis technique for this research is qualitative descriptive analysis. In related to city government laws (Perda), for the best the government must be firm to manage the street vendors the breaks the law to transform back the ringroad into what it should be used.

(6)

ABSTRAKSI

Kota Salatiga merupakan kota kecil ditengah Kota Solo dan Kota Semarang, keberadaannya pun masih sangat asri dan jauh dari keramaian seperti di Kota besar. Pembangunan Jalan Lingkar Salatiga sejak tahun 2001, namun mulai dioperasikan tahun 2011 oleh Pemerintah Daerah Salatiga ini menghubungkan jalan dari arah Solo dan Semarang, agar menjadi lebih pendek jaraknya dan untuk menghindari kemacetan di dalam kota. Menurut Perda. No.4 Th. 2011 Sekitar pinggir jalan atau bahu jalan di Jalan Lingkar Salatiga, menurut Peraturan Daerah adalah ruang terbuka hijau yang selanjutnya disebut RTH. Namun, fakta yang dapat terlihat adalah para pedagang kaki lima memakai tempat yang diperuntukan sebagai ruang terbuka hijau (RTH) menjadi lokasi berdagang. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi resistensi seperti apa yang dilakukan pedagang kaki lima (PKL) untuk melawan Perda, mengidentifikasi bentuk kesepakatan yang dibuat oleh pedagang kaki lima (PKL) dan Pemerintah Kota Salatiga. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan Study Kasus. Teknik analisa data dalam penelitian ini dilakukan dengan analisis deskriptif kualitatif. Berkaitan dengan Perda yang ada, sebaiknya Pemkot harus tegas dalam mengatur Pedagang Kaki Lima yang tidak sesuai dengan aturan guna penertiban dan menjadikan Jalan Lingkar Salatiga sesuai dengan apa yang diharapkan, agar Perda yang sudah dirancang tidak hanya menjadi wacana saja.

Kata kunci: Resistensi, Pedagang Kaki Lima, Jalan Lingkar Salatiga.

(7)

v

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan pada Tuhan Yesus Kristus karena atas berkat dan kasihNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan ini guna memenuhi syarat dalam menempuh ujian Sarjana Ekonomi Strata 1 pada program studi Ilmu Ekonomi di Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga. Penelitian ini berfokus pada resistensi yang dilakukan pedagang di Jalan Lingkar Salatiga terhadap peraturan daerah Kota Salatiga dan bentuk kesepakatan yang dibuat oleh pedagang kaki lima (PKL) dan Pemerintah kota Salatiga. Analisis ini dilakukan untuk mengidentifikasi resistensi dan bentuk kesepakatan yang dibuat oleh pedagang kaki lima (PKL) dan Pemerintah Kota Salatiga.

Hasilnya menunjukkan bahwa rencana Pemkot terkait pengaturan Jalan Lingkar Salatiga belum berjalan sesuai dengan harapan. Pedagang sendiri enggan untuk pindah lokasi berjualan mereka ke tempat lain. Karena menurut pedagang, Jalan Lingkar Salatiga sangat membawa untung besar dan menaikan pendapatan mereka.

Penulis menyadari bahwa ada banyak kekurangan dan kelemahan dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu penulis mengharapkan adanya masukan berupa kritik maupun saran dari pembaca agar kertas kerja ini dapat lebih baik lagi. Akhir kata, penulis berharap kertas kerja ini dapat memberi manfaat dan pengetahuan baru bagi semua pihak yang membutuhkan.

Salatiga, Januari 2015 Penulis

(8)

vi

UCAPAN TERIMAKASIH

Terima kasih sebesar-besarnya kepada Tuhan Yesus Kristus, karena atas berkatNya dan kasihNya sehingga proses penyusunan skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Dalam proses penyusunan skripsi ini penulis menyadari ada begitu banyak bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Maka pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih yang sebanyak-banyaknya kepada :

1. Prapto Yuwono, SE, ME selaku dosen pembimbing terimakasih atas segala bimbingan, waktu, pikiran serta kesabarannya dari awal proses penulisan sampai akhir penulisan skripsi ini.

2. Seluruh dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis UKSW yang telah membekali penulis dengan ilmu pengetahuan selama berkuliah di UKSW serta seluruh civitas akademika UKSW.

3. Kedua Orang Tua tercinta, Alm. Ayah yang selalu menjadi teladan bagi penulis, dan Ibu yang selalu mendoakan penulis, mendengarkan keluh kesah penulis, serta mendukung penulis di kondisi apapun dalam menyelesaikan studi S1 ini. Buat kedua adek Nerpati Palagan (Ambon) dan Kartika Asoka (Ika) yang menjadi penyemangat penulis dalam menyelesaikan studi S1. I Love You So Much and God Bless You All. 4. My Moodbooster Edward Mantong, terimakasih sudah menjadi

Partner yang solid dan setia dalam berbagi suka, duka, dan cerita. Thank you for your love and pray. I’m Lucky To Have You.

(9)

vii

5. My sistaa Linea Dorothea yang selalu setia menemani penulis penelitian, keluarga besar Anggardji di Salatiga yang selalu menyemangati penulis dalam menyelesaikan studi S1.

6. Sahabat dan teman-teman tersayang Andini Trisnaningsih, Arindo Salim, Reinhart Adrian Batuna, Yonatan Armen, Bowo, Ussi Handreta, “gue gak pernah lupa sama lo semua”, Andra Paramasastra, Adi Tunggul Nugroho, my braa Sekar H.B.D, Candra Puspita, Virgiana N.S a.k.a Nina, Harmashinta Rosedian, Mola, Kak Vyan, Kak Icha, Kak Tanti, Chika, Teman-teman Kost New Star dan keluarga besar CS Marchingblek. Terimakasih atas kebersamaannya selama ini. 7. Teman-teman Ekonomi dan Studi Pembangunan‟10, terima kasih atas kebersamaan selama masa kuliah. Tuhan memeberkati kalian semua. 8. Semua pihak yang telah membantu penulis, yang tidak dapat penulis

sebutkan satu persatu.

Penulis tidak dapat membalas semua kebaikan dan bantuan yang telah diberikan kepada penulis, hanya dengan doa dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya yang dapat penulis berikan. Akhirnya penulis berharap dan berdoa agar skripsi ini dapat bermanfaat bagi semuanya.

(10)

viii DAFTAR ISI

Halaman Judul ... i

Pernyataan Keaslian Karya Tulis ... ii

Lembar Pengesahan ... iii

Halaman Motto ... iv

Abstract ... v

Abstraksi ... vi

Kata Pengantar ... vii

Ucapan Terimakasih ... viii

Daftar Isi ... x Pendahuluan... ... 1 1.1 Pendahuluan ... 1 1.2 Persoalan Penelitian ... 7 1.3 Tujuan Penelitian ... 8 1.4 Batasan Masalah ... 8 1.3 Manfaat Penelitian... 8 Tinjauan Pustaka ... 9 2.1 Teori Strukturasi ... 9

2.2 Pengertian Pelaku Usaha ... 10

2.3 Pengertian pedagang Kaki Lima ... 11

2.4 Peraturan Menteri ... 11

2.5 Sifat Pedagang Kaki Lima ... 12

2.6 Motif Pedagang Kaki Lima... 14

2.7 Pola Aktivitas Pedagang Kaki Lima ... 16

2.8 Hak dan Kewajiban Pedagang Kaki Lima ... 16

2.9 Larangan Pedagang Kaki Lima ... 18

2.10 Kebijakan ... 19 2.11 Pengertian Resistensi ... 19 2.12 Pengertian Kesepakatan ... 20 2.13 Penelitian Sebelumnya ... 20 Metode Penelitian ... 23 3.1 Jenis Penelitian... 23 3.2 Lokasi Penelitian ... 23

3.3 Metode Pengumpulan Data ... 23

3.4 Teknik Analisis ... 24

Hasil Penelitian Dan Pembahasan ... 26

4.1 Peluang Ekonomi strategis ... 26

4.2 Rencana Pemda Salatiga Tentang Peraturan JLS ... 28

(11)

ix

4.4 Strukturasi Di Kalangan Pedagang Kaki Lima ... 37

4.5 Resistensi Pedagang Jalan Lingkar Salatiga ... 41

Penutup ... 45

5.1 Kesimpulan ... 45

5.2 Saran ... 46

(12)

1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Pendahuluan

Kota Salatiga merupakan kota kecil ditengah Kota Solo dan Kota Semarang, keberadaannya pun masih sangat asri dan jauh dari keramaian seperti di kota besar. Kota Salatiga saat ini terlihat sudah semakin berkembang menjadi lebih maju. Pembangunan Jalan Lingkar Salatiga sejak tahun 2001, namun mulai dioperasikan tahun 2011 oleh Pemerintah Daerah Salatiga ini menghubungkan jalan dari arah Solo dan Semarang, agar menjadi lebih pendek jaraknya dan untuk menghindari kemacetan di dalam kota. Jalan Lingkar Selatan Salatiga sepanjang 12 km dengan lebar 21 m yang termaksud bangunan saluran air ini didanai dari anggaran pendapatan dan belanja (APB) Kota Salatiga, APB Provinsi Jawa Tengah dan APBN di perkirakan menelan dana sebesar Rp 200 miliar (Herianto dan Utomo, 2012).

Keberadaan Jalan Lingkar Salatiga di lihat dapat mendorong perekonomian, dikarenakan lokasi yang saat ini telah menjadi Jalan Lingkar Salatiga, dahulu hanya hamparan tanah kosong dan terisolir yang menjadikan daerah sekitarnya sepi dan kurang di minati. Setelah adanya Jalan Lingkar Salatiga banyak orang yang berjualan di sekitar pinggir jalan tersebut, mulai dari pelaku usaha yang membuka Restoran, Rumah Makan sederhana hingga Pedagang Kaki Lima yang hanya dengan modal tenda biasa. Masyarakat mengasumsikan bahwa Jalan Lingkar Salatiga pilihan yang tepat dalam berjualan, karena masyarakat mempunyai presepsi bahwa jika berjualan di jalan besar dan

(13)

2

banyak pengendara yang lalu lalang disana maka bisa meraih keuntungan lebih besar.

Pedagang kaki lima merupakan jenis usaha kecil. Para pedagang kaki lima, umumnya berpendidikan rendah dan bermodalkan rendah, mereka pun tidak perlu keahlian dan tempat khusus untuk berjualan. Kebanyakan pedagang kaki lima bisa berjualan dipinggir jalan, dibahu jalan bahkan ditempat-tempat yang sudah ada larangan untuk berjualan, ada pula yang berjualan keliling dari satu tempat ketempat yang lain bisa menggunakan gerobak, sepeda, motor atau bahkan mobil. Umumnya yang dijual oleh pedagang kaki lima bermacam-macam, dari jenis makanan berat dan ringan, barang-barang kebutuhan rumah tangga, baju, sandal dan sepatu, dan lain-lain. Pada pedagang kaki lima, barang yang ditawarkan pun biasanya dengan harga yang rendah dan masih bisa ditawar. Dengan indikasi ini, maka pedagang kaki lima termaksud dalam sektor informal, tetapi tidak semua sektor informal merupakan PKL. Dikatakan bagian dari sektor informal karena pada sektor informal usaha yang terlibat didalamnya tidak memiliki ijin yang sah

Jumlah pedagang kaki lima di Jalan Lingkar Salatiga pada tahun 2014 sudah bertambah banyak kurang lebih ada 50, dari yang semula kurang lebih sekitar 15 dan menumpuk di satu lokasi, disepanjang Jalan Lingkar Salatiga tepatnya pada Pintu Utara (Arah Semarang). Merebaknya jumlah PKL bukan semata-mata karena keinginan para pedagang tadi untuk memperoleh pendapatan, tetapi lebih karena tuntutan pasar yang membutuhkan jasa PKL (Budi, 2006).

Umumnya pedagang kaki lima yang peneliti jumpai di Jalan Lingkar Salatiga membangun usahanya dengan bambu dan kayu, sehingga membentuk

(14)

3

bangunan semi permanen. Bertambahnya jumlah pedagang kaki lima di Jalan Lingkar Salatiga dikarenakan para pedagang merasa nyaman berjualan di Jalan Lingkar Salatiga dan belum pernah ada penggusuran secara langsung. Dirasa amannya berjualan di Jalan Lingkar Salatiga ini membuat masyarakat yang semula bukan pedagang kaki lima, menjadi ikut-ikutan berjualan. Padahal faktanya, ada undang-undang yang mengatur dilarang berjualan di Jalan Lingkar Salatiga. Para pedagang pun mengemukakan berjualan di Jalan Lingkar Salatiga dapat meraih keuntungan yang besar, karena banyaknya anak muda yang “nongkrong” di Jalan Lingkar Salatiga.

Dalam Peraturan Daerah No.4 Tahun 2011 ada peraturan yang melarang berjualan di sepanjang Jalan Lingkar Salatiga. Hasil wawancara penulis dengan Bapak Nurgianto selaku bagian Pengawasan dan Pengendalian Dinas Tata Kota Salatiga, menyatakan bahwa sebenarnya lahan yang di jadikan lokasi berjualan adalah ruang terbuka hijau, karena hal tersebut diatur dalam RMJ (Ruang Milik Jalan) dan RPJ (Ruang Pengawasan Jalan). Adapula Peraturan Menteri Dalam Negeri No.41 Tahun 2012 Pasal 31, bagian pertama, yang menyebutkan bahwa ada larang bagi PKL yang melakukan kegiatan usahanya di ruang umum yang tidak di tetapkan untuk lokasi PKL.

Sekitar pinggir jalan atau bahu jalan di Jalan Lingkar Salatiga, menurut Peraturan Daerah adalah ruang terbuka hijau yang selanjutnya disebut RTH. RTH adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah

(15)

4

maupun yang sengaja ditanam (Perda. No.4 Th. 2011). Namun, fakta yang dapat terlihat adalah para pedagang kaki lima memakai tempat yang diperuntukan sebagai ruang terbuka hijau menjadi lokasi berdagang.

Tidak ada ijin secara formal atau resmi bagi pedagang kaki lima yang berjualan di sekitar Jalan Lingkar Salatiga, karena, bagian Dinas Tata Kota sendiri sudah pernah memberitahu tentang larangan yang ada bagi para pedagang kaki lima. Berbeda dengan pelaku usaha yang membangun Restoran di Jalan Lingkar Salatiga karena mereka memiliki ijin dari Dinas Tata Kota Salatiga. Namun, para pedagang kaki lima memaksa untuk tetap berjualan di sekitar Jalan Lingkar Salatiga dengan alasan “mencari makan”. Para pedagang kaki lima mengasumsikan bahwa adanya Jalan Lingkar Salatiga di nilai mampu menjadi lahan baru atau peluang, sehingga terjadi kesepakatan antara Dinas Tata Kota Salatiga dan pedagang kaki lima untuk bisa tetap berjualan dengan syarat tidak membangun bangunan permanen.

Terkait dengan adanya aturan yang berlaku dan ijin yang tidak formal atas dasar kemanusiaan yang Pemkot berikan untuk pedagang kaki lima menjadi masalah tersendiri bagi pemkot Salatiga. Hal ini terkesan membiarkan pedagang kaki lima melanggar aturan yang ada. Kesepakatan yang terjadi antara pedagang kaki lima dan Dinas Tata Kota, memberikan dampak negatif. Seperti yang terlihat saat ini jumlah pedagang bertambah banyak. Jika hal ini dibiarkan terus menerus, maka nantinya Jalan Lingkar Salatiga akan dipenuhi bangunan liar yang dibangun oleh para pedagang kaki lima. Hal ini terkait dengan perijinan yang tidak dimiliki oleh para pedagang kaki lima di Jalan Lingkar Salatiga. Karena ketika hal ini

(16)

5

dibiarkan maka jumlah pedagang kaki lima dapat bertambah lebih banyak lagi dan Pemerintah akan lebih sulit untuk menertibkan. Kesepatan yang terjadi antara Dinas Tata Kota dan pedagang kaki lima seperti menjadi jembatan untuk pedagang kaki lima tidak ikut aturan. Padahal sebenarnya ada aturan yang mengatur dilarang berjualan di Jalan Lingkar Salatiga.

Dorongan untuk menjadi PKL adalah karena ingin mendapatkan pendapatan tambahan (pekerjaan sampingan) dan aktualisasi diri. (Yuwono, 2013). Hal ini disebabkan karena, kenaikan harga barang dan jasa membuat para penganggur dan mereka yang miskin sulit melakukan penyesuaian diri, apalagi untuk bertahan hidup tanpa penghasilan yang pasti. Solusinya adalah mereka menjadi pedagang kaki lima agar dapat bertahan hidup (Handoyo, 2012).

Peraturan Daerah tentang larangan berjualan di sekitar Jalan Lingkar Salatiga seolah-olah diabaikan oleh para pedagang kaki lima. Dengan kata lain, aktivitas tersebut diperlihatkan, dijalankan secara sengaja demi alasan-alasan tertentu (Maufur dan Daryatno, 2010). Dari satu sampai tiga pedagang kaki lima yang berhasil bertahan berjualan di Jalan Lingkar Salatiga membuat yang lainnya mencontoh dan mengikuti jejak para pedagang kaki lima yang sudah ada sebelumnya. Para pedagangan kaki lima terlihat serentak melakukan resistensi.

Resistensi sejatinya merupakan tindakan menolak untuk tunduk, patuh dan memenuhi perintah atau peraturan yang ditujukan kepada seseorang atau sekelompok orang. (Handoyo, 2012). Para pedagang kaki lima melawan peraturan yang sudah ada. Peraturan dan perubahan bisa membuat orang atau kelompok

(17)

6

cemas dan hilang harapan (hopeless) yang menurut persepsinya bisa mengancam kelangsungan hidupnya (Handoyo, 2012). Bentuk dari resistensi yang dilakukan dapat bermacam-macam, baik secara terbuka atau secara tertutup. Resistensi secara tertutup yaitu, tidak melawan secara langsung atau tidak dengan kekerasan, namun jika ada penertiban dan diminta untuk pindah oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) maka para pedagang kaki lima akan pindah, namun tak berapa lama kemudian akan kembali lagi berjualan di tempatnya semula. Adapula resistensi yang terbuka misalnya melakukan perlawanan secara langsung seperti adu argumentasi bahkan memukul jika ada penertiban oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP).

Penggusuran berarti rendahnya komitmen Pemerintah Daerah pada rakyat kecil dan upaya pengentasan kemiskinan. Kehadiran pedagang kaki lima telah menimbulkan konflik kepentingan. Di satu sisi pedagang kaki lima harus diakui sebagai usaha rakyat yang mampu mengentas kemiskinan dan memberikan sumbangan besar bagi ekonomi kota. Namun di sisi lain pedagang kaki lima dipandang sebagai sumber ketidaknyamanan, ketidak-indahan, dan kesemrawutan kota (Yuwono, 2013). Pada kasus pedagang kaki lima di Jalan Lingkar Salatiga, mereka tidak mematuhi aturan yang sudah ada.

Adanya resistensi yang terjadi pada pedagang kaki lima yang ada di Jalan Lingkar Salatiga, membuat penulis tertarik untuk meneliti lebih dalam tentang Resistensi Pedagang Kaki Lima Terhadap Peraturan Daerah Kota Salatiga.

(18)

7

Pada Jalan Lingkar Salatiga, di lokasi ini setiap harinya di gunakan oleh pedagang kaki lima (PKL) yang menggelar dagangan berjenis makanan berat maupun makanan ringan. Sepanjang bahu jalan hakekatnya adalah tidak diperuntukan menggelar dagangan. Terlebih para pedagang kaki lima (PKL) yang membangun bangunan semi permanen pada bahu Jalan Lingkar Salatiga, yang lokasi tersebut sebenarnya adalah ruang terbuka hijau.

Strategi penertiban bagi para pedagang kaki lima (PKL) di Jalan Lingkar Salatiga tidak berjalan dengan efektif karena pedagang kaki lima (PKL) memaksa untuk tetap berjualan di Jalan Lingkar Salatiga dengan alasan mencari penghasilan. Pedagang kaki lima menjadi dilema bagi Pemkot Salatiga. Dengan alasan kemanusiaan Pemkota Salatiga mengijinkan para pedagang kaki lima (PKL) berjualan di Jalan Lingkar Salatiga. Dengan begitu, kebijakan yang dibuat oleh Pemkot Salatiga menjadi sia-sia pada akhirnya.

Dari latar belakang di atas terdapat permasalahan yang akan di teliti, yaitu:

1. Resistensi seperti apa yang dilakukan pedagang kaki lima (PKL) untuk melawan Perda?

2. Bentuk kesepakatan seperti apa yang dibuat oleh pedagang kaki lima (PKL) dan Pemerintah kota Salatiga.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah mengacu pada latar belakang masalah dan perumusan masalah diatas, yaitu:

(19)

8

1. Mengidentifikasi resistensi seperti apa yang dilakukan pedagang kaki lima (PKL) untuk melawan Perda.

2. Mengidentifikasi bentuk kesepakatan yang dibuat oleh pedagang kaki lima (PKL) dan Pemerintah Kota Salatiga.

1.4 Batasan Masalah

Dalam penulisan skripsi ini, penulis hanya melakukan penelitian terhadap pedagang kaki lima di Jalan Lingkar Salatiga tepatnya di sekitar pintu utara (arah ke Semarang) mengingat banyaknya pedagang kaki lima yang beraktifitas di Jalan Lingkar Salatiga.

1.5 Manfaat Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian diatas, maka diharapkan penelitian ini secara praktis dapat berguna sebagai pengembangan teori dan secara akademis diharapkan penelitian ini dapat dijadikan sebagai salah satu pijakan bagi penelitian selanjutnya, khususnya yang berhubungan dengan resistensi pedagang kaki lima.

(20)

9 BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Strukturasi

Teori yang di kemukakan oleh Anthony Giddens (1984) dalam bukunya dengan judul asli The Constitution of Society: Outline of the Theory of Structuration, menjelaskan bahwa dasar kajian ilmu-ilmu sosial bukanlah pengalaman masing-masing aktor ataupun keberadaan setiap bentuk totalitas kemasyarakatan, melainkan praktik-praktik sosial yang terjadi di sepanjang ruang dan waktu. Aktivitas sosial itu tidak dihadirkan oleh para aktor sosial, melainkan terus-menerus diciptakan oleh mereka melalui sarana-sarana pengungkapan diri mereka sebagai aktor (Maufur dan Daryatno, 2010).

Teori Strukturasi Giddens menjelaskan bahwa obyek ilmu-ilmu sosial bukanlah peran sosial, kode tersembunyi atau keunikan sosial, melainkan dualitas antara struktur dan individu serta titik temunya. Struktur menunjuk pada fungsi kekuasaan dan koordinatif sedangkan individu menunjuk pada anggota yang terlibat dalam struktur itu. Dalam dualitas ini terdapat gugus tugas signifikansi, dominasi, dan legitimasi. Signifikansi berkaitan dengan hubungan kewajiban, dan legitimasi berkaitan dengan hubungan normatif dan sanksi.

Dalam teori strukturasi Giddens berkaitan dengan kasus pedagang kaki lima adalah ketika ada kekuasaan yang mengatur, dalam hal ini Pemkot Salatiga, dan ada pedagang kaki lima yang termaksud di dalam aturan tersebut. Dalam bukunya, Giddens memberikan contoh tentang “aktivitas „anak-anak bandel‟ yang berkeinginan meninggalkan sekolah dan memasuki dunia pekerjaan”. Mereka

(21)

10

melawan aturan yang sudah ada, dan tidak memperdulikan akibat yang ditimbulkan serta sanksi yang didapat dari perilaku yang mereka lakukan. Jika dilihat dari contoh ini, dan dikaitkan dengan pedagang kaki lima, para pedagang kaki lima memaksa berjualan pada lokasi yang dilarang, contohnya di bahu jalan dan di trotoar, tanpa memikirkan akibat yang nantinya akan mereka dapatkan, yaitu berupa sanksi seperti penggusuran paksa.

Kaitan selanjutnya adalah, para pedagang kaki lima melakukan aktivitas ekonomi yaitu berjualan di lokasi yang dilarang. Dan terkadang dalam melakukan aktivitas ekonominya, pedagang kaki lima memperlihatkan dan menjalankan secara sengaja demi alasan-alasan tertentu, salah satunya tanpa memperdulikan soal aturan yang berlaku dengan alasan mencari pendapatan.

2.2 Pengertian Pelaku Usaha

Dalam Undang-Undang Pelaku Usaha (UUPK) Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi (UUPK Pasal 1 : 3)

2.3 Pengertian Pedagang Kaki Lima (PKL)

Pedagang kaki lima adalah usaha rakyat kecil, memperdagangkan umumnya makanan, warungan, makanan kecil, buah-buahan dan sayuran dan non makanan seperti asesoris, pakaian, mainan anak-anak. Barang-barang itu

(22)

11

ditawarkan dengan menggunakan rombong/ gerobak atau digelar di trotoar (Yuwono, 2013)

Dalam perkembangan selanjutnya pengertian Pedagang Kaki Lima (PKL) menjadi semakin luas, tidak hanya pedagang yang menempati trotoar atau sepanjang bahu jalan saja. Hal ini dapat dilihat dari ruang aktivitas pedagang kaki lima (PKL) yang semakin luas. Tidak hanya menggunakan hampir semua ruang publik yang ada seperti jalur-jalur pejalan kaki, areal parkir, ruang-ruang terbuka, taman-taman, teriminal, perempatan jalan, tetapi juga bergerak keliling dari rumah ke rumah melalui jalan-jalan kecil di perkotaan.

2.4 Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No. 41 Tahun 2012 Tentang Pedoman Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima.

Pasal 1 :

Dalam peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

1. Pedagang Kaki Lima, yang selanjutnya disingkat PKL, adalah pelaku usaha yang melakukan usaha perdagangan dengan menggunkaan sarana usaha bergerak maupun tidak bergerak, menggunakan prasarana kota, fasilitas sosial, fasilitas umum, lahan dan bangunan milik pemerintah dan/atau swasta yang bersifat sementara/tidak menetap.

2. Penataan PKL adalah upaya yang dilakukan oleh pemerintah daerah melalui penetapan lokasi binaan untuk melakukan penetapan, pemindahan, penertiban dan penghapusan lokasi PKL dengan memperhatikan kepentingan umum, sosial, estetika, kesehatan. Ekonomi, keamanan,

(23)

12

ketertiban, kebersihan lingkungan, dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

3. Pemberdayaan PKL adalah upaya yang dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dunia usaha dan masyarakat secara sinergis dalam bentuk penumbuhan iklim usaha dan pengembangan usaha terhadap PKL sehingga mampu tumbuh dan berkembang baik kualitas maupun kuantitas usahanya.

4. Lokasi PKL adalah tempat untuk menjalankan usaha PKL yang berada di lahan dan/atau bangunan milik pemerintah dan/atau swasta.

2.5 Sifat Pedagang Kaki Lima

Pedagang kaki lima merupakan pedagang kecil dengan pendapaan rendah dan berjualan di tempat-tempat umum, seperti di emperan toko, di tepi jalan raya, di taman-taman, dan umumnya tidak memiliki izin usaha dari Pemerintah. Berikut merupakan sifat dari Pedagang Kaki Lima menurut Setyowati, 2004 :

1. Ada yang mempunyai izin usaha dan ada yang tidak mempunyai izin usaha.

2. Ada yang menetap dan ada yang berpindah-pindah dan bahkan ada yang berkeliling.

3. Ada yang berkesinambungan, terputus-putus dan ada yang musiman. 4. Ada yang menempati lokasi permanen, sementara ada pula yang

menempati fasilitas lain di luar fasilitas perdagangan yang telah ditentukan.

(24)

13

5. Berjualan secara sendiri, berkelompok bahkan ada yang secara masal.

Adapun sifat pedagang kaki lima menurut Susilo, 2011 ditemukan 15 sifat pedagang kaki lima:

1. Pedagang yang kadang-kadang menjadi produsen, yaitu pedagang makanan dan minuman yang memasaknya sendiri.

2. Pedagang kaki lima (PKL) memberikan konotasi bahwa mereka umumnya menjajakan barang dagangannya pada gelaran tikar di pinggir jalan dan di depan toko yang dianggap strategis, juga pedagang yang menggunakan meja, kereta dorong dan meja kecil.

3. Tingkat pendidikan mereka yang relatif rendah.

4. Pedagang kaki lima pada umumnya bermodal kecil, bahkan sering dimanfaatkan pemilik modal dengan memberikan komisi sebagai jerih payah.

5. Pada umumnya PKL adalah kelompok marjinal bahkan ada pula yang masuk dalam kelompok sub-marginal.

6. Pada umumnya kualitas barang yang dijual kualitasnya relatif rendah. 7. Omzet penjualan PKL pada umumnya tidak besar.

8. Para pembeli umumnya berdaya beli rendah.

9. Pada umumnya PKL merupakan usaha “family enterprise” yaitu semua anggota keluarga membantu dalam usaha tersebut.

10. Barang-barang yang di jual PKL biasanya merupakan barang umum. Jarang sekali PKL menjual barang khusus.

(25)

14

11. Pada umumnya PKL berdagang dalam kondisi tidak tenang, karena takut sewaktu-waktu usaha mereka ditertibkan dan dihentikan oleh pihak yang berwenang.

12. Masyarakat sering beranggapan bahwa PKL adalah kelompok yang menduduki status sosial paling rendah dalam masyarakat.

13. Mengingat adanya faktor pertentangan kepentingan, kelompok PKL adalah kelompok yang sulit bersatu dalam bidang ekonomi meskipun perasaan setia kawan yang kuat di antara mereka.

14. Pada umumnya waktu kerja tidak menunjukan pola yang tetap, hal ini menunjukan seperti pada ciri perusahaan perorangan.

15. PKL mempunyai jiwa “enterpreneurship” yang kuat.

2.6 Motif Pedagang Kaki Lima

Menurut Alisjahbana (dalam Handoyo, 2012) mengemukakan ada 7 faktor yang menyebabkan atau melatarbelakangi para urban memilih sektor informal sebagai aktivitas pekerjaan untuk menggantungkan hidup, yaitu:

1. Terpaksa atau tiada pekerjaan lain. Dengan segala keterbatasan yang dimiliki, mau tidak mau dan suka tidak suka, satu-satunya pilihan adalah bekerja di sektor informal.

2. Dampak pemutusan hubungan kerja (PHK). Tidak sedikit yang menjadi PKL karena terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) ketika terjadi krisis moneter.

(26)

15

3. Mencari rezeki halal. Di mata golongan masyarakat miskin perkotaan, gengsi tampaknya tidak lagi dihiraukan. Ketika tidak ada upaya yang lebih baik maka menjadi PKL menjadi kunci penyelamat.

4. Mandiri dan tidak bergantung kepada orang lain. Banyak pekerja pabrik atau perusahaan yang memilih keluar dari perkerjaan dan memilih menekuni usaha sendiri. Mereka melirik kaki lima sebagai tempat mengais rezeki, dimana mereka bisa mengatur pekerjaannya sendiri.

5. Menghidupi keluarga. Berdagang barang-barang dipandang para PKL sebagai pekerjaan satu-satunya yang bisa mereka lakukan.

6. Pendidikan rendah dan modal kecil. Banyak orang yang memilih menjadi PKL karena tidak membutuhkan keahlian dan keterampilan khusus, sehingga siapapun dapat masuk kesana.

7. Kesulitan kerja di desa. Langkanya kesempatan kerja di desa dan tiadanya kesempatan kerja di kota bagi yang tidak berpendidikan dan tidak trampil, menjadi alasan mengapa para urban memilih bekerja sebagai PKL.

2.7 Pola Aktivitas Pedagang Kaki Lima

Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Susilo, 2011 menyatakan bahwa penentuan lokasi yang diminati oleh sektor informal atau pedagang kaki lima adalah sebagai berikut :

1. Terdapat akumulasi orang yang melakukan kegiatan bersama-sama pada waktu relatif sama, sepanjang hari.

(27)

16

2. Berada pada kawasan tertentu yang merupakan pusat-pusat kegiatan perekonomian kota dan pusat non ekonomi perkotaan, tetapi sering dikunjungi dalam jumlah besar.

3. Mempunyai kemudahan untuk terjadi hubungan antara pedagang kaki lima dengan calon pembeli, walaupun dilakukan dalam ruang yang relatif sempit.

4. Tidak memerlukan ketersediaan fasilitas dan utilitas pelayanan umum.

2.8 Hak dan Kewajiban Pedagang Kaki Lima

Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No. 41 Tahun 2012 Tentang Pedoman Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima Pasal 30 PKL mempunyai hak, antar lain:

1. Mendapatkan pelayanan pendaftara usaha PKL;

2. Melakukan kegiatan usaha di lokasi yang telah ditetapkan;

3. Mendapatkan informasi dan sosialisasi atau pemberitahuan terkait dengan kegiatan usaha di lokasi yang bersangkutan;

4. Mendapatkan pengaturan, penataan, pembinaan, supervisi dan pendampingan dalam pengembangan usahanya; dan

5. Mendapatkan pendampingan dalam mendapatkan pinjaman permodalan dengan mitra bank.

Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No. 41 Tahun 2012 Tentang Pedoman Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima Pasal 31 PKL mempunyai kewajiban, antar lain:

(28)

17

2. Mematuhi waktu kegiatan usaha yang telah ditetapkan oleh Bupati/Walikota;

3. Memelihara keindahan, ketertiban, keamanan, kebersihan dan kesejahteraan lingkungan tempat usaha;

4. Menempatkan dan menata barang dagangan dan/atau jasa serta peralatan dagangan dengan tertib dan teratur;

5. Tidak mengganggu lalu lintas dan kepentingan umum;

6. Menyerahkan tempat usaha atau lokasi usaha tanpa menuntut ganti rugi dalam bentuk apapun, apabila lokasi usaha tidak ditempati selama 1 (satu) bulan atau sewaktu-waktu lokasi tersebut dibutuhkan oleh pemerintah kabupaten/kota; dan

7. Menempati tempat atau lokasi usaha yang telah ditentukan oleh pemerintah daerah sesuai TDU yang dimiliki PKL.

2.9 Larangan Pedagang Kaki Lima

Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No. 41 Tahun 2012 Tentang Pedoman Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima Pasal 31 ada larangan tentang PKL, antara lain:

1. Melakukan kegiatan usahanya di ruang umum yang tidak ditetapkan untuk lokasi PKL;

2. Merombak, menambah dan mengubah fungsi serta fasilitas yang ada di tempat atau lokasi usaha PKL yang telah ditetapkan dan/atau ditentukan Bupati/Walikota;

(29)

18

4. Berpindah tempat atau lokasi dan/atau memindahtangankan TDU PKL tanpa sepengetahuan dan seizin Bupati/Walikota;

5. Menelantarkan dan/atau membiarkan kosong lokasi tempat usaha tanpa kegiatan secara terus-menerus selama 1 (satu) bulan;

6. Mengganti bidang usaha dan/atau memperdagangkan barang ilegal;

7. Melakukan kegiatan usaha dengan cara merusak dan atau mengubah bentuk trotoar, fasilitas umum, dan/atau bangunan disekitarnya;

8. Menggunakan badan jalan untuk tempat usaha, kecuali yang ditetapkan untuk lokasi PKL terjadwal dan terkendali;

9. PKL yang kegiatan usahanya menggunakan kendaraan dilarang berdagang di tempat-tempat larangan parkir, pemberhentian sementara, atau trotoar; dan

10. Memperjualbelikan atau menyewakan tempat usaha PKL kepada pedagang lainnya.

2.10 Kebijakan

Pengaturan pedagang kaki lima bertujuan untuk memberi jaminan tempat usaha yang layak bagi usahanya juga untuk menjadikan sektor usaha pedagang kaki lima sebagai sesuatu yang lebih produktif dalam membangun ekonomi daerah (Tanoyo, 2009)

Menurut Suharto (dalam Syafardi, 2012) Kebijakan merupakan suatu keputusan-keputusan atau pilihan-pilihan tindakan yang secara langsung mengatur pengelolaan dan pendistribusian sumberdaya alam, finansial dan manusia demi kepentingan publik.

(30)

19 2.11 Pengertian Resistensi

Resistensi merupakan suatu proses menentang, melawan, atau bertahan dari sesuatu atau orang lain. Resistensi atau resistance diartikan sebagai suatu mekanisme penentangan yang disadari maupun tidak disadari untuk membuka material bawah sadar. (Matsumoto, 2009 dalam Handoyo, 2012)

Resistensi sejatinya tindakan menolak untuk tunduk, patuh dan memenuhi perintah atau peraturan yang ada. Resistensi dapat dipahami dalam dua pengertian, yaitu sebagai suatu sikap menentang perubahan dan sebagai suatu perilaku nonkonformis yang mengubah suatu tertib sosial (Handoyo ,2012). 2.12 Pengertian Kesepakatan

Kesepakatan merupakan persesuaian pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya yang mengadakan perjanjian. Apa yang dikendaki oleh pihak satu juga dikendaki oleh pihak yang lain. Kesepakatan dapat diperoleh melalui suatu proses penawaran dan penerimaan. Kata sepakat dapat diberikan secara tegas maupun diam-diam. (Waluyo, 2002)

2.13 Penelitian Sebelumnya

1. Herianto dan Utomo. 2012. Dalam penelitian ini di jelaskan bahwa, adanya Jalan Lingkar Selatan Salatiga, meningkatkan pola pikir dan presepsi masyarakat pinggiran untuk membuka usaha baru di sekitaran Jalan Lingkar Selatan Salatiga. Hal ini terjadi karena paradigma masyarakat terbuka karena melihat peluang sejak adanya Jalan Lingkar Selatan Salatiga, dari yang semula bertani atau pengangguran, sekarang

(31)

20

banyak dari mereka yang membuka warung-warung kecil atau lapak di pinggir Jalan Lingkar Selatan Salatiga.

2. Eko Listiyanto. 2009. Dalam penelitian ini menjelaskan tentang kesadaran hukum PKL di kota Salatiga terhadap Peraturan Daerah yang ada. Sudah ada penertiban dan larangan tentang pedagang kaki lima (PKL) yang berjualan di lokasi Jalan Patimura, Salatiga. Ada 40 PKL yang masih berjualan di Jalan Patimura. Akan tetapi, 23 PKL tetap menempati ruang publik (lokasi yang tidak di larang berdagang) dan 17 PKL tetap menempati tempat yang di larang oleh Pemerintah. Para PKL pernah mendapatkan pengarahan dan sosialisasi dari Pemerintah Daerah melalui Pejabat Dinas Pasar mengenai lokasi yang tidak dibolehkan untuk berjualan. Namun para PKL tetap memaksa berjualan di Jalan Patimura dengan alasan lokasi tersebut strategis dengan penghasilan rata-rata Rp. 80.000 sampai dengan Rp. 200.000.

3. Jeffry Yohanes Kurniawan. 2007. Dalam penelitian ini menjelaskan tentang pelaksanaan kebijakan Pemerintah Kota Salatiga dalam penataan ruang untuk Pedagang Kaki Lima (PKL) di Jalan Jendral Sudirman. Banyaknya PKL yang berjualan di Jalan Jendral Sudirman sudah melanggar Pasal 2 Peraturan Daerah No. 2 Tahun 2003 mengenai kriteria lokasi usaha, sehingga menimbulkan sampak negatif bagi lingkungan sekitar karena pemanfaatan ruang yang di lakukan oleh PKL tidak sesuai dengan asas dan tujuan. Namun, kebanyakan PKL yang berjualan di Jalan Jendral Sudirman tidak mengetahui tentang aturan yang ada.

(32)

21

Dari beberapa penelitian yang sudah ada belum ada yang meneliti tentang resistensi pedagang kaki lima di Jalan Lingkar Salatiga terhadap Peraturan Daerah Kota Salatiga. Oleh sebab itu, penulis tertarik untuk meneliti para pedagang yang ada di Jalan Lingkar Salatiga.

(33)

22 BAB 3

METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, yaitu metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi yang sebenarnya secara alami. Dalam penelitian ini, bersifat kualitatif, berdasarkan data primer. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari lapangan. Data primer dalam penelitian ini adalah data hasil wawancara dengan pedagang kaki lima di Jalan Lingkar Salatiga.

Metode penelitian ini, menggunakan Study Kasus yaitu teknik pengamatan atau penyelidikan sistematis atas suatu kejadian khusus untuk memberikan penjelasan yang jujur dan seksama tentang suatu kasus tertentu sedemikian rupa (Wilardjo, 1994). Dalam study kasus peneliti hanya mengambil beberapa kasus saja dan mendalami kasus tersebut. Dalam hal ini, kasus yang diteliti adalah alasan pedagang kaki lima (PKL) dalam melakukan resistensi terhadap peraturan daerah yang melarang berjualan disepanjang Jalan Lingkar Salatiga.

3.2 Lokasi Penelitian

Penelitian ini mengambil lokasi di kota Salatiga, khususnya di Jalan Lingkar Salatiga. Para pedagang kaki lima (PKL) yang diteliti menjalankan aktivitas ekonomi di sekitar atau memakai bahu Jalan Lingkar Salatiga.

(34)

23

Dalam melakukan penelitian dilokasi penelitian ada beberapa langkah yang dilakukan penulis dalam rangka pengumpulan data. Langkah-langkah tersebut adalah sebagai berikut :

1. Pengamatan Langsung

Penulis melakukan pengamatan secara langsung dilokasi penelitian. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran dan data yang utuh secara objektif.

2. Wawancara

Untuk memperoleh data yang diharapkan menggunakan metode pengumpulan data dengan cara wawancara yaitu teknik pengumpulan data primer dengan mengajukan pertanyaan secara lisan dan memperoleh jawaban dari responden secara langsung. Teknik wawancara yang digunakan dalam penelitian kualitatif adalah wawancara mendalam. Wawancara mendalam adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau orang yang di wawancarai (Bambang Waluyo, 2002. h: 51). Penulis telah melakukan wawancara kepada Bapak Nurgianto selaku bagian Pengawasan dna Pengendalian Dinas Tata Kota Salatiga dan kepada para pedagang kaki lima (PKL) yang ada di Jalan Lingkar Salatiga.

3.4 Teknik Analisis

Teknik analisa data dalam penelitian ini dilaksanakan dengan analisis deskriptif kualitatif terhadap setiap data yang diperoleh dari lapangan dengan

(35)

24

berbagai teknik pengumpulan data yang dipakai. Setelah melakukan analisa dan interpretasi data, selanjutnya penulis melaporkan hasil penelitian yang sudah dilakukan. Data yang diperoleh disajikan secara deskriptif dan dianalisa secara kualitatif, dengan melalui tiga tahap (Sugiono, 2012).

1. Tahap reduksi data. Pada tahap ini penulis merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya dari setiap data yang diperoleh dilapangan. Reduksi data akan memberikan gambaran yang jelas, dan akan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data dan selanjutnya akan melengkapi data yang dicari.

2. Tahap sajian data. Pada tahap ini peneliti mendeskripsikan hasil penelitiannya dalam bentuk uraian kata.

3. Penarikan kesimpulan. Pada tahap terakhir ini penulis melakukan kesimpulan atas dasar pembahasan dan analisa terhadap data yang sudah diperoleh dari lapangan.

(36)

25 BAB 4

HASIL DAN ANALISIS 4.1 Peluang Ekonomi Strategis

Pembangunan Jalan Lingkar Salatiga sepanjang 12 km dengan lebar 21 m, sejak tahun 2001 dan mulai dioperasikan tahun 2011 oleh Pemerintah Kota Salatiga menghubungkan jalan menuju arah ke Kota Solo dan ke Kota Semarang, agar lebih pendek jaraknya dan untuk menghindari kemacetan di dalam kota. Jalan Lingkar Salatiga

Awalnya tanah di Jalan Lingkar Salatiga adalah milik warga dan setelah direncanakannya pembangunan Jalan Lingkar Salatiga maka Pemkot Salatiga membeli tanah tersebut. Dari tanah yang sudah dibeli, kemudian dibangun menjadi jalan raya yang menghubungkan jalan menuju arah ke Kota Solo dan Kota Semarang, pada sekitar pinggir jalan raya atau bahu jalan raya di Jalan Lingkar Salatiga, menurut Peraturan Daerah adalah ruang terbuka hijau yang selanjutnya disebut RTH. RTH adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam.

Setelah adanya Jalan Lingkar Salatiga, masyarakat menilai lokasi ini dapat membuka peluang ekonomi karena lokasinya strategis, pemandangan yang bagus, dan banyak orang yang datang ke Jalan Lingkar Salatiga untuk sekadar nongkrong atau jalan-jalan sambil melihat pemandangan. Hal inilah yang mendorong masyarakat untuk mencoba peruntungan berjualan di Jalan Lingkar Salatiga. Dari satu dua pedagang yang berjualan di Jalan Lingkar Salatiga dan berhasil,

(37)

26

membuat pedagang lainnya yang bukan berasal dari daerah sekitar Jalan Lingkar Salatiga tertarik untuk berjualan.

Dari beberapa pedagang yang penulis wawancarai, tempat asal mereka bermacam-macam. Ada yang berasal dari dalam Kota Salatiga, contohnya Kecamatan Tingkir, Kelurahan Pulutan, dan Kelurahan Kalicacing. Selain itu, pedagang yang berasal dari luar Kota Salatiga, contohnya dari Ungaran. Mas Anto, pedagang yang berasal dari ungaran mengatakan “Saya seneng mbak jualan di JLS, karena tempatnya enak, strategis, rame, tempat buat parkir pengunjungnya juga luas, terus untung yang saya dapat lebih besar daripada waktu di Ungaran. Kalau di Ungaran paling sehari Rp. 80.000 sampai Rp. 100.000 jadi sebulan kira-kira Rp. 2.400.000, belum kepotong buat bayar sampah, air, listrik, dan keperluan lain-lain. Tapi pas sudah di JLS sehari bisa sampai Rp. 200.000 jadi kalau ditotal sebulan bisa dapat Rp. 6.000.000, dari hasil yang didapat masih bisa ditabung buat bayar sewa tanah, bayar sampah juga Cuma Rp. 2000, listrik urunan sama pedagang lain jadi satu orang Rp. 100.000, air sebulan urunan perorangnya Rp. 50.000, turahnya banyak ”

Para pedagang ini tertarik berpindah lokasi ke Jalan Lingkar Salatiga karena lokasinya yang strategis. Bagi pedagang yang berasal dari dalam Kota Salatiga maupun dari luar Salatiga menilai Jalan Lingkar Salatiga sebagai lokasi yang menjanjikan untuk berjualan dan peluang usahanya lebih besar di jalan Lingkar Salatiga.

(38)

27

Dari fenomena ini, bukan hanya pedagang yang tertarik berjualan, melainkan pemilik tanah di Jalan Lingkar Salatiga yang memanfaatkan peluang bisnis dengan menyewakan tanah mereka untuk tempat berjualan para pedagang. 4.2 Rencana Pemda Salatiga Tentang Pengaturan Jalan Lingkar Salatiga

Lokasi Jalan Lingkar Salatiga yang menjadi daya tarik baru bagi sebagian besar warga Salatiga karena pemandangannya yang indah dan ramai. Rencana Pemkot Salatiga tentang pengaturan Jalan Lingkar Salatiga di samping untuk jalur alternatif menuju Kota Solo dan Kota Semarang, yang terpenting juga untuk pengembangan wilayah Kota Salatiga untuk menjadi lebih baik. Selain itu, dengan adanya Jalan Lingkar Salatiga diharapkan perekonomian pun dapat berkembang. Karena, adanya Jalan Lingkar Salatiga dengan lokasi yang memiliki pemandangan alam yang indah serta adanya kebijakan tentang Perdagangan dan Jasa di Jalan Lingkar Salatiga, membuat banyak orang atau pengusaha yang bergerak dalam Perdagangan dan Jasa yang mau berbisnis di Jalan Lingkar Salatiga. Dengan begitu, diharapkan keberadaan Jalan Lingkar Salatiga dapat mendorong perekonomian dan memajukan Kota Salatiga.

Jalan Lingkar Salatiga tidak hanya menarik minat pengusaha besar, melainkan para pedagang kecil. Banyak dari para pedagang yang berpindah lokasi ke Jalan Lingkar Salatiga. Jika para pengusaha yang berjualan di Jalan Lingkar Salatiga memiliki ijin, dan membuka usahanya pun di lahan yang sudah di tetapkan dalam peraturan Pemkot, serta keberadaannya sesuai ketentuan yang ada, berbeda dengan para pedagang kaki lima yang pindah berjualan di Jalan Lingkar Salatiga tanpa ijin dan tidak sesuai ketentuan yang ada karena pedagang kaki lima

(39)

28

berjualan di lokasi yang sudah diatur Pemkot sebagai RTH (Ruang Terbuka Hijau).

Pada Jalan Lingkar Salatiga, Kelurahan Pulutan sebelah barat (Lihat di peta) memang masih tanah milik warga, sehingga pada lahan inilah pedagang membangun tempat usahanya dengan menyewa tanah pertahun kepada pemilik tanah. Pada bagian barat terdapat patok yang di letakkan Pemkot untuk membedakan mana tanah milik Pemkot dan tanah milik warga, sehingga pedagang tidak boleh melewati batas patok yang sudah ada karena merupakan Ruang Milik Jalan (RMJ).

Berkaitan dengan pengaturan di Jalan Lingkar Salatiga, Tata Ruang mengatur tentang penggunaan lahan, tidak peduli lahan milik warga/ Pemkot. Pada peta sudah diberi tanda pada bagian barat yang ditetapkan sebagai Ruang Terbuka Hijau (RTH), namun lokasi tersebut juga masih tanah milik warga. Dalam hal ini keberadaan pedagang seharusnya tidak boleh ada, walaupun pedagang mengaku berjualan di atas tanah warga bukan tanah Pemkot, namun hal ini sudah ditetapkan dalam Perda. Namun, karena faktor sosial maka Pemkot masih mengijinkan pedagang untuk berjualan pada bagian barat Jalan Lingkar Salatiga namun bangunan tidak boleh permanen dan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) tidak diterbitkan oleh Pemkot.

Berikut tentang Perda untuk arah Kelurahan Pulutan:

Sesuai Perda No.4 Tahun 2011 tentang RTRW Kota Salatiga Tahun 2010-2030 lokasi ditetapkan sebagai :

(40)

29

Sebelah barat JLS peruntukan : RTH (Ruang terbuka Hijau) publik : Taman Kota, Hutan Kota

Sebelah timur JLS peruntukan : Perdagangan dan jasa

Dalam Lampiran VI Perda No.4 Tahun 2011, Tabel umum peraturan zonasi ditentukan :

1. RTH Kota : Area memanjang atau jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam.

Ketentuan umum kegiatan RTH kota :

 Peruntukan ruang untuk kegiatan rekreasi;

 Pendirian bangunan dibatasi hanya untuk bangunan penunjang kegiatan rekreasi dan fasilitas umum lainnya;

 Peruntukan rencana hutan kota dapat dimanfaatkan/ diperbolehkan untuk keperluan pariwisata alam, rekreasi dan atau olah raga; penelitian dan pengembangan; pendidikan; dan atau budidaya hasil hutan bukan kayu;

 Kegiatan RTH pada wilayah kota meliputi ruang terbuka hijau publik dan ruang terbuka hijau privat.

Taman Kota : Taman yang ditujukan untuk melayani penduduk satu kota atau bagian wilayah kota

(41)

30

 Taman ini dapat berupa fasilitas olahraga masyarakat dengan dilengkapi dengan beberapa lapangan olahraga;

 Terdapat fasilitas rekreasi masyarakat seperti, area bermain anakanak, kolam air mancur dan panggung terbuka.

Ketentuan sempadan dan intensitas bangunan :

 Taman ini dapat berbentuk sebagai RTH (lapangan hijau), yang dilengkapi dengan fasilitas rekreasi dan olah raga, dan kompleks olah raga dengan minimal RTH 80%-90%

 Jenis vegetasi yang dipilih berupa pohon tahunan, perdu, dan semak ditanam secara berkelompok atau menyebar berfungsi sebagai pohon pencipta iklim mikro atau sebagai pembatas antar kegiatan.

Taman ini melayani 480.000 penduduk dengan standar minimal 0,3 m2 per penduduk kota, luas taman minimal 144.000 m2

2. Kawasan Peruntukan Perdagangan dan Jasa : Kawasan yang diperuntukan untuk kegiatan perdagangan dan jasa, termasuk pergudangan, yang diharapkan mampu mendatangkan keuntungan bagi pemiliknya dan memberikan nilai tambah pada suatu kawasan perkotaan. Ketentuan umum kegiatan Perdagangan dan Jasa :

 Pengembangan kawasan perdagangan dan jasa wajib mengikuti persyaratan teknis, ekologis dan administratif;

 Kawasan peruntukan perdagangan dan jasa diperbolehkan untuk kegiatan pasar tradisional, pusat perbelanjaan, toko modern, perkantoran, dan lain-lain yang sejenis;

(42)

31

 Toko modern dapat dibangun dengan jarak radius terdekat dari pasar tradisional minimal 500m

 Kawasan peruntukan perdagangan dan jasa diperbolehkan untuk kegiatan perdagangan internasional, perkantoran perusahaan multinasional, jasa keuangan, perhotelan MICE (Meeting, Incentive, Convention and Exhibition) dan rekreasi

 Kegiatan tempat tinggal, pertemuan dan penunjangnya, pelayanan pemerintah dan lain-lain yang sejenis diperbolehkan di kawasan peruntukan perdagangan dan jasa dengan syarat mematuhi ketentuan yang berlaku;

 Kawasan peruntukan perdagangan dan jasa tidak diperbolehkan untuk kegiatan industri ringan;

 Menyediakan areal parkir paling sedikit seluas kebutuhan parkir 1 (satu) buah kendaraan roda empat untuk setiap 100 m2 (seratus meter per segi) luas lantai penjualan Pasar Tradisional;

 Menyediakan areal parkir paling sedikit seluas kebutuhan parkir 1 (satu) unit kendaraan roda empat untuk setiap 60 m2 (enam puluh meter per segi) luas lantai penjualan Pusat Perbelanjaan dan/atau Toko Modern;

 Menyediakan fasilitas yang menjamin pusat perbelanjaan dan toko modern yang bersih, sehat (hygienis), aman, tertib dan ruang publik yang nyaman

(43)

32

 Dilengkapi dengan sarana antara lain tempat parkir umum, bank/ATM, pos polisi,pos pemadam kebakaran, kantor pos pembantu, tempat ibadah, dan sarana penunjang kegiatan komersial serta kegiatan pengunjung

Ketentuan sempadan dan intensitas bangunan :

 Koefisien dasar bangunan maksimum 70-90%;

 Garis sempadan bangunan minimum 3m

 Koefisien Lantai Bangunan (KLB) : 0,7 – 1,25 (Indeks untuk menghitung jumlah lantai)

 Tinggi lantai bangunan 1-2m

 Kepadatan bangunan untuk komersial maksimum 80 unit/ha

 Koefisien Dasar Hijau (KDH) luas minimal ruang terbuka hijau privat 10% dari luas kapling

(44)

33

4.3 Pandangan Pedagang Tentang Rencana Pemerintah Daerah Salatiga Pada Jalan Lingkar Salatiga, memang masih ada tanah milik warga yaitu pada bagian sebelah barat (Lihat di peta) sehingga pada Jalan Lingkar Salatiga terdapat patok yang di letakkan Pemkot untuk membedakan mana tanah milik Pemkot dan tanah milik warga, dari batas patok yang ada inilah pemilik tanah

LOKASI

STUDI

Timur JLS Barat JLS

(45)

34

menyewakan tanahnya agar pedagang dapat berjualan asal tidak melewati batas patok yang sudah ditetapkan Pemkot.

Banyaknya pemilik tanah yang menyewakan tanah kepada warga untuk berjualan menjadi kesempatan tersendiri bagi warga atau pedagang dari luar Jalan Lingkar Salatiga yang ingin berjualan. Harga sewa tanah para pedagang berbeda-beda, tergantung dari luas tanahnya. Dari hasil wawancara penulis dengan salah satu pedagang, yaitu Ibu siti, mengatakan “Kami yang jualan disini semuanya nyewa tanah pertahun dipemilik tanah, mbak. Tiap pedagang beda-beda bayarnya tergantung luas lahannya. Kalau saya nyewa pertahun bayarnya Rp. 8.500.000. itu baru bayar sewa, tapi bangun bambu-bambunya keluar uang lagi, mbak. Sebenarnya enak disemen gitu, mbak biar lebih nyaman, tapi sama Pemkot kan gak boleh, Cuma bolehnya bangun bambu saja, soalnya kami disini kan gak ada ijin jadi ya manut saja buat gak buat bangunan permanen” Lain hal dengan Ibu Sri “Kalau saya ini sewa 2 kapling mbak. Jadi pertahun Rp. 12.000.000. sengaja ambil besar karena sekalian untuk tempat tinggal, mbak”

Hingga tahun 2015 jumlah pedagang di Jalan Lingkar Salatiga kurang lebih ada 50, dari yang semula kurang lebih ada 15 pedagang sekarang sudah lebih banyak serta menumpuk disatu lokasi di sepanjang Jalan Lingkar Salatiga tepatnya pada arah ke Kelurahan Pulutan dan menempati dua lokasi pada bagian barat dan timur Jalan Lingkar Salatiga.

Pedagang yang menyewa tanah, kemudian membangun tempat berjualan atau warungnya dengan bambu sehingga membentuk bangunan semi permanen. Dari hasil wawancara penulis dengan beberapa pedagang di Jalan Lingkar

(46)

35

Salatiga terkait dengan banyaknnya pedagang yang membangun bangunan semi permanen karena, para pedagang sendiri menyadari bahwa mereka tidak memiliki ijin usaha yang resmi dari Pemkot sehingga para pedagang tidak berani membangun bangunan permanen, hal ini juga berkaitan dengan kesepakatan antara pedagang dengan Pemkot yang menyatakan boleh berjualan asal tidak membangun bangunan permanen, agar jika suatu saat Pemkot melakukan penggusuran tidak terlalu sulit untuk merubuhkan dan membersihkan bangunan. Dengan kesepakatan tersebut seolah menjadi jembatan dan alasan pedagang tetap berjualan bahkan jumlahnya semakin banyak karena tidak ada ketegasan dari Pemda Salatiga dan hal ini tidak sesuai dengan Perda yang berlaku.

Tentang rencana Pemkot dalam mengatur Jalan Lingkar Salatiga dari segi ketentuan bangunan, tidak boleh melebihi batas patok, soal kebersihan lingkungan, para pedagang setuju saja. Namun, jika rencana Pemda terkait RTH (Ruang Terbuka Hijau) pada bagian barat, Kelurahan Pulutan, yang berarti seharusnya para pedagang dibagian barat tersebut tidak ada, pedagang merasa keberatan. Menurut salah satu pedagang yaitu Ibu Sri mengatakan bahwa “Untuk apa ada RTH? Itu gak penting, mbak. Yang penting itu pedagang bebas berjualan disini, dimana saja lokasinya supaya dapat penghasilan. Yang tanahnya disewakan kan disebelah sini, mbak, lagipula kalau jualan disini enaknya ini kan posisinya dipaling depan, jadi pas pengunjung datang warung kami langsung kelihatan jadi cepet dapet pelanggan (lokasi RTH, bagian barat JLS).

(47)

36

Menurut pedagang, RTH (Ruang Terbuka Hijau) tidak penting. Jika rencana itu dijalankan maka akan mematikan perekonomian di Jalan Lingkar Salatiga.

4.4 Strukturasi Di Kalangan Pedagang Kaki Lima

Strukturasi di kalangan pedagang Jalan Lingkar Salatiga mulai lebih kuat ketika beberapa pedagang mengadakan pasar pagi di hari minggu yang beroperasi dari jam 05.00 sampai 11.00. Awalnya, yang mencetuskan untuk mengadakan pasar minggu pagi adalah Pak Biron selaku ketua, yang tak lain adalah pedagang tetap di Jalan Lingkar Salatiga dan bertempat tinggal di Kecamatan Pulutan. Pasar minggu pagi yang diadakan oleh Pak Biron dan beberapa pedagang dapat dikatakan sukses. Pak Biron dan beberapa pedagang tetap JLS mampu menarik minat warga sekitar maupun PKL diluar Salatiga untuk berjualan di Jalan Lingkar Salatiga. Jumlah PKL pasar minggu pagi saat ini sudah tak terhitung, karena bertambah setiap harinya. Keberadaan pasar minggu pagi turut melibatkan pemuda/warga sekitar Kecamatan Pulutan.

Ada kerjasama dan simbiosis mutualisme antara Pak Biron, beberapa pedagang tetap JLS dengan pemuda Kec. Pulutan. Bagi para pedagang tetap di JLS, keberadaan pasar minggu pagi mampu menambah penghasilan mereka hingga dua kali lipat. Peran pemuda Kec.Pulutan pada pasar minggu pagi adalah sebagai tukang parkir, keamanan, kebersihan, dan pencari lahan/lapak bagi para PKL. PKL yang berjualan dikenakan biaya sewa lapak sebesar Rp. 10.000, uang kebersihan sebesar Rp. 2000, dan parkir kendaraan bagi penjual dan para pembeli sebesar Rp. 2.000. Dari total pemasukan yang didapat pada pasar minggu pagi,

(48)

37

kemudian hasilnya dibagi rata bagi pemuda Kec.Pulutan. Jadi dalam hal ini, pedagang tetap JLS dan pemuda Kec.Pulutan sama-sama dapat pemasukan tambahan.

Keberadaan pasar minggu pagi sebenarnya dilarang oleh Pemkot Salatiga karena mengganggu arus lalu lintas, karena para PKL berjualan memakai hampir seluruh badan jalan sehingga tidak ada tempat bagi pengendara untuk berlalu-lalang. Beberapa kali aparat sudah memberikan peringatan untuk membubarkan pasar minggu pagi, namun hal ini tak serta merta dilakukan oleh PKL.

Strukturasi yang sudah dibagun oleh Pak Biron dan pemuda Kec.Pulutan memperkuat keberadaan mereka sebagai pemegang kekuasaan di Jalan Lingkar Salatiga tepatnya pada pasar minggu pagi. Pak Biron selaku ketua, tidak tinggal diam terkait larangan Pemkot soal pasar minggu pagi, sehingga dengan mudah Pak Biron merekrut pemuda Kec.Pulutan berkerjasama untuk melawan aparat dan membuat kesepakatan agar pasar minggu pagi dapat tetap berjalan.

Bagan 1. Strukturasi pedagang Kaki Lima Jalan Lingkar Salatiga.

Pedagang Kaki Lima

Melawan Pemerintah Membuat Kesepakatan Pak Biron

Pemuda Kec.Pulutan

(49)

38

“Menjelang lebaran tahun 2014 pasar minggu pagi digusur sama aparat, awalnya pedagang kaki limanya manut saja waktu disuruh pindah, tapi besokannya mereka balik jualan disini lagi. Tapi gak berapa lama aparat dateng lagi buat gurus pasar minggu pagi, tapi saya langsung panggil pemuda pulutan yang memang ditugaskan sebagai penjaga disini buat maju bareng sekalian pedagang juga kami ikut sertakan buat ikut maju, kan jumlahnya banyak sekali, mbak. Kami bilang ke aparat supaya tetep ngijinin pasar minggu pagi tetep ada, kan buat cari makan.” Kata Pak Biron selaku ketua.

Strukturasi yang sudah terbangun di kalangan pedagang JLS dan pemuda Kec. Pulutan bukan hanya melawan aturan Pemkot terkait pasar minggu pagi, namun masalah aturan terkait pedagang yang berjualan di RTH (Ruang Terbuka Hijau). Pak Biron mampu menyatukan pedagang untuk secara bersama-sama melawan aturan Pemkot.

Dalam teorinya, Giddens memberikan contoh tentang “Aktivitas ‘anak-anak bandel’ yang berkeinginan meninggalkan sekolah dan memasuki dunia pekerjaan. Mereka melawan aturan yang sudah ada, dan tidak memperdulikan akibat yang ditimbulkan serta sanksi yang didapat dari perilaku yang mereka lakukan”. Jika dilihat dari contoh ini, dan dikaitkan dengan pedagang kaki lima, para pedagang kaki lima memaksa berjualan pada lokasi yang dilarang, contohnya di bahu jalan, trotoar, dan Ruang Terbuka Hijau (RTH), tanpa memikirkan akibat yang nantinya akan mereka dapatkan, yaitu berupa sanksi seperti penggusuran paksa.

(50)

39

Kaitan selanjutnya adalah, para pedagang kaki lima melakukan aktivitas ekonomi yaitu berjualan di lokasi yang dilarang. Dan terkadang dalam melakukan aktivitas ekonominya, pedagang kaki lima memperlihatkan dan menjalankan secara

sengaja demi alasan-alasan tertentu, salah satunya tanpa memperdulikan soal aturan yang berlaku dengan alasan mencari pendapatan.

4.5 Resistensi Pedagang Jalan Lingkar Salatiga

Pada Jalan Lingkar Salatiga ada dua arah yang menjadi perhatian yaitu arah ke Kelurahan Pulutan dan arah ke Kelurahan Kecandran. Lokasi yang menjadi daya tarik pedagang adalah yang ke arah Kelurahan Pulutan karena pemandangannya bagus, dan dinilai lebih mempunyai prospek yang bagus. Banyaknya pedagang yang berjualan di Jalan Lingkar Salatiga menjadi masalah tersendiri bagi Pemda dan dari tahun ke tahun jumlahnya semakin bertambah.

Dari Perda yang sudah ada jelas terlihat bahwa keberadaan pedagang di Jalan Lingkar Salatiga menyalahi aturan. Untuk pedagang yang berjualan pada bagian barat, Kelurahan Pulutan, Jalan Lingkar Salatiga jika melihat dari Perda yang ada tidak sesuai dengan aturan, karena area pada bagian barat yang pedagang tempati untuk berjualan adalah untuk RTH (Ruang Terbuka Hijau), Taman Kota, atau Hutan Kota. Hasil wawancara penulis dengan Bapak Nurgianto selaku bagian Pengawasan dan Pengendalian Dinas Tata Kota Salatiga mengatakan bahwa “Pada bagian barat dijadikan RTH karena pemandangannya yang bagus, masih ada sawah, dan bukan diperuntukan untuk lokasi berjualan. Yang seharusnya diperuntukan untuk lokasi kawasan Perdagangan dan Jasa

(51)

40

adalah yang di bagian timur Jalan Lingkar Salatiga, namuns setiap Perdagangan dan Jasa yang ada harus sesuai ijin dan ketentuan yang berlaku, tidak masalah pedagang mau membangun bangunan untuk usahanya secara permanen atau semi permanen, yang penting mempunyai ijin dan sesuai ketentuan.”

Perda yang ada seolah diabaikan oleh pedagang. Keberadaannya yang tanpa ijin pun diabaikan para pedagang, hal ini disebabkan karena pedagang membayar sewa tanah pertahun dengan dana yang cukup besar, selain itu pedagang mengaku bahwa mereka berjualan di atas tanah warga bukan tanah Pemda, sehingga ada patok untuk memberikan batas bagi pedagang agar tidak melewati batas yang ditentukan. Namun hal ini tidak sejalan dengan Kebijakan Pemda yang menyatakan pedagang tanpa ijin dilarang berjualan dan bagi pedagang yang berjualan dibagian barat Jalan Lingkar Salatiga tidak diperbolehkan karena bagian barat adalah RTH (Ruang Terbuka Hijau).

Wawancara penulis dengan pedagang terkait resistensi dengan peraturan yang sudah ada, larangan yang melarang para pedagang berjualan karena tidak memiliki ijin. Pak Amir, salah satu pedagang mengatakan “Kami berjualan disini kan gak gratis, kami bayar mahal pertahunnya. Pemkot larang kami buat jualan jangan terlalu dekat dengan jalan raya makanya dipasang patok, kami ikuti. Dulu Pemkot datang mau rubuhin tempat kami, ya kami lawan mbak. Kami rame-rame lawan maju adu mulut dengan Pemkot. Pemkot mau usir kami, uang sewa tanah yang sudah kami keluarkan terus gimana? Pemkot mau ganti? Lagipula kami sudah seneng jualan disini karna untungnya besar mbak.”

(52)

41

Terkait pula pada bagian barat Jalan Lingkar Salatiga yang digunakan pedagang untuk berjualan yang sebenarnya adalah RTH (Ruang Terbuka Hijau), pedagang tidak mau memperdulikan hal itu karena menurut pedagang soal ruang terbuka hijau tidaklah penting, yang terpenting lokasi Jalan Lingkar Salatiga dapat mendorong perekonomian bagi pedagang kecil seperti mereka.

Terkait dengan pasar minggu pagi, masalah yang Pemkot hadapi bukan hanya tentang pedagang menetap di Jalan Lingkar Salatiga, melainkan pedagang kaki lima yang berjualan hanya di pasar minggu pagi. Hasil wawancara penulis dengan Ratna penjual Tupperware di pasar minggu pagi mengatakan bahwa “saya seneng mbak jualan disini, karena ternyata jadi PKL di JLS itu gak susah, kita tinggal dateng pagi buat nyari lapak yang strategis terus jualan. Padahal awalnya Cuma iseng-iseng saja, tapi setelah jualan disini kok untungnya besar juga. Karena, dari pendapatan sehari yang saya dapet bisa sampai Rp. 3.000.000 bahkan lebih, nanti kepotong uang lapak Rp. 10.000, parkir dan kebersihan Rp. 4.000, untungnya masih banyak. Akhirnya saya ajak temen saya yang lain buat nyoba jualan di pasar minggu pagi”

Masalah resistensi yang terjadi bukan hanya timbul dari pedagang yang menetap, namun pedagang pasar minggu pagi juga. Ratna pedagang Tupperware dipasar minggu pagi kembali menyatakan terkait resistensi tertutup yang cenderung pedagang minggu pagi lakukan “Sudah 3 kali ada penggusuran terkait masalah pedagang yang jualannya sampe dijalan raya, terus soal ketertiban, dan kemacetan. Waktu diusir ya saya dan pedagang lain manut aja, karna ya kami juga tau kami salah, namanya aja PKL, mbak, dimana-mana pasti salah. Kami

(53)

42

pindah, tapi gak jauh-jauh dari JLS supaya kami gak kehilangan pelanggan juga. Pas, suasana mulai aman kita pelan-pelan jualan lagi di JLS tapi agak mundur, gak terlalu make badan jalan. Penggusuran atau penertiban gitu mah biasa, paling sebentar saja besok udah gak ada lagi. Kita gak berani mbak marah-marah balik ke aparat, kita disini Cuma bayar sewa perjam, beda sama yang pedagang tetap. Mereka bayar mahal, ada bangunannya juga sekalian buat tempat tinggal”

Hal ini yang membuat dilema Pemda Salatiga terlebih Dinas Tata Kota Salatiga yang mengurus soal Jalan Lingkar Salatiga. Dinas Tata Kota Salatiga sebenarnya ingin menjalankan ketentuan yang sudah ada, yaitu Perda yang mengatur tentang Jalan Lingkar Salatiga. Namun disisi lain, pihak atasan dalam pengambilan keputusan masih mengulur waktu untuk menjalankan Perda yang mengatur Jalan Lingkar Salatiga. Karena hal inilah yang menyebabkan terjadinya kesepakatan boleh membangun bangunan semi permanen dan membiarkan pedagang berjualan di Jalan Lingkar Salatiga tanp memilik ijin karena atas dasar asas kemanusiaan. Dengan alasan orang kecil dan mencari makan, pedagang memaksa Pemkot untuk mengijinkan pedagang berjualan di Jalan Lingkar Salatiga.

Dengan demikian, hal ini menjadi masalah yang pada akhirnya sulit terselesaikan bagi Pemda. Disatu sisi Pemkot ingin menjalankan sesuai dengan Perda yang ada, namun di sisi lain mengatas namakan sisi kemanusiaan, Pemkot masih membiarkan pedagang berjualan di Jalan Lingkar Salatiga tanpa ijin dan tidak sesui dengan aturan yang ada.

Referensi

Dokumen terkait

Beberapa contoh dari putusan pengadilan yang progresif adalah Ultra Petita yang dilakukan para hakim di tingkat kasasi dalam kasus Kedung Ombo dengan menaikkan harga ganti tanah

Rasanya perlu kita menggali lebih banyak nilai-nilai dan filosofi budaya bangsa kita sebagai dasar merancang program pembelajaran, agar cara belajar dan proses

Juga, 84,6% dari kota menggunakan warga kelompok fokus setuju atau sangat setuju bahwa mereka bisa mencapai konsensus atau organisasi tujuan atau sasaran, dibandingkan dengan 71,4%

Sewaktu dominasi informasi berupa komik, dan berbagai buku yang memiliki ilustrasi yang diimpor dan atau komik terjemahan dari Jepang oleh penerbit di Indonesia,

untuk memudahkan pelaksanaan kegiatan selanjutnya sesuai dengan arahan direksi teknis, konsultan pengawas maupun pengawas lapangan dan untuk mendapatkan

Yang kedua adalah dengan diwajibkannya puasa Ramadhan atas umat ini, sebagaimana firman Allah “ karena itu, Barangsiapa di antara kamu hadir ( di negeri tempat tinggalnya ) di

dan reviewer pada aspek konstruk dirangkum dalam Tabel 5 dengan rata-rata nilai yang diperoleh adalah 58, 43 dan diperoleh hasil yang sangat baik sebesar 100% dan dapat

Untuk penurunan biaya terbesar terjadi pada peresepan pasien dengan penyakit kronis pada kasus ostheo atrhtritis dan intervensi apoteker berupa pembatasan jumlah obat