ANOTASI KEBIJAKAN
HUTAN TANAMAN INDUSTRI
Hariadi Kartodihardjo
Situasi Kelahiran HTI: Periode 1984—2000
• Tersedia 20 juta Ha hutan produksi tidak produktif • Supply kayu bulat menyusut, walaupun harga log
murah
• HTI tidak layak finansial dan mendapat subsidi dari DR—skema patungan dengan BUMN
• Perubahan politik nasional menghapus subsidi HTI dan 71 perusahaan (2,6 juta Ha) colaps
• Tanaman hanya 22% dari rencana yang ditetapkan • Periode ini tidak ada upaya menyelesaikan konflik
hutan/lahan
Kebijakan dan Kinerja HTI 1984—2000
Luas tanaman 22 % ~ 1,6 juta Ha. DENGAN DR 71 unit ~ 2,6 juta Ha TANPA DR 22 unit ~ 1,2 juta Ha DANA REBOISASI Rp. 1,5 trilyun MASALAH KONFLIK LAHAN DENGAN MASY.KEBAKARAN HUTAN Rata-rata 44.000 ha/th RATAAN AREAL BERHUTAN 72% SUBSIDI PENDANAAN PENGGUNAAN AREAL EKS. HPH
KEBIJAKAN REAKSI USAHA KINERJA
KONDISI/PRASYARAT
1. "Kelimpahan kayu" dari hutan alam 2. Ketidak-pastian lahan usaha
3. Law enforcement lemah/moral hazard
TERSEDIA-NYA ASSET PUBLIK
SITUASI
disinsentif
Sebagian besar perusahaan penerima subsidi kinerjanya lebih buruk dan dalam waktu yang sama terdapat perusahaan yang tidak
menerima subsidi, justru kinerjanya lebih baik…
Mei 2002, seluruh HTI Patungan 3.335.342 Ha, realisasi tanaman 1.200.198 Ha (36%). Jumlah PMP Rp. 922,1 milyar, hutang DR bunga 0% Rp. 1,1 trilyun, hutang dng bunga komersial Rp. 320,2 milyar.
TEMUAN-TEMUAN
Karena pasokan kayu dari hutan alam terus 'melimpah' – karena juga dipasok dari kayu illegal – yang menyebabkan harga kayu HTI sangat murah, bahkan tidak ada pasarnya, maka perusahaan HTI tidak pernah diperhitungkan layak secara finansial, jika ia mandiri. Oleh karena itu perhitungan kelayakan finansial selalu dilakukan dengan mengkaitkan HTI dengan industri yang mengolah hasil kayunya.
Dengan dimasukkannya DR ke dalam APBN, atas permintaan IMF, Pemerintah menyebut HTI akan terhambat. Karena kredit berbunga 12% pun pembangunan HTI tidak layak secara finansial.
Pernyataan ini diragukan. Pada waktu itu (1999) terdapat 22 perusahaan (1,2 juta Ha) justru tidak menggunakan fasilitas subsidi dari DR yang ditawarkan pemerintah.
Kelemahan kebijakan pembangunan HTI disebabkan tingginya intervensi pemerintah. Pilihan kelembagaan yang menggabungkan antara “keharusan membangun HTI” atas inisiatif Pemerintah dengan “pilihan-pilihan alokasi investasi” yang menjadi dasar keputusan swasta dan dikemas dalam bentuk lembaga patungan antara swasta dan BUMN tidak bisa mengatasi berbagai resiko
investasi HTI.
Sebuah audit independen terhadap Dana
Reboisasi yang dilakukan oleh Ernst & Young pada tahun 1999 menemukan kerugian sebesar US$5,2 miliar selama periode lima tahun, tahun anggaran 1993/94 – tahun anggaran 1997-1998, sekitar 50 persen telah berkurang setelah
penerimaan Dana Reboisasi masuk ke rekening Departemen Kehutanan.
Pasca Era Reformasi: Periode 2001—2010
• Pembangunan HTI diselimuti konflik dan/atau pelanggaran hukum. Ketentuan mengenai kriteria kawasan hutan yang dapat dipergunakan sebagai lokasi HTI, baik dalam PPmaupun SK Menteri tidak sinkron, yang kemudian menjadi argument
pelanggaran di daerah.
BEDA PENDAPAT
1. Perda Riau No 10/1994 RTRWP, tata guna hutan kesepakatan/TGHK (SK Menhut No 173/Kpts-II/1986) dan penetapan kawasan lindung gambut/KLG (Keppres No
32/1990).
2. Kriteria hutan alam yang tidak produktif serta hutan alam yang harus dipertahankan di dalam hutan tanaman atau penetapan tata ruang (landscaping) dalam kawasan HTI (SK Menhut No 70/1995; SK menhut No 200/2000; SK Menhut No 10.1/2000; PP No 34/2002; SK Menhut No 101/2004). 3. Kerusakan dan pencemaran lingkungan
hidup ( UU No 23/1997) Nama
Perusahaan
PERBEDAAN POKOK
OBYEK BARESKRIM-POLRI DEPHUT
1. PT. Ruas Utama Jaya (RUJ)
1.KLG1)seluas 15.600 Ha
2.Ijin PT RUJ (SK Menhut No 46/2006)
3.Melakukan tebang habis 4.Pembuatan kanal (sedalam
3 m lebar 5 m)
1.PT. RUJ berada pada KLG (paduserasi TGHK2)dan
RTRWP3)Riau – Perda No.
10/1994).
2.SK Menhut sbg ijin PT RUJ tdk memperhatikan adanya KLG (sedalam > 3m)
3.Ada bukti tebang habis telah dilakukan di lapangan 4.Kanal bertentangan
dengan Keppres No. 32/1990
1. Riau belum ada padu-serasi TGHK dan RTRWP, maka sesuai SK Menhut No 404/2004 tetap menggunakan TGHK. Dalam TGHK tdk ada istilah KLG.
2. Hasil survai mikro oleh LPI4)areal gambut ( > 3
m) seluas 529 Ha dan menjadi kawasan lindung.
3. HTI dilakukan dengan THPB5)
4. Kanal sebagai kegiatan PWH6)diperbolehkan (SK Menhut No. 151/2003) 1. PT. Suntara Gajah Pati (SGP)
1.Lokasi PT. SGP di hutan alam dan KLG sesuai ijin SK Menhut No 71/2001 2.Melakukan tebang habis 3.Pembuatan kanal (sedalam
3 m lebar 5 m)
1.Dalam penetapan lokasi tidak menggunakan SK Menhut No 10.1/2000 (penentapan kriteria lokasi hutan tanaman)
2.Target produksi kayu dari hutan alam bertentangan dengan PP No 34/2002 3.Kanal bertentangan dengan
Keppres No. 32/1990
1. Hutan tdk produktif adalah hutan yg tdk dibebani hak (PP No 6/1999).
2. HTI dilakukan dengan THPB5)
3. Kanal sebagai kegiatan PWH6)diperbolehkan
(SK Menhut No. 151/2003)
Keterangan:
1). KLG = Kawasan Lindung Gambut, 2). TGHK = Tata Guna Hutan Kesepakatan, 3). RTRWP = Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi, 4). LPI = Lembaga Penilai Independen, 5). THPB = Tebang Habis Permudaan Buatan, 6). PWH = Pembukaan Wilayah Hutan.
USUL PERBAIKAN KEBIJAKAN_2005
Pembahasan kebijakan HTI, 21-22 Desember 2005: 1. Pemerintah terlalu mengedepankan target-target
yang bersifat kuantitatif tanpa
mempertimbangkan kondisi riil lapangan; 2. Lemahnya kepastian kawasan hutan/land
tenure, tidak pernah diselesaikan dengan serius
dan membebankan penyelesaiannya kepada pengusaha;
3. BUMN Kehutanan belum mampu menjalankan fungsi sebagai perpanjangan tangan Pemerintah. 4. Regulasi yang inkonsisten;
5. Belum ada kebijakan ketersediaan pasar, untuk dapat menaikan harga yang kompetitif.
Catatan kritis:
1. Perlu langkah jangka pendek dan sangat mendesak terhadap kinerja
HPHTI-Patungan. Ada kesan oleh Pemerintah dibiarkan saja;
2. DEPHUT harus membina BUMN, yang cenderung ingin melepas tanggung
jawabnya melalui opsi divestasi pada perusahaan patungan HPHTI.
3. Terdapat indikasi akan terjadinya
perulangan sejarah berupa konglomerasi usaha dibidang kehutanan.
Era Saat Ini: Periode 2011—2017
1. Pertama,
segala bentuk instrumen kebijakan: sertifikasi/verifikasi,
pengawasan—pengendalian, sistem insentif (self assesment, dll) dan
sanksi (administrasi) serta penegakkan hukum tidak dapat
diandalkan seluruhnya untuk melestarikan hutan.
2. Kedua,
hutan alam produksi sebagai kekayaan negara, yang secara de
facto tidak diperlakukan sebagai asset siapapun—apabila hilang tidak
ada satu pihakpun yang rugi secara finansial.
3. Ketiga,
Tanggungjawab Pemerintah/Pemda adalah tanggung jawab
administratif (output kegiatan) sesuai bidang tugasnya dan bukan
tanggungjawab terhadap outcome/kelestarian hutan.
PERSOALAN INSTRUMEN
HUTAN TANAMAN
• Penilaian KLHK (2016) dari 281 UM (10,3 juta Ha) :
• Layak dilanjutkan 96 perusahaan (5,2 jt Ha)
• Layak dilanjutkan dengan catatan 67 perusahaan (1,9 jt Ha)
• Layak dilanjutkan dengan pengawasan 76 perusahaan (2,1 jt Ha) • Layak evaluasi 16 perusahaan (222 ribu Ha)
• Belum evaluasi 26 perusahaan (859 ribu Ha).
• 104 UM (5,8 juta Ha) mendapat S-PHPL dan S-LK 53 perusahaan. • 53 UM yang telah mendapat S-LK ini terdapat:
• Perusahaan yang layak dengan catatan (LDC) sebanyak 10 perusahaan • Perusahaan yang layak dengan pengawasan sebanyak 2 perusahaan
• Perusahaan yang tata batas areal kerjanya belum ditetapkan sebanyak 53 perusahaan seluas 2 juta Ha.
• Perusahaan yang belum ada penetapan tata batas areal kerja serta hasil evaluasi KLHK tidak layak dilanjutkan (dengan catatan atau dengan
Propinsi Nama Perusahaan Luas (Ha) S-VLK Evaluasi KLHK
1. NAD PT Aceh Nusa Indrapuri 111.000 Memenuhi 2015 LDP
2. Sumatera Utara PT Anugerah Rimba Makmur 49.230 Memenuhi 2015 LDC
3. Jambi PT Lestari Asri Jaya 61.495 Memenuhi 2013 LDC
4. Babel PT Inhutani V 16.730 Memenuhi 2014 LDC
5. Kalimantan Timur PT Belantara Subur 16.475 Memenuhi 2013 LDC
PT Kelawit Hutani Lestari 9.180 Memenuhi 2013 LDC
PT Kelawit Wana Lestari I 22.065 Memenuhi 2012 LDC
T Oceanis Timber Product 16.600 Memenuhi 2015 LDC
6. Riau PT Citra Sumber Sejahtera 15.360 Memenuhi 2013 LDC
PT Bina Daya Bintara 7.550 Memenuhi 2013 LDC
PT Perkasa Baru 13.170 Dalam proses LDC
PT Peranap Timber/ PT Uniseraya
33.360 Memenuhi 2013 LDC
Perusahaan yang belum ada penetapan tata batas areal kerja dan layak dilanjutkan
dengan catatan dan dengan peringatan namun mendapat S-LK.
Temuan-temuan
Tinjauan peraturan 33 Permen Dephut/LHK pada awal periode ini tidak ada perbaikan. Baru setelah NKB-KPK bekerja mulai tahun 2013 dan
GNPSDA-KPK tahun 2015, terdapat upaya peningkatan efisiensi kebijakan perizinan HTI melalui penyederhanaan peraturan untuk mengurangi biaya transaksi tinggi. Implementasi kebijakan sistem
online untuk pelaksanaan tata usaha kayu dan
pemungutan PNBP.
Pada era ini juga terdapat peninjauan penggunaan kawasan lindung gambut di areal HTI seluas sekitar 2 juta Ha dan di Riau terdapat sekitar 900 Ha.
Penguasaan oleh satu atau dua group besar pengusaha dalam pembangunan HTI dapat dilihat pada distribusi IUPHHK-HT yang sebenarnya.
Temuan-temuan
Larangan ekspor kayu log terhadap pengembangan HTI ini berdampak terhadap IUPHHK-HT yang tidak memiliki industri pulp dan kertas. Kebijakan ini mengakibatkan pemegang IUPHHK-HT tidak memiliki alternatif
dalam memasarkan kayu HTI.
Tarif usaha HTI dan pabrik Pulp dan Kertas
berdasarkan Peraturan Pemerintah No 12/2014: 1. Iuran IUPHHK-HT = Rp 250,- per izin per Ha
per Tahun
2. PSDH untuk kayu bulat kecil Eucalyptus dan Acasia mangium = 6% x harga patokan
3. Permendag No 12/2012: harga patokan kayu bulat dari HTI sebesar Rp. 782.000,- per ton untuk kayu Eucalyptus dan sebesar Rp.
792.000,- untuk kayu Acasia.
4. SK Menhut No 68/2014 Acasia dan Eucalyptus sama sebesar Rp 90.000,- per m3. Harga
patokan ini sekitar 23% dari harga pasar yang sesungguhnya.
Permenhut No.P.20/Menhut-II/2005 jo No.P.37/Menhut-II/2009 jo No.P.29/Menhut-II/2012 tentang Perjanjian Kerja sama Operasi
TEMUAN-TEMUAN KUNCI
• PP. No. 7/1990 dan peraturan turunannya dimanfaatkan subsidinya, tetapi tidak disertai dengan prestasi kerja HTI. Tahun 2000 terjadi penghapusan subsidi DR. Akibatnya banyak perusahaan HTI yang collapse secara
finansial. Instrumen pembiayaan HTI sebagai hasil state capture itu gagal mencapai tujuan pembangunan hutan tanaman.
• Sebagai kelanjutan sistem HPH, dalam system HTI kondisi status kawasan hutan tidak berubah. Penyelesaian masalah tata ruang, status kawasan hutan negara, serta hak dan akses masyarakat adat/lokal lainnya masih tidak menjadi prioritas.
• Sistem perizinan yang berbiaya transaksi tinggi di satu sisi, dan di sisi lain kontrol terhadap terjadinya akumulasi penguasaan aktual sumberdaya hutan oleh negara sangat lemah serta adanya state capture dalam
penetapan instrumen pajak dan tarif, maka timbul penguasaan HTI ke tangan pengusaha tertentu.
• Ekonomi biaya tinggi dalam perizinan ketika tidak dapat diberantas
dalam jangka panjang, “diselesaikan” oleh pemegang izin dengan cara
memperbesar skala usaha ataupun bentuk holding-holding usaha
agar mampu membayar biaya transaksi itu. Di sisi lain, pemerintah
memperkecil tarif dan pajak sekecil-kecilnya.
• Akibatnya, ekonomi perkayuan yang berbasis bisnis individual ataupun rakyat kecil sebagai pelaku utamanya tidak berjalan.
• Pada tingkat nasional, system monopsoni dilakukan dengan cara
melarang ekspor log dari hasil HTI. Dampaknya, harga log dari hutan
tanaman termasuk hutan rakyat, dapat dikendalikan oleh industri.
Akibatnya, tidak tersedia insentif harga jual bagi upaya membangun
hutan.
• Kebijakan tersebut adalah contoh bagaimana Pemerintah menumbuhkan ekonomi berbasis kayu secara makro yang kokoh, tetapi di dalamnya
terdapat ketidak-adilan dan sudah mulai menghapus insentif membangun hutan.
• Upaya terkini untuk meningkatkan efisiensi perizinan, terutama dari
inisiatif GNPSDA-KPK masih berada di seputar efisiensi perizinan usaha-usaha besar, tetapi belum sampai pada upaya pengendalian sistem
ekonomi yang tidak adil tersebut.
• Untuk memastikan lokasi izin tidak konflik, dalam peraturan disebut lokasi yang dimohon tidak terdapat hak pihak lain dan tidak dalam permohonan izin pihak lain. Namun dalam kenyataannya, substansi rekomendasi dari Gub/Kab/Kota tidak dapat memenuhi syarat itu. Tata ruang HTI yang
menyediakan tanaman kehidupan maupun kemitraan dengan masyarakat lokal, umumnya tidak berjalan mengatasi masalah hak/akses masyarakat.
REKOMENDASI
• Kebijakan HTI sejauh ini lebih dijalankan dengan pendekatan
teknis-administratif yang menghasilkan konflik lahan dan tekanan harga
akibat monopsoni. Diharapkan ada perubahan pendekatan perizinan
baru, dengan memastikan lahan bebas konflik (gunakan drone atau
teknologi lain) dan rekomendasi teknis yang terbuka melalui
e-governance.
• Untuk mendorong investasi dan kemauan masyarakat membangun
hutan serta mencegah jutaan hektar hutan tidak produktif, pasar
terbuka bagi komoditi HTI (dan kayu dari hutan rakyat maupun PS)
perlu diwujudkan.
REKOMENDASI
• Perlu ada prioritas nasional penyelesaian konflik pemanfaatan hutan/lahan saat ini dengan berbagai instrumen: litigasi, non litigasi maupun
perhutanan sosial dan kemitraan. Konflik tersebut harus diselesaikan melalui pelaksanaan kebijakan publik, bukan diprivatisasi oleh para pemegang izin seperti yg selama ini berjalan.
• Wacana perubahan UU 41/99 dan perubahan PP 6 Tahun 2007 jo PP 3 Tahun 2008 untuk menetapkan kebijakan izin multi komoditi perlu
sekaligus diterapkan tegakkan hutan sebagai asset agar tdp kejelasan nilai kekayaan negara dan asset perusahaan dengan bentuk
pertanggungjawaban yg sesuai.
• Upaya pengurangan atau penghapusan biaya transaksi perizinan harus menjadi prioritas nasional dan sejalan dengan itu penataan penguasaan hutan/lahan perly diselesaikan melalui penetapan pajak/tarif.