Topik
Bronchiolitis
Tanggal (kasus)
Pasien datang ke UGD pada 8 Desember 2014 pukul 22.04 WIB
Nama Pasien
An. I
No. RM
0192128
Tanggal Presentasi 9 Desember 2014
Pendamping
dr. Wiwik Dewi
Tempat Presentasi
Objektif Presentasi
□ Keilmuan
□ Keterampilan
□ Penyegaran
□ Tinjauan Pustaka
□ Diagnostik
□ Manajemen
□ Masalah
□ Istimewa
□ Neonatus
□ Bayi
□ Anak
□ Remaja □ Dewasa
□ Lansia
□ Bumil
□ Deskripsi
Seorang anak 11 bulan datang dengan keluhan sesak disertai batuk
□ Tujuan
Menegakkan diagnosis dan penatalaksanaan Bronchiolitis
Bahan Bahasan
□ Tinjauan Pustaka
□ Riset
□ Kasus
□ Audit
Cara Membahas □ Diskusi
□ Presentasi dan Diskusi
□ Pos
Data Pasien
An.I
No. Registrasi: 0192128
Nama Klinik
Telp.
Terdaftar sejak: 2014
Data Utama untuk Bahan Diskusi: Anamnesis dan pemeriksaan fisik dilakukan pada
tanggal 8 Desember 2014 pukul 22.40 WIB. Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis
dengan keluarga pasien
1.
± 7 hari anak batuk (+), dahak (+) tidak dapat dikeluarkan, pilek
(+), sesak (-), ngik-ngik (-), demam (+) anget-anget, bintik-bintik
merah seperti digigit nyamuk (-), gusi berdarah (-), mimisan (-),
keluar cairan dari telinga (-), nyeri tekan belakang telinga (-), nyeri
telan (-), muntah 1x/hari setelah batuk ± @2 sendok makan, berisi
dahak (+) warna putih encer (+) bercampur susu, BAB dan BAK
tidak ada kelainan, anak masih bermain seperti biasa, makan dan
minum tidak terganggu.
± 2 hari anak masih batuk dan makin bertambah parah, dahak
tidak dapat dikeluarkan, sesak (+), ngik-ngik (+), sesak tidak
berkurang dengan perubahan posisi dan cuaca (+), dan tidak
bertambah saat bermain, biru-biru disekitar mulut (-), demam (+)
tidak tinggi terus menerus, bintik-bintik merah seperti digigit
nyamuk (-), gusi berdarah (-), mimisan (-), keluar cairan dari telinga
(-), nyeri tekan belakang telinga (-), nyeri telan (-), anak rewel (+),
muntah 1x/hari 2-3 sendok makan berisi dahak kental warna putih
dan susu, nafsu makan dan minum susu anak terganggu, buang air
besar dan buang air kecil tidak ada kelainan, kemudian dibawa ke
bidan diberi obat 2 macam berupa syrup, namun karena keluhan
tidak membaik, pasien dibawa ke IGD PKU MUHAMMADIYAH
TEMANGGUNG.
.
2. Riwayat Pengobatan: Pasien sudah berobat ke bidan ± 2 hari SMRS, mendapat obat berupa
syrup sebanyak 2 macam. Namun keluhan belum membaik.
3. Riwayat Kesehatan/Penyakit:
-
Riwayat tersedak sebelumnya disangkal
-
Riwayat sesak sebelumnya dan nafas berbunyi (mengi) disangkal.
-
Riwayat bepergian ke daerah endemis malaria (-)
-
Tidak pernah sakit batuk lama, tidak ada riwayat sering berkeringat malam hari, tidak
ada keluhan berat badan turun atau sulit naik.
-
Riwayat ruam /alergi susu saat bayi disangkal.
-
Riwayat batuk/bersin saat pagi hari/subuh (-)
4. Riwayat Keluarga:
-
Tidak ada anggota keluarga yang sakit seperti ini atau batuk-batuk lama.
-
Ayah perokok aktif (+).
-
Tidak ada anggota keluarga yang sakit seperti ini.
-
Riwayat asma pada anggota keluarga disangkal.
-
Lingkungan : memelihara binatang (-), karpet (-).
5. Riwayat Pekerjaan:
-6. Kondisi Lingkungan Sosial dan Fisik: Ayah bekerja sebagai pegawai swasta. Ibu
tidak bekerja. Menanggung 1 orang. Penghasilan per bulan Rp 2.000.000. Biaya pengobatan ditanggung pribadi.7. Riwayat Imunisasi (disesuaikan dengan pasien dan kasus):
BCG
: 1 kali, umur 1 bulan, skar positif.
Polio
: 4 kali, umur 0,2,4,6 bulan.
Hepatitis
: 3 kali, umur 2,4,6 bulan.
Dipteri : 3 kali, umur 2,4,6 bulan
Pertusis
: 3 kali, umur 2,4,6 bulan
Tetanus
: 3 kali, umur 2,4,6 bulan
Campak : 1 kali, umur 9 bulan
Kesan : vaksinasi dasar lengkap.
8. Lainlain :
-Daftar Pustaka:
1.
Sidhartani M. Bronkiolitis. Dalam : Buku Ajar Respirologi Anak. Edisi pertama.
Jakarta: UKK Respirologi PP Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2008: 333-347
2.
Wastoro D. Infeksi pernafasan akut pada anak. Dalam : Kuliah pulmonologi tahun
1996. Semarang. Bagian IKA FK UNDIP. 1996 : 1 – 8
3.
Staf Pengajar FK UI. Bronkiolitis akut. Dalam : Buku kuliah ilmu kesehatan anak
jilid 3. Jakarta. Bagian IKA FK UI. 1991 : 1233 – 1234
4.
Trastotenojo MS, Sidhartani M, Wastoro D. Pulmonologi anak. Dalam : Hartantyo I,
Susanto R, Tamam M dkk editor. Pedoman pelayanan medik anak edisi kedua.
Semarang. Bagian IKA FK UNDIP. 1997 : 83 – 85
5.
Mansjoer, Suprohaita, dkk. Bronkiolitis akut. Dalam : Kapita selekta kedokteran jilid
2. Jakarta. Media Ausculapius FK UI. 2000 : 468 – 469
6.
Orenstein DM. Bronkiolitis. Dalam : Behrman, Kliegman, Arvin editor. Nelson, ilmu
kesehatan anak edisi 15. Jakarta. EGC. 2000 : 1484 – 1486
7.
McIntosh K. Virus sinsitial respiratori. Dalam : Behrman, Kliegman, Arvin editor.
Nelson, ilmu kesehatan anak edisi 15. Jakarta. EGC. 2000 : 1112 – 1114
8.
Guyton. Buku ajar fisiologi kedokteran jilid II edisi 7. Jakarta. EGC. 1994 : 158 –
159
9.
Price SA, Wilson LM. Patofisiologi jilid II edisi 4. Jakarta. EGC. 1995 : 645 – 648
10. Soemantri AG, Tamam M. Hematologi – Onkologi . Dalam : Hartantyo I, Susanto R,
Tamam M dkk editor. Pedoman pelayanan medik anak edisi kedua. Semarang.
Bagian IKA FK UNDIP. 1997 : 149 – 172
11. Camitta BM. Anemia. Dalam : Behrman, Kliegman, Arvin editor. Nelson, ilmu
kesehatan anak edisi 15. Jakarta. EGC. 2000 : 1680 – 1682
12. Widiharto J. Hubungan antara kelengkapan imunisasi dengan ISPA, diare akut, dan
status gizi. Semarang. FK UNDIP. 1999 : 5 – 31
13. Bagian/SMF IKA FK UNDIP. Prosedur tetap algoritma pengelolaan penderita
bayi/anak per sub bagian. Semarang. FK UNDIP. 1997 : 33
14. Sidhartani M. Bronkiolitis. Dalam : Riwanto I, Sidartani M editor. Penatalaksanaan
terpadu sesak nafas. Semarang. Badan Penerbit UNDIP. 1998 : 52 – 57
15. J.Zorc Joseph, Caroline Breese Hall. Bronchiolitis: Recent Evidence On Diagnosis
And Management. Official journal of the American of Pediatric.125(2). 2010.
342-349
Availabel from :
http://pediatrics.aappublications.org/content/125/2/342.full
Hasil Pembelajaran:
1.
Diagnosis Bronchiolitis
2.Etiologi Bronchiolitis
3.Tata laksana Bronchiolitis
4.Prognosa Bronchiolitis
5. Upaya pencegahan Bronchiolitis
Rangkuman Hasil Pembelajaran Portofolio
1. Subjektif : Anamnesis dilakukan pada tanggal 8 Desember 2014 pukul
23.40 WIB secara autoanamnesis dengan keluarga pasien
± 7 hari anak batuk (+), dahak (+) tidak dapat
dikeluarkan, pilek (+), sesak (-), ngik-ngik (-), demam (+)
anget-anget, bintik-bintik merah seperti digigit nyamuk
(-), gusi berdarah (-), mimisan (-), keluar cairan dari
telinga (-), nyeri tekan belakang telinga (-), nyeri telan (-),
muntah 1x/hari setelah batuk ± @2 sendok makan, berisi
dahak (+) warna putih encer (+) bercampur susu, BAB
dan BAK tidak ada kelainan, anak masih bermain seperti
biasa, makan dan minum tidak terganggu.
± 2 hari anak masih batuk dan makin bertambah parah,
dahak tidak dapat dikeluarkan, sesak (+), ngik-ngik (+),
sesak tidak berkurang dengan perubahan posisi dan
cuaca (+), dan tidak bertambah saat bermain, biru-biru
disekitar mulut (-), demam (+) tidak tinggi terus menerus,
bintik-bintik merah seperti digigit nyamuk (-), gusi
berdarah (-), mimisan (-), keluar cairan dari telinga (-),
nyeri tekan belakang telinga (-), nyeri telan (-), anak
rewel (+), muntah 1x/hari 2-3 sendok makan berisi dahak
kental warna putih dan susu, nafsu makan dan minum
susu anak terganggu, buang air besar dan buang air kecil
tidak ada kelainan, kemudian dibawa ke bidan diberi obat
2 macam berupa syrup, namun karena keluhan tidak
membaik, pasien dibawa ke IGD PKU MUHAMMADIYAH
TEMANGGUNG.
-
Riwayat tersedak sebelumnya disangkal
-
Riwayat sesak sebelumnya dan nafas berbunyi (mengi) disangkal.
-
Riwayat bepergian ke daerah endemis malaria (-)
-
Tidak pernah sakit batuk lama, tidak ada riwayat sering berkeringat malam
hari, tidak ada keluhan berat badan turun atau sulit naik.
-
Riwayat ruam /alergi susu saat bayi disangkal.
Riwayat batuk/bersin saat pagi hari/subuh (-)-
Tidak ada anggota keluarga yang sakit seperti ini atau batuk-batuk lama.
-
Ayah perokok aktif (+).
-
Tidak ada anggota keluarga yang sakit seperti ini.
-
Riwayat asma pada anggota keluarga disangkal.
Lingkungan : memelihara binatang (-), karpet (-).
2. Objektif: pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 8 Desember 2014
pukul 23.50 WIB di IGD
a. Vital sign
KU: Tampak sesak , tidak sianosis , ada napas spontan ,
adekuat.
Kesadaran: composmentis, GCS E4M6V5 = 15
Frekuensi nadi: 124 x/menit isi dan tegangan cukup
Frekuensi nafas: 50 x /menit
Suhu: 38.5
0C
Berat badan: 7 kg
Tinggi badan: 65 cm
b.Pemeriksaan Sistemik
Kulit:
Teraba dingin, tidak pucat, tidak ikterik, tidak sianosis.
Kepala:
mesosefal, lingkar kepala 45 cm. ubun-ubun besar datar dan belum
menutup.
Mata:
konjungtiva palpebra anemis (-), sklera tidak ikterik, pupil isokor
diameter 2 mm/2 mm, reflek cahaya (+) N / (+) N. reflek kornea +N/
+N, reflek bulu mata +N/+N.
THT:
Tidak ada secret.
Mulut:
Bibir tidak sianosis, selaput lendir tidak kering, lidah tidak kotor, gusi
tidak berdarah, gigi incicvus sudah tumbuh
Leher :
Tidak ada kelainan.
KGB:
Tidak teraba pembesaran KGB pada leher, axilla, dan inguinal.
Thoraks:
Dada : simetris, ada retraksi epigastrial.
Paru depan : I
: simetris, statis, dinamis.
Pa
: stem fremitus kanan = kiri
Pe
: sonor seluruh lapangan paru
A
: suara dasar vesikuler normal
suara tambahan : ronkhi basah (-)/(-)
wheezing (+)/(+)
eksperium memanjang (+)/(+)
Paru belakang: I
: simetris, statis, dinamis.
Pa
: stem fremitus kanan = kiri
Pe
: sonor seluruh lapangan paru
A
: suara dasar vesikuler normal
suara tambahan : ronkhi basah (-)/(-)
wheezing (+)/(+)
Eksperium memanjang (+)/(+)
paru depan paru
belakang
Jantung
: I
: sulit dinilai
Pa
: sulit dinilai
Pe
: sulit dinilai
A
: suara jantung I-II normal, tidak ada bising, tidak ada
gallop, irama reguler, frekuensi jantung 120 x / menit,
M1>M2, A1<A2, P1<P2.
Abdomen
: I
: datar, tidak ada venektasi.
Pa
: datar, lemas, tidak nyeri tekan.
Hepar
: tidak teraba
Lien
: tidak teraba
Pe
: timpani, pekak sisi (+) normal, tidak ada pekak alih.
A
: bising usus (+) normal.
Punggung:
Dalam batas normal, tidak tampak kelainan.
Alat kelamin:
laki-laki, testis (+) 2 buah, epispadi (-), hipospadia (-), fimosis (-),
hiperemis (-)
Vesikuler , ST (+) Vesikuler , ST (+) Vesikuler ST (+)
Anus:
Inspeksi : Dalam batas normal, tidak tampak kelainan.
Ekstremitas:
Ekstremitas
Superior
Inferior
Akral dingin
+/+
+/+
Edema
-/-
-/-Sianosis
-/-
-/-3. Plan:
Diagnosis klinis: Dyspneu dd/ bronchiolitis
bronchopneumonia
Diagnosis sosial: -
Pengobatan:
a. Promotif:
Diberikan penyuluhan mengenai bronchiolitis mulai dari pengertian,
penyebab, gejala penyakit, pencegahan, pengobatan, komplikasi dan
prognosis.
b. Preventif:
Edukasi tentang penghindaran dari asap rokok serta kurang nya
ventilasi udara dirumah.
c. Kuratif:
Terapi medikamentosa dengan nebulisasi Ventolin 2.5mg dan pulmicort
0.5mg
Cefotaxim i.v 350mg/12 jam
Paratusin syrup 3xcth1/2
Paracetamol syrup 3x125mg
Pendidikan:
Kepada keluarga dijelaskan mengenai penyakit mulai dari pengertian,
penyebab, gejala penyakit, pencegahan, pengobatan, komplikasi dan
prognosis.
Konsultasi:
TINJAUAN PUSTAKA
A. DIAGNOSIS 1. BRONKIOLITIS Defenisi
Bronkiolitis diartikan sebagai penyakit obstruktif akibat inflamasi
akut pada saluran nafas kecil (bronkioli) yang sering terjadi pada anak di bawah 2 tahun dengan insiden tertinggi umur 2-8 bulan.1-4
Etiologi
Respiratory Syncytial Virus merupakan agen penyebab pada 50 – 90 % kasus, sisanya oleh virus para influenza, mikoplasma, adenovirus dan virus lainnya. Infeksi primer oleh bakteri penyebab belum dilaporkan.1,-4,7
Patofisiologi
Secara harfiah pernafasan berarti pergerakan oksigen dari atmosfir menuju ke sel-sel dan keluarnya karbondioksida dari sel-sel ke udara bebas. Jika hal ini diuraikan lagi akan terbagi menjadi pernafasan eksternal (difusi oksigen dan kabondioksida melalui mambran kapiler alveoli) dan pernafasan internal (rekasi-reaksi kimia intraseluler dimana oksigen dipakai dan karbondioksida dihasilkan sewaktu sel memetabolismekan karbohidrat dan substansi lain untuk membangkitkan ATP dan pelepasan energi).8
Setelah melewati hidung dan faring, udara didistribusikan kedalam paru melalui trakea, bronkus dan bronkioli. Satu masalah yang paling penting pada semua jalan pernafasan adalah memelihara agar tetap terbuka, sehingga aliran udara keluar masuk alveoli berjalan lancar. Cincin kartilago pada trakea dan bronkus berfungsi untuk mempertahankan rigiditas dan menjaga terjadinya kolap. Adapun bronkiolus dindingnya hanya terbentuk oleh otot polos dan diameternya sangat kecil yaitu 1 – 1,5 mm, sehingga mudah terjadi obstruksi baik oleh proses inflamasi maupun spasme otot itu sendiri.8
Patofisiologi bronkiolitis berawal dari invasi virus pada percabangan bronkus kecil, menyebabkan nekrosis epitel yang kemudian
berproliferasi membentuk sel yang kuboid atau gepeng tanpa silia. Rusaknya sel epitel bersilia menyebabkan gangguan mekanisme pertahanan lokal. Jaringan peribronkial mengalami infiltrasi lekosit, sel plasma dan makrofag, dan sebagian limfosit bermigrasi diantara sel epitel sehingga timbul udem, akumulasi mukus dan debris seluler hingga terjadi obstruksi lumen bronkiolus.9
Resistensi aliran udara meningkat pada fase inspirasi maupun fase ekspirasi. Tetapi karena radius saluran napas kecil selama fase ekspirasi, maka terdapat mekanisme klep hingga udara akan terperangkap dan menimbulkan hiperinflasi dada. Atelektasis dapat terjadi bila obstruksi total dan udara diserap. Proses patologik ini mengganggu pertukaran udara di paru, menyebabkan ventilasi berkurang dan hipoksemia. Sebagai kompensasi frekuensi napas akan meningkat. Umumnya hiperkapnia tidak terjadi kecuali pada penyakit yang sangat berat. Penyembuhan terjadi secara bertahap. Regenerasi lapisan basal mulai hari ke 3 – 4 dan regenerasi silia terjadi setelah 15 hari.9
Skema 1. Patofisiologi Bronkiolitis
Infeksi virus dari saluran pernafasan bagian bawah
Udem Kerusakan epitel
Hipersekresi
Obstruksi saluran nafas kecil Atelektasisdan hiperinflasi Penurunan kompliansi paru Peningkatan kerja pernafasan Kelelahan otot pernafasan Hipoksemi Hiperkarbi
Apneu Asidosis Syok
Henti nafas dan jantung
Dasar Diagnosis
a.Anamnesis
Pada bayi dengan bronkiolitis biasanya mempunyai riwayat terpajan pada anak yang lebih tua atau orang dewasa yang mempunyai penyakit pernafasan ringan pada minggu sebelum mulainya penyakit. Bayi mula-mula menderita penyakit infeksi ringan pada saluran pernafasan disertai batuk pilek untuk beberapa hari, biasanya tanpa kenaikan suhu atau hanya subfebril. Anak mulai mengalami sesak napas, makin lama makin hebat, pernapasan dangkal dan cepat dan disertai dengan serangan batuk. Pada kasus ringan gejala menghilang dalam 1 – 3 hari. Pada penyakit yang lebih berat gejala-gejala dapat berkembang dalam beberapa jam dan perjalanan penyakit menjadi berlarut-larut.1-4
b.Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik, anak nampak gelisah, sesak napas, napas cepat dan dalam (60-80x/menit), napas cuping hidung, sianosis sekitar hidung dan mulut, retraksi otot pernapasan akibat penggunaan otot-otot asesoris pernafasan karena paru terus-menerus terdistensi oleh udara yang terperangkap. Overinflasi paru dapat mengakibatkan hati dan limpa teraba di bawah tepi kosta. Pada perkusi terdengar suara hipersonor. Ronki basah halus dapat terdengar pada akhir inspirasi dan awal ekspirasi. Fase ekspirasi pernafasan diperpanjang dan mengi/wheezing dapat terdengar. Pada sebagian besar kasus berat, suara pernafasan hampir tidak dapat didengar bila obstruksi bronkiolus hampir total.1-5
c.Pemeriksaan X-foto thorax
Pemeriksaan X-foto thorax mungkin masih normal atau menunjukkan adanya hiperinflasi paru (hiperaerasi) dengan diafragma datar dan kenaikan diameter anteroposterior pada foto lateral. Nampak penebalan peribronkial pada 50 % kasus, area konsolidasi pada 25 % kasus, dan area kolaps segmen atau lobar pada 10 %, atau ditemukan bercak-bercak pemadatan akibat atelektasis sekunder tehadap obstruksi atau inflamasi alveolus. Pneumonia bakteri secara dini tidak dapat disingkirkan dengan hanya pemeriksaan radiologik saja.1-6
d.Pemeriksaan Penunjang Lainnya
Lekosit dan hitung jenis biasanya dalam batas normal. Limfopenia yang sering ditemukan pada penyakit virus lain jarang ditemukan pada bronkiolitis. Uji faal paru menunjukan peningkatan Functional Residual Capacity, bertambahnya tahanan paru dan turunnya compliance. Setelah 4 – 5 hari fungsi paru membaik dan setelah 10 hari tahanan paru dan compliance kembali normal. Analisis gas darah menunjukan PaO2 rendah sedangkan PaCO2 normal atau meningkat. Derajat peningkatan PaCO2 tidak berhubungan dengan beratnya penyakit. Biakan nasofaring menunjukkan flora bakteri yang normal. Virus dapat diperagakan pada sekresi nasofaring dengan deteksi antigen (misalnya ELISA) atau dengan biakan.1-6
Pada penderita ini data-data yang mendukung diagnosis bronkiolitis adalah riwayat batuk yang makin lama makin berat, ada panas subfibril, sesak, tetapi tidak tampak sianosis dan ada riwayat mengi.
Pemeriksaan fisik didapatkan dispenu dengan frekuensi pernafasan 55x /menit, suhu 37 oC, terdapat retraksi epigastrial. Pada auskultasi paru terdapat wheezing, hantaran, eksperium memanjang. Pada pemeriksaan laboratorium terdapat trombositosis, lekosit dan hitung jenis terdapat kesan limfosit teraktivasi dan gambaran infeksi virus.
Adapun hasil pemeriksaan X-foto thorax memberikan gambaran corakan bronkovaskuler yang meningkat, dan tampak bercak perihiller
dan parakordial kanan. Hal ini kurang sesuai untuk bronkiolitis yang ditandai dengan hiperaerasi paru dan peningkatan diameter anteroposterior pada foto lateral serta diafragma lebih rendah.3,4
Diagnosis banding yang paling lazim dari bronkiolitis adalah asma bronkiale dan bronkopneumoni yang disertai dengan overinflasi paru. Wujud lain yang dapat dirancukan dengan bronkiolitis adalah gagal jantung kongestif, pertusis, kistik fibrosis, benda asing di trakea dan keracunan organofosfat.3
Diagnosis banding asma bronkiale dapat disingkirkan atas dasar bahwa pada penderita ini tidak dijumpai keadaan yang mendukung asma berupa : riwayat atopy pada keluarga , serangan/episode sesak yang berulang-ulang, mulainya mendadak tanpa infeksi yang mendahului, ekspirasi yang sangat memanjang. Asma juga jarang terjadi pada umur kurang dari satu tahun dan memberikan respon yang baik terhadap suntikan adrenalin atau albuterol aerosol.3,4
Sedangkan diagnosis banding bronkopneumoni memang cukup sulit, apalagi didukung dengan gambaran X-foto thorax, namun keadaan klinis dan laboratoris tidak mendukung ke arah bronkopneumoni, yaitu pada bonkopneumoni panasnya tinggi, dari auskultasi paru didapatkan ronki basah halus nyaring, jarang atau tidak dijumpai wheezing maupun eksperium memanjang. Derajat sesaknya juga sesuai dengan temuan klinis (banyaknya infiltrat paru), sedangkan penderita ini terjadi sesak tanpa sianosis. Bronkopneumoni tidak berespon terhadap pemberian kortikosteroid.3
Pemeriksaan penunjang lain pada penderita ini belum diperlukan. Analisa gas darah (BGA) tidak dilakukan dengan alasan sudah terjadi perbaikan klinis setelah pemberian nebulizer . Deteksi agen penyebab dengan serologi masih jarang dilakukan. Demikian pula screening tuberkulosis dengan PPD 5 TU atau BCG tes tidak dilakukan karena anamnesis maupun pemeriksaan fisik tidak mendukung.
Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai interaksi antara masukan makanan dan kemampuan tubuh untuk menggunakannya. Status gizi dipengaruhi oleh faktor eksternal berupa diet, obat-obatan, lingkungan, penyakit dan faktor internal termasuk genetik, riwayat kehamilan, etnik dan lain-lain.12
Penilaian status gizi dapat dilakukan dengan : 12
a. Anamnesis untuk menilai masukan diet.
b. Klinis dengan menilai ada tidaknya tanda-tanda kurang gizi. c. Penilaian antropometri atau Z score yang disesuaikan dengan
standar tertentu (WHO/NCHS)
d. Pemeriksaan laboratorium dengan melihat kadar hemoglobin, protein, dan kolesterol.
Menurut Z score, penderita ini termasuk gizi baik karena diadapatkan score WAZ = -1,6 SD, WHZ = -0,5SD, HAZ = 1,4 (masih didalam rentang -2<x<2).
B. PENGELOLAAN
Guna mencapai hasil pengobatan yang optimal, maka pengelolaan terhadap penderita haruslah bersifat menyeluruh, meliputi aspek keperawatan, medikamentosa, dietetik, dan edukatif. Pembahasan di bawah ini dimaksudkan untuk pengelolaan bronkiolits. Adapun trombositosis tidak dilakukan pengelolaan khusus karena diperkirakan hal ini akibat dari infeksi akut bronkiolitis sehingga penanganannya dengan mengobati penyebabnya. Terapi bronkiolitis dapat bersifat simtomatis/suportif maupun kausatif. Namun pada umumnya, terapinya bersifat suportif.
1. Aspek Keperawatan.
Indikasi rawat inap pada penderita ini adalah didapatkannya tanda-tanda distres respirasi. Pada bronkiolitis terjadi obstruksi jalan nafas kecil yang salah satunya disebabkan akumulasi mukus yang berlebihan, sehingga perlu dilakukan intervensi sebagai berikut : 13,14,15
- Mengatur posisi kepala dan dada sedikit terangkat 10 – 30 derajat sehingga leher agak terekstensi
- Membersihkan jalan nafas dengan suction (penghisap lendir) secara teratur.
- Pemberian oksigen.
- Monitoring keadaan umum, tanda vital dan komplikasi yang mungkin terjadi perlu dilakukan secara intensif. Peningkatan suhu tubuh sehubungan dengan proses infeksi dapat diatasi dengan :
o Memberikan kompres dingin pada dahi dan atau ketiak, apabila suhu > 38 0 Celcius perlu diberi antipiretik.
o Memberikan pakaian yang mudah menyerap keringat.
2. Aspek Medikamentosa
a. Suportif / Simtomatis : 1,3,4,13,15
Oksigen yang dilembabkan, kecepatan aliran 1 – 2 liter/menit atau konsentrasi 28 % , bertujuan untuk mengatasi hipoksemia, mengurangi kehilangan air insensibel akibat takipnu, mengurangi dispnu, menghilangkan kecemasan dan kegelisahan. Jika keadaannya lebih berat, oksigen sebaiknya diberikan dengan konsentrasi 40 % menggunakan head box yang dipantau dengan pulse oximetri, dan kemudian konsentrasi oksigen diturunkan sesuai perbaikan saturasinya. Penderita ini tidak terdapat sesak nafas yang hebat, tidak sampai sianosis, sehingga diberikan oksigen 28% dengan masker atau nasal canul.
Menjamin hidrasi yang adekuat melalui cairan parenteral maupun
enteral untuk mengimbangi pengaruh dehidrasi akibat takipnu. Penderita ini
selama sakit makan dan minumnya berkurang, sehingga diberi cairan
parenteral berupa infus 2A ½ N 480/20/5 tetes mikro/menit.
Pemberian kortikosteroid sampai saat ini masih kontroversial. Umumnya
diberikan pada kasus yang gawat / kritis.Titik tangkap kortikosteroid adalah
sebagai anti inflamasi sehingga dapat meringankan obstruksi pada bronkioli.
Obat yang dipilih adalah deksametason inisial 0,5 mg/KgBB, dilanjutkan 0,5
mg/KgBB/hari dibagi 3 – 4 dosis, atau hidrokortison 5 – 10 mg/KgBB/hari
tiap 6 – 8 jam sampai klinis membaik.
Penderita ini datang dengan distres respirasi, maka diberikan kortikosteroid
nebulizer pulmicort ½ respul.
Antipiretik diberikan bila suhu ≥ 38 0 Celcius
Obat mukolitik dipertimbangkan pemberiannya dalam kaitannya dengan adanya hipersekresi mukus. Penderita ini diberi ambroksol 3 x 4 mg. Ambroksol adalah suatu benzylamin derivat vasicine, berguna dalam meningkatkan sekresi mukus dan mengurangi viskositas/kekentalannya serta memperbaiki transport mukosilier.
b. Kausatif : 3,4,14,15
Obat anti virus Ribavirin (virazol), suatu nukleotida sintetis, telah digunakan di luar negeri sebagai terapi spesifik. Pemberiannya secara inhalasi terus-menerus 12 – 20 jam/hari selama 3 – 5 hari, cukup efektif mengurangi gejala bronkiolitis jika diberikan sedini mungkin (pada awal perjalanan infeksi). Namun dalam suatu penelitian melaporkan bahwa pemberian ribavirin tidak begitu menurunkan lama rawat inap di rumah sakit dan angka mortalitas. Pengaruh jangka lama masih belum diketahui. Karenanya, penggunaannya hanya terindikasi pada bayi yang amat sakit atau pada bayi berisiko tinggi, seperti bayi dengan penyakit jantung kongenital sianotik, displasia bronkopulmoner berat, atau immunodefisiensi berat. Penderita ini tidak diberikan.
Antibiotika sebenarnya tidak mempunyai nilai terapeutis, tetapi karena sulit dibedakan dengan pneumonia bakteri, antibiotika tetap diberikan secara empris, terutama pada keadaan umum yang kurang membaik dan kecurigaan adanya infeksi sekunder. Biasanya diberikan ampisilin 100 mg/kgBB/24 jam, dalam 4 dosis atau
eritromisin 50 mg/kgBB/24 jan dalam 4 dosis. Pada penderita ini tidak diberikan.
3. Aspek Dietetik.
Status gizi penderita ini baik. Pemberian diet disesuaikan dengan kebutuhan gizinya. Berat badan penderita 8300 gram, suhu 370 Celcius.
Kebutuhan cairan selama 24 jam sebesar 100 cc x 8,3 kg = 830 cc. Kebutuhan kalori sebesar 990 kkal, sedangkan proteinnya 19,3 gram. Kebutuhan ini dicukupi dengan pemberian infus 2A ½ N, diet lunak, dan susu SGM II.
Tabel 4. Kecukupan gizi penderita hari ke-1
Kebutuhan 24 jam
Cairan
Kalori
Protein
830 cc
990 kkal
19,8 gram
Infus 2A ½ N
480cc
81,6 kkal
-5x120cc SGM II
600 cc
393 kkal
11,4gr
Diet lunak
300 cc
1100 kkal
39 gr
Jumlah
1380
1584,6
50,4
Prosentase AKG
166 %
160 %
250 %
4. Aspek Edukatif
Peranan edukasi sangat penting dalam mengurangi morbiditas dan mortalitas akibat penyakit yang diderita serta mencegah kekambuhan di masa mendatang. Edukasi yang diberikan meliputi upaya preventif, promotif dan rehabilitatif.
a. Preventif. 14,15
Menjaga higiene dan sanitasi lingkungan rumah, serta kebersihan bahan/alat-alat makan.
Menghindari kontak dengan penderita batuk, pilek dan perokok. Mencegah terjadinya penyebaran nosokomial dengan
memperhatikan teknik asepsis dalam merawat penderita. b. Promotif.14
Meningkatkan daya tahan tubuh dengan cara menjaga kualitas dan kuantitas makanan agar tetap sesuai dengan angka kecukupan gizi, baik bagi ibu maupun penderita, serta melakukan imunisasi sesuai jadwal.
Segera membawa ke tempat pelayanan kesehatan jika anak sakit. Menciptakan rumah yang sehat dengan memperbaiki ventilasi
dan merubah perilaku hidup sehat yang masih kurang. c. Rehabilitatif.14
Melakukan latihan pengeluaran lendir saluran pernafasan dengan postural drainase (penderita dalam posisi tengkurap dan dilakukan masase/tepuk-tepuk pada punggung).
Melakukan mobilisasi terhadap penderita secara bertahap.
C. PROGNOSIS
Pada penderita ini, prognosis untuk kehidupannya (quo ad vitam) adalah ad bonam, karena walaupun datang dengan distres respirasi, dapat ditangani dengan segera dan tepat, sehingga masa-masa kritisnya terlewati. Sedangkan prognosis untuk kesembuhan (quo ad sanam) adalah ad bonam, dikarenakan pengelolaan terhadap penderita rasional dan menyeluruh meliputi aspek keperawatan, medikamentosa, dietetik dan edukatif.
Infeksi bronkiolitis akut berat pada bayi bisa berkembang menjadi asma. Ehlenfield dkk mengatakan jumlah eosinofil pada saat bronkiolitis lebih banyak pada bayi yang nantinya akan menderita mengi pada usia 7 tahun, yaitu median 98 sel/mm3. Adanya eosinofilia dimungkinkan bahwa mengi akan berlanjut pada masa kanak-kanak. Kriteria yang menjadi faktor risiko asma adalah didapatkannya 2 faktor risiko mayor atau 1 faktor resiko mayor + 2 faktor risiko minor. 1,15
- Faktor risiko major yaitu asma pada orang tua dan eksema pada anak.
- Faktor risiko minor adalah Rinitis alergi, mengi diluar selesma dan eosinofilia.
Pada pasien ini kemungkinan belum bisa berkembang menjadi asma. Hal ini dapat disebabkan karena hanya memenuhi 1 kriteria minor yaitu pasien mengalami riwayat wheezing pada usia < 2 tahun.
Faktor resiko gejala yang berulang sehingga kemungkinan dapat berkembang menjadi asma : sosial ekonomi yang rendah, lingkungan rumah yang tidak sehat, jumlah anggota keluarga yang besar tinggal dalam 1 rumah, ayah seorang perokok aktif dan anak tidak mendapatkan ASI sejak lahir karena puting susu terbenam.