HUBUNGAN STATUS GIZI, AKTIVITAS FISIK, DAN ASUPAN GIZI
DENGAN NILAI ESTIMASI VO2MAX PADA SISWA DAN SISWI SMP
NEGERI 187 JAKARTA TAHUN 2013
Penulis: Fani Widiartha
Pembimbing: H. Engkus Kusdinar Achmad
Gizi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat Abstrak
Kebugaran kardiorespiratori terbukti memiliki hubungan dengan penyakit kardiovaskuler. Berbagai penelitian di dunia menemukan bahwa tingkat kebugaran pada anak masih berada pada level rendah. Nilai VO2max sebagai indikator kebugaran kardiorespiratori
seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor. Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan status gizi, aktivitas fisik dan asupan gizi dengan nilai VO2max. Penelitian ini adalah
penelitian kuantitatif dengan menggunakan desain penelitian cross sectional. Penelitian dilakukan di Jakarta terhadap 131 responden terdiri atas 54 laki-laki dan 77 perempuan berusia 11 – 14 tahun. Nilai VO2max diukur dengan menggunakan metode pengukuran 20
meter shuttle run test, status gizi diperoleh dari nilai IMT/U dan persen lemak tubuh, aktivitas
fisik diukur dengan menggunakan modifikasi PAQ-C, dan asupan gizi diperoleh dengan pengisian kuesioner food records 2 x 24 jam. Hasil analisis univariat menunjukkan bahwa rata-rata nilai VO2max laki-laki (43,94 ml/kg/menit) lebih tinggi daripada nilai VO2max
perempuan (38,38 ml/kg/menit). Hasil analisis bivariat dengan uji korelasi menunjukkan bahwa ada hubungan antara status gizi menurut IMT/U, persen lemak tubuh, aktivitas fisik, asupan zat besi, dan kalsium dengan nilai VO2max. Status gizi normal, aktivitas fisik secara
teratur, dan asupan zat besi dan kalsium yang cukup diperlukan untuk memiliki kebugaran kardiorespiratori yang baik.
Kata kunci: 20 meter shuttle run test; aktivitas fisik; asupan gizi; status gizi; VO2max
Abstract
Cardiorespiratory fitness evidently had a relationship with cardiovascular disease. Various research in the world found that most children had a low fitness level. Cardiorespiratory fitness (VO2max) infected by several factors. This study aimed to determine
the relationship of nutrition, physical activity and nutritional intake with VO2max. This
research was a quantitative research using cross-sectional research design. The study was conducted in Jakarta on 131 respondents consisted of 54 men and 77 women aged 11-14 years. VO2max values measured using the method of measuring 20 meters shuttle run test,
nutritional status was obtained from the value of BAZ and percent body fat, physical activity was measured using a modified PAQ-C, and nutrient intake obtained by filling food records 2 x 24 hours questionnaire. The unvaried test results showed that the average VO2max of men (43.94 ml/kg/min) was higher than the value of VO2max women (38.38 ml/kg/min). The results of bivariate test used correlation test showed that there was a relationship between nutritional status according to BAZ, percent body fat, physical activity, intake of iron, and calcium with VO2max. Normal nutritional status, moderate physical activity, and adequate
intake of iron and calcium are required for having a good cardio respiratory fitness.
Keyword: 20 meter shuttle run test; nutrition intakes; nutritional status; physical activity; VO2max
Pendahuluan
VO2max sebagai indikator kebugaran kardiorespiratori merupakan salah satu faktor
yang dapat meningkatkan kualitas hidup dan merupakan komponen positif untuk hidup sehat. Kebugaran kardiorespiratori seseorang yang rendah meningkatkan risiko terjadinya tekanan darah tinggi serta berhubungan dengan kadar lemak LDL dan kolesterol yang tinggi (Eisenmann et al, 2005). Oleh karena itu, kebugaran kardiorespiratori yang rendah sangat berhubungan dengan timbulnya penyakit kardiorvaskular seperti atherosklerosis dan stroke (Corbin, et.al, 2000). Dari data yang dikumpulkan oleh Tomkinson dan Olds dari seluruh dunia menunjukkan bahwa lebih dari 25 juta anak – anak mengalami penurunan tingkat kebugaran aerobik sekitar 0,4% per tahun antara tahun 1970 hingga tahun 2003 (Tomkinson dan Olds, 2007). Dalam jurnal Neiderer, et al (2012) disebutkan bahwa kebugaran pada anak usia 6 – 17 tahun di Jerman mengalami penurunan sebesar 10% dalam 25 tahun. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di 31 Provinsi di Indonesia pada anak usia 7 sampai 13 tahun didapatkan rata – rata VO2max tergolong dalam kategori rendah yaitu sebesar 29 ml/kg/min
(Mahardika, 2009).
Kebugaran fisik seseorang berkaitan dengan status gizi dan aktivitas fisik seseorang. Menurut survey, dalam satu dekade terakhir, kebugaran pada anak dan remaja di Amerika Serikat cenderung menurun, dibuktikan dengan penurunan daya tahan kardiorespiratori seiring peningkatan lemak tubuh (Hoeger dan Hoeger, 1996). Pada penelitian terhadap 613 anak ditemukan bahwa kelompok anak dengan status gizi normal memiliki nilai VO2max
yang lebih baik dibandingkan kelompok anak overweight (Niederer et al, 2012). Hubungan antara IMT dengan nilai VO2max juga diperoleh dalam penelitian pada anak usia 12 – 18
tahun di Portugal. Penelitian tersebut menemukan bahwa anak perempuan yang memiliki nilai VO2max lebih rendah ditemukan pada anak dengan status gizi overweight (Vale et al, 2010).
Dari penelitian diatas dapat terlihat bahwa semakin besar nilai Indeks Masa Tubuh (IMT) seseorang maka semakin kecil nilai kebugaran VO2max. Aktivitas fisik merupakan salah satu
faktor penting untuk menunjang kebugaran seseorang (Corbin, et al, 2000). Hal ini dibuktikan pada penelitian di China yang membandingkan antara atlet remaja dengan remaja yang bukan atlet menunjukkan bahwa terdapat nilai VO2max yang tinggi pada atlet remaja (Chen, 1991).
Hal tersebut menunjukkan bahwa kebugaran sangat berhubungan dengan aktivitas fisik. Kebugaran juga berhubungan dengan asupan gizi seseorang. Penelitian terhadap anak usia 13 – 16 tahun menemukan bahwa terdapat hubungan antara asupan protein dengan kebugaran kardiovaskular dengan nilai korelasi negatif (Gutin et al, 2002). Penelitian pada komunitas vegetarian di Jakarta menunjukkan bahwa antara asupan karbohidrat dengan nilai VO2max
memiliki hubungan yang bermakna (Ardania, 2010). Kebugaran juga berhubungan dengan asupan zat gizi mikro. Menurut penelitian di Eropa, zat gizi mikro berpengaruh terhadap hasil tes kebugaran. Penelitian tersebut dilakukan pada remaja dan hasilnya membuktikan bahwa terdapat hubungan antara zat besi, vitamin A, vitamin C, dan zat gizi mikro lain dengan kebugaran VO2max (Marco, 2012). Pada penelitian terhadap siswa sekolah di Columbia
menunjukkan bahwa siswa dengan status vitamin B12 yang rendah memiliki long jump score
yang lebih rendah dibandingkan anak dengan status vitamin B12 normal (Arsenault, et al,
2011).
Tinjauan Teoritis
Daya tahan kardiorespiratori atau kebugaran aerobik adalah kemampuan jantung, pembuluh darah, darah, dan sistem pernapasan untuk menyediakan bahan bakar dan oksigen untuk diubah menjadi energi ke otot yang kemudian otot akan menggunakan energi tersebut untuk melakukan aktivitas (Corbin et al, 2000). Pada pengertian lain, daya tahan kardiorespiratori adalah kemampuan organ jantung, paru – paru, dan pembuluh darah untuk mendistribusikan jumlah oksigen yang cukup bagi sel – sel darah untuk memenuhi kebutuhan aktivitas fisik yang berkelanjutan (Hoeger dan Hoeger, 1996). Daya tahan kardiorespiratori berkaitan erat dengan fungsi kardoivaskular (Manley, 2008). Oksigen didistribusikan tubuh melalui sistem kardiovaskular. Tanpa oksigen, sel – sel tubuh tidak akan berfungsi yang kemudian akan menyebabkan kematian sel – sel itu sendiri (Bucher dan Prentice, 1985). Daya tahan kardiorespiratori ditentukan oleh kekuatan aerobik maksimal (Vo2max). Daya tahan
kardiorespiratori dinyatakan dengan konsumsi oksigen maksimal atau VO2max. VO2max
adalah kapasitas maksimal konsumsi oksigen dan didistribusikan, serta digunakan oleh tubuh pada saat melakukan aktivitas (Nieman, 2011). VO2max juga dapat didefinisikan sebagai
batas penggunaan oksigen oleh mesin metabolisme pada saat aktvitas otot dan berfungsi sebagai penanda dasar kebugaran aerobik fisiologis (Rowland, 2007). VO2max dinyatakan
dengan satuan milliliters oksigen yang dikonsumsi per kilogram berat badan per menit (ml/kg/min) (Nieman, 2011).
Nilai VO2max berhubungan dengan status gizi, aktivitas fisik, dan asupan gizi. Angka
kebugaran terendah terdapat pada kelompok IMT terendah dan angka kebugaran pada kelompok IMT lebih cenderung lebih tinggi dibandingkan kelompok IMT rendah (Eisenmann
et al, 2005). Selain itu, VO2max berhubungan dengan aktivitas fisik. Aktivitas apapun
memerlukan tingkat konsumsi oksigen tertentu yang hampir sama untuk semua orang, tergantung pada tingkat aktivitas. Semakin banyak atau semakin sering melakukan aktivitas,
maka konsumsi oksigen tubuh akan semakin besar (Bucher dan Prentice, 1985). Pada saat melakukan aktivitas, tubuh banyak membutuhkan energi, sehingga organ – organ tubuh seperti jantung, paru – paru, dan pembuluh darah harus menyalurkan lebih banyak oksigen. Saat melakukan aktivitas, seseorang yang memiliki daya tahan kardiorespiratori yang tinggi akan mampu menyalurkan oksigen yang cukup keseluruh jaringan tubuh dengan mudah. Sebaliknya, bila daya tahan kardirespiratori seseorang rendah, maka sistem kardiovaskular akan bekerja lebih berat yang artinya jantung harus memompa darah lebih banyak agar dapat memenuhi jumlah oksigen yang cukup ke jaringan sehingga akan menyebabkan kelelahan yang lebih cepat (Hoeger dan Hoeger, 1996).
Asupan gizi berpengaruh terhadap nilai VO2max. Asupan gizi yang cukup dibutuhkan
utnuk dapat menunjang kebugaran tubuh. Ketersediaan zat gizi dalam tubuh akan berpengaruh pada kemampuan otot berkontraksi dan daya tahan kardiovaskuler (Fatmah dan Ruhayati, 2011). Selain itu zat gizi juga dibutuhkan sebagai bahan untuk menghasilkan energi untuk kerja otot, sebagai bahan untuk memelihara dan memperbaiki jaringan tubuh, dan juga mengatur proses yang terjadi di dalam tubuh (Bucher dan Prentice, 1985). Zat gizi berasal dari makanan yang kita makan. Zat gizi terdiri atas zat gizi makro dan zat gizi mikro. Zat gizi makro adalah karbohidrat, protein, dan lemak. Zat gizi makro memiliki peran utama sebagai penyedia energi bagi tubuh. Sedangkan zat gizi yang tergolong zat gizi mikro adalah vitamin dan mineral. Zat gizi makro memiliki peranan penting dalam metabolisme tubuh. Vitamin merupakan zat organik yang sangat penting untuk proses metabolisme, pertumbuhan, dan perkembangan tubuh. Vitamin berfungsi sebagai antioksidan, koenzim, dan juga sebagai hormon. Vitamin A, C dan E mengandung antioksidan yang dapat mengurangi kerusakan otot selama beraktivitas. Vitamin B1, B3, B6, B12, folat, dan Biotin memiliki peranan dalam
metabolisme energi yang berasal dari karbohidrat, protein, dan lemak. Mineral adalah zat non organik yang terdapat di dalam tubuh dan makanan yang memiliki fungsi penting. Mineral berfungsi untuk menjaga cairan tubuh, aktivasi enzim, sel, hormon. Mineral merupakan komponen penting dalam mengatur aktivasi otot dan dan jaringan saraf (Hoeger dan Hoeger, 1996). Zat besi merupakan mineral yang sangat penting karena berhubungan dengan kadar hemoglobin dalam darah. Hemoglobin berfungsi membawa oksigen ke seluruh tubuh, termasuk ke otot. Zat besi juga digunakan myoglobin untuk membawa dan menyimpan oksigen. Kalsium berperan penting pada kontraksi otot, transmisi saraf, dan aktivasi enzim. Kalsium juga sangat berhubungan dengan kadar densitas tulang. Tulang harus tetap kuat agar mampu aktif dalam beraktivitas sehingga tubuh akan selalu bugar (Sharkley, 2011).
Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain studi potong lintang (cross-sectional) dengan metode studi kuantitatif. Penelitian dilakukan di SMP Negeri 187 Jakarta pada bulan April – Mei 2013. Populasi studi pada penelitian ini adalah siswa dan siswi kelas VII dan VIII SMP Negeri 187 Jakarta. Perhitungan sampel menggunakan transformasi Fisher dan rumus uji hipotesis koefisien korelasi. Penelitian dilakukan dengan pengambilan data primer untuk variabel dependen (Nilai VO2max) dan variabel independen (status IMT/U, persen lemak
tubuh, aktivitas fisik, asupan energi, karbohidrat, protein, lemak, vitamin A, vitamin C, vitamin B12, zat besi, dan kalsium). Pengumpulan data nilai VO2max menggunakan uji
kebugaran aerobik dengan metode tidak langsung 20 meters shuttle run test. Pengumpulan data status IMT/U dilakukan dengan pengukuran berat badan menggunakan timbangan digital dengan ketelitian 0,1 Kg dan pengkuran tinggi badan menggunakan microtoise. Pengumpulan data persen lemak tubuh dilakukan dengan pengukuran menggunakan alat Bioelectrical
Impedance Analysis (BIA). Pengumpulan data aktivitas fisik diperoleh dari pengisian Physical Activity Questionnaire for Children (PAQ-C). Pengumpulan data asupan gizi
dilakukan dengan pengisian kuesioner Food Records 2 x 24 jam. Sampel penelitian sejumlah 131 yang dipilih dengan menggunakan stratified random sampling dan simple random sampling. Analisis bivariat untuk mengetahui hubungan antara variabel dependen dengan variabel independen menggunakan uji korelasi dan regresi linier.
Hasil Penelitian
Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh nilai rata-rata VO2max pada siswa dan siswi
SMP Negeri 187 (tabel 1) adalah sebesar 40,67 ml/kg/menit. Rata-rata nilai VO2max pada
laki-laki 43,9 ml/kg/menit dan rata-rata nilai VO2max pada perempuan 38,38 ml/kg/menit
yang dikategorikan pada status kebugaran sedang. Selain itu, dari analisis data di dapatkan hasil bahwa status gizi menurut IMT/U memiliki hubungan dengan nilai VO2max, persen
lemak tubuh memiliki hubungan dengan nilai VO2max, aktivitas fisik memiliki hubungan
dengan nilai VO2max, asupan zat besi memiliki hubungan dengan nilai VO2max, dan asupan
kalsium memiliki hubungan dengan nilai VO2max pada siswa dan siswi SMP Negeri 187
(tabel 2).
Berdasarkan hasil analisis hubungan status gizi menurut IMT/U dengan nilai VO2max
pada tabel diatas terlihat bahwa antara status gizi menurut IMT/U dengan nilai VO2max
memiliki korelasi (r) sebesar -0,703 yang artinya kedua variabel tersebut memiliki hubungan yang sangat kuat atau sempurna. Selain itu kedua variabel ini juga memiliki hubungan yang
bermakna secara statistik yang ditunjukkan dengan nilai p sebesar 0,0001. Tanda negatif pada nilai korelasi (r) berarti bahwa semakin besar nilai status gizi menurut IMT/U, maka akan semakin kecil nilai VO2maxnya. Hubungan tersebut dapat dilihat pada gambar 1 yang
menunjukkan hubungan linier antar kedua variabel.
Tabel 1. Sebaran Data Nilai Aktivitas Fisik Pada Siswa Dan Siswi SMP Negeri 187 Jakarta
Variabel Mean + Standar Deviasi Minimum – Maksimum
Nilai VO2max
Laki – laki 43,94 + 4,76 30,70 – 53,09 Perempuan 38,38 + 2,74 29,17 – 43,20
Total 40,67 + 4,60 29,17 – 53,09
Tabel 2. Hubungan Status Gizi, Aktivitas Fisik dan Asupan Gizi Dengan Nilai VO2max
Pada Siswa Dan Siswi SMP Negeri 187 Jakarta
Variabel Korelasi (r) Nilai p
IMT/U ** - 0,703 0,0001
Persen Lemak Tubuh ** - 0,799 0,0001
Aktivitas Fisik ** 0,058 0,005 Energi 0,061 0,489 Karbohidrat 0,029 0,746 Protein - 0,042 0,638 Lemak 0,094 0,287 Vitamin A - 0,056 0,524 Vitamin B12 0,071 0,419 Vitamin C - 0,069 0,431 Zat Besi * - 0,194 0,027 Kalsium * - 0,212 0,015
* korelasi signifikan dengan p value < 0,05 ** korelasi signifikan dengan p value < 0,01
Hasil analisis hubungan persen lemak tubuh dengan nilai VO2max pada tabel 5.7.
menunjukkan bahwa antara persen lemak tubuh dengan nilai VO2max memiliki korelasi yang
sangat kuat/sempurna dan signifikan. Hal itu dibuktikan dengan nilai korelasi (r) sebesar -0,799 dan nilai p sebesar 0,0001. Tanda negatif pada nilai korelasi (r) bermakna bahwa hubungan kedua variabel tersebut saling berlawanan yaitu apabila semakin tinggi persen lemak tubuh maka nilai VO2max akan semakin tinggi, begitupun sebaliknya. Hal tersebut
juga dapat dilihat pada gambar 2 yang menunjukkan hubungan linier antara persen lemak tubuh dengan nilai VO2max.
Gambar 1. Grafik Hubungan Status Gizi Menurut IMT/U Dengan Nilai VO2max
Pada Siswa Dan Siswi SMP Negeri 187 Jakarta
Gambar 2. Grafik Hubungan Persen Lemak Tubuh Dengan Nilai VO2max
Pada Siswa Dan Siswi SMP Negeri 187 Jakarta
Hasil uji menunjukan bahwa antara aktivitas fisik dengan nilai VO2max memiliki nilai
korelasi (r) sebesar 0,241 yang menunjukkan bahwa kedua variabel tersebut memiliki hubungan yang lemah. Meskipun demikian, kedua variabel ini memiliki nilai p 0,005 (p value < 0,01) sehingga hal tersebut membuktikan bahwa antara aktivitas fisik dengan nilai VO2max
memiliki hubungan yang bermakna secara statistik. Hubungan antara aktivitas fisik dengan nilai VO2max memiliki hubungan linier yang positif, sehingga apabila nilai aktivitas fisik
semakin besar maka akan semakin besar pula nilai VO2max-nya. Hal itu sesuai dengan grafik
yang ditunjukkan pada gambar 3.
Gambar 3. Grafik Hubungan Aktivitas Fisik Dengan Nilai VO2max Pada Siswa Dan Siswi SMP Negeri 187 Jakarta
Berdasarkan hasil uji korelasi antara asupan gizi dengan nilai VO2max diketahui tidak
terdapat hubungan antara asupan energi, karbohidrat, protein, lemak, vitamin A, vitamin B12,
dan vitamin C dengan nilai VO2max. Sedangkan asupan zat besi memiliki nilai korelasi (r)
sebesar -0,194, hal tersebut berarti bahwa terdapat hubungan yang lemah antara dua variabel tersebut. Namun demikian, dari hasil analisis diperoleh nilai p sebesar 0,027 sehingga menunjukkan bahwa antara dua variabel tersebut memiliki hubungan yang bermakna secara statistik. Tanda negatif pada nilai korelasi (r) menunjukkan bahwa hubungan antar kedua variabel tersebut memiliki hubungan linier negatif yang berarti bila semakin rendah asupan zat besi maka akan semakin besar nilai VO2max-nya. Hubungan linier asupan zat besi dengan
nilai VO2max ditunjukkan dalam gambar 4.
Demikian pula dengan hasil analisis hubungan asupan kalsium dengan nilai VO2max.
Nilai p yang diperoleh dari hasil analisis yaitu sebesar 0,015 menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara asupan kalsium dengan nilai VO2max
meskipun nilai korelasi (r)-nya -0,212. Nilai korelasi (r) tersebut menunjukkan bahwa kedua variabel ini berada dalam hubungan yang lemah. Sementara itu tanda negatif pada nilai
korelasi (r) menunjukkan bahwa hubungan kedua variabel memiliki hubungan linier negatif sehingga nilai VO2max akan semakin rendah apabila asupan kalsiumnya semakin tinggi.
Hubungan linier asupan kalsium dengan nilai VO2max ditunjukkan dalam gambar 5.
Gambar 4. Grafik Hubungan Asupan Zat Besi Dengan Nilai VO2max Pada Siswa Dan Siswi SMP Negeri 187 Jakarta
Gambar 4. Grafik Hubungan Asupan Zat Besi Dengan Nilai VO2max Pada Siswa Dan Siswi SMP Negeri 187 Jakarta
Pembahasan
Dari sebaran data nilai VO2max berdasarkan jenis kelamin, terdapat perbedaan nilai
rata-rata VO2max. Dari data yang diperoleh menunjukkan bahwa rata-rata nilai VO2max pada
laki-laki lebih tinggi daripada perempuan yaitu sebesar 43,94 ml/kg/menit pada laki-laki dan 38,38 ml/kg/menit pada perempuan. Hal tersebut juga terjadi pada penelitian terhadap 529 anak usia 8 - 15 tahun di Portugal dengan metode pengukuran nilai VO2max yang sama
menemukan bahwa rata-rata nilai VO2max pada anak laki-laki lebih tinggi dibandingkan
rata-rata nilai VO2max pada anak perempuan (Guerra et al, 2002). Penelitian lain di Iran pada
anak usia 13 -1 7 tahun memperoleh hasil bahwa laki-laki memiliki nilai VO2max yang lebih
besar daripada perempuan (Amra et al, 2008). Perbedaan nilai VO2max antara laki-laki dan
perempuan juga ditemukan dalam penelitian di Spanyol yang memperoleh rata-rata nilai VO2max responden laki-laki pada kelompok anak dan remaja lebih besar daripada rata-rata
nilai VO2max pada perempuan (Chillon et al, 2011).
Berdasarkan teori, memang terdapat perbedaan nilai VO2max antara laki-laki dan
perempuan. Nilai VO2max pada laki-laki cenderung lebih besar daripada nilai VO2max pada
perempuan. Hal tersebut berkaitan dengan luas permukaan tubuh, komposisi tubuh, kekuatan otot, jumlah hemoglobin, hormon, serta kapasitas paru-paru (Jansen, 1979 dalam Fatmah dan Ruhayati, 2011). Nilai VO2max pada perempuan lebih kecil sekitar 15-25 persen daripada
laki-laki. Berdasarkan jumlah hemoglobin dalam tubuh, laki-laki memiliki 15 gram per desiliter hemoglobin sedangkan perempuan memiliki 13 gram per desiliter hemoglobin dalam tubuh. Seperti diketahui, hemoglobin berfungsi sebagai pengangkut oksigen dalam darah ke seluruh tubuh. Perbedaan komposisi tubuh juga menjadi faktor yang memengaruhi nilai VO2max pada laki-laki dan perempuan. Laki-laki memiliki masa otot yang lebih banyak
dibandingkan perempuan sedangakan perempuan lebih banyak memiliki masa lemak dalam tubuhnya (Sharkley, 2011).
Pada hasil analisis mengenai hubungan status gizi menurut IMT/U diperoleh nilai korelasi negatif sehingga disimpulkan bahwa apabila status gizi menurut IMT/U seseorang semakin tinggi, maka akan semakin rendah nilai VO2max nya. Dengan demikian bisa
dikatakan bahwa responden dengan berat badan berelebih memiliki nilai VO2max yang lebih
rendah daripada responden yang memiliki berat badan normal. Penelitian lain juga membuktikan hal serupa. Dalam penelitian yang dilakukan di Italia pada anak usia 6 – 13 tahun dengan metode 20 meter shuttle run test membuktikan bahwa anak dengan status overweight dan obesitas memiliki nilai VO2max yang lebih rendah dibandingkan dengan anak
kelompok yang nilai VO2max rendah dan nilai VO2max tinggi pada anak usia 8 – 17 tahun di
Amerika Serikat, ditemukan nilai IMT yang lebih tinggi pada kelompok responden yang nilai VO2max nya rendah. Dalam penelitian tersebut juga ditemukan bahwa IMT memiliki korelasi
negatif dengan nilai VO2max (Lee dan Arslanian, 2007). Penelitian terhadap remaja laki-laki
dan perempuan usia 14 – 18 tahun di Italia menggunakan metode pengukuran nilai VO2max
yang sama diperoleh hasil bahwa IMT memiliki korelasi negatif dengan nilai VO2max (Grassi
et al, 2006). Selain itu, pada penelitian selama 12 bulan terhadap anak usia sekolah di Kanada
menunjukkan bahwa anak yang berada pada status gizi normal memiliki kebugaran aerobik yang lebih baik daripada anak yang memiliki status gizi overweight (Ball et al, 2005). Hasil penelitian serupa juga ditemukan pada penelitian di Taiwan yang menyimpulkan bahwa anak pada kelompok status gizi lebih memiliki kebugaran kardiorespiratori yang lebih buruk dibandingkan kelompok anak normal (Chen et al, 2006).
Pada hasil analisis hubungan persen lemak tubuh dengan nilai VO2max diperoleh nilai
korelasi (r) negatif menunjukkan bahwa semakin tinggi persen lemak tubuh responden maka akan semakin rendah nilai VO2max nya. Dapat juga dikatakan bahwa responden dengan
persen lemak tubuh yang tinggi memiliki nilai VO2max yang lebih rendah daripada responden
dengan persen lemak tubuh rendah. Hal tersebut juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan di Serbia. Penelitian tersebut menggunakan metode pengukuran yang sama dengan penelitian ini yaitu menggunakan metode 20 meter shuttle run test. Dari hasi penelitian tersebut diperoleh hubungan negatif antara persen lemak tubuh dengan nilai VO2max (Ostojic, 2011).
Penelitian lain juga menyebutkan bahwa persen lemak tubuh memiliki korelasi negatif dengan nilai VO2max (Lee dan Arslanian, 2007). Dalam penelitian cross sectional terhadap 421
responden mengenai hubungan nilai VO2max dengan aktivitas fisik diperoleh nilai korelasi.
Hasil penelitian tersebut merupakan hasil yang akurat sebab pengukuran nilai VO2max diukur
menggunakan metode pengukuran langsung (multistage treadmill test) dan persen lemak tubuh diperoleh menggunakan Dual Energy X-ray Absorptiometry (Gutin et al, 2005).
Hasil korelasi antara variabel aktivitas fisik dengan nilai VO2max memiliki nilai
korelasi positif sehingga dapat dikatakan bahwa pada responden dengan nilai aktivitas fisik yang besar maka semakin besar pula nilai VO2max nya. Dapat pula dikatakan semakin rendah
aktivitas fisik responden maka akan semakin rendah nilai VO2max nya. Hasil penelitian yang
serupa dengan penelitian ini juga ditemukan pada penelitian terhadap 217 anak usia 4 – 6 tahun di Switzerland dengan metode pengukuran nilai VO2max yang sama yaitu
menggunakan 20 meter shuttle run test. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa terdapat hubungan yang positif antara aktivitas fisik dengan nilai VO2max (Bürgi et al, 2011).
Korelasi positif antara aktivitas fisik dengan nilai VO2max juga ditemukan dalam penelitian
kuasi eksperimental pada anak usia sekolah di Kentucky (Manley, 2008). Penelitian di Denmark terhadap anak usia anak usia 9 dan 15 tahun juga membuktikan bahwa terdapat korelasi positif yang signifikan antara aktivitas fisik dengan nilai VO2max (Kristensen et al,
2010). Penelitian cross sectional mengenai hubungan tingkat aktivitas fisik dengan nilai VO2max dilakukan terhadap 780 anak usia 9 – 10 tahun dari Swedia dan Estonia dan
menunjukkan adanya hubungan yang positif (Ruiz et al, 2006). Hal serupa juga diperoleh dari penelitian terhadap anak usia sekolah yang menemukan bahwa anak dengan aktivitas fisik yang tinggi memiliki nilai korelasi yang lebih besar dengan nilai VO2max dibandingkan anak
dengan aktivitas fisik di tingkat sedang (Gutin et al, 2005). Hubungan aktivitas fisik dengan nilai VO2max juga terlihat pada hasil analisis data di Amerika menyebutkan bahwa anak
dengan level aktivitas fisik yang rendah memiliki kebugaran kardiorespiratori rendah (Pate et
al, 2006).
Dari penyataan diatas dapat disimpulkan bahwa aktivitas fisik berhubungan dengan nilai VO2max sehingga dapat dikatakan pula aktivitas fisik yang baik akan mampu
meningkatkan kebugaran. Hal itu disebabkan pengaruh aktivitas fisik dalam meningkatkan ukuran dan jumlah mitokondria sebagai pembangkit tenaga sel yang menghasilkan energi secara aerobik. Selain itu juga dapat meningkatkan aktivitas kandungan myoglobin sebagai komponen pembawa oksigen dari selaput sel ke mitokondria. Melakukan aktivitas fisik akan meningkatkan efisiensi kardiovaskular dengan mengurangi denyut jantung baik pada saat istirahat maupun pada saat beban kerja maksimal. Selain itu juga dapat meningkatkan kontraksi otot jantung dan menghilangkan rangsangan terhadap hormon adrenalin. Dengan melakukan aktivitas fisik maka akan meningkatkan volume stroke jantung sehingga jantung akan memompa darah dengan volume yang lebih besar setiap berdenyut sehingga jantung tidak perlu terlalu sering berdenyut. Aktivitas fisik akan meningkatkan kondisi dan efisiensi otot pernafasan sehingga memungkinkan penggunaan kapasitas yang lebih besar. Aktivitas fisik juga dapat mengurangi volume residu pernapasan yaitu bagian kapasitas paru-paru yang tidak digunakan. Apabila volume residu semakin meningkat, maka akan dapat menurunkan kapasitas pernapasan. Melakukan aktivitas fisik dapat memantapkan efisiensi pernapasan dengan pengambilan napas yang lebih lambat serta dalam sehingga lebih banyak oksigen yang mencapai alveola. Selain itu aktivitas fisik juga mampu meningkatkan difusi oksigen dari paru-paru ke dalam darah (Sharkley, 2011).
Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan diperoleh hasil bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara variabel asupan energi, karbohidrat, protein, dan lemak
dengan nilai VO2max. Karbohidrat, protein, dan lemak merupakan sumber energhi bagi
tubuh. Pada dasarnya, energi dibutuhkan oleh tubuh untuk dapat melakukan segala aktivitas. Sehingga asupan energi sangat penting untuk menunjang aktivitas seseorang. Asupan energi akan berbeda pada tiap individu tergantung pada jenis, durasi, dan intensitas aktivitas fisiknya (Bucher dan Prentice, 1985). Semakin besar aktivitas fisik seseorang, maka akan semakin besar pula kebutuhan asupan energinya (Astrand, 1992). Dengan demikian energi menjadi pendukung tubuh agar mampu melakukan aktivitas fisik, sedangkan aktivitas fisik terbukti memiliki hubungan dengan nilai VO2max.
Berdasarkan hasil analisis dengan uji korelasi diperoleh hubungan yang signifikan antara zat besi dengan nilai VO2max. Nilai r negatif pada uji korelasi menunjukkan bahwa
nilai VO2max akan semakin rendah seiring dengan peningkatan asupan zat besi. Hubungan
antara zat besi dengan nilai VO2max juga ditemukan pada penelitian di Bogota. Dalam
penelitian itu ditemukan bahwa perempuan yang memiliki kadar feritin (cadangan zat besi) yang rendah dalam darahnya memiliki nilai VO2max yang rendah pula. (Arsenault et al,
2010). Perbedaan nilai korelasi pada penelitian tersebut mungkin disebabkan adanya perbedaan karakteristik, jumlah sampel, dan perbedaan metode pengukuran dengan penelitian ini. Pada penelitian tersebut, pengukuran zat besi dilakukan dengan pengukuran plasma feritin di laboratorium sehingga hasilnya lebih akurat, sedangkan penelitian ini hanya menganalisis rata-rata asupan zat besi harian. Zat besi yang berasal dari makanan akan diserap tubuh dan masuk ke hemoglobin di dalam sel darah merah. Zat besi memiliki peranan dalam sistem kekebalan tubuh sehingga pada individu yang mengalami kekurangan zat besi akan rentang terhadap anemia dan cenderung memiliki daya tahan tubuh yang rendah. Namun kadar zat besi yang terlalu banyak akan meningkatkan risiko penyakit jantung. Dalam hubungannya dengan kebugaran, zat besi memiliki fungsi sebagai pembawa dan penyimpan oksigen di dalam myoglobin otot dan dalam enzim oksidasi yang berperan dalam proses pernapasan aerobik (Sharkley, 2011).
Hasil uji korelasi antara asupan kalsium dengan nilai VO2max menghasilkan nilai
korelasi lemah namun memiliki hubungan yang bermakna. Nilai korelasi (r) negatif menunjukkan bahwa bahwa nilai VO2max akan semakin rendah seiring dengan peningkatan
asupan kalsium. Berdasarkan fungsinya terkait kebugaran, kalsium berperan dalam proses kontraksi otot, transmisi saraf, dan aktivitas enzim. Selain itu, kalsium juga penting dalam menjaga densitas tulang dalam melakukan aktivitas fisik yang berat (Sharkley, 2011). Selain itu, kalsium juga penting untuk menjaga regulasi denyut jantung secara normal (Butcher dan Prentice, 1985).
Kesimpulan
Nilai rata-rata VO2max pada siswa dan siswi SMP Negeri 187 adalah sebesar 40,67
ml/kg/menit. Rata-rata nilai VO2max pada laki-laki 43,9 ml/kg/menit dan rata-rata nilai
VO2max pada perempuan 38,38 ml/kg/menit yang dikategorikan pada status kebugaran
sedang. Ada hubungan antara status gizi menurut IMT/U, persen lemak tubuh, aktivitas fisik, asupan zat besi dan asupan kalsium dengan nilai VO2max pada siswa dan siswi SMP Negeri
187 Jakarta. Saran
Terkait hasil penelitian, maka hal yang dapat disarankan untuk pihak sekolah adalah secara rutin mengadakan kegiatan penimbangan berat badan dan tinggi badan sebagai upaya pemantauan tumbuh kembang siswa, kemudian mengadakan kegiatan senam rutin setiap pagi sebagai upaya peningkatan kebugaran VO2max, serta melakukan pengukuran nilai VO2max
siswa secara rutin saat pelajaran olahraga untuk memonitor tingkat kebugaran siswa. Selain itu dihimbau kepada para murid untuk dapat membangun kesadaran diri untuk lebih memperhatikan kesehatan dan tumbuh kembang pribadi masing-masing dengan cara melakukan pemantauan berat badan dan tinggi badan secara teratur dan selalu berupaya untuk selalu menjaga dan meningkatkan kebugaran tubuh dengan berolahraga secara teratur 3 – 5 kali seminggu. Bagi peneliti lain diharapkan mampu mengembangkan penelitian yang telah dilakukan dengan desain studi penelitian lain dan melakukan pengambilan data dengan menggunakan metode pengukuran yang lebih akurat sehingga mampu melihat hasil yang lebih valid.
Kepustakaan
Amra, Babak, et al. (2008, February). Peak Oxygen Uptake of Healthy Iranian Adolescents.
Arch Medical Science 5, 69 - 73
Anindita, Oktavia. (2010). Hubungan Pola Konsumsi, Aktivitas Fisik, Dan Status Gizi Dengan Kebugaran Pada Siswa MI Al- Muhajirin Depok Tahun 2013. Depok: FKMUI Arsenault, Joanne E., et al. (2011). Micronutrient and Anthropometric Status Indicators are Associated with Physical Fitness in Columbian Schoolchildren. British Journal of
Nutrition, 105, 1832 – 1842
Astrand, Per Olof. (1992). Physical Activity and Fitness. American Journal of Clinical
Ball, Geoff. D.C. (2005). Physical Activity, Aerobic Fitness, Self Perception, and Dietary Intake in at Risk of Overweight and Normal Weight Children. Canadian Journal of
Dietetic Practice and Research 66, 162 - 169
Bucher, Charles A., & Prentice, William E. (1985). Fitness For Collage And Life. Missouri: Mosby College Publishing
Bürgi F, et al. (2011). Relationship of Physical Activity with Motor Skills, Aerobic Fitness, and Body Fat in Preschool Children. International Journal of Obesity, 35, 937-944 Chen, Ji Di. (1991). Growth, Exercise, Nutrition, and Fitness in China. Medicine and Sport
Science Basel, Karger, 31, 19 – 32
Chen, L.J, et al. (2006). Obesity, Fitness and Health in Taiwanese Children and Adolescents.
European Journal of Clinical Nutrition 60, 1367 - 1375
Chillon, Palma, et al. (2011). Physical Fitness in Rural and Urban Children and Adolescents From Spain. Journal of Science and Medicine in Sport, 14, 5
Corbin, Charles B, et al. (2000). Concepts Fitness and Wellness. United State of America: McGraw-Hill
Eisenmann, J C, et al. (2005). Aerobic Fitness, Body Mass Index, and CVD Risk Factors Among Adolescens: the Quebec Family Study. International Journal of Obesity, 29, 1077-1083
Fatmah., & Ruhayati, Yati. (2011). Gizi Kebugaran dan Olahraga. Bandung: Lubuk Agung Grassi, G P, et al. (2006). Aerobic Fitness and Somatic in Adolescents: a Cross Sectional
Investigation in a High School Context. Journal of Sports Medicine and Physical
Fitness, 46, 412-8
Guerra, S, et al. (2002, June). Relationship Between Cardiorespiratory Fitness, Body Composition, and Blood Pressure in School Children. Journal of Sports Medicine and
Physical Fitness, 42, 207-13
Gutin, Bernard, et al. (2002). Effects of Exercise Intensity on Cardovascular Fitness, Total Body Composition, and Visceral Adiposity of Obese Adolescents. American Journal
of Clinical Nutrition, 75, 818-826
Hoeger, Werner W. K., & Hoeger, Sharon A. (1996). Fitness & Wellness Third Edition. United State of America: Morton Publishing Company
Kristensen, Peter L, et al. (2010). The Association Between Aerobic Fitness and Physical Activity in Children and Adolescents: the European Youth Heart Study. European
Lee, S.J., & S.A Arslanian. (2007). Cardiorespiratory Fitness and Abdominal Adiposity in Youth. European Journal of Clinical Nutrition 61, 561 - 565
Mahardika, I M S. (2009). Profil Kebugaran Jasmani Anak Usia 7 Hingga 13 Tahun Sebagai Sasaran Evaluasi Penjaskes. Jurnal Pendidikan Dasar 10, 92 – 104. Universitas Negeri Surabaya
Manley, Dana. (2008, May). Self-Efficacy, Physical Activity, And Aerobic Fitness in Middle School Children: Examination of a Pedometer Intervention Program. Health Science
Center University of Tennessee
Marco, Luis Gracia. (2012, 25 August). Globins: Iron, Vitamins Could Affect Physical Fitness in Adolcents. Atlanta: Obesity, Fitness & Wellness Week, 1325
Niederer, Iris, et al. (2012, March). BMI Group-Related Difference in Physical Fitness and Physical Activity in Preschool-Age Children: a Cross Sectional Analysis. Research
Quarterly for Exercise and Sport, 83, 1, 12-19
Nieman, David C. (2011). Exercise Testing and Prescription A Health-Related Approach
Seventh Edition. New York: McGraw-Hill
Ostojic, Sergej M, et al. (2011, February 29). Correlation Between Fitness and Fatness in 6-14 - Year Old Serbian School Children. Journal Health Population Nutrition I, 53 - 60 Pate, Russell R, et al. (2006). Cardiorespiratory Fitness Levels Among US Youth 12 to 19
Years of Age. Arch Pediatrics Adolescent Medicine. 160, 1005-1012
Rowland, Thomas W. (2007). Evolution of Maximal Oxygen Uptake in Children. Medicine
and Sport Science Basel, Karger, 50, 200 – 209
Ruiz, Jonatan R, et al. (2006). Relation of Total Physical Activity and Intensity to Fitness and Fatness in Children. American Journal of Clinic Nutrition, 84, 299 - 303
Sharkley, Brian J. (2011). Kebugaran dan Kesehatan terjemahan E. D Nasution. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Terjemahan Fitness and Health
Tomkinson, Grant R., & Timothy S. Olds (2007). Pediatric Fitness Secular Trends and Geographic Variability. Medicine and Sport Science Basel, Karger, 50, 46–66