• Tidak ada hasil yang ditemukan

Index of /ProdukHukum/kehutanan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Index of /ProdukHukum/kehutanan"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

PEMANFAATAN KAYU HUTAN RAKYAT

SENGON (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen) UNTUK KAYU RAKITAN

Oleh :

M. I. Iskandar 1)

ABSTRAK

Hutan rakyat merupakan sumber penghasil kayu maupun sumber pendapatan rumah tangga, di samping hasil-hasil lain seperti buah-buahan, daun, kulit kayu, biji dan sebagainya. Hasil penting lainnya adalah kayu bakar yang banyak dikonsumsi oleh industri-industri kecil seperti

industri genteng dan bata, industri makanan (kerupuk brem). Di samping itu, rumah tangga di pedesaan Jawa sebagian besar masih menggunakan kayu bakar.

Sampai saat ini pengolahan kayu hutan rakyat belum optimal, sehingga pemanfaatannya

terbatas. Berdasarkan hasil pembahasan pada tulisan ini kayu hutan rakyat sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen) direkomendasikan untuk dibuat kayu rakitan yaitu kayu lapis, papan blok,

venir lamina, kayu lamina, papan partikel dan papan gipsum. Sifat fisis dan mekanis kayu rekonstitusi pada umumnya memenuhi persyaratan standar Indonesia dan Jepang.

Kata kunci : Hutan rakyat, sengon, kayu rakitan.

I. PENDAHULUAN

Hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas tanah hak milik ataupun hak

lainnya dengan ketentuan luas minimum, 0,25 ha dan penutupan tajuk tanaman

kayu-kayuan lebih 50% dan atau tanaman tahunan pertama sebanyak minimal 500 tanaman.

Lebih jauh disebutkan bahwa hutan rakyat dapat dibangun pada lahan hak milik dan

hak-hak lainnya serta pada kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi yang tidak

berhutan. (Anonim, 1996).

Ada dua hal yang mencirikan keberadaan hutan rakyat yaitu: tempat tumbuh

(2)

atau ditanami oleh jenis tanaman berkayu dengan penutupan tajuk lebih dari 50%. Akan

tetapi seringkali konflik muncul pada wilayah-wilayah hutan yang secara dapat diakui

masyarakat sebagai tanah marga atau ulayat, sementara pemerintah telah

memasukkannya ke dalam kategori hutan Negara. Pada kawasan konflik inilah batasan

hutan rakyat menjadi kabur, karena secara de jure diakui sebagai hutan Negara; namun secara de facto masyarakat bersikeras dengan kepemilikannya. (Bakhdal, 1996).

Kayu sebagai komoditi hasil hutan rakyat masih menempati urutan “kurang

penting” dibanding komoditi lain oleh sebagian besar petani. Hal ini disebabkan karena

kayu tidak dapat memberikan hasil cepat, bukan merupakan komoditi konsumsi harian

dan sebagainya. Karenanya dalam struktur pendapatan rumah tangga petani, hutan

rakyat merupakan pendapatan sampingan atau tambahan. (Hardjanto, 2000).

Sampai saat ini pengolahan kayu hutan rakyat belum mendapat perhatian yang

serius sehingga pemanfaatannya masih terbatas. Pada tulisan ini akan dibahas mengenai

pemanfaatan kayu hutan rakyat sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen) untuk kayu

rakitan yaitu kayu lapis, papan blok, venir lamina, kayu lamina, papan partikel, dan papan

gipsum.

II. SENGON (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen)

Nama botanis: (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen), syn. Albizia falcata Backer,

famili Mimosaceae. Nama daerah :Albizia, bae, bai, jeungjing, jeungjing laut, jing laut,

rare, salawaku, salawaku merah, salawaku putih, salawoku, sekat, sengon laut, sengon

sabrang, sika, sika bot, sikas, tawa sela, wai, wahagom, wiekkie.Nama lain : Batai

(Malaysia Barat, Sabah, Philipina, Inggris, Amerika Serikat, Perancis, Spanyol, Italia,

Belanda, Jerman); kayu machis (Sarawak); puah (Brunei).

Penyebaran : Seluruh Jawa, Maluku, Irian Jaya. Ciri umum : Kayu teras

berwarna hampir putih atau coklat muda pucat (seperti daging) warna kayu gubal

umumnya tidak berbeda dengan kayu teras. Teksturnya agak kasar dan merata dengan

arah serat lurus, bergelombang lebar atau berpadu. Permukaan kayu agak licin atau licin

dan agak mengkilap. Kayu yang masih segar berbau petai, tetapi bau tersebut lambat

laun hilang jika kayunya menjadi kering.

Sifat kayu : Kayu sengon termasuk kelas awet IV/V dan kelas IV-V dengan

berat jenis 0,33 (0,24-0,49). Kayunya lunak dan mempunyai nilai penyusutan dalam arah

(3)

tanur). Kayunya mudah digergaji, tetapi tidak semudah kayu meranti merah dan dapat

dikeringkan dengan cepat tanpa cacat yang berarti. Cacat pengeringan yang lazim adalah

kayunya melengkung atau memilin. (Martawijaya dan Kartasujana, 1977).

III. KAYU LAPIS

Kayu lapis sudah dikenal di Indonesia sejak sebelum perang dunia II. Pada

waktu itu ada dua buah pabrik kayu lapis, yaitu di Sumatra Utara dan Lampung yang

membuat tripleks untuk peti teh. Pada tahun 1967 pihak perkebunan mendirikan pabrik

kayu lapis di Sumatra yang membuat kayu lapis berukuran 2,44 m x 1,22 m. Produksinya

dimulai tahun 1968 untuk keperluan petik teh dan papan untuk dijual (Sutigno, 1974).

Perkembangan industri kayu lapis berikutnya terus meningkat sesuai dengan kebijakan

pemerintah, sehingga pada tahun 2006 berproduksi 53 buah pabrik (Soewarni, 2006).

Menurut Kliwon dan Iskandar (1995) meneliti uji coba pembuatan kayu lapis

dari kayu sengon mengemukakan bahwa, dari dolok kayu sengon sebanyak 10 m3 dapat

dihasilkan venir basah sebanyak 3,63 m3 dan 2,96 m3 kayu lapis sengon. Dengan

demikian rendemen venir kayu sengon adalah 36,60% dan rendemen kayu lapis 29,60%.

Venir kayu sengon setelah dikeringkan cenderung mengkerut dan

bergelombang sehingga mengakibatkan produk kayu lapisnya melengkung (tidak rata

sehingga menurunkan mutu kayu lapis).

Venir yang dibuat dengan cara disayat tebal rata-rata adalah 0,29 mm dengan

tebal nominal 0,30 mm, rendemen venirnya adalah 80%. Mutu venir hasil sayatan relatif

baik sehingga dapat dipergunakan sebagai venir indah (venir muka kayu lapis).

Keteguhan rekat kayu lapis sengon memenuhi syarat Standar Jepang (JAS), karena

keteguhan rekatnya lebih besar daripada 7 kg/cm2.

Selanjutnya menurut Iskandar dan Santoso (2002) bahwa : Nilai keteguhan

rekat kayu lapis sengon yang menggunakan bahan pengisi sekam padi, tanah liat dan

tepung industri untuk semua kadar (0%, 10%, 20%, 30%, 40%) memenuhi Standar

Indonesia, karena nilai keteguhan rekatnya tidak kurang dari 7 kg/cm2.

Pengaruh macam bahan pengisi terhadap keteguhan rekat kayu lapis tidak

beda. Sedangkan pengaruh kadar bahan pengisi terhadap keteguhan rekat kayu lapis

berbeda, dengan kata lain kayu lapis sengon yang memakai bahan pengisi sekam padi,

(4)

Pengaruh kadar bahan pengisi terhadap keteguhan rekat kayu lapis berbeda.

Ada kecenderungan peningkatan kadar bahan pengisi akan meningkatkan keteguhan

rekat kayu lapis, tetapi pada batas tertentu peningkatan kadar bahan pengisi akan

menurunkan keteguhan rekat kayu lapis. Keadaan serupa juga dijumpai pada hasil

penelitian Perry (1947), Filoteo (1972), Kollmann, Kuenzi dan Stamn (1975). Menurut Perry (1974), penambahan bahan pengisi dalam campuran perekat lebih dari 10% dari

berat perekat, menyebabkan penurunan keteguhan rekat walaupun hasilnya masih baik.

Filoteo (1972) dan Kollmann, Kuenzi dan Stamn (1975) menyatakan bahwa

penambahan bahan pengisi sebaiknya berkisar antara 10 – 20%. Sedangkan menurut

hasil penelitian Xuan, Pollisco dan Casillo (1974) menyatakan bahwa kualitas tertinggi

dicapai dengan penambahan 30% sampai 40% kadar bahan pengisi tepung sekam padi

berukuran 140 mesh. Berdasarkan pengujian menurut Standar Indonesia tipe I

(eksterior) keteguhan rekat kayu lapis tanpa pengisi rata-rata adalah 19,45 kg/cm2.

IV. PAPAN BLOK

Papan blok adalah kayu lapis yang intinya berupa bilah kayu gergajian. Di

Indonesia papan blok mulai dibuat pada tahun 1972 oleh perusahaan kabinet mesin jahit

dan mulai tahun 1978 dibuat oleh pabrik kayu lapis. Pada saat ini di Indonesia terdapat

59 pabrik papan blok yang sebagian besar terpadu dengan pabrik kayu lapis (Sutigno,

1991).

Berdasarkan hasil penelitian Sulastiningsih et al (1995). Kadar air papan blok

sengon yang dibuat berkisar antara 10,88 persen hingga 13,11 persen dengan kadar air

rata-rata papan blok tersebut memenuhi syarat karena nilainya tidak lebih dari 14 persen.

Kerapatan papan blok sengon berkisar antara 0,33 g/cm3 hingga 0,36 g/cm3 dengan

kerapatan rata-rata 0,33 g/cm3. Berat jenis sengon menurut Oey Djoen Seng (1964)

berkisar antara 0,24 – 0,49 dengan rata-rata 0,33. Dengan demikian nilai rata-rata

kerapatan papan blok sama dengan nilai rata-rata berat jenis kayunya.

Pengembangan dimensi papan blok sengon setelah direndam air dingin selama

24 jam berkisar antara 2,44 persen hingga 7,66 persen dengan rata-rata 5,11 persen

untuk pengembangan tebal 0,25 persen hingga 0,71 persen dengan rata-rata 0,50 persen

untuk pengembangan panjang dan 0,35 persen hingga 0,80 persen dengan rata-rata 0,61

(5)

arah tebal dan panjang papan blok, sedangkan tebal bilah inti berpengaruh terhadap

pengembangan ke arah panjang dan lebar papan blok sengon.

Berdasarkan uji beda pengaruh lebar bilah terhadap pengembangan tebal

papan blok tidak menunjukkan pola yang teratur. Pada papan blok dengan lebar bilah

paling besar (7,6 cm) pengembangan tebalnya paling kecil (2,68%), sedangkan

pengembangan tebal papan blok yang paling besar (7,32%) terdapat pada papan blok

dengan lebar bilah pertengahan (2,5 cm).

Pengembangan panjang papan blok dipengaruhi oleh lebar bilah inti, tebal

bilah inti dan interaksinya. Berdasarkan uji beda pengaruh lebar bilah 0,7 cm dan 7,6 cm

tidak nyata. Karena interaksinya nyata maka perlu diperhatikan pengaruhnya. Sebagai

contoh dapat dikemukakan pengembangan panjang papan blok (0,35%) tidak berbeda

nyata dengan (0,56%) tetapi berbeda nyata dengan (0,74%). Pengembangan lebar papan

blok sengon hanya dipengaruhi oleh tebal bilah inti. Makin tebal bilah inti cenderung

makin besar pengembangan tebal papan blok.

Keteguhan rekat papan blok berkisar antara 9,14 kg/cm2 hingga 13,50 kg/cm2

dengan rata-rata 11,23 kg/cm2. Jika dibandingkan dengan Standar Indonesia maka

keteguhan rekat papan blok dengan berbagai perlakuan memenuhi syarat standar

tersebut karena nilainya tidak kurang dari 7 kg/cm2, keteguhan rekat papan blok sengon

dipengaruhi oleh lebar bilah inti, tidak dipengaruhi oleh tebal bilah inti tetapi

dipengaruhi oleh interaksi kedua faktor tersebut. Keteguhan rekat papan blok sengon

tidak menunjukkan pola yang teratur. Nilai keteguhan rekat tertinggi (12,15 kg/cm2)

terdapat pada papan blok dengan lebar bilah terkecil (0,7 cm), sedangkan nilai keteguhan

rekat terkecil (10,01 kg/cm2) terdapat pada papan blok dengan lebar bilah pertengahan

(2,5 cm). Namun demikian interaksi antara lebar dan tebal bilah inti nyata sehingga

perlu diperhatikan pengaruhnya. Sebagai contoh keteguhan rekat papan blok (10,89

kg/cm2) tidak berbeda dengan papan blok (11,53 kg/cm2).

V. VENIR LAMINA

Venir lamina adalah suatu produk yang diperoleh dengan cara menyusun

sejajar serat lembaran venir yang diikat dengan perekat. Dalam hal tertentu

(6)

Di Indonesia, venir lamina sudah dibuat sejak sebelum perang dunia II yaitu di

Jawa Tengah dalam bentuk raket. Unsurnya berupa venir gergajian tebal 3 mm. Pada

tahun 1960 dibuat venir lamina berupa bingkai border dari venir sayatan tebal 1,25 mm

(Sutigno, 1974). Mulai tahun 1983 ada pabrik kayu lapis yang membuat venir lamina

berupa panel untuk diekspor (Sutigno, 1988). Venir lamina dapat juga dibuat dari sisa

potongan venir atau venir yang sempit, produknya bisa digunakan antara lain untuk

bingkai laci sebagai pengganti papan. Beberapa pabrik pengerjaan kayu dan mebel

membuat venir lamina lengkung antara lain untuk kaki meja dan tangkai payung

(Sutigno, 1991).

Hasil penelitian mengenai pengaruh macam sambungan venir (tegak, miring, jarri

dan tanpa sambungan) dan jumlah lapisan (8, 10 dan 12) terhadap keteguhan lentur statis venir

lamina sengon, menunjukkan bahwa keteguhan lentur sejajar serat permukaan yang terendah

terdapat pada venir lamina 8 lapis dengan sambungan tegak (627 kg/cm2) dan yang tertinggi

terdapat pada venir lamina 12 lapis tanpa sambungan (883 kg/cm2). Dalam penelitian tersebut

jarak sambungan antara lapisan adalah 15 cm. ada kecenderungan kenaikan keteguhan lentur

dengan bertambahnya jumlah lapisan (Pratomo, Widarmana, dan Sutigno, 1991).

VI. KAYU LAMINA

Kayu lamina atau disebut juga balok majemuk adalah suatu balok yang

diperoleh dari perekatan kayu, dapat berbentuk lurus, melengkung atau gabungan dari

keduanya, dengan arah sejajar satu sama lain (Anonim, 1974).

Kayu lamina pertama kali dibuat pada tahun 1900-an, dan di Indonesia produk

ini sudah dibuat berupa kusen untuk diekspor dan dibuat dari satu jenis kayu tanpa

sambungan pada arah panjang. Pengempaannya menggunakan frekuensi tinggi dengan

perekat polivinil asetat. Kayu lamina untuk kusen dapat juga dibuat dari campuran jenis

kayu dengan sambungan pada arah serat memanjang (Sutigno, 1991).

Menurut Iskandar dan Santoso (2000), nilai bahwa nilai keteguhan rekat uji

basah tertinggi terdapat pada kayu lamina sengon berpengisi tepung tempurung kelapa

kadar 10% yaitu sebesar 26,08 kgf/cm2 dengan kerusakan kayu sebesar 40%, serta nilai

terendah terdapat pada kayu lamina sengon tidak berpengisi (kontrol), yaitu sebesar 9,29

(7)

Keteguhan rekat dan kerusakan kayu lamina sengon uji kering tertinggi

terdapat pada kayu lamina sengon berpengisi tepung sabut kelapa kadar 5%, yaitu

sebesar 39,26 kgf/cm2 dengan kerusakan kayu sebesar 100%, dan nilai terendah terdapat

pada kayu lamina sengon tak berpengisi (kontrol), yaitu sebesar 20,77 kgf/cm2 dengan

kerusakan kayu sebesar 20%. Hasil pengujian ini lebih tinggi nilainya bila dibandingkan

dengan penelitian Kasmudjo, (1995) yaitu nilai rataannya 25,18 kgf/cm2 yang

menggunakan ramuan perekat tanpa ekstender dan bahan pengisi. Pada hasil penelitian

ini dapat dilihat bahwa penggunaan bahan pengisi sebagai ramuan pencampur perekat

dapat menaikkan nilai keteguhan rekatnya.

Demikian pula macam bahan pengisi tidak berbeda antara ketiga jenis bahan

pengisi (tepung onggok, tempurung kelapa dan sabut kelapa), dengan demikian dapat

diasumsikan bahwa penggunaan ketiga jenis pengisi yang diteliti untuk pembuatan kayu

lamina sengon, baik uji basah maupun uji kering adalah sama untuk berbagai jumlah

kadar tertentu. Sedangkan kadar bahan pengisi berbeda antara kelima jumlah kadar

pengisi (0%, 5%, 10%, 15%, 20%), dengan demikian dapat dikemukakan bahwa

perbedaan jumlah kadar bahan pengisi akan memberikan pengaruh terhadap nilai

keteguhan rekat kayu lamina sengon untuk uji basah maupun uji kering.

VII. PAPAN PARTIKEL

Industri kayu menyebabkan terjadinya limbah sehingga perlu ada usaha untuk

memanfaatkannya. Dalam rencana kerja Departemen Kehutanan tahun 1965 (Anonim,

1965) bahwa pembangunan industri papan partikel merupakan salah satu pilihan.

Papan partikel adalah papan yang dibuat dari partikel kayu atau bahan

berlignoselulosa lainnya yang diikat dengan perekat organik dan dengan bantuan satu

atau lebih unsur panas, tekanan, kelembaban, katalis dan lain-lain.

Kliwon, Iskandar dan Sutigno (1988) telah meneliti pengaruh kayu sengon,

pinus dan campurannya serta komposisi perekat terhadap sifat papan partikel. Hasil

penelitian (Kliwon, Iskandar dan Sutigno, 1988) menunjukkan bahwa kerapatan papan

partikel rata-rata 0,70 g/cm3 (berkerapatan sedang), kadar air 8,5%, penyerapan air

setelah direbus di dalam air panas (100 °C) 27%, pengembangan tebal setelah direndam

(8)

kg/cm2, keteguhan lentur sampai batas proporsi (MOE) 7.500 kg/cm2. Dari data

tersebut pada umumnya sifat fisis dan mekanis papan partikel yang dibuat memenuhi

Standar Indonesia.

Disamping itu ternyata jenis kayu, kadar perekat dan ukuran partikel tidak

mempengaruhi kerapatan papan partikel, kadar perekat tidak mempengaruhi kadar air

papan partikel, perlakuan jenis kayu, ukuran partikel dan kadar partikel mempengaruhi

penyerapan air papan partikel, pengembangan tebal setelah direndam di dalam air selama

3 jam pada suhu 100 °C dipengaruhi oleh jenis kayu, perbedaan ukuran partikel dan

kadar perekat, pengembangan tebal setelah direndam di dalam air mendidih selama 3

jam dan setelah dikeringkan di oven hanya dipengaruhi oleh kadar perekat dan besarnya

ukuran partikel kayu tetapi tidak dipengaruhi oleh jenis kayu, ukukran partikel dan kadar

perekat. Internal Bond (IB), demikian juga keteguhan geser papan partikel dipengaruhi

oleh jenis kayu, perbedaan ukuran partikel dan kadar perekat fenol formaldehida,

keteguhan lentur baik sampai patah (MOR) maupun pada batas (MOE) dipengaruhi

oleh perbedaan jenis kayu, ukuran partikel dan kadar perekat fenol formaldehida.

VIII. PAPAN GIPSUM

Papan gipsum adalah papan mineral perekatnya berupa gipsum. Papan gipsum

bersifat tahan api, awet dan tidak menimbulkan emisi gas formaldehida. Salah satu

penggunaan papan gipsum cocok untuk pemakaian di bawah atap dan tidak selalu

berhubungan dengan kelembaban tinggi (Simatupang, 1986).

Menurut Memed, Santoso dan Sutigno (1992) yang meneliti sifat papan

gipsum dari kayu sengon mengemukakan bahwa : Kadar air papan gipsum ada di sekitar

12 – 13% dan tidak dipengaruhi oleh perlakuan. Macam partikel mempengaruhi

kerapatan papan gipsum yaitu yang terbuat dari wol kayu kerapatannya (1,23 g/cm3)

lebih tinggi daripada yang terbuat dari tatal (1,09 g/cm3). Walaupun dalam

pembuatannya diusahakan seragam mungkin. Hal ini disebabkan oleh tebal papan

gipsum yang berbeda, yaitu 1,405 cm untuk yang terbuat dari wol kayu dan 1,43 cm yang

terbuat dari tatal, sedang berat bahannya sama.

Perlakuan berupa perendaman partikel mempengaruhi penyerapan air dan

pengembangan tebal setelah perendaman papan gipsum selama 24 jam, demikian pula

(9)

partikelnya direndam (21,27%) lebih rendah dari pada partikelnya tidak terendam

(30,66%). Demikian pula pengembangan tebal papan gipsum yang partikelnya direndam

(1,38%) lebih rendah daripada yang partikelnya tidak direndam (1,965%). Sifat

penyerapan air dan pengembangan tebal erat hubungannya, sehingga wajar bila

penyerapan air tinggi maka pengembangan tebalnya juga tinggi. Data tersebut di atas

tidak berbeda banyak dari hasil penelitian Febrianto (1986) yang membuat papan gipsum

dari selumbar kayu karet dengan kerapatan 1,03 – 1,06 g/cm3. Setelah papan gipsum

direndam selama 24 jam maka penyerapan airnya 32,39 – 48,98% dan pengembangan

tebalnya 1,66 – 3,10%. Hidayati (1989) meneliti papan gipsum dari wol kayu tusam

dengan kerapatan 0,73 – 0,88 g/cm3. Penyerapan air setelah perendaman air dalam 24

jam adalah 46,19 – 53,96% dan pengembangan tebalnya 0,81 – 2,56%.

Hubner (1985) mengemukakan persyaratan papan gipsum menurut standar

Jerman, yaitu keteguhan lenturnya (modulus patah) 60 kg/cm2 untuk yang kerapatannya

1 g/cm3, 75 – 80 kg/cm2 untuk yang kerapatannya 1,1 g/cm dan 85 – 90 kg/cm2 untuk

yang kerapatannya 1,2 g/cm3. Bila hal ini dibandingkan dengan data papan gipsum dari

kayu sengon maka papan gipsum dari tatal yang tidak direndam, memenuhi persyaratan

tersebut sedangkan yang lainnya tidak memenuhi syarat walaupun perbedaannya tidak

begitu besar.

IX. KESIMPULAN

1. Berdasarkan hasil penelitian pembuatan venir sengon dengan cara di kupas (rotary

lathe) agar digunakan untuk venir inti (core) sedangkan pembuatan venir sengon

dengan cara di sayat (slicer) diarahkan untuk venir indah.

2. Ukuran lebar bilah inti mempengaruhi pengembangan tebal dan panjang papang

blok tetapi tidak mempengaruhi pengembangan lebar. Tebal bilah inti

mempengaruhi pengembangan panjang dan lebar papan blok tetapi tidak

mempengaruhi pengembagan tebal. Keteguhan rekat papan blok sengon

berdasarkan uji geser tarik dan uji delaminasi memenuhi syarat Standar Indonesia

(SNI) dan Standar Jepang (JAS) untuk semua perlakuan. Keteguhan rekat papan

(10)

3. Keteguhan lentur sejajar serat permukaan venir lamina dengan terendah pada venir

lamina 8 lapis dengan sambungan tegak (627 kg/cm2) dan tertinggi pada venir

lamina sengon 12 lapis tanpa sambungan (883 kg/cm2).

4. Keseluruhan kayu lamina menunjukkan bahwa macam pengisi antara pengisi tepung

onggok, tepung tempurung kelapa dan tepung sabut kelapa sawit relatif mempunyai

kesamaan sifat dan fungsi sebagai bahan pengisi kayu lamina, yang mempunyai

kecenderungan seragam, sedangkan untuk kadar bahan pengisi untuk keseluruhan

jenis bahan pengisi, rataan kadar pengisi yang memberikan keteguhan rekat yang

bervariasi untuk masing-masing pembuatan kayu lamina sengon.

5. Penambahan bahan pengisi pada tingkat kadar tertentu dapat meningkatkan nilai

keteguhan rekat, tetapi bila penambahan bahan pengisi telah mencapai titik optimal

cenderung dapat menurunkan nilai keteguhan rekat dengan dicirikan melalui

persamaan regresi non-linier (kuadratik) dari hasil perhitungan sidik regresi.

6. Sifat fisis dan mekanis papan partikel yang dibuat umumnya memenuhi Standar

Indonesia. Sifat Internal Bond, keteguhan geser dan keteguhan lentur papan partikel

berpengaruh terhadap jenis kayu, ukuran partikel dan kadar perekat fenol

formaldehida cair.

7. Sifat penyerapan air dan pengembangan tebal papan gipsum dipengaruhi oleh

perlakuan berupa perendaman partikel, tetapi tidak dipengaruhi oleh macam partikel.

Penyerapan air dan pengembangan tebal papan gipsum yang pertikelnya direndam,

lebih rendah daripada yang partikelnya tidak direndam.

8. Modulus patah papan gipsum dipengaruhi oleh perendaman partikel, sedangkan

modulus elastisitasnya dipengaruhi oleh macam partikel. Modulus patah papan

gipsum yang partikelnya direndam lebih rendah daripada yang pertikelnya tidak

direndam. Modulus elastisitas papan gipsum yang terbuat dari tatal lebih tinggi

daripada yang terbuat dari wol kayu.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1965. Rencana Kerja Departemen Kehutanan Dalam Bidang Industri

Departemen Kehutanan, Jakarta.

. 1974. Wood Handbook Wood as our engineering material. Forest Product

(11)

. 1996. Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan. Hutan Rakyat.

Hutan untuk Masa Kini di Masa Depan. Makalah Seminar Nasional,Medan.

. 2000. Venir Lamina. SNI 01-2708.2000. Badan Standardisasi Nasional

Indonesia, Jakarta.

Bakhdal. 1996. Potret Hutan Rakyat di Sumatera Utara. Konifera Balai Penelitian

Kehutanan PematangSiantar, Aek Nauli.

Febrianto, F. 1986. Pengaruh Nisbah Campuran Partikel dengan Gips dan Kadar Bahan

Penghambat terhadap Sifat Fisis dan Mekanis Papan Gips dari Kayu Karet

(Hevea brasiliensis). Skripsi Fakultas Kehutanan IPB, Bogor.

Filoteu, A.G. 1972. Filler and Ekstender Foriredecom Technical Note. Forest Product

Research and Industries Development Commission. Philippines.

Hardjanto. 2000. Beberapa Ciri Pengolahan Hutan Rakyat di Jawa. Program Penelitian

dan Pengembangan Kehutanan Masyarakat Fahutan IP,. Bogor.

Hidayati, T. 1989. Sifat Fisis Mekanis Papan Wol Kayu dari Kayu Tusam dengan

Perekat Gips. Skripsi Fahutan IPB, Bogor.

Hubner, J.E. 1985. Gipsum Board with Reinforcement by Wood Flakes Bison Report,

Berlin.

Iskandar, M.I. dan A. Santoso. 2000. Pengaruh Bahan Pengisi pada Perekat Urea

Formaldehida terhadap Keteguhan Rekat Kayu Lamina Sengon (Paraserianthes

falcataria (L) Nielsen). Prosiding Seminar Nasional III MAPEKI. Kerjasama MAPEKI dengan Fahutan UNWIM, Bandung.

. 2002. Karakteristik Bahan Pengisi dalam Pembuatan Kayu Lapis Sengon

(Paraserianthes falcataria (L) Nielsen). Prosiding Seminar Nasional V MAPEKI. P3THH dan MAPEKI, Bogor.

Kasmudjo. 1995. Kajian Sifat-Sifat Kayu Sengon dan Kemungkinan Penggunaannya.

Duta Rimba XX, Jakarta.

Kliwon, S. dan M.I. Iskandar. 1995. Uji coba pembuatan kayu lapis dari kayu sengon

(Paraserianthes falcataria (L) Nielsen). Prosiding Ekspose Hasil Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan dan Sosek Kehutanan. P3HH dan Sosek Keh,

Bogor.

Kliwon, S., M.I. Iskandar dan P. Sutigno. 1988. Pengaruh jenis kayu dan komposisi

(12)

Tanaman Industri. Jurnal Penelitian Hasil Hutan. P3HH dan Sosek Keh,

Bogor.

Kollmann, F.F.P., E.W. Kuenzi and A.J. Stamn. 1975. Principle of Wood Science and

Technology. Vol. 11. Springer – Verlag, Berlin, Heildelberg, New York.

Martawijaya. A, I. Kartasujana. 1977. Ciri Umum, Sifat dan Kegunaan Jenis-Jenis Kayu

Indonesia. Publikasi Khusus No. 41. LPHH, Bogor.

Memed, R.A. Santoso dan P. Sutigno. 1992. Sifat Papan Gipsum dari Kayu Sengon.

Jurnal Penelitian Hasil Hutan. P3HH, Bogor.

Oey Djoen Seng. 1964. Berat Jenis dari Jenis-Jenis Kayu Indonesia dan Pengertian

Beratnya. Kayu untuk Keperluan Praktek. Pengumuman LPHH No. 1, Bogor.

Perry, T.D. 1947. Modern Wood Adhesives Ditman. Publishing Core, New York,

Chicago.

Pratomo, H.S. Widarmana and P. Sutigno. 1991. Effect of Joints and Number of Plies

on Bending Strength of Laminated Venir Lumber from Paraserianthes falcataria

(L)Nielsen. Journal of Trop Agric, Bogor.

Simatupang, M.H. 1986. Laporan Singkat Tentang Pembuatan Panel Kayu dengan

Perekat Gipsum. Sylva Tropika, Bogor.

Soewarni. 2006. Kajian Umum Kehutanan. Makalah Seminar Nasional MAPEKI IX,

Banjarbaru.

Sulastiningsih, I.M., P. Sutigno dan M.I. Iskandar. 1995. Pengaruh ukuran bilah kayu

sengon terhadap beberapa sifat papan blok. Jurnal Penelitian Hasil Hutan.

P3HH dan Sosek Keh, Bogor.

Sutigno. P. 1974. Catatan Mengenai Industri Kayu Lapis, Papan Partikel dan Korek Api

di Sumatera Utara dan Aceh. Publikasi Khusus No. 22. LPHH, Bogor.

. 1988. Perkembangan Macam Produk Industri Kayu Lapis. Fokus Kayu Lapis

88 APKINDO, Jakarta.

. 1991. Kayu Majemuk Perkembangan dan Masa Depannya di Indonesia. Orasi

Pengukuhan Ahli Peneliti Utama. Badan Penelitian dan Pengembangan

Kehutanan, Jakarta.

. 1991. The Development of Plywood Industry in Indonesia. World Forestry

(13)

Xuan, B.F.S. Pollisco and R.C. Casillo. 1974. Rice Hull Powder as a Glue Filler in

Plywood Manufacture part 1 Effect Board Quality The Philippine

Referensi

Dokumen terkait

Panitia Pengadaan Barang/Jasa pada BPK RI Perwakilan Provinsi Jawa Timur akan melaksanakan Pelelangan Umum (Ulang) dengan pascakualifikasi secara elektronik untuk paket

Atas berkat dan rahmat dari Allah Yang Maha Kuasa yang selalu menyertai dan melindungi kita, maka skripsi tentang “Dari Ritual Ke Pasar: Pergeseran Makna Saguer Pada Masyarakat

Modal ekonomi Saguer mencakup alat-alat produksi (pisau, bambu, tanki, rumah produksi dan tenaga pembuat saguer), materi (pendapatan dari hasil penjualan saguer)

Pemekaran desa Anakalang, yang menjadi (salah satunya adalah) desa Dewa Jara, menarik untuk diteliti lebih lanjut, guna melihat perkembangan pembangunan

Sehubungan dengan telah dilakukannya evaluasi administrasi, teknis dan kewajaran harga serta formulir isian Dokumen Kualifikasi untuk penawaran paket pekerjaan tersebut diatas,

Atas dasar pertimbangan nilai rata-rata ujian sekolah dan hasil wawancara tersebut, penulis berkeinginan menggunakan model pembelajaran MMI dalam pembelajaran IPA fisika

Disampaikan dengan hormat, berdasarkan hasil proses Seleksi Umum evaluasi dokumen kualifikasi [tabel kualifikasi] yang diajukan oleh Perusahaan Calon Penyedia Jasa Konsultansi

Pengaruh peran suami dalam melakukan Pijat Oksitosin terhadap Kelancaran ASI pada Ibu Nifas Berdasarkan tabel 10 tabulasi silang Pengaruh Peran Suami Dalam Melakukan