• Tidak ada hasil yang ditemukan

“RIKYŪ HYAKUSHU” SEBAGAI CERMINAN DARI JIWA CHA NO YU | Suryawati | Ayumi : Jurnal Budaya, Bahasa, dan Sastra 254 614 1 PB

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "“RIKYŪ HYAKUSHU” SEBAGAI CERMINAN DARI JIWA CHA NO YU | Suryawati | Ayumi : Jurnal Budaya, Bahasa, dan Sastra 254 614 1 PB"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

49

“RIKYŪ HYAKUSHU”

SEBAGAI CERMINAN DARI JIWA CHA NO YU Michiko

Cicilia Tantri Suryawati

FAKULTAS SASTRA JURUSAN SASTRA JEPANG UNIVERSITAS DR.SOETOMO, SURABAYA

ABSTRAK

Dalam cha no yu terdapat istilah WaKeiSeiJaku yakni ajaran yang dicetuskan oleh Sen no Rikyū yang merupakan nilai-nilai kejiwaan yang terdapat dalam Cha no Yu. Ajaran-ajaran tersebut sebagian besar terdapat pada sajak-sajak dalam kumpulan sajak Rikyū Hyakushu. Dalam melakukan prosesi Cha no Yu, keempat ajaran tersebut harus diterapkan secara bersamaan. Akan tetapi tidak sedikit pembelajar asing yang kurang mengerti tentang apa dan bagaimana jiwa dan perasaan yang harus dibawa / dimiliki ketika melakukan prosesi Cha no Yu. Oleh Karena itu peneliti memutuskan untuk menganalisis sajak Rikyū Hyakushu untuk dicerminkan ke dalam jiwa cha no yu.

Berikut rumusan masalah yang terdapat pada penelitian ini: 1. Bagaimanakah cerminan jiwa “和 (wa)” dalam Rikyū Hyakushu ? 2. Bagaimanakah cerminan jiwa “敬 (kei)” dalam Rikyū Hyakushu ? 3. Bagaimanakah cerminan jiwa “清 (sei)” dalam Rikyū Hyakushu ? 4. Bagaimanakah cerminan jiwa “寂 (jaku)” dalam Rikyū Hyakushu ?

Untuk menganalisis data, peneliti menggunakan teori tentang puisi, strukturalisme, sejarah Cha no Yu (Sadō), Ocha no kokoro (Jiwa Cha no Yu), Biografi Sen no Rikyū, dan Rikyū Hyakushu. Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian kualitatif karena data-data yang digunakan merupakan sajak-sajak yang terdapat dalam Rikyū Hyakushu. Dalam penelitian kali ini, peneliti mendapatkan data dari buku yang berjudul “Rikyū Dōka ni Manabu (Ura Senke Gakuen Kōkai Kōza PEL Siri-zu)” karangan Abe Sosei, dengan penerbit Tankōsha, tahun 2000.

Adapun hal yang ditemukan peneliti dalam penelitian ini adalah jiwa “wa” merupakan keselarasan dimana antara satu dan yang lainnya saling berkaitan, dan jiwa “wa” merupakan sesuatu yang fleksibel tetapi mengandung suatu keharmonisan. Sedangkan jiwa “kei” terwujud dengan menghargai atau menghormati niat dan tindakan sesama serta cara memperlakukan benda. “sei” tercermin dari cara membersihkan alat, penggunaan alat-alat yang serba bersih pada saat jamuan minum teh, serta melakukan cha no yu dengan hati yang bersih, tidak dengan perasaan marah, ataupun dengki. Dan jiwa “jaku”, tidak hanya sekedar suasana yang tenang, namun juga perasaan batin yang tenang agar dapat membentuk suatu keanggunan ketika melakukan cha no yu.

(2)

50 A PENDAHULUAN DAN TINJAUAN TEORI

Sastra adalah suatu kegiatan kreatif, sebuah karya seni (Wellek & Warren 1995: 3). Sebagai hasil seni, sastra merupakan karya imajinatif hasil cipta manusia yang mengekspresikan pikiran, gagasan, pemahaman, tanggapan, perasaan penciptanya tentang kehidupan, dengan bahasa yang khas. Karya sastra terdiri dari puisi, novel, cerpen, dan sebagainya.

Berbicara mengenai puisi, hal yang biasanya terbayang di pikiran kita diantaranya adalah bahasa, aturan-aturan penulisan puisi, dan lain-lain. Bahasa puisi bermakna kias namun memiliki nilai keindahan / estetis tersendiri. Dalam pembacaan puisi diperlukan intonasi yang tepat dan disertai penghayatan akan maknanya.

Waluyo (1987:4) mengatakan bahwa pada pokoknya puisi dibangun oleh 2 unsur pokok, yakni struktur fisik yang berupa bahasa yang digunakan dan struktur batin atau struktur makna yakni pikiran dan perasaan yang diungkapkan oleh penyair. Struktur kebahasaan (struktur fisik) puisi disebut pula metode puisi, terdiri dari diksi, pengimajinasian, kata konkret, bahasa figuratif/ majas, Versifikasi (Rima, Ritma dan Metrum) dan tata wajah atau tipografi. Sedangkan

struktur batin puisi adalah medium untuk mengungkapkan makna yang hendak disampaikan penyair. Terdiri atas pokok pikiran, tema, perasaan, nada dan amanat. Richards dalam Waluyo (1987:27) menyebut kedua struktur itu dengan metode puisi dan hakikat puisi. Hakikat adalah unsur hakiki yang menjiwai puisi, sedangkan medium bagaimana hakikat tersebut diungkapkan disebut metode puisi. Hakikat puisi terdiri dari tema, nada, perasaan dan amanat, metode puisi terdiri atas diksi, pengimajian, kata konkret, majas, rima dan ritma. Berdasarkan pembagian struktur puisi menurut para ahli seperti yang telah disebutkan di atas, maka peneliti menyimpulkan bahwa puisi memiliki struktur fisik puisi merupakan metode puisi yang mengandung elemen kebahasaan sebagai medium untuk pengungkapan struktur batin puisi, sedangkan struktur batin puisi itu sendiri merupakan unsur yang menjiwai sebuah puisi yang mengandung makna puisi dan ungkapan batin pengarang. Berdasarkan pengelompokkan tersebut, penulis memilih struktur batin amanat sebagai bahan kajian. Untuk mengkaji amanat tersebut, peneliti perlu melakukan apresiasi puisi.

(3)

51 diperlukan telaah yang seobjektif mungkin terhadap unsur-unsurnya, Apresiasi puisi menurut Waluyo (1987:146-148) dapat dilakukan dengan tahapan sebagai berikut :

1. Struktur karya sastra

Pada tahap pertama kita berusaha memahami struktur karya sastra secara umum. Penelaah berusaha memahami bait-bait dan lirik-lirik, serta memahami secara global tema apakah yang dikemukakan oleh penyair.

2. Penyair dan kenyataan sejarah

Untuk melengkapi pemahaman secara global karya yang kita telaah, maka kita bahas siapakah penyairnya, bagaimana aliran filsafat, corak khas yang menjadi ciri dari jaman penyair itu berkarya, kata-kata dan ungkapan khusus yang berhubungan dengan penyair, aliran, filsafat, dan jaman saat puisi itu diciptakan. Dengan dilengkapi data tentang penyair dan kenyataan sejarah ini, totalitas puisi akan lebih mudah diinterpretasikan.

3. Telaah unsur-unsur

Struktur fisik dan struktur batin puisi ditelaah unsur-unsurnya. Kedua struktur itu harus mempunyai kepaduan dalam mendukung totalitas puisi.

4. Sintesis dan interpretasi

Setelah menelaah secara mendalam struktur puisi hingga ke

unsur-unsurnya, kemudian kita dapat mensintesiskan telaah kita itu.

Berdasarkan pendapat tersebut, pada penelitian ini, peneliti tidak melakukan telaah kedua tentang penyair dan kenyataan sejarah, tapi langsung menuju tahap telaah unsur-unsur yang difokuskan pada struktur batin puisi yang mengandung makna dan yang menjiwai puisi, kemudian dilanjutkan dengan sintesis dan interpretasi.

(4)

52 kelas atas dan orang-orang tertentu saja yang dapat meminumnya. Akan tetapi pada pertengahan jaman Heian, budaya dalam negeri lebih diutamakan daripada budaya yang berbau Tō, akhirnya Kentōshi dihapuskan. Tidak hanya itu, cara perawatannya juga sulit dan rasa tehnya tidak sesuai dengan selera orang Jepang pada masa itu, sehingga kebiasaan minum teh jadi ditinggalkan. Sementara itu, muncul cara baru minum teh yang sedang populer di Cina, yaitu matcha. Menurut Kawaguchi (2009:73), untuk kedua kalinya teh dibawa masuk dan ditanam di Jepang pada abad 12 (tepatnya Jaman Kamakura tahun 1191) oleh seorang pendeta Zen yang menjalani pendidikan di Cina pada masa dinasti Sō bernama Myōan Yousai (kerap juga disebut Myōan Eisai). Bibit teh tersebut kemudian di 3 tempat yang berbeda dan tumbuh dengan subur, yakni di Kuil Kōzan (Toganō, Kyōto), Yamashiro Uji (Kyōto), dan Kuil Saidai di Yamato (sekarang Nara). Diketahui bahwa hingga saat ini daerah Uji merupakan daerah penghasil teh terbaik di seluruh dunia.

Istilah untuk jiwa Cha noYu disebut 和 敬清寂 (WaKeiSeiJaku). Pada mulanya, kata tersebut bukan berasal dari Jepang, namun dari ajaran Zen yang berasal dari Cina. Menurut Sakurai (2000:12), WaKeiSeiJaku dikemukakan oleh Sen no

Rikyū yang disebut dengan Shiki, jiwa yang terkandung dalam Cha no Yu seluruhnya terangkum dalam 4 huruf ini. Sen Soshitsu dalam Okakura (2000:210) Wa dan Kei merupakan etiket tentang hubungan antar orang, sedangkan Sei dan Jaku lebih merujuk kepada personal. Namun keempat kata saling berkaitan erat satu sama lain, satu kata menunjuk pada kata yang lain, dan tidak dapat dipisahkan. Oleh karena itu, keempat kata tersebut memiliki arti yang terperinci perihal kebatinan, baik hubungan antara si pembuat teh dan tamu, juga segala sesuatu yang berhubungan dengan teh itu sendiri.

(5)

53 besar aliran Cha no Yu yang dibentuk oleh anak-anak Sen no Sotan (generasi ke 5 keluarga Sen) yakni Urasenke (Sen Sōshitsu), Omotesenke (Sen Sōsa) , dan Mushakojisenke (yakni Sen Sōshu).

Sebagai seorang pemuda Rikyū belajar seni teh dibawah arahan Kitamuki Dochin dan pada usianya yang ke 19, melalui Dochin dia dikenalkan dan mulai belajar teh dibawah arahan Takeno JōOu, yang terkait juga dengan pengembangan dari estetika Wabi dalam upacara minum teh. Ia menerima nama Buddha Sōeki dari pendeta Rinzai Zen yang bernama Dairin Soto dari Kuil Nanshuji di Sakai. Ketika ia berusia dua puluh-satu, dia menikah dengan seorang wanita yang bernama Hoshin Myoju. Rikyu juga menjalani pelatihan Zen di kuil Daitoku, Kyoto.

Ajaran Sen no Rikyuu kemudian dituangkan ke dalam Rikyū Hyakushu adalah kumpulan 100 buah sajak yang berisi ajaran Sen no Rikyū. Dibuat dengan tujuan agar ajarannya mudah dipahami dan diingat, maka Sen no Rikyū meminjam bentuk Waka (puisi lama Jepang) yang jumlahnya 31suku kata perbaris. Berisi tentang jiwa yang terkandung dalam upacara minum teh, cara memperlakukan alat, serta prosedur dan tata cara dalam pembuatan teh. Menurut Abe (2000:10), masih tidak jelas apakah benar Sen no Rikyū membuat 100 buah sajak tersebut.

Sajak-sajak Rikyū Hyakushu ditulis oleh Gengensai Sōshitsu (generasi ke 11 Ura Senke) di 4 lembar fusuma (pintu geser tradisional Jepang) yang ada di ruangan Totsutotsu Sai yang disebut Hogo Busuma. Ada yang mengatakan catatan yang ditulis oleh Nanbō Sōkei yang berjudul Nanbō Roku, berisi 31 buah sajak Kyōka (puisi pendek yang berisi cerita jenaka), dijadikan landasan penulisan sajak. Kemudian guru Sen no Rikyū, Takeno JōŌu yang seorang penulis Renga juga pernah menulis Waka. Kemungkinan diantara sajak Rikyū Hyakushu juga terdapat JōŌu Hyakushu yakni sajak yang dibuat oleh Takeno JōŌu yakni guru Sen no Rikyū yang diajarkan kepadanya.

B. METODE PENELITIAN

(6)

54 sajak Rikyū Hyakushu. Melalui teknik kajian pustaka, data berupa sajak-sajak puisi yang terdapat pada kumpulan sajak Rikyū Hyakushu dalam buku berjudul “Rikyū Dōka ni Manabu (Ura Senke Gakuen Kōkai Kōza PEL Siri-zu)” karangan Abe Sosei tahun 2000 oleh penerbit Tankosha, Kyoto diklasifikasikan sesuai rumusan masalah. Tahap analisis data dilakukan dengan cara (1) memahami teori yang digunakan dalam penelitian, (2) mengidentifikasi struktur batin puisi, (3) menelaah sajak dengan mengkaitkan hubungan antar unsur-unsur yang membentuk struktur batin puisi, (4) menginterpretasi makna sajak sesuai telaah strukturnya, (5) menganalisis keterkaitan antara makna sajak yang telah didapatkan dengan jiwa Cha no Yu, sesuai dengan rumusan masalah.

C. HASIL PENELITIAN DAN BAHASAN

Menurut struktur batin yang terdapat dalam kumpulan sajak Rikyū Hyakushu, terdapat 4 macam struktur batin yaitu wa, kei, sei dan jaku. Peneliti hanya mengambil 42 buah sajak dari 100 buah sajak Rikyū Hyakushu yang mengandung struktur batin tersebut, berikut pemaparannya:

a. Cerminan jiwa “ (wa)” dalam Rikyū Hyakushu

Menurut Sen Soshitsu dalam Okakura (2000:210), yang paling ditekankan dari Wa adalah kebajikan Konfusianisme yakni keselarasan (harmoni). Keselarasan itu dapat berupa keselarasan antara manusia dengan benda, manusia dengan sesamanya dan antara benda yang satu dengan benda lainnya. Jiwa “wa” dalam cha no yu, tercermin pada sajak-sajak berikut:

1. 炭置くはたとへ習ひ

にそむくとも湯のよ

くたぎる炭は炭なり (sajak no. 23)

Sumi oku ha tatohe narahi ni somuku tomo yu no yoku tagiru sumi ha sumi nari

Arti : Letakkan arang yang dapat mendidihkan air dengan baik, walaupun mengingkari ajaran.

(7)

55 peletakkan arang harus lebih mementingkan fungsi dibandingkan dengan bentuk. Pada dasarnya fungsi dasar arang adalah untuk mendidihkan air. Seberapa sempurnanya bentuk arang tersebut, bila tidak dapat mendidihkan air maka kesempurnaan dari bentuk arang itu akan hilang dan hanya menjadi suatu hal yang tidak berarti dan sia-sia karena untuk membuat teh dalam cha no yu dibutuhkan air panas, bila tidak ada air panas maka tidak akan terjadi prosesi cha no yu.

Seperti yang telah disebutkan di atas, dalam cha no yu cara peletakkan arang dan menyusunnya juga diperhatikan. Bentuk arang yang terlalu sempurna, misalnya terlalu bulat, bila saling digabungkan akan jadi saling bertumbuk dan susunannya tidak dapat menyatu dengan baik, sehingga menyebabkan api tidak dapat menyala dengan baik dan juga akan mempengaruhi proses pendidihan air. Bisa jadi bahwa bentuk arang yang tidak sempurna misalnya agak cuil atau retak bila digabungkan dengan arang yang lain akan dapat menyatu dan susunannya menjadi rapi sehingga api dapat menyala dengan baik, merupakan salah satu cerminan dari jiwa “wa” yakni keselarasan antara bentuk arang yang tidak sempurna dapat saling menyatu sehingga memiliki nilai atau fungsi untuk mendidihkan air. Hal ini didukung dengan pendapat Soshitsu dalam

Okakura (2000:218-220), keindahan arang dan nilai ekonomisnya dapat dilihat dari bentuk ranting bulat yang dipotong miring dan sisa kulit kayu yang masih menempel, akan tetapi biarkanlah hal itu apa adanya. Dari hal-hal yang tidak sempurna dapat muncul keaggunannya dan menjadi sesuatu yang bernilai bila dipadukan dengan tepat dengan hal lain yang akan menutupi ketidak sempurnaan hal tersebut.

b. Cerminan jiwa “ (kei)” dalam Rikyū Hyakushu

Menurut Kobori (2005:206), kei adalah perasaan menghormati / menghargai orang, menghargai benda, alam, bahkan rumput dan pohon sebatang pun juga dihargai. Berarti jiwa “kei” merupakan penghormatan, penghargaan terhadap nilai semua hal yang ada di alam semesta. Jiwa “kei” dalam cha no yu, tercermin pada sajak-sajak berikut:

2. ならひつつ見てこそ習

へ習はずに よしあしい

ふは愚かなりけり (sajak no. 2)

Narahi tsutsu mite koso narahe narahazuni yoshiashi ifu ha orokanarikeri

(8)

56 Sajak di atas memberikan amanat kepada kita agar tidak sembarangan menilai suatu hal bila kita tidak pernah melakukannya sendiri. Dalam keseharian, kita sering mendengar bahwa teori tidak sama dengan praktek. Hal itu dapat dibuktikan benar adanya. Orang tidak akan pernah tahu sebelum ia mencoba sendiri. Dalam cha no yu pun juga demikian, melihat dan mengahafalkan teorinya kelihatannya mudah, namun pada saat prekteknya kita sering menemukan kesulitan. Lain halnya bila kita sudah sering mempraktekkannya dengan latihan yang rutin maka kita sendiri akan menjadi tahu kesulitan-kesulitan yang kita alami sehingga dapat memaklumi kesulitan orang lain yang baru belajar cha no yu. Dilihat dari makna sajak tersebut, peneliti melihat cerminan jiwa “kei” yakni menghargai sesama dengan melihat usaha yang telah mereka lakukan.

Cerminan jiwa “wa” yang demikian, nampak dalam hubungan antara pembuat teh dan tamu. Pembuat teh berusaha sebaik mungkin membuat teh yang enak, dan tamu meminumnya dengan penuh rasa syukur. Walaupun rasa tehnya kurang enak, untuk menghargai usaha yang telah dilakukan oleh pembuat teh, maka tamu tidak seharusnya mengucapkan keluhan akan teh tersebut. Sebelum meminum teh, tamu mengucapkan salam pada si pembuat

teh “otemae choudai itashimasu” yang artinya saya ambil tehnya, menunjukkan rasa hormat tamu kepada pembuat teh karena telah membuatkan teh dan pembuat teh juga membalas hormat. Kemudian setelah meminum teh juga, tamu kembali mengucapkan salam “taihen kekkou desu” yang artinya cukup sekali, untuk menunjukkan rasa terima kasihnya kepada pembuat teh. Menghargai sesama tidak hanya antara pembuat teh dan tamu saja, antara tamu dengan tamu juga demikian, tamu yang pertama kali menerima teh mengatakan “osaki ni” yang artinya saya duluan ya, kepada tamu selanjutnya untuk menunjukkan rasa hormat.

c. Cerminan jiwa “ (sei)” dalam Rikyū Hyakushu

Menurut Sakurai (2000:12) arti dari sei adalah perihal kebersihan / kesucian. Yang dimaksud dengan kebersihan tidak hanya kebersihan dari suatu benda melainkan juga kebersihan hati. Jiwa “sei” dalam cha no yu, tercermin pada sajak-sajak berikut:

3. 肩衝は中次とまた同じこ

と 底に指をばかけぬと

ぞ知れ (sajak no. 17) Katatsuki ha nakatsugi to

mata onaji koto soko ni yubi wo ba kakenu to zo shire.

(9)

57 memasukkan jari ke

dasarnya.

Katatsuki adalah wadah teh kental, sedangkan nakatsugi adalah wadah teh encer. Walaupun fungsinya berbeda namun kedua jenis wadah teh tersebut memiliki perlakuan yang sama pada saat membersihkan yakni tidak boleh memasukkan jari kita ke dalamnya, agar wadah bagian dalam tidak menjadi kotor. Apabila cara membersihkan keduanya salah, maka tidak akan membuat bersih, malah akan mengotori wadah teh tersebut.

d. Cerminan jiwa “ (jaku)” dalam Rikyū Hyakushu

Bila dilihat dari kanjinya “Jaku” berarti ketenangan. Menurut Kobori (2005:206-207) jaku adalah perasaan yang datar, dan ketenangan. Mengandung nilai estetika yakni suatu ketenangan yang anggun dimana tidak mengacaukan perasaan orang lain, dan memberikan ketenangan batin. Jiwa “jaku” dalam cha no yu, tercermin pada sajak-sajak berikut:

4. 点前には弱みをすててた

だ強く されど風俗いやし

きを去れ (sajak no. 6) Temae ni ha yowami wo

sutete tada tsuyoku saredo fūzoku iyashiki wo sare

Arti : Pada tata cara membuat teh hendaknya membuang kelemahan tetapi juga tidak menonjolkan kekuatan, dan meninggalkan tata cara yang tidak disukai.

Sajak ini memiliki suasana yang menunjukkan perasaan hati si pembuat teh ketika membuat teh. Ketika membuat teh bila seseorang menunjukkan sosok yang lemah, menjadikan tamu yang diundangya pun menjadi malas. Maka dari itu harus menapilkan sosok yang kuat. Akan tetapi bila terlalu fokus menampilkan sosok yang kuat, maka gerakan ketika membuat teh akan menjadi kaku dan tidak bisa gemulai. Sehingga lama kelamaan jamuan minum teh hanya akan sekedar menjadi formalitas belaka. Gerakan yang terlalu kaku, juga tidak disukai. Maka dari itu, supaya gerakan dapat terlihat indah diperlukan perasaan hati yang tenang dan tidak canggung ketika membuat teh yang merupakan cerminan jiwa “jaku”.

D. SIMPULAN DAN SARAN

Penelitian berjudul “Rikyū Hyakushu” Sebagai Cerminan dari Jiwa Cha no yu menjawab tentang cerminan jiwa”wa kei sei jaku” dalam Rikyū Hyakushu yang terdapat pada rumusan masalah, berikut hal-hal yang peneliti temukan selama penelitian:

(10)

58 dimana keseluruhannya saling berkaitan. Keselarasan yang terbentuk misalnya antara A dan B, mempengaruhi C, dan C mempengaruhi D, dan seterusnya sehingga membentuk harmoni yang kuat pada saat jamuan minum teh dilaksanakan. Selain itu, jiwa “wa” merupakan suatu hal yang fleksibel, menyesuaikan dengan situasi dan kondisi tertentu dan tidak boleh dipaksakan.

2. Cerminan jiwa “kei” peneliti menemukan bahwa menghormati sesama dapat dilakukan dengan cara tidak sembarangan menilai baik dan buruk seseorang, menghargai niat dan usaha yang dimiliki orang tersebut, dan tidak bertindak seenaknya sendiri. Selain itu cara kita dalam memperlakukan benda-benda juga sangat diperhatikan demi menjaga keindahan yang dimiliki benda tersebut yang merupakan bentuk penghargaan kepada suatu benda. 3. Jiwa “sei” baik kebersihan raga

maupun jiwa, tercermin dari cara membersihkan alat-alat, penggunaan alat-alat yang serba bersih pada saat jamuan minum teh, dan mengadakan jamuan dengan hati yang bersih dimana tidak dengan perasaan marah, ataupun dengki.

4. Jiwa “jaku” tercermin dalam tindakan-tindakan diantaranya, gerakan yang tenang pada saat membuat teh tidak dengan perlakuan yang kasar, atau gerakan yang kaku, tenang namun tetap dapat berkonsentrasi agar tidak merusak suasana hati orang lain akibat kesalahan yang kita lakukan, membawa barang-barang dengan hati-hati. Jiwa “jaku” juga merupakan ketenangan perasaan yakni tetap santai walaupun ada sesuatu yang mendadak, mengambil dan menaruh alat dengan penuh perasaan. Jadi, jiwa “jaku” tidak hanya sekedar suasana yang tenang, namun juga perasaan batin yang tenang ketika melakukan prosesi cha no yu juga diutamakan agar dapat membentuk suatu keanggunan.

(11)

59 dalam Rikyū Hyakushu agar dapat menemukan hasil yang lebih akurat

mengenai hal yang berkaitan dengan jiwa chanoyu.

DAFTAR PUSTAKA Buku

Abe, Sosei. 2000. Rikyuuū Douka ni Manabu(Ura Senke Gakuen Koukai Kouza PEL Siri-zu). Kyoto: Tankousha.

Djojosuroto, Kinayati. 2005. Puisi, Pendekatan dan Pembelajaran. Bandung: Penerbit Nuansa.

Kawaguchi, Sosei. 2009. Rikyū 101 no Nazo. Tokyo: PHP Kenkyūjo.

Moleong, Lexy J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosdakarya.

Okakura, Tenshin. 2000. Cha no Hon. Tokyo: Koudansha.

Pradopo,Rachmat Djoko. 2007. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Sakurai, Souko. 2009. DVD de Oboeru Cha no Yu. Tokyo: Kabushikigaisha Shinsei Shuppan.

Siswantoro. 2010. Metode Penelitian Sastra Analisis Struktur Puisi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Waluyo, Herman J. 1987. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga.

Wellek, Rene dan Austin Warren. 1995. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia.

WS, Hasanuddin. 1996. Drama Karya Dalam Dua Dimensi. Bandung: Angkasa.

Internet

Tn. 千 利休. Wikipedia Free Encyclopedia, (Online), (http://ja.wikipedia.org, diakses 27 September 2011).

Tn. Pengertian Sastra, (Online), (http://repository.upi.edu/operator/upload/ t_bind_0908679_chapter1.pdf, diakses 1 April 2012).

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian untuk mengetahui faktor yang berpengaruh terhadap kualitas mutu pelayanan kebidanan dari perspektif ibu hamil di Bidan Praktik Mandiri

Masalah tersebut dapat diatasi dengan menggunakan menggunakan metode Linear Scaling, dimana dalam perhitungan centralitydipengaruhi oleh jarak node tersebut yang

Untuk maksud tersebut, bersama ini kami kirimkan daftar isian terlampir untuk diisi dan mohon segera dikirim kembali melalui email kreativitas.belmawa@qmait.com paling

Berat barang yang dimasukkan dan dimensi truk yang digunakan sama dengan yang terjadi pada simpul 2 dan fungsi pembatas tidak akan mematikan simpul tersebut

Dalam tabel program acara dan deskripsi acara di atas dapat dilihat bahwa dari keseluruhan jadwal acara selama seminggu di Radio Elisa Fm terdapat format siaran yang mayoritas adalah

Objek-objek penelitian yang berasal dari data berupa percakapan telepon di radio dalam acara HR dianalisis dengan teori pragmatik dengan spesifikasi pada prinsip kerja sama,

The result of this research indicated that the EFL classroom activities used by the teacher were contextual, used some picture to help the students understand, focused on

Materi Debat Bahasa Indonesia Siswa SMK Tingkat Nasional Tahun 2016 adalah isu-isu yang aktual tentang kebahasaan dan tentang hal umum yang ada di masyarakat. Isu-isu