• Tidak ada hasil yang ditemukan

T1 712006027 BAB III

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "T1 712006027 BAB III"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

PULAU TIMOR DAN TRADISI PENJUALAN ANAK

DI JEMAAT GEREJA MASEHI INJILI DI TIMOR (GMIT)

Dalam bab ini akan dijelaskan tentang hasil penelitian tradisi penjualan anak di pulau Timor. Penjelasan diawali dengan deskripsi tempat penelitian yang berisi paparan secara garis besar tentang penduduk yang berdomisili di pulau ini dan paparan singkat tentang Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT). Penjelasan dilanjutkan dengan mendeskripsikan pemahaman para partisipan tentang tradisi penjualan anak dan analisa penulis pada deskripsi para partisipan tentang tradisi penjualan anak.

A. DESKRIPSITEMPAT PENELITIAN

1. Deskripsi Umum Pulau Timor

Pulau Timor yang dimaksud dalam kajian ini adalah Timor Barat, yang dibedakan dari bagian timur yaitu yang adalah wilayah negara Timor Leste. Kondisi geografis pulau Timor umumnya terdiri dari padang-padang sabana dan steppa yang luas dengan deretan bukit-bukit dan gunung-gunung dengan hutan-hutan primer dan sekunder. Umumnya mengalami musim kemarau yang sangat kering dan curah hujan yang sedikit dan tidak panjang pada musim penghujan. Hal ini menyebabkan pulau Timor termasuk salah satu pulau yang dikategorikan minus dalam sumber daya alamnya.

(2)

Timor bagian tengah dan mendiami daerah ini dari bagian utara sampai selatan. Orang Kemak tinggal di bagian utara pulau Timor, orang Marae tinggal di daerah perbatasan antara Timor Barat dan Timor Leste, sedangkan orang Kupang mendiami kota Kupang dan sekitarnya, terdiri atas campuran orang-orang yang berasal dari daerah-daerah Timor sendiri dan dari luar Timor, yaitu orang-orang Cina, Arab dan orang-orang yang berasal dari berbagai daerah lain di Indonesia.1

Dalam kajian ini secara general dipakai nama “Pulau Timor”, dengan pertimbangan bahwa tradisi penjualan anak ini secara umum diyakini dan dipraktekkan oleh banyak orang dari berbagai kelompok suku di pulau Timor yang disebutkan di atas, tidak terbatas pada orang Rote saja, atau orang Helon, orang Atoni, Belu, Kamak, Marae, tetapi juga dalam kehidupan masyarakat majemuk di kota Kupang.

Lokasi penelitian yang dipilih adalah di kota Kupang, tetapi partisipan yang dipilih bervariasi dari beberapa kelompok suku. Secara khusus penulis memilih beberapa partisipan yang adalah anggota jemaat Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT).

2. Deskripsi Umum Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT)

2.1. Sejarah GMIT

Van den End dan Weitjens berpendapat bahwa sejarah berdirinya GMIT tidak terlepas dari sejarah Kekristenan di Nusa Tenggara yang dibawa oleh orang-orang Belanda lewat lembaga-lembaga pekabaran Injilnya. Pada tahun 1899, wilayah Timor, Rote dan Sawu dilayani oleh seorang Pendeta bantu/zendeling dari Belanda dan jumlah orang Kristen di ketiga pulau itu kurang lebih sekitar 15.000 jiwa, dengan jumlah terbanyak adalah di pulau Rote, yakni sekitar 8.000 jiwa. Oleh karena jumlah orang Kristen yang terus meningkat, didirikan sebuah sekolah Pendeta di Ba’a Rote yang pada

1

(3)

tahun 1920 dipindahkan ke Kupang. Karena ada semangat anti-Belanda yang kemudian mendorong perjuangan untuk dibentuknya sebuah gereja mandiri di Timor dan sekitarnya, maka pada tahun 1931 sekolah ini ditutup, kemudian dibuka lagi pada tahun 1935 di Kapan, dan tahun 1936 dipindahkan ke SoE.2

Dalam Ragi Cerita II (1996), Van den End dan Weitjens mengatakan bahwa berita-berita tentang perkembangan Kekristenan di Minahasa dan Maluku semakin memperuncing semangat orang-orang Kristen di Timor dan sekitarnya untuk berdiri sendiri. Pada tahun 1938 mulailah diambil tindakan-tindakan konkret seperti pembentukan Perhimpunan Kelengkapan yang terdiri dari orang Belanda dan orang Indonesia, yang kemudian memilih dan membentuk Majelis Penolong selaku badan penasihat bagi Pendeta ketua di Kupang. Pendeta ketua dan para pendeta bantu wajib meminta pendapat atau pemikiran kedua badan ini sehubungan dengan rencana pembentukan gereja mandiri di Timor. Setelah dibuat berbagai peraturan untuk majelis gereja yang lengkap dan kemudian disahkan oleh Gereja Protestan Indonesia (GPI), maka pada tanggal 31 Oktober 1947 berdirilah Gereja Masehi Injili di Timor. Gereja ini meliputi wilayah pulau Timor, Flores, Alor, Pantar, Rote, Sawu dan Sumbawa. Selama periode 1947-1950, yang menjabat sebagai ketua sinode adalah seorang pendeta Belanda dan biaya kehidupan gereja tetap ditanggung oleh pemerintah. Barulah pada tahun 1950, jabatan ketua sinode dipegang oleh seorang pendeta pribumi, yaitu Pdt. J. L. Ch. Abineno, dan pemerintah mengakhiri pembayaran gaji serta sokongan lain yang masih tersisa dari zaman gereja-negara. Dengan demikian GMIT benar-benar menjadi sebuah gereja yang berdiri sendiri.3

Van den End, Th, danWeitjens, J. RagiCerita 2: SejarahGereja di Indonesia, (Jakarta: BPK GunungMulia, 1996), 113

(4)

2.2. Struktur Dasar GMIT

Sruktur dasar GMIT dijalankan dalam azas presbiterial sinodal di mana seluruh jemaat berada di bawah koordinasi sinode GMIT yang dijalankan oleh Majelis Sinode. Di bawah Majelis Sinode ada Majelis Jemaat / Majelis Jemaat Harian yang berkoordinasi langsung dengan jemaat. Dalam menjalankan tugasnya Majelis Sinode berkonsultasi dan berada di bawah pengawasan Badan Pertimbangan Pengawasan Pelayanan Sinode (BPPPS), sedangkan Majelis Jemaat / Majelis Jemaat Harian berkonsultasi dan berada di bawah pengawasan Badan Pertimbangan Pengawasan Jemaat (BPPPJ). Majelis Sinode terdiri dari Ketua dan Wakil Ketua, Sekretaris dan Wakil Sekretaris, Bendahara dan anggota-anggota. Keanggotaan Majelis Sinode adalah Komisi Diakonia, KomisiUmum, Litbang, Komisi Kemitraan, Komisi Personil, Komisi Kategorial, Komisi Teologi, Komisi Ibadah, Komisi Keuangan, Komisi Harta Milik, dan Komisi Penggajian. Pengambilan keputusan tertinggi ada pada Persidangan Majelis Sinode.4

Dalam Tata Gereja Masehi Injili di Timor (2011), pengambilan keputusan tertinggi di tingkat jemaat ada pada Persidangan Majelis Jemat. Di bawah Persidangan Majelis Jemaat ada Majelis Jemaat yang terdiri dari Ketua dan Wakil Ketua, Sekretaris dan Wakil Skretaris, Bendahara dan Wakil Bendahara, dan anggota-anggota; sedangkan yang menjadi anggota adalah pengurus bidang kategorial, Komisi Ibadah dan Persektuan Doa, Komisi Pelayanan Kasih, Panitia-panitia, Komisi Katekasasi dan Kesaksian, Komisi Litbang dan Perencanaan. Sekretaris bertanggung jawab atas Perpustakaan dan Pendayaan, serta Tata Usaha. Bendahara bertanggung jawab atas Harta Milik dan Tata Usaha Keuangan. Jemaat yang terdiri dari rayon-rayon berkoordinasi langsung dengan Majelis Jemaat / Majelis Jemaat harian.5

4

Majelis Sinode Gereja Masehi Injili di Timor, Tata Gereja GMIT,(Majelis Sinode GMIT: Kupang, 2011), 7

(5)

2.3. Visi dan Misi GMIT

2.3.1. Visi

“GMIT adalah keluarga Allah yang merupakan umat keluaran yang diutus ke dalam dunia guna membawa syalom Allah. Setiap anggota GMIT berfungsi sebagai surat Kristus yang hidup guna membawa kabar baik bagi dunia sesuai dengan teladan Kristus, Sang Diakonos Agung. Dalam menjalankan fungsi tersebut, setiap anggota GMIT bekerja dengan setia, taat dan produktif dalam memperjuangkan keadilan dan kebenaran, yaitu pembebasan bagi yang tertindas, kesetaraan derajat dan adanya keseimbangan di antara pemenuhan hak dan kewajiban serta menggunakan alam ciptaan Allah secara bertanggung jawab dan berkelanjutan.6

2.3.2. Misi

Adapun yang menjadi misi GMIT7 adalah sebagai berikut:

1. Membangun struktur GMIT yang melayani dalam azas presbiterial-sinodal

2. Menyatukan, mengarahkan dan mendayagunakan berbagai karunia dan talenta warga GMIT dalam pelayanan bagi jemaat dan masyarakat untuk menjawab kebutuhan nyata warga jemaat dan masyarakat sendiri.

3. Mengembangkan aksi-aksi sosial, politik, ekonomi, dan budaya dalam rangka transformasi dunia ini sebagai antisipasi terhadap pemberlakuan kerajaan Allah di dunia ini.

4. Menghadirkan GMIT sebagai sebuah komunitas ibadah yang memiliki kepedulian ekologis dan bersikap ramah terhadap lingkungan hidup (alam) dalam tindakan-tindakan pelayanan dan pembangunan masyarakat.

5. Memungkinkan keterlibatan GMIT dalam berbagai bidang kehidupan di dunia ini.

6.

6

MS GMIT, Haluan dan Kebijaksanaan Umum Pelayanan 2011-2030, (Majelis Sinode GMIT: Kupang, 2011), 1

(6)

B. TRADISI PENJUALAN ANAK DI PULAU TIMOR

1. Sejarah Awal Tradisi Penjualan Anak

Awal munculnya tradisi penjualan anak bermula dari orang-orang China yang datang ke Pulau Timor. Maksud kedatangannya adalah ingin berdagang dan salah satu dagangan adalah kayu cendana. Orang-orang China memiliki kepercayaan bahwa anak laki-laki adalah penerus keturunan sehingga jikalau sebuah keluarga tidak mendapatkan keturunan laki-laki, maka anak perempuan harus dijual kepada orang lain; setelah dijual maka akan mendapatkan keturunan laki-laki. Kepercayaan inilah yang kemudian dianut oleh masyarakat NTT secara khusus orang Rote. Hal ini disebabkan karena adanya hubungan perkawinan antara orang China dengan masyarakat asli NTT 8.

Sebuah pandangan lain mengatakan bahwa jika sebuah keluarga tidak mendapatkan seorang anak laki-laki sebagai penerus keturunan, maka salah satu anak perempuan harus dijual kepada orang lain atau dinikahkan. Dari hasil pernikahan tersebut, percaya atau tidak percaya, pasti akan mendapatkan keturunan laki-laki. Anak laki-laki tersebut kemudian diangkat sebagai anak dan penerus keluarga. Hal inilah yang diteruskan oleh masyarakat pulau Timor terutama orang-orang yang menikah dengan orang China, sehingga adanya hubungan kawin mawin dan kemudian berkembang menjadi tradisi penjualan anak. Tradisi ini lebih banyak dilakukan oleh orang Rote, orang Timor (asli) juga mempunyai tradisi ini hanya tidak mempunyai nama khusus atau dalam bahasa daerahnya tradisi ini tidak diberi nama. Bagi orang Timor lebih berlaku tradisi tentang makna penting anak laki-laki daripada anak perempuan (sama dengan kepercayaan orang China tentang anak laki-laki. 9

Dari hal ini timbul kepercayaan lainnya, seperti tradisi penjualan anak, yang meyakini bahwa apabila anak memiliki wajah yang mirip dengan salah satu orang tua

Wawancara DR. H. Ataupah, dosen Universitas Nusa Cendana, Kupang. (Oeba, Kupang, Senin, 30 April,. 2012, jam 11.30 WITA)

(7)

maka anak tersebut akan sakit bahkan sampai bisa meninggal. Dengan adanya kepercayaan itu maka anak tersebut harus dijual kepada orang lain.10

Tradisi penjualan anak dilakukan turun temurun dalam keluarga yang leluhurnya sudah pernah menjalankannya, seperti dikemukakan oleh Bapak DR.H. Ataupah, “Hal ini tidak dapat dihindari karena tradisi ini telah dilakukan dari nenek moyang yang terdahulu, sehingga telah menjadi keharusan bahwa pada suatu hari kelak, akan ada keluarga yang menjalani tradisi ini”.11

Hal ini juga disaksikan oleh kedua partisipan yang menyatakan bahwa tradisi penjualan anak dalam keluarganya diwariskan orang tua sebelumnya. Dalam keluarga partisipan, tradisi ini diturunkan dari pihak keluarga ibunya. Orang tuanya juga sudah pernah melakukan tradisi ini, dan saat sekarangpun tidak hanya dirinya yang masih melakukannya, tetapi saudara-saudaranya yang mengalami hal yang sama juga melakukan tradisi penjualan anak. Mengenai latar belakang kepercayaan dari nenek moyang atau orang-orang tua sebelumnya tentang menjual anak ini kurang diketahuhinya, sebab dirinyapun hanya meneruskan tradisi ini demi keselamatan dalam keluarga.

Kondisi anak yang mengharuskan penjualan atau penyingkiran adalah :

a. Anak bayi yang telah dinanti-nantikan tetapi diperkirakan akan memiliki kemiripan dengan ayah atau ibunya, maka anak itu bisa ditinggalkan pada orang lain. Hal ini dimaksudkan untuk mendapat keselamatan. Jika oleh sesuatu sebab, anak tetap tinggal bersama orang tua kandung, tetapi jika bertumbuh dewasa dan perkiraan tersebut menjadi kenyataan maka sang anak harus disingkirkan jauh-jauh, tidak boleh berada dekat dengan keluarga. Keadaan ini disebut ‘nasan’, artinya mengambil alih tabiat orang yang dekat padanya, sehingga merugikan orang

10

Wawancara DR. H. Ataupah, dosen Universitas Nusa Cendana, Kupang. (Oeba, Kupang, Senin, 30 April 2012, jam 11.30 WITA)

(8)

tersebut; sebab ada kepercayaan bahwa tidak ada anak yang sama benar dengan orang tuanya karena hanya akan menimbulkan persaingan. Latar belakang pemikirannya adalah manusia diketahui sama dalam banyak hal, namun tetap ada yang berbeda, apabila sama dalam banyak hal, si anak hanya akan merugikan orang yang berada dekat dengannya, ia mengambil alih tabiat dari karakter atau wajah orang yang dekat dengannya 12.

Kondisi ini dialami oleh Ibu Pdt. Paoina Ngefak – Bara Pa yang menjual anaknya karena keluarga melihat adanya kemiripan wajah dengan ayahnya serta sakit-sakit yang tidak kunjung hilang dari ayah dan anak sekalipun telah berulang kali berobat ke dokter. Sedangkan Ibu Indah Benyamin - Tode Solo menjual anaknya yang kedua, seorang anak laki-laki, karena wajah anak yang sangat identik dengan ayahnya. Anak yang pertama juga mirip dengan ayahnya tetapi tidak dijual karena anak perempuan. Sesuai tradisi dan kepercayaan, bila ada kemiripan antara anak perempuan dengan ayahnya atau anak laki-laki dengan ibunya, anak tersebut tidak perlu dijual karena tidak membahayakan; namun bila anak laki-laki mirip dengan ayahnya atau anak perempuan yang mirip dengan ibunya maka anak tersebut harus dijual karena akan membahayakan orang tua yang memiliki kemiripan dengannya. Menurut Ibu Indah, “Yang junior selalu ingin sama atau bahkan lebih dari yang senior, sehingga tidak akan ada kecocokan di antara keduanya, entah itu watak yang berbeda atau sakit-sakit yang di derita oleh dua orang yang bersangkutan” 13.

Ketua adat, Bapak Ruben Klonel menyatakan bahwa kemiripan wajah dengan salah satu orang tua adalah alasan orang tua menjual anaknya; pada umumnya anak

12

Ibid

13

(9)

perempuan yang berwajah mirip sekali dengan ibunya dan juga anak laki-laki yang mirip dengan ayahnya. Hal ini yang menyebabkan ketidakcocokan.14

b. Apabila anak terlahir dengan tali ari-ari terlilit di leher atau jika ari-ari belang seperti cincin di jari; kepercayan orang-orang adalah anak ini sebaiknya dijauhkan atau disembuhkan oleh dukun atau dibunuh, karena anak ini hanya akan membawa sial bagi orang-orang di sekitarnya. Sang anak dibunuh dengan cara diputar lehernya. Bila anak itu disembuhkan, biasanya akan disingkirkan jauh-jauh dari orang tuanya. Disingkirkan yang dimaksud disini bukanlah penyingkiran akan sifat-sifat yang ada dalam diri anak yang membawa sial itu, namun yang dimaksud disini adalah benar-benar dipisahkan dari keluarga dan tidak tinggal serumah dengan orang tuanya. Dalam istilah orang Rote, dipakai istilah dijual karena setelah penjualan itu, anak diambil kembali untuk tinggal bersama keluarganya, sedang penyingkiran dalam budaya orang Meto (Timor), sang anak benar-benar disingkirkan dari keluarganya.15 c. Pada umumnya, alasan orang tua memutuskan untuk menjual anaknya adalah

karena sakit yang diderita anak dan juga ayah atau ibu. Sakit adalah hal yang paling dominan terjadi.16

d. Watak yang bertentangan dengan orang tua yang wajahnya mirip sekali dengan sang anak, sering terjadi ketidakcocokan antara kedua orang yang bersangkutan dan sering menimbulkan permusuhan) 17. Tradisi mempercayai bahwa kemiripan yang sangat identik antara sang anak dan salah satu orang tuanya menyebabkan keduanya selalu mengalami ketikdakcocokan, sifat dan karakter sangat berbeda dan sering menimbulkan masalah sampai terjadi pertengkaran. Kepercayaan dari tradisi ini

Wawancara Bpk. Ruben Klonel, Ketua Adat masyarakat Timor di Takari (Kupang, 10 Mei 2012, jam 16.00-18.30 WITA).

15

Wawancara DR. H. Ataupah, dosen Universitas Nusa Cendana, Kupang. (Oeba, Kupang, Selasa, 22 Mei 2012, jam 18.30) Wawancara Bpk. Ruben Klonel, Ketua Adat masyarakat Timor di Takari (Kupang, 10 Mei 2012, jam 16.00-18.30 WITA).

17

(10)

bahwa dengan adanya identik ini, yang muda akan lebih mau menguasai dari yang tua atau dengan kata lain yang muda ingin menjadi yang tua atau seperti yang tua.18

2. Makna Tradisi Penjualan atau Penyingkiran Anak

Sebelum melihat lebih jauh makna tradisi penjualan anak di pulau Timor, hal pertama yang perlu diketahui adalah makna seorang anak dalam keluarga Timor. Bagi masyarakat Timor anak adalah harta yang harus dijaga dan dipelihara, karena bukan seperti harta pada umumnya yang mempunyai nilai yang dapat ditukar. Harta yang lain bila hilang dapat diganti dengan benda yang sama. Anak tidak dapat digantikan, nama boleh diberikan sama seperti saudara sebelumnya atau yang telah meninggal, namun rupa, fisik, wajahnya belum tentu sama. Anak adalah harta dan anugerah yang diberikan Tuhan kepada manusia. Tuhan mempercayakan kepada orang tua atau keluarga untuk merawat, menjaga dan memelihara anak-anak; oleh karena itu dengan segenap kemampuan, orang tua dan keluarga harus dapat menjaga apa yang telah didapatkan. 19 Pdt. Paoina Ngefak – Bara Pa yang melakukan tradisi penjualan anak berpendapat bahwa anak adalah titipan Tuhan yang dipercayakan untuk dijaga dan dipelihara, oleh karena itu orang tua tidak boleh menyia-nyiakan kepercayaan tersebut. Menurutnya, “Tuhan memberikan anak kepada kita, karena Dia tahu bahwa kita dapat menjaga dan mencintai anak sebagaimana Dia mencintai anak-anak”20. Pandangan yang sama dikemukakan oleh Ibu Indah Benyamin - Tode Solo yang mengatakan bahwa anak adalah titipan Tuhan, untuk itu orang tua harus menjaga dan mendidik anak-anak dengan baik karena kelak orang tua akan mempertanggungjawabkan pada Tuhan.21

18

Wawancara Pdt. Paoina Ngefak – Bara Pa (Lasiana, Kupang, 12 Mei 2012, jam 10.00-12.00 WITA)

Wawancara Bpk Ruben Klonel, Ketua Adat Masyarakat Timor di Takari, (Kupang, 10 Mei 2012, jam 16.00-18.30 WITA). Wawancara Pdt. Paoina Ngefak – Bara Pa (Lasiana, Kupang, 12 Mei 2012, jam 10.00-12.00 WITA)

21

(11)

Makna anak bagi orang tua dan keluarga dalam masyarakat Timor menunjukkan bahwa tradisi penjualan anak memiliki makna khusus. Bagi keluarga yang melaksanakannya tradisi ini dipandang sebagai bukti kasih sayang terhadap anak untuk menyelamatkannya dan sebagai rasa tanggungjawab terhadap Tuhan yang telah mempercayakan anak di tengah-tengah keluarga.

Bapak Ruben Klonel. ketua adat masyarakat Timor di Takari yang sekaligus berperan sebagai mediator dalam pelaksanaan tradisi ini mengatakan, “Makna dari tradisi ini adalah keselamatan. Bagaimana seseorang atau lebih terlepas dari beban yang selama ini dipikul atau dideritanya.22 Partisipan lain mengatakan pendapat yang sama bahwa makna dari tradisi ini adalah penyelamatan dari Tuhan secara tidak langsung.”

23

3. Tujuan Penjualan atau Penyingkiran Anak

Tujuan menjual anak disini bukan untuk mendapatkan uang, tetapi hanya bertujuan agar sang anak menjadi baik jika tinggal bersama orang yang jauh berbeda dari dirinya. Hal ini biasa terjadi pada anak laki-laki dan ayahnya atau pada anak pertama dan anak kedua. Anak-anak yang berikut biasanya sudah tidak mengalami hal seperti ini.24. Tradisi mempercayai bahwa anak khususnya anak laki-laki pertama yang memiliki wajah yang benar-benar mirip dengan ayahnya atau anak perempuan pertama yang mirip dengan ibunya, akan mendatangkan banyak masalah, seperti percekcokan terus menerus ketidakcocokan hubungan serta sakit penyakit yang menimpa anak dan orang tua secara bergantian. Jika sang anak tidak dijual maka akan mendatangkan akibat yang buruk seperti kematian. Karena itu tujuan penjualan anak di sini tidak dimaksudkan sebagai sebuah transaksi bisnis, tetapi sebagai sebuah tindakan penyelamatan atau usaha

WawancaraBpk. Ruben Klonel, Ketua Adat masyarakat Timor di Takari (Kupang, 10 Mei 2012, jam 16.00-18.30 WITA). Wawancara Pdt. Paoina Ngefak – Bara Pa (Lasiana, Kupang, 12 Mei 2012, jam 10.00-12.00 WITA)

(12)

untuk menjadikan sang anak menjadi baik, kondisi kesehatannya maupun watak atau tabiatnya.

Selain untuk mendapatkan keselamatan agar terlepas dari sakit atau beban yang dipikul oleh anak, maksud dan tujuan dari penjualan anak ini juga agar mendapatkan keturunan laki-laki sebagai penerus keluarga25. Hal ini dilakukan bila sebuah keluarga tidak mendapatkan keturunan laki-laki, maka anak perempuan harus dijual kepada orang lain, atau dinikahkan. Dari hasil pernikahan atau penjualan tersebut, diyakini akan mendapatkan keturunan laki-laki. Anak laki-laki tersebut kemudian diangkat sebagai anak dan penerus keluarga. Kedua partisipan yang menjual anaknya menyatakan pendapat yang sama bahwa maksud dan tujuan menjual anaknya hanyalah satu yakni mendapatkan keselamatan dan terhindar dari sakit penyakit atau marabahaya lainnya”26

4. Alasan Penjualan atau Penyingkiran Terhadap Anak.

Menurut DR. H. Ataupah27, ada pemikiran budaya di balik penjualan atau penyingkiran anak. Secara tradisional diajarkan bahwa anak yang berbahaya harus dienyahkan atau disingkirkan (tinggal dengan orang lain), dan anak tersebut tidak boleh memikul nama keluarga kandungnya. Dengan sendirinya tradisi ini menurun hingga ke cucu, dan apabila tradisi ini sudah pernah dilakukan dalam sebuah keluarga, maka penjualan atau penyingkiran ini akan membudaya dalam keluarga tersebut. Suku Rote melakukan hal ini dengan dijual namun pada akhirnya diambil kembali, sehingga penjualan itu hanya sebagai simbolis bahwa sang anak telah dijual kepada orang lain,

WawancaraBpk. Ruben Klonel, Ketua Adat masyarakat Timor di Takari (Kupang, 10 Mei 2012, jam 16.00-18.30 WITA). Wawancara Pdt. Paoina Ngefak – Bara Pa (Lasiana, Kupang, 12 Mei 2012, jam 10.00-12.00 WITA) dan Ibu Indah Benyamin - Tode Solo (Lasiana, Kupang, 5 Mei 2012, jam 10.00-12.00 WITA)

(13)

tetapi dalam kenyataannya, anak tersebut tetap menyandang nama keluarga dan tetap tinggal dengan keluarga kandungnya.

Tradisi orang Meto (Timor), berbeda dengan tradisi suku Rote yang menjual tetapi kemudian mengambil kembali sang anak. Bagi orang Meto (Timor), anak yang dipercaya hanya akan membawa sial bagi kelurga, harus dibunuh atau disingkirkan. Penyingkiran ini bukan karena keluarga tidak menyayangi anak tersebut, tetapi karena keluarga menghindari akibat dari tabiat sang anak yang kelak hanya akan mengakibatkan jatuhnya korban (yang dimaksud adalah orang yang memiliki kemiripan dengan sang anak). Kepada sang anak harus disampaikan bahwa ia tidak disukai oleh keluarga kandungnya dan ikatan dengan anak ini harus diputuskan dalam doa, dengan maksud bahwa Tuhan menyertai apa yang telah dijalankan (penyingkiran dalam keluarga kandung), sehingga dengan demikian, sang anak boleh bertumbuh dewasa dalam iman dan percaya bahwa penyingkiran yang telah dilakukan adalah rencana Tuhan dan Tuhan pun dapat menerangi jalan hidupnya. Sampai menanjak dewasa dan sang anak sudah bisa mengerti, kepadanya tetap harus dijelaskan bahwa keluarga sangat menyayanginya, namun karena ada kejahatan di dalam dirinya maka ia harus dijauhkan dari keluarganya sendiri.

(14)

Hal-hal di atas adalah dasar dari pemikiran sosial budaya. Alasan melakukan penjualan atau penyingkiran terhadap anak sendiri adalah karena adanya filosofi bahwa orang tidak ingin hidup susah. Hal ini bukan merupakan sumpah mati tetapi kepercayaan bahwa jika mendidik anak sejak kecil maka akan ada kebahagiaan kelak ketika anak dewasa. Pemikiran budaya berakar dalam keluarga adalah “mau untung atau mau terus sial?

Di dalam masyarkat, ada latar belakang kepercayaan dari nenek moyang atau orang-orang tua sebelumnya tentang menjual anak, dengan pemikiran bahwa pada zaman dulu belum ada dokter atau obat-obat seperti sekarang, sehingga kondisi ini membuat nenek moyang atau leluhur terdahulu memikirkan bagaimana cara untuk dapat menyembuhkan atau dapat bertahan hidup. 28

5. Pihak-pihak yang Membuat Keputusan Menjual atau Menyingkirkan Anak

Dalam masyarakat di pulau Timor, ada filosofi yang telah membudaya dalam keluarga bahwa biasanya hal memutuskan seorang anak dijual atau disingkirkan bukan dari pemikiran orang tua kandung melainkan dari pihak keluarga terkait yang melihat dan mengerti bahwa memang sang anak harus dijual, jika tidak akan mendatangkan bahaya besar bagi orang yang dekat dengan dirinya.29

Tindakan menyingkirkan anak biasanya berat untuk diterima oleh orang tua kandung terutama oleh sang ibu, oleh karena itu harus dibicarakan sebaik mungkin dengan ibu sehingga mampu mengerti keadaan yang tidak sulit tersebut. Istilah yang dipakai untuk menggambarkan keadaan ini adalah ‘tontaku’ artinya mencintai anak dengan hati-hati, dalam pengertian, keluarga memang mencintai sang anak, tetapi karena ada kejahatan dalam dirinya maka keluarga atau orang tua harus mencintainya

Wawancara Pdt. Paoina Ngefak – Bara Pa (Lasiana, Kupang, 12 Mei 2012, jam 10.00-12.00 WITA)

29

(15)

dengan penuh kehati-hatian, sebab jangan karena cinta kepada sang anak, maka keluarga atau orang tua mau saja menjadi korban dari kejahatan yang telah ada dalam diri sang anak. 30

Dalam pengalaman Ibu Indah Benyamin - Tode Solo, kedua pihak, suami dan isteri sama-sama menyetujui keputusan menjual anak,31 sedangkan Pdt. Paoina Ngefak – Bara Pa mengatakan bahwa tidak ada perundingan antara suami dan istri, namun pada saat disarankan untuk menjual, sebagai ibu ia segera menyetujui karena yang ada dalam pikirannya ketika itu hanyalah bagaimana suami dan anak dapat terlepas dari sakit penyakit yang tidak kunjung berhenti. Dalam hatinya ada rasa kurang yakin dan tidak percaya, tetapi menurutnya hal itu hanya dibawa di dalam Nama Tuhan.32

6. Prosedur dan Proses dalam Ritual dan Penjualan Anak

6.1.Pihak yang Membeli

Pada zaman dahulu, anak tidak dijual pada sembarang orang, melainkan harus kepada orang yang memiliki asal-usul dari leluhur orang tua. Dalam hal ini, para leluhur atau nenek moyang keluarga yang bersangkutan juga melakukan tradisi ini, karena dalam melakukan tradisi ini terlebih dahulu harus ada persetujuan dari para nenek moyang. 33

Ketua Adat, Bapak Klonel mengungkapkan hal serupa bahwa pada zaman yang lalu, orang yang membeli anak haruslah orang yang mempunyai latar belakang mengerti tradisi ini, dalam arti tradisi ini juga dilakukan oleh para leluhur yang telah meninggal. Pada zaman sekarang hal ini tidak berlaku lagi, pihak pembeli tidak mesti orang yang mempunyai hubungan dengan para leluhur. Siapa saja yang siap menerima untuk

30

Wawancara DR. H. Ataupah, dosen Universitas Nusa Cendana, Kupang. (Oeba, Kupang, Selasa, 22 Mei 2012, jam 18.30) Wawancara Ibu Indah Benyamin - Tode Solo (Lasiana, Kupang, 5 Mei 2012, jam 10.00-12.00 WITA)

Wawancara Pdt. Paoina Ngefak – Bara Pa (Lasiana, Kupang, 12 Mei 2012, jam 10.00-12.00 WITA)

(16)

melakukan penjualan anak dapat menjadi pembeli. Orang yang membeli dapat juga dari keluarga yang menjual, misalnya paman atau bibi dari anak tersebut Pada umumnya pihak yang membeli tidak harus dari luar ataupun dalam, asalkan mengerti tradisi ini sehingga hari-hari sebelum melakukan penjualan, sang pembeli sudah harus pergi ke tempat leluhur untuk meminta persetujuan34 Misalnya yang terjadi dengan Pendeta Paoina Ngefak – Bara Pa yang menjual anaknya kepada kakak kandungnya. Alasan memilih keluarga tersebut karena kakak kandungnya melihat adanya kemiripan wajah dengan sang ayah serta sakit-sakit yang tidak kunjung berhenti dari ayah dan anak, sehingga saudara tersebut yang mengajukan agar anak ini dijual 35.

Pembeli juga tidak harus orang yang seiman. Pihak pembeli bisa saja beragama lain

36

. Hal ini dilakukan oleh Ibu Indah Benyamin - Tode Solo yang menjual anaknya kepada Ibu Mariam Buang, seorang Muslim, tetapi sangat demokrat karena sangat menghargai agama lain termasuk agama Kristen. Hubungan kekerabatannya adalah dari pihak orang tua wanita Ibu Mariam Buang.37. Menurut Bapak Ruben Klonel, “Pada masa sekarang, mereka menjual anaknya kepada siapa saja yang siap membeli anak itu, tidak memandang lagi orang itu mengerti tradisi tidak atau ada hubungannya dengan para leluhur atau tidak” 38

6.2.Proses dalam Ritual dan Penjualan

Tradisi penjualan anak dilakukan juga oleh para leluhur, karena dalam pelaksanaannya harus ada persetujuan terlebih dahulu dari nenek moyang. Dalam bahasa Timor ‘Tate’un fatu, tate’un hun’ yang artinya “buka nisan, buka rahasia”. Maksud ungkapan ini adalah, jauh hari sebelum dilakukan penjualan anak, orang yang

Wawancara Bpk. Ruben Klonel, Ketua Adat masyarakat Timor di Takari (Kupang, 10 Mei 2012, jam 16.00-18.30 WITA)dan Wawancara DR. H. Ataupah, dosen Universitas Nusa Cendana, Kupang. (Oeba, Kupang, Senin, 30 April 2012, jam 11.30 WITA)

Wawancara Pdt. Paoina Ngefak – Bara Pa (Lasiana, Kupang, 12 Mei 2012, jam 10.00-12.00 WITA)

Wawancara Bpk. Ruben Klonel, Ketua Adat masyarakat Timor di Takari (Kupang, 10 Mei 2012, jam 16.00-18.30 WITA). Wawancara Ibu Indah Benyamin - Tode Solo (Lasiana, Kupang, 5 Mei 2012, jam 10.00-12.00 WITA)

(17)

akan membeli harus terlebih dahulu pergi ke kuburan para leluhur dan berbicara di sana. Hal yang dibicarakan berkisar pada maksud akan membeli anak dari keluarga lain, dan juga melakukan ritual, yakni membawa seekor babi atau ayam (salah satu) lalu disembelih dan di ambil hatinya, karena dari hati hewan tersebut akan terjawab apakah leluhur menyetujui penjualan anak tersebut atau tidak. Jawaban diketahui dengan melihat, jika hati babi atau ayam tersebut dalam kondisi baik (hati terlilit dengan usus) pertanda bahwa penjualan tersebut disetujui, tetapi jika hati hewan tersebut dalam kondisi rusak, maka pertanda bahwa penjualan itu tidak disetujui. Bahasa yang digunakan pada saat ritual bukan bahasa biasa tetapi bahasa ritual yang tidak dapat disebutkan dalam wawancara 39

Menurut Bapak Ruben Klonel, jauh hari sebelum dilakukannya penjualan, pembeli sudah harus naik ke kuburan (tempat leluhur) dengan membawa satu ekor babi atau ayam. Ritual di kuburan dilaksanakan pada jam 02.00 pagi karena kepercayaan bahwa pada jam-jam itulah apa yang disampaikan akan didengar oleh nenek moyang atau para leluhur. Sesampai di sana ia harus menyampaikan maksud kedatangannya dengan memakai bahasa ritual. (yang tidak dapat disampaikan dalam wawancara) setelah itu babi atau ayam yang dibawanya dipotong dan diambil hatinya. Bila hatinya bagus maka pertanda bahwa penjualan dan pembelian anak tersebut disetujui, namun apabila hati dalam kondisi rusak maka pertanda bahwa penjualan dan pembelian tersebut tidak dapat dijalankan atau tidak disetujui. Ritual khusus dijalankan hanya pada saat pergi ke kuburan. Karena maksud disampaikan dalam bahasa ritual, maka orang yang membeli memang haruslah orang yang mengerti tradisi ini. Saat proses penjualan berlangsung tidak ada ritual atau cara-cara khusus yang harus dilakukan atau bahasa ritual yang diucapkan. Penjualan, sebaiknya dilakukan di rumah sendiri sebab setelah itu anak

(18)

tersebut akan dibawa pergi dulu oleh pembeli sebagai tanda bahwa anak tersebut telah menjadi bagian keluarga dari yang membeli Selayaknya orang yang beragama, penjualan didahului dengan doa, lalu anak didudukan di atas penampi beras kemudian diserahkan kepada pembeli, lalu pemberi menerima dan memberikan sebuah amplop yang beriskan uang. Uang yang diberikan tergantung dari pembeli, bukan dari hasil perundingan. Pada masa sekarang, nominal uang ditentukan dari hasil perundingan jauh hari sebelumnya, namun hal ini tetap tidak mengubah maksud dan tujuan yang ingin dicapai 40

Pendeta Paoina Ngefak – Bara Pa mengatakan bahwa dalam proses penjualan anaknya tidak ada upacara atau ritual khusus yang dilakukan, hanya diawali dengan doa, kemudian anak diserahkan kepada pembeli yang menyerahkan amplop berisi uang yang kemudian disimpan dalam Alkitab, lalu diakhiri dengan doa. Sang anak kemudian dibawa pulang ke rumah pembeli sebagai tanda telah menjadi bagian dari keluarga dan pada malam hari orang tua kandungnya mengambil kembali anak tersebut. 41 Proses penjualan anak Ibu Indah Benyamin - Tode Solo juga tidak memakai ritual khusus. Penjualan dilakukan dengan menaruh sang anak di atas penampi beras (niru). Kemudian sang ibu menggendong anak dengan niru tersebut sambil berteriak-teriak “jual anak...., jual anak”, lalu orang yang membelinya datang dan membeli dengan menyerahkan uang yang sudah dimasukkan dalam amplop. Uang tersebut diberikan ke gereja sebagai tanda nazar. 42

Dalam ritual penjualan anak, terutama di kuburan, kata-kata, bahasa dan ekspresi dalam ritual mempunyai makna khusus, tetapo menurut Bapak Ruben Klonel, bahasa, kata-kata, expresi, doa-doa atau mantra-mantra yang diucapkan tidak dapat dijelaskan dalam wawancara yang berlangsung dengan penulis, tetapi makna dari bahasa ritual

Wawancara Bpk. Ruben Klonel, Ketua Adat masyarakat Timor di Takari (Kupang, 10 Mei 2012, jam 16.00-18.30 WITA). Wawancara Pdt. Paoina Ngefak – Bara Pa (Lasiana, Kupang, 12 Mei 2012, jam 10.00-12.00 WITA)

(19)

yang diucapkan adalah, anak akan meninggalkan keburukan yang ada dalam rumahnya dan akan menjadi lebih baik bila ia keluar menjadi orang lain. “Apabila kamu sukses jangan sebut nama saya (nama kelurga kandung dan pembeli), namun bila nanti kamu gagal dalam hidupmu sebutlah nama saya (yang membeli) karena kesalahan itu ada pada saya bukan pada orang tua kandung atau dirimu sendiri”. Maksud disini adalah, karena pada saat menerima untuk membeli anak tersebut, pembeli sendiri sudah harus yakin bahwa dia akan dapat menjadikan sang anak lebih baik dari sebelumnya bahkan dari orang tuanya, dan hal itu adalah tanggung jawab terbesar dari seorang pembeli. 43 Kedua partisipan yang melakukan penjualan anak mengemukakan bahwa tidak ada bahasa, kata-kata, expresi, doa-doa atau mantra-mantra khusus yang diucapkan dalam proses penjualan anak mereka.44

Pihak-pihak yang harus hadir dalam ritual dan penjualan anak adalah ketua adat, pihak penjual, pihak pembeli serta rukun keluarga yang terkait dari pihak penjual. Semua pihak harus hadir, ketua adat atau perwakilan dari perkumpulan adat mesti hadir pada saat proses penjualan berlangsung karena ketua adat yang akan berperan sebagai saksi bahwa anak tersebut telah diambil dan menjadi bagian dari keluarga pembeli secara adat. Dan secara adat juga, anak tersebut syah menjadi anak dari pihak pembeli, secara hukum dan agama tetap anak dari keluarga kandung. Tidak ada kewajiban yang harus dipenuhi dari pihak keluarga kepada ketua adat, namun telah menjadi tradisi juga bagi orang Timor untuk selalu memberikan tanda ucapan terima kasih; dapat berupa uang, tetapi biasanya lebih dalam bentuk benda-benda. Dalam upacara ini, tidak ada peran dan campur tangan pendeta, para pejabat gereja atau tokoh agama. 45 Dalam pengalaman kedua partisipan yang menjual anak, yang terpenting adalah kedua belah

43

Wawancara Bpk. Ruben Klonel, Ketua Adat masyarakat Timor di Takari (Kupang, 10 Mei 2012, jam 16.00-18.30 WITA).

44

Wawancara Pdt. Paoina Ngefak – Bara Pa (Lasiana, Kupang, 12 Mei 2012, jam 10.00-12.00 WITA) Dan Wawancara Ibu Indah Benyamin - Tode Solo (Lasiana, Kupang, 5 Mei 2012, jam 10.00-12.00 WITA)

45

(20)

pihak yakni penjual dan pembeli wajib hadir. Tidak ada intervensi mediator, pemuka adat atau tokoh agama yang hadir, hanya beberapa anggota keluarga yang menyaksikan proses penjualan.46

6.3. Sarana Pendukung, Mediator atau Benda-benda sebagai Prasyarat dalam Ritual

dan Penjualan.

Benda-benda atau simbol-simbol yang diwajibkan ada atau dipakai pada saat ritual dan penjualan antara lain penampi beras sebagai tempat bagi anak yang siap dijual dan uang sebagai tanda bahwa sang anak akan dibeli oleh orang tua pembeli. Barang-barang yang akan dipakai dalam penjualan harus dijajalkan, termasuk sang anak harus dijajalkan di atas penampi beras lalu dijalankan sampai kepada pembeli.47

Dalam pelaksanaan tradisi, awalnya tidak perlu memakai beraneka ragam benda untuk dijadikan simbol. Pelaksanaannya terserah pada setiap orang yang melakukan. Berbagai benda yang dipakai dalam tradisi ini seperti niru dan uang. Ada juga ritual di mana pada saat anak akan dijual, pembeli harus menerima anak tersebut dari jendela, tetapi makna dari benda dan ritual tersebut sebenarnya tidak ada. Pada zaman dahulu uang yang dipakai hanyalah sebagai simbol atau tanda bahwa anak telah dibeli secara syah oleh keluarga dari pihak sebelah, dengan percaya bahwa anak tersebut akan terlepas dari penyakitnya dan akan hidup seperti anak-anak yang lain. Pada zaman sekarang, uang menjadi simbol derajat dari yang membeli, karena dari jumlahnya akan menentukan bahwa pada hari esok anak tersebut akan hidup baik seperti orang tua angkatnya (pembeli) atau dengan kata lain anak itu akan menjadi pewaris 48

46

Wawancara Pdt. Paoina Ngefak – Bara Pa (Lasiana, Kupang, 12 Mei 2012, jam 10.00-12.00 WITA) Dan Wawancara Ibu Indah Benyamin - Tode Solo (Lasiana, Kupang, 5 Mei 2012, jam 10.00-12.00 WITA)

(21)

Dalam penjualan anak Pdt. Paoina Ngefak – Bara Pa, benda yang disiapkan adalah sirih pinang dan uang sebagai simbol budaya bahwa anak itu telah dibeli putus secara adat oleh keluarga pembeli. Uang tersebut dijadikan nazar sebagai tanda ucapan syukur kepada Tuhan.49

Tentang benda-benda yang dipakai pada saat penjualan anaknya, Ibu Indah Benyamin - Tode Solo mengatakan bahwa niru yang dipakai hanyalah sebagai tempat untuk menaruh anak pada saat dijual dan uang juga sebagai tanda bahwa sang anak sudah dibeli secara adat.50

7. Konsekuensi Jika Tidak Melakukan Tradisi Penjualan Anak

Menurut ketua adat Bapak Ruben Klonel, konsekwensi terbesar yang akan terjadi dan harus diterima apabila tidak melakukan ritual ini adalah akan ada yang menjadi korban atau meninggal 51. Pendeta Paoina Ngefak – Bara Pa mengatakan bahwa konsekuensinya, entah sudah pernah terjadi atau tidak, tetapi menurut kepercayaan dahulu, jika tidak melakukan tradsi ini maka salah satu akan menjadi korban baik anak maupun orang tua. Biasanya orang tua karena yang muda ingin menjadi sama dengan yang tua atau bahkan lebih dari yang tua 52. Ibu Indah Benyamin - Tode Solo mengatakan bahwa ritual ini harus dilakukan, sebab jika tidak maka konsekwensinya akan sangat besar bagi keluarganya. Kepercayaan ini adalah anak akan semakin ingin sama dengan orang tuanya. “Apalagi pada saat itu yang saya alami adalah anak dan ayah sering sakit secara bersamaan dan bergantian saja siapa yang sakit lebih dulu pasti nanti akan mengikut”. 53

Wawancara Pdt. Paoina Ngefak – Bara Pa (Lasiana, Kupang, 12 Mei 2012, jam 10.00-12.00 WITA) Wawancara Ibu Indah Benyamin - Tode Solo (Lasiana, Kupang, 5 Mei 2012, jam 10.00-12.00 WITA)

51

Wawancara Bpk. Ruben Klonel, Ketua Adat masyarakat Timor di Takari (Kupang, 10 Mei 2012, jam 16.00-18.30 WITA).

52

Wawancara Pdt. Paoina Ngefak – Bara Pa (Lasiana, Kupang, 12 Mei 2012, jam 10.00-12.00 WITA)

53

(22)

8. Hasil Penjualan atau Penyingkiran Anak

Tentang hasil dari pelaksanaan ritual dan penjualan anak, ketua adat Bapak Ruben Klonel mengemukakan, “Selama saya menjadi mediator, tradisi ini selalu membuahkan hasil positif. Dalam artian kami selalu berhasil mendapatkan dan apa yang menjadi tujuan dan maksud kami selalu tercapai.” Apabila pada semula masalah yang terjadi adalah watak yang bertentangan, maka hubungan kekerabatan yang terjadi setelah penjualan menjadi lebih baik kembali selayaknya anak dan orang tua. Menurutnya keberhasilan itu terjadi juga dikarenakan kepercayaan bahwa Tuhan campur tangan di dalam pelaksanaan tradisi ini. 54.

Pendeta Paoina Ngefak – Bara Pa mengemukakan bahwa yang dialami dari hasil ritual ini adalah hasil yang positif; ayah dan anak terselamatkan, terlepaas dari sakit penyakit yang menggelutinya selama ini. Apabila sang ayah sakit, anak tidak mengalami sakit, demikian juga sebaliknya. Hubungan antara anak dan ayah menjadi baik, semakin akrab dan terlihat seperti biasanya sebagaimana ayah dan anak. “Persaaan kami sangat lega, bersyukur karena bukan hanya ayah dan anak saja yang terlepas dari sakit penyakit tersebut melainkan sebagai seorang ibu dan istri juga merasa terlepas dari beban pikiran yang selama ini hadir dalam keluarga kami”. 55 Hal yang sama dikemukakan oleh partisipan Ibu Indah Benyamin - Tode Solo yang mengatakan bahwa tradisi ini sangat baik dan sudah banyak orang yang merasakan atau mengalami hal positif dari pelaksanaannya. Dalam keluarganya sendiri, tradisi ini membuahkan hasil yang baik karena ketika sang ayah sakit, si anak tidak ikut sakit, demikian pula sebaliknya. Perubahan ini nampak setelah melakukan tradisi penjualan ini. Perasaaannya sangat senang dan puas, karena dengan melakukan tradisi ini maka anak dan ayah akan terlepas dari ketidakcocokan selama ini. Ia selalu berdoa agar anak

Wawancara Bpk. Ruben Klonel, Ketua Adat masyarakat Timor di Takari (Kupang, 10 Mei 2012, jam 16.00-18.30 WITA).

55

(23)

adan ayah selalu diberikan kesehatan yang baik. Hubungan kekerabatan dengan pembeli (Ibu Mariam) semakin dekat setelah penjualan.56

9. Tanggungjawab Orang Tua yang Membeli dalam Pengasuhan Anak

Anak yang telah disingkirkan biasanya akan memanggil orang tuanya dengan sebutan paman dan bibi atau om dan tante, namun tetap dalam mendidik si anak, tanggung jawab ada pada kedua belah pihak, baik keluarga yang telah mengambil atau membeli maupun dalam keluarga kandung. Oleh karena ada anggapan, ‘penggembala tua’ (orang yang membeli) dan juga ‘penggembala muda’ (orang tua kandung).57

Menurut Bapak Ruben Klonel, tanggung jawab pihak yang membeli terhadap anak setelah ritual ini dijalankan adalah tetap memperhatikan anak tersebut sekalipun dia tinggal bersama orang tua kandungnya. Mengenai status orang tua angkat atau tidak, anak ini bukan diangkat atau diadopsi, melainkan hanya diminta secara adat untuk mempunyai orang tua yang lain. Sebutan untuk orang tua yang membelinya bebas, anak bebas memanggil apa saja, papa, mama, atau sebutan yang lainnya. 58

Pendeta Paoina Ngefak – Bara Pa yang menjual anak kepada kakak kandungnya mengatakan bahwa tanggung jawab pembeli sama seperti tanggung jawab orang tua kandung. Membimbing anak dalam hal rohani, memperhatikan dan memperlakukan sang anak sebagaimana anak kandung sendiri. “Sekalipun anak kami tetap tinggal bersama kami, anak kami memanggil mereka dengan sebutan mama dan bapak”. Statusnya tidak sama dengan anak angkat karena secara adat dan budaya anak ini adalah anak kandung dari pembeli. Secara adat anak ini telah putus hubungan dengan orang tua

Wawancara Ibu Indah Benyamin - Tode Solo (Lasiana, Kupang, 5 Mei 2012, jam 10.00-12.00 WITA)

57

(24)

kandung, namun secara hukum dan agama sang anak tetap adalah anak nikah dari orang tua kandungnya59

10. Unsur Kekristenan dalam Tradisi Penjualan Anak

Dalam pelaksanaan tradisi penjualan anak seperti disaksikan oleh partisipan yang melakukannya, maupun oleh ketua adat dan yang memahami tradisi ini, terlihat adanya pencampuran unsur-unsur iman Kristen. Fakta tersebut terlihat dalam beberapa hal berikut :

10.1. Iman yang mendasari tradisi dan menyertakan Tuhan dalam ritual di kuburan

dan pada saat penjualan.

Semua partisipan, baik ketua adat atau tokoh yang mengerti adat, dan yang menjalankan tradisi penjualan anak percaya bahwa Tuhan berkenan dengan tradisi ini demi keselamatan si anak atau orang tua, sehingga Tuhan turut campur tangan dalam tradisi ini. Semua partisipan percaya bahwa kesembuhan atau keberhasilan dari pelaksanaan tradisi ini adalah karena Tuhan yang menghendaki.

Pendeta Paoina Ngefak – Bara Pa mengungkapkan bahwa sekalipun di dalam hatinya ada rasa kurang yakin dan tidak percaya, tapi semuanya dibawa di dalam Nama Tuhan saja dan kemudian percaya kalau Tuhan pasti akan turut bekerja dalam tradisi ini. Menurutnya pemikiran untuk menjual anak guna mendapatkan keselamatan adalah hasil pemikiran akal manusia, tetapi darimana pemikiran itu ada? Tentu saja dari Tuhan, lalu bila dijalankan dan dicapai hasilnya, hal itu menandakan bahwa Tuhan juga turut bekerja dalam penjualan ini. Tradisi penjualan anak ini, merupakan tanda keselamatan dari Tuhan yang dinyatakan secara tidak langsung. 60

59

(25)

Partisipan Ibu Indah Benyamin - Tode Solo juga sependapat bahwa Tuhan dapat memakai berbagai macam cara yang tidak pernah diduga oleh manusia untuk memberikan keselamatan atau kesehatan itu; dalam hal ini Tuhan memakai tradisi penjualan anak untuk memberikan keselamatan bagi sang anak dan orang tua.61

Tentang menyertakan Tuhan dalam ritual dan proses penjualan, ketua adat, Bapak Ruben Klonel menyatakan bahwa pada saat proses penjualan diawali dalam doa. Menurutnya yang menjalankan ritual harus percaya bahwa pada saat melakukan ritual di kuburan, Tuhan juga hadir dan mengetahui apa yang menjadi maksud dan tujuan berada disana. Hati babi atau ayam yang disembelih menunjukkan kondisi bagus juga karena mempertanda bahwa Tuhan turut bekerja di dalamnya. 62

DR. H. Ataupah mengemukakan hal yang sama, yakni anak tersebut harus diputuskan dalam doa dengan maksud bahwa apa yang telah dijalankan (penyingkiran dalam keluarga kandung) Tuhan beserta di dalamnya, sehingga dengan demikian sang anak boleh bertumbuh dewasa dalam iman dan percaya bahwa ini adalah rencana Tuhan dan Tuhan pun dapat menerangi jalan hidupnya63

10.2. Uang dari hasil penjualan dipakai sebagai nazar ke gereja

Ibu Indah Benyamin - Tode Solo mengungkapkan bahwa uang yang diperoleh dari penjualan ini diberikan ke gereja sebagai tanda nazar keluarga.64 Hal yang sama dilakukan oleh Pendeta Paoina Ngefak – Bara Pa bahwa uang yang dipakai sebagai tanda pembelian dijadikan nasar ke gereja. Maksud dari nazar itu adalah agar penjualan yang dilakukan dapat diberkati oleh Tuhan, atau maksud dan tujuan keluarga dapat tercapai karena Tuhan berkenan campur tangan di dalamnya.65

Wawancara Ibu Indah Benyamin - Tode Solo (Lasiana, Kupang, 5 Mei 2012, jam 10.00-12.00 WITA)

Wawancara Bpk. Ruben Klonel, Ketua Adat masyarakat Timor di Takari (Kupang, 10 Mei 2012, jam 16.00-18.30 WITA).

63

Wawancara DR. H. Ataupah, dosen Universitas Nusa Cendana, Kupang. (Oeba, Kupang, Selasa, 22 Mei 2012, jam 18.30) Wawancara Ibu Indah Benyamin - Tode Solo (Lasiana, Kupang, 5 Mei 2012, jam 10.00-12.00 WITA)

(26)

Ketua adat, Bapak Ruben Klonel, mengemukakan bahwa sebagai seorang Kristen apapun yang dilakukan harusnya dialaskan atas nama Tuhan, sehingga maksud nazar itu adalah ucapan syukur kepada Tuhan karena percaya bahwa apabila maksud dan tujuan penjualan ini berhasil, hal itu karena Tuhan juga turut bekerja dan setuju dengan tradisi ini 66

11. Faktor-faktor yang Memengaruhi Dipertahankannya Tradisi Penjualan Anak di

Jemaat Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT)

Dari pemaparan para partisipan, dapat dipahami bahwa tradisi penjualan anak terus dipertahankan dan dilakukan di pulau Timor sampai zaman modern ini, termasuk dalam jemaat-jemaat Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT). Dari hasil wawancara dengan para partisipan, dapat dideskripsikan beberapa faktor yang memengaruhi tradisi ini tetap dilestarikan dan dijalankan, antara lain :

11.1. Faktor Kesehatan atau keselamatan

Setiap keluarga yang menjalankan tradisi penjualan anak didesak oleh sebuah kebutuhan dasar yang penting. Kebutuhan dasar yang dimaksud di sini bukanlah sandang, pangan dan papan, tetapi kebutuhan kesehatan atau keselamatan. Setiap partisipan yang menjalankan tradisi penjualan anak mengungkapkan bahwa tujuan dari menjalankan tradisi ini hanyalah demi keselamatan atau kesembuhan dari sakit yang diderita sang anak atau orang tua yang memiliki kemiripan wajah. Dapat dimengerti bahwa kesehatan atau keselamatan adalah faktor penting yang mendorong orang tua atau keluarga melakukan penjualan anak dan terus mempertahankannya turun temurun dalam garis keluarga. Bapak Ruben Klonel mengatakan, “Makna dari tradisi ini adalah keselamatan. Bagaimana seseorang atau lebih terlepas dari beban yang selama ini di

(27)

pikul atau dideritanya” 67. Hal yang sana dikemukakan oleh Pendeta Paoina Ngefak – Bara Pa dalam pernyataan, “Memutuskan untuk menjual anak ini adalah untuk mendapatkan keselamatan”68

11.2. Faktor Agama

Faktor lain yang menjadi dasar tradisi penjualan anak tetap dipertahankan dan dijalankan oleh masyarakat Timor, termasuk di tengah-tengah jemaat-jemaat Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) adalah faktor agama dalam hal ini pemahaman iman dan interpretasi atau penafsiran terhadap Kitab Suci atau Firman Allah. Jemaat secara khusus yang menjalankan tradisi penjualan anak, memiliki pemahaman iman tentang hal-hal berikut ini :

Tuhan Yesus memberikan keselamatan tetapi tidak secara langsung.

Jemaat-jemaat Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) pada umumnya memberikan tanggapan yang positif terhadap tradisi penjualan anak karena meyakini bahwa keselamatan memang hanya datang dari Tuhan Yesus saja namun Tuhan tidak langsung datang dan memberikan keselamatan atau kesehatan itu melainkan dengan memakai berbagai macam cara yang tidak pernah diduga oleh manusia. Tuhan juga bekerja dalam budaya dan tradisi. Manusia harus berusaha dan berdoa, dan di dalam usaha itu, memakai pikiran dan pengetahuan dengan didasarkan keyakinan bahwa Tuhan akan turut campur tangan dalam usaha tersebut

69

Ketua adat Bapak Ruben Klonel berpandangan sama bahwa penyelamatan datangnya dari Tuhan, tetapi Tuhan tidak memberikan penyelamatan secara

67

Ibid

Wawancara Pdt. Paoina Ngefak – Bara Pa (Lasiana, Kupang, 12 Mei 2012, jam 10.00-12.00 WITA)

(28)

langsung kepada orang yang mengalami, melainkan melalui tangan orang-orang lain ataupun juga melalui barang-barang lain.70

Mengidentikkan tradisi penjualan anak dengan tanda, kejadian-kejadian dan

tradisi dalam Alkitab.

Pemuka adat maupun partisipan yang menjalankan tradisi penjualan anak memahami bahwa tradisi ini identik dengan tradisi-tradisi dalam masyarakat Israel pada zaman Perjanjian Lama, atau kisah-kisah, kejadian ataupun mujizat penyembuhan seperti yang dilakukan Tuhan Yesus dalam masa Perjanjian Baru. Misalnya cerita-cerita yang memakai segala macam tanda baik di PL maupun di PB, salah satu contoh Tuhan Yesus menyembuhkan orang buta dengan air ludah yang dibuang ke tanah, Yesus mengambilnya dan mengusap ke mata orang tersebut dan menyuruhnya pergi membasuh muka dengan air (Yohanes 9:6). 71

Sebagaimana Yesus menyembuhkan orang buta dalam kisah tersebut dengan memakai air ludah yang dibuang ke tanah dan mengusap ke mata orang buta tersebut, demikian juga syah-syah saja bagi orang Kristen pada zaman sekarang yang ingin mencari kesembuhan, dengan memakai cara-cara tradisi atau barang-barang lain. Cerita-cerita Alkitab menunjukkan bahwa tradisi sudah ada dari para pendahulu, sehingga apa yang sekarang dilakukan dan yang sekarang masih tetap dijalankan adalah warisan dari para nenek moyang yang ada dalam Alkitab. Misalnya setiap kejadian terlebih dalam PL, banyak hal yang sangat tidak mungkin sama dengan ajaran agama, tetapi pada kenyataannya, nenek moyang pada zaman PL juga melakukannya. Contoh dari kisah penyelamatan anak-anak sulung Israel di Mesir, ketika Tuhan akan menulahi bangsa Mesir. Orang Israel memasang tanda

Wawancara Bpk. Ruben Klonel, Ketua Adat masyarakat Timor di Takari (Kupang, 10 Mei 2012, jam 16.00-18.30 WITA).

71

(29)

darah agar malaikat Tuhan melewati rumah mereka. Lalu anak sulung manusia, dan anak binatang dari orang Mesir dimusnahkan. Dari situ dapat dilihat bahwa tanda darah itu adalah tanda keselamatan dari Tuhan kepada orang Israel yang dinyatakan secara tidak langsung. Demikian juga tradisi penjualan anak merupakan tanda keselamatan dari Tuhanyang dinyatakan secara tidak langsung. Pada zaman dahulu belum ada dokter dan obat seperti zaman sekarang, dengan akal pikiran yang Tuhan berikan, para nenek moyang berpikir apa yang dapat dilakukan bila jatuh sakit. Salah satunya adalah dengan melakukan tradisi penjualan anak, apabila hasil tujuan dan maksudnya tercapai berarti mempertanda bahwa Tuhan turut bekerja di dalamnya. 72

Dari pernyataan para partisipan, dapat dimengerti bahwa tradisi penjualan anak tetap dipertahankan dan dijalankan karena pemahaman dan keyakinan bahwa tradisi ini tidak bertentangan dengan Alkitab atau Firman Allah, sebagaimana diungkapkan Pendeta Paoina Ngefak – Bara Pa dalam pernyataannya, “Menurut kami, apa yang kami lakukan ini tidak bertentangan karena kami tidak melakukan penyembahan berhala atau penyembahan kepada allah lain yang bertentangan dengan ajaran Alkitab”

73

Pemahaman bahwa Tradisi Penjualan Anak Tidak Mengandung Dualisme

Kepercayaan.

Terhadap pelaksanaan tradisi penjualan anak, banyak juga orang yang memandangnya sebagai tradisi yang menduakan kepercayaan yang seharusnya hanya dilandaskan dalam keselamatan oleh Yesus Kristus, tetapi terhadap pemikiran ini,

72

Wawancara Pdt. Paoina Ngefak – Bara Pa (Lasiana, Kupang, 12 Mei 2012, jam 10.00-12.00 WITA)

73

(30)

pemuka adat dan para partisipan yang menjalankan tradisi ini tidak sependapat. Menurut ketua adat Bapak Ruben Klonel, “Orang yang tidak tahu akan berpikir bahwa kita menduakan kepercayaan kita, tapi coba lihat hasilnya apalagi kalau hasilnya mendatangkan kebaikan bagi kehidupan”74

Pendeta Paoina Ngefak – Bara Pa berpandangan bahwa dengan melakukan tradisi ini tidak berarti orang yang melakukannya percaya kepada roh nenek moyang atau memiliki kepercayaan yang dualisme. Menurutnya tradisi ini tidak dapat dikatakan kafir, karena tradisi dapat memajukan manusia 75. Partisipan Ibu Indah Benyamin - Tode Solo mengatakan pandangan yang senada, “Hal ini bukan berarti kita berlari dari ajaran agama atau kepercayaan kita ...”76.

11.3. Faktor Budaya, Adat atau Tradisi Turun-temurun

Faktor lain yang mendukung tetap dipertahankan dan dijalankannya tradisi penjualan anak dalam masyarakat Timor dan dalam jemaat Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) adalah faktor adat dan tradisi turun-temurun. Secara adat dipercayai bahwa kemiripan yang identik, ketidakcocokan, permusuhan yang terjadi antara orang tua dan anak, sakit dan ketakutan akan kematian yang bisa terjadi, keselamatan yang diperoleh jika menjual sang anak, telah berakar dalam pikiran, jiwa dan roh keluarga yang menjalankannya. Kepercayaan yang dipelihara ini membudaya, prakteknya menjadi kebiasaan, adat atau tradisi yang harus dijalankan turun temurun.

Bapak Ruben Klonel mengatakan, “Tradisi ini menjadi suatu kebutuhan bagi masyarakat, terlebih lagi bagi keluarga yang sudah pernah melakukan tradisi ini secara terun temurun maka tradisi ini akan dilakukan terus menerus dalam keluarga.77

74

Wawancara Bpk. Ruben Klonel, Ketua Adat masyarakat Timor di Takari (Kupang, 10 Mei 2012, jam 16.00-18.30 WITA). Wawancara Pdt. Paoina Ngefak – Bara Pa (Lasiana, Kupang, 12 Mei 2012, jam 10.00-12.00 WITA)

76

Wawancara Ibu Indah Benyamin - Tode Solo (Lasiana, Kupang, 5 Mei 2012, jam 10.00-12.00 WITA)

77

(31)

Ibu Indah Benyamin - Tode Solo mengatakan bahwa tradisi ini dari orang tuanya yang juga sudah pernah melakukan, bahkan saat sekarangpun tidak hanya dirinya saja yang masih melakukannya, tetapi saudara-saudaranya yang mengalami hal yang sama juga melakukan tradisi ini.78 Demikian juga Pendeta Paoina Ngefak – Bara Pa mengatakan bahwa tradisi ini dilakukan juga dalam keluarga bapak dan ibu atau orang tuanya. 79

11.4. Faktor Sosial

Faktor yang turut berperan dalam terpeliharanya tradisi penjualan anak di pulau Timor dan di jemaat-jemaat Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) adalah faktor sosial, yang dimaksud di sini adalah lingkungan sosial baik keluarga, anggota jemaat, pemuka agama termasuk pemimpin gereja, pemuka adat, akademisi dan masyarakat. Tradisi penjualan anak tidak saja dilakukan oleh orang awam tapi juga oleh para pemuka atau tokoh agama yang keluarganya mengalami masalah sakit penyakit atau ketidakharmonisan hubungan antara anak dan orang tua karena kemiripan wajah yang identik. Tanggapan gereja terhadap tradisi ini sangat baik, dikarenakan hasil yang tercapai. Gereja juga melihat bahwa keselamatan yang ada karena Tuhan pun bekerja dalam tradisi ini. Jemaat lain yang tidak melaksanakan tradisi ini ada yang memberikan tanggapan baik ada juga yang seperti menolak karena mungkin dalam keluarganya tidak pernah mengalami hal seperti yang dialami keluarga-keluarga yang menjalankan tradisi ini. Setelah tradisi dilakukanpun relasi dengan gereja dan saudara seiman lainnya terhadap lembaga adat tetap terjaga dan terjalin dengan baik.80

Wawancara Ibu Indah Benyamin - Tode Solo (Lasiana, Kupang, 5 Mei 2012, jam 10.00-12.00 WITA) Wawancara Pdt. Paoina Ngefak – Bara Pa (Lasiana, Kupang, 12 Mei 2012, jam 10.00-12.00 WITA)

80

(32)

Fakta yang mendukung adalah kepercayaan ini terbukti mendatangkan hasil yang positif ketika dijalankan. Baik pemuka adat maupun partisipan yang melaksanakan tradisi penjualan anak mengemukakan bahwa tradisi ini berhasil baik, membuahkan hasil positif, yakni kesembuhan atau keselamatan, keharmonisan hubungan, dan perasaan yang melegakan bagi semua pihak yang menyaksikan perubahan yang terjadi setelah melakukan tradisi ini.

Bapak Ruben Klonel mengungkapkan bahwa selama menjadi mediator, tradisi ini selalu membuahkan hasil positif. Dalam arti apa yang menjadi tujuan dan maksud mediator dan keluarga yang menjalankan tradisi ini berhasil dan selalu tercapai. Menurutnya,“Hasilnya mendatangkan kebaikan bagi kehidupan” . Berdasarkan hal-hal tersebut, disarankan agar orang perlu memahami dan menjaganya. Tradisi ini menjadi suatu kebutuhan bagi masyarakat, terlebih lagi bagi keluarga yang sudah pernah melakukan tradisi ini secara terun temurun maka tradisi ini akan dilakukan terus menerus dalam keluarga. Karena itu masyarakat perlu melihat sisi baik atau sisi positif dari tradisi ini dan melestarikannya.81

Pendeta Paoina Ngefak – Bara Pa menyatakan bahwa jemaat menanggapi positif pelaksanaan penjualan anak yang dilakukannya. Relasi dengan saudara seiman baik-baik saja, dan tidak ada yang memberikan komentar negatif mengenai apa yang dilakukan, karena jemaat berpandangan bahwa Tuhan mempunyai berbagai macam cara untuk menolong manusia. Menurutnya sebagai seorang pendeta jemaat, tradisi ini tidak dapat dikatakan kafir, karena tradisi dapat memajukan manusia. “Kalau dengan tradisi dapat membuat manusia baik kenapa harus dihilangkan?” 82

Partisipan Ibu Indah Benyamin - Tode Solo menyatakan bahwa tradisi ini sangat baik dan sudah banyak orang yang merasakan atau mengalami hal postif dari tradisi

(33)

ini. Relasi dengan gereja dan saudara seiman lainnya tetap baik, karena jemaat bukan melihat hal yang negatif, melainkan melihat dari hasil yang membuahkan sesuai dengan maksud dan tujuan dilakukanya tradisi ini. Menurutnya, “Para anggota jemaat memberikan tanggapan yang positif... Bahkan tanggapan dari pendeta pun baik, sehingga pendeta kamipun melakukan tradisi ini”. Karena itu partisipan menyarankan agar tradisi ini perlu dijaga dan dipahami maksud baik dan positifnya bagi orang-orang yang menjalankan83

C. KESIMPULAN

Dari deskripsi hasil penelitian di atas, dipaparkan beberapa pemikiran sebagai kesimpulan tentang tradisi penjualan anak di pulau Timor, khususnya di tengah-tengah jemaat-jemaat Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) :

1. Tradisi penjualan anak diyakini sebagai solusi bagi permasalahan sakit penyakit, kematian dan ketidakcocokan hubungan antara anak dan orang tua akibat memiliki kemiripan wajah yang sangat identik. Dengan melakukan tradisi ini diyakini bahwa anak dan orang tua yang memiliki kemiripan wajah akan terselamatkan dari sakit penyakit atau ancaman kematian dan sang anak mengalami perubahaan watak dan hubungan yang harmonis dengan orang tua.

2. Tradisi penjualan anak pada zaman dulu dilaksanakan dengan ritual yang sedikit berbeda dengan zaman sekarang. Pada zaman dulu melibatkan koneksi atau keterhubungan dengan para leluhur dan roh-roh nenek moyang untuk mendapatkan izin melalui ritual di kuburan dengan persyaratan-persyaratan tertentu, sedangkan pada zaman sekarang langsung mengacu pada pelaksanaan praktis penjualan atau pertukaran anak dengan uang dalam nominal tertentu yang kemudian diberikan ke gereja.

(34)

3. Dapat dikatakan bahwa perbedaannya adalah dalam “kemasan” yang berbeda tetapi memiliki essensi yang sama yaitu menyerahkan sang anak kepada kuasa yang lebih tinggi untuk mendapatkan keselamatan atau kesehatan.

4. Tradisi penjualan anak diyakini oleh orang-orang yang menjalankannya sebagai adat atau tradisi yang tidak bertentangan dengan Alkitab atau Firman Allah dan iman Kristen, atau tradisi yang diyakini tidak mengandung dualisme kepercayaan.

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Dalam penelitian ini sumber data yang digunakan yaitu hasil wawancara dari narasumber yang merupakan alumni-alumni Sekolah Dasar Kanisius Harjosari ataupun saksi-saksi

4 Proses pencarian gambar untuk dilapangan ataupun berupa wawancara dengan pihak narasumber tentang pendapat menggunakan biogas 1-3 Minggu Mendapatkan seluruh dokumentasi

Data primer yang diperoleh dari pasien atau keluarga pasien. dan data sekunder yang diperoleh dari Rekam Medik

Mengisi formulir surat referensi dari minimal 2 orang anggota keluarga yang tidak tinggal serumah (paman/bibi/kakek/nenek) yang menyatakan bahwa kandidat benar-benar

Tidak hanya dalam masyarakat tetapi juga dalam keluarga yang tidak begitu akrab seperti paman, bibi atau ibu mertua, karena ’ giri ’ ditujukan untuk semua orang dan menuntut

Jadi, pengumpul dalam penelitian ini adalah pihak-pihak yang membeli susu sapi baik dari peternak maupun pengumpul lain yang kemudian menjual susu sapi tersebut kepada pengumpul

Namun masih ada lagi banyak jenis website lainnya yang bisa ditemukan di internet, misalnya affiliate website yaitu website affiliasi untuk menjual produk pihak ketiga, attack

saudara sepupu saudara sepupu adalah anak dari paman atau bibi kita  contoh silsilah keluarga besar a.. orang tua toni adalah tito dan rita