• Tidak ada hasil yang ditemukan

UPACARA DALO’ SUKU DAYAK UUD DANUM DI SERAWAI KECAMATAN SERAWAI, KABUPATEN SINTANG, KALIMANTAN BARAT : DESKRIPSI PROSES RITUAL, MAKNA, DAN FUNGSI Skripsi Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana S-1 Program Studi Sastra Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "UPACARA DALO’ SUKU DAYAK UUD DANUM DI SERAWAI KECAMATAN SERAWAI, KABUPATEN SINTANG, KALIMANTAN BARAT : DESKRIPSI PROSES RITUAL, MAKNA, DAN FUNGSI Skripsi Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana S-1 Program Studi Sastra Indonesia"

Copied!
108
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana S-1 Program Studi Sastra Indonesia

Oleh : Felisia Narita

O44114019

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA

JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)

UPACARA DALO’ SUKU DAYAK UUD DANUM DI SERAWAI KECAMATAN SERAWAI, KABUPATEN SINTANG, KALIMANTAN

BARAT : DESKRIPSI PROSES RITUAL, MAKNA, DAN FUNGSI

Skripsi

Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana S-1 Program Studi Sastra Indonesia

Oleh : Felisia Narita

O44114019

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA

JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2010

(3)
(4)
(5)

HALAMAN PERSEMBAHAN

Doa memberikan kekuatan kepada yang lemah, membuat yang tidak percaya

menjadi percaya dan memberikan keberanian kepada orang yang ketakutan

AD MAIOREM DEI GLORIAM

Kupersembahkan Kepada :

Kedua orang tuaku

Atas kasih sayang, cinta, doa, dan dukungan yang tiada henti di sepanjang

hidupku

Rendy

Atas segala ketulusan cinta, kasih sayang, perhatian, dukungan dan semngat untuk

hari-hari indah ku bersamamu

(6)

Yang bertanda tangan dibawah ini, saya mahasiswi Universitas Sanata Dharma : Nama : Felisia Narita

Nomor Mahasiswa : 044114019

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :

Upacara DaLo’ Suku Dayak Uud Danum Di Serawai, Kecamatan Serawai, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat : Deskripsi Proses Ritual, Makna, dan Fungsi.

Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta Pada Tanggal 20 April 2010 Yang menyatakan,

(7)

tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah

Yogyakarta, 12 Maret 2010

(8)

v  

Serawai, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat : Deskripsi Proses Ritual, Makna, dan Fungsi. Skripsi Strata I (S-I). Program Studi Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma.

Skripsi ini membahas Upacara DaLo’ Suku Dayak Uud Danum di Serawai, Kecamatan Serawai, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat : Deskripsi Proses Ritual, Makna, dan Fungsi. Studi ini memiliki tiga tujuan yakni (1) Menjelaskan sejarah Suku Dayak Uud Danum, (2) Mendeskripsikan proses ritual upacara DaLo’ suku Dayak Uud Danum di Serawai, (3) Menjelaskan makna dan fungsi ritual upacara DaLo’ .

Judul ini dipilih karena studi khusus tentang upacara DaLo’ belum ada dilakukan. Upacara DaLo’ mempunyai nilai penting yaitu nilai budi pekerti yang mendidik kita agar tetap menghormati leluhur atau sanak saudara yang telah meninggal dunia dengan mengirim doa dan memberikan kehidupan yang layak kepada mereka yang telah meninggal dunia.

Pendekatan yang digunakan dalam studi ini adalah pendekatan Folklor dan menggunakan metode deskriptif. Penelitian ini menggunakan empat teknik pengumpulan data yaitu teknik kepustakaan, dokumentasi, observasi, dan wawancara.

(9)

vi  

Narita, Felisia. 2010. The DaLo’ ceremony of Dayak Uud Danum Tribe in Serawai, District of Serawai, Regency of Sintang, West Borneo :The Description of Ritual Process, Meaning, and Function. S-I Degree Thesis. Indonesian Literature Study Program, Departement of Indonesian Literature, Faculty of Literature, Sanata Dharma University.

This thesis discusses about The DaLo’ ceremony of Dayak Uud Danum Tribe in Serawai, District of Serawai, Regency of Sintang, West Borneo : The Description of Ritual Process, Meaning, and Function. This study has three objectives, they are (1) to explain the history Dayak Uud Danum Tribe, (2) to describe the process of The DaLo’ ritual ceremony of Dayak Uud Danum Tribe in Serawai, (3) to explain the meaning and the function of the DaLo’ ritual ceremony.

This topic is chosen because there is a before research about DaLo’ ceremony. DaLo’ ceremony has the importance , that is the intellectual it educates us to restect our ancestor or our family who died by sending the prayers and giving properly life to death people.

The approach of this study is Folklore and descriptive method. The research of the study use four ways to gather the data. They are Library Research, Documentation, Observation, and Interview.

(10)

vii  

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kasih, cinta, berkat, dan, rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis sadar skripsi ini tidak akan dapat selesai tanpa kekuatan Tuhan. Skripsi yang berjudul Upacara DaLo’ Suku Dayak Uud Danum di Serawai, Kecamatan Serawai, Kabupaten Sintang,

Kalimantan Barat : Deskripsi Proses Ritual, Makna, dan Fungsi disusun untuk memenuhi

syarat memperoleh gelar Sarjana S-I di Universitas Sanata Dharma.

Skripsi ini tidak akan terwujud tanpa adanya kebaikan, dukungan, bantuan baik secara mateial maupun spiritual dari berbagai pihak. Kebaikan, bantuan, dan dukungan tersebut senantiasa hadir dalam kehidupan penulis terutama saat menjalani masa studi di Universitas Sanata Dharma.

Sehubungan dengan tersusunnya skripsi ini, maka penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu dan memperlancar proses penulisan skripsi ini :

1. Dra. Fransisca Tjandrasih Adji, M. Hum, selaku dosen pembimbing I atas bimbingan, masukan, kesabaran serta semangat yang selama ini telah diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi di Universitas Sanata Dharma.

(11)

viii  

Universitas Sanata Dharma.

4. Seluruh staf sekretariat Fakultas Sastra, Pogram Studi Sastra Indonesia yang telah ramah dalam melayani setiap keperluan penulis semenjak awal perkuliahan sampai penyelesaian tugas akhir.

5. Seluruh staf petugas perpustakaan Universitas Sanata Dharma yang telah ramah dalam melayani peminjaman buku dan memberikan dukungan.

6. Keluarga Besar Dewan Adat Dayak Kecamatan Serawai dan Keluarga Besar masyarakat Uud Danum di Serawai, terima kasih atas kerjasama dan dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

7. Kedua orang tuaku Ayahnda Sebastianus Ferry dan Ibunda Yohana Anah atas doa, kasih sayang, cinta serta dukungan dan semangat yang tiada hentinya diberikan kepada penulis dari awal perkuliahan hingga penyelesaian tugas akhir ini. Terima kasih atas semua yang telah diberikan kepada penulis hingga saat ini.

8. Keluarga besar angkatan 2004 prodi Sastra Indonesia, terima kasih atas kebersamaannya selama ini. Semua akan menjadi kenangan indah dan tak terlupakan masa-masa kita kuliah di Universitas Sanata Dharma.

9. Terima kasih buat Oktavianus Rendy atas motivasi, kasih dan cinta serta selalu setia menemani hari-hari penulis dari awal hingga akhir penulisan tugas akhir ini.

(12)

ix  

penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis telah berusaha dengan semaksimal mungkin dalam penyusunan skripsi ini, namun penulis menyadari skripsi ini jauh dari kesempurnaan. Penulis masih banyak memiliki kekurangan. Segala kekurangan dan ketidaksempurnaan yang masih terdapat dalam skripsi ini merupakan tanggung jawab penulis semata. Semoga karya ini bermanfaat.

Yogyakarta, 12 Maret 2010

(13)

x  

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN... iv

ABSTRAK... v

ABSTRACT... vi

KATA PENGANTAR... vii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... x

DAFTAR ISI... xi

BAB I : PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang ... 1

1.2Rumusan Masalah... 6

1.3Tujuan Penelitian... 7

1.4Manfaat Penelitian... 7

1.5Tinjauan Pustaka... 8

1.6Teori... 8

1.6.1 Kerangka Berpikir... 8

1.6.1.1 Folklor... 8

(14)

xi  

1.6.2.2 Proses Ritual... 18

1.7 Metode Penelitian... 18

1.7.1 Pendekatan... 18

1.7.2 Metode... 19

1.7.3 Teknik Pengumpulan Data... 20

1.7.3.1 Kepustakaan... 20

1.7.3.2 Dokumentasi... 20

1.7.3.3 Observasi... 21

1.7.3.4 Wawancara... 22

1.8 Sumber Data... 23

1.9 Sistematika Penyajian ... 23

BAB II : URAIAN SINGKAT SUKU DAYAK UUD DANUM 2.1 Suku Dayak Uud Danum... 24

2.1.1 Asal Usul... 24

2.1.2 Kehidupan Sosial Masyarakat... 25

2.1.3 Kebudayaan Suku Dayak Uud Danum... 29

(15)

xii  

3.2.1.2 Ngatung... 32

3.2.1.3 Torasch PaLi’... 32

3.2.1.4 Nombok Konyanang... .... 33

3.2.1.5 Napa’ Sopundu’... ... 33

3.2.1.6 Napa’ Kodiring... ... 34

3.2.1.7 Nohka’ Uca’... 35

3.2.1.8 Kanjan Alu’... 35

3.2.1.9 Ngurah Pandung... 36

3.2.2 Acara Inti Upacara DaLo’ Suku Dayak Uud Danum... 37

3.2.2.1 BoLuhan Sopundu’... .. 37

3.2.2.2 Noharang Sopundu’... .. 37

3.2.2.3 Nohtok Hopong... 38

3.2.2.4 Hopohau’... 42

3.2.2.5 Nombok Sopundu’... .. 43

3.2.2.6 Ngahut Dahangan... 44

3.2.2.7 Nganjan Buhang... 44

3.2.2.8 Ngiposch Urak... . 45

3.2.2.9 Kanjan daun... . 45

3.2.2.10 Nohka’ SiLat... .. 46

3.2.2.11 Napa’ Ukun TaLoh... ... 46

3.2.2.12 Nyukan Pandung... ... 47

(16)

xiii  

3.2.2.17 Nukang Pandung... ... 50

3.2.2.18 Nohto’ Ahtui Urak... ... 50

3.2.2.19 Muluh Nguan Ukun... ... 51

3.2.2.20 NyoLat... ... 51

3.2.2.21Ngahtang Bari’ Konah ( Kuman BoLum)... 52

3.2.2.22 Ngahkasch Pandung... 52

3.2.2.23 Napa’ Jarah Bari’ Konah... 52

3.2.2.24 Nguap Boram PaLi’... ... 53

3.2.3 Acara Penutup Upacara DaLo’ Suku dayak Uud Danum... 54

3.2.3.1 Lanon ToLah... 54

3.2.3.2 Marung Ngitot Liou... ... 56

3.2.3.3 Ngitot TaLoh... 57

3.2.3.4 Nombok Torasch... 57

3.3 Waktu dan Tempat Upacara DaLo’ Suku Dayak Uud Danum... 57

3.4 Sesaji dalam Upacara DaLo’ Suku Dayak Uud Danum... ... 58

3.5 Pihak-pihak yang Terlibat dalam Upacara DaLo’ Suku Dayak Uud Danum... 59

(17)

xiv  

yang Masih Hidup... 63

4.2.3 Makna Spiritual... 63

4.2.4 Penyucian Lahiriah dan Batiniah orang yang Telah Meninggal... 64

4.3 Makna yang Terkandung dari Setiap Sesaji dalam Upacara DaLo’ Suku Dayak Uud Danum... 65

4.3.1 Bari’ ... 65

4.3.2 Manuk, Urak, Dahangan ... 66

4.3.3 Ahtoi Urak ... 66

4.3.4 Boram ... 67

4.3.5 Ruhkuk ... 67

4.3.6 Umbut ... 67

4.3.7 Huasch PuLut ... 67

4.3.8 Tehpung ... .. 67

4.3.9 Sihpak ... ... 68

4.4 Fungsi Upacara DaLo’ Suku Dayak Uud Danum... 68

4.4.1 Fungsi Religius... 68

4.4.2 Fungsi Sosial... 69

4.4.3 Fungsi Budaya... 70

4.4.4 Fungsi Pendidikan... 70

(18)

xv  

(19)

1 1.1Latar Belakang

Dunia terus bergerak menuju suatu perubahan yang terus-menerus tanpa kenal waktu. Dalam konteks perubahan itu kebudayaan suatu suku bangsa yang berada dalam dunia juga ikut berkembang sesuai kehendak manusia sebagai subjek kebudayaan. Tetapi selain sebagai objek bentukan manusia, kebudayaan juga merupakan suatu subjek yang memberikan ciri khas dan eksistensi dari bangsa pemilik kebudayaan tersebut. Ini berarti kebudayaan memberikan dirinya sebagai ciri yang melekat pada suatu suku bangsa dari masa ke masa. Dalam bahasa Indonesia terdapat istilah yang tepat untuk menyebut wujud ideal dari kebudayaan ini, yaitu adat atau adat-istiadat untuk bentuk jamaknya (Koentjaraningrat, 1989:187).

Adat-istiadat dalam masyarakat Dayak dapat diwujudkan dalam bentuk tata upacara. Tiap-tiap daerah memiliki adat-istiadat sendiri sesuai dengan letak geografis. Berbagai macam upacara yang terdapat di dalam masyarakat pada umumnya dan masyarakat Dayak khususnya merupakan pencerminan bahwa semua perencanaan, tindakan dan perbuatan telah diatur oleh tata nilai luhur. Tata nilai luhur tersebut diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi berikutnya sebagai sebuah tradisi (Bratawidjaja, 1988:9). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005:1208) tradisi adalah adat kebiasaan

(20)

Berbagai macam tata upacara adat terdapat dalam masyarakat Dayak, sejak sebelum manusia lahir sampai meninggal dunia. Misalnya upacara adat pada kelahiran seorang bayi, upacara monush anak (mandi anak) ,upacara nohtok balo’ (potong rambut pertama dari masa kelahiran) , upacara marak

hyihpok (sebut gigi), dan lain-lain. Setiap upacara adat tersebut mempunyai makna sendiri-sendiri dan sampai saat ini masih dilaksanakan oleh masyarakat Dayak, terutama di desa-desa. Upacara mempunyai banyak unsur, yaitu : bersaji, berkorban, berdoa, makan makanan bersama yang telah disucikan dengan doa, menari tarian suci, menyanyi nyanyian suci, berprosesi atau berpawai, memainkan seni drama suci, berpuasa, intoksikasi atau mengaburkan pikiran dengan makan obat bius untuk mencapai keadaan trance atau mabuk, bertapa dan bersemedi (Koentjaraningrat, 1989:378).

Dalam pelaksanaan upacara DaLo’ suku Dayak Uud Danum di Serawai akan disesuaikan dengan keadaan lingkungan setempat dan kemampuan masyarakat suku Dayak Uud Danum di Serawai. Di samping tata upacaranya, tersaji pendidikan budi pekerti dan aturan-aturannya. Semua itu merupakan warisan nenek moyang yang perlu kita lestarikan (Bratawidjaja, 1988:10). Hal ini mengingat salah satu fungsi upacara adalah sebagai pengokoh norma-norma atau nilai-nilai budaya yang berlaku dalam masyarakat (Maharkesti, 1988/1989:2).

(21)

kecintaan terhadap manusia termasuk yang telah meninggal dunia (Meruh, wawancara 26 September 2009).

DaLo’ merupakan ritual tertinggi di dalam pembersihan kematian.

Namun DaLo’ juga masih mempunyai dua tingkatan, yaitu DaLo’ Nahpeng (tidak membuat Kodiring) dan DaLo’ Ngodiring (membuat Kodiring). DaLo’ Nahpeng adalah DaLo’ yang tidak membuat Kodiring dan tulang tidak di

angkat dari kuburnya, tetapi hanya kuku dan rambut orang yang meninggal di pahat pada Sopundu’. Jika hal ini yang dilakukan, maka dipercaya bahwa di alam baka roh si mati hanya mempunyai sebuah Takun (kamar) di dalam sebuah rumah yang permanen. Sedangkan DaLo’ Ngodiring maksudnya adalah upacara DaLo’ dengan membuat Kodiring. Jika hal ini yang dilakukan, maka bagi arwah orang yang di DaLo’ itu di alam baka sana akan mempunyai sebuah Lovu’ (rumah yang sangat permanen) (Mingguk, wawancara 22 Agustus 2009).

(22)

perlu diketahui bahwa setiap sehabis melaksanakan suatu upacara DaLo’, Nahpeng ( sejenis DaLo’ tetapi tidak membuat Kodiring dan tulang tidak di

angkat dari kuburnya, tetapi hanya kuku dan rambut orang yang meninggal di pahat pada Sopundu’. Jika hal ini yang dilakukan, maka dipercaya bahwa di alam baka roh si mati hanya mempunyai sebuah Takun (kamar) di dalam sebuah rumah yang permanen), Nyolat ( jika melakukan NyoLat maka roh orang yang meninggal di alam baka hanya mempunyai sebuah Lohpou (pondok) saja) ataupun Nosang (jika dilaksanakan Nosang menurut kepercayaannya, maka arwah orang yang meninggal di alam baka hanya mempunyai sebuah Sorengap (pondok yang atapnya hanya sebelah dan miring), keluarga yang ditinggalkan harus mengadakan upacara Nyakai Ngurah Morua’ dan sekalian Molombang Liou, yaitu upacara ritual untuk

mengumpulkan kembali roh manusia yang terpencar-pencar dan memisahkan rumah orang yang sudah meninggal dan yang masih hidup. Karena menurut kepercayaan Uud Danum, roh manusia itu ada tujuh dan apabila ada satu ataupun beberapa dari ketujuh roh itu terpisah maka akan menyebabkan pemiliknya sakit-sakitan atau sering tertimpa kesulitan hidup ataupun selalu sial (Mingguk, wawancara 22 Agustus 2009).

(23)

(masyarakat suku Dayak Uud Danum percaya bahwa setiap keluarga mempunyai rumah di alam baka), yaitu bagian si mati diputar ke arah matahari terbenam dan bagian orang yang hidup tetap mengarah ke matahari terbit. Di sinilah sedihnya, karena pada saat rumahnya di putar inilah arwah yang sudah meninggal itu baru menyadari dirinya telah meninggal dan dia akan menangis sedih. Biasanya di bumi minimal akan terjadi hujan bahkan sering terjadi hujan yang sangat deras disertai angin ribut yang mampu merebahkan pohon-pohon (Mingguk, wawancara 22 Agustus 2009).

DaLo’ adalah upacara adat yang hidup di dalam budaya sub suku

Dayak Uud Danum (Dohoi, Cohie, Pangin, dll) dari kecamatan Serawai dan Ambalau, Kabupaten Sintang, Propinsi Kalimantan Barat serta dilakukan juga oleh beberapa masyarakat suku Dayak Uud Danum yang berada di Kalimantan Tengah. Upacara DaLo’ ini adalah ritual mengangkat tulang anggota keluarga yang sudah meninggal. Upacara ini hanya dilaksanakan oleh orang yang ekonominya kelas menengah ke atas, sebab pesta ini memerlukan biaya yang sangat besar. Karena selama Ngatung (pesta sebelum Ondou Lehkasch/hari H-nya) setiap harinya harus memotong minimal seekor babi dan

pada Ondou Lehkasch (hari H-nya) minimal membunuh sapi dan kalau bisa kerbau. Sehingga kalau pestanya berlangsung selama tujuh tahun, maka dalam rentang waktu tujuh tahun itu setiap harinya harus membunuh minimal seekor babi (Mingguk, wawancara 22 Agustus 2009).

(24)

atau satu bulan atau tujuh hari. Kita bebas memilihnya atau sesuai dengan kemampuan kita. Tetapi sejak berdirinya negara kesatuan Republik Indonesia, upacara DaLo’ hanya pernah beberapa kali dilaksanakan dalam rentang waktu selama tiga tahun, yaitu di pedalaman sungai Ambalau oleh Dohosch, Laut, Tihang dan di pedalaman sungai Melawi oleh Tomakung Anyang, dan Segun (Mingguk, wawancara 22 Agustus 2009).

Berkaitan dengan topik upacara DaLo’ yang dilaksanakan masyarakat suku Dayak Uud Danum di Serawai, dengan adanya ritual pengangkatan tulang sanak-saudara yang telah meninggal dunia dengan mengirim doa maka peneliti berusaha lebih mendalam menguraikan tata upacara DaLo’ sebagai tradisi yang sudah dilaksanakan masyarakat suku Dayak Uud Danum dari dahulu hingga sekarang dan akan mengungkapkan pentingnya upacara DaLo’ untuk dibahas. Kita akan mengetahui jalannya proses ritual, sekaligus makna dan fungsi upacara DaLo’ bagi masyarakat suku Dayak Uud Danum.

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, terdapat masalah pokok yang hendak di jawab. Masalah yang akan di bahas dalam penelitian ini hanya dibatasi dan ditekankan pada permasalahn di bawah ini :

1.2.1 Bagaimanakah sejarah Suku Dayak Uud Danum di Serawai, Kecamatan Serawai, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat?

(25)

1.2.3 Apa makna dan fungsi ritual upacara DaLo’ suku Dayak Uud Danum di Serawai, Kecamatan Serawai, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat?

1.3Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah dan rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan sebagai berikut :

1.3.1 Menjelaskan sejarah Suku Dayak Uud Danum di Serawai, Kecamatan Serawai, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat.

1.3.2 Mendeskripsikan proses ritual upacara upacara DaLo’ suku Dayak Uud Danum di Serawai, Kecamatan Serawai, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat.

1.3.3 Menjelaskan makna dan fungsi ritual upacara DaLo’ suku Dayak Uud Danum di Serawai, Kecamatan Serawai, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat.

1.4Manfaat Penelitian

(26)

Penelitian ini berguna untuk mendapatkan gambaran mengenai proses ritual, makna dan fungsi tradisi upacara DaLo’ suku Dayak Uud Danum di Serawai, Kecamatan Serawai, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat.

1.5Tinjauan Pustaka

Sejauh pengamatan peneliti belum ada studi khusus yang membicarakan proses ritual, makna dan fungsi upacara DaLo’ suku Dayak Uud Danum di Serawai, Kecamatan Serawai, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat.

1.6 Kajian Teori

Untuk mengkaji upacara DaLo’ yang dilaksanakan di Serawai, difokuskan beberapa pemikiran yang akan diteliti dalam kerangka berpikir yang mencakup folklor dan DaLo’. Selain itu untuk menjelaskan definisi yang diteliti dalam penelitian ini, bab teori akan dilengkapi dengan batasan istilah yang mencakup upacara, proses ritual, makna dan fungsi.

1.6.1 Kerangka Berpikir 1.6.1.1Folklor

(27)

isyarat atau alat pembantu pengingat Jadi yang dimaksud dengan folklor adalah sebagian kebudayaan yang kolektif dan diwariskan turun-temurun secara lisan baik yang disertai dengan contoh gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic device) (Danandjaja, 2002:1-2).

Menurut Endraswara (2006:58) folklor berasal dari kata folklore (bahasa Inggris). Bila dieja menjadi folk-lore, folk artinya ‘rakyat’ dan lore artinya ‘tradisi’. Folk adalah kelompok atau kolektif yang memiliki ciri-ciri pengenal kebudayaan yang membedakan dengan kelompok lain. Lore merupakan wujud tradisi dari folk, tradisi tersebut dituturkan secara oral (lisan) dan turun temurun. Jadi folklor berarti tradisi rakyat yang sebagian disampaikan secara lisan, yaitu kelisanan menjadi pijakan folklor.

(28)

mempunyai fungsi sebagai penghibur atau sebagai penyalur perasaan yang terpendam.

Folklor sebagian lisan adalah folklor yang bentuknya merupakan campuran unsur lisan dan unsur bukan lisan. Kepercayaan rakyat, misalnya takhayul dan pernyataan yang bersifat lisan ditambah dengan gerak isyarat yang di anggap mempunyai makna gaib. Bentuk-bentuk folklor yang tergolong dalam kelompok besar ini, selain kepercayaan rakyat adapula permainan rakyat, teater rakyat, tari-tarian rakyat, adat-istiadat, upacara, pesta rakyat, dan lain-lain.

Folklor bukan lisan adalah folklor yang bentuknya bukan lisan walaupun cara pembuatannya diajarkan secara lisan. Kelompok besar ini dapat di bagi menjadi yang material dan yang bukan material. Bentuk yang tergolong material antara lain arsiteksur rakyat (bentuk asli rumah daerah, lumbung padi, dan sebagainya) dan kerajinan tangan (pakaian dan perhiasan tubuh adat, makanan dan minuman rakyat, dan obat-obatan tradisional). Sedangkan yang temasuk bukan material antara lain gerak isyarat tradisional (gesture), bunyi isyarat untuk komunikasi rakyat (kentongan), dan musik rakyat.

(29)

pendidikan anak, serta sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat dipatuhi.

Dari uraian di atas, folklor merupakan salah satu sarana komunikasi yang memainkan peranan penting dalam masyarakat tradisional. Skripsi ini membahas tentang upacara DaLo’ yang dilakukan masyarakat suku Dayak Uud Danum di Serawai. Dalam penggolongannya upacara DaLo’ tergolong dalam folklor sebagian lisan. Jadi upacara DaLo’ yang bentuknya merupakan campuran unsur lisan dan unsur bukan lisan merupakan sebuah tradisi dan adat-istiadat karena masih dilaksanakan oleh warga masyarakat dari dahulu sampai sekarang turun temurun sampai anak cucu mereka. Proses ritual upacara DaLo’ secara menyeluruh dibahas secara nonlisan, sedangkan mantra disampaikan secara lisan. Pembahasan ini hanya fokus pada proses ritual upacara DaLo’ dan tidak akan membahas mantra yang ada dari setiap prosesinya. Adapun upacara DaLo’ yang dilakukan oleh masyarakat Dayak Uud Danum di Serawai, pelaksanaan ritualnya di buat sebuah prosesi tata upacara DaLo’ dari rumah hingga ke makam sebagai bentuk penghormatan kepada sanak saudara yang telah meninggal dunia.

1.6.1.2Makna dan Fungsi

(30)

Serawai. Sedangkan fungsi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kegunaan upacara DaLo’ bagi masyarakat suku Dayak Uud Danum di Serawai.

Dalam menganalisis makna dalam aktivitas ritual, digunakan teori penafsiran yang dikemukakan Turner via Endraswara (2006:173-174), (1) exegetical meaning yaitu makna yang diperoleh dari informan warga

setempat tentang perilaku ritual yang diamati. Dalam hal ini perlu dibedakan antara informasi yang diberikan oleh informan awam dan pakar, antara interpretasi esoterik dan eksoterik. Seorang peneliti juga harus tahu pasti apakah penjelasan yang diberikan informan itu benar-benar representatif atau hanya penjelasan dari pandangan pribadi yang unik ; (2) operational meaning yaitu makna yang diperoleh tidak terbatas pada

perkataan informan, melainkan dari tindakan yang dilakukan dalam ritual. Dalam hal ini perlu diarahkan pada informasi tingkat masalah dinamika sosial. Pengamat tidak hanya mempertimbangkan simbol tetapi sampai pada interpretasi struktur dan susunan masyarakat yang menjalankan ritual ; (3) positional meaning yaitu makna yang diperoleh melalui interpretasi tehadap simbol dalam hubungannya dengan simbol lain secara totalitas. Tingkatan makna ini langsung dihubungkan pada pemilik simbol ritual.

(31)

berhubungan dengan krisis hidup manusia. Manusia pada dasarnya akan mengalami krisis hidup, ketika dia masuk masa peralihan. Pada masa ini ,dia akan masuk dalam lingkup krisis karena terjadi perubahan tahap hidup. Termasuk dalam lingkup ini antara lain kelahiran, pubertas, dan kematian. Ritual ini disebut inisiasi Kedua, ritual gangguan, yaitu ritual sebagai negosiasi dengan roh agar tidak mengganggu hidup manusia. Dalam analisis skripsi ini, makna yang akan dikaji hanya yang berkaitan dengan krisis hidup sedangkan makna ritual gangguan tidak digunakan karena dalam upacara DaLo’ hanya terdapat makna krisis hidup.

Melalui ritual di atas, ternyata tradisi tersebut memiliki fungsi penting bagi keberlangsungan hidup. Di antara fungsi ritual yang patut dikemukakan, yaitu : (1) ritual akan mampu mengintegrasikan dan menyatukan rakyat dengan memperkuat kunci dan nilai utama kebudayaan melampaui dan di atas individu atau kelompok. Berarti ritual menjadi alat pemersatu atau integrasi ; (2) ritual juga menjadi sarana pendukungnya untuk mengungkapkan emosi, khususnya nafsu-nafsu negatif ; (3) ritual akan mampu melepaskan tekanan-tekanan sosial.

(32)

liminal itu, seorang individu yang tengah menjalani ritual inisiasi misalnya, sedang melakukan refleksi diri. Mereka telah atau sedang meninggalkan masa tertentu tetapi juga sedang masuk masa tertentu.

Dalam pandangan Gennep via Winangun (1990:33) ketika seseorang memasuki masa peralihan (rites of passage), akan mengalami tiga proses, yaitu : (1) ritus pemisahan, yaitu ketika seseorang meninggal dan dimakamkan. Orang tersebut akan berpisah dengan sanak keluarga, dan memasuki cara hidup yang lain ; (2) ritus peralihan, yaitu suatu pemindahan status dari tempat, umur tertentu ke status lain, misalkan kehamilan,supitan, tetesan dan sebagainya ; (3) ritus inkorporasi, yaitu ritus yang menyatukan, misalkan hubungan pernikahan. Pernikahan adalah menyatukan kedua keluarga.

Selain teori makna dan fungsi di atas, secara khusus peneliti menggunakan teori Fungsionalisme Folklor dalam menganalisis fungsi upacara DaLo’ suku Dayak Uud Danum. Pada dasarnya folklor akan berfungsi memantapkan identitas serta meningkatkan integrasi sosial, dan secara simbolis mampu mempengaruhi masyarakat bahkan kadang-kadang folklor justru lebih kuat pengaruhnya dibanding sastra modern. Foklor akan memiliki pengaruh terhadap pembentukan tata nilai yang berupa sikap dan perilaku (Endraswara, 2009:127-128).

(33)

sosial. Ada juga dongeng yang berfungsi sebagai pedoman keagamaan, kesusilaan, dan aktivitas masyarakat. Fungsi semacam ini menunjukkan bahwa kebudayaan memiliki fungsi bagi pemenuhan kebutuhan naluri manusia (Endraswara, 2009:128).

Menurut Bascom via Endraswara (2009:128), ada empat fungsi folklor manusia, yaitu (1) sebagai sistem proyeksi ; (2) sebagai alat pengesahan kebudayaan ; (3) sebagai alat pendidikan anak ; dan (4) sebagai pemaksa berlakunya norma-norma sosial, serta sebagai alat pengendalian sosial. Selain keempat fungsi di atas, Dundes via Endraswara (2009:129) juga membeberkan fungsi-fungsi folklor sebagai berikut : (1) Untuk mempertebal perasaan solidaritas suatu kolektif (promoting a group’s feeling of solidarity) ; (2) Sebagai alat untuk meningkatkan rasa

superior sesorang ; (3) Sebagai pencela orang lain, sanksi sosial, namun yang dicela tidak merasa sakit hati dengan pemberian hukuman ; (4) Sebagai alat untuk memprotes ketidakadilan dalam masyarakat (serving a vehical for social protes) ; (5) Sebagai pelarian yang menyenangkan dari

dunia nyata (offering an enjoyble escape from reality), yang penuh kesukaran, sehingga dapat mengubah pekerjaan yang membosankan, menjadi permainan yang menyenangkan. Fungsi semacam ini disebut juga fungsi rekreasi ; dan (6) Mengubah pekerjaan yang membosankan ke dunia permainan (converting dull work into play).

(34)

memiliki fungsi yang berbeda di wilayah lain. Fungsi tersebut kadang-kadang berkaitan untuk meningkatkan gengsi, kelas, dan elisitas seseorang. Fungsi sebuah folklor kadang-kadang juga tergantung ekspresi pencipta dan tuntutan lingkungan (audience).

1.6.1.3DaLo’

DaLo’ adalah upacara adat yang hidup di dalam budaya sub suku

Dayak Uud Danum (Dohoi, Cohie, Pangin, dll yang merupakan anak sub suku Dayak Uud Danum) dari kecamatan Serawai dan Ambalau, Kabupaten Sintang, Propinsi Kalimantan Barat serta dilakukan juga oleh beberapa masyarakat suku Dayak Uud Danum yang berada di Kalimantan Tengah.

Upacara DaLo’ ini adalah ritual mengangkat tulang anggota keluarga yang sudah meninggal. Upacara ini hanya dilaksanakan oleh orang yang mampu saja, sebab pesta ini memerlukan biaya yang sangat besar. Karena selama Ngatung (pesta sebelum Ondou Lehkasch/hari H-nya) setiap harinya harus memotong minimal seekor babi dan pada Ondou Lehkasch (hari H-nya) minimal membunuh sapi atau kerbau, sehingga

kalau pestanya berlangsung selama tujuh tahun, maka dalam rentang waktu tujuh tahun itu setiap harinya harus membunuh minimal seekor babi (Mingguk, 46 tahun).

DaLo’ merupakan ritual tertinggi di dalam pembersihan kematian.

(35)

Kodiring). DaLo’ Nahpeng adalah DaLo’ yang tidak membuat Kodiring dan tulang tidak di angkat dari kuburnya, tetapi hanya kuku dan rambut orang yang meninggal di pahat pada Sopundu’. Jika hal ini yang dilakukan, maka di percaya bahwa di alam baka roh si mati hanya mempunyai sebuah Takun (kamar) di dalam sebuah rumah yang permanen. Sedangkan DaLo’ Ngodiring maksudnya adalah upacara DaLo’ dengan membuat Kodiring. Jika hal ini yang dilakukan, maka bagi arwah orang yang di DaLo’ itu di alam baka sana akan mempunyai sebuah Lovu’ (rumah yang sangat permanen).

1.6.2 Batasan Istilah 1.6.2.1Upacara

Upacara adalah tanda-tanda kebesaran, peralatan (menurut adat-istiadat); ragkaian tindakan/perbuatan yang terikat kepada aturan-aturan tertentu menurut adat/agama, KBBI (2005:1205).

(36)

Danum di Serawai juga dilaksanankan dengan adat suku Dayak Uud Danum sesuai dengan suku masyarakat setempat.

1.6.2.2Proses Ritual

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005:899) proses adalah runtunan perubahan (peristiwa) dalam perkembangan sesuatu atau rangkaian tindakan, perbuatan atau pengolahan yang menghasilkan produk.

Ritual adalah berkenaan dengan ritus, hal ikhwal ritus. Sedangkan pengertian ritus adalah tata cara dalam upacara keagamaan (KBBI, 2005:959). Ritual menurut Martin dkk (2003:481) berarti hal ihwal yang berkenaan dengan ritus. Ritus itu sendiri adalah tata cara dalam upacara keagamaan.

Proses ritual yang dimaksud dalam penelitian ini adalah jalannya peristiwa atau rangkaian tindakan dalam tata upacara DaLo’ yang dilaksanankan masyarakat suku Dayak Uud Danum di Serawai. Mulai dari persiapan, pelaksanaan sampai semua ritual selesai dilaksanakan. Proses ritual upacara DaLo’ akan dibahas secara mendalam oleh peneliti dalam bab selanjutnya.

1.7Metode Penelitian 1.7.1 Pendekatan

(37)

Dayak Uud Danum di Serawai, Kecamatan Serawai, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat. Danandjaja (2002:17-19) berpendapat bahwa dalam penelitian folkor Indonesia perlu kiranya peneliti untuk mengetahui lebih dulu sebab-sebab mengapa perlu meneliti folklor. Sebab utamanya bahwa folklor mengungkapkan kepada kita secara sadar atau tidak sadar, bagaimana folknya berpikir. Selain itu, folklor juga mengabadikan apa yang dirasakan penting (dalam suatu masa) salah satunya adalah folk pendukungnya. Folklor lisan dan sebagian lisan masih banyak mempunyai fungsi yang menjadikan sangat menarik dan penting untuk diselidiki.

Pendekatan folklor yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan bentuk folklor sebagian lisan yaitu upacara DaLo’ yang dilaksanakan di Serawai. Melalui pendekatan ini peneliti dapat mengetahui proses ritual, makna dan fungsi upacara DaLo’ suku Dayak Uud Danum. 1.7.2 Metode

(38)

1.7.3 Teknik Pengumpulan Data

Dalam mengumpulkan data, peneliti menggunakan teknik kepustakaan, dokumentasi, observasi, dan wawancara.

1.7.3.1Kepustakaan

Guna melengkapi data yang diperoleh dari lapangan maka perlu diadakan penelitian kepustakaan. Penelitian kepustakaan ini dimaksudkan untuk lebih memperkaya data yang mungkin tidak sempat diperoleh dalam penelitian lapangan. Dengan demikian data-data yang diperoleh akan lebih dapat dipertanggungjawabkan (Maharkesti dkk, 1988/1989:6).

Metode kepustakaan adalah mencari data mengenai hal-hal yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah dan sebagainya (Arikunto, 1993:234). Pelaksanaan teknik ini yaitu menelaah pustaka yang ada kaitannya dengan objek penelitian. Teknik kepustakaan dipergunakan untuk mendapatkan data yang konkret. Metode kepustakaan diperoleh dengan teknik catat yaitu mencatat data yang berasal dari buku-buku, artikel di situs-situs internet yang membahas tentang uapacara DaLo’.

1.7.3.2Dokumentasi

(39)

responden atau informan agar informasi yang detail diperoleh peneliti (Hamidi, 2004:72-78). Melalui teknik dokumentasi, peneliti menggunakan alat perekam untuk mendapatkan informasi dalam bentuk lisan. Selain itu, teknik pencatatan juga digunakan untuk melengkapi data yang sudah ada.

Untuk penelitian ini teknik dokumentasi berfungsi sebagai alat untuk merekam informasi bentuk lisan ke dalam bentuk tulisan serta mendapatkan gambar objek dalam bentuk foto.

1.7.3.3Observasi

(40)

seperti itu sangat penting diciptakan agar mereka dengan senang hati dan terbuka dalam memberikan informasi dari wawancara. Peneliti dapat memperoleh gambaran yang lebih objektif tentang masalah yang diselidikinya. Fungsi dalam penelitian ini memudahkan peneliti membaca situasi dan keadaan masyarakat suku Dayak Uud Danum. Peneliti lebih cepat mengetahui letak objek yang akan diteliti serta memudahkan peneliti untuk diterima masyarakat setempat.

1.7.3.4Wawancara

Wawancara merupakan proses pencarian yang mendalam tentang diri subjek. Wawancara dapat dilakukan dalam bentuk yang bervariasi. Yang paling umum dilakukan adalah wawancara individual yang dilakukan berhadap-hadapan antara pewawancara dan yang diwawancarai. Tetapi wawancara juga bisa dilakukan dalam kelompok, dalam bentuk angket atau lewat telepon. Wawancara dapat dilaksanakan secara terstruktur, semi terstruktur, dan tidak terstruktur (Kuntjara, 2006:67).

(41)

1.8Sumber Data

Dalam penelitian ini digunakan sumber data untuk memperoleh informasi. (1) sumber data hasil wawancara dengan pemuka adat, tokoh masyarakat, dan keluarga yang sudah pernah melaksanakan upacara DaLo’, (2) sumber data tempat dan peristiwa serta pelaksanaan upacara DaLo’ suku Dayak Uud Danum di Serawai, (3) sumber data lainnya untuk membantu penelitian ini digunakan berbagai macam buku dan artikel dari situs-situs internet yang berkaitan dengan pokok bahasan dalam penelitian ini.

1.9Sistematika Penyajian

Laporan hasil penelitian ini akan sisajikan ke dalam empat bab.

Bab I berisi pendahuluan yang meliputi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat hasil penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penyaajian. Bab II berisi uraian singkat tentang masyarakat Dayak Uud Danum. Bab III berisi tentang pendeskripsian proses ritual upacara DaLo’ suku Dayak Uud Danum di Serawai, Kecamatan Serawai, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat. Bab IV berisi hasil penjelasan makna dan fungsi upacara DaLo’ suku Dayak Uud Danum di Serawai, Kecamatan Serawai, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat. Bab V berisi kesimpulan dan saran yang diakhiri dengan lampiran dan daftar pustaka.

(42)

24 2.1 Suku Dayak Uud Danum

2.1.1. Asal Usul

Dayak Uud Danum merupakan salah satu subsuku Dayak yang bermukim di Kecamatan Ambalau dan Serawai, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat. Kata Uud Danum sendiri bisa diartikan sebagai berikut. Uud artinya ’bagian hulu dari sebuah sungai’, tetapi Uud bisa juga dikonotasikan sebagai ‘suku’. Hal ini bisa dibuktikan jika kita menyebutkan orang lain seperti Uud Mosiou, Uud Hobukot, Uud Bohokam, dan Uud Mindap yang kesemuanya untuk menyatakan orang atau suku. Sedangkan Danum adalah ‘air’ ataupun bisa juga diartikan sebagai ‘sungai’. Jadi secara harifiah kata Uud Danum berarti ‘hulu air’ atau ‘hulu sungai’ dan juga bisa berarti sebagai ‘suku yang berada di hulu sungai’. Dengan demikian, Dayak Uud Danum bisa ditafsirkan sebagai orang-orang Dayak yang tinggal di daerah hulu sungai (Alloy dkk, 2008:320-321).

(43)

 

sebenarnya tidak jauh beda dengan bahasa Dohoi Uud Danum. Perbedaannya hanya pada beberapa kosa kata tertentu dan logatnya saja. Sedangkan bahasa Dohoi Uud Danum adalah sebuah bahasa yang agak berbeda dari bahasa subsuku

Dayak lainnya di luar komunitas mereka. Selain mempunyai tingkatan dalam penggunaan pilihan kosa katanya, bahasa ini juga mempunyai perbedaan kosakata dalam bahasa sastranya. Biasanya bahasa inilah yang digunakan orang suku Dayak Uud Danum pada umumnya dalam melaksanakan upacara adat mereka.

Seperti halnya orang Dohoi Uud Danum, orang Cihie juga percaya mereka berasal dari langit dan turun ke bumi setelah Zaman Kolimoi. Hanya saja ceritanya orang-orang Uud Danum ini adalah orang-orang yang kurang baik, yaitu orang-orang yang mau bermusuhan, kurang jujur dan berbagai sifat tidak terpuji lainnya. Orang Uud Danum di langit yang baik kurang menyukai orang Uud Danum yang kurang baik selalu turun naik ke langit, sehingga bisa saja mengotori kehidupan di langit yang sudah baik. Itulah konon sebabnya di suatu masa jarak antara langit dan bumi dijauhkan sehingga orang Uud Danum tidak bisa lagi naik ke langit. Meskipun sebenarnya tidaklah benar-benar dijauhkan, karena masih ada satu-satunya jalan untuk turun naik ke langit yaitu dengan melalui Bumbung Mokorajak (puncak Bukit Raya) (Alloy dkk, 2008:322).

2.1.2 Kehidupan Sosial Masyarakat

(44)

 

Orang Cihie Uud Danum berjumlah sekitar 4.642 jiwa. Dari penduduk sebanyak ini di dalam kehidupan sehari-harinya mereka menggunakan bahasa Cihie untuk berkomunikasi. Penutur bahasa Cihie ini semuanya berada di dalam

Sungai Serawai dan hanya para perantau, para pegawai, dan anak sekolahannya saja yang berada di luar daerah mereka seperti di Nanga Pinoh, Sintang, dan sebagainya.

Orang Cihie bermukim di dalam Sungai Serawai beserta anak-anak sungainya seperti Sungai Tekungoi (Tekungai). Untuk mencapai daerah pemukiman orang Cihie ini jalan satu-satunya hanyalah melalui sungai, yaitu dengan melayari Sungai Soravai ke arah pedalamannya, dengan jarak dari Nanga Serawai sebagai ibukota Kecamatan ke kampung yang pertama adalah sekitar 10 kilometer dan kampung yang terakhir sekitar 75 kilometer. Jarak sejauh ini jika di tempuh dengan memakai motor tempel 40 HP adalah sekitar 5 jam perjalanan tetapi kalau dengan motor kelotok akan memakan waktu satu hari lebih atau dua hari perjalanan. Orang Cihie tersebar di dalam tiga desa penyatuan, yaitu Sogulang (Nanga Segulang), Baras Navun (Baras Nabun), dan Jolundung (Jelundung) (Alloy, 2008:321-322).

(45)

 

lain sebagainya serta di dalam Sungai Lekawai yang secara administratif termasuk di dalam wilayah Kecamatan Serawai (Alloy, 2008:328-330)

Kampung-kampung tempat tinggalnya ada di sebelah kiri sungai Ambalau, di Kampung Deme, Posuk, Menantak, Ukay, Menakon, Nanga Jongonoi, Kepingoy, Buntut Sabon, Nanga Mentemoy. Sementara itu dari Nanga Jengonoy ke hilir, orang Dohoi ada di kampung Mensuang, Lebare, Kesange, Kepala Ruan atau Nanga Sangkay, Kemaung, Sungai Runuk, Jengkahang, dan di Nanga Ambalau. Ada juga orang Dohoi yang tinggal di Sungai Melahoi (Alloy, 2008:328).

Kecamatan Ambalau yang merupakan kecamatan terakhir di aliran Sungai Melawi ini bisa dicapai dengan melalui jalur sungai, yaitu dengan melayari Sungai Melawi. Dari Nanga Pinoh ke Nanga Kemangai sebagai ibukota Kecamatan Ambalau, berjarak sekitar 297 kilometer sungai. Kalau di tempuh dengan speedboat body terbang 40 PK bisa dicapai dalam waktu 6 jam perjalanan, tetapi kalau memakai motor kelotok akan memakan waktu selama tiga hari (Alloy, 2008:328).

(46)

 

Pertanian merupakan sumber penghasilan utama masyarakat suku Dayak Uud Danum. Usaha-usaha pertanian ini menyangkut tanaman padi, karet, buah-buahan dan sebagainya. Tanaman padi dilaksanakan masyarakat dengan sistem ladang berpindah dan sawah. Hasil ladang dan sawah mempunyai kontribusi yang besar dalam menunjang ekonomi keluarga. Padi selain dikonsumsi sendiri oleh pemiliknya juga dijual.

Perkebunan utama masyarakat suku Dayak Uud Danum adalah karet. Menyadap karet merupakan mata pencaharian yang banyak digeluti oleh masyarakat suku Dayak Uud Danum selain bercocok tanam padi.

Masyarakat suku Dayak Uud Danum juga memelihara hewan ternak seperti, ayam, babi, anjing, sapi, kambing, dan itik. Hasil peternakan ini selain dikonsumsi dan dijual, juga digunakan dalam berbagai upacara adat salah satunya Upacara DaLo’.

Sumber perekonomian masyarakat suku Dayak Uud Danum yang cukup penting lainnya adalah hasil-hasil hutan berupa kayu, rotan, damar, dan madu. Hasil kayu biasanya digunakan untuk kepentingan pribadi dan untuk dijual. Masuknya PT (Perseroan Terbatas) yang berkecimpung dibidang perkayuan dengan mengekspolitasi hutan, juga merangsang masyarakat untuk berbisnis dibidang perkayuaan.

(47)

 

pertambangan dengan skala besar dengan ditunjang peralatan modern, dan adanya tudingan bahwa mereka adalah penambang tanpa izin (PETI).

2.1.3 Kebudayaan Suku Dayak Uud Danum

(48)

 

BAB III

DESKRIPSI PROSES PELAKSANAAN UPACARA DALO’ SUKU DAYAK UUD DANUM

DI SERAWAI, KECAMATAN SERAWAI, KABUPATEN SINTANG, KALIMANTAN BARAT

3.1 Pengantar

Dalam bab ini akan diuraikan tentang proses ritual upacara DaLo’ suku Dayak Uud Danum, waktu dan tempat pelaksanaan upacara DaLo’, sesaji serta pihak yang terlibat dalam upacara DaLo’ suku Dayak Uud Danum di Serawai, Kecamatan Serawai, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat.

3.2 Proses Ritual Pelaksanaan Upacara DaLo’ Suku Dayak Uud Danum Bagi masyarakat suku Dayak Uud Danum, upacara DaLo’ merupakan prosesi tertinggi terhadap kematian dan hanya dilakukan oleh mereka yang mampu. Dalam proses pelaksanaan upacara DaLo’ dari zaman dahulu sampai saat ini, terdapat perubahan dalam proses ritualnya. Akan tetapi dengan adanya perubahan proses upacara DaLo’ suku Dayak Uud Danum di Serawai tidak mengubah inti dalm upacara DaLo’ tersebut. Dari tahun ke tahun perubahan proses ritual upacara DaLo’ semakin menunjukkan kemajuan ke arah positif. Hal ini menambah antusias warga masyarakat suku Dayak Uud Danum di Serawai untuk ikut berperan serta mensukseskan acara tersebut sebagai sebuah kebudayaan adat Dayak warisan leluhur. Upacara DaLo’ suku Dayak Uud Danum di Serawai

(49)

 

dikemas dalam tata upacara adat Dayak Uud Danum dan sudah dilaksanakan sejak zaman dahulu yang merupakan warisan nenek moyang. Warga berkumpul di rumah yang menyelenggarakan acara upacara DaLo’. Rangkaian upacara DaLo’ ini terbagi menjadi tiga bagian, yaitu bagian pembuka, inti acara, dan penutup.

3.2.1 Bagian Pembuka/Awal Upacara DaLo’ Suku Dayak Uud Danum 3.2.1.1 Morasih Arob

Morasih Arob yaitu upacara yang dilakukan pada sore hari sebelum

memulai upacara DaLo’ pada keesokan harinya. Hal pertama kali dilakukan di dalam acara Morasih Arob ini adalah Nosang BiLa’, yaitu ritual terendah di dalam kegiatan membersihkan kematian. Pada upacara ini cukup di bunuh satu ekor ayam dan darahnya dugunakan untuk membersihkan diri penyelenggaraan upacara DaLo’ dan orang-orang yang membantu mereka. Tujuannya adalah agar di dalam melaksanakan pesta ini mereka tidak Kohamba’-Kohao’ (tidak terganggu oleh hal-hal nyata maupun oleh hal-hal gaib).

Darah ayam ini juga digunakan untuk Nyahki’ (mengurapi dan memberkati) peralatan agar dia bersih dari pengaruh negatif dan layak digunakan untuk upacara adat. Kemudian setelah Nyahki’ peralatan itu selesai, maka dilanjutkan dengan upacara Navui, yaitu suatu upacara pemberitahuan kepada roh-roh gaib dan juga kepada manusia gaib yang hidup dilangit tentang upacara pemberitahuan DaLo’ yang segera akan dilaksanakan mulai keesokan harinya.

(50)

 

Danum percaya jika beras ini mempunyai roh seperti layaknya manusia, maka setelah di Kotuhun, roh suci dari beras tadi akan melayang secepat kilat untuk memberitahu manusia gaib di langit dan di bumi serta makhluk gaib sesuai permintaan orang yang Navui tadi.

3.2.1.2 Ngatung

Ngatung yaitu masa sejak mulainya upacara DaLo’ sampai hari sebelum

Ondou Lehkasch (hari H-nya). Acara ini dilakukan sekitar jam lima subuh pada

hari pertama upacara DaLo’. Pada sekitar jam lima subuh ini dilakukanlah penabuhan Hotevah, yaitu tabuhan sakral untuk tarian kanjan yang hanya ditarikan pada upacara DaLo’ dan NyoLat.

Hotevah ini dilakukan selama tiga kali putaran tanpa di Kanjan dan setelah

itu siapapun sudah bebas membunyikan tabuhan Hotevah selama upacara DaLo’ berlangsung, karena peresmiannya sudah dilaksanakan. Jadi kalau seperti zaman dulu upacara ini dilakukan Ngatung selama tujuh tahun, maka setiap hari selama tujuh tahun itu orang bebas Hotevah dan waktunya tergantung kemauan si penabuh sendiri. Tetapi yang pasti Hotevah tidak berarti harus di Kanjan walaupun Kanjan harus ada tabuhan Hotevahnya.

3.2.1.3 Torasch PaLi’

Torasch PaLi’ yaitu sebatang kayu belian yang di bentuk sedemikian rupa

(51)

 

3.2.1.4 Nombok Konyanang

Pemasangan Konyanang, yaitu semacam bendera atau bisa juga di sebut sebagai umbul-umbul yang selalu harus ada pada setiap upacara DaLo’ dilaksanakan. Konyanang ini ada dua buah dengan warna yang berbeda. Yang pertama dan berukuran lebih besar berwarna merah sedangkan yang kedua ukurannya lebih kecil berwarna putih bersih.

Konyanang yang berwarna merah di pasang di depan pintu masuk rumah

tempat upacara dan tiangnya diikatkan pada bagian pintu sebelah kanan masuk ke rumah. Sedangkan konyanang yang berwarna putih bersih di pasang di depan Dohopan (halaman) rumah tempat diadakannya upacara DaLo’, yaitu pada sudut

sebelah kanan masuk.

3.2.1.5 Napa’ Sopundu’

Pembuatan Sopundu’ yaitu semacam patung yang di buat sebagai Dahang (kawan) dari arwah orang yang telah meninggal dunia ini tadi. Biasanya patung ini dibuat berlainan jenis dengan jenis kelamin orang yang telah meninggal itu. Kalau yang meninggal itu berjenis kelamin laki-laki, maka Sopundu’-nya haruslah berbentuk perempuan dan begitu juga sebaliknya.

Sopundu’ ini terbuat dari kayu belian dan ukurannya sebisa mungkin

adalah ukuran asli tubuh manusia. Pada bagian kakinya paling tidak berukuran sepanjang dua meter, sehingga panjang keseluruhan dari Sopundu’ ini minimal lima meter termasuk bagian yang ditancapkan ke dalama tanah.

(52)

 

sukarela dan sewaktu mereka mengantarnya yang di sebut BoLuhan (mengantar dan mengarak), dia membawa paling kurang satu ekor sapi dan di sini tidak ada kewajiban bagi penyelenggara upacara DaLo’ untuk membayar sejumlah harga terhadap sapi dan biaya mereka membuat serta BoLuhan Sopundu’ itu. Hanya saja sudah menjadi kebiasaan bahwa apabila di lain waktu orang yang BoLuhan Sopundu’ ini mengadakan upacara DaLo’, maka pihak yang sudah mendapatkan

BoLuhan Sopundu’ ini akan melakukan hal yang sama. Jadi istilahnya adalah

hutang yang bisa dibayar dengan perbuatan yang sama tetapi bisa juga tidak dan tidak ada sanksi adatnya maupun sanksi lainnya jika tidak dibalas.

3.2.1.6 Napa’ Kodiring

Pembuatan Kodiring yaitu rumah untuk tulang yang akan di angkat dari kuburannya. Kodiring ini terbuat dari kayu belian dan di buat sedemikian rupa dengan ukiran dan bentuk yang indah menyerupai miniatur rumah tetapi tiangnya hanya satu. Kodiring ini di buatkan di atas kuburan orang yang telah meninggal dunia yang di DaLo’ tadi. Tapi ada juga Kodiring ini yang dibuat di depan rumah orang yang mengadakan upacara DaLo’ ini.

Pada zaman dahulu, Kodiring ini baru boleh mulai didirikan kalau orang yang mengadakan upacara DaLo’ sudah mendapatkan kepala manusia. Tapi jika seandainya mereka belum mendapatkan kepala manusia sedangkan Ondou Lehkasch (hari H-nya) sudah dekat, maka mereka bisa membunuh Jihpon (budak

(53)

 

Jihpon manusia adalah 30 jihpon (satuan ukuran adat) yang kalau dirupiahkan

sekarang adalah sekitar tiga juta rupiah.

Namun pada upacara DaLo’ sekarang banyak tidak membuat Kodiring, tetapi hanya penyemenan kuburan saja dan mereka hanya membuat semacam rumah di atas kuburannya.

3.2.1.7 Nohka’ Uca’

Nohka’ Uca’ adalah upacara memulai menumbuk padi, di mana padi yang

akan di tumbuk ini akan di masak untuk makanan peserta DaLo’ pada Ondou Lehkasch (hari H-nya). Pada waktu melaksanakan Nohka’ Uca’ ini, wanita yang

harus melakukannya dan biasanya sebelum mereka mulai acara Nohka’ Uca’, ada semacam tradisi yang harus dilakukan terlebih dahulu, yaitu tradisi tanya jawab yang semuanya dilakukan dengan bahasa bersastra tinggi dan isinya berkisar seperti mengapa dia berani memulai menumbuk padi, memakai lesung, memakai alu, memakai alat penampi dan lain sebagainya. Pertanyaan-pertanyaan ini biasanya bagi wanita ditujukan untuk menanyakan tentang pacar-pacarnya di masa lalu, dan biasanya dia mengaku tetapi dengan menggunakan bahasa bersastra tinggi sehingga tidak dimengerti oleh mereka yang kurang memahaminya. Juga pada upacara ini biasanya anak-anak tidak boleh mendekat karena dikhawatirkan akan Tulah (kualat).

3.2.1.8 Kanjan Alu’

(54)

 

didasarkan pada irama tertentu dari empat alu atau enam buah alu yang disusun sedemikian rupa dan dibunyikan dengan irama-irama tertentu sambil dirapatkan dan direnggangkan dangan tiba-tiba. Orang-orang menari dengan cara melompat masuk dan melompat keluar sesuai irama dari dan ke dalam bentuk batasan alu itu. Anggota tubuh penari seperti pinggang dan tangan harus bergaya sehingga betul-betul menyerupai tarian.

Tarian ini harus dilakukan dengan hati-hati, karena kalau kita kurang pandai maka mata kaki kita bisa hancur oleh kekuatan alu yang dirapatkan dengan tiba-tiba. Bisa juga kadang-kadang ada orang iseng dan sengaja membuat iramanya kacau sehingga para penari tidak bisa menduga kapan alunya dirapatkan kembali. Jika hal ini terjadi maka akan dberikan sanksi adat bagi yang menabuhnya.

3.2.1.9 Ngurah Pandung

Pembuatan Pandung yaitu semacam kurungan bagi babi untuk Ondou Lehkasch (hari H-nya) yang di buat dari Hasang (sejenis kayu yang ringan tetapi cukup kuat) dan tumbuh liar di dalam hutan.

Sebelum Pandung itu di buat, maka terlebih dahulu kayunya harus di cari di dalam hutan. Namun pada waktu mereka berangkat ke dalam hutan, maka orang yang berangkat itu harus di berkati terlebih dahulu dengan upacara adat, yaitu dengan pemberian darah ayam dan babi, kemudian dibunyikan Hotevah dan mereka harus Hodeleu sebanyak minimal tiga kali.

(55)

 

untuk panjang Pandung dan lebar Pandung. Besar dan panjangnya tergantung dari banyaknya babi yang akan di bunuh pada Ondou Lehkasch (hari H) nantinya.

3.2.2 Acara Inti Upacara DaLo’ Suku Dayak Uud Danum 3.2.2.1 BoLuhan Sopundu’

Orang yang membuat Sopundu’ akan BoLuhan (mengarak dan mengantarkan Sopundu’) pada saat satu hari sebelum Ondou Lehkasch (hari H-nya). Di saat mereka mengantarkan Sopundu’ ini, mereka membawa minimal satu ekor sapi dan alat angkutan mereka dilengkapi dengan beberapa buah Konyanang dan alat tabuhan seperti KoLatung (gong), Somotuhtung (gendang) dan Solokanong (gong kecil-kecil).

Kebiasaannya mereka akan hilir mudik sebanyak tiga kali barulah meapat dipantai (dulunya transportasi antar kampung hanyalah mengandalkan sungai) dan setelah itu barulah mereka merapat ke ToLian (pangkalan) orang yang menyelenggarakan upacara DaLo’.

3.2.2.2 Noharang Sopundu’

(56)

sorak- 

sorai, hamburan minyak makan ke tubuh mereka, pemolesan minyak rambut ke kepala mereka dan lain sebagainya.

Orang yang BoLuhan pun lalu naik ke darat dan bibir pantai sudah disiapkan sebuah Hopong, yaitu semacam kayu penghalang yang dihiasi dengan Titing PaLi’ dan dilengkapi dengan bahan-bahan seperti Takui Daro’ (sejenis

caping khas Uud Danum), Kacang Uoi (tikar terbuat dari rotan) dan lain sebagainya tergantung jenis Hopongnya, karena setiap Hopong itu perlengkapannya tidaklah sama dan syarat untuk memotongnya pun tidaklah sama.

3.2.2.3 Nohtok Hopong

Ketika mereka yang BoLuhan tadi sudah sampai di sekitar Hopong sambil membawa perlengkapannya, mereka di sambut lagi dengan Hopohau’ dan minuman tuak atau arak. Biasanya alat untuk memberi minuman ini adalah tanduk yang sudah dibersihkan atau tengkorak manusia yang sudah dibersihkan. Namun untuk masa sekarang hanyalah menggunakan beberapa tanduk kerbau yang sudah bersih dan di beri Daro’ (hiasan) serta beberapa buah cerik.

Sewaktu berada di depan Hopong, maka pihak yang menerima BoLuhan berada di dalam Hopong sedangkan pihak yang BoLuhan berada di luar Hopong. Kedua pihak saling berhadapan dengan peralatan masing-masing, seperti kum lelaki dengan mandau tergantung di pinggang dan kaum wanitanya dengan Sahpoi Uhing dan Takui Daro’.

(57)

 

mereka dalam sastra Parung dan Kandan, karena di saat ini mereka akan mengadakan suatu dialog yang semuanya dilantunkan dalam sastra Parung dan Kandan. Bagi yang mengerti akan bahasa sastra kedua bentuk sastra ini, maka

terkadang akan meneteskan air mata. Karena selain mempunyai nada yang merdu, juga sarat dengan kata-kata yang bernilai sangat tinggi dan menyentuh perasaan. Apalagi Parung dan Kandan mereka mengalir tiada hentinya seperti aliran sungai yang tiada kunjung lelah, sehingga kalau tidak dihentikan maka akan terus berlanjut, karena banyak di antara mereka yang mampu melantunkan parung dan Kandan sampai berminggu-minggu tanpa kehabisan bahan.

Dalam tanya jawab di depan Hopong ini, biasanya orang yang BoLuhan lah yang pertama sekali Marung (melantunkan Parung) atau Ngandan (melantunkan Kandan). Yang menjadi topik utama adalah mereka memperkenalkan diri tentang asal-usul dan tujuan kedatangan mereka, setelah itu mereka bertanya mengapa kedatangan mereka yang baik-baik sepertinya tidak di terima, jalan masuk ke dalam rumah di halangi Hopong (kayu melintang). Pihak yang menyambut mereka akan menjawab dengan menyatakan kesenangan hati mereka atas kesudian mereka datang dari jauh untuk ikut memeriahkan dan mengantar Sopundu’. Lalu dijelaskan pula bahwa dibuatnya Hopong itu bukanlah untuk menghalangi kedatangan mereka, tetapi malahan sebaliknya itu adalah sebagai bukti bahwa kedatangan mereka sangat dihargai dan disamping itu juga untuk menepis pengaruh buruk yang mungkin saja ada menyertai orang yang BoLuhan. Setelah setiap orang yang dianggap perlu untuk Marung dan Ngandan

(58)

 

menyambutnya sudah melaksanakannya, maka dimulailah persiapan Nohtok Hopong.

Pada persiapan Nohtok Hopong ini, yang pertama kali dilakukan adalah Nohtosch Titing PaLi’, yaitu pemotongan tali pantang sehingga diharapkan

dengan dipotongnya tali pantang ini, maka pihak yang BoLuhan maupun pihak yang mengadakan upacara DaLo’ mendapat berkah kehidupan yang lebih baik dan dijauhkan dari segala marabahaya dan segala hal yang bisa membahayakan kehidupan mereka baik lahir maupun batin.

Titing PaLi’ di potong oleh meeka yang BoLuhan dan sebelum dia

memotong Titing PaLi’ ini, maka yang bersangkutan ditanyakan kenapa dia sampai berani memotongnya. Apa yang diandalkannya dan apakah dia tidak takut tertimpa mara bahaya dan lain sebaginya. Biasanya yang memotong akan menjawab dengan bahasa bersastra tinggi dan di jawab secara samar-samar saja tentang segala keberaniannya, orang yang telah di bunuhnya, harta benda keramat yang di milikinya dan ataupun wanita yang telah pernah dipacarinya semasa muda.

Ketika tali Titing PaLi’ sudah di potong,maka dia disoraki dan lalu diberi tuak dalam wadah tanduk kerbau dan sewaktu minum diapun lalu di Ponalu’ (kegiatan memberikan HoponaLu’) sebagai perasaan senang akan apa yang telah dilakukannya.

(59)

 

yang di situ, terutama sekali mereka yang mengadakan upacara DaLo’ dan orang yang BoLuhan.

Pemotongan Hopong dilakukan oleh mereka yang BoLuhan. Namun sewaktu Ahpang (mandau) diayunkan, pihak yang menerima BoLuhan tiba-tiba menghentikannya dan langsung mengajukan pertanyaan dengan bahasa sastra tetapi tidak dilagukan. Mereka menanyakan mengapa pihak yang BoLuhan berani-beraninya memotong Hopong mereka. Lalu pihak yang BoLuhan manjawab bahwa mereka memotongnya karena kedatangan mereka sudah diterima dengan baik, sehingga untuk bisan masuk daerah pelaksanaan upacara adat, maka mereka harus menyingkirkan penghalang pintu masuk yaitu Hopong itu. Setelah itu pihak BoLuhan pun lalu mulai memotong. Yang pertama kali adalah memotong tidak jadi, sambil Ponohpat (didoakan) agar semua pengaruh buruk, semua yang bisa merusak, semua yang jahat tidak jadi melingkupi mereka semua. Setelah itu mereka lalu memotong jadi sambil Ponohpat, yaitu agar semua yang baik, semua yang menguntungkan, semuanya yang membuat senang akan mendatangi mereka semua.

(60)

 

banyak orang yang sudah pernah di bunuh oleh si pemotong, sudah berapa banyak harta yang sudah diperolehnya atau paling tidak ada berapa banyak wanita yang pernah dipacarinya. Lalu si pemotong akan menjawab dengan menggunakan bahasa sastra tingkat tinggi, sehingga bagi yang mendengarnya akan menjadi senang dan mereka berteriak kegirangan, lalu sebagai hadiahnya dia disuguhkan dengan tuak yang dimasukan di dalam beberapa buah tanduk kerbau. Sewaktu dia sedang minum, pihak lain melakukan Hoponalu’ yaitu semacam teriakan memberi semangat baginya untuk menghabiskan minuman. Setelah itu barulah dia melanjutkan pemotongan.

Hopong sudah di potong tetapi sebuah tali silat masih utuh, sehingga pihak

yang BoLuhan masih belum bisa masuk, maka pihak yang BoLuhan harus memutuskan tali itu. Pihak yang BoLuhan harus mencoba memutuskan tali itu, tetapi pihak yang mengadakan DaLo’ akan mempertahankannya dan yang menarik di sini adalah baik pihak yang BoLuhan maupun pihak yang mengadakan DaLo’ akan melakukan pemutusan dan mempertahankannya dalam gerakan silat.

Biasanya kalau pihak yang bertahan gerakan silatnya lebih bagus, maka mereka akan sedikit mengalah sehingga talinya bisa diputuskan oleh pihak yang BoLuhan.

3.2.2.4 Hopohau’

Hopohau’ adalah sejenis permainan yang dilakukan di hampir semua

(61)

 

Kebiasaan Hopohau’ ini sudah sangat biasa di dalam masyarakat suku Dayak Uud Danum. Mereka juga tidak akan marah ketika siapapun melakukannya, meskipun merka sedang memakai pakaian kesayangannya. Sebab kalau tidak mau ikut Hopohau’ maka dia akan menghindari tempat orang Hopohau’ itu.

Pada acara penyambutan mereka yang Bolihan Sopundu’ ini, maka

Hopohau’ lebih bnayak menggunakan minyak makan dan minyak rambut,

sehingga tanpa terasa berken-ken minyak makan dan berkotak-kotak minyak rambut dihabiskan untuk kegiatan ini.

Kegiatan Hopohau’ sewaktu upacara DaLo’ ini terutama sekali pada saat para BoLuhan Sopundu’ mulai merapat di pangkalan, ketika mereka naik ke darat, ketika di depan Hopong, ketika membawa Sopundu’ masuk, ketika menunggu lubang Sopundu’ sedang di gali, beberapa waktu sesudah Sopundu’ didirikan dan waktu-waktu lainnya sesuai kemauan.

3.2.2.5 Nombok Sopundu’

Sopundu’ yang sudah di bawa masuk ke dalam halaman tempat

(62)

 

3.2.2.6 Ngahut Dahangan

Ketika Sopundu’ sudah berdiri kokoh, maka Dahangan segera dibimbing untuk diikat pada Sopundu’. Sewaktu dilaksanakan kegiatan ini, maka orang-orang yang tidak berkepentingan dilarang mendekat. Karena bisa saja Dahangan (kerbau) itu tiba-tiba berontak, baik karena kerbaunya liar ataupun karena ada yang “usil” yang mengganggu Dahangan itu agar menjadi liar.

Setelah Dahangan diikat, maka kepadanya diberikan Daro’ (sejenis perhiasan dari anyaman bambu yang dihaluskan), yang di ikat pada kedua tanduknya, pada ujung ekornya dan lehernya. Maksud dari pemberian Daro’ ini adalah untuk meyatakan kepada Dahangan itu, bahwa pembunuhan dirinya tidaklah sia-sia atau karena kebencian, tetapi sebagai bagian dari ritual itu, sehingga itulah sebabnya dia sangat dihargai dengan cara memberikan hiasan yang sangat istimewa ditubuhnya.

3.2.2.7 Nganjan Buhang

Sebelum babi dimasukan ke dalam Pandung dan ayam diikat pada tiangnya, maka terlebih dahulu harus diadakan Nganjan Buhang (melakukan Kanjan pada Pandung yang belum berisi apa-apa). Pada waktu Nganjan Buhang

ini tabuhannya sama sepeti tabuhan Kanjan pada umumnya. Masyarakat yang ikut Nganjan memakai perlengkapan seperti biasa, hanya saja mereka belum memakai

perlengkapan tradisional secara lengkap, seperti Sokarut (baju perang), Sahpoi Uhing (baju adat wanita) dan lain-lain. Maksud dari pada Nganjan Buhang ini

(63)

 

3.2.2.8 Ngiposch Urak

Setelah Nganjan Buhang sudah selesai dilaksanakan, maka sudah saatnya untuk memasukkan babi ke dalam Pandung dan ayam pun di ikatkan pada Pandung. Banyaknya babi yang dimasukan ke dalam Pandung adalah tergantung

dari upacara itu sendiri dan banyaknya kematian yang dibersihkan, demikian juga halnya dengan ayamnya. Karena banyaknya babi akan menentukan “kamar” bagi babi di dalam Pandung, sebab satu “kamar” di dalam Pandung hanya boleh di isi oleh satu ekor babi saja.

3.2.2.9 Kanjan Daun

Sebelum Silat dan peralatan Kanjan lainnya di ambil dari dalam rumah dan diturunkan ke tanah untuk ditempatkan pada Pandung, maka terlebuh dahulu harus dilakukan Kanjan Daun, yaitu Kanjan para arwah. Kanjan ini agak berbeda sedikit dengan Kanjan pada umumnya, baik tabuhannya maupun gaya Kanjannya. Pada saat Kanjan Daun ini dilakukan, maka gerakannya adalah mirip gerakan Otu’ (arwah). Misalnya lidah penganjan dijulurkan keluar, Landong (tenggalang)

(64)

 

3.2.2.10 Nohka’ SiLat

Nohka’ Silat adalah ritual untuk menurunkan Silat yang di pasang di

dalam rumah penyelenggara acara upacara DaLo’ beserta segala peralatannya, seperti Huasch PuLut, Tombolang dan lainnya. Serta tidak ketinggalan juga para penyelenggara upacara DaLo’ beserta keluarganya membawa serta Joat (tempayan antik berharga mahal), dan juga mereka berpakaian perang dan berpakaian adat serta lengkap dengan Lunju’ (kujur) dan Ahpang (mandau).

Sewaktu turun ke tanah mereka berjalan beriringan dengan laki-laki di depan dan kaum wanitanya di bagian belakang, disertai HodeLeu (teriakan peperangan) sebanyak tiga kali dan mereka lalu Ponihing (di beri minum tuak). Setelah sampai di tanah, mereka lalu menuju ke Pandung dan meletakan Silat, Konyanang, Lunju’, Tempayan dan semua peralatan di Pandung.

Setelah semuanya ini selesai, maka merekapun lalu mulai Nganjan sebanyak tiga kali putaran dan setelah itu barulah orang lain boleh ikut Nganjan.

3.2.2.11 Napa’ Ukun TaLoh

Ukun TaLoh adalah makanan untuk orang yang telah meninggal dunia

yang sedang di DaLo’ ini. Sebab ini merupakan upacara pembersihan kematiannya yang terakhir, maka sesuai tradisi kepadanya diberikan makanan terakhir yaitu yang di sebut dengan Ukun TaLoh.

(65)

 

apa saja yang di ambil untuk Ukun TaLoh ini, maka yang bersangkutan boleh menuntut ganti rugi atas barangnya yang hilang itu. Penyelenggara acara pesta, dengan menanyakan kebenaran akan barang-barang yang di ambil itu kepada orang yang membuat Ukun TaLoh, harus membayar barang-barang yang di curi ini. Namun kebiasaan mencuri untuk Ukun TaLoh ini sekarang sudah ditiadakan. Karena selama ini dalam prakteknya banyak terjadi penyimpangan dan sering menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan. Jadi dalam pelaksanaannya Ukun TaLoh sudah disediakan oleh pihak penyelenggara, yaitu berupa babi, ayam dan

bahan-bahan lainnya.

3.2.2.12 Nyukan Pandung

Nyukan Pandung adalah upacara pertama yang dilakukan pada Ondou

Lehkasch (hari H), yaitu Nganjan (melaksanakan Kanjan) sebanyak tujuh kali

putaran. Setiap kali memulai putaran yang baru selalu di dahului oleh HodeLeu (pekik peperangan khas Uud Danum).

Pada saat Nyukan Pandung ini, pihak keluarga dan orang-orang yang ikut Nganjan sudah memakai pakaian tradisional lengkap, seperti pihak laki-lakinya

memakai Sokarut (baju perang) dan memakai Ahpang (mandau) di pinggang, sedangkan yang wanitanya memakai Sahpoi Uhing (baju adat tradisional wanita Uud Danum) dan berkemban.

(66)

 

Setelah Nyukan Pandung sebanyak tujuh kali, maka sudah bebas bagi pihak lain untuk ikut Nganjan dan biasanya sangat banyak orang yang ikut Nganjan. Karena pada saat Nganjan ini, selain merupakan tarian sakral yang

hanya boleh ditarikan pada waktu DaLo’ atau NyoLat saja, maka pada waktu ini orang boleh memakai peralatan perang, mengamin Joat dan memperlihatkan kegagahannya. Sebab saat Nganjan ini sering banyak orang yang menjadi pucat wajahnya karena kalah perbawa dan pengaruh dengan peserta Nganjan yang lainnya.

3.2.2.13 Munu’ Dahangan

Pada waktu mendekati sekitar pukul sembilan atau pukul sepuluh pagi hari, maka kerbau akan di sembelih. Sebelum Horangan (kerbau) di bunuh, maka terlebih dahulu binatang korban itu di ikat semua kaki dan tangannya. Ini dimaksudkan agar dia tidak berontak, sehingga tidak membahayakan orang-orang yang berada disekitarnya. Kita bisa bayangkan saja bagaimana seekor binatang dengan bobot ratusan kilogram mengamuk. Cara menyembelih kerbau ini dengan menggunakan Lunju’ (kujur).

3.2.2.14 Munu’ Urak

Munu’ Urak adalah ritual penyembelihan terhadap babi yang merupakan

binatang korban lainnya selain Dahangan. Babi di sini di tusuk dengan Lunju’ (kujur) dan perlu menjadi catatan di sini, bahwa besi yang menjadi bahan mata Lunju’ ini adalah terbuat dari Umat Motihke (besi Motihke) yang merupakan besi

(67)

 

Keistimewaan besi ini adalah sngat lentur dan sangat beracun. Besi ini bisa dibengkokan dan bisa diluruskan lagi tanpa khawatir patah. Sedangkan kalau terluka oleh besi ini, maka hanya sedikit harapan untuk sembuh.

Penyembelihan babi ini dilakukan oleh keluarga penyelenggara upacara DaLo’ secara bersama-sama. Artinya Lunju’ itu mereka pegang secara bersamaan

dan mereka menusuk leher babi itu secara bersamaan juga.

3.2.2.15 Hopohpasch

Hopohpasch adalah ritual untuk membuang pengaruh buruk dan memohon

berkat dan rahmat dari Jahta’ MohotaLa’ (Allah Yang Mahakuasa) agar keluarga yang melaksanakan pembersihan kematian ini mendapatkan ketenangan hidup dan kebahagiaan dan kalau bisa lebih baik lagi keadaan kehidupannya dari keadaan yang sekarang ini.

Ritual Hopohpasch ini dengan menggunakan media beberapa ekor ayam, daun Savang, Somomolum, Ponyaka’, Tombolang dan lainnya. Dimaksudkan agar kekuatan Pohpasch ini mempunyai pengaruh sesuai dengan yang diharapkan.

Pada waktu-waktu biasa, Mohpasch (melakukan Pohpasch) ini cukup dilakukan oleh mereka yang biasa-biasa saja. Tetapi pada upacara DaLo’, maka mereka yang bisa Marung (melantunkan Parung) dan Ngandan (melantunkan Kandan) saja yang boleh melakukannya. Karena upacara DaLo’ yang merupakan

Gambar

Gambar 1. Torasch (Tempat menyimpan sesaji dan hewan kurban babi).
Gambar 2. Nganjan (masyarakat mangelilingi torasch yang dilakukan sebanyak 7 kali putaran)
Gambar 4. Munu’ urak, (hewan kurban yang telah di bunuh).
Gambar 6.
+4

Referensi

Dokumen terkait

Untuk menanggapi realitas yang sakral itu dalam kehidupan suku Dayak Ngaju mereka melaksanakan ritual Nyadiri , maka itu merupakan bentuk agama dari suku Dayak Ngaju itu

kelompok suku Dayak Ngaju tentang hal yang sakral (dunia orang mati yang sifatnya. sementara) dan tujuan dari pelaksanaan ritual

Raja Sangen : Anak dari manusia laki-laki dan perempuan pertama dalam mitologi suku Dayak Ngaju, yang tinggal. Batu

5.2 Makna Upacara Adat Kematian dan Upacara Adat setelah Pemakaman Berdasarkan deskripsi upacara adat kematian dan upacara adat setelah pemakaman yang dilaksanakan oleh Suku

Dari hasil penelitian diperoleh bahwa ritual puncak adat Kwangkai sebagai suatu upacara kematian yang berkaitan dengan teori tindakan beralasan dimana intensi atau niat sebagai

Tujuannya adalah untuk mendeskripsikan gambaran jenis, fungsi, makna, dan nilai ekonomi tumbuhan yang digunakan pada ritual mamapas lewu suku Dayak Ngaju.. Metode yang

Seperti hal nya dalam upacara ritual Boren Dayong masyarakat Dayak Hibun menggunakan gerak tari sebagai suatu simbol yang mempunyai arti dan guna menyampaikan pesan,

Seperti hal nya dalam upacara ritual Boren Dayong masyarakat Dayak Hibun menggunakan gerak tari sebagai suatu simbol yang mempunyai arti dan guna menyampaikan pesan,