• Tidak ada hasil yang ditemukan

Makna di balik fenomena praktek penyembuhan nonmedis dalam kelompok-kelompok persekutuan doa : studi kasus di Kupang, Nusa Tenggara Timur - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Makna di balik fenomena praktek penyembuhan nonmedis dalam kelompok-kelompok persekutuan doa : studi kasus di Kupang, Nusa Tenggara Timur - USD Repository"

Copied!
226
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

   

KATA PENGANTAR

Masyarakat kerap kali dihadapkan pada berbagai fenomena. Salah satu di

antaranya adalah praktek penyembuhan nonmedis dalam kelompok-kelompok

persekutuan doa. Daya pikatnya adalah “penyembuhan ajaib” yang disalurkan kepada

pasien oleh tokoh karismatis kelompok. Tentu saja model penyembuhan tersebut sulit

dijelaskan dan diterima oleh akal manusia. Namun sesuatu yang sulit dan aneh itu

benar-benar terjadi. Bahkan di balik pengalaman yang ajaib itu terkandung makna

dan pesan-pesan penting bagi kehidupan.

Fenomena tersebut menggelitik rasa ingin tahu penulis. Dengan berbagai

upaya yang dilakukan, penulis dapat merampungkan penelitian dan meramunya

dalam tesis bertajuk Makna Di Balik Fenomena Praktek Penyembuhan Nonmedis

Di Kupang, Nusa Tenggara Timur. Penulis sungguh menyadari bahwa penulisan

tesis ini tidak terlepas dari dukungan dan bantuan berbagai pihak.

Syukur dan terima kasih penulis haturkan ke hadapan Allah Tritunggal

Mahakudus atas berkat dan bimbinganNya sehingga penulisan tesis ini dapat

diselesaikan dengan sebaik-baiknya.

Terima kasih penulis sampaikan kepada Vikariat Ordo Karmel Tak Berkasut

Indonesia, lembaga kerohanian tempat penulis bernaung yang telah memberi

kesempatan dan dukungan bagi penulis untuk menjalani tugas belajar pada

program studi Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

Terima kasih kepada pihak pengelola program pasca sarjana Ilmu Religi dan

Budaya, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta yang telah menerima penulis

menimba ilmu di bidang kajian tersebut.

Terima kasih kepada Direktur, Ketua dan Sekretaris beserta para dosen dan

karyawan Program Pasca Sarjana Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata

(8)

   

mengatur serta memperlancar semua urusan perkuliahan sampai dengan penyelesaian

penulisan ini.

Terima kasih kepada Bapak Dr. George Aditjondro, Rm.Dr. Baskara T.

Wardaya, SJ , Ibu Stefani Haning, MA yang telah memberi dorongan kepada

penulis untuk mengembangkan topik tulisan tesis ini.

Terima kasih kepada Bapak Dr.Budiawan dan Ibu Dr. Katrin Bandel yang

telah mendampingi dan mengarahkan penulis mulai dari usulan judul, penulisan

proposal hingga pelaksanaan penelitian lapangan.

Terima kasih yang sedalam-dalamnya disampaikan kepada Rm. Dr. Hary

Susanto,SJ selaku pembimbing pertama dalam proses pengerjaan tesis ini yang telah

meluangkan banyak waktu, tenaga dan dengan kesabaran serta ketelitian mendampingi

dan mengarahkan penulis sehingga penulisan tesis ini dapat diselesaikan dengan

baik.

Terima kasih kepada Rm. Dr. G. Budi Subanar, SJ selaku pembimbing

kedua atas semua sumbangan saran dan masukan yang memperlancar penyelesaian

penulisan tesis ini.

Terima kasih kepada dewan penguji yang terdiri dari Rm.Dr.Hary Susanto,SJ

( Penguji I), Rm.Dr.G.Budi Subanar, SJ (Penguji II), Bapak Dr. St.Sunardi (Penguji

III), dan Ibu Yustina Devi Ardhiani,M.Hum ( Moderator).

Terima kasih kepada para petugas perpustakaan dan ruang baca : Universitas

Sanata Dharma Yogyakarta, Fakultas Teologi Wedhabakti-Kentungan, Kolese

St.Ignatius (KOLSANI) Kotabaru dan program pasca sarjana Ilmu Religi dan

Budaya,Universitas Sanata Dharma yang telah dengan sabar dan tulus hati membantu

penulis mencarikan dan meminjamkan buku yang penulis perlukan untuk menunjang

pengolahan materi tulisan ini.

Terima kasih kepada para informan yang dengan ikhlas hati telah bekerja

sama dan membantu penulis dalam memberikan berbagai keterangan yang diperlukan

(9)
(10)

     

MAKNA DI BALIK

FENOMENA PRAKTEK PENYEMBUHAN NONMEDIS DALAM KELOMPOK-KELOMPOK PERSEKUTUAN DOA

( Studi Kasus Di Kupang, Nusa Tenggara Timur )

Pada tahun 2004, warga kota Kupang dikejutkan oleh suatu peristiwa tragis. Maria Tefa, seorang ibu rumah tangga ditemukan tewas di tangan pelaku penyembuhan dalam kelompok persekutuan doa. Yang unik dari peristiwa itu adalah praktek penyembuhan nonmedis yang berlangsung dalam kelompok persekutuan doa. Ini adalah fenomena menarik untuk diteliti.

Dengan memanfaatkan metode fenomenologi religi dan pendekatan kualitatif, fenomena tersebut dijadikan dasar untuk menelusuri praktek-praktek penyembuhan nonmedis dalam kelompok-kelompok persekutuan doa yang begitu marak di kota Kupang,Nusa Tenggara Timur. Sampel penelitiannya adalah enam kelompok persekutuan doa. Arah dasarnya adalah pendeskripsian “data-data religius” dan makna hakiki di balik praktek penyembuhan nonmedis dalam kelompok-kelompok persekutuan doa. Makna diperoleh melalui kegiatan intuisi yang berlangsung dalam diam dan didasarkan pada dua prinsip pokok dalam fenomenologi agama yakni epoche dan eidetik.Prinsip epoche berarti apa yang sudah dikonsepkan sebelumnya ditempatkan dalam kurung sampai fenomena itu berbicara untuk dirinya sendiri. Sementara prinsip eidetik berarti

dari suatu fenomena ditelusuri makna hakikinya. Proses pemaknaannya bertolak dari kata-kata, simbol-simbol dan tindakan-tindakan manusia religius dalam relasinya dengan Yang Kudus. Semuanya dialami dan ditemukan dalam waktu dan suasana sakral yang berbeda dari pengalaman sehari-hari.

(11)

THE MEANING BEHIND

THE PHENOMENA OF NONMEDICAL HEALING PRACTICE IN PRAYER GROUP COMMUNITIES

( A Case Study in Kupang, East Nusa Tenggara )

In 2004, the people of Kupang was shocked by a tragic incident of Maria Tefa, a housewife who was found dead in the hand of nonmedical healing practitioner of a prayer group community. The uniqueness of this incident was that, the practice of nonmedical healing is conducted in prayer group community. It is an interesting phenomena to study.

By using the method of phenomenology and qualitative approach, this phenomena has become the basis for investigation of the nonmedical healing practice in prayer group communities to which, the people of Kupang city, at East Nusa Tenggara are flocking . The resources of samples of the research are six prayer group communities. The primary direction is the description of “religious data” and fundemantal meanings behind the practice of nonmedical healing in prayer group communities. The meanings are gained through intuitive activity of which conducted in silence and based on two main principles in phenomenology of religion i.e. epoche and eidetic. The epoche principle means what has been conceptualized before it is enclosed or encirlcled until the phenomena speaks for itself. The eidetic principle means searching for the essential meaning of a phenomena. The process of interpretation is initiated from words, symbols, and religious human actions in the relationship to the Holy one. Everything is experienced and founded in the atmosphere which is sacred but in different times in daily experience.

The sacred atmosphere is facilitated in the healing rites by prayer group communities itself. In it, the patient may find new values. They consider a medication is not a final terminal. Instead, it is a turning point to find out the existence and the meaning of life which has been lost. The patients who are prayed over not only they have a physical recovery. But they are convinced to accept and understand the meaning of their decease in case the physical recovery does not happen. It can be seen in their changed attitude towards the decease sufferings of which he is undergoing . Decease is not more a burden to depress their life; rather it is a medium to achieve the eternal truth. The recovery happened in themselves is related to the supernatural and has holy in its character. Basically it is a (faith factor) and lives appropriately before the Absolut Reality. This awareness can open a way for human beings to experience the “paradise” in order to becomes their life more meaningful. Thus, the causality of illness and healing is a way to fulfill the deepest hunger in their souls. It is resulted by the cultural effects of the personal relation with the cosmos, neighbours, ancestors and the Holy one. All of these are directed to a cosmic unity ( via unitiva ).

Key words: Meaning, Nonmedical healing, Prayer group Communities, Patients, Practitioner, epoche and eidetic principles.

(12)

DAFTAR ISI

Halaman Judul………...i

Halaman Persetujuan Ujian ………ii

Lembar Pengesahan ………....iii

Lembar Pernyataan ………...iv

Lembar Motto ……….v

Kata Pengantar………vi

Intisari ………. ix

Abstract ……… x

Daftar isi ……… xi

BAB I PENDAHULUAN………...1

1.1. Latar Belakang ………1

1.2. Identifikasi Masalah ………2

………....3

enulisan………..4

…...4

tis………....10

……..16

……….20

1.3. Tujuan Penulisan……… 1.4. Relevansi P 1.5. Tinjauan Kepustakaan……… 1.6. Kerangka Teore 1.7. Metodologi Penelitian ………13

1.7.1. Jenis Penelitian……….14

1.7.2. Strategi pengumpulan data……… 1.7.3. Strategi Pengolahan Data……….19

1.7.4. Lokasi dan Subyek Penelitian………

(13)

1.7.4.1. Lokasi Penelitian………

1.7.4.2. Subyek Penelitian………..21

………...20

………... 24

2.3.2. Sistem medis naturalistik ……… 31

2.4. Terapi alternatif ………. 34

pi alternatif ……… 36

……….. 36

2.4.3. Penyembuh-penyembuh lain………. 42

2.5. Penyembuhan yang mengutuhkan………. 49

2.6. Rangkuman ………52

BAB III POTRET KELOMPOK-KELOMPOK PERSEKUTUAN DOA ………... ……53

3.1. Pengantar ……… 53

3.2. Latar belakang terbentuknya kelompok-kelompok persekutuan doa ………. 53

3.3. Profil kelompok-kelompok persekutuan doa………... 56

3.3.1. Kelompok Persekutuan Doa Anugerah ………... 57

3.3.2. Kelompok Persekutuan Doa Bukit Sion ………..62

1.8. Sistematika Penulisan ……….21

BAB II PAHAM KULTURAL TENTANG PENYAKIT DAN PENYEMBUHAN…….. 24

2.1. Pengantar………...24

2.2. Konsep penyakit…… 2.3. Etiologi penyakit secara kultural ……… 25

2.3.1. Sistem medis personalistik……….. 26

2.4.1. Metode-metode tera 2.4.2. Penyembuhan natural dan supranatural .……… 2.4.3.1. Paranormal………..… 42

2.4.3.2. Hipnoterapis ……….. 43

2.4.3.3. Dukun ………. 45

(14)

3.3.3. Kelompok Persekutuan Doa Perjamuan Surgawi... 64

3.3.6. Kelompok Persekutuan Doa Konggregasi Bunda Hati Tersuci Maria …. 78 DALAM KELOMPOK-KELOM 4.1. Pengantar………. 85

4.2. Ritus penyembuhan dalam kelompok-kelompok persekutuan doa……….. 86

4.2.1. dalam kelom 4.2.2 Penyelengaraan ibadat penyembuhan pok Persektuan Doa Perjamuan Surgawi……….. 110

kelompok Persekutuan Doa kelompok 3.3.4. Kelompok Persekutuan Doa Bunda Sang Sabda Di Timor……….67

3.3.5. Kelompok Persekutuan doa De Colores .……….71

3.4. Motivasi orang yang datang ke kelompok persekutuan doa ………. 82

3.5. Rangkuman ……….83

BAB IV RITUS PENYEMBUHAN NONMEDIS POK PERSEKUTUAN DOA ………. 85

Penyelengaraan pelayanan persekutuan umum pok Persekutuan Doa Anugerah ………. 86

dalam kelompok Persekutuan Doa Bukit Sion……… 100

4.2.3. Penyelenggaraan doa penyembuhan pasien dalam kelom 4.2.4. Pelayanan doa penyembuhan pasien dalam Bunda Sang Sabda di Timor ………... 119

4.2.5. Penyelenggaraan latihan olah nafas tenaga dalam kelompok Persekutuan Doa De Colores ………....129

4.2.6. Penyelenggaraan doa penyembuhan pasien dalam Persekutuan Doa Konggregasi Bunda Hati Tersuci Maria………... 142

4.3. Rangkuman……… 159

(15)

BAB V

PERSEPSI MASYARAKAT DAN DAMPAK

KEHADIRAN KELOMPOK-KELOMPOK PERSEKUTUAN DOA ……… 160

………... 161

………...162

5.1.3. Persepsi pihak keamanan……….. 166

pak kehadiran kelompok-kelompok persekutuan doa………. 167

……….. 167

EFLEK .5. Perj .6. Asp kuman ………188

5.1. Pengantar………160

5.1. Persepsi warga masyarakat dan warga Gereja …… 5.1.1. Persepsi pimpinan Gereja ………...162

5.1.1.1. Pendeta ……… 5.1.1.2. Pastor………. 163

5.1.2. Persepsi dokter dan petugas kesehatan………..164

5.2. Dam 5.2.1. Dampak positif ……… 5.2.2. Dampak negatif……….. 169

5.3. Rangkuman ………171

BAB VI R SI ATAS FENOMENA PRAKTEK PENYEMBUHAN NONMEDIS DALAM KELOMPOK-KELOMPOK PERSEKUTUAN DOA ………... 173

6.1. Pengantar………173

6.2. Kekosongan eksistensial ……….. 173

6.3. Penyembuhan integral ………. 175

6.4. Pencarian makna hidup ……….. 176

6 umpaan dengan Yang Kudus ………. 177

6 ek kurban ……….185

6.7. Konsep keselamatan ………. 187

6.8. Rang

(16)

 

BAB VII

KESIMPULAN ……… 191

DAFTAR PUSTAKA ……….... 199

DAFTAR INFORMAN DAN PENGHUBUNG ……….. 204

LAMPIRAN

(17)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sakit dan penyembuhan merupakan fakta universal yang selalu dialami oleh

siapa saja, kapan saja dan dalam masyarakat mana saja.1 Sakit bisa saja disebabkan oleh virus dan bakteri. Tetapi ada pula sakit yang disebabkan oleh kekuatan gaib

yang tidak diketahui dari mana asalnya. Jenis penyakit ini biasanya ditangani oleh

dukun atau paranormal. Bahkan ada pula yang memanfaatkan jasa pelayan

penyembuhan dalam kelompok-kelompok persektuan doa.

Penyembuhan pada Maria Tefa, seorang ibu rumah tangga di Kupang, Nusa

Tenggara Timur adalah salah satu contoh penggunaan jasa pelayan penyembuhan.

Aksi pelayan penyembuhan ternyata mengantarnya ke gerbang kematian. Berdasarkan

penyidikan polisi di lokasi kejadian, kematian korban berawal dari hasil diagnosa

praktisi penyembuhan. Menurut keterangan pelaku, korban mengidap penyakit yang

disebabkan oleh serangan kuasa iblis. Karena itu tubuhnya dihujani pukulan

bertubi-tubi dengan batang damar. Tujuannya adalah kuasa iblis itu dapat dikeluarkan

dari tubuhnya. Namun kenyataannya korban meninggal seketika.2

Hal yang menarik dari kejadian tersebut adalah penyelenggaraan praktek

penyembuhan dalam kelompok persekutuan doa. Daya pikatnya terletak pada pelayanan doa penyembuhan. Kegiatan ini berpusat pada pelayanan Firman

dan permohonan bagi kesembuhan orang-orang sakit. Pelaku utamanya adalah

      

1

bdk.Chatarina Pancer Istiyani, Tubuh Dan Bahasa, Aspek-Aspek Linguistis Pengungkapan Pandangan Masyarakat Lewolema Terhadap Kesehatan(Yogyakarta : Galang Press, 2004), hal.113

2

Peristiwa penyembuhan Ibu Maria sempat menjadi menu berita hangat di berbagai media lokal. Ketika itu penulis sedang menjalani tugas pelayanan di Kupang, NTT.

(18)

seorang figur sentral yang diyakini memiliki “karunia penyembuhan”.

Penyembuhan pun “terjadi secara ajaib”.3

Tentu saja gejala ini menarik untuk diteliti tidak hanya dari sisi psikologis,

ekonomis maupun politis. Tetapi ada sudut pandang lain yang dapat digunakan

yakni fenomenologi. Perspektif ini dimanfaatkan sebagai pisau analisis untuk membedah fenomena religius.

Kajian yang bertumpu pada fenomena religius berawal dari asumsi bahwa

penyembuhan nonmedis dalam kelompok-kelompok persekutuan doa bukan

semata-mata mengandalkan kemampuan para pelayan penyembuhan. Tetapi ada kekuatan

lain yang melampaui batas kekuatan manusia. Kekuatan adikodrati itu diyakini

menghasilkan efek-efek terapis pada pasien yang tersalur melalui para pelayan

penyembuhan. Di tangan mereka pasien mengalami kesembuhan. Inilah saat dimana

pasien mengalami titik balik dalam hidupnya Pengalaman sembuh membuka jalan

bagi pasien untuk menemukan makna hakiki dalam hidupnya. Di sini sebetulnya

terletak landasan studi yang kemudian dikemas dalam tema “Makna Di Balik

Fenomena Praktek Penyembuhan Nonmedis Dalam Kelompok Persekutuan Doa

Studi Kasus Di Kupang, Nusa Tenggara Timur”.

1.2. Identifikasi Masalah

Topik tersebut dijadikan titik tolak untuk menjawab pertanyaan mengapa

terjadi fenomena praktek penyembuhan nonmedis di Kupang, Nusa Tenggara Timur?

Pertanyaan pokok ini dapat dirinci menjadi beberapa pertanyaan sebagai berikut :

      

3

bdk. P.Hendrik Njiolah, Pr., Fenomena Penyembuhan Dalam Kitab Suci (Yogyakarta : Yayasan Pustaka Nusatama, 2006), hal.5-6

(19)

1. Kapan praktek penyembuhan nonmedis mulai berkembang di kota

Kupang?

2. Siapakah pendukung praktek penyembuhan nonmedis itu?

3. Bagaimana praktek penyembuhan nonmedis itu dilakukan?

4. Apa sebab masyarakat kota Kupang tertarik pada praktek penyembuhan

nonmedis melalui kelompok persekutuan doa?

5. Apa dampak praktek penyembuhan nonmedis dalam kelompok

persekutuan doa bagi warga kota Kupang?

6. Apa makna terdalam di balik praktek penyembuhan nonmedis itu?

1.3. Tujuan Penulisan

Berdasarkan pertanyaan-pertanyaan di atas, tujuan penelitian ini dapat

dirumuskan sebagai berikut :

1. Mencari dan mengungkapkan fenomena praktek penyembuhan

nonmedis dalam kelompok-kelompok persekutuan doa.

2. Mengetahui dan mengungkapkan pihak-pihak yang memanfaatkan cara

penyembuhan nonmedis dan apa yang melatarbelakangi mereka

menempuh cara itu.

3. Mengetahui dan menganalisa dinamika praktek penyembuhan nonmedis

dalam kelompok persekutuan doa dan dampaknya bagi warga kota

Kupang.

4. Menganalisa dan menemukan makna di balik praktek penyembuhan

nonmedis.

(20)

1.4. Relevansi Penulisan

Penulisan ini mempunyai beberapa relevansi antara lain:

1. Dari segi praktis: penelitian ini akan menjadi sumbangan pemikiran

bagi warga kota Kupang agar dapat menyimak makna di balik berbagai fenomena terutama yang berkaitan dengan aksi-aksi

penyembuhan nonmedis.

2. Dari segi akademis : penelitian ini diharapkan dapat memacu para

akademisi untuk menentukan sikap di hadapan berbagai fenomena

yang berkembang di tengah masyarakat. Selain itu mereka dibantu

untuk tidak sekedar memberi kritik tanpa dasar atau menghadapinya

tanpa bersikap kritis.

1.5. Tinjauan Kepustakaan

Praktek penyembuhan nonmedis bukan sesuatu yang asing bagi masyarakat.

Hal ini dapat dibuktikan dengan diterbitkannya beragam buku dan artikel yang

membahas aksi-aksi penyembuhan nonmedis. Semua berupaya menggambarkan sebab

musabab penyakit dan cara penanggulangannya. Ketika tesis ini dipersiapkan

pengerjaannya ternyata sudah ada tulisan yang secara khusus membahas studi kasus

penyembuhan. Artikel yang berjudul Therapeutis Resources In Bali : A Case Study On The Choice Of Medical Practitioners karya Francoise Grance-Piovesan merupakan contoh yang berhubungan dengan praktek penyembuhan nonmedis. Namun penelitian

(21)

yang dilakukannya masih terfokus pada peran para praktisi penyembuhan dari sudut

pandang antropologi. 4

Hal tersebut dapat ditemukan pula pada buku karya Michael Winkelman dan

Philip M. Peek yang berjudul Divination and Healing Process. Buku ini mendeskripsikan rincian proses penyembuhan secara esoterik yang menghasilkan

efek-efek terapis di Afrika. Kehadiran daya adikodrati dalam penyembuhan semakin membukan jalan bagi pasien untuk menemukan kesehatannya kembali.5

Kuatnya dimensi antroplogis dapat pula dicermati dari skripsi G. Haryana yang

berjudul Konsep Kausalitas Sakit dan Penyembuhannya: Suatu Tinjauan Kognitif (Studi Kasus Empat Orang Dukun). Ia berpendapat bahwa aksi penyembuhan yang dilakukan dukun bersumber pada etiologi penyakit baik personalistik maupun

naturalistik. Pengetahuan tersebut diperolehnya dari makhluk halus yang memasuki

tubuhnya. Makhluk halus memasuki tubuh sang dukun ketika ia mencapai puncak

kekhusukan dalam tapa, doa dan pengucapan mantera sehingga tabir penyekat alam

gaib terbuka. Dalam kondisi ini, sang dukun memperoleh petunjuk untuk memahami

sistem teori penyakit dan pengobatan secara gaib.6

Pengobatan secara gaib dapat juga dibaca pada buku yang berjudul Karunia Penyembuhan Damianus Wera. Buku ini memaparkan berbagai peristiwa dan metode penyembuhan yang dilakukan oleh Daminanus Wera dengan menggunakan pisau

      

4

Francoise Grance-Piovesan,“Therapeutis Resources In Bali : A Case Study On The Choice Of Medical Practitioners” , Indonesia Circle, No.66. 1995, hal. 109-120

5

Michael Winkelman, Philip M. Peek (eds.), Divination and Healing Process : Potent Vision (Tucson : The University of Arizona Press, 1984), hal.3-4

6

G. Haryana,“Konsep Kausalitas Sakit dan Penyembuhannya : Suatu Tinjauan Kognitif ( Studi Kasus Empat Orang Dukun )”. Skripsi S-1, Fakultas Sastra Universitas Gajah Mada Yogyakarta,1991., hal.79

(22)

dapur, cutter, pinset, selang dan perban. Alat-alat itu dipergunakannya untuk

membedah pasien. Yang menakjubkan adalah pembedahan pasien dalam waktu lima

menit tanpa dibius dan tanpa menimbulkan rasa sakit. Luka bedahnya pun tidak

berbekas. Dari pembedahan yang dilakukannya, Damianus Wera mengeluarkan kawat,

paku, beling, silet, lidi dan benang. Benda-benda ini masuk dalam tubuh pasien

melalui santet. Pengobatan secara gaib dilakukan Damianus Wera sejak tahun 1986.

Jumlah pasein yang diobatinya lebih dari 100.000 orang. Mereka adalah orang-orang

yang berlatarbelakang berbeda mulai dari kaum papa, artis, dokter, jendral hingga

presiden dan mantan presiden. Semua itu dilakukan Damianus Wera dengan kekuatan

“karunia” yang diterimanya dari Tuhan dan diwariskan melalui sang ayah,Ware Ratu.

Itulah sebabnya ia selalu mengatakan kepada para pasiennya bahwa dirinya bukan

“dokter” melainkan Tuhan sendirilah yang menyembuhkan mereka. Pengakuan ini

membentangkan di hadapan para pembaca akan adanya fakta dan praktek religius.

Hal terkahir inilah yang turut berperan dalam penyembuhan pasien.7

Buku lain yang memberi gambaran penyembuhan berdimensi religius adalah

Rahasia Penyembuhan Natural Dan Divine yang diterbitkan oleh Yayasan Rescue Indonesia. Gambaran mengenai sebab penyakit dan metode penyembuhan nonmedis

dipaparkan secara jelas dan sistematis. Namun kehadiran buku ini tidak menandingi

terapi-terapi medis melainkan melengkapi dimensi yang terabaikan dari ilmu

kedokteran modern.8

      

7

Yosef Tor Tulis, Karunia Penyembuhan Daminus Wera (Jakarta : Jetpress, 2007), hal.124-125

8

Ir.Fred Andries(ed.),Rahasia PenyembuhanNatural Dan Divine (Jakarta : Yayasan Rescue Indonesia,1999), hal.3-5

(23)

Hal tersebut berhubungan dengan konsep penyembuhan yang luas.

Penyembuhan pasien tidak hanya berkaitan dengan segi fisiknya saja. Tetapi juga

sikap pasien berhadapan dengan penyakitnya. Seseorang dapat mengalami

kesembuhan kalau ia tidak kehilangan makna hidup dalam penderitaan dan panyakit.

Di sini pasien menghadapi “sakit dangan cara sehat”. Kenyataan ini dapat ditemukan

pada sebuah buku yang berjudul Penyembuhan Yang Mengutuhkan Dimensi Yang Terabaikan Dalam Pelayanan Medis karya Dr. Beate Jacob dan kawan-kawan.9

Pengalaman penyembuhan yang mengutuhkan tidak lepas dari penggunaan

bahasa. Hal ini diperlihatkan oleh Chatarina Pancer Istiyani dalam bukunya yang

berjudul Tubuh Dan Bahasa, Aspek-Aspek Linguistis Pengungkapan Pandangan Masyarakat Lewolema Terhadap Kesehatan. Ia menyebutkan bahwa bahasa merupakan salah satu unsur pokok kebudayaan dan mengandung simbol-simbol.

Bahasa mengungkapkan kekayaan budaya suatu masyarakat. Atas dasar pemikiran ini,

ia menganalisa pandangan masyarakat Lewolema, Nusa Tenggara Timur sehubungan

dengan konsep kesehatan. Ia mendasarkan analisanya pada tiga unsur semantik dasar

yakni kesehatan, sakit dan penyembuhan. Ternyata masyarakat Lewolema telah lama

mengenal dan mewariskan pandangan tentang kesehatan yang diekspresikan lewat

bahasa setempat. Ungkapan-ungkapan tentang kesehatan tidak hanya berhubungan

dengan kesehatan fisik tetapi juga kesehatan mental. Bahasa berperan dalam

menghasilkan oleh efek-efek kultural dari relasi antar individu, masyarakat, alam,

leluhur dan Wujud Tertinggi. Semuanya terarah pada keseimbangan kosmis.10

      

9

Dr.Beate Jacob,dkk. Penyembuhan Yang Mengutuhkan Dimensi Yang Terabaikan Dalam Pelayanan Medis. Terjemahan Adventina Putranti,dkk. (Yogyakarta : Kanisius, 2003), hal.66-67

10

Chatarina Pancer Istiyani, op.cit., hal.236-237

(24)

Keseimbangan kosmis dapat dicapai dengan melibatkan dimensi biologis dan

spiritual individu. Konsep ini dapat ditemukan dalam karya Herbert Benson yang

berjudul Timeless Healing (Penyembuhan Sepanjang Masa).11 Dalam kerja sama dengan William Proctor, Herbert Benson menerbitkan sebuah buku yang berjudul

Beyond the Relaxation Response. Perhatian utama buku ini adalah faktor keimanan (faith factor) yang membantu seseorang untuk mencapai kesembuhan dari berbagai jenis penyakit. Pengungkapannya berlangsung dalam doa dan meditasi yang

merupakan tradisi mistik beberapa agama. Efek-efek yang ditimbulkan oleh doa dan

meditasi dapat dilihat dari penggunaan formula-formula semacam mantra atau zikir.

Mantra atau zikir itu dibaca dengan penuh keyakinan kepada Tuhan dapat

menghasilkan kekuatan yang berlipat ganda. Hasil penelitian Herbert Benson

memperlihatkan bahwa efek penggunaan formula-formula itu dapat menghilangkan

berbagai nyeri. Misalnya, para pendeta Budha Tibet mampu berjalan di atas bara api

tanpa mengalami rasa sakit dan lecet sedikit pun. Hal itu terjadi karena kekuatan yang

diperoleh dari formula-formula yang dibaca dengan penuh keyakinan. Kenyatan ini

menunjukkan bahwa ternyata efek penyembuhan yang dihasilkan zikir maupun

kekuatan pikiran jauh lebih besar dari apa yang diperkirakan sebelumnya. Dengan

kata lain efek penyembuhan yang terjadi bergantung pada faktor keyakinan. Faktor ini

berguna dalam menghalau pikiran-pikiran yang tidak kreatif dan berpotensi menjadi

penyakit.12 Selain itu keyakinan dapat membangkitkan respon relaksasi yang terkondisi dalam suasana batin yang damai. Kedamain batin diperoleh melalui

latihan-      

11

Herbert Benson dan Marg Strak, Penyembuhan Sepanjang Masa. Terjemahan Dr.Widjaja Kusuma (Jakarta : Interaksara, 1998), hal. 291-311

12

Herbert Benson dan William Proctor, Keimanan Yang Menyembuhkan Dasar-Dasar Respons Relaksasi. Terjemahan dr. Nurhasan ( Bandung : Kaifa, 2000), hal. 11-12

(25)

latihan teratur dengan menggunakan empat langkah sebagai berikut: (1) menemukan

lingkungan yang tenang; (2) secara sadar mengendurkan otot-otot tubuh; (3)

memusatkan diri selama sepuluh hingga dua puluh menit sambil mengucapkan doa

singkat; (4) bersikap pasif terhadap pikiran-pikiran yang menggangu. Latihan-latihan

sederhana ini bila digabungkan dengan faktor keyakinan akan menciptakan lingkungan internal yang lain dari biasanya dan sangat membantu seseorang mencapai derajat

kesehatan dan kesejahteraannya.13Tujuan ini dapat pula dicapai dengan memanfaatkan terapi-terapi alternatif. Semuanya dapat dibaca dan ditemukan dalam buku Alternative Therapi (Terapi-Terapi Alternatif ).14

Studi pustaka tersebut belum memberi ruang artikulasi pada bentuk-bentuk

penyembuhan nonmedis yang bertolak dari fenomena religius. Oleh karena itu tesis

ini merupakan upaya kecil untuk memaparkan fenomena penyembuhan nonmedis

dalam kelompok-kelompok persekutuan doa. Kehadirannya dapat dipakai sebagai

sarana untuk menetralisasi kasus-kasus penyembuhan nonmedis tanpa mengabaikan

peran pasien sebagai subjek penelitian dan “produser makna”.

Bercermin pada rumusan-rumusan di atas, ternyata topik ini memiliki

keterbatasannya. Walaupun ada dimensi lain yang secara implisit tampak dalam

pembahasan ini. Namun fokus topik ini adalah hubungan manusia religius dengan

Yang Kudus sebagaimana digagaskan dalam fenomenologi agama. Relasi itu dibangun dalam praktek-praktek peribadatan yang mengantar orang sampai pada being, truth, meaning. Di samping itu tidak semua kelompok persekutuan doa yang disajikan

      

13

Ibid.,hal. 34 14

Geddes dan Grosset, Terapi-Terapi Alternatif . Terjemahan Slamet Rianto dan Adi Loka Sujono (Yogyakarta : Lotus, 2005), hal. 1-363

(26)

dalam pembahasan ini. Fokusnya diarahkan pada enam kelompok persekutuan doa.

Pertimbangannya adalah bahwa keenam kelompok itu ditampilkan sebagai sampel penelitian.

1.6. Kerangka Teoretis

       

Keenam kelompok persekutuan doa dan orang-orang yang memanfaatkan jasa

pelayan penyembuhan nonmedis merupakan obyek pengamatan yang menghadirkan

“data religius”. Data religius yang terkumpul dan makna yang terkandung di

dalamnya selanjutnya didesdripsikan dalam bentuk uraian tesis.

Yang dimaksudkan dengan “makna” di sini adalah pengertian dasar yang

diberikan atau ada dalam satu hal.15 Secara fenomenologis, makna adalah pengertian yang terkandung di balik obyek atau peristiwa yang tampak pada kesadaran

manusia. 16 Selain makna, penekanan yang penting adalah faktor-faktor yang menyebabkan munculnya fenomena praktek penyembuhan nonmedis dalam kelompok

persekutuan doa. Fenomena 17 berarti apa yang diamati, apa yang tampak pada

 

15

Drs.Peter Salim dan Yenny Salim, Kamus Bahasa Indoensia Kontemporer ( Jakarta : Modern English Press, 1991 ) hal. 916

16

Bdk. Amadeo Giorgi dan Barbo Giorgi, “ Fenomenologi” dalam Jonathan A.Smith (ed.),

Qualitative Psychology : A Practical Guide to Research Methods ( Los Angeles : Sage Publication, 2008),hal.53

17

Fenomena berasal dari kata benda bahasa Yunani “phos” yang berarti cahaya. “Phos” merupakan akar kata “phainomai” (kata kerja) yang berarti menampakkan diri. Istilah fenomena pertama kali digunakan oleh Johan Heinrich Lambert, seorang filsuf Jerman seangkatan Immanuel Kant. Istilah“phenomenon” dipergunakannya dalam suatu sistem filsafat yang disebutnya fenomenologi sebagai “teori ilusi”. Selanjutnya istilah fenomena dipergunakan Immanuel Kant (1724 – 1804). Kant berpendapat bahwa apabila kita mengamati suatu obyek maka yang tampak pada kita hanyalah fenomenanya saja atau obyeknya yang tampak. Jadi bukan “noema” atau “das Ding an sich” ( benda di dalam dirinya sendiri) atau obyek itu sendiri. Obyek-obyek terhalang oleh suatu selubung sehingga tidak dapat dilihat obyek yang sebenarnya. Dalam perkembangan seterusnya, istilah fenomena dipergunakan G.W.F.Hegel (1770 -1831) dalam karyanya yang berjudul Phänomenologie des Geistes.

Di dalam karyanya itu Hegel menyebutkan bahwa perkembangan roh melalui beberapa tingkatan sehingga ia menangkap dirinya sebagaimana adanya di dalam dirinya sebagai “phenomenon”. Pada pertengahan abad XX istilah fenomena disinonimkan dengan “fakta”. Berbeda dari filsuf-filsuf sebelumnya, Edmund Husserl berpendapat bahwa fenomena bukan realitas saja melainkan juga benda-benda itru sendiri. Bagi Husserl fenomena justru ada dalam setiap benda-benda, bayangan atau apa yang

(27)

kesadaran kita, apa yang tampak pada pengalaman panca indera kita, suatu fakta atau

peristiwa yang dapat kita amati.18 Pengertian-pengertian tersebut memberi gambaran bahwa penelitian ini mengarah pada fakta atau peristiwa yang diamati. Fakta atau

peristiwa menurut Merleau Ponty berkaitan dengan dialektika subyek-obyek yang

berlangsung dalam sejarah.19 Itu berarti antara fakta dan individu selalu ada korelasi dan interaksi. Manusia mengamati fakta. Fakta memberikan kontribusi pengalaman

pada manusia. Manusia yang sedang melakukan pengamatan tidak mendekati realitas

melalui argumen-argumen, konsep-konsep atau teori umum. Realitas itu dikembalikan

pada obyek dan dideskripsikan apa adanya. Setiap obyek memuat hakekat. Hakekat itu

menyampaikan sesuatu kepada kita kalau kita membuka diri kepada gejala-gejala

yang kita terima. Kalau kita “mengambil jarak” dari obyek itu, membebaskan obyek

dari pengaruh pandangan-pandangan lain, maka obyek itu “berbicara” sendiri tentang

hakekatnya. Kita memahaminya berdasarkan intuisi pribadi. Dengan kata lain intuisi merupakan langkah awal dari pengetahuan yang mendahului indera dan intelek.

Pengetahuan intuitif bersifat langsung dan tak simbolis ( immediate, direct, nonsymbolical ). Ia mengarahkan subyek untuk mengidentifikasi diri dengan realitas sehingga subyek mengetahuinya dari dalam.20

Jika peneliti menggunakan intuisinya maka atmosfir penelitian harus tercipta

dalam diam. Diam merupakan tindakan untuk menangkap pengertian dari sesuatu

yang sedang diteliti. Di sini subyektifitas peneliti berperan penting. Peneliti berusaha

       

secara langsung tampak pada kita dan kita dapat secara langsung melihat,meraba,membau,mendengar atau membayangkan fenomena tersebut (lihat R.Schmitt, “Phenomenology dalam P. Edwards (ed.),

The Encyclopedia of Philosophy,VI (London-New York : Northwestern University Press,1967), hal.135

18

Lorens Bagus, Kamus Filsafat ( Jakarta : Gramedia, 2002 ), hal. 230 - 231 19

Ibid., hal.238 20

Dr. Abdullah Ciptoprawiro, “Perkembangan Agama dan Kepercayan di Indonesiadalam Mawas Diri, Maret 1979, hal.33

(28)

masuk dalam dunia konseptual subyek-subyek yang ditelitinya agar dapat menangkap

makna hakiki dari kehidupan mereka sehari-hari.21

Pemaknaan terhadap subyek-subyek dapat pula diterapkan pada praktek

penyembuhan dalam kelompok-kelompok persekutuan doa. Kegiatan-kegiatan itu

terjadi di tempat tertentu baik dalam skala global maupun lokal. Kupang yang terletak

di propinsi Nusa Tenggara Timur termasuk dalam kategori lokal. Kupang dipilih dan

ditetapkan sebagai tempat penelitian dengan pertimbangan bahwa pertumbuhan dan

perkembangan praktek penyembuhan dalam kelompok-kelompok persekutuan doa

berlangsung dalam frekuensi besar. Hal ini dilatarbelakangi oleh kebangkitan gerakan kebangunan rohani dan bencana kelaparan yang melanda pulau Timor di tahun 1965. Selain itu situasi rawan akibat G.30.S sangat berpengaruh terhadap terbentuknya

tim-tim doa. Tim-tim doa ini menjadi cikal bakal pertumbuhan dan perkembangan

kelompok-kelompok persekutuan doa. Tugasnya adalah melaksanakan pekabaran Injil

berdasarkan tuntunan Roh Kudus dengan perincian sebagai berikut:22

1. Mengajak orang supaya bertobat karena Kristus segera akan datang

2. Mengingatkan orang agar bertobat sekarang juga karena bila Kristus

datang dan tampil di langit maka pintu pertobatan akan ditutup

3. Mereka diberi kekuatan untuk menyembuhkan dan membangkitkan

orang mati

Tritugas itu menjiwai tim-tim doa untuk menghibur dan menyalurkan

kesembuhan bagi orang sakit. P. Middelkop dalam bukunya Atoni Pah Meto       

21

Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Kebudayaan ( Yogyakarta : Gajah Mada University Press, 2006), hal.44.

22

Dr. P. Middelkop, Atoni Pah Meto( Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1982), hal.226

(29)

menyebutkan bahwa sudah banyak orang mati yang dihidupkan kembali. Di samping

itu beribu-ribu orang sembuh dari penyakit akut maupun kronis seperti yang pernah

terjadi di Kupang. Inilah kutipan persitiwa tersebut :

“Sudah terbentuk tim-tim 70 kali. Banyak tanda tampak di langit. Sejak 25 Oktober sampai 8 November di ufuk timur tampak bintang berekor panjang, indah sekali, setiap malam dari pukul 3.30-5.30 pagi-pagi subuh. Sebuah bintang kecil yang tiba-tiba menjadi sebesar bulan, dikelilingi bintang-bintang yang berbentuk sebuah salib. Seperempat jam kemudian hilang. Peristiwa itu terjadi di Kupang pada tanggal 31 Desember 1965.” 23

Penggalan kisah di atas semakin menarik minat peneliti untuk mengkajinya

lebih jauh. Kajian topik ini memanfaatkan grounded theory dan merupakan suatu studi kasus. Yang dimaksudkan dengan grounded theory adalah pendekatan kualitatif yang bertujuan untuk menyusun teori yang diperoleh secara induktif dari penelitian tentang

fenomena tertentu.24 Teori tersebut digunakan peneliti untuk mencermati kenyataan sehari-hari yang disesuaikan dengan beragam data yang relevan.25 Sedangkan studi kasus adalah proses mengkaji kasus sekaligus hasil dari pengkajian tersebut .26

1.7. Metodologi Penelitian

Untuk menjawab persoalan-persoalan yang dikemukakan di atas dimanfaatkan

kerangka teoritis untuk memperoleh jawaban sementara, metode penelitian untuk

menghimpun data, setting studi kasus dan teknik penelitian sebagai pedoman untuk

      

23 Ibid. 24

bdk. Mirra Noor Milla, ”Metodologi Kualitatif Dalam Penelitian Psikologi (Studi Fenomenologi pada Terpidana Kasus Terorisme di Indonesia )”. Materi ini disampaikan dalam acara Training Metode Kualitatif di Universitas Negeri Yogyakarta, pada tanggal 23 Juni 2009, hal. 1

25

Anselm Strauss dan Julia Corbin, Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif. Terjemahan Muhammad Shodiq dan Imam Muttaqien ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2007), hal. 4-5

26

Robert E. Stake, “Studi Kasus” dalam Norman K. Densin, Yvonna S. Lincoln (eds.),

Handbook of Qualitative Reseacrh ( California : Sage Publication, 2000),hal. 299

(30)

terjun ke lapangan, teknik pengolahan data guna menjelaskan dan mengolah fenomena

yang ditemukan.

1.7.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini lebih berciri kualitatif. Sedangkan metode penelitiannya adalah

fenomenologi. Jenis penelitian kualitatif adalah jenis penelitian yang

temuan-temuannya tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya.

Namun yang terpenting adalah kemantapan penelitian sesuai dengan pengalaman

penelitiannya. Peneliti yang berlatar belakang antropologi atau filsafat seperti

fenomenologi dianjurkan untuk menggunakan pendekatan kualitatif dalam

pengumpulan dan analisa data. Pendekatan ini berguna sekali dalam mengungkap dan

memaknai sesuatu di balik fenomena yang belum pernah diketahui. 27 Manfaat lainnya adalah menguak pengalaman hidup orang-orang yang telah sembuh melalui

pelayanan para penyembuh dalam kelompok-kelompok persekutuan doa. 28 Fenemenologi diterapkan sebagai metode penelitian ini dengan maksud untuk

mempelajari dan melukiskan ciri-ciri intrinsik dari gejala yang tampak pada

kesadaran serta ditampilkan apa adanya.29

Fenomena sebagaimana adanya dapat diamati dengan menggunakan dua

prinsip dalam fenomenologi yaitu prinsip epoche dan eidetik. Prinsip epoche berarti penilaian yang sudah dikonsepkan sebelumnya ditunda atau ditempatkan dalam tanda

kurung (einklammerung) sampai fenomena itu berbicara dari dirinya sendiri. Dalam hal ini, tugas seorang fenomenolog adalah menghadirkan realitas apa adanya sampai

      

27

Ibid.,hal.11 28

bdk. Ibid 29

Lorens Bagus, op.cit., hal.236

(31)

pada hakekat intinya. Oleh karena itu ia tidak harus merepotkan diri dengan penilaian

tentang baik buruknya religius atau moral dari suatu kasus yang diselidiki.30

Prinsip kedua adalah eidetik. Ini berarti dari suatu fenomena religius ditelusuri

makna hakikinya. Makna hakiki diperoleh dari proses pemahaman (verstehen) terhadap ekspresi-ekspresi yang meliputi kata-kata, simbol-simbol dan

tindakan-tindakan yang dilakukan dan dihayati oleh manusia-manusia religius dalam

hubungannya dengan Yang Kudus.31 Menurut Rudolf Otto Yang Kudus merupakan isi dari pengalaman numinous yang rasional sekaligus nonrasional. Yang Kudus inilah yang dihayati oleh kaum beriman. Yang Kudus merupakan daya supranatural

yang menggentarkan tetapi sekaligus mempesonakan. Rasa gentar dan terpesona

tidak dialami dalam kenyataan sehari-hari. Kedua hal itu merupakan sesuatu yang

khas dan khusus. Yang Kudus itu sungguh Yang Mahalain, The Wholly Other, Das Ganz Andere yang melampaui segala sesuatu. Bahasa manusia pun tak dapat melukiskan kebesaran dan kedasyatannya. Kehadirannya hanya dapat diungkapkan

dengan istilah Maiestas, Mysterium Tremendum et Fascinosum. Dengan demikian, Yang Kudus selalu dialami sebagai daya adikodrati yang menakutkan dan

mempesonakan.32

Pengalaman perjumpaan dengan Yang Kudus hanya dapat berlangsung pada

saat-saat tertentu saja. Hal ini mengacu pada pemikiran Mircea Eliade. Ia membuat

pembedaan antara yang sakral dan yang profan. Yang sakral adalah wilayah

      

30

Mariasusai Dhavamony, Phenomenology Of Religion (Roma : Gregoriana University Press, 1973), hal. 18-19

31 Ibid. 32

Mircea Eliade, The Sacred And The Profane (United States of America : Harper Torchbooks, 1957 ), hal. 9-10

(32)

supranatural yang tidak mudah dilupakan dan sangat penting. Sedangkan yang profan

adalah wilayah kehidupan sehari-hari dan tidak terlalu penting. 33 Ketika manusia memasuki wilayah sakral, ia akan merasakan pengalaman khusus dan tak akan pernah

melupakannya. Ia menemukan makna terdalam ketika realitas sakral masuk dan

menjiwai kehidupannya.

Wilayah yang sakral berlangsung dalam waktu dan ruang yang sakral. Hal

itu tersedia dalam ritus-ritus penyembuhan oleh kelompok-kelompok persekutuan doa.

Ekspresi-ekspresi simbolis turut menghadirkan suasana yang berbeda dari kegiatan

sehari-hari. Di tengah situasi ini, peserta dapat mengalami perjumpaan dengan realitas

sakral. Dampak kehadirannya adalah daya pemulihan bagi para penderita berbagai

penyakit. Fakta ini memperlihatkan bahwa kesembuhan merupakan proses rumit yang

tak dapat dijelaskan dengan metode empiris. Demikian pula praktek-praktek religius

dalam penyembuhan merupakan suatu proses yang rumit. Tetapi pengaruhnya sangat

positif terhadap kesehatan seseorang.34 Oleh karena itu fenomenologi yang dipakai untuk menganalisa data tersebut lebih menekankan fenomena yang ditunjukkan oleh

pasien dari pada yang digagaskan oleh ilmu kesehatan. Metode penelitian ini

mengarah kepada pertimbangan perilaku dan makna yang ditunjukkan pasien sebagai

subyek penelitian. Pengkajian ini lebih jauh dihubungkan dengan latar belakang

budaya pasien untuk memahami (verstehen) realitas sebagaimana adanya.35

1.7.2. Strategi pengumpulan data

Data yang terkumpul diperoleh dari dua jenis data. Pertama, buku-buku,

      

33

Ibid., hal. 201-213 34

Dr. Beate Jakob,dkk, op.cit., hal. 85 35

Suwardi Endraswara, op.cit., hal. 47

(33)

dokumen-dokumen yang berhubungan dengan penyembuhan nonmedis. Kedua,

pengalaman pengurus kelompok dan orang-orang yang menggunakan jasa para

pelayan penyembuhan dalam kelompok-kelompok persekutuan doa. Untuk

mendapatkan data dari pengalaman mereka, saya melakukan wawancara dan

observasi. 36 

Observasi saya lakukan mendahului wawancara. Kegiatan itu mewajibkan

saya turun ke lapangan penelitian untuk berinteraksi dengan para anggota persekutuan

doa, pengurusnya maupun para simpatisan dan melibatkan diri dalam kegiatan yang

mereka lakukan. Karena itu saya melakukan observasi terlibat (participant observation)37 dengan memberi perhatian pada pengalaman berada bersama (lived experience). Observasitersebut saya lakukan dengan maksud mengamati keadaan yang sebenarnya tanpa tendensi mempengaruhi, mengatur atau memanipulasi keadaan.

Selain observasi, saya pun melakukan wawancara.38 Pada kesempatan tertentu wawancara dilakukan bersamaan dengan observasi. Sehubungan dengan informan

yang diwawancarai, saya menggunakan purposive sampling. Pertimbangannya adalah sampel ditentukan berdasarkan tujuan penelitian. Asumsi di balik penentuan sampel

      

36

Apabila jenis penelitiannya adalah kualitatif dan metode penelitiannya adalah fenomenologi maka peneliti adalah instrumen. Berbeda dari penelitian kuantitatif dimana data yang akan diperoleh lebih tergantung kepada daftar pertanyaan yang telah dirancang dan dibatasi sedemikian rupa. Daftar pertanyaan tersebut bisa saja disampaikan ke responden melalui kurir, pos atau telepon. Namun dalam jenis penelitian kualitatif, kepiawaian seorang peneliti sangat menentukan keberhasilan proses pengumpulan data. Sejalan dengan pandangan manusia sebagai sarana (human as instrument), metode pengumpulan data dalam penelitian kualitatif merupakan perpanjangan dari kegiatan manusia dalam kesehariannya seperti membaca, melihat, mendengar, berbicara dan sebagainya. Kegiatan-kegiatan ini secara metodologis disebut observasi dan wawancara. Keduanya merupakan aktifitas utama yang umumnya dilakukan peneliti dalam proses pengumpulan data kualitatif. bdk. Yvonna Lincoln and Egon G.Guba, Naturalistic Inquiri (California: Sage Publication Inc., 1985) , hal. 226

37

Ibid., hal. 227 38

Observasi adalah kegiatan pengamatan secara terencana untuk menggambarkan kejadian, perilaku, benda artifak yang ada di lokasi penelitian. Sedangkan wawancara adalah suatu percakapan tanya jawab lisan antara dua orang atau lebih yang duduk berhadapan secara fisik dan diarahkan pada suatu masalah tertentu. bdk. Dr.Kartini Kartono, Pengantar Metodologi Riset Sosial ( Bandung : Madura Maju, 1996), hal.254

(34)

ini adalah kesesuaian ciri atau sifat sampel yang dipilih dengan pupulasi yang

hendak diteliti. Purposive sampling didasarkan atas informasi yang mendahului

tentang keadaan populasi (previous knowledge) dan penyelidik hanya mengambil beberapa daerah atau kelompok kunci (key areas, key group or key cluster) secara

intensional.39

Setelah sampel ditentukan berdasarkan tujuan penelitian maka langkah

selanjutnya adalah melakukan wawancara. Wawancara membantu saya menemukan

data yang diperlukan. Namun sebelum melaksanakannya, saya harus membangun

hubungan yang baik dengan para informan agar tercipta rasa saling percaya.

Hubungan itu terjalin ketika saya masuk ke lokasi penelitian melalui ibu pendeta,

bapak polisi dan beberapa orang yang mengetahui lokasi kelompok-kelompok

persekutuan doa. Mereka menghubungkan saya dengan orang-orang yang terlibat

dalam kelompok-kelompok itu baik pengurus maupun anggota dan simpatisan. Ketika

saya sudah dikenal dan dipercayai maka saya dapat melakukan penelitian dan

mengumpulkan data yang diperlukan dalam suasana yang lebih akrab dan bebas dari

berbagai kecurigaan.40

Data yang terkumpul kemudian diolah untuk menemukan generalisasi dari

hal-hal yang bersifat khusus dan memiliki kesamaan dengan situasi-situasi lain. Walaupun

keterangan yang diberikan informan bisa saja bersifat subjektif namun saya berusaha

sedapat mungkin untuk menemukan prinsip yang lebih objektif. Observasi, wawancara

      

39

Prof. Drs. Sutrisno Hadi, MA, Metodologi Research ( Yogyakarta : ANDI, 2002), hal. 82-83

40

Kekawatiran pada awal peneltian adalah kesulitan untuk masuk dan mengikuti kegiatan kelompok-kelompok persekutuan doa. Namun setelah suasananya mencair, kekhawatiran itu hilang dengan sendirinya dan saya diterima dengan sangat baik serta diberi kesempatan yang luas untuk melakukan observasi dan wawancara.

(35)

dan dokumen yang telah terhimpun selanjutnya diolah dengan dukungan kepustakaan

sesuai topik yang dibahas.

1.7.3. Strategi Pengolahan Data

Berdasarkan data yang dihimpun melalui observasi, wawancara, dokumentasi

dan studi pustaka, saya meramunya melalui refleksi dalam kerangka suatu tesis,

dianalisa dan dideskrispikan secara naratif. 41 Dari tesis dan analisa itu, saya berusaha memberikan pertimbangan dan mendeskripsikannya secara kualitatif. Ketika

saya menilai, mengevaluasi dan melakukan deskripsi kualitatif tidak ada acuan baku

dalam analisis naratif fenomenologi. Setiap penulis dapat menggunakan model analisa

sesuai dengan topik yang diteliti. Polkinghorn memberikan pedoman metodologis

dalam mengorganisasi data naratif ke dalam beberapa istilah teknis. Empat hal yang

disebutkannya yaitu sesuai dengan proses refleksif, konfigurasi naratif, membuat plot

dan melalukan konfigurasi ulang. Pokok-pokok tersebut dituangkan dalam proses

konstruksi, integrasi dan analisa data seperti terlihat dalam tabel berikut ini:42 Tabel 1. Proses Konstruksi, Integrasi dan Analisa Data

Data → Konstruksi data I → Konstruksi data II → Konstruksi data III → Analisa data yang terdiri atas: naskah

bdk. Pendapat A.S. Byatt, seorang penulis berkebangsaan Inggris. Ia mengatakan bahwa narasi adalah bagian penting dari ciri-ciri manusia bagaikan nafas dan sirkulasi darah. Narasi melingkupi kehidupan kita sehari-hari. Kita terlahir ke dunia narasi , menjalani kehidupan kita melalui narasi kemudian mendeskripsikannya dalam bentuk narasi. Dalam hal ini narasi berkaitan dengan cara-cara manusia membentuk makna terhadap dunia yang selalu berubah. Lihat, Michael Murray , “ Psikologi Naratif” dalam Jonathan A. Smith, op.cit., hal.219

42

bdk. Mira Noor Milla, op.cit., hal. 5

(36)

biografi yang dipublikasikan; catatan observasi dari lingkungan tempat tinggal dan latar belakang subyek;

artikel atau berita di media massa.

masing subyek

Ketika saya berada di lapangan, saya membangun hubungan dengan informan

dan siap bekerja dengan data. Data yang diperoleh dari wawancara, observasi dan

pengumpulan dokumentasi kemudian dikonstruksikan menjadi data awal. Isinya

adalah narasi tentang pengalaman pribadi dari orang-orang yang terlibat dalam

pelayanan kelompok-kelompok persekutuan doa. Proses konstruksi dilanjutkan

dengan menganalisa dan menemukan tema yang muncul dari masing-masing pasien.

Tema yang diperoleh dari masing-masing pasien selanjutnya dicocokkan dengan

pasien-pasien atau peserta-peserta lain yang terlibat dalam persekutuan doa. Langkah

berikutnya adalah melakukan analisa naratif berdasarkan kesamaan tema antar

subyek ( antar pasien atau peserta persekutuan doa ) untuk menemukan makna

hakikinya.43

1.7.4. Lokasi dan Subyek Penelitian

1.7.4.1. Lokasi Penelitian

Pengambilan data sehubungan dengan praktek penyembuhan nonmedis dalam

kelompok persekutuan doa dilakukan di tiga tempat yaitu Oesapa, Sikumana dan

Penfui. Alasannya adalah di ketiga lokasi tersebut terdapat kelompok persekutuan doa

      

43

Bdk. Ibid

(37)

yang terbanyak dengan aktivitas pelayanan yang terus meningkat. Semuanya berada

di wilayah kota madya Kupang, propinsi Nusa Tenggara Timur.

1.7.4.2. Subyek Penelitian

Di lokasi penelitian, saya berhadapan dengan subyek-subyek penelitian.

Mereka adalah kaum pria dan wanita yang terlibat dalam kelompok-kelompok

persekutuan doa. Aksi-aksi penyembuhan nonmedis dalam kelompok-kelompok

persekutuan doa secara langsung mereka alami. Mengalami langsung berarti mereka

melihat, merasa dan bahkan menjadi obyek aksi-aksi penyembuhan tersebut.

1.8. Sistematika Penulisan

Penulisan tesis yang berjudul Makna Di Balik Fenomena Praktek

Penyembuhan NonMedis Dalam Kelompok Persekutuan Doa Studi Kasus Di

Kupang, Nusa Tenggara Timur disajikan dalam tujuh bab.

Bab pertama merupakan bagian pendahuluan yang memuat latar belakang,

perumusan masalah, tujuan penulisan, relevansi penulisan, tinjauan pustaka, kerangka

teoritis, metodologi penelitian dan sistematika penulisan.

Bab kedua merupakan pemaparan pandangan tentang penyakit dan

penyembuhan dari sudut pandang sistem medis tradisional. Pandangan ini sangat

bermanfaat disajikan mengingat praktek penyembuhan nonmedis tidak terlepas dari

efek-efek religius kultural. Dalam sistem medis tradisional penyakit selalu dipandang

dalam korelasi antara penderita dan masyarakat di sekitarnya. Hal ini didasarkan pada

perbedaan antara penyakit (desease) dan keadaan sakit (illness). Lebih lanjut sebab-sebab penyakit dan keadaan sakit ditentukan berdasarkan sistem medis personalistik

(38)

dan naturalistik. Menurut sistem personalistik penyakit disebabkan oleh agen aktif

yang berwujud makhluk gaib, hantu, roh leluhur, tukang tenung, tukang sihir dan

tukang santet. Sedangkan menurut sistem medis naturalistik penyakit disebabkan oleh

gangguan oleh alam seperti panas, dingin, udara lembab, emosi yang meluap-luap dan

ketidakseimbangan unsur-unsur dalam tubuh. Penyembuhan terhadap jenis-jenis

penyakit tersebut tidak dilakukan dengan cara medis modern melainkan secara

alternatif atau nonmedis. Penanganannya dilakukan oleh paranormal, hipnoterapis dan

dukun. Para praktisi penyembuhan ini memiliki kelebihan dalam pendekatan terhadap

pasien yaitu pola pendekatan manusiawi (holistik). Kehadiran mereka tidak

bermaksud menandingi kemampuan dokter dan perawat dalam menangani berbagai

kasus penyakit. Tetapi usaha mereka melengkapi bagian-bagian yang terabaikan

dalam pelayanan medis modern.

Bab ketiga berisi pemaparan berbagai faktor yang melatarbelakangi

pertumbuhan dan perkembangan kelompok-kelompok persekutuan doa. Berikut profil

kelompok-kelompok persekutuan doa yang diobservasi. Bagian ini ditutup dengan

motivasi orang bergabung di dalamnya.

Bab keempat merupakan deskripsi pelaksanaan ritus-ritus penyembuhan

dalam kelompok-kelompok persekutuan doa. Setiap kelompok menyelenggarakan

ritus penyembuhan dengan tujuan yang sama yakni memohon kesembuhan bagi

pasien. Sedangkan perbedaannya terletak pada tata laksana ritusnya.

Bab kelima memuat respon masyarakat, umat, pendeta, pastor, dokter, tenaga

medis dan pihak keamanan terhadap kehadiran kelompok-kelompok persekutuan doa.

(39)

Bagian ini diakhiri dengan sajian tentang dampak positif dan negatif kehadiran

kelompok-kelompok tersebut.

Bab keenam memuat catatan-catatan reflektif peneliti terhadap

praktek-praktek penyembuhan nonmedis dalam kelompok-kelompok persekutuan doa.

Kesembuhan yang dialami pasien bukan akhir dari suatu usaha pengobatan. Tetapi hal

itu merupakan pintu masuk dalam ruang-ruang makna. Di situ pasien larut dalam

kekosongan eksistensial. Pemulihannya terjadi ketika seseorang mengalami

penyembuhan integral yakni bekerjanya daya ilahi dalam dirinya. Suatu kekuatan yang

memampukan dia menerima dan menghayati penderitaan. Kemampuan ini

menumbuhkan motivasi untuk sampai pada penemuan makna hidup. Pengalaman

perjumpaan dengan Yang

Kudus melalui partisipasi dalam ritus semakin memperdalam upaya tersebut.

Atas cara demikian, orientasi hidup seseorang semakin terarah pada kebenaran sejati.

Pencapaiannya ditempuh melalui tahap pengurbanan agar tercipta keharmonisan

kosmis. Hal itu tidak terlepas dari kepenuhan jiwa seseorang yang telah mencapai

persatuan (via unitiva) dengan Realitas Absolut.

Bab ketujuh adalah kesimpulan dari seluruh pembahasan. Secara umum

praktek penyembuhan nonmedis merupakan “data religius”. Dari situ peneliti

menelusuri makna hakikinya sebagaimana terungkap dalam sistem simbol yang

digunakan dalam ritus penyembuhan. Kegiatan tersebut dilakukan manusia-manusia

religius dalam hubungannya dengan Yang Kudus.

(40)

BAB II

PAHAM KULTURAL TENTANG PENYAKIT DAN PENYEMBUHAN

2.1. Pengantar

Konsep penyakit dan penyembuhan selalu berhubungan dengan dimensi

subyektif-kulturalistik. Kebenaran fakta ini dapat dicermati dari sistem medis

tradisional. Kausalitas penyakit dan penyembuhan menurut sistem ini dijelaskan atas

dasar paham kultural yang bersifat religius magis.44 Karena itu setiap masyarakat memiliki pandangan tentang penyakit dan penyembuhan sesuai pengalaman dan

kebudayaannya. Dalam hal ini penyakit dan penyembuhan yang dirasakan oleh

individu atau masyarakat dari kebudayaan tertentu berbeda dari individu atau

masyarakat dari kebudayaan lain. 45 Pandangan ini berguna untuk mendalami fenomena praktek penyembuhan nonmedis yang pada prinsipnya tidak lepas dari

efek-efek religius kultural.

2.2. Konsep penyakit

Penyakit selalu dialami sebagai pengaruh negatif yang menyerang siapa saja

dan dari lapisan masyarakat mana saja. Fakta memperlihatkan bahwa penyakit

merupakan fenomena kompleks yang selalu saja mengganggu kenyamanan hidup

manusia. 46

Penyakit menghalangi terciptanya pola-pola relasi sosial antara penderita

      

44

G. Haryana, op.cit., hal. 78 45

Moeljono Notosoedirdjo Latipun, Kesehatan Mental Konsep Dan Penerapan ( Malang : UMM Press, 2007),hal.5

46

dr. Benyamin Luminta., Penyakit, Citra, Alam dan Budaya. Tinjauan Fenomena Sosial (Yogyakarta : Kanisius, 1989 ), hal.17

(41)

dan masyarakat di sekitarnya. Masyarakat memiliki cara-cara dalam mendefinisikan

penyakit (desease) yang dibedakan dari keadaan sakit (illness). Penyakit berarti keadaan tubuh yang tidak normal karena sebab-sebab tertentu yang dapat diketahui

dari tanda-tanda dan gejala-gejalanya (sign and symptoms). Keadaan sakit (illness) adalah perasaan pribadi seseorang yang mengalami kesehatannya terganggu, yang

tampak dari keluhan sakit yang dirasakannya seperti tidak enak badan dan sebagainya.

Dalam hal ini, seseorang bisa dikatakan mengidap suatu penyakit tanpa merasa

dirinya dalam keadaan sakit. Sebaliknya ia dapat merasa dirinya dalam keadaan sakit

tanpa mengidap suatu penyakit. Istilah penyakit dan keadaan sakit memperlihatkan sisi

obyektif dan subyektifnya. Sisi obyektif berkaitan dengan tidak berfungsinya organ

tubuh akibat serangan penyakit tertentu. Sedangkan sisi subyektif dihubungkan

dengan perubahan perasaan nyata yang dialami pasien. Pengalaman sakit tidak hanya

berpengaruh pada perubahan biologis tetapi juga keadaan sosial yang dipicu oleh

penyimpangan yang terjadi dan tidak dikehendaki. Orang sakit disebut melakukan

perilaku menyimpang karena ia tidak dapat berbuat sesuatu. 47

2.3. Etiologi penyakit secara kultural48

Penyakit ditumbulkan oleh berbagai sebab dan dapat menyerang ke sebagian

atau ke seluruh tubuh. Pengetahuan tentang sebab-sebab penyakit merupakan tuntutan

      

47

Ibid.,hal 179 - 180 48

Etiologi secara leksikal berarti ilmu yang mempelajari asal usul dan sebab suatu penyakit. (lih.Drs.Peter Salim dan Yenny Salim, op.cit.,hal.409). Bila dipandang dari segi kedokteran, etiologi berarti salah satu bagian ilmu kedokteran yang mempelajari sebab atau dasar terjadinya suatu penyakit. Penyebab suatu penyakit pada orang tertentu tidak terbatas pada penyebab langsungnya, seperti kuman tbc merupakan penyebab langsung penyakit tbc; penyebab penyakit juga meliputi faktor-faktor penunjang lainnya seperti keadaan kesehatan, kondisi kerja, lingkungan rumah, riwayat keluarga orang tersebut dan lain-lain. (lih. dr.E.Nugroho, Dicky Soetady (eds.), Ensiklopedi Nasional Indonesia

(Jakarta : PT. Delta Pamungkas, 1997 ), hal. 211).

(42)

mutlak bagi para pelaku penyembuhan. Hal ini bertujuan agar mereka dapat

menemukan apa yang menggangu hubungan sosial pasien, ketidakseimbangan alam

dan nasib buruk yang menimpa pasien.

Dalam sistem medis tradisional, etiologi adalah kerangka kognitif pada

masyarakat-masyarakat nonBarat yang penting untuk “menjelaskan” tentang adanya

penyakit.49 Foster dan Anderson berpendapat bahwa pada masyarakat yang disebut

tribal, peasant dan preindustrial, etiologi penyakit merupakan konsep kausalitas penyakit yang bertitik tolak pada sistem medis personalistik dan naturalistik.50 Kedua sistem ini memaparkan konsep-konsep kausalitas yang juga mencakup pembahasan

tentang seluruh sistem medis ( seluruh tingkah laku yang berhubungan dengan

pandangan tersebut ).51

2.3.1. Sistem medis personalistik

Menurut sistem medis personalistik, penyakit berasal dari agen aktif baik

dalam bentuk makhluk supranatural (makhluk gaib atau dewa), makhluk yang bukan

manusia (seperti hantu, roh leluhur atau roh jahat) maupun makhluk manusia (tukang

sihir, tukang tenung atau tukang santet). Korban serangan penyakit adalah orang yang

menderita sakit sebagai obyek agresi atau hukuman khusus kepadanya. Agen-agen

aktif itu memakai cara-cara tertentu untuk menjatuhkan kekuatan mereka pada

penderita. Menurut Leonard B. Glick agen-agen itu dapat berupa makhluk manusia

(manusia super) atau bukan manusia. Mereka dapat menyusuri alam natural dan

      

49

George M.Foster, Barbara Gallatin Anderson, Antropologi Kesehatan. Terjemahan Priyanti Pakan Suryadarma, Meutia Hatta Swasono (Jakarta : Universitas Indonesia, 1986), hal.63

50

Naniek Kasniyah, Etiologi Penyakit Secara Tradisional Dalam Alam Pikiran Orang Jawa

( Yogyakarta : Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, 1985) , hal.2 51

George M.Foster, Barbara Gallatin Anderson, op..cit.,hal.64 - 65

(43)

supranatural. Tukang tenung maupun makhluk supranatural seperti hantu, setan dan

tukang sihir berpotensi menghadirkan berbagai penyakit pada masyarakat setempat. 52 Mereka biasanya menghadirkan kuasa gelap pada penderita yang sangat berpengaruh

pada ketidaksimbangan dalam tubuhnya. 53 Bentuk-bentuk kuasa gelap yang menyerang penderita dapat disebutkan sebagai berikut :54

1. Energi negatif

Energi negatif yang dikirim ke organ-organ tubuh penderita bertujuan

untuk merusakannya. Bila energi negatif masuk ke jantung atau paru-paru

maka penderita mengalami sesak nafas. Bila energi negatif masuk ke ginjal

maka kaki si penderita akan terasa amat sakit sehingga tidak dapat berjalan.

Bila energi negatif masuk ke perut maka perut si penderita akan terlihat

seperti menggelembung.

2. Program negatif

Setiap jenis kiriman memiliki program negatifnya. Ada program negatif

yang dikirim ke organ-organ tubuh penderita untuk menimbulkan rasa sakit.

Program negatif berupa kubus yang dikirim ke organ vital dapat

mengakibatkan rasa ngilu dan kehilangan gairah seks.

3. Lingkaran belerang

Lingkaran belerang yang dikirim oleh agen-agen ke bagian tubuh

penderita akan menimbulkan sakit kepala, mata, telinga, jantung, kanker,

paru-paru, kanker payu dara, sakit perut, mencret, gatal-gatal, tumor di

      

52 Ibid. 53

Ir. Fred Andries (ed.), op.cit., hal. 63 54

Ibid.

(44)

rongga perut dan mengganggu metabolisme tubuh. Para atlet yang

berprestasi sangat mewaspadai lingkaran berlerang ini sebab menimbulkan

rasa sakit ketika berjalan-jalan dan sebagainya. Organ tubuh vital yang

terjaring lingkaran belerang akan menjadi frigid para kaum perempuan dan

impotensia pada kaum laki-laki.

4. Benda-benda tajam

Benda-benda tajam seperti jarum yang dikirim para agen dapat

menyebabkan infeksi pada kaki, tangan dan pada organ tubuh bagian

dalam. Bila benda tajam dikirim ke jatung maka penderita akan mengalami

akibat yang sangat fatal.

5. Boneka atau foto

Para agen memanfaatkan boneka atau foto sebagai sarana untuk

menebarkan penyakit pada penderita. Bagian tubuh tertentu pada boneka

atau foto ditusuk jarum. Pada saat itu juga, penderita merasa sakit di bagian

tubuh tersebut.

6. Angin negatif atau angin duduk

Bila angin negatif masuk di perut dan tidak bisa keluar maka penderita

akan mengalami sakit perut dan berlanjut pada mencret. Rasa sakit yang

terus bertambah akan mengakibatkan kematian penderita.

7. Roh penderita dimasukkan dalam botol

Dukun memasukan roh penderita ke dalam botol sehingga penderita

menjadi lemas dan kehilangan tenaga. Keadaan ini lambat laun dapat

mengakibatkan kematian.

(45)

8. Induksi

Dukun meminjam tubuh seseorang (orang yang menyuruh mengirim energi

negatif) dan menyakiti bagian-bagian tubuhnya. Orang yang dipinjam

tubuhnya tidak merasa sakit karena disediakan protektornya. Tetapi

penderita merasa sakit. Dukun yang melakukan tindakan ini adalah dukun

yang berilmu tinggi.

9. Sinar putih yang panas

Sinar putih yang panas dikirim ke organ-organ tubuh penderita dengan

maksud untuk merusakkannya.

10.Shield negatif (pagar negatif )

Shield negatif yang dikirim ke tubuh penderita dapat menimbulkan

penumpukan energi negatif. Semua penyakit bermuculan sehingga penderita

merasa lemas. Shield negatif dapat dikirim ke mobil, rumah maupun

benda-benda lainnya.

11.Dimensi

Semua energi negatif yang melayang-layang di udara oleh agen diundang

masuk ke tubuh penderita. Akibatnya semua jenis penyakit mulai

menggerogoti tubuh penderita sampai penderita merasa lemas. Dimensi

dapat dikirim ke mobil, rumah dan benda-benda lainnya.

12.Media

Media dapat dikirim oleh tukang santet ke dalam tubuh seseorang atau

ke benda-benda lain di sekitar kita. Media dapat pula dikirim ke pintu

rumah atau pintu mobil penderita. Setiap kali melalui pintu tersebut,

(46)

penderita langsung “tertembak” program negatif yang dikirim oleh

tukang-tukang santet.

13.Kaki belerang

Jin kuning dianggap sebagai penyebab kaki belerang dan berdiri di dekat

kaki penderita. Gejala yang tampak adalah rasa panas di kaki dan telapak

kaki menjadi besar. Belerang ini menyebar dan naik ke seluruh tubuh.

Penderita yang diserang belerang dapat terkena penyakit mencret. Semakin

luas daya jelajah belerang semakin banyak organ tubuh yang

dirusakkannya.

Jenis kuasa gelap lain yang dapat menyebabkan seseorang jatuh sakit adalah

serangan pelet. Pelet adalah tindakan untuk memikat hati lawan jenis dengan memakai

guna-guna.55 Penderita yang terserang pelet mengalami kerugian karena kehendak bebasnya “dikontrol” oleh orang lain. Tujuan si pengirim memelet seseorang adalah

meraih harta yang dimiliki si penderita, harapan mendapat setumpuk materi bila

menikah dengan si penderita, kebanggaan untuk mendapat si penderita yang cantik

dan terkenal. Pemelet dapat menggunakan makanan dan minuman sebagai media

untuk menyalurkan guna-guna kepada si penderita. Pengiriman guna-guna dapat pula

dilakukan dengan menggunakan media paku besar berkepala segi empat yang

melambangkan paku peti mati. Paku besar itu ditancapkan dari alis sebelah kiri ke

indung telur kiri untuk wanita atau ke buah zakar kiri untuk pria. Tindakan ini

berakibat pembengkakan pada indung kiri atau buah zakar kiri si penderita. Serangan

pelet yang sangat kuat dapat membuat penderita seperti kerbau dicocok hidungnya.

      

55

Drs. Peter Salim dan Yenny Salim,op.cit., hal. 1120

Gambar

Tabel 1. Proses  Konstruksi, Integrasi dan Analisa Data
Tabel  2. Perbedaan  cara penyembuhan medis  dan  nonmedis
Tabel 3.  Tipe-tipe  derajat penerimaan sugesti  klien
Gambar  ruang doa  tokoh sentral kelompok persekutuan doa Perjamuan Surgawi
+2

Referensi

Dokumen terkait