KATA PENGANTAR
Masyarakat kerap kali dihadapkan pada berbagai fenomena. Salah satu di
antaranya adalah praktek penyembuhan nonmedis dalam kelompok-kelompok
persekutuan doa. Daya pikatnya adalah “penyembuhan ajaib” yang disalurkan kepada
pasien oleh tokoh karismatis kelompok. Tentu saja model penyembuhan tersebut sulit
dijelaskan dan diterima oleh akal manusia. Namun sesuatu yang sulit dan aneh itu
benar-benar terjadi. Bahkan di balik pengalaman yang ajaib itu terkandung makna
dan pesan-pesan penting bagi kehidupan.
Fenomena tersebut menggelitik rasa ingin tahu penulis. Dengan berbagai
upaya yang dilakukan, penulis dapat merampungkan penelitian dan meramunya
dalam tesis bertajuk Makna Di Balik Fenomena Praktek Penyembuhan Nonmedis
Di Kupang, Nusa Tenggara Timur. Penulis sungguh menyadari bahwa penulisan
tesis ini tidak terlepas dari dukungan dan bantuan berbagai pihak.
Syukur dan terima kasih penulis haturkan ke hadapan Allah Tritunggal
Mahakudus atas berkat dan bimbinganNya sehingga penulisan tesis ini dapat
diselesaikan dengan sebaik-baiknya.
Terima kasih penulis sampaikan kepada Vikariat Ordo Karmel Tak Berkasut
Indonesia, lembaga kerohanian tempat penulis bernaung yang telah memberi
kesempatan dan dukungan bagi penulis untuk menjalani tugas belajar pada
program studi Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Terima kasih kepada pihak pengelola program pasca sarjana Ilmu Religi dan
Budaya, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta yang telah menerima penulis
menimba ilmu di bidang kajian tersebut.
Terima kasih kepada Direktur, Ketua dan Sekretaris beserta para dosen dan
karyawan Program Pasca Sarjana Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata
mengatur serta memperlancar semua urusan perkuliahan sampai dengan penyelesaian
penulisan ini.
Terima kasih kepada Bapak Dr. George Aditjondro, Rm.Dr. Baskara T.
Wardaya, SJ , Ibu Stefani Haning, MA yang telah memberi dorongan kepada
penulis untuk mengembangkan topik tulisan tesis ini.
Terima kasih kepada Bapak Dr.Budiawan dan Ibu Dr. Katrin Bandel yang
telah mendampingi dan mengarahkan penulis mulai dari usulan judul, penulisan
proposal hingga pelaksanaan penelitian lapangan.
Terima kasih yang sedalam-dalamnya disampaikan kepada Rm. Dr. Hary
Susanto,SJ selaku pembimbing pertama dalam proses pengerjaan tesis ini yang telah
meluangkan banyak waktu, tenaga dan dengan kesabaran serta ketelitian mendampingi
dan mengarahkan penulis sehingga penulisan tesis ini dapat diselesaikan dengan
baik.
Terima kasih kepada Rm. Dr. G. Budi Subanar, SJ selaku pembimbing
kedua atas semua sumbangan saran dan masukan yang memperlancar penyelesaian
penulisan tesis ini.
Terima kasih kepada dewan penguji yang terdiri dari Rm.Dr.Hary Susanto,SJ
( Penguji I), Rm.Dr.G.Budi Subanar, SJ (Penguji II), Bapak Dr. St.Sunardi (Penguji
III), dan Ibu Yustina Devi Ardhiani,M.Hum ( Moderator).
Terima kasih kepada para petugas perpustakaan dan ruang baca : Universitas
Sanata Dharma Yogyakarta, Fakultas Teologi Wedhabakti-Kentungan, Kolese
St.Ignatius (KOLSANI) Kotabaru dan program pasca sarjana Ilmu Religi dan
Budaya,Universitas Sanata Dharma yang telah dengan sabar dan tulus hati membantu
penulis mencarikan dan meminjamkan buku yang penulis perlukan untuk menunjang
pengolahan materi tulisan ini.
Terima kasih kepada para informan yang dengan ikhlas hati telah bekerja
sama dan membantu penulis dalam memberikan berbagai keterangan yang diperlukan
MAKNA DI BALIK
FENOMENA PRAKTEK PENYEMBUHAN NONMEDIS DALAM KELOMPOK-KELOMPOK PERSEKUTUAN DOA
( Studi Kasus Di Kupang, Nusa Tenggara Timur )
Pada tahun 2004, warga kota Kupang dikejutkan oleh suatu peristiwa tragis. Maria Tefa, seorang ibu rumah tangga ditemukan tewas di tangan pelaku penyembuhan dalam kelompok persekutuan doa. Yang unik dari peristiwa itu adalah praktek penyembuhan nonmedis yang berlangsung dalam kelompok persekutuan doa. Ini adalah fenomena menarik untuk diteliti.
Dengan memanfaatkan metode fenomenologi religi dan pendekatan kualitatif, fenomena tersebut dijadikan dasar untuk menelusuri praktek-praktek penyembuhan nonmedis dalam kelompok-kelompok persekutuan doa yang begitu marak di kota Kupang,Nusa Tenggara Timur. Sampel penelitiannya adalah enam kelompok persekutuan doa. Arah dasarnya adalah pendeskripsian “data-data religius” dan makna hakiki di balik praktek penyembuhan nonmedis dalam kelompok-kelompok persekutuan doa. Makna diperoleh melalui kegiatan intuisi yang berlangsung dalam diam dan didasarkan pada dua prinsip pokok dalam fenomenologi agama yakni epoche dan eidetik.Prinsip epoche berarti apa yang sudah dikonsepkan sebelumnya ditempatkan dalam kurung sampai fenomena itu berbicara untuk dirinya sendiri. Sementara prinsip eidetik berarti
dari suatu fenomena ditelusuri makna hakikinya. Proses pemaknaannya bertolak dari kata-kata, simbol-simbol dan tindakan-tindakan manusia religius dalam relasinya dengan Yang Kudus. Semuanya dialami dan ditemukan dalam waktu dan suasana sakral yang berbeda dari pengalaman sehari-hari.
THE MEANING BEHIND
THE PHENOMENA OF NONMEDICAL HEALING PRACTICE IN PRAYER GROUP COMMUNITIES
( A Case Study in Kupang, East Nusa Tenggara )
In 2004, the people of Kupang was shocked by a tragic incident of Maria Tefa, a housewife who was found dead in the hand of nonmedical healing practitioner of a prayer group community. The uniqueness of this incident was that, the practice of nonmedical healing is conducted in prayer group community. It is an interesting phenomena to study.
By using the method of phenomenology and qualitative approach, this phenomena has become the basis for investigation of the nonmedical healing practice in prayer group communities to which, the people of Kupang city, at East Nusa Tenggara are flocking . The resources of samples of the research are six prayer group communities. The primary direction is the description of “religious data” and fundemantal meanings behind the practice of nonmedical healing in prayer group communities. The meanings are gained through intuitive activity of which conducted in silence and based on two main principles in phenomenology of religion i.e. epoche and eidetic. The epoche principle means what has been conceptualized before it is enclosed or encirlcled until the phenomena speaks for itself. The eidetic principle means searching for the essential meaning of a phenomena. The process of interpretation is initiated from words, symbols, and religious human actions in the relationship to the Holy one. Everything is experienced and founded in the atmosphere which is sacred but in different times in daily experience.
The sacred atmosphere is facilitated in the healing rites by prayer group communities itself. In it, the patient may find new values. They consider a medication is not a final terminal. Instead, it is a turning point to find out the existence and the meaning of life which has been lost. The patients who are prayed over not only they have a physical recovery. But they are convinced to accept and understand the meaning of their decease in case the physical recovery does not happen. It can be seen in their changed attitude towards the decease sufferings of which he is undergoing . Decease is not more a burden to depress their life; rather it is a medium to achieve the eternal truth. The recovery happened in themselves is related to the supernatural and has holy in its character. Basically it is a (faith factor) and lives appropriately before the Absolut Reality. This awareness can open a way for human beings to experience the “paradise” in order to becomes their life more meaningful. Thus, the causality of illness and healing is a way to fulfill the deepest hunger in their souls. It is resulted by the cultural effects of the personal relation with the cosmos, neighbours, ancestors and the Holy one. All of these are directed to a cosmic unity ( via unitiva ).
Key words: Meaning, Nonmedical healing, Prayer group Communities, Patients, Practitioner, epoche and eidetic principles.
DAFTAR ISI
Halaman Judul………...i
Halaman Persetujuan Ujian ………ii
Lembar Pengesahan ………....iii
Lembar Pernyataan ………...iv
Lembar Motto ……….v
Kata Pengantar………vi
Intisari ………. ix
Abstract ……… x
Daftar isi ……… xi
BAB I PENDAHULUAN………...1
1.1. Latar Belakang ………1
1.2. Identifikasi Masalah ………2
………....3
enulisan………..4
…...4
tis………....10
……..16
……….20
1.3. Tujuan Penulisan……… 1.4. Relevansi P 1.5. Tinjauan Kepustakaan……… 1.6. Kerangka Teore 1.7. Metodologi Penelitian ………13
1.7.1. Jenis Penelitian……….14
1.7.2. Strategi pengumpulan data……… 1.7.3. Strategi Pengolahan Data……….19
1.7.4. Lokasi dan Subyek Penelitian………
1.7.4.1. Lokasi Penelitian………
1.7.4.2. Subyek Penelitian………..21
………...20
………... 24
2.3.2. Sistem medis naturalistik ……… 31
2.4. Terapi alternatif ………. 34
pi alternatif ……… 36
……….. 36
2.4.3. Penyembuh-penyembuh lain………. 42
2.5. Penyembuhan yang mengutuhkan………. 49
2.6. Rangkuman ………52
BAB III POTRET KELOMPOK-KELOMPOK PERSEKUTUAN DOA ………... ……53
3.1. Pengantar ……… 53
3.2. Latar belakang terbentuknya kelompok-kelompok persekutuan doa ………. 53
3.3. Profil kelompok-kelompok persekutuan doa………... 56
3.3.1. Kelompok Persekutuan Doa Anugerah ………... 57
3.3.2. Kelompok Persekutuan Doa Bukit Sion ………..62
1.8. Sistematika Penulisan ……….21
BAB II PAHAM KULTURAL TENTANG PENYAKIT DAN PENYEMBUHAN…….. 24
2.1. Pengantar………...24
2.2. Konsep penyakit…… 2.3. Etiologi penyakit secara kultural ……… 25
2.3.1. Sistem medis personalistik……….. 26
2.4.1. Metode-metode tera 2.4.2. Penyembuhan natural dan supranatural .……… 2.4.3.1. Paranormal………..… 42
2.4.3.2. Hipnoterapis ……….. 43
2.4.3.3. Dukun ………. 45
3.3.3. Kelompok Persekutuan Doa Perjamuan Surgawi... 64
3.3.6. Kelompok Persekutuan Doa Konggregasi Bunda Hati Tersuci Maria …. 78 DALAM KELOMPOK-KELOM 4.1. Pengantar………. 85
4.2. Ritus penyembuhan dalam kelompok-kelompok persekutuan doa……….. 86
4.2.1. dalam kelom 4.2.2 Penyelengaraan ibadat penyembuhan pok Persektuan Doa Perjamuan Surgawi……….. 110
kelompok Persekutuan Doa kelompok 3.3.4. Kelompok Persekutuan Doa Bunda Sang Sabda Di Timor……….67
3.3.5. Kelompok Persekutuan doa De Colores .……….71
3.4. Motivasi orang yang datang ke kelompok persekutuan doa ………. 82
3.5. Rangkuman ……….83
BAB IV RITUS PENYEMBUHAN NONMEDIS POK PERSEKUTUAN DOA ………. 85
Penyelengaraan pelayanan persekutuan umum pok Persekutuan Doa Anugerah ………. 86
dalam kelompok Persekutuan Doa Bukit Sion……… 100
4.2.3. Penyelenggaraan doa penyembuhan pasien dalam kelom 4.2.4. Pelayanan doa penyembuhan pasien dalam Bunda Sang Sabda di Timor ………... 119
4.2.5. Penyelenggaraan latihan olah nafas tenaga dalam kelompok Persekutuan Doa De Colores ………....129
4.2.6. Penyelenggaraan doa penyembuhan pasien dalam Persekutuan Doa Konggregasi Bunda Hati Tersuci Maria………... 142
4.3. Rangkuman……… 159
BAB V
PERSEPSI MASYARAKAT DAN DAMPAK
KEHADIRAN KELOMPOK-KELOMPOK PERSEKUTUAN DOA ……… 160
………... 161
………...162
5.1.3. Persepsi pihak keamanan……….. 166
pak kehadiran kelompok-kelompok persekutuan doa………. 167
……….. 167
EFLEK .5. Perj .6. Asp kuman ………188
5.1. Pengantar………160
5.1. Persepsi warga masyarakat dan warga Gereja …… 5.1.1. Persepsi pimpinan Gereja ………...162
5.1.1.1. Pendeta ……… 5.1.1.2. Pastor………. 163
5.1.2. Persepsi dokter dan petugas kesehatan………..164
5.2. Dam 5.2.1. Dampak positif ……… 5.2.2. Dampak negatif……….. 169
5.3. Rangkuman ………171
BAB VI R SI ATAS FENOMENA PRAKTEK PENYEMBUHAN NONMEDIS DALAM KELOMPOK-KELOMPOK PERSEKUTUAN DOA ………... 173
6.1. Pengantar………173
6.2. Kekosongan eksistensial ……….. 173
6.3. Penyembuhan integral ………. 175
6.4. Pencarian makna hidup ……….. 176
6 umpaan dengan Yang Kudus ………. 177
6 ek kurban ……….185
6.7. Konsep keselamatan ………. 187
6.8. Rang
BAB VII
KESIMPULAN ……… 191
DAFTAR PUSTAKA ……….... 199
DAFTAR INFORMAN DAN PENGHUBUNG ……….. 204
LAMPIRAN
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sakit dan penyembuhan merupakan fakta universal yang selalu dialami oleh
siapa saja, kapan saja dan dalam masyarakat mana saja.1 Sakit bisa saja disebabkan oleh virus dan bakteri. Tetapi ada pula sakit yang disebabkan oleh kekuatan gaib
yang tidak diketahui dari mana asalnya. Jenis penyakit ini biasanya ditangani oleh
dukun atau paranormal. Bahkan ada pula yang memanfaatkan jasa pelayan
penyembuhan dalam kelompok-kelompok persektuan doa.
Penyembuhan pada Maria Tefa, seorang ibu rumah tangga di Kupang, Nusa
Tenggara Timur adalah salah satu contoh penggunaan jasa pelayan penyembuhan.
Aksi pelayan penyembuhan ternyata mengantarnya ke gerbang kematian. Berdasarkan
penyidikan polisi di lokasi kejadian, kematian korban berawal dari hasil diagnosa
praktisi penyembuhan. Menurut keterangan pelaku, korban mengidap penyakit yang
disebabkan oleh serangan kuasa iblis. Karena itu tubuhnya dihujani pukulan
bertubi-tubi dengan batang damar. Tujuannya adalah kuasa iblis itu dapat dikeluarkan
dari tubuhnya. Namun kenyataannya korban meninggal seketika.2
Hal yang menarik dari kejadian tersebut adalah penyelenggaraan praktek
penyembuhan dalam kelompok persekutuan doa. Daya pikatnya terletak pada pelayanan doa penyembuhan. Kegiatan ini berpusat pada pelayanan Firman
dan permohonan bagi kesembuhan orang-orang sakit. Pelaku utamanya adalah
1
bdk.Chatarina Pancer Istiyani, Tubuh Dan Bahasa, Aspek-Aspek Linguistis Pengungkapan Pandangan Masyarakat Lewolema Terhadap Kesehatan(Yogyakarta : Galang Press, 2004), hal.113
2
Peristiwa penyembuhan Ibu Maria sempat menjadi menu berita hangat di berbagai media lokal. Ketika itu penulis sedang menjalani tugas pelayanan di Kupang, NTT.
seorang figur sentral yang diyakini memiliki “karunia penyembuhan”.
Penyembuhan pun “terjadi secara ajaib”.3
Tentu saja gejala ini menarik untuk diteliti tidak hanya dari sisi psikologis,
ekonomis maupun politis. Tetapi ada sudut pandang lain yang dapat digunakan
yakni fenomenologi. Perspektif ini dimanfaatkan sebagai pisau analisis untuk membedah fenomena religius.
Kajian yang bertumpu pada fenomena religius berawal dari asumsi bahwa
penyembuhan nonmedis dalam kelompok-kelompok persekutuan doa bukan
semata-mata mengandalkan kemampuan para pelayan penyembuhan. Tetapi ada kekuatan
lain yang melampaui batas kekuatan manusia. Kekuatan adikodrati itu diyakini
menghasilkan efek-efek terapis pada pasien yang tersalur melalui para pelayan
penyembuhan. Di tangan mereka pasien mengalami kesembuhan. Inilah saat dimana
pasien mengalami titik balik dalam hidupnya Pengalaman sembuh membuka jalan
bagi pasien untuk menemukan makna hakiki dalam hidupnya. Di sini sebetulnya
terletak landasan studi yang kemudian dikemas dalam tema “Makna Di Balik
Fenomena Praktek Penyembuhan Nonmedis Dalam Kelompok Persekutuan Doa
Studi Kasus Di Kupang, Nusa Tenggara Timur”.
1.2. Identifikasi Masalah
Topik tersebut dijadikan titik tolak untuk menjawab pertanyaan mengapa
terjadi fenomena praktek penyembuhan nonmedis di Kupang, Nusa Tenggara Timur?
Pertanyaan pokok ini dapat dirinci menjadi beberapa pertanyaan sebagai berikut :
3
bdk. P.Hendrik Njiolah, Pr., Fenomena Penyembuhan Dalam Kitab Suci (Yogyakarta : Yayasan Pustaka Nusatama, 2006), hal.5-6
1. Kapan praktek penyembuhan nonmedis mulai berkembang di kota
Kupang?
2. Siapakah pendukung praktek penyembuhan nonmedis itu?
3. Bagaimana praktek penyembuhan nonmedis itu dilakukan?
4. Apa sebab masyarakat kota Kupang tertarik pada praktek penyembuhan
nonmedis melalui kelompok persekutuan doa?
5. Apa dampak praktek penyembuhan nonmedis dalam kelompok
persekutuan doa bagi warga kota Kupang?
6. Apa makna terdalam di balik praktek penyembuhan nonmedis itu?
1.3. Tujuan Penulisan
Berdasarkan pertanyaan-pertanyaan di atas, tujuan penelitian ini dapat
dirumuskan sebagai berikut :
1. Mencari dan mengungkapkan fenomena praktek penyembuhan
nonmedis dalam kelompok-kelompok persekutuan doa.
2. Mengetahui dan mengungkapkan pihak-pihak yang memanfaatkan cara
penyembuhan nonmedis dan apa yang melatarbelakangi mereka
menempuh cara itu.
3. Mengetahui dan menganalisa dinamika praktek penyembuhan nonmedis
dalam kelompok persekutuan doa dan dampaknya bagi warga kota
Kupang.
4. Menganalisa dan menemukan makna di balik praktek penyembuhan
nonmedis.
1.4. Relevansi Penulisan
Penulisan ini mempunyai beberapa relevansi antara lain:
1. Dari segi praktis: penelitian ini akan menjadi sumbangan pemikiran
bagi warga kota Kupang agar dapat menyimak makna di balik berbagai fenomena terutama yang berkaitan dengan aksi-aksi
penyembuhan nonmedis.
2. Dari segi akademis : penelitian ini diharapkan dapat memacu para
akademisi untuk menentukan sikap di hadapan berbagai fenomena
yang berkembang di tengah masyarakat. Selain itu mereka dibantu
untuk tidak sekedar memberi kritik tanpa dasar atau menghadapinya
tanpa bersikap kritis.
1.5. Tinjauan Kepustakaan
Praktek penyembuhan nonmedis bukan sesuatu yang asing bagi masyarakat.
Hal ini dapat dibuktikan dengan diterbitkannya beragam buku dan artikel yang
membahas aksi-aksi penyembuhan nonmedis. Semua berupaya menggambarkan sebab
musabab penyakit dan cara penanggulangannya. Ketika tesis ini dipersiapkan
pengerjaannya ternyata sudah ada tulisan yang secara khusus membahas studi kasus
penyembuhan. Artikel yang berjudul Therapeutis Resources In Bali : A Case Study On The Choice Of Medical Practitioners karya Francoise Grance-Piovesan merupakan contoh yang berhubungan dengan praktek penyembuhan nonmedis. Namun penelitian
yang dilakukannya masih terfokus pada peran para praktisi penyembuhan dari sudut
pandang antropologi. 4
Hal tersebut dapat ditemukan pula pada buku karya Michael Winkelman dan
Philip M. Peek yang berjudul Divination and Healing Process. Buku ini mendeskripsikan rincian proses penyembuhan secara esoterik yang menghasilkan
efek-efek terapis di Afrika. Kehadiran daya adikodrati dalam penyembuhan semakin membukan jalan bagi pasien untuk menemukan kesehatannya kembali.5
Kuatnya dimensi antroplogis dapat pula dicermati dari skripsi G. Haryana yang
berjudul Konsep Kausalitas Sakit dan Penyembuhannya: Suatu Tinjauan Kognitif (Studi Kasus Empat Orang Dukun). Ia berpendapat bahwa aksi penyembuhan yang dilakukan dukun bersumber pada etiologi penyakit baik personalistik maupun
naturalistik. Pengetahuan tersebut diperolehnya dari makhluk halus yang memasuki
tubuhnya. Makhluk halus memasuki tubuh sang dukun ketika ia mencapai puncak
kekhusukan dalam tapa, doa dan pengucapan mantera sehingga tabir penyekat alam
gaib terbuka. Dalam kondisi ini, sang dukun memperoleh petunjuk untuk memahami
sistem teori penyakit dan pengobatan secara gaib.6
Pengobatan secara gaib dapat juga dibaca pada buku yang berjudul Karunia Penyembuhan Damianus Wera. Buku ini memaparkan berbagai peristiwa dan metode penyembuhan yang dilakukan oleh Daminanus Wera dengan menggunakan pisau
4
Francoise Grance-Piovesan,“Therapeutis Resources In Bali : A Case Study On The Choice Of Medical Practitioners” , Indonesia Circle, No.66. 1995, hal. 109-120
5
Michael Winkelman, Philip M. Peek (eds.), Divination and Healing Process : Potent Vision (Tucson : The University of Arizona Press, 1984), hal.3-4
6
G. Haryana,“Konsep Kausalitas Sakit dan Penyembuhannya : Suatu Tinjauan Kognitif ( Studi Kasus Empat Orang Dukun )”. Skripsi S-1, Fakultas Sastra Universitas Gajah Mada Yogyakarta,1991., hal.79
dapur, cutter, pinset, selang dan perban. Alat-alat itu dipergunakannya untuk
membedah pasien. Yang menakjubkan adalah pembedahan pasien dalam waktu lima
menit tanpa dibius dan tanpa menimbulkan rasa sakit. Luka bedahnya pun tidak
berbekas. Dari pembedahan yang dilakukannya, Damianus Wera mengeluarkan kawat,
paku, beling, silet, lidi dan benang. Benda-benda ini masuk dalam tubuh pasien
melalui santet. Pengobatan secara gaib dilakukan Damianus Wera sejak tahun 1986.
Jumlah pasein yang diobatinya lebih dari 100.000 orang. Mereka adalah orang-orang
yang berlatarbelakang berbeda mulai dari kaum papa, artis, dokter, jendral hingga
presiden dan mantan presiden. Semua itu dilakukan Damianus Wera dengan kekuatan
“karunia” yang diterimanya dari Tuhan dan diwariskan melalui sang ayah,Ware Ratu.
Itulah sebabnya ia selalu mengatakan kepada para pasiennya bahwa dirinya bukan
“dokter” melainkan Tuhan sendirilah yang menyembuhkan mereka. Pengakuan ini
membentangkan di hadapan para pembaca akan adanya fakta dan praktek religius.
Hal terkahir inilah yang turut berperan dalam penyembuhan pasien.7
Buku lain yang memberi gambaran penyembuhan berdimensi religius adalah
Rahasia Penyembuhan Natural Dan Divine yang diterbitkan oleh Yayasan Rescue Indonesia. Gambaran mengenai sebab penyakit dan metode penyembuhan nonmedis
dipaparkan secara jelas dan sistematis. Namun kehadiran buku ini tidak menandingi
terapi-terapi medis melainkan melengkapi dimensi yang terabaikan dari ilmu
kedokteran modern.8
7
Yosef Tor Tulis, Karunia Penyembuhan Daminus Wera (Jakarta : Jetpress, 2007), hal.124-125
8
Ir.Fred Andries(ed.),Rahasia PenyembuhanNatural Dan Divine (Jakarta : Yayasan Rescue Indonesia,1999), hal.3-5
Hal tersebut berhubungan dengan konsep penyembuhan yang luas.
Penyembuhan pasien tidak hanya berkaitan dengan segi fisiknya saja. Tetapi juga
sikap pasien berhadapan dengan penyakitnya. Seseorang dapat mengalami
kesembuhan kalau ia tidak kehilangan makna hidup dalam penderitaan dan panyakit.
Di sini pasien menghadapi “sakit dangan cara sehat”. Kenyataan ini dapat ditemukan
pada sebuah buku yang berjudul Penyembuhan Yang Mengutuhkan Dimensi Yang Terabaikan Dalam Pelayanan Medis karya Dr. Beate Jacob dan kawan-kawan.9
Pengalaman penyembuhan yang mengutuhkan tidak lepas dari penggunaan
bahasa. Hal ini diperlihatkan oleh Chatarina Pancer Istiyani dalam bukunya yang
berjudul Tubuh Dan Bahasa, Aspek-Aspek Linguistis Pengungkapan Pandangan Masyarakat Lewolema Terhadap Kesehatan. Ia menyebutkan bahwa bahasa merupakan salah satu unsur pokok kebudayaan dan mengandung simbol-simbol.
Bahasa mengungkapkan kekayaan budaya suatu masyarakat. Atas dasar pemikiran ini,
ia menganalisa pandangan masyarakat Lewolema, Nusa Tenggara Timur sehubungan
dengan konsep kesehatan. Ia mendasarkan analisanya pada tiga unsur semantik dasar
yakni kesehatan, sakit dan penyembuhan. Ternyata masyarakat Lewolema telah lama
mengenal dan mewariskan pandangan tentang kesehatan yang diekspresikan lewat
bahasa setempat. Ungkapan-ungkapan tentang kesehatan tidak hanya berhubungan
dengan kesehatan fisik tetapi juga kesehatan mental. Bahasa berperan dalam
menghasilkan oleh efek-efek kultural dari relasi antar individu, masyarakat, alam,
leluhur dan Wujud Tertinggi. Semuanya terarah pada keseimbangan kosmis.10
9
Dr.Beate Jacob,dkk. Penyembuhan Yang Mengutuhkan Dimensi Yang Terabaikan Dalam Pelayanan Medis. Terjemahan Adventina Putranti,dkk. (Yogyakarta : Kanisius, 2003), hal.66-67
10
Chatarina Pancer Istiyani, op.cit., hal.236-237
Keseimbangan kosmis dapat dicapai dengan melibatkan dimensi biologis dan
spiritual individu. Konsep ini dapat ditemukan dalam karya Herbert Benson yang
berjudul Timeless Healing (Penyembuhan Sepanjang Masa).11 Dalam kerja sama dengan William Proctor, Herbert Benson menerbitkan sebuah buku yang berjudul
Beyond the Relaxation Response. Perhatian utama buku ini adalah faktor keimanan (faith factor) yang membantu seseorang untuk mencapai kesembuhan dari berbagai jenis penyakit. Pengungkapannya berlangsung dalam doa dan meditasi yang
merupakan tradisi mistik beberapa agama. Efek-efek yang ditimbulkan oleh doa dan
meditasi dapat dilihat dari penggunaan formula-formula semacam mantra atau zikir.
Mantra atau zikir itu dibaca dengan penuh keyakinan kepada Tuhan dapat
menghasilkan kekuatan yang berlipat ganda. Hasil penelitian Herbert Benson
memperlihatkan bahwa efek penggunaan formula-formula itu dapat menghilangkan
berbagai nyeri. Misalnya, para pendeta Budha Tibet mampu berjalan di atas bara api
tanpa mengalami rasa sakit dan lecet sedikit pun. Hal itu terjadi karena kekuatan yang
diperoleh dari formula-formula yang dibaca dengan penuh keyakinan. Kenyatan ini
menunjukkan bahwa ternyata efek penyembuhan yang dihasilkan zikir maupun
kekuatan pikiran jauh lebih besar dari apa yang diperkirakan sebelumnya. Dengan
kata lain efek penyembuhan yang terjadi bergantung pada faktor keyakinan. Faktor ini
berguna dalam menghalau pikiran-pikiran yang tidak kreatif dan berpotensi menjadi
penyakit.12 Selain itu keyakinan dapat membangkitkan respon relaksasi yang terkondisi dalam suasana batin yang damai. Kedamain batin diperoleh melalui
latihan-
11
Herbert Benson dan Marg Strak, Penyembuhan Sepanjang Masa. Terjemahan Dr.Widjaja Kusuma (Jakarta : Interaksara, 1998), hal. 291-311
12
Herbert Benson dan William Proctor, Keimanan Yang Menyembuhkan Dasar-Dasar Respons Relaksasi. Terjemahan dr. Nurhasan ( Bandung : Kaifa, 2000), hal. 11-12
latihan teratur dengan menggunakan empat langkah sebagai berikut: (1) menemukan
lingkungan yang tenang; (2) secara sadar mengendurkan otot-otot tubuh; (3)
memusatkan diri selama sepuluh hingga dua puluh menit sambil mengucapkan doa
singkat; (4) bersikap pasif terhadap pikiran-pikiran yang menggangu. Latihan-latihan
sederhana ini bila digabungkan dengan faktor keyakinan akan menciptakan lingkungan internal yang lain dari biasanya dan sangat membantu seseorang mencapai derajat
kesehatan dan kesejahteraannya.13Tujuan ini dapat pula dicapai dengan memanfaatkan terapi-terapi alternatif. Semuanya dapat dibaca dan ditemukan dalam buku Alternative Therapi (Terapi-Terapi Alternatif ).14
Studi pustaka tersebut belum memberi ruang artikulasi pada bentuk-bentuk
penyembuhan nonmedis yang bertolak dari fenomena religius. Oleh karena itu tesis
ini merupakan upaya kecil untuk memaparkan fenomena penyembuhan nonmedis
dalam kelompok-kelompok persekutuan doa. Kehadirannya dapat dipakai sebagai
sarana untuk menetralisasi kasus-kasus penyembuhan nonmedis tanpa mengabaikan
peran pasien sebagai subjek penelitian dan “produser makna”.
Bercermin pada rumusan-rumusan di atas, ternyata topik ini memiliki
keterbatasannya. Walaupun ada dimensi lain yang secara implisit tampak dalam
pembahasan ini. Namun fokus topik ini adalah hubungan manusia religius dengan
Yang Kudus sebagaimana digagaskan dalam fenomenologi agama. Relasi itu dibangun dalam praktek-praktek peribadatan yang mengantar orang sampai pada being, truth, meaning. Di samping itu tidak semua kelompok persekutuan doa yang disajikan
13
Ibid.,hal. 34 14
Geddes dan Grosset, Terapi-Terapi Alternatif . Terjemahan Slamet Rianto dan Adi Loka Sujono (Yogyakarta : Lotus, 2005), hal. 1-363
dalam pembahasan ini. Fokusnya diarahkan pada enam kelompok persekutuan doa.
Pertimbangannya adalah bahwa keenam kelompok itu ditampilkan sebagai sampel penelitian.
1.6. Kerangka Teoretis
Keenam kelompok persekutuan doa dan orang-orang yang memanfaatkan jasa
pelayan penyembuhan nonmedis merupakan obyek pengamatan yang menghadirkan
“data religius”. Data religius yang terkumpul dan makna yang terkandung di
dalamnya selanjutnya didesdripsikan dalam bentuk uraian tesis.
Yang dimaksudkan dengan “makna” di sini adalah pengertian dasar yang
diberikan atau ada dalam satu hal.15 Secara fenomenologis, makna adalah pengertian yang terkandung di balik obyek atau peristiwa yang tampak pada kesadaran
manusia. 16 Selain makna, penekanan yang penting adalah faktor-faktor yang menyebabkan munculnya fenomena praktek penyembuhan nonmedis dalam kelompok
persekutuan doa. Fenomena 17 berarti apa yang diamati, apa yang tampak pada
15
Drs.Peter Salim dan Yenny Salim, Kamus Bahasa Indoensia Kontemporer ( Jakarta : Modern English Press, 1991 ) hal. 916
16
Bdk. Amadeo Giorgi dan Barbo Giorgi, “ Fenomenologi” dalam Jonathan A.Smith (ed.),
Qualitative Psychology : A Practical Guide to Research Methods ( Los Angeles : Sage Publication, 2008),hal.53
17
Fenomena berasal dari kata benda bahasa Yunani “phos” yang berarti cahaya. “Phos” merupakan akar kata “phainomai” (kata kerja) yang berarti menampakkan diri. Istilah fenomena pertama kali digunakan oleh Johan Heinrich Lambert, seorang filsuf Jerman seangkatan Immanuel Kant. Istilah“phenomenon” dipergunakannya dalam suatu sistem filsafat yang disebutnya fenomenologi sebagai “teori ilusi”. Selanjutnya istilah fenomena dipergunakan Immanuel Kant (1724 – 1804). Kant berpendapat bahwa apabila kita mengamati suatu obyek maka yang tampak pada kita hanyalah fenomenanya saja atau obyeknya yang tampak. Jadi bukan “noema” atau “das Ding an sich” ( benda di dalam dirinya sendiri) atau obyek itu sendiri. Obyek-obyek terhalang oleh suatu selubung sehingga tidak dapat dilihat obyek yang sebenarnya. Dalam perkembangan seterusnya, istilah fenomena dipergunakan G.W.F.Hegel (1770 -1831) dalam karyanya yang berjudul Phänomenologie des Geistes.
Di dalam karyanya itu Hegel menyebutkan bahwa perkembangan roh melalui beberapa tingkatan sehingga ia menangkap dirinya sebagaimana adanya di dalam dirinya sebagai “phenomenon”. Pada pertengahan abad XX istilah fenomena disinonimkan dengan “fakta”. Berbeda dari filsuf-filsuf sebelumnya, Edmund Husserl berpendapat bahwa fenomena bukan realitas saja melainkan juga benda-benda itru sendiri. Bagi Husserl fenomena justru ada dalam setiap benda-benda, bayangan atau apa yang
kesadaran kita, apa yang tampak pada pengalaman panca indera kita, suatu fakta atau
peristiwa yang dapat kita amati.18 Pengertian-pengertian tersebut memberi gambaran bahwa penelitian ini mengarah pada fakta atau peristiwa yang diamati. Fakta atau
peristiwa menurut Merleau Ponty berkaitan dengan dialektika subyek-obyek yang
berlangsung dalam sejarah.19 Itu berarti antara fakta dan individu selalu ada korelasi dan interaksi. Manusia mengamati fakta. Fakta memberikan kontribusi pengalaman
pada manusia. Manusia yang sedang melakukan pengamatan tidak mendekati realitas
melalui argumen-argumen, konsep-konsep atau teori umum. Realitas itu dikembalikan
pada obyek dan dideskripsikan apa adanya. Setiap obyek memuat hakekat. Hakekat itu
menyampaikan sesuatu kepada kita kalau kita membuka diri kepada gejala-gejala
yang kita terima. Kalau kita “mengambil jarak” dari obyek itu, membebaskan obyek
dari pengaruh pandangan-pandangan lain, maka obyek itu “berbicara” sendiri tentang
hakekatnya. Kita memahaminya berdasarkan intuisi pribadi. Dengan kata lain intuisi merupakan langkah awal dari pengetahuan yang mendahului indera dan intelek.
Pengetahuan intuitif bersifat langsung dan tak simbolis ( immediate, direct, nonsymbolical ). Ia mengarahkan subyek untuk mengidentifikasi diri dengan realitas sehingga subyek mengetahuinya dari dalam.20
Jika peneliti menggunakan intuisinya maka atmosfir penelitian harus tercipta
dalam diam. Diam merupakan tindakan untuk menangkap pengertian dari sesuatu
yang sedang diteliti. Di sini subyektifitas peneliti berperan penting. Peneliti berusaha
secara langsung tampak pada kita dan kita dapat secara langsung melihat,meraba,membau,mendengar atau membayangkan fenomena tersebut (lihat R.Schmitt, “Phenomenology” dalam P. Edwards (ed.),
The Encyclopedia of Philosophy,VI (London-New York : Northwestern University Press,1967), hal.135
18
Lorens Bagus, Kamus Filsafat ( Jakarta : Gramedia, 2002 ), hal. 230 - 231 19
Ibid., hal.238 20
Dr. Abdullah Ciptoprawiro, “Perkembangan Agama dan Kepercayan di Indonesia”dalam Mawas Diri, Maret 1979, hal.33
masuk dalam dunia konseptual subyek-subyek yang ditelitinya agar dapat menangkap
makna hakiki dari kehidupan mereka sehari-hari.21
Pemaknaan terhadap subyek-subyek dapat pula diterapkan pada praktek
penyembuhan dalam kelompok-kelompok persekutuan doa. Kegiatan-kegiatan itu
terjadi di tempat tertentu baik dalam skala global maupun lokal. Kupang yang terletak
di propinsi Nusa Tenggara Timur termasuk dalam kategori lokal. Kupang dipilih dan
ditetapkan sebagai tempat penelitian dengan pertimbangan bahwa pertumbuhan dan
perkembangan praktek penyembuhan dalam kelompok-kelompok persekutuan doa
berlangsung dalam frekuensi besar. Hal ini dilatarbelakangi oleh kebangkitan gerakan kebangunan rohani dan bencana kelaparan yang melanda pulau Timor di tahun 1965. Selain itu situasi rawan akibat G.30.S sangat berpengaruh terhadap terbentuknya
tim-tim doa. Tim-tim doa ini menjadi cikal bakal pertumbuhan dan perkembangan
kelompok-kelompok persekutuan doa. Tugasnya adalah melaksanakan pekabaran Injil
berdasarkan tuntunan Roh Kudus dengan perincian sebagai berikut:22
1. Mengajak orang supaya bertobat karena Kristus segera akan datang
2. Mengingatkan orang agar bertobat sekarang juga karena bila Kristus
datang dan tampil di langit maka pintu pertobatan akan ditutup
3. Mereka diberi kekuatan untuk menyembuhkan dan membangkitkan
orang mati
Tritugas itu menjiwai tim-tim doa untuk menghibur dan menyalurkan
kesembuhan bagi orang sakit. P. Middelkop dalam bukunya Atoni Pah Meto
21
Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Kebudayaan ( Yogyakarta : Gajah Mada University Press, 2006), hal.44.
22
Dr. P. Middelkop, Atoni Pah Meto( Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1982), hal.226
menyebutkan bahwa sudah banyak orang mati yang dihidupkan kembali. Di samping
itu beribu-ribu orang sembuh dari penyakit akut maupun kronis seperti yang pernah
terjadi di Kupang. Inilah kutipan persitiwa tersebut :
“Sudah terbentuk tim-tim 70 kali. Banyak tanda tampak di langit. Sejak 25 Oktober sampai 8 November di ufuk timur tampak bintang berekor panjang, indah sekali, setiap malam dari pukul 3.30-5.30 pagi-pagi subuh. Sebuah bintang kecil yang tiba-tiba menjadi sebesar bulan, dikelilingi bintang-bintang yang berbentuk sebuah salib. Seperempat jam kemudian hilang. Peristiwa itu terjadi di Kupang pada tanggal 31 Desember 1965.” 23
Penggalan kisah di atas semakin menarik minat peneliti untuk mengkajinya
lebih jauh. Kajian topik ini memanfaatkan grounded theory dan merupakan suatu studi kasus. Yang dimaksudkan dengan grounded theory adalah pendekatan kualitatif yang bertujuan untuk menyusun teori yang diperoleh secara induktif dari penelitian tentang
fenomena tertentu.24 Teori tersebut digunakan peneliti untuk mencermati kenyataan sehari-hari yang disesuaikan dengan beragam data yang relevan.25 Sedangkan studi kasus adalah proses mengkaji kasus sekaligus hasil dari pengkajian tersebut .26
1.7. Metodologi Penelitian
Untuk menjawab persoalan-persoalan yang dikemukakan di atas dimanfaatkan
kerangka teoritis untuk memperoleh jawaban sementara, metode penelitian untuk
menghimpun data, setting studi kasus dan teknik penelitian sebagai pedoman untuk
23 Ibid. 24
bdk. Mirra Noor Milla, ”Metodologi Kualitatif Dalam Penelitian Psikologi (Studi Fenomenologi pada Terpidana Kasus Terorisme di Indonesia )”. Materi ini disampaikan dalam acara Training Metode Kualitatif di Universitas Negeri Yogyakarta, pada tanggal 23 Juni 2009, hal. 1
25
Anselm Strauss dan Julia Corbin, Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif. Terjemahan Muhammad Shodiq dan Imam Muttaqien ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2007), hal. 4-5
26
Robert E. Stake, “Studi Kasus” dalam Norman K. Densin, Yvonna S. Lincoln (eds.),
Handbook of Qualitative Reseacrh ( California : Sage Publication, 2000),hal. 299
terjun ke lapangan, teknik pengolahan data guna menjelaskan dan mengolah fenomena
yang ditemukan.
1.7.1. Jenis Penelitian
Penelitian ini lebih berciri kualitatif. Sedangkan metode penelitiannya adalah
fenomenologi. Jenis penelitian kualitatif adalah jenis penelitian yang
temuan-temuannya tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya.
Namun yang terpenting adalah kemantapan penelitian sesuai dengan pengalaman
penelitiannya. Peneliti yang berlatar belakang antropologi atau filsafat seperti
fenomenologi dianjurkan untuk menggunakan pendekatan kualitatif dalam
pengumpulan dan analisa data. Pendekatan ini berguna sekali dalam mengungkap dan
memaknai sesuatu di balik fenomena yang belum pernah diketahui. 27 Manfaat lainnya adalah menguak pengalaman hidup orang-orang yang telah sembuh melalui
pelayanan para penyembuh dalam kelompok-kelompok persekutuan doa. 28 Fenemenologi diterapkan sebagai metode penelitian ini dengan maksud untuk
mempelajari dan melukiskan ciri-ciri intrinsik dari gejala yang tampak pada
kesadaran serta ditampilkan apa adanya.29
Fenomena sebagaimana adanya dapat diamati dengan menggunakan dua
prinsip dalam fenomenologi yaitu prinsip epoche dan eidetik. Prinsip epoche berarti penilaian yang sudah dikonsepkan sebelumnya ditunda atau ditempatkan dalam tanda
kurung (einklammerung) sampai fenomena itu berbicara dari dirinya sendiri. Dalam hal ini, tugas seorang fenomenolog adalah menghadirkan realitas apa adanya sampai
27
Ibid.,hal.11 28
bdk. Ibid 29
Lorens Bagus, op.cit., hal.236
pada hakekat intinya. Oleh karena itu ia tidak harus merepotkan diri dengan penilaian
tentang baik buruknya religius atau moral dari suatu kasus yang diselidiki.30
Prinsip kedua adalah eidetik. Ini berarti dari suatu fenomena religius ditelusuri
makna hakikinya. Makna hakiki diperoleh dari proses pemahaman (verstehen) terhadap ekspresi-ekspresi yang meliputi kata-kata, simbol-simbol dan
tindakan-tindakan yang dilakukan dan dihayati oleh manusia-manusia religius dalam
hubungannya dengan Yang Kudus.31 Menurut Rudolf Otto Yang Kudus merupakan isi dari pengalaman numinous yang rasional sekaligus nonrasional. Yang Kudus inilah yang dihayati oleh kaum beriman. Yang Kudus merupakan daya supranatural
yang menggentarkan tetapi sekaligus mempesonakan. Rasa gentar dan terpesona
tidak dialami dalam kenyataan sehari-hari. Kedua hal itu merupakan sesuatu yang
khas dan khusus. Yang Kudus itu sungguh Yang Mahalain, The Wholly Other, Das Ganz Andere yang melampaui segala sesuatu. Bahasa manusia pun tak dapat melukiskan kebesaran dan kedasyatannya. Kehadirannya hanya dapat diungkapkan
dengan istilah Maiestas, Mysterium Tremendum et Fascinosum. Dengan demikian, Yang Kudus selalu dialami sebagai daya adikodrati yang menakutkan dan
mempesonakan.32
Pengalaman perjumpaan dengan Yang Kudus hanya dapat berlangsung pada
saat-saat tertentu saja. Hal ini mengacu pada pemikiran Mircea Eliade. Ia membuat
pembedaan antara yang sakral dan yang profan. Yang sakral adalah wilayah
30
Mariasusai Dhavamony, Phenomenology Of Religion (Roma : Gregoriana University Press, 1973), hal. 18-19
31 Ibid. 32
Mircea Eliade, The Sacred And The Profane (United States of America : Harper Torchbooks, 1957 ), hal. 9-10
supranatural yang tidak mudah dilupakan dan sangat penting. Sedangkan yang profan
adalah wilayah kehidupan sehari-hari dan tidak terlalu penting. 33 Ketika manusia memasuki wilayah sakral, ia akan merasakan pengalaman khusus dan tak akan pernah
melupakannya. Ia menemukan makna terdalam ketika realitas sakral masuk dan
menjiwai kehidupannya.
Wilayah yang sakral berlangsung dalam waktu dan ruang yang sakral. Hal
itu tersedia dalam ritus-ritus penyembuhan oleh kelompok-kelompok persekutuan doa.
Ekspresi-ekspresi simbolis turut menghadirkan suasana yang berbeda dari kegiatan
sehari-hari. Di tengah situasi ini, peserta dapat mengalami perjumpaan dengan realitas
sakral. Dampak kehadirannya adalah daya pemulihan bagi para penderita berbagai
penyakit. Fakta ini memperlihatkan bahwa kesembuhan merupakan proses rumit yang
tak dapat dijelaskan dengan metode empiris. Demikian pula praktek-praktek religius
dalam penyembuhan merupakan suatu proses yang rumit. Tetapi pengaruhnya sangat
positif terhadap kesehatan seseorang.34 Oleh karena itu fenomenologi yang dipakai untuk menganalisa data tersebut lebih menekankan fenomena yang ditunjukkan oleh
pasien dari pada yang digagaskan oleh ilmu kesehatan. Metode penelitian ini
mengarah kepada pertimbangan perilaku dan makna yang ditunjukkan pasien sebagai
subyek penelitian. Pengkajian ini lebih jauh dihubungkan dengan latar belakang
budaya pasien untuk memahami (verstehen) realitas sebagaimana adanya.35
1.7.2. Strategi pengumpulan data
Data yang terkumpul diperoleh dari dua jenis data. Pertama, buku-buku,
33
Ibid., hal. 201-213 34
Dr. Beate Jakob,dkk, op.cit., hal. 85 35
Suwardi Endraswara, op.cit., hal. 47
dokumen-dokumen yang berhubungan dengan penyembuhan nonmedis. Kedua,
pengalaman pengurus kelompok dan orang-orang yang menggunakan jasa para
pelayan penyembuhan dalam kelompok-kelompok persekutuan doa. Untuk
mendapatkan data dari pengalaman mereka, saya melakukan wawancara dan
observasi. 36
Observasi saya lakukan mendahului wawancara. Kegiatan itu mewajibkan
saya turun ke lapangan penelitian untuk berinteraksi dengan para anggota persekutuan
doa, pengurusnya maupun para simpatisan dan melibatkan diri dalam kegiatan yang
mereka lakukan. Karena itu saya melakukan observasi terlibat (participant observation)37 dengan memberi perhatian pada pengalaman berada bersama (lived experience). Observasitersebut saya lakukan dengan maksud mengamati keadaan yang sebenarnya tanpa tendensi mempengaruhi, mengatur atau memanipulasi keadaan.
Selain observasi, saya pun melakukan wawancara.38 Pada kesempatan tertentu wawancara dilakukan bersamaan dengan observasi. Sehubungan dengan informan
yang diwawancarai, saya menggunakan purposive sampling. Pertimbangannya adalah sampel ditentukan berdasarkan tujuan penelitian. Asumsi di balik penentuan sampel
36
Apabila jenis penelitiannya adalah kualitatif dan metode penelitiannya adalah fenomenologi maka peneliti adalah instrumen. Berbeda dari penelitian kuantitatif dimana data yang akan diperoleh lebih tergantung kepada daftar pertanyaan yang telah dirancang dan dibatasi sedemikian rupa. Daftar pertanyaan tersebut bisa saja disampaikan ke responden melalui kurir, pos atau telepon. Namun dalam jenis penelitian kualitatif, kepiawaian seorang peneliti sangat menentukan keberhasilan proses pengumpulan data. Sejalan dengan pandangan manusia sebagai sarana (human as instrument), metode pengumpulan data dalam penelitian kualitatif merupakan perpanjangan dari kegiatan manusia dalam kesehariannya seperti membaca, melihat, mendengar, berbicara dan sebagainya. Kegiatan-kegiatan ini secara metodologis disebut observasi dan wawancara. Keduanya merupakan aktifitas utama yang umumnya dilakukan peneliti dalam proses pengumpulan data kualitatif. bdk. Yvonna Lincoln and Egon G.Guba, Naturalistic Inquiri (California: Sage Publication Inc., 1985) , hal. 226
37
Ibid., hal. 227 38
Observasi adalah kegiatan pengamatan secara terencana untuk menggambarkan kejadian, perilaku, benda artifak yang ada di lokasi penelitian. Sedangkan wawancara adalah suatu percakapan tanya jawab lisan antara dua orang atau lebih yang duduk berhadapan secara fisik dan diarahkan pada suatu masalah tertentu. bdk. Dr.Kartini Kartono, Pengantar Metodologi Riset Sosial ( Bandung : Madura Maju, 1996), hal.254
ini adalah kesesuaian ciri atau sifat sampel yang dipilih dengan pupulasi yang
hendak diteliti. Purposive sampling didasarkan atas informasi yang mendahului
tentang keadaan populasi (previous knowledge) dan penyelidik hanya mengambil beberapa daerah atau kelompok kunci (key areas, key group or key cluster) secara
intensional.39
Setelah sampel ditentukan berdasarkan tujuan penelitian maka langkah
selanjutnya adalah melakukan wawancara. Wawancara membantu saya menemukan
data yang diperlukan. Namun sebelum melaksanakannya, saya harus membangun
hubungan yang baik dengan para informan agar tercipta rasa saling percaya.
Hubungan itu terjalin ketika saya masuk ke lokasi penelitian melalui ibu pendeta,
bapak polisi dan beberapa orang yang mengetahui lokasi kelompok-kelompok
persekutuan doa. Mereka menghubungkan saya dengan orang-orang yang terlibat
dalam kelompok-kelompok itu baik pengurus maupun anggota dan simpatisan. Ketika
saya sudah dikenal dan dipercayai maka saya dapat melakukan penelitian dan
mengumpulkan data yang diperlukan dalam suasana yang lebih akrab dan bebas dari
berbagai kecurigaan.40
Data yang terkumpul kemudian diolah untuk menemukan generalisasi dari
hal-hal yang bersifat khusus dan memiliki kesamaan dengan situasi-situasi lain. Walaupun
keterangan yang diberikan informan bisa saja bersifat subjektif namun saya berusaha
sedapat mungkin untuk menemukan prinsip yang lebih objektif. Observasi, wawancara
39
Prof. Drs. Sutrisno Hadi, MA, Metodologi Research ( Yogyakarta : ANDI, 2002), hal. 82-83
40
Kekawatiran pada awal peneltian adalah kesulitan untuk masuk dan mengikuti kegiatan kelompok-kelompok persekutuan doa. Namun setelah suasananya mencair, kekhawatiran itu hilang dengan sendirinya dan saya diterima dengan sangat baik serta diberi kesempatan yang luas untuk melakukan observasi dan wawancara.
dan dokumen yang telah terhimpun selanjutnya diolah dengan dukungan kepustakaan
sesuai topik yang dibahas.
1.7.3. Strategi Pengolahan Data
Berdasarkan data yang dihimpun melalui observasi, wawancara, dokumentasi
dan studi pustaka, saya meramunya melalui refleksi dalam kerangka suatu tesis,
dianalisa dan dideskrispikan secara naratif. 41 Dari tesis dan analisa itu, saya berusaha memberikan pertimbangan dan mendeskripsikannya secara kualitatif. Ketika
saya menilai, mengevaluasi dan melakukan deskripsi kualitatif tidak ada acuan baku
dalam analisis naratif fenomenologi. Setiap penulis dapat menggunakan model analisa
sesuai dengan topik yang diteliti. Polkinghorn memberikan pedoman metodologis
dalam mengorganisasi data naratif ke dalam beberapa istilah teknis. Empat hal yang
disebutkannya yaitu sesuai dengan proses refleksif, konfigurasi naratif, membuat plot
dan melalukan konfigurasi ulang. Pokok-pokok tersebut dituangkan dalam proses
konstruksi, integrasi dan analisa data seperti terlihat dalam tabel berikut ini:42 Tabel 1. Proses Konstruksi, Integrasi dan Analisa Data
Data → Konstruksi data I → Konstruksi data II → Konstruksi data III → Analisa data yang terdiri atas: naskah
bdk. Pendapat A.S. Byatt, seorang penulis berkebangsaan Inggris. Ia mengatakan bahwa narasi adalah bagian penting dari ciri-ciri manusia bagaikan nafas dan sirkulasi darah. Narasi melingkupi kehidupan kita sehari-hari. Kita terlahir ke dunia narasi , menjalani kehidupan kita melalui narasi kemudian mendeskripsikannya dalam bentuk narasi. Dalam hal ini narasi berkaitan dengan cara-cara manusia membentuk makna terhadap dunia yang selalu berubah. Lihat, Michael Murray , “ Psikologi Naratif” dalam Jonathan A. Smith, op.cit., hal.219
42
bdk. Mira Noor Milla, op.cit., hal. 5
biografi yang dipublikasikan; catatan observasi dari lingkungan tempat tinggal dan latar belakang subyek;
artikel atau berita di media massa.
masing subyek
Ketika saya berada di lapangan, saya membangun hubungan dengan informan
dan siap bekerja dengan data. Data yang diperoleh dari wawancara, observasi dan
pengumpulan dokumentasi kemudian dikonstruksikan menjadi data awal. Isinya
adalah narasi tentang pengalaman pribadi dari orang-orang yang terlibat dalam
pelayanan kelompok-kelompok persekutuan doa. Proses konstruksi dilanjutkan
dengan menganalisa dan menemukan tema yang muncul dari masing-masing pasien.
Tema yang diperoleh dari masing-masing pasien selanjutnya dicocokkan dengan
pasien-pasien atau peserta-peserta lain yang terlibat dalam persekutuan doa. Langkah
berikutnya adalah melakukan analisa naratif berdasarkan kesamaan tema antar
subyek ( antar pasien atau peserta persekutuan doa ) untuk menemukan makna
hakikinya.43
1.7.4. Lokasi dan Subyek Penelitian
1.7.4.1. Lokasi Penelitian
Pengambilan data sehubungan dengan praktek penyembuhan nonmedis dalam
kelompok persekutuan doa dilakukan di tiga tempat yaitu Oesapa, Sikumana dan
Penfui. Alasannya adalah di ketiga lokasi tersebut terdapat kelompok persekutuan doa
43
Bdk. Ibid
yang terbanyak dengan aktivitas pelayanan yang terus meningkat. Semuanya berada
di wilayah kota madya Kupang, propinsi Nusa Tenggara Timur.
1.7.4.2. Subyek Penelitian
Di lokasi penelitian, saya berhadapan dengan subyek-subyek penelitian.
Mereka adalah kaum pria dan wanita yang terlibat dalam kelompok-kelompok
persekutuan doa. Aksi-aksi penyembuhan nonmedis dalam kelompok-kelompok
persekutuan doa secara langsung mereka alami. Mengalami langsung berarti mereka
melihat, merasa dan bahkan menjadi obyek aksi-aksi penyembuhan tersebut.
1.8. Sistematika Penulisan
Penulisan tesis yang berjudul Makna Di Balik Fenomena Praktek
Penyembuhan NonMedis Dalam Kelompok Persekutuan Doa Studi Kasus Di
Kupang, Nusa Tenggara Timur disajikan dalam tujuh bab.
Bab pertama merupakan bagian pendahuluan yang memuat latar belakang,
perumusan masalah, tujuan penulisan, relevansi penulisan, tinjauan pustaka, kerangka
teoritis, metodologi penelitian dan sistematika penulisan.
Bab kedua merupakan pemaparan pandangan tentang penyakit dan
penyembuhan dari sudut pandang sistem medis tradisional. Pandangan ini sangat
bermanfaat disajikan mengingat praktek penyembuhan nonmedis tidak terlepas dari
efek-efek religius kultural. Dalam sistem medis tradisional penyakit selalu dipandang
dalam korelasi antara penderita dan masyarakat di sekitarnya. Hal ini didasarkan pada
perbedaan antara penyakit (desease) dan keadaan sakit (illness). Lebih lanjut sebab-sebab penyakit dan keadaan sakit ditentukan berdasarkan sistem medis personalistik
dan naturalistik. Menurut sistem personalistik penyakit disebabkan oleh agen aktif
yang berwujud makhluk gaib, hantu, roh leluhur, tukang tenung, tukang sihir dan
tukang santet. Sedangkan menurut sistem medis naturalistik penyakit disebabkan oleh
gangguan oleh alam seperti panas, dingin, udara lembab, emosi yang meluap-luap dan
ketidakseimbangan unsur-unsur dalam tubuh. Penyembuhan terhadap jenis-jenis
penyakit tersebut tidak dilakukan dengan cara medis modern melainkan secara
alternatif atau nonmedis. Penanganannya dilakukan oleh paranormal, hipnoterapis dan
dukun. Para praktisi penyembuhan ini memiliki kelebihan dalam pendekatan terhadap
pasien yaitu pola pendekatan manusiawi (holistik). Kehadiran mereka tidak
bermaksud menandingi kemampuan dokter dan perawat dalam menangani berbagai
kasus penyakit. Tetapi usaha mereka melengkapi bagian-bagian yang terabaikan
dalam pelayanan medis modern.
Bab ketiga berisi pemaparan berbagai faktor yang melatarbelakangi
pertumbuhan dan perkembangan kelompok-kelompok persekutuan doa. Berikut profil
kelompok-kelompok persekutuan doa yang diobservasi. Bagian ini ditutup dengan
motivasi orang bergabung di dalamnya.
Bab keempat merupakan deskripsi pelaksanaan ritus-ritus penyembuhan
dalam kelompok-kelompok persekutuan doa. Setiap kelompok menyelenggarakan
ritus penyembuhan dengan tujuan yang sama yakni memohon kesembuhan bagi
pasien. Sedangkan perbedaannya terletak pada tata laksana ritusnya.
Bab kelima memuat respon masyarakat, umat, pendeta, pastor, dokter, tenaga
medis dan pihak keamanan terhadap kehadiran kelompok-kelompok persekutuan doa.
Bagian ini diakhiri dengan sajian tentang dampak positif dan negatif kehadiran
kelompok-kelompok tersebut.
Bab keenam memuat catatan-catatan reflektif peneliti terhadap
praktek-praktek penyembuhan nonmedis dalam kelompok-kelompok persekutuan doa.
Kesembuhan yang dialami pasien bukan akhir dari suatu usaha pengobatan. Tetapi hal
itu merupakan pintu masuk dalam ruang-ruang makna. Di situ pasien larut dalam
kekosongan eksistensial. Pemulihannya terjadi ketika seseorang mengalami
penyembuhan integral yakni bekerjanya daya ilahi dalam dirinya. Suatu kekuatan yang
memampukan dia menerima dan menghayati penderitaan. Kemampuan ini
menumbuhkan motivasi untuk sampai pada penemuan makna hidup. Pengalaman
perjumpaan dengan Yang
Kudus melalui partisipasi dalam ritus semakin memperdalam upaya tersebut.
Atas cara demikian, orientasi hidup seseorang semakin terarah pada kebenaran sejati.
Pencapaiannya ditempuh melalui tahap pengurbanan agar tercipta keharmonisan
kosmis. Hal itu tidak terlepas dari kepenuhan jiwa seseorang yang telah mencapai
persatuan (via unitiva) dengan Realitas Absolut.
Bab ketujuh adalah kesimpulan dari seluruh pembahasan. Secara umum
praktek penyembuhan nonmedis merupakan “data religius”. Dari situ peneliti
menelusuri makna hakikinya sebagaimana terungkap dalam sistem simbol yang
digunakan dalam ritus penyembuhan. Kegiatan tersebut dilakukan manusia-manusia
religius dalam hubungannya dengan Yang Kudus.
BAB II
PAHAM KULTURAL TENTANG PENYAKIT DAN PENYEMBUHAN
2.1. Pengantar
Konsep penyakit dan penyembuhan selalu berhubungan dengan dimensi
subyektif-kulturalistik. Kebenaran fakta ini dapat dicermati dari sistem medis
tradisional. Kausalitas penyakit dan penyembuhan menurut sistem ini dijelaskan atas
dasar paham kultural yang bersifat religius magis.44 Karena itu setiap masyarakat memiliki pandangan tentang penyakit dan penyembuhan sesuai pengalaman dan
kebudayaannya. Dalam hal ini penyakit dan penyembuhan yang dirasakan oleh
individu atau masyarakat dari kebudayaan tertentu berbeda dari individu atau
masyarakat dari kebudayaan lain. 45 Pandangan ini berguna untuk mendalami fenomena praktek penyembuhan nonmedis yang pada prinsipnya tidak lepas dari
efek-efek religius kultural.
2.2. Konsep penyakit
Penyakit selalu dialami sebagai pengaruh negatif yang menyerang siapa saja
dan dari lapisan masyarakat mana saja. Fakta memperlihatkan bahwa penyakit
merupakan fenomena kompleks yang selalu saja mengganggu kenyamanan hidup
manusia. 46
Penyakit menghalangi terciptanya pola-pola relasi sosial antara penderita
44
G. Haryana, op.cit., hal. 78 45
Moeljono Notosoedirdjo Latipun, Kesehatan Mental Konsep Dan Penerapan ( Malang : UMM Press, 2007),hal.5
46
dr. Benyamin Luminta., Penyakit, Citra, Alam dan Budaya. Tinjauan Fenomena Sosial (Yogyakarta : Kanisius, 1989 ), hal.17
dan masyarakat di sekitarnya. Masyarakat memiliki cara-cara dalam mendefinisikan
penyakit (desease) yang dibedakan dari keadaan sakit (illness). Penyakit berarti keadaan tubuh yang tidak normal karena sebab-sebab tertentu yang dapat diketahui
dari tanda-tanda dan gejala-gejalanya (sign and symptoms). Keadaan sakit (illness) adalah perasaan pribadi seseorang yang mengalami kesehatannya terganggu, yang
tampak dari keluhan sakit yang dirasakannya seperti tidak enak badan dan sebagainya.
Dalam hal ini, seseorang bisa dikatakan mengidap suatu penyakit tanpa merasa
dirinya dalam keadaan sakit. Sebaliknya ia dapat merasa dirinya dalam keadaan sakit
tanpa mengidap suatu penyakit. Istilah penyakit dan keadaan sakit memperlihatkan sisi
obyektif dan subyektifnya. Sisi obyektif berkaitan dengan tidak berfungsinya organ
tubuh akibat serangan penyakit tertentu. Sedangkan sisi subyektif dihubungkan
dengan perubahan perasaan nyata yang dialami pasien. Pengalaman sakit tidak hanya
berpengaruh pada perubahan biologis tetapi juga keadaan sosial yang dipicu oleh
penyimpangan yang terjadi dan tidak dikehendaki. Orang sakit disebut melakukan
perilaku menyimpang karena ia tidak dapat berbuat sesuatu. 47
2.3. Etiologi penyakit secara kultural48
Penyakit ditumbulkan oleh berbagai sebab dan dapat menyerang ke sebagian
atau ke seluruh tubuh. Pengetahuan tentang sebab-sebab penyakit merupakan tuntutan
47
Ibid.,hal 179 - 180 48
Etiologi secara leksikal berarti ilmu yang mempelajari asal usul dan sebab suatu penyakit. (lih.Drs.Peter Salim dan Yenny Salim, op.cit.,hal.409). Bila dipandang dari segi kedokteran, etiologi berarti salah satu bagian ilmu kedokteran yang mempelajari sebab atau dasar terjadinya suatu penyakit. Penyebab suatu penyakit pada orang tertentu tidak terbatas pada penyebab langsungnya, seperti kuman tbc merupakan penyebab langsung penyakit tbc; penyebab penyakit juga meliputi faktor-faktor penunjang lainnya seperti keadaan kesehatan, kondisi kerja, lingkungan rumah, riwayat keluarga orang tersebut dan lain-lain. (lih. dr.E.Nugroho, Dicky Soetady (eds.), Ensiklopedi Nasional Indonesia
(Jakarta : PT. Delta Pamungkas, 1997 ), hal. 211).
mutlak bagi para pelaku penyembuhan. Hal ini bertujuan agar mereka dapat
menemukan apa yang menggangu hubungan sosial pasien, ketidakseimbangan alam
dan nasib buruk yang menimpa pasien.
Dalam sistem medis tradisional, etiologi adalah kerangka kognitif pada
masyarakat-masyarakat nonBarat yang penting untuk “menjelaskan” tentang adanya
penyakit.49 Foster dan Anderson berpendapat bahwa pada masyarakat yang disebut
tribal, peasant dan preindustrial, etiologi penyakit merupakan konsep kausalitas penyakit yang bertitik tolak pada sistem medis personalistik dan naturalistik.50 Kedua sistem ini memaparkan konsep-konsep kausalitas yang juga mencakup pembahasan
tentang seluruh sistem medis ( seluruh tingkah laku yang berhubungan dengan
pandangan tersebut ).51
2.3.1. Sistem medis personalistik
Menurut sistem medis personalistik, penyakit berasal dari agen aktif baik
dalam bentuk makhluk supranatural (makhluk gaib atau dewa), makhluk yang bukan
manusia (seperti hantu, roh leluhur atau roh jahat) maupun makhluk manusia (tukang
sihir, tukang tenung atau tukang santet). Korban serangan penyakit adalah orang yang
menderita sakit sebagai obyek agresi atau hukuman khusus kepadanya. Agen-agen
aktif itu memakai cara-cara tertentu untuk menjatuhkan kekuatan mereka pada
penderita. Menurut Leonard B. Glick agen-agen itu dapat berupa makhluk manusia
(manusia super) atau bukan manusia. Mereka dapat menyusuri alam natural dan
49
George M.Foster, Barbara Gallatin Anderson, Antropologi Kesehatan. Terjemahan Priyanti Pakan Suryadarma, Meutia Hatta Swasono (Jakarta : Universitas Indonesia, 1986), hal.63
50
Naniek Kasniyah, Etiologi Penyakit Secara Tradisional Dalam Alam Pikiran Orang Jawa
( Yogyakarta : Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, 1985) , hal.2 51
George M.Foster, Barbara Gallatin Anderson, op..cit.,hal.64 - 65
supranatural. Tukang tenung maupun makhluk supranatural seperti hantu, setan dan
tukang sihir berpotensi menghadirkan berbagai penyakit pada masyarakat setempat. 52 Mereka biasanya menghadirkan kuasa gelap pada penderita yang sangat berpengaruh
pada ketidaksimbangan dalam tubuhnya. 53 Bentuk-bentuk kuasa gelap yang menyerang penderita dapat disebutkan sebagai berikut :54
1. Energi negatif
Energi negatif yang dikirim ke organ-organ tubuh penderita bertujuan
untuk merusakannya. Bila energi negatif masuk ke jantung atau paru-paru
maka penderita mengalami sesak nafas. Bila energi negatif masuk ke ginjal
maka kaki si penderita akan terasa amat sakit sehingga tidak dapat berjalan.
Bila energi negatif masuk ke perut maka perut si penderita akan terlihat
seperti menggelembung.
2. Program negatif
Setiap jenis kiriman memiliki program negatifnya. Ada program negatif
yang dikirim ke organ-organ tubuh penderita untuk menimbulkan rasa sakit.
Program negatif berupa kubus yang dikirim ke organ vital dapat
mengakibatkan rasa ngilu dan kehilangan gairah seks.
3. Lingkaran belerang
Lingkaran belerang yang dikirim oleh agen-agen ke bagian tubuh
penderita akan menimbulkan sakit kepala, mata, telinga, jantung, kanker,
paru-paru, kanker payu dara, sakit perut, mencret, gatal-gatal, tumor di
52 Ibid. 53
Ir. Fred Andries (ed.), op.cit., hal. 63 54
Ibid.
rongga perut dan mengganggu metabolisme tubuh. Para atlet yang
berprestasi sangat mewaspadai lingkaran berlerang ini sebab menimbulkan
rasa sakit ketika berjalan-jalan dan sebagainya. Organ tubuh vital yang
terjaring lingkaran belerang akan menjadi frigid para kaum perempuan dan
impotensia pada kaum laki-laki.
4. Benda-benda tajam
Benda-benda tajam seperti jarum yang dikirim para agen dapat
menyebabkan infeksi pada kaki, tangan dan pada organ tubuh bagian
dalam. Bila benda tajam dikirim ke jatung maka penderita akan mengalami
akibat yang sangat fatal.
5. Boneka atau foto
Para agen memanfaatkan boneka atau foto sebagai sarana untuk
menebarkan penyakit pada penderita. Bagian tubuh tertentu pada boneka
atau foto ditusuk jarum. Pada saat itu juga, penderita merasa sakit di bagian
tubuh tersebut.
6. Angin negatif atau angin duduk
Bila angin negatif masuk di perut dan tidak bisa keluar maka penderita
akan mengalami sakit perut dan berlanjut pada mencret. Rasa sakit yang
terus bertambah akan mengakibatkan kematian penderita.
7. Roh penderita dimasukkan dalam botol
Dukun memasukan roh penderita ke dalam botol sehingga penderita
menjadi lemas dan kehilangan tenaga. Keadaan ini lambat laun dapat
mengakibatkan kematian.
8. Induksi
Dukun meminjam tubuh seseorang (orang yang menyuruh mengirim energi
negatif) dan menyakiti bagian-bagian tubuhnya. Orang yang dipinjam
tubuhnya tidak merasa sakit karena disediakan protektornya. Tetapi
penderita merasa sakit. Dukun yang melakukan tindakan ini adalah dukun
yang berilmu tinggi.
9. Sinar putih yang panas
Sinar putih yang panas dikirim ke organ-organ tubuh penderita dengan
maksud untuk merusakkannya.
10.Shield negatif (pagar negatif )
Shield negatif yang dikirim ke tubuh penderita dapat menimbulkan
penumpukan energi negatif. Semua penyakit bermuculan sehingga penderita
merasa lemas. Shield negatif dapat dikirim ke mobil, rumah maupun
benda-benda lainnya.
11.Dimensi
Semua energi negatif yang melayang-layang di udara oleh agen diundang
masuk ke tubuh penderita. Akibatnya semua jenis penyakit mulai
menggerogoti tubuh penderita sampai penderita merasa lemas. Dimensi
dapat dikirim ke mobil, rumah dan benda-benda lainnya.
12.Media
Media dapat dikirim oleh tukang santet ke dalam tubuh seseorang atau
ke benda-benda lain di sekitar kita. Media dapat pula dikirim ke pintu
rumah atau pintu mobil penderita. Setiap kali melalui pintu tersebut,
penderita langsung “tertembak” program negatif yang dikirim oleh
tukang-tukang santet.
13.Kaki belerang
Jin kuning dianggap sebagai penyebab kaki belerang dan berdiri di dekat
kaki penderita. Gejala yang tampak adalah rasa panas di kaki dan telapak
kaki menjadi besar. Belerang ini menyebar dan naik ke seluruh tubuh.
Penderita yang diserang belerang dapat terkena penyakit mencret. Semakin
luas daya jelajah belerang semakin banyak organ tubuh yang
dirusakkannya.
Jenis kuasa gelap lain yang dapat menyebabkan seseorang jatuh sakit adalah
serangan pelet. Pelet adalah tindakan untuk memikat hati lawan jenis dengan memakai
guna-guna.55 Penderita yang terserang pelet mengalami kerugian karena kehendak bebasnya “dikontrol” oleh orang lain. Tujuan si pengirim memelet seseorang adalah
meraih harta yang dimiliki si penderita, harapan mendapat setumpuk materi bila
menikah dengan si penderita, kebanggaan untuk mendapat si penderita yang cantik
dan terkenal. Pemelet dapat menggunakan makanan dan minuman sebagai media
untuk menyalurkan guna-guna kepada si penderita. Pengiriman guna-guna dapat pula
dilakukan dengan menggunakan media paku besar berkepala segi empat yang
melambangkan paku peti mati. Paku besar itu ditancapkan dari alis sebelah kiri ke
indung telur kiri untuk wanita atau ke buah zakar kiri untuk pria. Tindakan ini
berakibat pembengkakan pada indung kiri atau buah zakar kiri si penderita. Serangan
pelet yang sangat kuat dapat membuat penderita seperti kerbau dicocok hidungnya.
55
Drs. Peter Salim dan Yenny Salim,op.cit., hal. 1120