• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

Biologi dan Kisaran Inang Bemisia tabaci (Gennadius)

Bemisia tabaci (Gennadius) digolongkan ke dalam ordo Hemiptera, subordo Sternorrhyncha, superfamili Aleyrodoidea, famili Aleyrodidae (Martin et al. 2000). B. tabaci pertama kali ditemukan di Indonesia pada tahun 1938 pada tanaman tembakau (Kalshoven 1981). Pada tahun 2001 B. tabaci telah menjadi hama utama terutama pada berbagai jenis tanaman sayuran dan tersebar ke seluruh Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi, dan sejak awal tahun 2004 telah pula menjadi hama penting di Bali (Sulandari 2001; Setiawati et al. 2005).

Perkembangan B. tabaci terdiri atas empat stadia, yaitu dimulai dari telur, nimfa, pupa dan imago. Telur B. tabaci . bentuknya lonjong (oval), warnanya putih bening ketika baru diletakkan, kemudian kecokelatan menjelang menetas. Telur berdiameter 0,25 mm, dan biasanya diletakkan pada permukaan bawah daun. Jumlah telur yang dihasilkan seekor betina mencapai 28 sampai 300 butir tergantung pada tanaman inang dan suhu lingkungan (Hirano et al., 2002). Pada kapas, B. tabaci. rata-rata bertelur 81 butir pada suhu 26,7ºC atau 72 butir pada suhu 32,2ºC dengan masa inkubasi telur 5 hari (Butler et al., 1983). Stadia telur pada tanaman tomat adalah 6,8–8,7 hari pada suhu 25 0C dan RH 65% (Salas dan Mendoza 1995). Rata-rata stadia telur pada Hibiscus rosa-sinensis kultivar Pink Versicolor adalah 6,3 hari dan Brilliant Red adalah 6,7 hari pada suhu 26,7 0

Nimfa B. tabaci terdiri dari tiga instar dan instar ke-4 dianggap sebagai transisi dan dinamakan instar ke-4 atau pupa karena peralihan antara dua stadia yang singkat dan sulit untuk dipisahkan (Salas dan Mendoza 1995). Byrne dan Bellows (1991) menyatakan bahwa nimfa instar ke-4 biasanya dikenal sebagai pupa. Nimfa instar satu (panjang + 0,223 mm, lebar + 0,131 mm) berbentuk bulat panjang, berwarna hijau cerah, pada pinggir tubuhnya terdapat bulu bulu halus dan lapisan lilin yang tipis. Nimfa instar 1 yang baru keluar dari telur aktif bergerak dan mengisap cairan makanan pada permukaan bawah daun selama 1-2 hari, dan setelah mendapatkan tempat yang sesuai akan menetap dan tidak bergerak lagi (Badri 1983). Nimfa instar 2 (panjang + 0,283 mm, lebar + 0,178

C dan RH 55% (Liu dan Stansly 1998).

(2)

mm), nimfa instar 3 (panjang + 0,470 mm, lebar + 0,312 mm) dan nimfa instar 4 (umum disebut pupa) tidak bergerak, berwarna hijau gelap, tungkai tereduksi, pada bagian dorsal terdapat tiga pasang duri (Badri. 1983). Stadia nimfa instar pertama pada tanaman tomat adalah 4,0 hari, nimfa instar kedua dan ketiga pada tanaman tomat adalah 2,7 dan 2,5 hari (Salas dan Mendoza 1995). Rata-rata stadia nimfa instar pertama pada Hibiscus rosa-sinensis kultivar Pink Versicolor adalah 4,2 hari dan kultivar Brilliant Red adalah 4,3 hari pada suhu 26,7 0C dan RH 55% (Liu dan Stansly 1998). Menurut Gameel (1977) perkembangan nimfa secara keseluruhan berlangsung selama 12-15 hari pada suhu 28o-32oC, dan 28 – 32 hari pada suhu 20o-24oC. Pada suhu lebih tinggi yaitu 30o-34oC periode perkembangan lebih cepat, dan sebaliknya menjadi lebih lama apabila suhu mencapai 18o - 22o

Imago B. tabaci berwarna kekuningan dan tubuhnya tertutup oleh sekresi seperti tepung lilin yang berasal dari kelenjar lilin yang terletak pada ruas abdomen pertama dan kedua pada imago jantan, sedangkan pada imago betina terletak pada ruas abdomen ke tiga dan ke empat. Sayap depan berwarna putih dan mempunyai pembuluh radial sektor yang bercabang satu dan pembuluh kubitus lurus. Antena tujuh ruas dengan ruas terakhir meruncing dan ditutupi oleh rambut rambut yang halus. Mata majemuk berkembang sempurna (Kalshoven 1981). Imago B. tabaci berukuran 1,0-1,5 mm. Panjang sayap depan + 0,673 mm dan lebar + 0,246 mm, sedangkan panjang sayang belakang + 0,572 dan lebar + 0,209 mm (Badri 1983). Lama hidup imago dipengaruhi oleh lingkungan dan faktor faktor lainnya. Lama hidup imago jantan pada umumnya lebih pendek dibanding

C .

Nimfa instar 4 umumnya disebut pupa. Pupa B. tabaci berbentuk bulat panjang berwarna kuning, bagian toraks agak melebar dan cembung, ruas abdomen tampak jelas. Pinggir puparium tidak rata dan pada bagian dorsal terdapat tujuh pasang seta (duri) dan satu pasang pada ujung anal. Vasiform orifice

berbentuk segi tiga dan memanjang, operkulum menutupi hampir separuh bagian dari vasiform orifice (Kalshoven 1981). Panjang pupa + 0,613 mm dan lebar + 0,421 mm. Lamanya stadium pupa rata rata 2,51 + 0,16 hari (Badri 1983). Stadia pupa pada tanaman tomat adalah 5,8 hari (Salas dan Mendoza 1995).

(3)

betina. Lama hidup imago jantan berkisar antara 9,54-17,20 hari, sedangkan betina mencapai 37,75- 74,20 hari (Gameel 1977).

Tanaman inang adalah tanaman yang dapat memenuhi kebutuhan hidup serangga baik yang berhubungan dengan makanan (kebutuhan gizi) maupun dalam hubungannya dengan perilaku. Serangga yang hidup pada tanaman inang yang sesuai berkembang biak lebih cepat dari pada yang hidup pada tanaman inang yang kurang sesuai (Beck 1965; House 1965).

B. tabaci bersifat polifag (Costa dan Brown 1990), sejumlah besar spesies tanaman tahunan dan setahun yang telah dibudidayakan maupun yang belum dibudidayakan sesuai untuk makan dan/atau reproduksi (Bedford et al. 1992; Brown et al. 1992). B. tabaci mempunyai kisaran inang lebih dari 600 spesies tanaman (Greathead 1986) yang berasal dari 63 famili tanaman, dan sebanyak 50% spesies tanaman yang merupakan inang kutukebul berasal dari famili Fabaceae, Asteraceae, Malvaceae, Solanaceae dan Euphorbiaceae (Mound dan Halsey 1978). Di antara famili tersebut 99% spesies tanaman yang merupakan inang kutukebul adalah Fabaceae (Basu 1995).

Di Brazil, kutukebul juga telah menginfestasi gulma sebagai inang. Gulma yang menjadi inang kutukebul tersebut adalah: Cleome espinosa (Cleomaceae),

Senna obtusifolia (Fabaceae), Herisanthia hemoralis (Malvaceae), Richardia grandiflora, Borreriaverticilliata (Rubiaceae), Waltheria indica, W. Rotundifolia

(Sterculicaceae), dan Stachytarpheta sanguinea (Verbenaceae) (Lima et al. 2000). Selanjutnya Simmon et al. (2000) melaporkan bahwa inang baru kutukebul di Amerika Serikat adalah: Hyperium perfolatum (Hypericaceae), Valeriana officinalis (Valerianaceae), Tanacetaum parthenium, Echinaceae pallida, E. purpurea (Asteraceae).

Henridval et al. (2011) melaporkan kisaran inang B. tabaci yang tumbuh di sekitar pertanaman cabai merah di Indonesia tepatnya di Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta terdiri atas 22 spesies gulma dan lima spesies tanaman budidaya lainnya. Inang tersebut meliputi 13 famili yaitu Amaranthaceae, Araceae, Asteraceae, Brassicaceae, Capparidaceae, Convolvulaceae, Euphorbiaceae, Lamiaceae, Oxalidaceae, Rubiaceae, Papilionaceae, Solanaceae, dan Sterculiaceae. Famili Asteraceae dan Euphorbiaceae merupakan inang dengan

(4)

populasi B. tabaci paling banyak dibandingkan dengan famili lainnya. Gulma A. conyzoides berperan sebagai inang B. tabaci, inang alternatif Geminivirus, dan reservoir parasitoid Eretmocerus sp. Gulma A. boehmerioides hanya berperan sebagai inang B. tabaci dan inang alternatif Geminivirus.

Hama B. tabaci dilaporkan telah ada sejak tahun 1800 di Amerika Serikat. Hama ini ditemukan di bagian selatan Amerika dan bermigrasi ke California Utara, dan akhirnya ditemukan pula di bagian barat Amerika dan Canada. Selanjutnya hama ini menyebar ke pulau Caribia, Amerika Serikat dan Amerika Selatan serta Mexico, kemudian menyebar ke Eropa, Afrika, India, Australia (Mc Auslane 2005).

Sebelum tahun 1986, hama B. tabaci hanya bersifat sebagai hama sekunder. Pada tahun 1986 di Florida, serangga ini menjadi serangga yang merugikan secara ekonomi. Hama ini berkembang dengan cepat di Amerika Serikat (Texas, Arizona dan California). Pada tahun 1994, ditemukan spesies baru, yaitu B. argentifolii

(Mc Auslane 2005).

Peranan B. tabaci dalam Penularan Begomovirus

Peranan B. tabaci sebagai vektor Begomovirus yang menyebabkan penyakit pada tanaman sayuran termasuk cabai merah sudah banyak dilaporkan. Menurut Cohen dan Berlinger (1986) populasi kutukebul yang sangat rendah sudah dapat menyebabkan kerusakan tanaman, karena merupakan vektor virus tanaman. Pada umumnya hubungan virus dengan vektornya bersifat persisten akan tetapi pada umumnya tidak diturunkan ke generasi berikutnya melalui telur (non transovarial transmission), walaupun diketahui terdapat begomovirus yang dapat diturunkan ke generasi berikutnya, misalnya TYLCV (Czosnek et al. 1988), dan TYLCV-sar (Bosco et al. 2001). Ghanim et al. (1998) dan Ghanim dan Czosnek (2000) melaporkan bahwa TYLCV-Israel mampu ditularkan secara transovarial oleh B. tabaci selama dua generasi dan melalui kopulasi antar individu.

Perring (2001) menyatakan bahwa terdapat 7 kelompok biotipe B. tabaci, dan biotipe B yang sangat potensial dalam menularkan begomovirus pada berbagai tanaman budidaya, misal CabLCV pada tanaman kubis dan ToMV pada tanaman tomat (Hunter et al. 1998). Secara alamiah begomovirus tidak menular

(5)

melalui benih tapi hanya menular dengan bantuan serangga B. tabaci dari tanaman satu ke tanaman lainnya.

Sulandari (2004) melaporkan bahwa B. tabaci adalah suatu vektor yang sangat efektif, karena pada percobaan di rumah kaca hanya dengan menggunakan satu imago B. tabaci setelah mengisap sumber inokulum selama 48 jam dan melalui periode inokulasi 24 jam sudah dapat menularkan begomovirus penyebab penyakit daun keriting kuning cabai (PepYLCV) sebesar 40%. dan efektifitas penularan meningkat 2 kali apabila digunakan 3 imago. Semakin banyak imago B.

tabaci yang digunakan, efektivitas penularan makin meningkat dan masa

inkubasinya lebih singkat. Brown (1994) menunjukkan bahwa satu ekor B. tabaci

yang telah diberi perlakuan periode makan akuisisi (PMA) selama 48 jam dan periode makan inokulasi (PMI) selama 3 hari, mampu menularkan chino del tomato virus (CdTV) dengan jumlah tanaman terinfeksi 15%. Mehta et al. (1994) melaporkan bahwa satu ekor B. tabaci biotipe B mampu menularkan tomato

yellow leaf curl virus-Mesir (TYLCV-Mesir), dan efisiensi penularannya

meningkat 4 kali jika jumlah serangga ditingkatkan hingga 5 ekor pertanaman. Uzcategui dan Lastra (1978) melaporkan bahwa efisiensi penularan virus oleh B.

tabaci yang dipelihara pada suhu 30 – 34oC adalah 93%, sedangkan yang

dipelihara pada suhu 20-30o

Imago B. tabaci betina lebih efektif dalam menularkan PepYLCV dibandingkan yang jantan. Semua tanaman (100%) tertular oleh PepYLCV yang dibawa imago betina dengan masa inkubasi yang lebih pendek (6 sampai 8 hari) sementara yang jantan hanya mampu menularkan sebanyak 60% dengan masa

C hanya 75%.

Hubungan PepYLCV dengan B. tabaci bersifat persisten akan tetapi pada umumnya tidak diturunkan ke generasi berikutnya melalui telur (non transovarial transmission). Periode akuisisi dan inokulasi yang optimal dari B. tabaci untuk menularkan Pep.YLCV adalah 3 sampai 6 jam, memerlukan periode laten di dalam tubuh vektor selama minimal 9 jam dan periode retensinya sampai serangga mati (Sulandari 2004). Untuk PepYLCV di Thailan, periode makan akuisisi imago

B. tabaci selama 1 jam merupakan waktu yang optimal untuk penularannya, dan

(6)

inkubasi yang lebih panjang (10 sampai 18 hari), dan gejala yang ditimbulkannya juga lebih ringan, tanaman cabai tidak menjadi kerdil (Sulandari 2004).

Peranan Teknik Budidaya Khususnya Pemanfaatan Tanaman Pembatas Pinggir Untuk Pengendalian Hama dan Konservasi Predator

Pengendalian hama secara budidaya atau bercocok tanam bertujuan mengelola lingkungan tanaman sedemikian rupa sehingga menjadi kurang cocok bagi kehidupan dan perkembangan hama serta dapat mengurangi laju peningkatan populasi hama dan kerusakan tanaman. Disamping itu, diusahakan juga agar lingkungan dapat mendorong berfungsinya musuh alami sebagai pengendali hama yang efektif (Untung 2006).

Mula mula teknik pengendalian secara bercocok tanam yang diterapkan merupakan teknik yang kurang dilihat perpaduannya dengan teknik-teknik pengendalian hama yang lain seperti pemanfaatan musuh alami. Saat ini dalam rangka sistem PHT teknik pengendalian hama secara bercocok tanam mencakup pengertian yang lebih luas yaitu pengelolaan ekologi lingkungan pertanaman (Pedigo 1991). Untuk meningkatkan keefektifan dan efisiensi hasil pengendalian teknik pengendalian secara bercocok tanam perlu dipadukan dengan teknik-teknik pengendalian hama lainnya sesuai dengan prinsip-prinsip PHT (Untung 2006).

Menurut Pedigo (1991) sebagian besar teknik pengendalian secara bercocok tanam berdasarkan sasaran yang akan dicapai dapat dikelompokkan menjadi 4 dan salah satunya adalah mengalihkan populasi hama menjauhi tanaman. Dengan mempelajari sifat preferensi dan kemampuan serangga hama bergerak menjauhi tanaman yang tidak disukai dan menuju ke jenis tanaman yang disenangi dapat diusahakan mengalihkan perhatian hama untuk menjauhi tanaman yang sedang diusahakan.

Penanaman tanaman border di sekitar tanaman yang diusahakan, berfungsi menolak atau menghalangi agar hama menjauhi atau tidak sampai ke tanaman yang diusahakan. Penanaman tanaman border dilakukan dengan menanam jenis tanaman bukan inang atau yang tidak disukai oleh hama sasaran di sekeliling tanaman yang diusahakan. Tanaman bukan inang selain berperan sebagai samaran yang membuat tanaman inang sulit ditemukan, juga berperan sebagai penghalang fisik bagi hama untuk menemukan tanaman inang yang diusahakan. Misalnya

(7)

jagung di sekeliling tanaman cabai dapat menghalangi pemencaran trips (Pedigo 1991). Agar diperoleh hasil dengan baik, waktu penanaman tanaman border harus disesuaikan dengan fenologi hama terutama waktu pemunculan fase hidup hama yang merusak tanaman. Disamping itu perlu dipertimbangkan juga postur tinggi tanaman border harus lebih tinggi dari tanaman utama dan kemampuan ketinggian terbang hama sasaran (Untung 2006).

Menurut Settle et al. (1996) dan Untung (2006), pemanfaatan tanaman border dapat mendorong stabilitas ekosistem sehingga populasi hama dapat ditekan berada dalam kesetimbangannya. Fenomena ini terjadi karena suatu lahan pertanian yang ditanamai berbagai jenis tanaman dapat meningkatkan keragaman vegetasi yang terdapat di dalam ekosistem, sehingga membuat ekosistem tersebut kurang sesuai bagi serangga hama, dan sebaliknya sesuai bagi musuh alami. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa populasi serangga hama ditemukan lebih tinggi pada pertanaman monokultur dari pada pertanaman polikultur. Tingginya populasi serangga hama pada pertanaman dengan vegetasi yang lebih seragam disebabkan oleh laju kolonisasi serangga hama lebih tinggi dan hambatan fisik (barier) serta kimia yang lebih rendah dalam menemukan tanaman inang (Altieri 1991).

Di sisi lain, teknik bercocok tanam seperti penanaman tanaman border dapat mendorong konservasi musuh alami seperti predator. Hal ini terjadi karena pemanfaatan tanaman border merupakan teknik pengendalian hama secara budidaya yang dapat meningkatkan keragaman vegetasi (Untung 2006). Vegetasi yang beragam sangat sesuai bagi kehidupan musuh alami seperti predator yang pada umumnya bersifat generalis. Predator generalis dapat memangsa bermacam-macam mangsa yang tersedia dalam waktu yang lama. Selain itu predator juga dapat memelihara reproduksinya dan meningkatkan lama hidup, karena tersedianya nektar dan tepung sari serta mikrohabitat yang sesuai (Andow 1991; Perfecto dan Sediles 1992; Untung 2006). Dengan demikian, pada vegetasi yang beragam populasi predator generalis itu dapat bertahan dalam tingkat yang lebih tinggi dan dalam waktu yang relatif lama, sehingga predator generalis lebih kuat menekan populasi hama (Risch et al. 1983). Norris dan Kogan (2005) menambahkan dalam hasil penelitiannya menyatakan bahwa populasi predator

(8)

dan parasitoid terutama yang generalis pada vegetasi yang beragam relatif stabil, dan bertahan lama, sebab makanan (tepung sari dan nektar) tersedia lebih berkesinambungan serta adanya tempat berlindung dan mikrohabitat yang sesuai.

Peranan Predator dalam Pengendalian B. tabaci

Menurut Pedigo (1991) predator adalah organisasi yang hidup bebas dan memakan binatang lain, memangsa kadang-kadang secara utuh dan cepat. Istilah “predatisme” adalah suatu bentuk simbiosis dari dua individu yang salah satu di antara individu tersebut menyerang atau memakan individu lainnya satu atau lebih spesies, untuk kepentingan hidupnya yang dapat dilakukan dengan berulang-ulang. Individu yang diserang disebut mangsa. Menurut Smith (1978) dan Huffaker et al. (1976) dalam pemanfaatan predator, bisa dilakukan dengan mengintroduksi maupun yang sudah ada di suatu daerah kemudian dikelola untuk mengendalikan serangga hama.

Menurut De Bach (1979) dan Untung (2006), populasi hama yang meningkat sehingga menimbulkan kerugian secara ekonomik disebabkan oleh keadaan lingkungan yang kurang memberi kesempatan bagi predator untuk menjalankan fungsi alaminya. Apabila kepada musuh alami dalam hal ini predator kita berikan kesempatan berfungsi, antara lain dengan jalan rekayasa lingkungan seperti introduksi predator, memperbanyak dan melepaskannya, serta mengurangi berbagai dampak negatif terhadap predator, maka predator akan dapat melaksanakan fungsinya dengan baik

Serangga predator pada umumnya bersifat polifag atau oligofag. Coppel and Mertins (1977) menyatakan bahwa spesies predator yang polifag kurang tergantung pada kerapatan populasi serangga hama. Walaupun demikian predator yang polifag memiliki kemampuan yang tinggi dalam beradaptasi terhadap lingkungan, dan memiliki kemampuan memencar yang cepat serta mampu beralih mangsa apabila mangsa utama berkurang. Wiedenmann and Smith (1997) menambahkan bahwa predator yang potensial harus mempunyai kemampuan berkompetisi dan menyabar yang tinggi. Pada tanaman semusim, kolonisasi predator dapat terjadi secara periodik. Pada saat di lapangan tidak ada tanaman habitatnya, predator harus mampu menyebar ke tanaman bukan habitatnya. Pada

(9)

saat di lapang ada tanaman maka predator harus mampu dengan cepat dapat mengolonisasi habitat itu.

Studi musuh alami Bemisia spp. di Brasil menemukan sekitar 14 spesies predator (Jervis dan Kidd 1996). Dari jenis predator kumbang kubah (lady beetle),

Nephaspis hydra Gordon dan Delphastus davidsoni Gordon diketahui pertama kali sebagai pemangsa Bemisia spp. Gerling (1990) menambahkan bahwa ada 19 spesies serangga tercatat sebagai predator yang memangsa B. tabaci yang termasuk pada empat famili yaitu Chrysopidae, Miridae, Anthocoridae dan Stigmaeidae. Setiawati (2005), mengungkapkan beberapa spesies predator yang diketahui efektif terhadap B. tabaci antara lain Coccinella transversalis, Menochilus sexmaculatus, Coenosia attenuate, Delphastus pusillus, Deracocoris pallens, Euscius hibisci, Orius albidipennis, Scymus syriacus. dan Chrysoperla carnea.

Dari hasil penelitian eksplorasi musuh alami di Kabupaten Bandung dan Karawang pada tahun 2005 ditemukan beberapa jenis predator dan parasitoid yang mempunyai potensi untuk mengendalikan hama kutukebul (B. tabaci) pada pertanaman sayuran. Jenis predator kutukebul yang ditemukan adalah beberapa spesies dari famili Coccinellidae (Menochilus sexmaculatus, Coccinella transversalis, Harmonia sp., Curinus coerulus dan Delphastus sp.), Paederus fusipes (Coleoptera: Stapilinidae) dan Condilastylus sp. (Diptera). Jenis parasitoid kutukebul yang ditemukan adalah beberapa spesies dari famili Aphelenidae (seperti Eritmoserus sp., Neopompalae sp. dan Encarsia sp.). (Sudrajat 2009). Berdasarkan hasil pengujian skala laboratorium jenis predator yang potensial untuk dikembangkan adalah M. sexmaculatus, C. transfersalis, Harmonia sp., C. coerulus dan Paederus fuscipes, dengan daya pemangsaan rata-rata berkisar 65%. (Muharam dan Setiawati 2007).

Keefektifan predator dalam mengendalikan populasi hama dapat diukur dari daya pemangsaannya (Kharboutli dan Mack 1993). Berdasarkan daya pemangsaan tersebut dapat dinilai kemampuan predator dalam mengatur keseimbangan populasi mangsa. Menurut Tarumingkeng (1994), terdapat beberapa faktor yang menentukan tingkat laju pemangsaan (konsumsi) oleh suatu predator terhadap mangsanya, diantaranya adalah preferensi terhadap jenis mangsa tertentu dan

(10)

kerapatan mangsa hubungannya dengan kemampuan mencari yang tinggi terutama pada saat populasi mangsa rendah (tanggap fungsional).

Preferensi Predator terhadap Jenis Mangsa

Berbagai spesies predator mempunyai preferensi terhadap mangsa tertentu. Preferensi diartikan sebagai derajat kesukaan predator terhadap mangsa tertentu, yang ditunjukkan oleh jumlah individu mangsa yang dimakan dan terbunuh oleh suatu individu predator dalam satu satuan waktu. Menurut Cineros dan Rosenheim (1998) preferensi dapat merupakan seleksi terhadap satu tipe mangsa terhadap proporsi mangsa yang tersedia dalam satu lingkungan tertentu. Untuk menilai preferensi tersebut dapat digunakan nilai indeks linier pemilihan mangsa yang dapat diduga dengan persamaan yang dikembangkan oleh Houck (1986) sebagai berikut : Li = ri - pi. Li adalah indeks linier pemilihan mangsa, ri adalah

proporsi mangsa yang dimangsa oleh predator, dan pi adalah proporsi mangsa

yang tersedia (Houck 1986). Secara simetris nilai indeks linier pemilihan mangsa bervariasi antara -1 s/d + 1. Nilai positif menunjukan adanya preferensi (kesukaan) terhadap mangsa tertentu dan nilai negatif menunjukan tidak ada kesukaan (penolakan) terhadap mangsa tertentu atau mangsa relatif dihindari.

Beberapa komponen yang berpengaruh pada preferensi terhadap mangsa adalah ketertarikan dan kesesuaian terhadap mangsa, pengenalan terhadap mangsa, keputusan menyerang atau tidak, menangkap serta mengkonsumsi mangsa. Walaupun tingkat penerimaan terhadap dua jenis mangsa sama, tetapi karena kemampuan menghindar dari kedua mangsa tersebut berbeda maka frekuensi pertemuan predator dan mangsa dapat berbeda, akibatnya preferensi terhadap kedua mangsa tersebut berbeda (Cineros dan Rosenheim 1998).

Tanggap Fungsional Predator terhadap Mangsa

Hubungan antara predator dan mangsa sangat erat dalam kaitannya dengan perubahan kerapatan mangsa. Perubahan kerapatan populasi mangsa dapat mengubah perilaku predator dalam hal pemangsaan dan keefektifan predator dicerminkan oleh intensitas tanggapnya terhadap kerapatan populasi mangsa (Hassel 1966).

(11)

Elseth dan Baumgardner (1981) memperkenalkan dua jenis tanggap predator terhadap perubahan kerapatan populasi mangsa yaitu tanggap fungsional dan tanggap numerik. Tanggap fungsional menunjukkan perubahan jumlah mangsa yang diserang atau dimakan (laju pemangsaan) per individu predator akibat perubahan kerapatan mangsa per satuan waktu (Hassel 1966). Tanggap numerik menunjukkan perubahan kerapatan predator sebagai akibat dari perubahan kerapatan mangsa. Peningkatan kerapatan populasi predator sebagai tanggap terhadap peningkatan kerapatan populasi mangsa. Peningkatan kerapatan mangsa dan predator disebabkan oleh imigrasi atau reproduksi yang meningkat atau keduanya (Brewer 1979).

Tanggap fungsional kemudian menjadi salah satu ukuran untuk menentukan keefektivan suatu predator dalam mengendalikan hama atau mengatur keseimbangan populasi hama (Hassell et al. 1977). Tanggap fungsional merupakan aspek penting untuk dipelajari, sehingga diperoleh gambaran tentang kemampuan predator dalam menangani mangsanya (Pervez dan Omkar 2005).

Holling (1959) mengidentifikasi tiga macam tipe tanggap fungsional yang menggambarkan hubungan predator-mangsa yaitu; (1) Tanggap fungsional tipe I. (linier) yaitu proporsi mangsa yang dimakan bersifat konstan, sehingga hubungan antara banyaknya mangsa yang dimakan predator dan kerapatan mangsa bersifat linier. Jumlah mangsa yang dimakan meningkat secara proporsional mengikuti peningkatan kerapatan mangsa sampai batas maksimum kemudian mendatar sejalan dengan peningkatan kerapatan mangsa; (2) Tanggap fungsional Tipe II. (hiperbolik) yaitu proporsi mangsa yang dimakan/terbunuh menurun tajam dengan meningkatnya kerapatan populasi mangsa. Jumlah mangsa yang dimakan makin banyak dengan makin meningkatnya populasi mangsa, kemudian pertambahan jumlah mangsa yang dimakan tersebut mulai menurun dan penurunan itu makin cepat sejalan dengan makin meningkatnya populasi mangsa; (3) Tanggap fungsional Tipe III. (sigmoid) yaitu proporsi mangsa yang dimakan/terbunuh awalnya meningkat, tetapi kemudian secara berangsur menurun dengan meningkatnya kerapatan populasi mangsa. Pertambahan jumlah mangsa yang dimakan/terbunuh pada awal menigkatnya lambat dengan meningkatnya populasi

(12)

mangsa, kemudian makin cepat dan lambat kembali dengan meningkatnya populasi mangsa.

Untuk memperoleh parameter tanggap fungsional laju pencarian mangsa seketika (a) dan waktu penanganan mangsa (Th) digunakan model persamaan cakram dari Holling (1959) atau persamaan acak dari Rogers (1972). Untuk tanggap fungsioan tipe I adalah: Persamaan cakram Ne = aN0 + b; dan

Persaman acak Ne = aT.No. Untuk tanggap fungsional tipe II adalah: Persamaan cakram Ne = a.T.N0/(1+a.Th.N0); Persamaan acak Ne = N0

{1–exp[a(Th.Ne–T)]}. Untuk tanggap fungsional tipe III adalah: Persamaan cakram Ne = a.T.N02/(1+cN0+b.Th.N02); Persamaan acak Ne = N0 {1–exp

[(d+bN0)(Th.Ne–T)/(1+cN0)]}. Ne adalah banyaknya mangsa yang dimakan oleh

per individu predator, N0 banyaknya mangsa yang tersedia, T lama waktu mangsa

terpapar pada predator waktu pencarian mangsa, Th waktu penanganan mangsa, a laju pencarian seketika(penyerangan) dan b, c dan d adalah konstan yang diturunkan dari parameter a (Hassell et al. 1977). Persamaan cakram Holling digunakan bila selama percobaan berlangsung, mangsa yang dikonsumsi oleh predator diganti sehingga kepadatan mangsa konstan. Jika mangsa yang dikonsumsi tidak diganti, maka persamaan acak lebih cocok untuk digunakan (Rogers 1972).

Tanggap fungsional dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti stadia mangsa, fase pertumbuhan tanaman, cuaca, kehadiran mangsa alternatif dan kompetisi antara predator, disamping itu keragaman fisik dari suatu habitat juga mempengaruhi tanggap fungsional predator terhadap mangsa. Hal ini ada kaitanya dengan habitat sebagai tempat berlindung dan sumber makanan alternatif bagi serangga predator (Horn 1981).

Daftar Pustaka

Altieri MA. 1991. Ecology of tropical herbivores in polycultural agroecosystem. P.607 – 617. In Price PC, T.M. Lewinsohn, G.W. Fernandes, W. Benson (ed.) Plant-Animals interaction: evolutionary ecology in tropical and temperate regions. John Wiley dan Sons, Inc New York 545p.

Andow D.A. 1991. Vegetational diversity and arthropod population response.

(13)

Badri I. 1983. Identification of the Aleyrodid on soybean from two location in west Jafa and some bionomics of Bemisia tabaci Genn. (Homoptera : Aleyrodidae) on three soybean varieties. Biotrop, Seameo-Regional Center for tropical Biology. Bogor, Indonesia. 62 pp.

Basu AN. 1995. Bemisia tabaci (Gennadius): Crop Pest and Principal Whitefly Vector 0f Plant Viruses. New Delhi: Westview Press

Beck, S.D. 1965. Resistance of plants to insects. Ann. Rev. Ent. 10 : 207 – 232. Bedford ID, Briddon RW, Markham PG, Brown JK, Rosell RC. 1992. Bemisia

tabaci : biotype characterization and the threat of this whitefly species to agriculture. Proceedings of the 1992 British Crop Protection Conference Pest and Diseases 3 : 1235 – 1240.

Bosco D, Mason G, Accotto GP. 2001. Investigations on transovarial transmission of TYLCV-Sar by Bemisia tabaci (Hemiptera: Aleyrodidae). European Whitefly Symp. Ragusa (Sicilia, Italy), 27th Feb – 3 rd March 2001.

Brewer R. 1979. Principles of ecology. W.B. Sounders Company, Phyladelphia, London, Toronto. P. 90 – 95.

Brown, JK. Costa HS., Laemmlen F. 1992. First report of whitefly associated labu silverleaf disorder of Cucurbita in Arizona and of white streaking disorder of Brassica in Arizona and California. Plant Dis. 76: 426.

Brown, J.K. 1994. Current status of Bemisia tabaci as a plant pest and virus vector in agro ecosystems word wide. FAO Plant Prot. Bull. 42: 3 – 32

Butler, G.D., Jr., T.J. Henneberry, and T.E. Clayton.1983. Bemisia tabaci

(Homoptera: Aleyrodidae): Development, oviposition, and longevity in relation to temperature. Ann. Entomol. Soc. Amerika 76(2): 310 313.

Byrne DN, Bellows Jr TS. 1991. Whitefly biology. Annual Review of Entomology

36: 431–457.

Cisneros JJ, Rosenheim JA. 1998. Changes in the foraging behavior, within plant vertical distribution, and microhabitat selection of a generalist insect predator: an age analysis. Environ. Entomol. 27 (4): 949 – 957.

Cohen S., dan Berlinger MJ. 1986. Transmission and host range of tomato yellow leaf curl virus. Phytopathol. 56 : 1127 – 1131.

Coppel HC, Mertins JW. 1977. Biological insect pest suppresion. Springer-Verlag. Berlin, Heidelberg, New York. 314p.

Costa HS. dan Brown JK. 1990. Variability in biological characteristic isozyme patterns and virus transmission among populations of Bemisia tabaci Genn. In Arizona. Phytopathol. 80 : 888.

(14)

Czosnek H, Ber R, Antignus Y, Cohen S, Nafot N, Zamir D. 1988. Isolation of tomato yellow leaf curl virus, a begomovirus. Phytopatol. 78: 508-512. De Bach P. 1979. Biologycal Control of Insect Pests and Weeds. London:

Chapman dan Hall.

Elseth GD, Baumgardner KD. 1981. Population biology. D. van Nostrand Companyy. New York. Cincinnati, Toronto. London. Melbourne. p. 361 – 407.

Gameel, O.J. 1977. Bemisia tabaci Genn. Pp. 320 – 322. In J. Kranz, H. Schumutterer and W. Kock. ed. Diseases, pests and weed in tropical crops. Jhn Wiley dan Sons. New York.

Gerling D. 1990. Natural enemies of whitelies; predator and parasitoids. In Whiteflies; Their Bionomics, Pest Status and Management, ed Dgarling, pp 147 – 185. Andover; Intercept Ltd.

Ghanim M, Morin S, Zeidan M, Czosnek HG. 1998. Evidence for transovarial transmission of tomato yellow leaf curl virus by is vector, the whitefly

Bemisia tabaci. Virol. 240: 295 – 303.

Ghanim M, Czosnek H. 2000. tomato yellow leaf curl geminivirus (TYLVC-Is) is transmitted among whiteflies (Bemisia tabaci) in a sex-related manner.

Virol. 74: 4735 – 4745.

Greathead AH. 1986. Host plants. Di dalam : Cock MJW, editor. Bemisia tabaci. A literature Survey on the cotton Whitefly with an Annotated Bibliography. Silwood Park, UK : CAB International Institutes, Biological Control. Hlm 17 – 26.

Hassel MP. 1966. Evaluation of parasite or redator resposes. J. Anim. Ecol. 35: 65 – 75.

Hassell MP, Lawton JH, Beddington JR. 1977. Sigmoid fungtional responses by invertabrate predators and parasitoid. J. Anim Ecol. 46: 249 – 262.

Hendrival, Hidayat P, Nurmansyah A. 2011. Kisaran inang dan dinamika populasi

Bemisia tabaci (Gennadius) (Hemiptera: Aleyrodidae) di pertanaman cabai merah. J. HPT Tropika. Vol. 11 No. 1: 47 – 56.

Hirano, K., E. Budiyanto, and S. Winarni. 2002. Biological characteristics and forecasting outbreaks of the whitefly, Bemisia tabaci, a vector of virus

diseases in soybean

fields.

Holling CS. 1959. Some characteristics of simple types of predations and parasitism. Canadian Entomol 91: 385 – 398.

(15)

Horn DJ. 1981. Effect of weedy backgrounds on colonization of collards by green peach aphid, Myzus persicae and its major predators. Environ. Entomol. 10: 285 – 289.

Houck MA, 1986. Prey preference in Stetorus punctum (Coleoptera: Coccinellidae). Environ. Entomol. 15: 967 – 970.

House H.L. 1965. Insect nutrition, pp. 769 – 813. In

Huffaker CBF, Simmonds J, Laing JE, 1976. Theoretical and empirical biological control. Pp.52 – 55. In Huffaker CBF, Messenger PS (ed.) Theory and practice of biological conrol. Academy Press.

Hunter WB, Hiebert E, Webb SE, Tsai JH, Polston JE. 1998. Location of geminivirus in the whitefly Bemisia tabaci (Homoptera: Aleyrodidae). Plant Dis 82: 1147 – 1151.

Jervis M, Kidd N. 1996. Insect natural enemis, practical Approaches to their study and evaluation. Chapman and Hall. London. 491p.

Rockstein, ed. The physiology of insects (2) Academic Press. New York.

Kalshoven, L.G.E. 1981. Pests of Crops in Indonesia. Revisi oleh P.A. van der Laan. PT Ichtiar Baroe- van Hoeve. Jakarta. 701 pp.

Kharboutli MS, TP Mack. 1993. Effect of temperatur, humidity, and prey density on feeding rate of the striped earwing (Dermaptera: Labiduridae). Environ. Entomol. 22(5): 1134 – 1139.

Lima LHC, Moretzohn MC. Oliveira MRV. 2000. Survey of Bemisia tabaci

(Gennadius) (Hemiptera : Aleyrodidae) biotype in Brazil using RAPD markers. Genet. Mol. Biol. 23 : 1 – 5 .

Liu TX, Stansly PA. 1998. Life history of Bemisia argentifolii (Homoptera: Aleyrodidae) on Hibiscus rosa-sinensis (Malvaceae). Florida Entomologist

81(3): 437–445.

Martin JH., Mifsud D., Rapisarda C. 2000. The whiteflies (Hemiptera: Aleyrodidae) of eourope and mediterranean basin. Buletin of Entomological Research. 86: 407- 448

McAuslane HJ.2005. Sweetpotato whitefly B Biotype of silverleaf whitefly,

Bemisia tabaci (Gennadius) or Bemisia argentifolii Bellows and Perring (Homoptera: Aleyrodidae). Institut of Food and Agricultural Sciences,

Universyti of Florida, Gainesville,

(16)

Mehta P, Wyman JA, Nakhla MK, Maxwell DP. 1994. Transmission of tomato yellow leaf curl geminivirus by Bemisia tabaci (Hemiptera: Aleyrodidae). J. Econ Entomol 87 (5): 1291 – 1297.

Mound LA., Halsey SH. 1978. Whitefly of the world. New York: British Museum of Natural History and Wiley. Di dalam : Perring TM. 2001. The Bemisia tabaci species complex, Crop Protect. 20 : 725 – 737.

Muharam A.dan W. Setiawati. 2007. Teknik Perbanyakan Massal Menochilus

sexmaculatus (Coleoptera : Coccinellidae) dalam Pengendalian Bemisia

tabaci Vektor Virus Kuning pada Tanaman Cabai. Jurnal Hortikultura.Vol

17.No.4 : 365 – 373.

Norris FF and Kogan M. 2005. Ecology of interaction between weeds and arthrophods. Ann. Rev. Entomol. 50: 479 – 503. Oliveira MRV, Henneberry TJ, Anderson P. 2001. History, current status and collaborative research projects for Bemisia tabaci. Crop Protection 20: 709 – 723.

Pedigo LP. 1991. Entomologi and pest management. MacMillan Publishing company New York. Collier MacMillan Publishers. London. 646p.

Perfecto I, Sediles A. 1992. Vegetational diversity, ants (Hymenoptera: Formicidae), and herbivorous pest in a neotropical agroecosystem. Environ. Entomol. 21(1):61– 67.

Pervez A, Omkar. 2005. Functional responses coccinellidae predator: an illustration of a logistic approach. J. Insect Sci 5(5): 1 – 6.

Perring TM. 2001. The Bemisia tabaci species complex. Crop Prot. 20: 725-737. Risch SJ., D Andow, MA Altieri. 1983. Agroecosystem diversisty and pest

control data , tentative conclusions and new research directions. Environ. Entomol.12: 625-629.

Rogers DJ. 1972. Random search and insect population models. J Anim Ecol. 18: 1 – 35.

Salas J, Mendoza O. 1995. Biology of the sweetpotato whitefly (Homoptera: Aleyrodidae) on tomato. Florida Entomologist 78(1): 154–160.

Samretwanich K, Chiemsombat P, Kittipakorn K, Ikegami M. 2000. A new geminivirus associated with a yellow leaf curl disease of pepper in Thailand.

Plant Dis 84: 1047.

Setiawati, W. 2005. Pengelolaan Terpadu pada Tanaman Cabai Merah dalam Upaya Mengatasi Penyakit Virus Kuning. Makalah disampaikan pada Pertemuan Apresiasi Penerapan Penganggulangan Virus Cabai, Yogyakarta, 14 – 15 April 2005.

(17)

Settle, W.H., H. Ariawan, E.T. Astuti, W. Cahyana, A.L. Hakim, D. Hindayana, A.S. Lestari, Pajarningsih, Sartanto. 1996. Managing Tropical Rice Pests Through Conservation of Generalist National Enemies and Alternative Prey. Ecology 77 (7): 1957 – 1988. The Ecological Society of America.

Simmon AM, McCutcheon GS, Dufault RJ, Hassell RL, Rushing JW. 2000.

Bemisia argentifolii (Homoptera: Aleyrodidae) attacking species of

medicinal herbal plants. Ann. Entomol. Soc. Am. 93 : 856 – 866 .

Smith RF. 1978. Distory and complexity of integrated pest management in pest control strategies. Smith SH and Pimmentel D.(ed.). Acedemy Press. New York.

Sudrajat. 2009. Eksplorasi Musuh Alami Kutukebul (Bemisia tabaci) di Jawa Barat (Pangalengan, Ciwidae, Lembang dan Krawang) pada Tanaman Sayuran. Laporan Sementara Hasil Penelitian untuk Disertasi S-3. Universitas Padjadjaran.

Sulandari S, Hidayat SH, Suseno R, Jumanto H, Sosromarsono S. 2001. Keberadaan virusgemini pada cabai di DIY. Konggres Nasional dan Seminar Ilmiah PFI ke XVI. Bogor, Agustus 2001.

Sulandari S. 2004. Karakterisasi biologi, serologi, dan analisis sidik jari DNA virus penyebab daun keriting kuning cabai [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Tarumingkeng, R.C. 1994. Dinamika Pertumbuhan Populasi Serangga. IPB Press, Bogor.

Untung Kasumbogo. 2006. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Uzcategui Rcde, Lastra R. 1978. Transmission and physical properties of the causal agent of mosaic amarillo del tomato (tomato yellow mosaic).

Phytopathol. 68: 985 – 988.

Wiedenmann RN, Smith JW. 1997. Attributes of natural enemies in ephemeral crop habitat. Biol. Contr. 10: 16 – 22.

Referensi

Dokumen terkait

C. Menghukuim Penggugat Konvensi / Tergugat Rekonvensi untuk membayar biaya perkara ini yang ditaksir sebesar Rp.. Fauziah binti Usman ) dan

Pengujian detektor plagiarisme Deimos akan dilakukan dengan menggunakan data uji dari source code hasil pengumpulan kelas IF1282 Dasar Pemrograman yang diselenggarakan pada

Yang dimaksud dengan RAKERNAS SPKEP SPSI (Rapat Kerja Nasional Serikat Kimia, Energi dan Pertambangan SPSI) adalah forum konsultasi, informasi dan evaluasi secara

Puji dan syukur panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa, kelimpahan rahmat dan karunia Nya sehingga dapat menyelesaukan tesis tentang “ Pengaruh Kompensasi dan

Bentuk asuransi keluarga syari'ah dilakukan menurut aturan- aturan sebagai berikut: (1) Peserta asuransi bebas memilih salah satu jenis atau produk asuransi keluarga yang ada,

Senyawa turunan vinkadiformina yang tidak memiliki nilai aktivitas antimalaria pada rentang tersebut tidak dapat diterima sebab berada di luar rentang intrapolasi model

Karena nilai sig hitung Box’s M pada fixed factors tingkat pendidikan menunjukkan lebih dari 0,05 yakni 0,996 maka H0 diterima yang berarti bahwa matrik varians-kovarians

Penelitian dilakukan melalui beberapa tahap yaitu persiapan dan penentuan lokasi pengamatan intensif, pengumpulan data, analisa data dan penyusunan rekomendasi penggunaan lahan