• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERBEDAAN PRESTASI BELAJAR SISWA ATAS PENGGUNAAN ALAT PERAGA MATEMATIKA BERBASIS METODE MONTESSORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PERBEDAAN PRESTASI BELAJAR SISWA ATAS PENGGUNAAN ALAT PERAGA MATEMATIKA BERBASIS METODE MONTESSORI"

Copied!
338
0
0

Teks penuh

(1)

PERBEDAAN PRESTASI BELAJAR SISWA

ATAS PENGGUNAAN ALAT PERAGA MATEMATIKA

BERBASIS METODE MONTESSORI

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar

Disusun oleh :

Yuli Prastiwi

NIM. 101134197

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(2)

i

PERBEDAAN PRESTASI BELAJAR SISWA

ATAS PENGGUNAAN ALAT PERAGA MATEMATIKA

BERBASIS METODE MONTESSORI

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar

Disusun oleh :

Yuli Prastiwi

NIM. 101134197

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(3)
(4)
(5)

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

Dengan mengucap syukur atas berkat dan rahmat Allah SWT yang telah

memberikan rahmat dan hidayah, skripsi ini kupersembahkan kepada:

Bapak Sukirno dan Ibu Purwaningsih, kedua orang tuaku

yang telah mencurahkan seluruh kemampuannya dan tiada

henti mendoakanku.

Mas Hendra, pendamping hidupku yang hampir setiap waktu

menyemangatiku dan memberikan dukungan baik secara

moril maupun materiil.

Teman-temanku seperjuangan yang telah bahu membahu

untuk mencapai kesuksesan bersama.

Mas, mbak, adik, bapak mertua, ibu mertua, teteh, aa, bulik,

om, simbah, dan seluruh saudara yang telah mendukungku

selama ini.

Almamater Universitas Sanata Dharma tempatku

(6)

v

MOTTO

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu

kaum hingga mereka mengubah diri mereka sendiri”

(Q.S. Ar-Ra’d:11)

“Bukan karena mudah maka aku yakin bisa, tetapi aku

yakin bisa maka semua menjadi mudah”

(Anonim)

“Education is the most powerful weapon which you can use

to change the world”

(7)

vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini

tidak memuat karya atau bagian dari karya orang lain, kecuali yang telah

disebutkan dalam kutipan dan daftar referensi, sebagaimana layaknya karya

ilmiah.

Yogyakarta, 16 Juni 2014

Peneliti,

(8)

vii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:

Nama : Yuli Prastiwi

Nomor Mahasiswa : 101134197

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:

PERBEDAAN PRESTASI BELAJAR SISWA ATAS PENGGUNAAN

ALAT PERAGA MATEMATIKA BERBASIS METODE MONTESSORI

beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royaltikepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai peneliti.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal: 16 Juni 2014

Yang menyatakan

(9)

viii

ABSTRAK

PERBEDAAN PRESTASI BELAJAR SISWA ATAS PENGGUNAAN ALAT PERAGA MATEMATIKA BERBASIS METODE MONTESSORI

Yuli Prastiwi Universitas Sanata Dharma

2014

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh rendahnya prestasi belajar matematika siswa. Bukti bahwa tingkat prestasi belajar matematika masih rendah adalah data hasil studi TIMSS dan PISA. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan prestasi belajar siswa atas penggunaan alat peraga matematika berbasis metode Montessori. Jenis penelitian ini adalah quasi-experimental dengan desain

non-equivalent control group design. Populasi dan sampel pada penelitian ini adalah siswa kelas II SDN Percobaan 3 Pakem Yogyakarta, siswa kelas IIA sebagai sampel eksperimen dan siswa kelas IIB sebagai sampel kontrol. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan dokumentasi dan observasi dengan instrumen penelitian berupa 15 soal uraian serta lembar observasi. Prosedur analisis data pada penelitian ini terdiri dari menentukan hipotesis, mengorganisasi data, menentukan taraf signifikansi, menguji skor pre-test, menguji prasyarat analisis, menguji hipotesis, menguji besar pengaruh, dan menguji signifikansi selisih. Teknik analisis data menggunakan independent t-test dan paired t-test

dengan bantuan program SPSS.

Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan prestasi belajar siswa atas penggunaan alat peraga matematika berbasis metode Montessori. Hasil analisis data menunjukkan bahwa secara umum kelompok eksperimen (M = 51,48; SE = 0,96) memiliki rata-rata skor post-test yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol (M = 48,80; SE = 0,81). Perbedaan tersebut signifikan t(48) = -2,125, p < 0,05. Kriteria besarnya pengaruh termasuk dalam small effect size

sebesar 8,6%. Kesimpulan dari penelitian ini adalah ada perbedaan prestasi belajar siswa atas penggunaan alat peraga matematika berbasis metode Montessori.

(10)

ix

ABSTRACT

THE DIFFERENCE OF STUDENTS LEARNING ACHIEVEMENT OF THE USING MONTESSORI METHOD-BASED MATH VISUAL AID

Yuli Prastiwi Sanata Dharma University

2014

The background of this research was the low level of learning math achievement. The evidence is the result from TIMSS and PISA study. The objective of this research is to find the difference of students learning achievement of the using Montessori method-based math visual aid. This research is quasi-experimental type with non-equivalent control group design. Population and sample of the research were students of SDN Percobaan 3 Pakem in the second grade. The experiment group was class IIA and the control group was IIB. Data collection technique were using documentation and observation with 15 essay questions and observation sheet as the instruments. The procedure of data analysis in this study consists of determining the hypothesis, managing the data, determining significance level, testing pre-test score, testing the analysis terms, testing the hypothesis, testing the effect size, and testing the difference significantly. Data analysis technique uses independent t-test and paired t-test. The process supported by the Statistical Product and Service Solutions (SPSS).

The result of this research shows that student learning achievement has difference by using Montessori method-based math visual aid. The result shows that on average experiment group (M = 51,48; SE = 0,96) has higher mean score of post-test than the control group (M = 48,80; SE = 0,81). This difference was significant t(48) = -2,125, p < 0,05 and has small effect size that is 8,6%. The conclusion of this research is that student learning achievement has difference by using of Montessori method-based math visual aid.

(11)

x

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur peneliti panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang senantiasa telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi yang berjudul “PERBEDAAN PRESTASI BELAJAR SISWA ATAS PENGGUNAAN ALAT PERAGA

MATEMATIKA BERBASIS METODE MONTESSORI” ditulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Strata I Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar. Skripsi ini dapat terselesaikan tidak lepas dari dukungan, bimbingan, dan kerjasama dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan segenap hati peneliti mengucapkan terimakasih kepada:

1. Rohandi, Ph.D., Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma.

2. G. Ari Nugrahanta, SJ, S.S., BST., M.A., Ketua Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

3. E. Catur Rismiati, S.Pd., M.A., Ed.D., Wakil Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, sekaligus pembimbing I yang telah sangat membantu dalam proses pembuatan karya ilmiah ini dengan sepenuh hati.

4. Andri Anugrahana, S.Pd., M.Pd., Dosen pembimbing II yang telah memberikan saran yang membangun dalam pembuatan karya ilmiah ini. 5. Dra. Sudaryatun, M. Pd., Kepala Sekolah SD Negeri Percobaan 3 Pakem

yang telah memberikan dukungan serta izin kepada peneliti untuk mengadakan penelitian di SD Negeri Percobaan 3 Pakem.

6. Listyorini Hadiyanti, S.Sos., Guru kelas IIA SD Negeri Percobaan 3 Pakem yang telah bekerjasama serta memberikan waktu dan tenaganya sebagai guru mitra dalam penelitian ini.

(12)

xi

8. Siswa kelas IIA dan IIB SD Negeri Percobaan 3 Pakem, yang bersedia bekerjasama dalam penelitian ini.

9. Bapak Sukirno, Ibu Purwaningsih, Mas Hendra, dan segenap keluarga yang selalu memberikan doa, kasih sayang, dukungan, dan bimbingan kepada peneliti.

10. Teman-teman penelitian kolaboratif eksperimen Montessori (Putri, Bherta, Adit, Deta, Ifa, Ulfah, Wulan) dan teman-teman sensus Montessori (Afi, Okta, Koko, Bayu, Maya, Tina, Melisa, Wina) yang selalu berbagi pengetahuan, semangat, dan saling bahu membahu demi terselesainya karya ilmiah ini.

11. Teman-teman PPL SD Negeri Percobaan 3 Pakem 2014, yang memberikan bantuan selama peneliti melakukan penelitian di sekolah.

12. Teman-teman PGSD Universitas Sanata Dharma kelas B angkatan 2010 yang selalu memberikan inspirasi dalam menyelesaikan karya ilmiah ini. 13. Sekretariat PGSD yang selalu membantu dalam hal administrasi dan segala

keperluan untuk menyelesaikan karya ilmiah ini.

Peneliti menyadari bahwa dalam penulisan karya ilmiah ini masih banyak kekurangan dan kelemahan. Untuk itu, saran dan kritik yang membangun sangat berguna untuk karya ilmiah ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pembaca.

Yogyakarta, 16 Juni 2014

Peneliti,

(13)

xii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

MOTTO ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... vii

ABSTRAK ... viii A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 6

C. Batasan Masalah... 7

D. Rumusan Masalah ... 7

E. Tujuan Penelitian ... 7

F. Manfaat Penelitian... 8

G. Definisi Operasional ... 8

BAB II LANDASAN TEORI A. Kajian Pustaka... 10

1. Tahap Perkembangan Anak Sekolah Dasar ... 10

2. Metode Montessori ... 14

3. Alat Peraga Matematika Berbasis Metode Montessori ... 18

4. Pembelajaran Matematika ... 23

5. Materi Operasi Pembagian Bilangan Dua Angka ... 25

6. Prestasi Belajar ... 26

B. Penelitian yang Relevan ... 32

C. Kerangka Berpikir ... 38

D. Hipotesis ... 39

BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 40

B. Desain Penelitian ... 41

C. Waktu dan Tempat Penelitian ... 42

D. Variabel Penelitian dan Data Penelitian ... 44

E. Populasi dan Sampel ... 45

(14)

xiii

G. Instrumen Pengumpulan Data ... 48

H. Teknik Pengujian Instrumen ... 51

I. Prosedur Analisis Data ... 66

J. Jadwal penelitian ... 83

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Penelitian ... 85

B. Hasil Penelitian ... 88

C. Pembahasan ... 113

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 117

B. Keterbatasan Penelitian ... 118

C. Saran ... 118

DAFTAR REFERENSI ... 119

(15)

xiv

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Empat Tahap Perkembangan Kognitif Jean Piaget ... 11

Tabel 3.1 Waktu Pengambilan Data... 42

Tabel 3.2 Kisi-Kisi Soal Pre-test dan Post-test ... 49

Tabel 3.3 Lembar Observasi Proses Pembelajaran di Kelas ... 50

Tabel 3.4 Kriteria Hasil Validasi ... 53

Tabel 3.5 Rangkuman Penilaian Silabus ... 54

Tabel 3.6 Rangkuman Penilaian RPP ... 54

Tabel 3.7 Rangkuman Penilaian Instrumen Tes Pestasi... 55

Tabel 3.8 Rangkuman Hasil Validasi Muka untuk Instrumen Pembelajaran ... 56

Tabel 3.9 Rangkuman Hasil Validasi Muka untuk Instrumen Penelitian ... 58

Tabel 3.10 Kisi-kisi Instrumen Tes Prestasi untuk Uji Validitas Konstruk .. 59

Tabel 3.11 Perbandingan r hitung dengan r tabel ... 61

Tabel 3.12 Rangkuman Hasil Uji Validitas ... 62

Tabel 3.13 Hasil Perhitungan Reliabilitas ... 64

Tabel 3.14 Kualifikasi Koefisien Reliabilitas ... 64

Tabel 3.15 Kriteria Indeks Kesukaran... 65

Tabel 3.16 Rangkuman Perhitungan Indeks Kesukaran Aitem ... 66

Tabel 3.17 Kategori Effect Size ... 80

Tabel 3.18 Jadwal Penelitian ... 83

Tabel 4.2 Kegiatan Pembelajaran Kelompok Kontrol dan Kelompok Eksperimen... 86

Tabel 4.2 Deskripsi Data Penelitian ... 88

Tabel 4.3 Perbandingan Skor Hasil Pre-test dan Post-test... 89

Tabel 4.4 Hasil Perhitungan Uji Normalitas Skor Pre-test Kelompok Kontrol ... 93

Tabel 4.5 Hasil Perhitungan Uji Normalitas Skor Pre-test Kelompok Eksperimen... 95

Tabel 4.6 Hasil Perhitungan Uji Homogenitas Skor Pre-test ... 97

Tabel 4.7 Hasil Perhitungan Uji Independentt-test Skor Pre-test ... 99

Tabel 4.8 Hasil Perhitungan Uji Normalitas Skor Post-test Kelompok Kontrol ... 100

Tabel 4.9 Hasil Perhitungan Uji Normalitas Skor Post-test Kelompok Eksperimen... 102

Tabel 4.10 Hasil Perhitungan Uji Homogenitas Skor Post-test ... 105

Tabel 4.11 Hasil Perhitungan Uji Independentt-test Skor Post-test ... 107

Tabel 4.12 Hasil Uji Koefisien Determinasi ... 110

Tabel 4.13 Uji Signifikansi Selisih Rata-rata Skor Pre-test dan Post-test Kelompok Kontrol ... 111

(16)

xv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Papan Pembagian Bilangan Dua Angka ... 22

Gambar 2.2 Literature Map ... 37

Gambar 3.1 Desain Penelitian ... 41

Gambar 3.2 Rumus Korelasi Product Moment ... 60

Gambar 3.3 Rumus Cronbach’s Alpha ... 63

Gambar 3.4 Rumus Indeks Kesukaran ... 65

Gambar 3.5 Rumus Kolmogorov-Sminov ... 70

Gambar 3.6 Rumus Lavene’s test ... 72

Gambar 3.7 Rumus Independent t-test ... 79

Gambar 3.8 Rumus Effect Size ... 80

Gambar 3.9 Rumus Koefisien Determinasi ... 81

Gambar 3.10 Rumus Paired t-test ... 81

Gambar 4.1 Grafik Perbandingan Skor Pre-test dan Post-test Kelompok Kontrol dan Kelompok Eksperimen ... 90

Gambar 4.2 Histogram (kiri) dan P-P Plot (kanan) Skor Pre-test Kelompok Kontrol ... 94

Gambar 4.3 Histogram (kiri) dan P-P Plot (kanan) Skor Pre-test Kelompok Eksperimen ... 96

Gambar 4.4 Histogram (kiri) dan P-P Plot (kanan) Skor Post-test Kelompok Kontrol ... 102

(17)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Surat Penelitian ... 122

Lampiran 2 Contoh Perangkat Pembelajaran Sebelum Uji Instrumen ... 126

Lampiran 3 Contoh Komentar Validitas Isi Perangkat Pembelajaran ... 146

Lampiran 4 Hasil Validasi Muka Instrumen pembelajaran ... 150

Lampiran 5 Contoh Perangkat Pembelajaran Sesudah Uji Instrumen ... 152

Lampiran 6 Contoh Instrumen Penelitian Sebelum Uji Instrumen ... 200

Lampiran 7 Contoh Komentar Validitas Isi Instrumen Penelitian... 211

Lampiran 8 Hasil Uji Validitas Muka Instrumen Penelitian ... 215

Lampiran 9 Instrumen Penelitian untuk Uji Validitas Konstruk ... 220

Lampiran 10 Contoh Pekerjaan Siswa Hasil Validitas Konstruk ... 226

Lampiran 11 Tabulasi Data Mentah Hasil Validitas Konstruk ... 232

Lampiran 12 Hasil Analisis Uji Instrumen Penelitian ... 234

Lampiran 13 Contoh Pekerjaan Siswa Pre-test dan Post-test ... 241

Lampiran 14 Tabulasi Data Mentah Skor Pre-test ... 282

Lampiran 15 Tabulasi Data Mentah Skor Post-test ... 285

Lampiran 16 Hasil Analisis Skor Pre-test (SPSS) ... 288

Lampiran 17 Hasil Analisis Skor Post-test (SPSS) ... 296

Lampiran 18 Hasil Statistik Deskripsi Data Penelitian (SPSS) ... 305

Lampiran 19 Hasil Uji Signifikansi Selisih Rata-rata (SPSS) ... 307

Lampiran 20 Hasil Observasi Pembelajaran ... 310

(18)

1

BAB I

PENDAHULUAN

Bab I ini membahas tentang latar belakang masalah, identifikasi masalah,

batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan

definisi operasional.

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan mempunyai peranan yang sangat penting untuk memajukan

negara dan mengejar ketertinggalan dari negara lain (Ali, 2009: ix). Pendidikan

adalah sarana utama bagi suatu negara untuk meningkatkan Sumber Daya

Manusia (SDM) dalam mengikuti perkembangan dunia (Hadiyanto, 2004: 26).

Nelson Mandela mengungkapkan, “Education is the most powerful weapon which

you can use to change the world”. Kalimat tersebut bermakna bahwa pendidikan

adalah senjata paling ampuh yang dapat digunakan untuk mengubah dunia.

Pendapat para ahli yang telah diungkapkan tersebut dapat dipahami bahwa

pendidikan merupakan faktor penting untuk keberlangsungan suatu negara.

Pendidikan bisa didapatkan secara formal maupun non-formal. Pendidikan

formal didapatkan siswa melalui pembelajaran di sekolah, mulai dari jenjang

pendidikan dasar hingga jenjang pendidikan tinggi. Pendidikan dasar yang

dimaksud adalah pendidikan Sekolah Dasar (SD) dan pendidikan Sekolah

Menengah Pertama (SMP) (Usman, 2011: 143). Pendidikan SD memiliki

(19)

pelajaran tersebut antara lain Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan,

Pendidikan Bahasa Indonesia, Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam, Ilmu

Pengetahuan Sosial, Seni Budaya, Keterampilan, dan Pendidikan Jasmani.

Matematika adalah salah satu mata pelajaran penting di SD.

Pembelajaran matematika dimaksudkan untuk mengenal, menyikapi, dan

mengapresiasi ilmu pengetahuan dan teknologi, serta menanamkan kebiasaan

berpikir kritis, kreatif, dan mandiri (Depdiknas, 2007). Matematika termasuk

dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi. Susanto (2013:

183) mengatakan bahwa matematika merupakan satu syarat cukup untuk

melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya karena melalui matematika siswa

bisa belajar bernalar secara kritis, kreatif, dan aktif. Kemampuan-kemampuan

yang dihasilkan bila siswa belajar matematika tentunya akan sangat membantu

untuk lebih siap menghadapi era globalisasi di masa yang akan datang.

Indonesia terus berusaha mewujudkan pendidikan matematika yang lebih

baik. Usaha-usaha tersebut sebaiknya harus terus dioptimalkan sebab mutu

pendidikan matematika di Indonesia masih sangat rendah. Data hasil survei

TIMSS (Trends in International Mathematics and Science Study) menunjukkan

bahwa Indonesia berada di urutan ke-38 dari 42 negara dengan skor 386. Skor

tersebut jauh di bawah rata-rata negara yang ikut dalam survei yakni 500 (HSRC

team, 2011). TIMMS ini merupakan studi penelitian pendidikan untuk pencapaian

siswa pada bidang matematika dan ilmu alam.

Hasil studi lain yang lebih memprihatinkan adalah dari PISA (Programme

(20)

kemampuan matematika siswa Indonesia menduduki peringkat dua terbawah

yakni peringkat 64 dari 65 negara dengan skor 375 (OECD, 2013). Peringkat

Indonesia pada tahun 2013 tersebut turun dari peringkat tahun 2009 dimana

Indonesia menduduki peringkat 57 dengan skor 371 (OECD, 2009). Perolehan

skor Indonesia memang meningkat 4 poin tetapi peringkat Indonesia turun cukup

drastis bahkan mendekati peringkat paling bawah. Hasil survei yang telah

dijelaskan dapat memberikan gambaran bahwa pendidikan matematika di

Indonesia masih membutuhkan banyak perbaikan.

Perbaikan sangatlah penting mengingat matematika merupakan salah satu

mata pelajaran yang harus dipelajari oleh siswa (Depdiknas, 2007). Teori

konstruktivisme menyebutkan bahwa belajar perlu disituasikan dalam latar yang

nyata (Yulaelawati, 2004: 54). Usia siswa SD yang berkisar antara 7-8 tahun

hingga 12-13 tahun pada umumnya mengalami kesulitan dalam memahami

matematika yang bersifat abstrak (Susanto, 2010: 183-184). Pernyataan tersebut

sejalan dengan teori kognitif Piaget dimana usia siswa sekolah dasar berada pada

tahap operasional kongkret. Tahap operasional konkret ditandai dengan adanya

sistem operasi berdasarkan objek yang nyata atau konkret (Suparno, 2001: 70).

Belajar dalam situasi yang nyata akan sangat membantu siswa SD dalam

memahami pembelajaran yang bersifat abstrak.

Yulaelawati (2004: 115) mengungkapkan bahwa adanya penyajian

contoh-contoh konkret yang divisualisasikan secara menarik dapat membantu peserta

didik memahami konsep matematika khususnya yang bersifat abstrak.

(21)

peraga yang dapat memperjelas apa yang disampaikan guru sehingga lebih cepat

dipahami oleh siswa (Heruman, 2008: 1).

Guru tidak cukup hanya memiliki pengetahuan tentang alat peraga

pendidikan, tetapi juga harus memiliki keterampilan memilih dan menggunakan

serta mengusahakan alat peraga itu dengan baik (Usman, 2011: 11). Guru sebagai

pendamping siswa belajar di sekolah memiliki peranan penting dalam mengelola

pembelajaran matematika di kelas. Susanto (2013: 188) menegaskan bahwa

proses pembelajaran matematika sendiri bukan sekedar transfer ilmu dari guru ke

siswa, melainkan suatu proses kegiatan, yaitu terjadi interaksi antara guru dengan

siswa serta antara siswa dengan siswa, dan antara siswa dengan lingkungan.

Kemampuan guru dalam menguasai metode dan pemilihan alat peraga dapat

mempengaruhi kualitas interaksi dalam proses pembelajaran.

Interaksi antara siswa dengan lingkungan dapat dikembangkan dengan

menghadirkan sarana belajar yang berupa alat peraga. Alat peraga merupakan

bagian dari media pembelajaran yang memperlancar proses pembelajaran (Anitah,

2010: 83). Usman (2011: 31) menjelaskan bahwa alat peraga adalah alat yang

digunakan guru ketika mengajar untuk membantu memperjelas materi pelajaran

yang disampaikannya kepada siswa dan mencegah terjadinya verbalisme pada

siswa. Beberapa manfaat alat peraga berdasarkan Encyclopedia of Educational

Research (dalam Susanto, 2013: 46-47) antara lain: (a) meletakkan dasar yang

konkret; (b) memperbesar perhatian; (c) membuat pelajaran lebih mantap; (d)

memberikan pengalaman nyata; (e) menumbuhkan pemikiran yang teratur dan

(22)

pembelajaran tentunya akan sangat membantu siswa untuk lebih memahami

konsep abstrak matematika. Pemilihan alat peraga disesuaikan dengan materi

yang akan diajarkan.

Ada banyak alat peraga yang dapat digunakan guru dalam membantu proses

pembelajaran di dalam kelas. Salah satu diantaranya adalah alat peraga berbasis

metode Montessori yang diciptakan dan dikembangkan berdasarkan pedagogi

eksperimental oleh Maria Montessori (1870-1952). Alat peraga Montessori

memiliki ciri-ciri menarik, bergradasi, auto-correction (memiliki pengendali

kesalahan), dan auto-education (mampu digunakan secara otodidak) (Montessori,

2002: 170-176). Penemuan alat peraga Montessori didasarkan pada hasil

eksperimen. Tujuan dari penggunaan alat peraga Montessori adalah untuk

membantu siswa dalam mengembangkan kemampuan matematika yang meliputi

pemahaman perintah, urutan, abstraksi, dan kemampuan untuk mengonstruksi

konsep-konsep baru sebagai pengetahuan yang diperoleh dalam pembelajaran.

Materi pembelajaran matematika Montessori sendiri tidak didesain untuk “mengajarkan matematika” tetapi untuk membantu perkembangan konsep

matematika anak (Lillard, 1980: 137). Desain pembelajaran yang berupa

penanaman konsep tersebut memungkinkan anak untuk memanipilasi dan

mengulang penggunaan material sampai mereka dapat membuat konsep abstrak

berdasarkan hasil kerja sendiri. Pemikiran Montessori ini bisa diterapkan dalam

pembelajaran matematika di sekolah dasar. Materi di sekolah dasar dapat

(23)

Uraian penting tentang rendahnya prestasi belajar siswa pada mata pelajaran

matematika serta pentingnya penggunaan alat peraga dalam pembelajaran

matematika menjadi fokus permasalahan pada penelitian ini. Peneliti ingin

melakukan penelitian yang berupaya mengungkapkan perbedaan prestasi belajar

siswa atas penggunaan alat peraga matematika berbasis metode Montessori.

Peneliti mencoba mencari jawaban atas hal tersebut dengan menulis penelitian yang berjudul, “Perbedaan prestasi belajar siswa atas penggunaan alat peraga

matematika berbasis metode Montessori”.

B. Identifikasi Masalah

Matematika merupakan satu syarat cukup untuk melanjutkan pendidikan ke

jenjang berikutnya. Matematika membantu siswa untuk bisa belajar bernalar

secara kritis, kreatif, dan aktif. Kemampuan-kemampuan yang dihasilkan bila

siswa belajar matematika tentunya akan sangat membantu untuk lebih siap

menghadapi era globalisasi. Sulitnya memahami konsep matematika yang abstrak

menyebabkan rendahnya prestasi belajar matematika.

Guru harus mampu memanfaatkan alat peraga dalam proses pembelajaran

secara maksimal. Alat peraga Montessori merupakan alat bantu yang memiliki

karakteristik yang dapat membantu siswa dalam menjembatani pola pikir

matematika siswa dari yang bersifat abstrak ke yang bersifat konkret. Siswa yang

menggunakan alat peraga matematika berbasis metode Montessori dan yang tidak

(24)

C. Batasan Masalah

Fokus penelitian akan terarah apabila peneliti mampu membatasi

permasalahan yang akan diteliti. Penelitian ini terbatas untuk meneliti perbedaan

prestasi belajar siswa atas penggunaan alat peraga matematika berbasis metode

Montessori yakni papan pembagian bilangan dua angka. Alat peraga tersebut

sesuai untuk siswa kelas II sekolah dasar pada materi mata pelajaran matematika

tentang pembagian bilangan sampai dua angka. Standar Kompetensi (SK) yang

akan dicapai yaitu 3. Melakukan perkalian dan pembagian bilangan sampai dua

angka, sedangkan untuk Kompetensi Dasar (KD) yaitu 3.2. Melakukan pembagian

bilangan dua angka. Peneliti memilih materi ini sebab karakteristik alat peraga

papan pembagian bilangan dua angka sesuai dengan kompetensi yang akan

dicapai.

D. Rumusan Masalah

Rumusan masalah pada penelitian ini adalah “Apakah ada perbedaan

prestasi belajar siswa atas penggunaan alat peraga matematika berbasis metode Montessori?”

E. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya perbedaan prestasi belajar

(25)

F. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi banyak pihak, manfaat

tersebut antara lain:

1. Bagi siswa

Siswa menerima pengalaman baru dan terbantu dalam belajar matematika

sehingga mengatasi kesulitan belajarnya.

2. Bagi guru

Guru memiliki alternatif baru untuk memilih alat peraga yang dapat

digunakan dalam pembelajaran matematika.

3. Bagi sekolah

Sekolah terinspirasi untuk mengembangkan alat peraga dalam pembelajaran

matematika selanjutnya.

4. Bagi peneliti

Penilitian ini dapat menambah pengalaman dalam pembelajaran matematika

dan menjadi modal untuk terjun ke dunia pendidikan di kemudian hari.

G. Definisi Opersional

Definisi operasional pada penelitian ini adalah:

1. Metode adalah cara yang digunakan guru untuk membelajarkan siswa di

dalam kelas demi tercapainya tujuan pembelajaran.

2. Metode Montessori adalah langkah-langkah pembelajaran yang berdasar

pada sisi filosofis batiniah anak dan hakikat anak yang melewati periode

(26)

3. Alat peraga adalah alat yang digunakan untuk memeragakan konsep yang

akan dipelajari dalam proses belajar.

4. Prestasi adalah pencapaian berupa hasil yang memuaskan yang dapat berupa

nilai berdasarkan patokan tertentu.

5. Belajar adalah perubahan tingkah laku setelah adanya pengalaman.

6. Prestasi belajar adalah pencapaian memuaskan yang dihasilkan dari

perubahan tingkah laku setelah adanya pengalaman.

7. Matematika adalah salah satu mata pelajaran inti yang berisi simbol-simbol

sebagai perwujudan suatu konsep.

8. Siswa sekolah dasar adalah subjek yang mengalami proses belajar yang

sedang berada di jenjang sekolah dasar.

9. Pre-test adalah kegiatan yang dilakukan pada awal pembelajaran untuk

mengetahui kemampuan awal yang dimiliki oleh siswa.

10. Post-test adalah kegiatan yang dilakukan di akhir pembelajaran untuk

(27)

10

BAB II

LANDASAN TEORI

Bab II membahas empat bagian utama yaitu kajian pustaka, penelitian yang

relevan, kerangka berpikir, dan hipotesis penelitian. Kajian teori akan membahas

beberapa topik yang sesuai dengan judul penelitian. Penelitian yang relevan berisi

tentang penelitian-penelitian terdahulu yang memiliki keterkaitan dengan

penelitian ini, baik jurnal maupun skripsi. Kerangka berpikir berisi tentang

rumusan konsep yang didapat dari berbagai tinjauan teori. Bagian terakhir yaitu

hipotesis penelitian, berisi dugaan sementara yang terjadi pada penelitian.

A. Kajian Pustaka

Topik yang akan dibahas pada kajian literatur ini antara lain tahap

perkembangan anak sekolah dasar, metode Montessori, alat peraga matematika

berbasis metode Montessori, pembelajaran matematika, materi operasi pembagian

bilangan dua angka, dan teori tentang prestasi belajar.

1. Tahap Perkembangan Anak Sekolah Dasar

Selama manusia hidup pasti akan melalui tahap-tahap tertentu dalam

pertumbuhan dan perkembangannya. Manusia membutuhkan proses untuk

berkembang sehingga semua keterampilan tidak mereka dapatkan secara instan.

Tahap perkembangan manusia secara umum akan melewati masa bayi, anak-anak,

(28)

perkembangan anak pada usia sekolah dasar. Teori yang akan diuraikan adalah

dari dua ahli yaitu menurut Jean Piaget dan Maria Montessori.

a. Tahap Perkembangan Anak

Jean Piaget (1896-1980) mengungkapkan tentang teori perkembangan

kognitif. Piaget mengelompokkan tahap-tahap perkembangan kognitif manusia ke

dalam 4 tahap (Suparno, 2001: 24). Tahap perkembangan kognitif secara garis

besar dapat dilihat pada tabel 2.1.

Tabel 2.1.

Tabel Empat Tahap Perkembangan Kognitif Jean Piaget (Suparno, 2001: 25)

Tahap Umur Ciri pokok perkembangan

Sensorimotor 0-2 tahun  Berdasarkan tindakan

 Langkah demi langkah

Praoperasi 2-7 tahun  Penggunaan simbol/ bahasa tanda

 Konsep intuitif

Operasi konkret 8-11 tahun  Pakai aturan jelas/ logis  Reversibel dan kekekalan Operasi formal 11 tahun ke atas  Hipotetis

 Abstrak

 Deduktif dan Induktif  Logis dan Probabilitas

Tahap yang pertama adalah tahap sensorimotor yang berkisar antara usia 0-2

tahun. Tahap ini anak melakukan tindakan berdasarkan inderawinya untuk

berinteraksi dengan lingkungan. Kegiatan yang biasanya dilakukan adalah

meraba, mendengar, mencium, melihat, dan lain-lain. Tahap yang kedua adalah

tahap praoperasi yang berkisar antara umur 2-7 tahun. Tahap ini adalah jembatan

antara tahap sensorimotor dengan tahap operasi konkret (Suparno, 2001: 67).

Anak pada tahap ini memunculkan penggunaan bahasa simbolis yang berupa

(29)

namun bahasa yang digunakan masih bersifat egosentris. Tahap perkembangan

kognitif yang ketiga adalah tahap operasi konkret yang berkisar antara 8-11 tahun.

Anak pada tahap ini sudah memiliki pemikiran yang logis namun masih terbatas

pada benda-benda yang konkret. Anak masih menerapkan logika berpikir pada

barang-barang yang konkret, belum bersifat abstrak apalagi hipotetis (Suparno,

2001: 70). Tahap yang keempat adalah tahap operasi formal yang berkisar pada

umur 11 tahun ke atas. Usia ini sudah memungkinkan seseorang untuk memiliki

pemikiran deduktif, induktif, dan abstraktif.

Teori perkembangan anak yang selanjutnya adalah teori perkembangan anak

menurut Maria Montessori (1870-1952). Teori perkembangan anak menurut

Montessori ini sedikit berbeda dengan teori Piaget. Jenjang pendidikan pada

umumnya berdasar pada asumsi bahwa manusia melalui perkembangan yang

linear, namun menurut Montessori perkembangan manusia memiliki keteraturan

tersendiri pada tiap tahapnya. Pekembangan anak yang dikemukakan oleh

Montessori dibagi menjadi tiga tahap yaitu 0-6 tahun, 6-12 tahun, dan 12-18 tahun

(Montessori, 2008 : xii). Setiap fase perkembangan menunjukkan bahwa pada

setiap fase akan muncul atau terlahir kembali ke fase perkembangan berikutnya

dan akan mencapai puncak dan mengalami penurunan kembali. Lillard (1996: 7)

menyebutkan, “It emphasizes the uniformity and regularity of human development

in this regard”, yang dalam hal ini menekankan keseragaman dan keteraturan

pada perkembangan manusia.

Tahap perkembangan anak menurut Montessori yang pertama adalah antara

(30)

sikap-sikapnya karena tahap ini adalah masa awal periode sensitifnya. Anak juga mulai

belajar tentang kehidupan sosial, lingkungan alam, mulai berkonsentrasi pada

sesuatu yang spesifik, serta menggunakan inderanya untuk melihat, meraba,

mendengar, mengecap dan membau. Tahap yang kedua adalah antara rentang usia

6-12 tahun. Tahap ini mengharuskan anak untuk belajar dari sifat-sifat yang

konkret sehingga selepas tahap ini sudah bisa berpikir untuk hal-hal yang abstrak.

Lillard (1996: 45) mengatakan, “Montessori called this stage of the child’s

formation the Intellectual Period”. Periode intelektual ini juga beriringan dengan

berkembangnya imajinasi, rasa berkelompok, pertumbuhan fisik, serta mental dan

moralnya. Tahap yang ketiga yaitu antara usia 12-18 tahun dimana pada tahap ini

merupakan masa perkembangan anak yang terakhir. Pertumbuhan dan perubahan

fisik tubuh serta kedewasaan terjadi sampai usia 18 tahun. Seseorang setelah

melalui usia 18 tahun dapat disebut manusia dewasa sepenuhnya dan sudah

berkembang sepenuhnya sehingga sudah tidak ada lagi perubahan yang nyata.

b. Tahap Perkembangan Siswa Sekolah Dasar

Usia anak sekolah dasar berkisar antara berkisar antara 7-8 tahun hingga

12-13 tahun (Susanto, 2010: 183). Usia 7 tahun sampai 12-13 tahun termasuk dalam

tahap operasional konkret menurut Piaget dan termasuk dalam tahap kedua

menurut Montessori. Piaget memaparkan bahwa anak usia sekolah dasar memiliki

pemikiran operasional konkret karena sudah mampu melakukan aktivitas mental

mengenai hubungan-hubungan logis dari berbagai konsep yang difokuskan pada

objek ataupun peristiwa konkret (Desmita, 2007: 156). Tahap kedua dalam

(31)

sifat-sifat yang konkret sehingga selepas tahap ini sudah bisa berpikir untuk hal-hal

yang abstrak (Lillard, 1996: 45). Kesamaan yang ada dalam kedua tahap dari

masing-masing ahli adalah anak pada usia sekolah dasar (usia 7-13 tahun) mulai

mampu berpikir logis, mencari penjelasan, dan pengetahuan dari

pengalaman-pengalaman konkret yang dialaminya.

2. Metode Montessori

Bagian ini akan mengkaji teori tentang sejarah metode Montessori dan

karakteristik metode Montessori, namun terlebih dahulu akan dibahas pengertian

metode.

a. Pengertian Metode

Metode diartikan sebagai cara teratur yang digunakan untuk melaksanakan

suatu pekerjaan agar tercapai sesuai dengan yang dikehendaki; cara kerja yang

bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan

yang ditentukan (KBBI, 2008). Metode dalam pembelajaran merupakan cara yang

digunakan guru untuk membelajarkan siswa di dalam kelas demi tercapainya

tujuan pembelajaran. Susanto (2013: 43-44) menjelaskan bahwa metode

pembelajaran adalah cara yang digunakan guru dalam mengorganisasikan kelas

pada umumnya atau dalam menyajikan bahan pelajaran pada khususnya. Metode

diperlukan dalam rangka untuk mencapai tujuan pembelajaran. Metode dapat

memudahkan siswa menerima dan memahami materi pelajaran yang diberikan

oleh guru.

Metode hendaknya memiliki prinsip-prinsip kegiatan belajar mengajar

(32)

(learning by doing); (c) mengembangkan kemampuan sosial; (d) mengembangkan

keingintahuan dan imajinasi; dan (e) mengembangkan kreativitas dan

keterampilan memecahkan masalah (Madjid dalam Susanto, 2013: 44). Metode

harus dipilih oleh guru dengan disesuaikan karakter kelasnya. Pemilihan metode

yang tepat akan memudahkan guru dalam menyampaikan pembelajaran kepada

siswa. Metode sangat penting demi tercapainya tujuan pembelajaran.

b. Sejarah Metode Montessori

Maria Montessori adalah seorang wanita yang lahir di Chiaravalle, Italia,

pada tanggal 31 Agustus 1870 (Lillard, 1996: 4). Metode Montessori

dikembangkan oleh Maria Montessori. Metode Montessori adalah sebuah metode

pedagogi eksperimental. Montessori mengembangkan selama 2 tahun di Casa dei

Bambini (Rumah Anak-anak) dan menerapkannya untuk anak-anak usia 3 sampai

6 tahun. Montessori mengembangkan metode ini karena menganggap penerapan

ilmu-ilmu ilmiah modern dalam pendidikan hanya membelenggu perkembangan

jiwa anak.

Metode eksperimental berdasar pada pengamatan langsung atas aktivitas

spontan anak yang merdeka dalam berekspresi. Pendidikan seharusnya

berkonsentrasi pada kekuatan dari dalam kejiwaan anak sebagai titik pijak seluruh

praksis pendidikan. Rekonstruksi metode pendidikan mendapatkan basis yang

hidup dan dinamis, bukan mekanis dan statis. Ilmu pengetahuan ilmiah

semestinya digunakan untuk mengerti kejiwaan anak.

Montessori mendapatkan inspirasi untuk mengembangkan metode

(33)

(1812-1881) dan Jean Marc Gaspard Itard (1775-1838). Mereka berhasil mendidik

anak-anak yang memiliki keterbelakangan mental maupun yang memiliki cacat indera

semi permanen. Montessori mengungkapkan ada dua aspek yang perlu dipikirkan.

Kedua aspek tersebut adalah aspek guru dan murid yang mana tidak dapat

dipisahkan satu dengan yang lain (Montessori, 2002: 33).

Pembaruan sekolah semestinya bersamaan dengan persiapan guru. Guru

semestinya diberi kemungkinan untuk membuat pengamatan dan eksperimen di

sekolah. Guru merupakan pengamat yang mesti terbiasa dengan metode

eksperimental. Masing-masing murid sebagai individu mesti diberi ruang

kemerdekaan untuk beraktivitas secara spontan, sehingga mereka dapat

mengekspresikan diri sesuai dengan alam kejiwaan dan kemampuan

masing-masing.

Montessori menjelaskan bahwa metodenya adalah metode yang

mengembangkan kebebasan berkarakter dengan cara yang mengagumkan dan luar

biasa (Montessori, 2002: 33). Anak belajar dengan terstruktur, berfokus pada

suatu proyek tertentu, dan memiliki kebebasan untuk memilih kapan dan hal apa

saja yang ingin mereka pelajari (Lillard, 2005: 328). Penerapan metode

Montessori juga berkaitan dengan alat peraga. Alat peraga yang menjadi salah

satu ciri pembelajaran Montessori dirancang dan dibuat sendiri oleh Montessori

sesuai dengan pengamatannya dan mengacu pada hasil penemuan Itard dan

Seguin (Magini, 2013: 46-50). Bantuan alat peraga yang dibuat secara eksplisit

(34)

c. Karakteristik Metode Montessori

Lillard (2005: 29) mengungkapkan ada 8 prinsip yang menjadi karakteristik

dalam pembelajaran menggunakan metode Montessori. Pertama, gerak (motorik)

dan kognitif berhubungan sangat erat, gerak dapat berpengaruh pada proses

berpikir dan belajar. Konsep pertama ini menjadi alasan alat peraga Montessori

berdasarkan pada gerak motorik anak. Semua alat dapat dieksplorasi siswa

menggunakan inderanya. Kedua, belajar menjadi baik akan terdukung bila

seseorang memiliki kontrol indera dalam kehidupan. Panca indera manusia sangat

penting sebab dengan indera tersebut manusia akan menerima informasi baru.

Ketiga, anak akan dapat belajar lebih baik jika mereka tertarik dengan apa yang

sedang mereka pelajari. Keempat, pemberian penghargaan ekstrinsik untuk

sebuah kegiatan, seperti uang untuk membaca atau nilai tinggi untuk sebuah tes,

merupakan motivasi yang berdampak negatif untuk mendorong aktivitas tersebut.

Karakteristik ini menjadi alasan di kelas-kelas Montessori tidak pernah dijumpai

reward dan punishment. Jika mereka tidak berhasil, penghargaan tersebut

nantinya akan berupa kebalikannya yakni kekecewaan. Kelima, pengacakan

secara kolaboratif dapat membuat keadaan sangat kondusif untuk belajar.

Keenam, situasi belajar dalam konteks bermakna akan lebih mendalam dan lebih

kaya daripada belajar dalam konteks abstrak. Ketujuh, bentuk interaksi khusus

orang dewasa akan terasosiasi oleh anak dan dapat dilihat pada out-put anak.

Kedelapan, lingkungan sangat bermanfaat bagi anak. Lingkungan yang telah

dikondisikan sedemikian rupa akan mendorong anak untuk belajar dengan

(35)

Karakteristik yang telah dikemukaan dapat menjadi gambaran kelas

Montessori. Delapan prinsip yang telah dikemukakan menyinggung alat peraga

dan lingkungan. Alat peraga atau yang biasa disebut material dalam kelas

Montessori menjadi salah satu karakteristik pembelajaran Montessori. Alat peraga

diproduksi sendiri oleh Montessori dengan berdasar pada penemuan Itard dan

Seguin (Hainstock, 1997: 13). Lillard (2005: 128) juga mengungkapkan bahwa

metode pembelajaran Montessori didasari pada keinginan siswa sehingga

Montessori ingin memberikan peluang kebebasan belajar bagi siswa. Adanya

kesempatan bagi siswa untuk belajar mandiri melalui penggunaan alat peraga

menjadi karakteristik pembelajaran Montessori. Guru berperan sebagai

pendamping maupun fasilitator belajar.

3. Alat Peraga Matematika Berbasis Metode Montessori

Alat peraga merupakan karakteristik pembelajaran Montessori. Alat peraga

dalam kelas Montessori beraneka ragam dan masing-masing memiliki tujuan

tersendiri. Bagian ini akan membahas tentang alat peraga matematika yang

menjadi fokus pada penelitian ini.

a. Pengertian Alat Peraga Matematika

Alat peraga adalah alat-alat yang dapat digunakan guru ketika mengajar

untuk membantu memperjelas materi pelajaran yang disampaikan kepada siswa

sehingga verbalisme pada diri siswa dapat dicegah (Usman, 2011: 31). Alat

peraga merupakan salah satu bagian dari media pembelajaran yang memperlancar

proses pembelajaran (Anitah, 2010: 83). Media pembelajaran adalah segala

(36)

sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan minat siswa

sehingga terjadi proses belajar (Sadiman, Rahardjo, Anung, dan Raharjito 2009:

7). Kesimpulan yang dapat ditarik ialah alat peraga matematika merupakan alat

yang digunakan untuk memperjelas materi pelajaran matematika sehingga siswa

mudah dalam memahami materi karena dapat merangsang pikiran, perasaan,

perhatian, dan minat siswa dalam belajar.

Pembelajaran dengan menggunakan alat peraga matematika mendapat

beberapa keuntungan (Suherman, 2003: 243). Keuntungan pertama yang didapat

dalam penggunaan alat peraga matematika ialah kegiatan belajar mengajar lebih

termotivasi. Siswa yang memiliki motivasi belajar akan cenderung senang untuk

belajar. Keuntungan kedua adalah konsep abstrak matematika tersaji dalam

bentuk konkret. Bentuk konkret yang ditemui siswa membantu siswa untuk

memahami materi baru yang diterima. Keuntungan lainnya adalah alat peraga

matematika merangsang siswa untuk berpikir, merangsang siswa menjadi aktif,

merangsang siswa untuk memecahkan masalahnya sendiri. Rangsangan yang

ditimbulkan alat peraga tersebut dapat membuat siswa lebih mendalami materi

yang dipelajari.

b. Alat Peraga Matematika Berbasis Metode Montessori

Alat peraga Montessori adalah material pembelajaran siswa yang dirancang

secara menarik, bergradasi, memiliki pengendali kesalahan (auto-correction), dan

memungkinkan siswa untuk belajar secara mandiri tanpa banyak intervensi dari

guru (auto-education) (Lillard, 1997: 11). Alat peraga matematika Montessori

(37)

1997:137). Tujuan dari penggunaan alat peraga matematika bukan didesain untuk

mengajar matematika, tetapi untuk membantu siswa dalam mengembangkan

kemampuan matematiknya yang meliputi pemahaman perintah, urutan, abstraksi,

dan memiliki kemampuan untuk mengkonstruksi konsep-konsep baru (Lillard,

1997:137).

Alat peraga Montessori memiliki cirri-ciri menarik, bergradasi,

auto-correction, dan auto-education (Montessori, 2002: 170-176). Keempat ciri

tersebut adalah ciri alat peraga Montessori sesuai dengan konteks asli di kelas

Montessori. Satu ciri yang dapat ditambahkan supaya sesuai dengan keadaannya

nyata di kelas sekolah dasar pada umumnya adalah ciri kontekstual.

Karakteristik alat peraga Montessori yang pertama ialah menarik. Alat-alat

peraga Montessori harus dibuat menarik bagi anak agar secara spontan

anak-anak ingin menyentuh, meraba, memegang, merasakan, dan menggunakannya

untuk belajar. Tampilan fisik alat peraga harus mengkombinasikan warna yang

cerah dan lembut. Kemenarikan alat peraga pada pembelajaran sensorial menjadi

basis bagi perkembangan anak (Montessori, 2002: 174). Anak akan menggunakan

inderanya untuk belajar.

Alat peraga Montessori juga memiliki karakteristik bergradasi (Montessori,

2002: 173). Alat peraga Montessori harus memiliki gradasi rangsangan yang

rasional terkait warna, bentuk, dan usia anak sehingga bukan hanya sekedar alat

peraga yang dapat melibatkan penggunaan panca indera, tetapi juga alat peraga

yang bisa digunakan untuk berbagai usia perkembangan anak dengan tingkat

(38)

berupa gradasi warna, bentuk, dan ukuran. Ciri gradasi juga terkandung dalam

penggunaan alat peraga matematika. Contoh gradasinya yakni dimulai dengan

abstraksi yang mudah sampai berkelanjutan ke arah yang semakin kompleks

sesuai dengan perkembangan usia anak.

Karakteristik yang ketiga yaitu auto-corection. Alat peraga Montessori

harus memiliki pengendali kesalahan pada alat peraga itu sendiri agar anak dapat

mengetahui sendiri apakah aktivitas yang dilakukannya itu benar atau salah tanpa

perlu diberi tahu orang lain yang lebih dewasa atau guru (Montessori, 2002: 171).

Seluruh lingkungan pembelajaran juga diciptakan sedemikian rupa sehingga anak

akan mengetahui sendiri jika tindakannya tidak tepat (Montessori, 2002: 83).

Alat peraga Montessori harus dibuat agar memungkinkan anak semakin

mandiri dalam belajar dan mengembangkan diri dan meminimalisir campur

tangan orang dewasa. Karakteristik tersebut dinamakan auto-education.

Keberhasilan pendidikan didasarkan pada lingkungan yang dikondisikan dengan

berbagai alat peraga didaktik, dan bukan pertama-tama didasarkan pada kelihaian

guru dalam mendidik anak (Montessori, 2002: 172).

c. Alat Peraga Matematika Berbasis Metode Montessori Papan Pembagian

Bilangan Dua Angka

Alat peraga matematika berbasis metode Montessori papan pembagian

bilangan dua angka merupakan pengembangan dari alat peraga metode

Montessori stamp game (Nienhuis, 2013: 135). Papan papan pembagian bilangan

(39)

angka untuk kelas II semester 2. Gambar 2.1 adalah gambar alat peraga papan

pembagian bilangan dua angka.

Gambar 2.1 Alat Peraga Papan Pembagian Bilangan Dua Angka

Gambar 2.1 adalah alat peraga papan pembagian bilangan dua angka. Alat

peraga papan pembagian bilangan dua angka terdiri dari kotak tempat balok dan

papan pembagian. Kotak tempat balok berisi balok satuan yang berwara biru

muda, balok puluhan yang berwarna ungu, balok ratusan yang berwarna oranye,

balok ribuan yang berwarna biru tua, pion pembagi, dan kartu soal.

Papan pembagian berbentuk persegi panjang dengan lubang sesuai dengan

ukuran balok dan pion pembagi. Papan pembagian berfungsi sebagai tempat

membagi. Balok satuan, balok puluhan, balok ratusan, balok ribuan berfungsi

untuk menginterpretasikan bilangan yang akan dibagi. Pion pembagi berfungsi

untuk membagi bilangan dan dapat diinterpretasikan sebagai pembagi. Kartu soal

berfungsi untuk melatih siswa menghitung menggunakan papan pembagian

bilangan dua angka. Bagian belakang kartu soal adalah jawaban dari soal yang

ada. Jawaban disertakan agar memudahkan siswa untuk mengecek jawaban benar

(40)

Papan pembagian bilangan dua angka digunakan untuk mengajarkan materi

pembagian bilangan sampai dua angka. Pembelajaran materi pembagian bilangan

sampai dua angka melalui empat tahapan. Tahapan pertama yaitu melakukan

pembagian bilangan yang habis dibagi bilangan satu angka. Tahapan kedua yaitu

melakukan pembagian bilangan dengan bilangan itu sendiri. Tahapan ketiga yaitu

melakukan pembagian dengan bilangan 1. Tahapan keempat yaitu melakukan

pembagian bilangan dua angka dengan bilangan satu angka.

Alat peraga papan pembagian bilangan dua angka dapat digunakan melalui

beberapa langkah (lampiran 5.2). Hal pertama yang dilakukan siswa dan guru

yaitu mengambil kartu soal dan membacanya. Siswa dan guru mengambil pion

sesuai dengan jumlah bilangan pembagi, mengambil 1 balok puluhan dan 5 balok

satuan, mengambil balok sesuai dengan jumlah bilangan yang dibagi, balok

dimasukkan ke dalam lubang papan pembagi sesuai dengan batas pion pembagi

sampai habis. Siswa dan guru menghitung deretan balok masing-masing pion,

setelah selesai dapat dilakukan pengecekan jawaban di balik kartu soal.

4. Pembelajaran Matematika

Bagian ini akan menjelaskan tentang pengertian matematika, pembelajaran

matematika, dan tujuan pembelajaran matematika.

a. Pengertian Matematika dan Pembelajaran Matematika

Matematika termasuk ke dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan

dan teknologi yang dimaksudkan untuk mengenal, menyikapi, dan mengapresiasi

ilmu pengetahuan dan teknologi, serta menanamkan kebiasaan berpikir kritis,

(41)

bahwa belajar matematika merupakan satu syarat cukup untuk melanjutkan

pendidikan ke jenjang berikutnya karena kita akan belajar bernalar secara kritis,

kreatif, dan aktif. Matematika merupakan ide-ide abstrak yang berisi

simbol-simbol, maka konsep-konsep matematika harus dipahami terlebih dahulu sebelum

memanipulasi simbol-simbol itu (Susanto, 2013: 183).

Matematika merupakan salah satu disiplin ilmu yang dapat meningkatkan

kemampuan berpikir dan berargumentasi, memberikan kontribusi dalam

pemecahamn masalah sehari-hari dan dalam dunia kerja, serta memberikan

dukungan dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Susanto, 2013:

185). Pembelajaran matematika merupakan komunikasi dua arah, mengajar

dilakukan oleh pihak guru sebagai pendidik, sedangkan belajar dilakukan oleh

siswa. Pembelajaran di dalamnya mengandung makna belajar dan mengajar, atau

merupakan kegiatan belajar mengajar. Pembelajaran matematika adalah suatu

proses belajar mengajar yang dibangun oleh guru untuk mengembangkan

kreativitas berpikir siswa yang dapat meningkatkan kemampuan mengkonstruksi

pengetahuan baru sebagai upaya meningkatkan penguasaan/ yang baik terhadap

materi matematika (Susanto, 2013: 186).

b. Tujuan Pembelajaran Matematika

Tujuan matematika pada pendidikan sekolah dasar adalah mengupayakan

siswa agar dapat menggunakan matematika pada kehidupannya (Susanto, 2013:

189). Standar isi kurikulum KTSP menuangkan tujuan pembelajaran matematika

ialah mengupayakan siswa untuk dapat memahami konsep matematika (Badan

(42)

yang lain adalah mengasah kemampuan siswa untuk memecahkan masalah.

Kemampuan pemecahan masalah dinilai penting karena pada umumnya hal-hal

yang menuntut untuk diselesaikan siswa adalah sebuah permasalahan yang harus

dipecahkan. Matematika juga bertujuan membuat siswa mampu menerapkan

pengetahuan matematikanya dalam kehidupan sehari-hari. Permasalahan

matematika akan banyak muncul pada kehidupan sehari-hari, misalnya jual beli

dan pengukuran terhadap suatu benda.

Ekawati (2011: 10) memaparkan pendidikan matematika mempunyai dua

tujuan, yaitu pertama bersifat formal, menekankan pada penalaran nalar serta

pembentukan kepribadian. Tujuan kedua bersifat material, sifat ini penekanannya

pada penerapan matematika serta keterampilan matematika. Tujuan umum

matematika lebih menitikberatkan pada penalaran dan penanaman sikap

(Suherman, 2003: 58). Penalaran dan sikap menjadi fokus karena kedua aspek

tersebut karena dengan penalaran dan sikap yang benar akan membantu siswa

dalam memahami konsep matematika sehingga mampu mengerjakan semua jenis

soal matematika. Mengacu pada teori mengenai tujuan matematika yang telah

terpapar dapat dikatakan bahwa inti dari tujuan pembelajaran matematika adalah

siswa mampu menguasai konsep metematika dengan menggunakan penalaran dan

penanaman sikap untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

5. Materi Operasi Pembagian Bilangan Dua Angka

Materi pembagian mulai diperkenalkan di kelas dua sekolah dasar. Siswa

pada kelas bawah baru diajarkan untuk memahami konsep bahwa pembagian

(43)

kompetensi sesuai dengan KTSP yakni 3. Melakukan perkalian dan pembagian

bilangan sampai dua angka, sedangkan untuk Kompetensi Dasar (KD) yaitu 3.2.

Melakukan pembagian bilangan dua angka.

Pembagian untuk kelas dua baru mencakup sampai dengan bilangan dua

angka. Pembagian paling tinggi yakni sampai bilangan 99 dan hanya dibagi

dengan bilangan satu angka saja. Sebagai contoh yakni operasi pembagian 81 : 9.

Fokus pembelajaran di kelas dua ini memperkenalkan operasi pembagian,

menanamkan konsep pembagian, serta melatih anak melakukan pembagian

bilangan sampai dua angka.

Indikator yang akan dicapai untuk materi pembelajaran ini yaitu: (1)

menyelesaikan operasi pembagian bilangan sampai habis bilangan satu angka; (2)

menyelesaikan pembagian bilangan dengan bilangan itu sendiri; (3) pembagian

bilangan dengan bilangan satu; dan (4) pembagian bilangan dua angka dengan

bilangan satu angka. Sesuai dengan materi yang akan dipelajari, alat peraga yang

digunakan adalah papan pembagian bilangan dua angka.

6. Prestasi Belajar

Bagian ini akan memaparkan tentang teori belajar, pengertian belajar,

pengertian prestasi belajar, dan faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar.

a. Teori Belajar

Teori belajar telah banyak dikemukakan oleh para ahli. Teori-teori tersebut

mengalami perkembangan seiring perkembangan zaman. Berikut ini beberapa

(44)

1) Teori Behaviorisme

Teori belajar behaviorisme menjelaskan belajar itu adalah perubahan

perilaku yang dapat diamati, diukur dan dinilai secara konkret (Yulaelawati,

2004). Perubahan terjadi melalui rangsangan (stimulan) yang menimbulkan

hubungan perilaku reaktif (respon) berdasarkan hukum-hukum mekanistik.

Stimulan tidak lain adalah lingkungan belajar anak, baik yang internal maupun

eksternal yang menjadi penyebab belajar, sedangkan respon adalah akibat atau

dampak, berupa reaksi fisik terhadap stimulan. Belajar berarti penguatan ikatan,

asosiasi, sifat dan kecenderungan perilaku S-R (Stimulus-Respon). Beberapa ahli

yang mengembangakan teori ini antara lain E. L Thorndike, Ivan Pavlov, B.F

Skinner, J.B Watson, Clark Hull, dan Edwin Guthire.

2) Teori Kognitivisme

Jean Piaget, Jerome Brunner, Robert M. Gagne, dan David P. Ausubel

adalah beberapa ahli yang menganut teori kognitivisme. Teori ini mengemukakan

bahwa perilaku seseorang selalu didasarkan oleh aspek kognitif. Teori belajar ini

lebih mementingkan proses belajar daripada prestasi maupun hasil belajarnya.

Proses belajar lebih penting karena didasari bahwa perilaku seseorang itu selalu

ditentukan oleh persepsi serta pemahamannya tentang situasi yang berhubungan

dengan tujuan belajarnya (Suyono & Hariyanto, 2011:75).

3) Teori Konstruktivisme

Teori konstruktivisme menjelaskan bahwa belajar adalah kegiatan aktif

dimana siswa sebagai pembelajar membangun pengetahuannya sendiri.

(45)

secara mental maupun psikis untuk membangun struktur pengetahuannya

berdasarkan kematangan kognitif yang dimiliki. Hal utama dalam teori ini adalah

peran aktif siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan secara bermakna,

pentingnya membuat kaitan antara gagasan dalam pengkonstruksian secara

bermakna, dan mengaitkan antara gagasan dengan informasi baru yang diterima

(Suyono dan Hariyanto, 2011: 108).

Teori-teori yang telah diungkapkan oleh para ahli menjadi dasar teori baru

sekarang. Para ahli baru menggunakan teori untuk menjadi landasan

pengembangan model, metode, dan strategi belajar. Teori belajar telah

berkembang secara pesat dengan tetap mengacu pada teori-teori terdahulu.

b. Pengertian Belajar

Belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk

memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai

hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya (Slameto,

2010: 2). Syah (2008: 63) mendefinisikan bahwa belajar adalah suatu kegiatan

berproses dan merupakan unsur fundamental dalam penyelenggaran setiap jenis

dan jenjang pendidikan. Kedua definisi tersebut menunjukkan bahwa proses

belajar lebih diutamakan karena di dalam proseslah siswa akan mendapatkan

pengalaman-pengalaman belajar. Proses belajar dapat dialami siswa baik secara

langsung maupun tidak langsung, baik ketika siswa berada di sekolah, di

lingkungan rumah, maupun di masyarakat. Suyono dan Hariyanto (2011: 9)

mengungkapkan belajar adalah suatu proses untuk memperoleh pengetahuan,

(46)

kepribadian. Proses belajar membantu siswa dari yang tidak tahu menjadi tahu,

dari yang bisa menjadi tidak bisa, dan dari yang tidak mengerti menjadi mengerti.

Gagne (dalam Basleman dan Syamsu, 2011: 8) menyebutkan bahwa belajar

adalah suatu perubahan disposisi (watak) atau kapabilitas (kemampuan) manusia

yang berlangsung selama jangka waktu dan tidak sekadar menganggapnya proses

pertumbuhan. Hasil dari proses belajar dapat dilihat melalui pembandingan

tingkah laku atau watak individu sebelum berada dalam situasi belajar dan tingkah

laku setelah diberikan perlakuan. Jika ada perbedaan tingkah laku maka jelas

bahwa individu tersebut telah mengalami proses belajar. Winkel (2004: 59)

menyatakan bahwa belajar adalah suatu aktivitas mental atau psikis yang

berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan, yang menghasilkan

sejumlah perubahan-perubahan dalam pengetahuan-pemahaman, keterampilan

dan nilai-sikap, sedangkan perubahan itu bersifat secara relatif konstan dan

berbekas.

Kajian mengenai pengertian belajar menurut ahli memberi pemahaman

bahwa belajar adalah sebuah proses yang berisi tahapan-tahapan perubahan

seluruh tingkah laku individu. Proses belajar dapat dikatakan terjadi apabila

terdapat perbedaan antara sebelum belajar dan sesudah belajar. Perubahan tersebut

merupakan hasil dari pengalaman dan interaksinya selama proses belajar

berlangsung. Belajar adalah proses yang berlangsung secara aktif dan integratif

dengan menggunakan berbagai bentuk perbuatan untuk mencapai tujuan yang

(47)

c. Pengertian Prestasi Belajar

Prestasi belajar merupakan salah satu bukti yang menunjukkan kemampuan

atau keberhasilan seseorang untuk melakukan proses belajar sesuai dengan bobot

atau nilai yang berhasil diraihnya (Winkel dalam Sunarto, 2009: 48).

Purwodarminto (2008: 110) menjelaskan bahwa prestasi belajar adalah suatu

penguasaan pengetahuan atau keterampilan yang dikembangkan melalui mata

pelajaran, lazimnya ditunjukkan dengan nilai tes atau nilai yang diberikan oleh

guru. Prestasi belajar adalah hasil yang dicapai setelah siswa melakukan kegiatan

belajar sehingga ada perubahan-perubahan dalam pengetahuan, pemahaman,

keterampilan dan sikap siswa.

Prestasi belajar adalah hasil usaha belajar yang pada umumnya berkenaan

dengan pengetahuan (Arifin, 2009: 12). Sudjana (2005: 3) mengatakan prestasi

ialah hasil belajar yang dicapai oleh siswa dengan kriteria tertentu sehingga untuk

mengetahui tingkat prestasi belajar maka perlu dilakukan evaluasi belajar. Prestasi

belajar sesungguhnya adalah hasil belajar, namun pada umumnya hanya mengarah

pada aspek kognitif saja. Pengukuran prestasi belajar dapat melalui evaluasi

belajar yang berupa tes. Tingkat keberhasilan dalam mempelajari materi dapat

dinyatakan dalam bentuk skor yang diperoleh dari hasil tes (Susanto, 2013: 5).

Peneliti menyimpulkan bahwa prestasi belajar adalah suatu hasil yang diperoleh

siswa dengan kriteria tertentu setelah melakukan proses pembelajaran dan untuk

(48)

d. Faktor yang Mempengaruhi Prestasi Belajar

Prestasi belajar adalah hasil belajar yang mengarah pada aspek kognitif saja

sehingga dapat dikatakan faktor yang yang mempengaruhi hasil belajar sama

dengan faktor yang mempengaruhi prestasi belajar. Teori Gestalt (dalam Susanto,

2013: 12) menyatakan bahwa belajar merupakan suatu proses perkembangan yang

bisa dipengaruhi oleh faktor diri siswa sendiri dan faktor lingkungan. Pendapat

tersebut dapat menjadi dasar bahwa hasil belajar juga dipengaruhi oleh dua hal

yakni siswa sendiri dan lingkungannya. Susanto (2013: 12) menarik kesimpulan

bahwa faktor dari diri siswa sendiri antara lain kemampuan berpikir siswa atau

tingkat intelektualnya, motivasi, minat, dan kesiapan siswa, sedangkan faktor

lingkungan antara lain sarana dan prasarana, kompetensi guru, kreativitas guru,

sumber belajar, metode, serta dukungan eksternal.

Faktor dari diri siswa sendiri dapat disebut sebagi faktor internal. Terdapat

beberapa faktor yang dapat dikatakan hampir sepenuhnya tergantung pada siswa

yaitu kecerdasan anak, kesiapan anak, dan bakat anak (Susanto, 2013:14). Faktor

pertama adalah kecerdasan. Kecerdasan akan mempengaruhi cepat lambatnya

penerimaan informasi ke anak. Potensi ini dibawa sejak lahir sehingga faktor

genektiklah yang berperan. Faktor yang kedua adalah kematangan. Susanto (2013:

15) mengatakan bahwa kesiapan anak atau kematangan adalah tingkat

perkembangan di mana individu atau organ-organ sudah berfungsi sebagaimana

mestinya. Kematangan erat hubungannya dengan minat dan kebutuhan anak.

Faktor yang ketiga adalah bakat anak. Bakat merupakan kemampuan potensial

(49)

Jika bakat tersebut diasah dengan baik maka bakat tersebut berpotensi mencapai

prestasi yang baik.

Faktor eksternal dapat berasal dari keluarga, sekolah, dan masyarakat.

Sekolah sebagai tempat belajar tentu memiliki peran yang cukup besar. Wasliman

(dalam Susanto 2013:13) mengatakan bahwa sekolah merupakan salah satu faktor

yang ikut menentukan hasil belajar siswa. Jika kualitas pengajaran di sekolah

baik, maka semakin tinggi pula hasil belajar siswa. Berkaitan dengan pengajaran,

guru adalah komponen yang sangat penting. Guru juga merupakan faktor

eksternal yang dapat mempengaruhi hasil belajar siswa. Pribadi dan sikap guru

yang kreatif dan penuh inovatif akan berpengaruh pada siswa (Susanto, 2013: 17).

Salah satu peran guru yang cukup penting adalah merencanakan media dan

sumber belajar. Pemanfaatan media dalam proses pembelajaran akan membantu

siswa untuk memvisualisasikan hal-hal abstrak, mengasah rasa, merangsang

kreativitas, menemukan pengetahuan, memaknai konsep dan lain-lain (Murwani

dalam Susanto, 2013:46)

Faktor yang telah disebutkan di atas baru sebagian kecil saja. Masih banyak

faktor internal dan eksternal lain yang dapat mempengaruhi hasil dan prestasi

belajar. Faktor lain tersebut antara lain kondisi fisik siswa, kebiasaan belajar,

sikap belajar, perhatian, minat dan motivasi, suasana pengajaran, dan lain-lain.

B. Penelitian yang Relevan

Sebuah penelitian akan saling terkait dengan penelitian lain yang sudah

Gambar

Tabel 2.1.
Gambar 2.1 adalah alat peraga papan pembagian bilangan dua angka. Alat
Gambar 2.2. Literature Map
Tabel 3.10 adalah kisi-kisi soal untuk uji validitas konstruk. Banyak aitem
+7

Referensi

Dokumen terkait

Judul Skripsi : Rancang Bangun Sistem Pendukung Keputusan Penentuan Kenaikan Posisi Jabatan Pada Instansi Pemerintahan Dengan Metode Profile Matching.. Telah berhasil

• Mencari informasi melalui studi pustaka untuk menemukan teori tentang hubungan antara besar gaya listrik, besar muatan listrik, dan jarak antara benda bermuatan listrik..

Keterkaitan ergonomi organisasi dengan motivasi kerja yaitu organisasi sebagai wadah bagi para pegawai melakukan aktivitas pekerjaan dapat menjadi pendorong atau penarik bagi

Sedangkan CAR di BPR BKK Ungaran awal merger minus 2,03 persen hal tersebut terjadi karena modal habis untuk menutup kerugian karena kredit macet dan kekurangan PPAP, tetapi

Simulasi sistem antar modem konfigurasi yang ditunjukkan pada jika dikondisikan pada kondisi ad hoc , jika node 1 akan menghubungi node 3 yang tidak dalam

Jadi dapat dikatakan bahwa pelanggan adalah seseorang yang secara kontinu dan berulang kali datang ke suatu tempat yang sama untuk memuaskan keinginannya dengan memiliki suatu

2.2 Bayaran melalui bank hendaklah dilakukan sebelum datang ke POLISAS dan bawa semua salinan slip Wang Tunai Masuk semasa hari pendaftaran sebagai bukti

Inilah yang terutama yang mendorong kita buat menasehatkan pada Serikat supaya tentaranya yang mendarat jangan ada Belandanya, karena akan bisa mengusutkan suasana umum, tidak